• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoritis 1. Desentralisasi

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 32 tahun 2004, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini berarti kekuasaan yang sebelumnya secara penuh berada di pemerintah pusat, kemudian diserahkan kepada pemerintah daerah khsusunya kabupaten/kota. Penyerahan kewenangan ini kemudian disertai penyerahan sumber-sumber pembiayaannya (money follows function). Meskipun demikian ternyata ketimpangan antar daerah (horizontal imbalances) masih juga muncul terutama terjadi antara daerah yang dianugerahi sumber daya alam yang besar dengan daerah yang memang miskin sumber daya alam. Karenanya pemerintah pusat masih tetap memberikan bantuan berupa dana alokasi umum (DAU) yang besarnya sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN. Sementara itu kesenjangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (vertical imbalances) seperti masa pemerintahan orde baru juga hendak dihilangkan melalui mekanisme alokasi dana bagi hasil non sumber daya alam dan bagi hasil sumber daya alam yang besarnya telah ditetapkan oleh UU. Untuk kebutuhan khusus yang tidak dapat dicukupi dengan DAU misalnya bencana alam, dana

(2)

darurat maka pemerintah pusat masih memberikan bantuan berupa dana alokasi khusus (DAK).

Desentralisasi selain mengandung banyak manfaat ternyata juga menyimpan banyak permasalahan terutama yang terkait dengan pemisahan suatu daerah untuk menjadi daerah baru sehingga dimensi spasial menjadi makin kecil. Karenanya desentralisasi juga dapat menghasilkan suatu dampak berupa eksternalitas yang makin besar sehingga berkesan penyediaan barang publik yang under provided.

2. Kapasitas Fiskal (Fiscal Capacity)

Kapasitas fiskal merupakan suatu komponen yang masuk di dalam formula penghitungan dana alokasi umum (DAU). DAU adalah salah satu komponen dalam Dana Perimbangan di APBN yang paling besar dan pengalokasiannya didasarkan atas FORMULA dengan konsep kesenjangan fiskal (fiscal gap) yang merupakan selisih antara kebutuhan fiskal (fiscal need) dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity). DAU bertujuan sebagai instrumen untuk mengatasi masalah horizontal imbalances yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dimana penggunaannya ditetapkan sepenuhnya oleh daerah (block grants). Konsep dasar formulasi DAU sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No 25 Tahun 1999 itu secara implisit merupakan penjabaran dari teori governmental transfer yang berbasis pada konsepsi fiscal gap. Dengan konsepsi fiscal gap, nantinya kesenjangan fiskal yang merupakan selisih negatif antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal

(3)

dianggap sebagai kebutuhan yang harus ditutup melalui transfer pemerintah pusat. DAU merupakan transfer dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang berbentuk block grant. DAU dihitung berdasarkan formula kesenjangan fiskal (selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal daerah). Sejak tahun 2001, formula DAU telah mengalami beberapa kali perubahan. Formula DAU untuk tahun 2006 disusun berdasarkan UU No. 33/2004 ditunjukkan oleh Gambar 2.1. DAU masih menjadi sumber utama pembiayaan belanja daerah. Secara rata-rata persentase DAU terhadap APBD berkisar antara 70-80 persen.

Gambar 2.1

Perhitungan Formula DAU 2006

Sumber: DJPKPD, Departemen Keuangan

Amanat UU No. 33 Tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

Kebutuhan Fiskal • Jumlah Penduduk • Luas Wilayah • Pembangunan SDM

Formula DAU 2006 Variabel Kebutuhan Fiskal

• Index Jumlah Penduduk • Index Luas Wilayah

• Index Pembangunan Manusia • Index PDRB per Kapita • Index Kemahalan Konstruksi

Variabel Kapasitas Fiskal • PAD

• Bagi Hasil, SDA, PBB BPHTB, dan PPh Pribad Kapasitas Fiskal

• Potensi Ekonomi Daerah • Potensi SDA dan SDM

(4)

Ide dasarnya adalah untuk daerah yang memiliki kapasitas fiskal relatif lebih besar dibanding kebutuhan fiskalnya, maka DAU yang dialokasikan seyogyanya tidak terlalu besar. Sebaliknya daerah yang memiliki kebutuhan fiskal relatif lebih tinggi terhadap kapasitas fiskalnya, membutuhkan DAU yang relatif besar pula agar mereka tetap dapat menyediakan pelayanan dasar yang cukup baik. Jadi kapasitas fiskal ini dapat dianggap sebagai wakil kemampuan suatu daerah di dalam melaksanakan semua kewenangan wajibnya dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan daerahnya.

