“ ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh. 3 : 30) EDISI MEI 2016 Saudara saudari seiman yang terkasih,
Kalender gereja di bulan Mei cukup sibuk. Dimulai dengan pesta Kenaikan Tuhan Jesus ke Surga yang disusul dengan perayaan Pantekosta yang dirayakan di seluruh gereja. Seperti biasanya di bulan Mei ini umat Katolik memperingati atau melakukan doa devosi kepada bunda Maria. Sebelumnya, dalam menyambut ensiklik Laudato Si, KKI Melbourne telah mengadakan simposium kecil mengenai Laudato Si ini. Kegiatan lainnya adalah retret keluarga, Smart Love dan retret kelompok KTM dengan misa penyembuhannya.
Umat KKI patut berbangga dengan respon-nya yang begitu antusias dalam menyambut doa devosi kepada Ibu Maria walaupun cuaca kadang-kadang tidak begitu ramah di awal musim dingin ini. Doa Rosario diadakan oleh kelompok –kelompok wilayah dan kategorial dan umat menawarkan dengan spontan rumahnya untuk doa Rosario ini. Untuk ini, redaksi Warta ingin memberikan selamat atas antusias umat. Semoga semangat ini tetap berlanjut untuk tahun-tahun mendatang.
Redaksi Warta KKI agak kewalahan untuk memberikan laporan tentang kegiatan seluruh KKI, dan untuk itu redaksi mohon kesabaran untuk penerbitannya. Misalnya saja dalam edisi bulan ini, Warta KKI hanya melaporkan kegiatan symposium mengenai Ladato Si. KKI bersyukur dan mengucapkan terima kasih kepada Sr Amelia Hendani sgm yang telah mengirimkan artikelnya, “Bangun dari mimpi – Laudato Si”. Ben Sugija sangat terkesan atas artikel tersebut dan ikut meramaikan dengan memberikan komentarnya.
Kontributor artikel Warta KKI yang rajin menulis artikel, Sdr Frans Suryana, menulis sebuah artikel, “Menular”. Sdr Frans mengingatkan kita pada peristiwa Pantekosta, dimana Roh Kudus telah mengobarkan semangat para rasul untuk menyebarkan kabar baik keseluruh dunia. Sdr Frans berharap supaya kitapun akan ketularan mengikuti langkah para rasul.
Akhir kata redaksi berharap, umat dapat menikmati edisi bulan ini. Selamat membaca.
MISA KKI Minggu, 3 Juli 2016 St Martin de Porres 25 Bellin Street Laverton VIC Pukul: 11.15 Minggu, 10 Juli 2016 St. Joseph Church 95 Stokes Street Port Melbourne VIC
Pukul: 11.00 Minggu, 17 Juli 2016 St Francis’ Church 326 Lonsdale St Melbourne VIC Pukul: 14:30 Minggu, 24 Juli 2016 St. Paschal 98-100 Albion Rd
Box Hill VIC Pukul: 11.00 MISA MUDIKA Sabtu pertama Monastry Hall St. Francis Church 326 Lonsdale Street Melbourne VIC Pukul: 12.00 PDKKI Setiap Sabtu St. Augustine’s City Church
631 Bourke Street Melbourne VIC
BANGUN DARI MIMPI – LAUDATO SI
Oleh : Sr. Amelia (Amie) Hendani, SgmMenanggapi ensiklik Paus Fransiskus Laudato Si yang dikeluarkan pada pertengahan tahun 2015 yang lalu, Gereja bersama-sama umat manusia di Bumi dituntut untuk berperan aktif dalam menanggapi krisis di bidang lingkungan hidup. Ensiklik ini merupakan suatu afirmasi bagi kami komunitas Green Mountain Monastery yang karya utamanya adalah di bidang ekologi dan lingkungan hidup.
Salah satu program yang saya gunakan sejak kurang lebih empat tahun terakhir untuk kegiatan penyadaran lingkungan adalah Simposium Awakening The Dreamer Changing The Dream yang amat sangat menggambarkan isi ensiklik Paus Fransiskus.
Berkat dukungan teman-teman aktivis di KKI saya mendapat kesempatan untuk mem-fasilitasi simposium tersebut pada tanggal 10 April yang lalu. Dihadiri kurang lebih 30 orang umat dari KKI, simposium ini mendapat tanggapan yang sangat baik.
Simposium Awakening The Dreamer Changing The Dream itu sendiri dibuat oleh sebuah organisasi yaitu Pachamama Alliance yang diawali oleh sebuah partnership antara sekelompok orang yang perduli akan kelestarian rainforest Amazon dengan suku Achuar penghuni kawasan tersebut. Selanjutnya hutan tropis Amazon hanyalah sebagian kecil dari persoalan dunia khususnya di bidang lingkungan hidup yang diakibatkan oleh cara hidup umat manusia di Bumi yang semakin dikendalikan oleh budaya konsumerisme. Maka, pesan yang disampaikan dalam simposium tersebut bersifat universal. Didukung oleh data dari berbagai kalangan yang dapat dipercaya serta penggunaan media audio visual yang baik, pesan yang ingin disampaikan mudah diterima. Tidak mengherankan bahwa simposium ini telah tersebar di lebih dari 70 (tujuh puluh negara).
