• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKNOLOGI PAKAN BERBAHAN DASAR HASIL SAMPINGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TEKNOLOGI PAKAN BERBAHAN DASAR HASIL SAMPINGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

TEKNOLOGI PAKAN BERBAHAN DASAR HASIL

SAMPINGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

SIMON P. GINTING1danJENNY ELIZABETH2

1Peneliti pada Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih PO BOX 1 Galang Sumatera Utara 2Peneliti Pada Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Jl. Brigjen Katamso 51 Medan

PENDAHULUAN

Ketersediaan bahan baku pakan yang terjamin dengan harga kompetitif merupakan salah satu pilar usaha produksi ternak. Karena biaya pakan merupakan salah satu komponen terbesar dalam struktur biaya produksi ternak yang dikelola secara intensif, maka efisiensi penggunaan pakan akan berpengaruh langsung kepada efisiensi usaha secara keseluruhan. Bahan pakan yang banyak digunakan dalam industri peternakan adalah biji-bijian dan hasil sampingan pengolahannya. Bahan tersebut memiliki ciri yaitu konsentrasi gizi yang tinggi persatuan unit berat atau volume, dan dikelompokkan menjadi pakan konsentrat. Karena permintaan akan bahan tersebut besar, maka harganya relatif tinggi dan fluktuatif. Oleh karena biji-bijian juga berperan sebagai produk pangan bagi kebutuhan manusia, maka pada skala makro prioritas penggunaan biji-bijian dan hasil samping pengolahannya seharusnya ditujukan kepada kelompok ternak yang mampu memanfaatkannya secara lebih efisien. Dalam kontek ini, ternak monogastrik seperti unggas, babi atau ikan seharusnya menjadi prioritas pertama.

Pendekatan pengadaan pakan untuk ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing dan domba) sebaiknya terfokus kepada jenis bahan pakan yang tidak bersaing dengan ternak lain. Daya saing ternak ruminansia terletak pada sistem pencernaan fermentatif yang unik. Sistem ini memungkinkan ternak untuk mengolah bahan pakan dengan karakter konsentrasi nutrisi yang rendah per unit berat atau volume menjadi bahan pangan yang bermutu dan bernilai ekonomis tinggi, seperti daging dan susu. Ciri utama bahan pakan seperti ini adalah kandungan dinding sel (selulosa, hemiselulosa, lignin, pektin) yang tinggi, dan hanya dapat dimanfaatkan dengan proses fermentasi pada lambung ternak ruminansia (VAN SOEST, 1982). Bahan dengan kandungan dinding sel yang tinggi akan

menyebabkan keambaan bahan juga meningkat (bulky), sehingga membutuhkan volume atau berat yang lebih tinggi untuk menghasilkan zat gizi yang tersedia bagi kebutuhan ternak.

Bungkil inti sawit dan solid decanter termasuk kedalam kelompok pakan konsentrat, namun hasil sampingan perkebunan kelapa sawit yang tersedia dalam jumlah besar umumnya tidak masuk kedalam kriteria tersebut, seperti pelepah, daun, serat perasan buah dan batang kelapa sawit. Umumnya bahan pakan dengan konsentrasi dinding sel yang tinggi memiliki tingkat kecernaan yang relatif lebih rendah, sehingga potensi nutrisi yang terkandung didalam bahan tersebut tidak sepenuhnya dapat dimanfaatkan. Untuk meningkatkan nilai pemanfaatan bahan tersebut, maka beberapa faktor yang menentukan kualitas pakan seperti kecernaan, konsumsi dan kemampauan menyediakan zat nutrisi perlu ditingkatkan setinggi mungkin. Dalam tulisan ini dibahas klasifikasi, karakteristik nutrisi dan teknik pengolahan serta teknik pemanfaatan untuk meningkatkan mutu bahan pakan hasil sampingan perkebunan kelapa sawit sebagai bahan pakan ruminansia.