3. Pajak Daerah

Menurut Marihot P. Siahaan (2005:7), pajak daerah adalah “iuran wajib yang dilakukan oleh daerah kepada orang pribadi atau badan tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarka peraturan perundang-undangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.”

Menurut Halim (2004:67), “pajak daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari pajak.”

Menurut UU No 34 Tahun 2000 yang dimaksud dengan pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.

(5)

Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pajak daerah adalah penerimaan daerah yang berasal dari orang pribadi atau badan yang sifatnya dapat dipaksakan (yuridis) berdasarkan peratuaran perundang-undangan dan tidak ada kontraprestasi/imbalan secara langsung serta digunakan untuk membiayai pemerintah dan pembangunan daerah. Wewenang pemungutan pajak daerah ada pada pemerintah daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah.

Pajak daerah merupakan komponen dari pendapatan asli daerah, sampai saat ini. Pajak daerah memberikan kontribusi daerah terbesar bagi pendapatan asli daerah. Undang-undang No. 34 Tahun 2000 memberikan peluang kepada daerah kabupaten/kota untuk memungut jenis pajak daerah lain yang dipandang memenuhi syarat selain dari jenis pajak daerah kabupaten/kota yang telah ditetapkan. Penetapan jenis pajak leinnya ini harus benar-benar bersifat spesifik dan potensial di daerah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah kabupaten/kota dalam mengantisipasi situasi dan kondisi derta perkembangan perekonomian daerah pada masa mendatang yang mengakibatkan perkembangan potensi pajak dengan tetap memperhatikan kesejahteraan jenis pajak dan aspirasi masyarakat serta memenuhi kriteria yang ditetapkan.

Sementara itu ada beberapa hal yang dianggap sebagai kriteria menurut UU No. 34 tahun 2000 yang harus dipenuhi agar sesuatu dapat dianggap sebagai pajak yaitu :

1. Bersifat pajak dan bukan retribusi. Maksudnya adalah pajak yang ditetapkan harus sesuai dengan pengertian yang ditentukan dalam defenisi pajak daerah.

(6)

2. Obyek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.

3. Obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Maksudnya adalah bahwa pajak etrsebut dimaksudkan untuk kepentingan bersama yang lebih luas antara pemerintah dan masyarakat dengan memperhatikan aspek ketentraman, kestabilan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. 4. Obyek pajak bukan merupakan obyek pajak propinsi dan atau obyek

pajak pusat.

5. Potensinya memadai. Maksudnya adalah bahwa hasil pajak cukup besar sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dan laju pertumbuhannya, diperkirakan sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi.

6. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif. Maksudnya adalah bahwa pajak tersebut tidak mengganggu alokasi sumber-sumber ekonomi efisien dan tidak merintangi arus sumber daya ekonomi antar daerah maupun kegiatan eksport import.

7. Memerhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat. Kriteria aspek keadilan antara lain objek dan subjek harus jelas sehingga dapat diawasi pemungutannya, jumlah pembayran pajak dapat diperkirakan oelh wajib pajak yang bersangkutan, dan tarif pajak ditetapkan dengan emerhatikan keadaan wajib pajak. Selanjutnya kriteria kemampuan masyarakat adalah kemampuan subjek pajak untuk memikul tambahan beban pajak.

8. Menjaga kelestarian lingkungan. Maksudnya adalah bahwa pajak harus bersifat netral terhadap lingkungan, yang berarti bahwa pengenaan pajak tidak memberikan peluang kepada pemerintah daerah dan masyarakat untuk merusak lingkungan yang akan menjdai beban bagi pemerintah daerah dan masyarakat.

