• Tidak ada hasil yang ditemukan

ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil (Yoh. 3 : 30) EDISI Mei

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil (Yoh. 3 : 30) EDISI Mei"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

“ ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh. 3 : 30) EDISI Mei Saudara saudari seiman yang terkasih,

Bulan Mei adalah bulan yang sangat berarti bagi umat Katolik. Pada bulan ini umat Katolik banyak yang melakukan devosi kepada ibu Maria, ibu gereja dan bunda orang Katolik. Devosi tersebut banyak di-ekspresikan dalam pertemuan, renungan dan doa Rosario bersama. Banyak orang membentuk kelompok doa Rosario, hal mana juga telah dilakukan baik oleh kelompok kelompok maupun wilayah wilayah dalam KKI Melbourne. Perkembangan ini merupakan tradisi yang sangat menggembirakan dan membuat kita semua bangga.

Disamping memohon perantaraan ibu Maria dalam doa doa kita, kita juga merenungkan sikapnya yang dipandang gereja Katolik sebagai teladan yang sangat ideal. Sederhana, rendah hati, tidak menonjolkan diri, setia dalam menjalankan tugasnya sebagai ibu Tuhan. Banyak cobaan, penderitaan telah dialaminya, mulai dari melahirkan Yesus dengan keadaan yang jauh dari gemerlapan, pengungsian ke Mesir, sampai penderitaan Jesus di saat saat akhir hidup-Nya. Sikap inilah beserta penyerahan diri yang tulus membuat Tuhan sangat berkenan kepadanya, memberikan rahmat yang berlimpahan.

Semoga kita dapat belajar dan mengikuti teladan ibu Maria dalam hidup kita.

Untuk bulan Mei ini, redaksi menurunkan dua buah artikel. Artikel pertama, yang menjadi artikel renungan utama, merupakan sumbangan dari chaplain KKI, romo Waris O.Carm. Renungan mengenai eskaristi dituangkan dalam bahasa Indonesia yang lancar dan penuh perasaan. Peristiwa perayaan ekaristi seperti perjamuan, perumpamaan ‘pulang kampung’, peranan orang yang mengundang dengan tamunya, dirangkumnya menjadi suatu cerita yang menarik. Seperti kita mengumpulkan mosaik, komponen-komponen yang kecil, menyusunnya, menyatukannya sehingga menghasilkan sebuah bentuk yang lebih besar dan indah. Artikel ini sarat dengan kadar nilai spiritual yang tinggi. Redaksi mengharapkan pembaca dapat menikmatinya dan ‘terbakar’ hatinya setelah membacanya.

Artikel kedua merupakan sumbangan dari Ben Sugija tentang pengalamannya di masa kanak-kanak yang di-refleksikan pada masa sekarang.

Redaksi juga ingin mengingatkan adanya peristiwa penting yang akan datang. Ulang Tahun KKI yang ke-dua puluh lima tahun. Pesta akbar akan disiapkan untuk menyambut peringatan peristiwa tersebut dan panitia perayaan ulang tahun inipun telah dibentuk.

Memang belum ada rencana yang detil dan pasti, tetapi diperkirakan akan diadakan misa dengan resepsi, penerbitan buku kenangan ulang tahun KKI dan acara lain-lainnya.

Pengumuman yang lengkap dan resmi akan disusul dan disebarluaskan dalam waktu yang akan datang

Akhir kata, pembaca juga diingatkan untuk jangan lupa dengan menengok kepada pengumuman lainnya yang mungkin berguna.

Selamat membaca.

MISA KKI Minggu, 3 Juni 2012 St Martin de Porres 25 Bellin Street

Laverton VIC Pukul: 11.30

Minggu, 10 Juni 2012 St. Joseph Church

95 Stokes Street Port Melbourne VIC

Pukul: 11.30

Minggu, 17 Juni 2012 St Francis’ Church

326 Lonsdale St Melbourne VIC Pukul: 14:45

Sabtu, 24 Juni 2012 St. Paschal 98-100 Albion Rd

Box Hill VIC Pukul: 11.30 MISA MUDIKA

Sabtu pertama Monastry Hall St. Francis Church 326 Lonsdale Street

Melbourne VIC Pukul: 12.00

PDKKI Setiap Sabtu St. Augustine’s City

Church 631 Bourke Street

Melbourne VIC Pukul: 18.00

(2)

SUSUNAN PENGURUS KKI 2009-2012 Website: www.kki-mel.org

Informasi [email protected] Moderator/Pembimbing Rohani:

Romo Paulus Waris Santoso O.Carm Ketua: Heru Prasetyo

Wakil ketua I: Andi K Mihardja Wakil ketua II: Prabudi Darmawan

Bendahara: Matheus Huang, Hari Setiawan Sekretaris: Ray Christian, Eko Aryanto

Sekolah Minggu: Suria Winarni, Aureine Wibrata, Samy Sugiana, Sintia Hermawan

Kegiatan Reguler Port Melbourne: Linda Munanto, Bradley & Christine

Kegiatan Reguler Boxhill: Julius Indria Wijaya, Cae- sar Sutiono, Chandra & Lina Terliatan

Website KKI: Hanny Santoso, Erick Kuncoro Sie Liturgie: Robin Surjadi, Lucie Hadi, Anna Mu- nanto, Rudy Pangestu

Warta KKI: Edy Lianto, Sucipto, Benjamin Sugija, Rufin Kedang

Sie Konsumsi: Inge Setiawan, Angela Roy Mudika: Utusan Mudika

PDKKI: Utusan PDKKI KTM: Utusan KTM

Kegiatan Reguler Point Cook: Ray Christian, Su- handi

Kegiatan Reguler St Francis: Robin Surjadi, FX Heru Sugiharjo

Kegiatan Non Reguler: Thomas Yani, Bernadette Sidharta, Lylia Dewi, Siska Setjadiningrat

Hati Yang Terbakar : Mengundang-Nya

(bagian ke-3 dari empat tulisan)

Sahabat terkasih, refleksi kita akan Ekaristi sudah melewati bagian sabda. Dalam bagian kedua yang lalu, di mana kita merefleksikan kehadiran Tuhan dalam bacaan-bacaan, kita melihat sendiri Tuhan yang hadir. Refleksi itu merujuk pada dua murid yang tengah taksim mendengarkan teman asing mereka mengulas isi Kitab Suci.

Pada saat mendengarkan sabda itulah kedua orang murid tadi mulai merasakan adanya perubahan. Teman perjalanan mereka ini, yang belum mereka kenali siapa identitasnya, mulai mereka sadari sebagai pribadi yang ‘bukan sembaran- gan’. Toh mereka belum bisa memahami siapa, tetapi jelas bukan biasa-biasa saja.

Orang asing ini telah mampu menunjukkan arah hidup yang lebih tepat. Dia menunjukkan sedikit titik terang dari gelu- tan hidup yang acak kadut. Dia membuka sedikit demi sedikit tabir gelap misteri yang membayangi mereka. Perjalanan hidup selama tiga tahun mengikuti Yesus, saat akhir yang memporak-porandakan keteguhan iman dengan meninggalnya Yesus serta kabar mengenai kebangkitan-Nya, adalah pecahan mozaik yang gagal mereka rangkai. Tetapi orang asing ini berhasil menjelaskan secara perlahan keterkaitan satu dengan yang lain. Saat itulah sesuatu yang hangat mulai menjalari hati mereka. Pada saat yang sama, hari sudah berada di ambang senja.

Sahabat, perjalanan kedua murid yang pulang kampung tadi, yang pulang ke rumah masing-masing telah menemukan makna yang baru. Rumah, atau kampung halaman bukan lagi tempat dari mana ia berasal. Pulang ke rumah telah men- emukan makna baru. Orang asing itu telah memberikan makna dalam menempuh perjalanan. Rumah bukan lagi bangu- nan kosong tanpa makna. Rumah adalah di mana ada kehangatan, siapapun bisa datang, tempat ia bisa mengundang tamu dan melanjutkan perbincangan yang sudah dimulai dengan tak disangka-sangka.

Pulang ke rumah telah mendapatkan makna baru. Jika pada awalnya, pulang berarti kembali kepada kehidupan yang lama; sekarang pulang berarti mendapatkan kesegaran kembali. Teman baru telah memberi makna baru. Pecahan mo- zaik mulai bisa dirangkai. Kampung halaman bukan lagi kehidupan lama. Dia bukan bagian terpisah dari kehidupan; ia adalah rangkaian perjalanan panjang.

(3)

Seperti pada umumnya orang yang dilanda kesedihan, mereka yang sedang mengalami kehilangan; dunia terasa gelap dan membosankan. Semua yang ada di sekitarnya menjadi terasa suram. Senyuman manis berubah jadi cibir pahit; den- tang gelas seakan reruntuhan atap. Semua serba negative dan mencemaskan. Semua yang ada di sekitar ikut meman- carkan kesedihan. Bahkan angin yang bertiup dan burung-burung yang berkicau juga seolah menyanyikan lagu sedih.