Tujuan dari simposium itu sendiri adalah mewujudkan kehidupan umat manusia di Planet Bumi yang berkelanjutan (sustainable), memuaskan secara spiritual dan berkeadilan sosial. Melalui proses diskusi dan refleksi diharapkan setelah mengikuti simposium, ada suatu rasa gelisah yang mendorong kita untuk berpartisipasi aktif dalam mengatasi persoalan lingkungan hidup.
Simposium ini disusun berdasarkan kerangka 4 (empat pertanyaan) yaitu: 1. Di mana kita berada?
Merupakan suatu tinjauan dan analisis mengenai situasi kita saat ini dalam bidang lingkungan hidup, keadilan sosial dan kepuasan spiritual. Dengan menyaksikan dan mendengarkan berbagai narasumber yang merupakan para ahli di berbagai bidang, kita melihat bahwa dalam ketiga aspek tersebut situasi umat manusia dan Bumi serta segenap penghuninya sangatlah memprihatinkan. Di bidang lingkungan hidup, kerakusan manusia menyebabkan kerusakan yang luar biasa. Polusi air, udara, pemanasan global, meningkatnya angka penderita kanker, punahnya berbagai spesies yang penting bagi berlangsungnya seluruh rantai kehidupan di Bumi merupakan realitas yang sungguh terjadi. Kehidupan manusia bisa dikatakan tidak mencerminkan situasi hidup yang berkelanjutan. Yang dimaksud dengan berkelanjutan/sustainable adalah kemampuan generasi saat ini untuk memenuhi kebutuhannya tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan perkataan lain kita tidak mengambil hak generasi masa depan dengan cara menguras habis-habisan kekayaan alam tanpa memikirkan kapasitas Bumi untuk memperbaharuinya. Dalam bidang keadilan sosial, ketimpangan sosial dan jurang antara orang kaya dan miskin semakin besar. Orang kaya semakin kaya, orang miskin semakin miskin. Saat ini seandainya jumlah penduduk Bumi berjumlah seratus, separuh kekayaan dunia berada di tangan dua orang saja. Lima puluh orang berbagi satu persen kekayaan dunia!! Diskriminasi rasial terjadi di mana-mana. Dengan situasi semacam ini, tentu di bidang spiritual pun hidup tidak memuaskan. Banyak
2. Bagaimana kita bisa sampai di titik ini?
Bagian ini berisikan analisis akar penyebab mengapa kita bisa berada di titik yang sedemikian rendah, padahal manusia berusaha melakukan berbagai perubahan agar hidup kita semakin baik. Di bagian ini kita diperkenalkan pada sebuah konsep yaitu unexamined assumption atau asumsi yang belum ditelaah. Kita terbiasa melakukan sesuatu tanpa memahami konsekuensinya. Sebagai contoh kita cenderung membeli barang dengan harga murah karena kita merasa lebih untung. Kita kurang memahami bahwa mungkin untuk memproduksi harga barang menjadi sedemikian murah, ada pihak-pihak yang dirugikan, misalnya upah para pekerja yang di bawah standard. Melalui diskusi, kita masing-masing menemukan asumsi-asumsi yang dalam kehidupan pribadi sungguh dialami. Contoh-contoh lain dari asumsi tersebut adalah: seorang diri saya tidak bisa berbuat apa-apa, persoalan lingkungan hidup jauh dari saya karena saya pribadi tidak mengalaminya, recycle mengatasi persoalan sampah, dll.
Selain itu ada sebuah asumsi yang paling mendasar yang selama ini tidak kita sadari, yaitu asumsi bahwa kita terpisah-pisah. Perlu kesadaran bahwa kita semua saling terkait. Kalau kita mencemari air atau udara, maka kita mencemari diri sendiri. Suku-suku asli yang masih menjaga tradisi mereka, mengenali bahwa manusia dan Bumi tidak bisa dipisahkan. Ilmu pengetahuan di abad 21 mengakui bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem Bumi, apabila kita merusak tatanan kehidupan di alam, maka kita akan mengalami kehancuran.