Pajak daerah harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain:

1. Tidak boleh bertentangan atau harus searah dengan kebijaksanaan pemerintah pusat.

2. Pajak daerah harus sederhana dan tidak terlalu banyak jenisnya. 3. Biaya administrasi harus rendah

4. Tidak mencampuri sistem perpajakan pusat maupun peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh daerah serta dapat dipaksakan

(7)

Dengan demikian, penerimaan pajak harus dilakukan secara efektif agar penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembanguna pemerintah daerah dapat terlaksana dengan baik. Pajak derah dikatakan efektif jika:

1. Memenuhi kriteria adil

2. Dapat mendorong tindakan ekonomi

3. Mampu menstabilkan tingkat kenaikan harga 4. Dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat

5. Biaya untuk administrasi ringan dan terjangkau oleh wajib pajak.

Kebijakan pungutan pajak daerah berdasarkan peraturan daerah, diupayakan tidak berbenturan dengan pungutan pusat (pajak maupun bea dan cukai), karena hal tersebut akan menimbulkan duplikasi pungutan yang pada akhirnya akan mendistorsi kegiatan perekonomian. Hal tersebut sebetulnya sudah diantisipasi dalam UU No.18 Tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana diubah dengan UU No.34 Tahun 2000, dimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (4) yang antara lain menyatakan bahwa objek pajak daerah bukan merupakan objek pajak pusat.

Sementara itu, apabila kita perhatikan sistem perpajakan yang dianut oleh banyak negara di dunia, maka prinsip-prinsip umum perpajakan daerah yang baik pada umumnya tetap sama, yaitu harus memenuhi kriteria umum tentang perpajakan daerah sebagai berikut:

(8)

• Prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastis, artinya dapat mudah naik turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan masyarakat.

• Adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan kelompok masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi setiap anggota kelompok masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak.

• Administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung, pelayanan memuaskan bagi si wajib pajak.

• Secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dan kesadaran pribadi untuk membayar pajak.

• Non-distorsi terhadap perekonomian : implikasi pajak atau pungutan yang hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Pada dasarnya setiap pajak atau pungutan akan menimbulkan suatu beban baik bagi konsumen maupun produsen. Jangan sampai suatu pajak atau pungutan menimbulkan beban tambahan (extra burden) yang berlebihan, sehingga akan merugikan masyarakat secara menyeluruh (dead-weight loss).

Untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut, maka perpajakan daerah harus memiliki ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri dimaksud, khususnya yang terjadi di banyak negara sedang berkembang, adalah sebagai berikut:

• Pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antara penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya.

(9)

• Relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar, kadang-kadang meningkat secara drastis dan adakalanya menurun secara tajam.

• Tax basenya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan (benefit) dan kemampuan untuk membayar (ability to pay).

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka pemberian kewenangan untuk mengadakan pemungutan pajak selain mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku secara umum, seyogyanya, juga harus mempertimbangkan ketepatan suatu pajak sebagai pajak daerah. Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan mendukung pemberian kewenangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan desentralisasi.

Untuk itu, Pemerintah Daerah dalam melakukan pungutan pajak harus tetap “menempatkan” sesuai dengan fungsinya. Adapun fungsi pajak dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu : fungsi budgeter dan fungsi regulator.

1. Fungsi budgeter yaitu bila pajak sebagai alat untuk mengisi kas negara yang digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan.

2. Fungsi regulator yaitu bila pajak dipergunakan sebagai alat mengatur untuk mencapai tujuan, misalnya : pajak minuman keras dimaksudkan agar rakyat menghindari atau mengurangi konsumsi minuman keras, pajak ekspor dimaksudkan untuk mengekang pertumbuhan ekspor komoditi

(10)

tertentu dalam rangka menghindari kelangkaan produk tersebut di dalam negeri.

4. Retribusi Daerah

Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Menurut UU No 34 Tahun 2000 jenis retribusi dapat dibedakan menjadi ;

1. Retribusi Jasa Umum merupakan pungutan yang dikenakan oleh daerah kepada masyarakat atas pelayanan yang diberikan. Pelayanan yang digolongkan sebagai jasa usaha tersebut tergolong quasy goods dan pelayanan yang memerlukan pengendalian dalam konsumsinya dan biaya penyediaan layanan tersebut cukup besar sehingga layak dibebankan kepada masyarakat; misalnya : retribusi pelayanan kesehatan, persampahan, akta catatan sipil dan KTP.