(2)

KLASIFIKASI PAKAN PRODUK SAMPING PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Mengacu kepada defenisi atau klasifikasi pakan dari International Feed Instutute (IFI) pakan hasil prosesing dapat dikelompokan antara lain kedalam kelas pakan suplemen energi, suplemen protein, suplemen mineral, suplemen vitamin, aditif, hijauan kering dan hijauan segar (HARRIS et

al., 1967). Bahan pakan hasil sampingan perkebunan kelapa sawit sebagian besar masuk kedalam kelompok pakan sumber energi seperti pelepah, daun, batang dan serat perasan buah kelompok pakan suplemen protein adalah bungkil inti sawit dan lumpur sawit atau solid decanter. Melihat bahwa kandungan abu dan lemak yang tinggi pada solid decanter, maka bahan ini memenuhi persyaratan pula untuk dikelompokan menjadi pakan sumber energi dan mineral.

Berdasarkan klasifikasi tersebut, pada dasarnya ramuan pakan yang baik yang mengandung unsur gizi esensial dalam jumlah cukup dan berimbang dapat disusun dari kombinasi yang tepat berbagai hasil samping perkebunan kelapa sawit bagi produksi ternak. Selain itu, persyaratan fisik pakan seperti ukuran partikel untuk mendukung berfungsinya sistem pencernaan ternak ruminansia secara optimal dengan mudah dapat diproses untuk sebagian besar bahan pakan tersebut diatas.

KARAKTERISTIK NUTRISI

Mutu suatu bahan pakan ditentukan oleh interaksi antara konsentrasi unsur gizi, tingkat kecernaan dan tingkat konsumsi. Kandungan unsur gizi merupakan indikator awal yang menunjukan potensi suatu bahan pakan. Tingkat kecernaan akan menentukan seberapa besar unsur gizi yang terkandung dalam bahan pakan secara potensial dapat dimanfaatkan untuk produksi ternak. Kandungan gizi beberapa produk hasil samping perkebunan kelapa sawit disajikan pada Tabel 1. Sumber protein yang potensial adalah bungkil inti sawit (BIS) dan solid decanter. Dilihat dari kandungan proteinnya, maka penggunaan kedua bahan tersebut dalam formula ransum mampu memenuhi kebutuhan ternak ruminansia untuk produksi (tumbuh, laktasi dan kebuntingan).

Bahan pakan dengan kandungan serat tinggi seperti pelepah, daun, serat perasan buah dan batang sawit merupakan sumber utama energi untuk produksi. Dibandingkan dengan BIS dan solid decanter energi tersedia (ME) dari bahan dengan kandungan serat tinggi secara konsisten lebih rendah. Akan tetapi, bahan tersebut tetap akan menjadi sumber utama energi bagi ternak, karena berperan sebagai pakan dasar (pokok) sehingga dikonsumsi dalam jumlah yang relatif lebih besar.

Unsur kimiawi yang terkandung dalam serat atau dinding sel yang secara efektif menentukan potensi energi dari suatu bahan pakan adalah konsentrasi dan keterikatan selulosa, hemiselulose, lignin, cutin dan silica (Tabel 2). Dari unsur penyusun dinding sel atau serat tersebut, pada dasarnya yang berpotensi sebagai sumber energi bagi ternak adalah selulosa dan hemiselulosa melalui proses fermentasi didalam sistem pencernaan ternak. Kandungan selulosa dan hemiselulosa dalam keseluruhan serat merupakan yang terbesar (60–83%) atau setara dengan 44-69% dari bahan kering. Lignin, selain tidak dapat dimanfaatkan oleh ternak, juga merupakan index negatif bagi mutu bahan pakan, karena ikatannya dengan selulosa dan hemiselulosa mempersulit pemanfaatan selulosa dan hemiselulosa sebagai sumber energi bagi ternak (JUNG, 1989).