3. Apa yang mungkin bagi masa depan?
Pada bagian ini kita diajak untuk melihat sejarah dan peristiwa di berbagai belahan dunia yang menunjukkan bahwa perubahan besar-besaran bisa terjadi. Sebagai contoh, di Amerika Serikat di mana perbudakan dan diskriminasi rasial terjadi sampai pada masa Martin Luther King Jr, saat ini memberi kesempatan kepada seorang kulit hitam untuk duduk sebagai Presiden. Contoh lain, di Afrika Selatan dengan politik apartheid terjadi juga keruntuhan rezim yang berkuasa. Baik di sektor politik, ekonomi maupun sosial telah banyak inisiatif yang dilakukan. Di seluruh dunia saat ini telah ada jutaan gerakan akar rumput yang bekerja untuk keadilan sosial dan lingkungan hidup. Hanya saja media seringkali tidak menyampaikan berita-berita positif ini. Maka perlu bagi kita untuk memiliki harapan dan optimisme bahwa bersama-sama kita bisa melakukan perubahan. Yang diperlukan adalah kreativitas, itikad baik, usaha kolektif dan komitmen pribadi maupun kelompok untuk berpartisipasi melalui pilihan-pilihan dalam hidup sehari-hari. Selain itu menggunakan perkembangan teknologi untuk menyebarluaskan berita atau inisiatif penting untuk menggalang kekuatan dalam menghadapi persoalan di tingkat lokal.
4. Kemana kita melangkah?
Pada pertanyaan terakhir ini kita melihat bahwa peranan satu orang individu amatlah penting. Ada banyak tokoh penting dunia yang berperan sangat besar seperti Mahatma Gandhi, Mother Teresa dan orang-orang yang namanya tidak dikenal tetapi berkat keberanian mereka untuk berinisiatif melakukan tindakan tertentu maka perubahan besar terjadi di masyarakat. Kita perlu menyadari bahwa pilihan yang kita buat saat ini memilik dampak bagi generasi yang hidup seratus tahun yang akan datang. Tidak ada peran besar atau kecil, setiap orang memiliki perannya sendiri. Mengambil bagian dalam gerakan untuk menciptakan kehidupan yang berkelanjutan, memuaskan secara spiritual dan berkeadilan sosial, bisa dimulai dari rumah kita sendiri. Contoh sederhana misalnya memilih makanan yang diproduksi lokal, produk elektronik yang hemat listrik, mengurangi sampah, dan lain-lain.
Simposium diakhiri dengan masing-masing peserta membuat komitmen pribadi untuk melakukan sesuatu sebagai bentuk partisipasi, serta menyaksikan sebuah video klip yang berintikan bahwa selama komitmen kita diwujudkan melalui tindakan nyata, maka masih ada harapan bagi dunia ini.
Catatan:
Sr. Amelia (Amie) Hendani, Sgm adalah anggota komunitas Green Mountain Monastery
di Vermont, USA yang didirikan khusus untuk karya bidang ekologi dan lingkungan hidup, sebagian karya juga dilakukan di tanah air bersama kelompok-kelompok dari dalam maupun luar Gereja. Untuk informasi, korespondensi dan dukungan terhadap karya silahkan berkunjung ke situs www.greenmountainmonastery.org
Komentar Artikel diatas Oleh Ben Sugija.
Ensiklik Laudato Si merupakan bukti dari kepedulian Gereja Katolik dan bapak Paus Fransiskus mengenai kelanjutan dari proses penciptaan dalam rangka recana ilahi (devine plan) yang indah dan besar. Banyak orang berpikir bahwa hubungan manusia dengan Tuhan, di-ekspresikan semata-mata bagaimana kita menyenangkan dan memuji-muji Tuhan. Untuk itu kita harus berdoa, menghadiri misa, berbuat baik, membaca kitab suci sesering mungkin. Betulkah persepsi seperti ini dan juga identik menjadi harapan Tuhan? Untuk itu saya mengajak para pembaca untuk lebih jeli melihat kitab suci, buku Kejadian (Genesis) khususnya Bab 1 dan 2 yang menceritakan dua buah cerita (account) tentang penciptaan yang berbeda versi penekannya, tetapi saling melengkapi.
Didalam Bab 1 ini, Tuhan digambarkan sebagai pihak yang aktif, mulai dari Roh Allah yang melayang-layang dimana belum ada apa-apanya. Tuhan berfirman, “Jadilah terang”, dan terangpun terjadi. Lalu Tuhan berfirman lagi, “Jadilah cakrawala”, maka terjadilah langit. Proses penciptaan itu terus berlanjut yang menghasilkan tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang yang berakhir dengan penciptaan manusia. Pada Bab 1 : 29, Berfirmanlah Allah,”Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan ..., ... pohon-pohonan ..., itulah akan menjadi makanan-mu.