2. Retribusi Jasa Usaha merupakan pungutan yang dikenakan oleh Daerah berkaitan dengan penyediaan layanan yang belum memadai disediakan oleh swasta dan atau penyewaan asset/kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan; misalnya retribusi pasar grosir, terminal, rumah potong.

3. Retribusi Perijinan Tertentu merupakan pungutan yang dikenakan sebagai pembayaran atas pemberian ijin untuk melakukan kegiatan tertentu yang perlu dikendalikan oleh Daerah; misalnya IMB, Ijin Pengambilan Hasil Hutan Ikutan.

(11)

Masing-masing jenis retribusi tersebut memiliki kriteria yang berbeda yaitu ;

1. Kriteria Retribusi Jasa Umum

a. Retribusi jasa umum bersifat bukan pajak dan bersifat bukan retribusi jasa usaha atau retribusi perijinan tertentu.

b. Jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

c. Jasa tersebut memberikan manfaat khusus bagi orang pribadi atau badan yang diharuskan membayar retribusi disamping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum.

d. Jasa tersebut layak untuk dikenakan retribusi.

e. Retribusi tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai penyelenggaraannya.

2. Kriteria Retribusi Jasa Usaha

a. Retribusi jasa usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan retribusi jasa umum atau retribusi perijinan tertentu.

b. Jasa yng bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang seyogyanya disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai atau terdapatnya harta yang dimiliki daerah yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh pemerintah daerah.

(12)

3. Kriteria Retribusi Perijinan Tertentu

a. Perijinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka asas desentralisasi.

b. Perijinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan umum dan,

c. Biaya yang menjadi beban daerah dalam penyelenggaraan ijin tersebut dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian ijin tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi perijinan.

5. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan salah satu indikator makro ekonomi yang pada umumnya digunakan untuk mengukur kineja ekonomi di suatu negara. Sedangkan untuk tingkat wilayah, propinsi maupun kabupaten/kota, digunakan produk domestik regional bruto (PDRB). Secara teori dapat dijelaskan bahwa PDRB merupakan bagian dari PDB, sehingga dengan demikian perubahan yang terjadi di tingkat regional akan berpengaruh terhadap PDB atau sebaliknya.

PDRB dapat menggambarkan kemampuan suatu daerah mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. Oleh karena itu besaran PDRB yang dihasilkan oleh masing-masing propinsi sangat bergantung kepada potensi sumber daya alam dan faktor produksi daerah tersebut. Adanya keterbatasan dalam penyediaan faktor-faktor tersebut menyebabkan besaran PDRB bervariasi antar daerah.

(13)

Di dalam perekonomian suatu negara, masing-masing sektor tergantung pada sektor yang lain, satu dengan yang lain saling memerlukan baik dalam tenaga, bahan mentah maupun hasil akhirnya. Sektor industri memerlukan bahan mentah dari sektor pertanian dan pertambangan, hasil sektor industri dibutuhkan oleh sektor pertanian dan jasa-jasa.

Untuk menghasilkan suatu barang atau jasa diperlukan barang lain yang disebut faktor produksi. Total nilai barang dan jasa yang diproduksi di wilayah (regional) tertentu dalam waktu tertentu (satu tahun) dihitung sebagai produk domestik regional bruto (PDRB).

Cara perhitungan PDRB dapat diperoleh melalui 3 (tiga) pendekatan yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran yang selanjutnya dijelaskan sebagai berikut :

1. Menurut pendekatan produksi, PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam penyajiannya dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) sektor atau lapangan usaha yaitu ; pertania, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, jasa keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, Jasa-jasa.