Oleh karena itu, ketersediaan selulosa sebagai sumber energi bervariasi, dan sangat ditentukan oleh intensitas ikatannya dengan senyawa lignin. Silika yang merupakan elemen struktural dan bersama lignin secara komplementer memperkuat rigiditas serat/dinding sel (JONES, 1978) juga

menghambat pemanfaatan selulosa dan hemiselulosa sebagai sumber energi. Kandungan lignin dan silika secara bersama yang relatif tinggi (18–40% dari total dinding sel) merupakan indikator bahwa

(3)

tingkat kecernaan bahan pakan merupakan salah satu kendala penting dan membutuhakn teknik untuk mengatasinya.

Tabel 1. Komposisi kimiawi beberapa hasil sampingan perkebunan kelapa sawit Bahan

Komposisi

kimiawi Bungkil inti sawit Solid

decanter Pelepah Daun Serat perasan buah Batang

Bahan kering (%) 88-93 84–92 85-90 85-87 86–92 88–92 Protein kasar (%) 16-18 12–15 4,0–5,0 13–15 4,0-5,8 1,6–3,2 Serat kasar (%) 13-17 12–17 38–40 - 42-48 36–39 Lemak kasar (%) 2,0–3,5 12–14 2,0–3,0 3,0–3,4 3,0–5,8 0,6–1,0 BETN (%) 52–58 40-46 - - 29–40 51–54 Abu (%) 3,0–4,4 19–23 3,2–3,6 3,8–4,2 6,0–9,0 2,8–3,2 GE (Mkal/kg) 4,1–4,3 3,8–4,1 5,0–5,5 4,0–4,6 4,3–4,6 ME (Mkal/kg) 2,8–3,0 2,9–3,1 2,5–2,7 - 1,8–2,2 2,0–2,5

Sumber: HANDAYANI et al. (1987); SHIBATA and OSMAN (1988); ALIMAN and BEJO (1995), SUTARDI (1997); HANAFI (1999)

Tabel 2. Kandungan senyawa kimia penyusun serat pada beberapa bahan pakan asal perkebunan kelapa sawit Fraksi kelapa sawit

Unsur kimiawi

Daun Pelepah Serat perasan buah Batang

Selulosa,% 16,6 31,7 18,3 34

Hemiselulosa,% 27,6 33,9 44,9 35,8

Lignin,% 27,6 17,4 21,3 12,6

Silika,% 3,8 0,6 tt 1,4

Total 75,6 83,6 84,5 83,8

Sumber: SHIBATA and OSMAN (1988); TOMIMURA (1992); ALIMAN and BEJO (1995)

Tabel 3. Tingkat kecernaan bahan kering, protein dan serat bahan pakan hasil sampingan perkebunan kelapa sawit

Kecernaan (%) Bahan

Bahan kering Protein kasar Serat deterjen netral Serat deterjen asam

Bungkil inti sawit 70 80 53 52

Solid decanter 70 76 51 Tt

Pelepah sawit 60 78 52 53

Daun sawit 62 80 56 52

Serat perasan buah 40 65 52 Tt

Batang sawit 23-35 80 60 55

Sumber: MIYASHIGEet al. (1987); PURBAet al. (1997); HANAFI (1999)

Dilihat dari tingkat kecernaan bahan kering (Tabel 3), maka BIS dan solid decanter secara konsisten menunjukan kualitas yang tinggi. Bahan lain dengan kandungan serat lebih tinggi memiliki tingkat kecernaan relatif lebih rendah. Kecernaan paling rendah terlihat pada serat perasan

(4)

buah dan batang sawit. Kecernaan protein pada semua bahan tergolong tinggi, sedangkan kecernaan serat (deterjen netral dan deterjen asam) relatif rendah. Data ini memberi indikasi bahwa masalah utama pemanfaatan hasil samping perkebunan kelapa sawit adalah bagaiman meningkatkan kecernaan. Peningkatan kecernaan selanjutnya diharapkan dapat memberi pengaruh positif bagi peningkatan konsumsi.