Dari bab ini, kita melihat peranan Tuhan yang sangat Teosentris
Didalam Bab 2, ceritanya lebih manusiawi dengan peranan yang lebih besar dari awal cerita sampai akhir. Misalnya saja Bab2:15, ... Tuhan Allah mengambil manusia dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. Selanjutnya di ayat 2:20, ... manusia memberi nama kepada segala ternak, burung-burung ... binatang ... yang mengandung pengertian yang sangat dalam. Menurut budaya kultur Yahudi pemberian nama itu mengandung pengertian bahwa manusia telah diberikan otoritas atau kuasa atas semuanya, termasuk pemeliharaannya. Dilihat dari ayat-ayat diatas ini saja, sebetulnya kita harus menyadari bahwa, kita telah dititipkan tugas yang sangat mulia, yaitu menjaga, memelihara bumi ini. Manusia di-tugaskan sebagai Co-creator dalam proses penciptaan. Dalam prokreasi, Tuhan tidak lagi menciptakan manusia baru dengan mengedipkan mata seperti tayangan film di televisi, I dream of Jeanny, tetapi melalui keterlibatan orang tua. Sama halnya dengan perternakan dan pertanian dimana peranan manusia sangat terasa dalam mengembang-biakan ternak maupun tanaman yang kita lakukan. Hutan-hutan, sungai-sungai harus betul-betul dijaga eksistensi dan fungsinya, jangan sampai rusak.
Sehubungan dengan tugas yang mulia ini, manusiapun diminta bertanggung jawab untuk tidak serampangan tetapi berhati-hati tentang, pengendalian polusi maupun percobaan atau penyelidikan cloning, teknologi bayi tabung ataupun pengembangkan teknik modifikasi genetic (GM) maupun stem cell. Kalau salah-salah, dampaknya sangat dahsyat. Tatanan dan keseimbangan ekologi akan terganggu.
Untuk ini marilah kita melakukan refleksi dan jangan sampai kita terbuai keinginan untuk playing God, merasa diri kita mampu dan pintar, boleh berbuat apapun. Mari kita menjadi abdi pelayan yang bertanggung jawab (responsible steward).
Menular
Oleh: Franciscus Suryana
Begitu mendengar kata “menular”, pikiran kita biasanya melayang ke yang namanya penyakit. Penyakit menular, ketularan sakit dan semacamnya. Pokoknya konotasinya negatif.
Bulan yang lalu kita telah merayakan hari raya Pantekosta yang sering disebut-sebut sebagai hari lahir Gereja. Pada hari inilah Roh Kudus turun atas para Rasul sebagai lidah-lidah api. Seperti kita baca di Injil, berkat Roh Kudus ini telah membakar semangat para Rasul untuk berani turun ke masyarakat dan mewartakan kabar gembira. Para Rasul bahkan “menularkan” semangat pewartaan kepada jemaat yang mereka jumpai entah dari mereka berasal. Jemaat yang “ketularan” ini akibatnya ikut menyebarkan warta kepada sesamanya yang lain.
Dalam merenungkan makna Pantekosta mungkin ada baiknya kita menelaah fenomena “menular” yang terjadi. Perbuatan amal yang kita lakukan sehari-hari bisa memberi contoh atau inspirasi bagi orang lain untuk mengikuti jejak yang sama. Contohnya kalau kita terbiasa mengucapkan doa sebelum tidur malam, sangat mungkin anak kita akan terpengaruh untuk ikut berdoa atau paling tidak bertanya apa sih doa itu. Kalau kita punya hobi olah raga misalnya tidaklah mustahil kalau teman dekat kita atau pasangan kita jadi ikutan berolah raga.
Namun seringkali kita merasa pesimis melihat bahwa perbuatan amal kita seolah-olah tidak berpengaruh apa-apa maksudnya pengaruhnya tidak terjadi secara instan (apalagi di masa sekarang ini di mana kita sedang di-bombardir budaya instan…maunya segalanya serba cepat). Memang betul bahwasanya meresapi pengaruh itu butuh waktu and seringkali terjadi secara bertahap. Sama halnya seperti ajaran Yesus yang disampaikan kepada murid-muridNya. Awalnya para murid tidak paham malah sebagian dari mereka mempertanyakan relevansi ajaran tersebut. Tetapi akhirnya mereka menyadari makna ajaran tersebut and selepas Pantekosta bergerak “menularkannya” (baca “menyebarkannya”) ke seluruh pelosok.
Akhir kata, sebagai umat beriman yang telah menerima berkat Roh Kudus alangkah baiknya jikalau kita bertanya kepada diri kita masing-masing: Apakah kita cuma menyimpan berkat itu untuk diri kita sendiri? Ataukah kita bersedia “menularkan” berkat itu kepada saudara-saudara kita lewat perilaku dan perbuatan kita? Semoga dalam hal ini “menularkan” menjadi pilihan kita.
Warta KKI diterbitkan oleh pengurus Keluarga Katolik Indonesia setiap akhir bulan.
Sumbangan tulisan, naskah, dan berita seputar kegiatan KKI anda, bisa di kirim lewat email ke Bpk Rufin Kedang di [email protected]