2. Menurut pendekatan pengeluaran, PDRB adalah penjumlahan semua komponen permintaan akhir yaitu :

(14)

a. Pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung

b. Konsumsi pemerintah

c. Pembentukan modal tetap domestik bruto

d. Perubahan stok

e. Ekspor netto

3. Menurut pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi dalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa rumah, bunga modal dan keuntungan. Semua hitungan tersebut sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak lainnya.

Jika PDRB dibagi dengan jumlah penduduk di suatu daerah pada suatu waktu tertentu akan diperoleh PDRB per kapita.

6. Bagi Hasil Pajak

Sesuai bunyi pasal 5 UU No 33 Tahun 2004 disebutkan bahwasanya pendapatan daerah bersumber dari PAD, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan. Sementara itu pasal 10 UU No 33 Tahun 2004 juga menyebutkan bahwa dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil, DAU dan DAK. Dana bagi hasil itu sendiri dapat bersumber dari pajak dan SDA. Dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan

(15)

hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), pajak penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21.

Dana bagi hasil dari penerimaan PBB dan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 UU No 33 Tahun 2004 dibagi di antara daerah propinsi, kabupaten/kota dan pemerintah. Dana bagi hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% untuk daerah dengan rincian sebagai berikut :

1. 16,2% (enam belas dua persepuluh persen) untuk daerah propinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening kas umum daerah propinsi.

2. 64,8% (enam puluh empat delapan persepuluh persen) untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening kas umum daerah kabupaten/kota dan 9% (sembilan persen) untuk biaya pemungutan.

Sementara itu 10% bagian pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan kepada seluruh daerah kabupaten/kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan, dengan imbangan sebagai berikut ;

1. 65% (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten/kota dan,

2. 35% (tiga puluh lima pesen) dibagikan sebagai insentif kepada dearah kabupaten/kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu.

Dana bagi hasil dari penerimaan BPHTB adalah sebesar 80% (delapan puluh lima persen) dengan rincian sebagai berikut :

(16)

1. 16% (enam belas persen) untuk daerah propinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening kas umum daerah propinsi dan,

2. 64% (enam puluh empat persen) untuk daerah kabupaten/kota penghasil dan disalurkan ke rekening kas umum daerah kabupaten/kota.

Sementara itu 20% (dua puluh persen) bagian pemerintah dari penerimaan BPHTB dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten/kota.

B. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Sebagai pembanding dari penelitian ini akan dibahas beberapa penelitian terdahulu :

1. Halim dan Nasir (2006) telah meneliti tentang keuangan daerah pemerintah kota Malang dan dari penelitian tersebut menyimpulkan bahwa dilihat dari aspek kemampuan keuangan daerah adalah belum mampu. Dikarenakan kontribusi PAD terhadap APBD kota Malang sebesar 13,23% selama tahun 2000–2004. sedangkan kemampuan PAD untuk menopang pengeluaran daerah relatif masih rendah dengan kontribusi rata-rata 15,51% untuk periode yang sama, sehingga ketergantungan Pemko Malang terhadap sumber keuangan lainnya masih relatif tinggi.

2. Ester (2007) telah meneliti tentang “pajak daerah, retribusi daerah, penerimaan daerah, dan pendapatan asli daerah (PAD)”. Penelitian ini dilakukan di pemerintah kabupaten Langkat, hasil penelitian ini menunjukkan sebagai berikut :

(17)

a. Hasil regresi berganda menunjukkan bahwa koefisien dari pajak daerah (b1) = 98 dan koefisien retribusi daerah (b2) = 402, ini menunjukkan bahwa pajak daerah dan retribusi daerah berpengaruh secara positif terhadap penerimaan daerah.

b. Hasil penelitian menunjukkan nilai R2 sebesar 0,690. artinya 69% variable dependen penerimaan daerah kabupaten langkat dijelaskan oleh variable independent pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten Langkat, dan sisa 31% dijelaskan oleh variable lain yang tidak disebutkan dalam model.