TEKNIK PENGOLAHAN UNTUK MENINGKATKAN NILAI GIZI

Rendahnya tingkat kecernaan merupakan faktor pembatas utama sebagian besar bahan pakan hasil samping perkebunan kecuali BIS dan solid. Berbagai upaya telah diteliti untuk meningkatkan ketersediaan gizi dari bahan tersebut. Aplikasi teknik ini di lapangan perlu dikaji secara utuh termasuk aspek ekonomiknya. Secara umum teknik yang banyak diteliti adalah penggunaan senyawa kimiawi, terutama NaOH, perlakuan fermentasi dan perlakuan uap.

Penggunaan larutan NaOH bertujuan untuk meningkatkan kecernaan dengan memutus ikatan selulosa atau hemiselulosa dengan lignin, sehingga energi tersedia dapat meningkat. Teknik ini telah dicobakan pada batang dan pelepah kelapa sawit (OSHIOet al., 1988). Penggunaan larutan NaOH dengan konsentrasi 10% ternyata mampu meningkatkan kecernaan bahan orkanik dari 20-23% (tanpa pemberian NaOH) menjadi 63%. Peningkatan kecernaan menunjukan kecenderungan yang linier dengan tingkat konsentrasi NaOH. Hasil yang serupa terjadi pada pelepah dan daun kelapa sawit, walaupun pengaruhnya tidak sebesar pada batang kelapa sawit. Pada pelepah sawit penambahan larutan 10% NaOH meningkatkan kecernaan bahan organik dari 24% (tanpa perlakuan) menjadi 45%, sedangkan pada daun sawit dari 20% menjadi 50%. Perlakuan dengan larutan 10-12% NaOH cenderung menurunkan palatabilitas (kesenangan) yang selanjutnya menurunkan konsumsi. Disarankan bahwa larutan 6-9% NaOH merupakan konsentrasi optimal untuk meningkatkan kualitas batang dan pelepah sawit. Prosedur pengolahan menggunakan NaOH relatif sederhana yaitu batang, pelepah atau daun kelapa sawit dicacah dan dikeringkan selama 4–5 hari dibawah sinar matahari. Kemudian dicampur dengan larutan NaOH. Bahan kemudian disimpan didalam drum dan ditutup rapat selama 7 hari.

Perlakuan fermentasi untuk menghasilkan silase pada prinsipnya bertujuan untuk preservasi dan konservasi. Pengaruhnya terhadap nilai gizi bahan relative kecil. Untuk meningkatkan kandungan gizi dalam proses fermentasi dapat ditambahkan urea. Hasil penelitian HASAN et al.

(1996) menunjukan bahwa fermentasi pelepah sawit menjadi produk silase tidak meningkatkan kecernaan. Namun, penambahan urea sebanyak 3 atau 6% berturut-turut meningkatkan kandungan protein bahan dari 5,6 menjadi 12,5 atau 20%. Proses pembuatan silase dilakukan dengan mencacah bahan menjadi partikel dengan panjang 1-3 cm. Cacahan dapat diperciki dengan larutan urea (3-6%), kemudian dimasukan kedalam drum, dipadatkan dan ditutup rapat untuk mempertahankan kondisi tanpa udara (anaerob) selama 2-3 minggu untuk daun sawit atau 60 hari untuk batang sawit.

Perlakuan uap dengan tekanan bertujuan untuk memecah ikatan selulosa atau hemiselulose dengan lignin, sehingga energi yang terkandung didalam bahan pakan lebih banyak tersedia bagi ternak. Proses tekanan-uap menggunakan mesin steaming. Racikan bahan dimasukan kedalam mesin steaming. Setelah waktu tertentu bahan dikeluarkan dari mesin dan dimasukan kedalam drum, ditutup rapat dan dibiarkan selama 9 hari. Hasil penelitian OSHIOet al. (1988) menunjukan bahwa

dari berbagai kombinasi perlakuan besarnya tekanan uap (kg/cm2) dengan waktu (menit) diperoleh kondisi optimal dengan perlakuan tekanan pada 12,5 kg/cm2 selama 7,5 menit. Pada batang sawit

(5)

teknik ini dapat meningkatkan kecernaan bahan kering, bahan organik lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan NaOH.