Tetapi jika engkau menemukan seorang teman, yang berjalan di sampingmu dan mengatakan bahwa kesedihanmu ini bukanlah akhir, bahwa kehilanganmu ini bukannya tak tergantikan; ini adalah awal dari sebuah pejiarahan yang baru;

hatimu pasti akan terbakar. Karena di sana kita akan menemukan bahwa ternyata penderitaan itu adalah pintu masuk ke dalam kemuliaan. Dan rumah adalah tempat yang sangat nyaman untuk berbagi.

Rumah telah menemukan makna baru; yang bukan lagi bangunan mati dan ruangan kosong. Ia adalah kehidupan.

Seperti seorang yang terbuka tangannya untuk menyambut sahabat yang datang. Hanya hati yang hangat dan penuh kepercayaan yang mampu mengundang orang asing sebagai sahabat. Saat itulah yang asing telah melebur. Tidak ada aku dan kamu. Karena kamu dan aku telah melebur menjadi kita.

Itulah yang dirasakan kedua murid tadi. Mereka merasakan kehangatan dalam hati mereka. Maka tatkala mereka telah sampai di kampung, telah tiba di rumah; mereka mengundang kawan asing tadi mampir. Karena orang asing itu telah menjadi bagian dari diri mereka. Karena ia telah mampu membakar semangat di dalam hati mereka. “Hari telah beranjak malam, datang dan tinggallah bersama kami.” Demikianlah mereka mengundang kawan asing tadi untuk singgah dan bermalam.

Sahabat, Dia tidak minta diundang. Dia tidak mengharapkan tempat untuk singgah. Bahkan ia berulah seolah hendak melanjutkan perjalanan. Tetapi kedua murid itu terus memaksa, agar ‘orang asing’ itu sudi singgah dan tinggal bersama mereka, malam itu. Dia tidak menolak. Dia masuk dan tinggal bersama mereka.

Sahabat, mungkin kita tidak berpikir bahwa dalam Ekaristi, kita seharusnya mengundang Yesus masuk ke dalam rumah hati kita. Mungkin kita dipenuhi pemahaman bahwa Yesuslah yang mengundang kita masuk ke dalam rumah-Nya.

Yesuslah yang mengundang kita masuk dan bersatu dalam meja makan. Bukankah dalam Ekaristi kita dating ke rumah Tuhan, ke rumah Yesus; bagaimana kita bisa mengundang-Nya? Ternyata dalam Ekaristi kita harus membuka hati dan mengundang Tuhan masuk.

Ya, Yesus menunggu untuk diundang. Tanpa undangan dari kita,Yesus tidak akan ke mana-mana. Dia akan tetap berada di luar. Dia tidak akan memasuki ruang batin kita. Jika kita tidak mengundang Yesus masuk ke dalam rumah; ia akan tetap sebagai orang asing. Kita ingin Ia menjadi bagian dari hidup kita; maka kita harus mengundangNya masuk.

Dalam Ekaristi, setelah kita mendengarkan Sabda Tuhan, kita mengakui keberadaannya. Aku percaya kepada Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Kepercayaan yang penuh, bukan yang kosong. Kepercayaan yang bukan karena sudah menghafal. Melainkan sebuah keyakinan bahwa Allah itu sungguh ada. Sebuah kepercayaan yang penuh; bahkan kalau kita tidak mampu memahaminya. Kepercayaan seperti dua murid yang percaya penuh kepada ‘orang asing’ tadi. Mereka percaya meskipun mereka belum memahami dengan penuh akan identitas sahabat barunya itu.

Dalam Ekaristi; kita mengundang Tuhan masuk karena kita percaya. Kita percaya kepada-Nya, bukan karena kita telah memahamiNya dengan sempurna. Bukan juga karena kita bisa mengertinya dengan teliti. Kita mengundangnya karena kita percaya. Itulah iman. Kita mengundang-Nya masuk, dan kita mengikuti jalan yang diajarkan-Nya. “Tuhan masuklah ke dalam hati kami; penuhilah kami dengan Roh-Mu.”

Masuk ke dalam persekutuan : Ambillah dan Makanlah

Sahabat, kita telah mengundang Tuhan masuk. Ia telah berada di dalam rumah hati kita. Ada pertanyaan; siapakah yang menjadi tuan rumah? Siapakah yang menjadi tamu? Siapakah yang harus melayani meja makan? Siapakah yang akan mempersilahkan makan? Dan masih ada banyak pertanyaan lain. Tetapi yang pertama-tama harus dipahami dengan mengundang Tuhan masuk ke dalam rumah hati kita adalah; di sana tidak ada lagi tamu dan tuan rumah. Karena yang ada adalah persatuan hati. Mari kita lihat dalam pengalaman dua murid dengan Yesus.