3. Joko Tri Haryanto (2007) telah meneliti tentang “Kemandirian Daerah sebuah perspektif dengan metode Path Analysis”. Studi penelitian ini dilakukan di 26 propinisi di Indonesia dengan menggunakan metode analisis data panel. Dengan pride tahun dari tahun 2002 sampai dengan 2004, hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut:

a. Dari tabel ANOVA diperoleh F untuk model 1 sebesar 165.932 dengan nilai probabilitas = 0.000. Karena nilai P < 0.05 maka keputusannya adalah Ho ditolak karena itu pengujian secara individual dapat dilakukan.

b. Uji secara individual ditunjukkan oleh Tabel Coefficient model 1. Hipotesis penelitian yang hendak diuji dirumuskan menjadi hipotesis statistik sebagai berikut :

(18)

H0 = 0 dimana tinggi rendahnya kapasitas fiskal daerah tidak dipengaruhi oleh Pajak Daerah (PD), Retribusi Daerah (RD), PDRBjasa (PDRBj), dan Bagi Hasil Pajak(BHP).

H1 > 0 secara individual tinggi rendahnya kapasitas fiskal daerah dipengaruhi secara positif oleh Pajak Daerah (PD), Retribusi Daerah (RD), PDRB jasa (PDRBj) dan Bagi Hasil Pajak (BHP). Statitik uji digunakan uji t yang dihitung dengan rumus. Kriteria uji, Ho ditolak jika nilai t hitung > t tabel (df 15; α = 0.05) atau jika nilai P (sig) < 0.05. Dari hasil tabel Coefficients diperoleh informasi bahwa :

1. Koefisien jalur Pajak Daerah (PD) dan BHP (Bagi Hasil Pajak) ke Kapasitas Fiskal keduanya secara statistik signifikan (t=2.819 dengan nilai P = .006 dan t=3.672 dengan nilai P= .000). Dengan demikian, Ho ditolak artinya koefisien jalur signifikan.

2. Koefisien jalur Retribusi Daerah (RD) dan PDRB jasa (PDRBj) secara statistik ternyata tidak signifikan (t= .856 dengan nilai P = .395 dan t= -.734 dengan nilai P = .465) sehingga Ho diterima.

Oleh karena ada koefisien jalur yang tidak signifikan maka model perlu diperbaiki melalui metode trimming yaitu mendrop atau mengeluarkan varibel yang tidak signifikan dalam hal ini Retribusi Daerah (RD) dan PDRB jasa (PDRBj) dari analisis selanjutnya. Hasil trimming dijelaskan oleh model 3. Perhatikan tabel coefficient model 3. Setelah dilakukan

trimming maka besarnya koefisien jalur Pajak Daerah (PD) dan Bagi Hasil

Pajak (BHP) berubah masing-masing menjadi ρPD = .307 (t = 3.577, P = .001 ) dan ρBHP = .661 (t = 7.707, P = .000) dengan nilai R2 = .899 dan

(19)

nilai F = 332.769. Dengan demikian kerangka hubungan kausal empiris antara Pajak Daerah (PD) dan Bagi Hasil Pajak (BHP) dengan Kapasitas Fiskal (KF) dapat diperagakan melalui persamaan struktural sebagai berikut :

KF = 0.307Pajak Daerah + 0.661Bagi Hasil Pajak + 0.3178; = 0.899.

4. Frida Febriana Fajrin (2009) telah meneliti tentang “analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kapasitas fiskal daerah”. Studi penelitian ini dilakukan pada 30 propinsi di Indonesia, dengan priode dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005, hasil penelitian ini menunjukkan sebagai berikut:

a. Hasil dari uji t dalam penelitian ini membuktikan bahwa Pajak Daerah dan Bagi Hasil Pajak berpengaruh signifikan terhadap Kapasitas Fiskal Daerah. Sedangkan Retribusi Daerah dan Produk Domestik Regional Bruto tidak berpengaruh signifikan terhadap Kapasitas Fiskal Daerah. b. uji F menghasilkan F hitung yaitu 5299,503 lebih besar dari F tabel

yaitu 2,45, maka dapat dikatakan bahwa pajak daerah, retribusi daerah, bagi hasil pajak, dan produk domestik regional bruto secara bersama sama berpengaruh terhadap kapasitas fiskal daerah. dengan R2 sebesar 0,992757 ini berarti pajak daerah, retribusi daerah, bagi hasil pajak, dan produk domestik regional bruto berpengaruh terhadap kapasitas fiskal daerah sebesar 99,28 % dan sisanya 0,72% dipengaruhi variabel lain diluar model penelitian.