PENGGUNAAN HASIL SAMPING KELAPA SAWIT SEBAGAI PAKAN DASAR Pelepah kelapa sawit

Berdasarkan kandungan komposisi kimiawi, dan tingkat kecernaannya pelepah kelapa sawit dapat digunakan sebagai pakan dasar untuk ternak ruminansia. Penelitian PURBA et al. (1997)

menunjukkan bahwa pelepah dapat menggati rumput sampai 80% tanpa mengurangi laju pertambahan bobot badan domba yang sedang tumbuh. Pelepah dapat diberikan dalam bentuk segar atau diproses terlebih dahulu menjadi silase. Pada sapi penggunaan pelepah dalam bentuk silase sebanyak 50% dari total pakan menghasilkan pertambahan bobot badan harian berkisar antara 0,62– 0,75 kg dan nilai konversi pakan berkisar antara 9,0–10,0 (ISHIDA and HASAN, 1993). Pada sapi

perah (Sahiwal) pelepah digunakan sebagai sumber serat dan mampu menghasilkan susu sebanyak 5,7 liter ekor-1 hari-1 (HASAN, 1993).

Batang kelapa sawit

Selama palatabilitas cukup baik dan konsumsi tercapai, maka batang kelapa sawit berpotensi sebagai pakan dasar untuk menggantikan hijauan sebagian atau seluruhnya. Penelitian OSHIOet al.

(1988) menunjukkan bahwa batang kelapa sawit dapat digunakan dalam pakan sebanyak 30% dari total pakan. Dengan komposisi 30% batang sawit dan 70% konsentrat diperoleh pertambahan bobot badan sebesar 0,66–0,72 kg pada sapi, sebanding dengan penggunaan jerami (0,71 kg). Akan tetapi efisiensi penggunaan pakan lebih baik pada penggunaan batang sawit silase (FCR=8,84) dibandingkan dengan jerami (FCR=10,73).

PENGGUNAAN HASIL SAMPING KELAPA SAWIT SEBAGAI PAKAN SUPLEMEN Bungkil inti sawit

Untuk memenuhi kebutuhan gizi ternak, bungkil inti sawit (BIS) dapat diberikan sebagai suplemen tunggal, tanpa harus mencampur dengan bahan suplemen lain. Palatabilitas BIS baik hasil proses ekspeller maupun proses ekstraksi dengan pelarut cukup baik, sehingga konsumsi pada ternak tidak menjadi kendala sampai tingkat pemberian berkisar antara 2-3% dari bobot badan. Pertambahan bobot badan sebesar 0,75 kg ekor-1 hari-1 dapat tercapai dengan pemberian BIS sebagai suplemen tunggal pada sapi (JELANet al., 1991). Penggunaan BIS pada kambing dan domba dapat

menghasilkan pertambahan bobot badan 70-90 g ekor-1 hari-1 (GINTINGet al., 1987). Untuk ternak perah BIS dapat digunakan untuk mengganti sepenuhnya pakan konsentrat konvensional. Hasil penelitian GANABATHI (1984) menunjukan bahwa penggunaan BIS sebagai konsentrat tunggal

dapat menekan biaya pakan 30%, dengan nilai konversi pakan sebesar 2,2 liter susu/kg BIS dikonsumsi. Penggunaan BIS secara berlebihan dapat menimbulkan gangguan fungsi hati dan ginjal akibat kandungan Cu yang relatif tinggi yaitu berkisar antara 11–55 µg/g bahan kering bahan (ABDUL RAHMANet al., 1989; JALALUDINet al., 1991). Hal ini dapat dihindari dengan penambahan

(6)

Lumpur minyak sawit/solid decanter

Solid atau lumpur minyak sawit dapat diberikan dalam bentuk segar atau dikeringkan terlebih dahulu. Tingkat penggunaan solid decanter/lumpur minyak sawit sebagai suplemen bervariasi tinggi. Pada sapi perah kisaran berada antara 15–65% dari total konsentrat yang diberikan. Solid dapat mengganti sepenuhnya dedak padi dalam konsentrat, dan memberi pengaruh yang positif terhadap konsumsi ransum, kadar lemak susu dan efisiensi penggunaan energi dan protein (WIDYATI et al., 1992). Pada kambing dan domba penggunaan solid sebanyak 1% bobot badan mampu menghasilkan pertambahan bobot badan harian sebesar 50-60 g dengan nilai konversi pakan 17-18 (VADIVELOO, 1986; HANDAYANIet al., 1987).

Kombinasi penggunaan BIS dan solid/lumpur sawit dapat menjadi suplemen alternatif. Dari berbagai kombinasi yang dicobakan, SHAMSUDIN et al. (1987) mendapatkan rasio BIS/solid yang

optimal adalah 50/50 dengan hasil tercapainya pertambahan boboit badan 0,6 kg/h dengan nilai konversi pakan sebesar 6,3.

PENGGUNAAN KOMBINASI HASIL SAMPING KELAPA SAWIT SEBAGAI PAKAN UTAMA ATAU PAKAN KOMPLIT

Melihat karakteristik nutrisi berbagai hasil sampingan perkebunan kelapa sawit seperti diuraikan di atas, maka terdapat peluang yang besar untuk menyusun berbagai jenis ransum untuk berbagai tipe ternak dan status fisiologisya dengan basis hasil samping tesebut. Pada prinsipnya yang perlu diperhatikan dalam penyusunan ransum tersebut adalah pemanfaatan bahan-bahan yang beserat tinggi sebagai pakan dasar, dan pakan yang mengandung konsentrasi protein dan energi tinggi sebagai suplemen dalam suatu ramuan. Kombinasi serat perasan buah (25%), BIS (15%) dan lumpur sawit (10%) dengan total kontribusi 50% dapat duganakan untuk sapi (DALZELL, 1977).

Untuk hidup pokok atau sedikit pertumbuhan, maka komposisi BIS (30%), serat perasan buah (15%), lumpur minyak sawit (18%) dengan total kontribusi 63% dapat digunankan untuk sapi (WONGet al., 1987).

Peluang untuk menyusun pakan komplit yang sepenuhnya menggunakan hasil samping perkebunan kelapa sawit sangat besar. Pakan komplit yang secara fisik dibentuk menjadi blok merupakan alternatif yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan penanganan, terutama untuk produksi skala besar.

PENUTUP

Perkebunan kelapa sawit memiliki potensi yang besar sebagai “supplier” bahan pakan bagi perkembangan industri ternak ruminansia. Pemanfaatan potensi ini dapat menjadi alternatif dalam upaya meningkatkan efisiensi usaha perkebunan kelapa sawit. Potensi ini juga membuka peluang bagi perwujudan program pengembangan masyarakat melalui dukungan terhadap usaha produksi ternak di sekitar wilayah perkebunan.

Pemanfaatan hasil samping perkebunan kelapa sawit menjadi pakan ruminansia akan menyebabkan daur ulang bahan organik yang ada di sistem perkebunan menjadi terbuka. Sebagian bahan organik yang keluar dari sistem diperkirakan akan memberi nilai tambah bagi sistem secara keseluruhan. Namun, penting untuk mengetahui secara kuantitatif sejauh mana pengelolaan hasil

(7)

samping sebagai pakan dapat diterapkan untuk menjamin keberlanjutan sistem yang ada secara menguntungkan.