(20)

C. Kerangka Konseptual dan Hipotesis 1. Kerangka konseptual

Berdasarkan latar belakang masalah, tinjauan teoritis, dan tinjauan penelitian terdahulu, maka peneliti membuat kerangka konseptual penelitian sebagai berikut : Gambar 2.2 Kerangka Konseptual H1 H2 H3 H4 H5 Sumber, Penulis 2009

Kapasitas Fiskal adalah gambaran kemampuan keuangan Daerah yang dicerminkan melalui pendapatan daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat, dana Pinjaman lama, dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu) dikurangi dengan belanja pegawai, dan dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin.

Pajak daerah menurut UU No 34 tahun 2000 adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung

PDRB jasa (PDRBj) Retribusi Daerah (RD) Pajak Daerah (PD) Kapasitas Fiskal Daerah

(21)

yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Sehingga pengaruh pajak daerah terhadap kapasitas fiskal daerah adalah berpengaruh secara positif.

Retribusi daerah menurut UU No 34 tahun 2000 adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Sama dengan pajak daerah, retribusi daerah juga berpengaruh positif terhadap kapasitas fiskal daerah.

Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan salah satu indikator makro ekonomi yang pada umumnya digunakan untuk mengukur kineja ekonomi di suatu negara. Sedangkan untuk tingkat wilayah, propinsi maupun kabupaten/kota, digunakan produk domestik regional bruto (PDRB). Secara teori dapat dijelaskan bahwa PDRB merupakan bagian dari PDB, sehingga dengan demikian perubahan yang terjadi di tingkat regional akan berpengaruh terhadap PDB atau sebaliknya.

Sesuai bunyi pasal 10 UU No 33 Tahun 2004 menyebutkan bahwa dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil, DAU dan DAK. Dana bagi hasil itu sendiri dapat bersumber dari pajak dan SDA. Dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), pajak penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21. karena bagi hasil merupakan salah satu variabel yang terdapat pada DAU maka sudah tentu juga berkorelasi positif terhadap kapasitas fiskal daerah.

(22)

2. Hipotesis

Hipotesis menyatakan hubungan yang diduga secara logis antara dua variabel atau lebih dalam rumusan preposisi yang dapat diuji secara empiris. Berdasarkan uraian teori dan kerangka konseptual yang telah dikemukan, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut : “Apakah Pajak Daerah (PD), Retribusi Daerah (RD), PDRB jasa (PDRBj) dan Bagi Hasil Pajak (BHP) berpengaruh secara parsial dan simultan terhadap Kapasitas Fiskal Daerah?”

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya dilakukan pengujian citra baru di dalam jaring saraf tiruan dengan nilai penimbang yang didapat dari pelatihan dengan data training.. Desain

Dengan sistem yang ada dalam e- court saat ini siapa saja yg akan menggunakan persidangan elektronik harus dan wajib memeliki akun sebagai &#34;Pengguna Terdaftar&#34;

Alat pengumpulan data teknik observasi adalah lembar observasi terhadap guru yang melaksanakan penelitian tindakan kelas (melaksanakan pembelajaran tindakan

Sedangkan tujuan dari analisis hidrologi ini adalah untuk mengetahui ketersediaan air Aek Sirahar dalam hubungannya dengan kebutuhan air atas areal pertanian yang berdasarkan

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya, skripsi yang Berjudul “Pengaruh Tanggung Jawab Sosial

Cara 2: Jika Sig. Maka dapat disimpulkan bahwa H 0 diterima, yang berarti bahwa Corporate Image secara parsial tidak berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat.. H0 :

Madrasah Aliyah Muallimin Darussalam Sumedang adalah satuan pendidikan yang dikelola oleh yayasan pondok pesantren, budaya akademik yang dipakai adalah perpaduan

Aslinda dan Syafyahya (2010: 19) menyatakan bahwa variasi bahasa dari segi penggunaannya, pemakaiannya, atau fungsinya disebut fungsiolek, ragam, atau