DAFTAR PUSTAKA

AGDUL RAHMAN, M.Y., H.K. WONG, H. ZAINI and H. SHARIF. 1989. Preliminary observation on the alleviation of copper in sheep fed with palm kernel meal based diet. Proc. 12th Conf. MSAP pp. 75-78

ALIMAN, A.R. and M.H. BEJO. 1995. Feeding systems based on oil palm by-products in Malaysia. 1st Int.Symp. on Integration of Livestock to Oil Palm Production. MSAP/FAO and UPM. 25-27 June.Kuala Lumpur, Malaysia.

GANABATHI, S. 1984. The use of palm kernel cake for milk production in Malaysia. The Malaysian Veterinary Journal 8: 38-46.

GINTING, S.P., S.W. HANDAYANI and P.P. KETAREN. 1987. Utilization of palm kernel cake for sheep production. In: Advances in Animal Feeds and Feeding in the Tropics. R.I. HUTAGALUNG, C.C. PENG, WAN M EMBONG, L.A. THEEM and S. SIVARAJASINGAM (Eds.). Proc. 10 th Annual Conference of the Malaysian Soc. Anim. Prod. Pahang, Malaysia. pp. 235-239.

HAIR-BEJO, M. and A.R. ALIMON. 1995. The protective role of zinc in palm kernel cake (PKC) toxicity in sheep. Mal. J. Nutr.1: 75-82.

HANAFI, N.D. 1999. Perlakuan biologis dan kimiawi untuk meningkatkan mutu daun kelapa sawit sebagai bahan baku pakan domba. MS Tesis. IPB Bogor

HANDAYANI, S.W., S.P. GINTING and P.P. KETAREN. 1987. Effects of supplementation of palm oil mill effluent to sheep fed a basal diets of native grass. In: Advances in Animal Feeds and Feeding in the Tropics. R.I. HUTAGALUNG, C.C. PENG, WAN M EMBONG, L.A. THEEM and S.SIVARAJASINGAM (Eds.). Proc. 10 th Annual Conference of the Malaysian Soc. Anim. Prod. Pahang, Malaysia. pp. 245-249.

HASAN, A. 1993. Oil palm frond silage as a roughage source for milk production in Sahiwal Frisien cows. In: Proc. 16thMalaysian Soc. Anim. Prod. Langkawi, Malaysia. 34-35.

HASAN, O.A., M.ISHIDA, I.M. SHUKRI and A.A.TAJUDDIN. 1988. Oil-palm fronds as a roughage feed source for ruminants in Malaysia. Extension Bulletin 420. MARDI

ISHIDA, M. dan A. HASAN. 1993. Effects of oil palm frond silage feeding on utilization of diet and meat production in fattening cattle in the tropics. Proc. 86th Annual Meeting of Jpn. Zootech. Sci. Soc. Iwate University. pp. 75.

JALALUDIN, S., Z.A. ZELAN, N. ABDULLAH and Y.W. HO. 1991. Recent developments in the oil palm by-product based ruminant feeding system. In: Recent Advances on the Nutrition of Herbivores. Y.W.HO, H.K. WONG, N. ABDULLAH and Z.A. TAJUDDIN (Eds.). MSAP pp. 35-44.

JELAN, Z.A., Y. ISHAK and T. YAAKUB. 1991. Feedlotting of cattle based on palm kernel cake in smallholders. Proc. 14th Annual Conference MSAP. I

ASHAK (Ed.). pp. 99-102.

JUNG, H.G. 1989. Forage lignins and their effects on feed digestibility. Agron. J. 81:33-38 JONES, L.H.P. 1978. Mineral components of plant cell wall. Am. J. Clinic.Nutr. S94-S98

MIYASHIGE, T., O.A. HASSAN, D.M. JAAFAR and H.K. WONG. 1987. Digestibility and nutritive value of palm kernel cake, palm oil mill effluent, palm press fibre and rice straw by Kedah-Kelantan Bulls. In: Advances in Animal Feeds and Feeding in the Tropics. R.I. HUTAGALUNG, C.C. PENG, WAN M EMBONG, L.A. THEEM and S.SIVARAJASINGAM (Eds.). Proc. 10 th Annual Conference of the Malaysian Soc. Anim. Prod. Pahang, Malaysia. pp. 226-229.

(8)

OSHIO, S., M.J. DAUD and A.H. OSMAN. 1988. The use of palm trunks as ruminant feed. JARQ 25:125-133 PURBA, A., S.P. GINTING, Z. POELOENGAN, K. SIMANIHURUK dan JUNJUNGAN. 1997. Nilai nutrisi dan manfaat

pelepah kelapa sawit sebagai pakan domba. J. Penel. Kelapa sawit 5(3): 161-177.

SHAMSUDIN, A.B., D.M. JAAFAR andY.A. WAHAB. 1987. Performance of Kedah-Kelantan Cattle fed with different combination of expeller pressed and solvent extracted PKC. In: Advances in Animal Feeds and Feeding in the Tropics. R.I. HUTAGALUNG, C.C. PENG, WAN M EMBONG, L.A. THEEM and S.SIVARAJASINGAM (Eds.). Proc. 10 th Annual Conference of the Malaysian Soc. Anim. Prod. Pahang, Malaysia. pp. 287-291.

SHIBATA, M. and A.H. OSMAN. 1988. Feeding value of oil palm by-produsts 1. Nutrient intake and physiological responses of Kedah-kelantan cattle. JARQ 22: 77-84

SUTARDI, T. 1997. Peluang dan Tantangan Pengembangan Ilmu-Ilmu Nutrisi Ternak. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Nutrisi Ternak. Fakultas Peternakan, IPB, Bogor.

TOMIMURA, Y. 1992. Chemical characteristics and utilization of oil palm trunks. JARQ 25: 283-288

VADIVELOO, J. 1986. The effects of alkali treatment of straw and dried palm oil sludge on intake and performance of goats varying genotype. Agricultural Wastes 18: 233 – 245.

VAN SOEST, P.J. 1982. Nutritional Ecology of the Ruminan. O & B Books, Inc. Corvallis Oregon.

WIDYATI, S.D., T. SUTARDI, D. SASTRADIPRADJA dan A. SUDONO. 1992. Penggunaan Lumpur sawit kering sebagai pengganti dedak padi dalam ransum sapi perah laktasi. J. Il. Pert. Indon. 2: 89-95.

Gambar

Tabel 1. Komposisi kimiawi beberapa hasil sampingan perkebunan kelapa sawit  Bahan

Referensi

Dokumen terkait

SISTEM PELAPORAN BUDAYA KESELAMATAN RUMAH SAKIT '& 'ama 7abatan #etua #&mite #eselamatan Pasien Rumah Sakit 1 Pengertian 7abatan Sese&rang yang diberikan wewenang

Hasil kajian memperlihatkan bahwa terdapat hubungan yang tidak signifikan antara faktor lingkungan kerja dan kompensasi serta antara faktor motivasi dan kompensasi.. Keywords:

Data yang lainnya diperoleh pula dengan mengukur waktu yang ditempuh untuk 1 putaran kWh meter dan 5 putaran penuh (Volume 5 Liter). Variasi yang dilakukan

Untuk interval 3 jam yang ke 27 sample 3 O.AT yang ditunjukkan pada gambar 4.32, perubahan yang terjadi yaitu semen sedikit berwarna lebih gelap, butiran semen dan

Madrasah diniyah yang selama ini menjadi lembaga formal pesantren sangat membantu dalam memberikan pemahaman keagamaan dan pembentukan ahklak yang karimah dengan kurikulum yang

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas antioksidan daun Psidium guajava L terhadap Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) tipe minor dengan parameter ukuran kadar

International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-5/W2, 2013 XXIV International CIPA Symposium, 2 – 6 September 2013,

The objectives of the research were (1) to identify the drought characteristics such as duration, severity, and areal extent, (2) to assess impacts of ENSO on agricultural