(4)

Ketika Yesus masuk ke dalam rumah murid-Nya, rumah itu telah berubah menjadi rumah-Nya. Tamu telah menjadi tuan rumah. Yang tadi diundang kini menjadi pengundang. Bagaimana itu bisa terjadi? Ini jawabannya. Dua murid yang per- caya, yang mengundang orang asing masuk ke dalam lingkaran hidupnya yang paling dalam, kini dibimbing masuk ke dalam bagian terdalam dari kehidupan si tuan rumah yang baru. Yesus langsung mengambil alih kendali rumah. Dia yang mengatur dan mengendalikan. Ia yang melayani meja dan mempersilahkan makan.

“Sekarang, waktu Ia duduk makan dengan mereka, Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka.” Itu adalah sikap yang dibuat oleh kepala rumah. Itu bukan sikap yang dibuat oleh seorang tamu. Itu sikap yang dibuat diantara sahabat dekat. Sangat sederhana, sangat biasa, sungguh nyata, dan tetap sangat berbeda.

Apa lagi yang dapat kamu lakukan ketika kamu berbagi makanan dengan sahabatmu? Kamu mengambil roti itu, mem- berkatinya, memecahkannya, dan membagi-bagikannya. Dan untuk itulah roti itu; untuk diambil, diberkati, dipecah-pecah, dan dibagikan. Tidak ada yang baru, tidak ada yang mengejutkan. Itu terjadi setiap hari, di setiap rumah. Dua murid tadi telah mengalami peristiwa seperti itu setiap hari. Dengan pribadi yang sama. Dengan cara yang sama. Dengan kehan- gatan yang sama. Bahkan kini mereka ingat bahwa ‘orang asing’ ini dulu telah menceritakan begitu mendalam makna roti baru. Roti yang mampu membawa kepada kehdupan kekal. Roti yang kalau kita memakannya; kita tidak akan lapar lagi.

Semuanya masih terasa sama.

Dan jelaslah semuanya. Tanpa berbagi, tidak ada meja perjamuan. Tanpa adanya komunitas, tidak ada pertalian persah- abatan. Dan tanpa itu semua tidak ada damai, cinta dan harapan. Dengan berbagi makanan itu semuanya dapat menjadi baru. Dan mereka menyadari dengan jelas siapa orang asing itu. Dia adalah yang memberikan dirinya sebagai makanan.

Dia yang kini masuk ke dalam rumah mereka; telah menjadi bagian dari diri mereka, bahkan bagian yang paling dalam.

Ia mengerti setiap rahasia kita; bahkan lebih paham dari kita sendiri. Semuanya mereka pahami dengan jelas sejak Ia membagikan makanan.

Sahabaat, mungkin kita lupa bahwa Ekaristi itu adalah bahasa manusia yang sederhana. Bahasa tubuh yang sederhana.

Bahasa membagikan makanan. Namun sayang, karena kerapkali itu telah menjadi kabur dan rumit. Jubah, lilin, misdinar, buku besar, tangan yang terentang, altar yang agung, lagu-lagu pujian, umat yang banyak, telah membuat semuanya kelihatan rumit. Tak ada lagi yang kelihatan sangat sederhana, sangat biasa, sangat nyata. Semuanya menjadi rumit;

karena kita tidak mau masuk ke dalam kedalaman Ekaristi itu sendiri. Kita tidak benar-benar masuk ke dalam hakikat Ekaristi itu sendiri.

Sebenarnya setiap perayaan kita; entah ekaristi megah atau sederhana; entah dengan koor yang hebat atau bahkan tanpa nyanyian; sebenarnya sama dengan apa yang terjadi di dusun kecil itu. Semuanya berpusat pada roti yang diambil, diberkati, dipecah-pecah dan dibagikan. Semua berpusat pada anggur yang dituang, yang diberkati dan dibagikan. Itu terjadi dalam setiap meja perjamuan. Itulah Ekaristi. Di sanalah kita harus turut serta. Masuk pada kedalaman Ekaristi.

Menjadi bagian yang penting; karena membiarkan Tuhan membawa kita kepada kedalaman rahasia-Nya sendiri.

Sahabat, setiap kali kita mengundang Yesus masuk ke dalam rumah kita, kita mengundang-Nya masuk ke dalam ba- gian hidup kita yang terang maupun yang gelap. Kita mengundang Tuhan ke dalam seluruh diri kita. Tidak ada lagi yang disembunyikan. Dan di sanalah kita mempersilahkan Yesus menjadi kepala meja. Kita memberikan tempat yang utama kepada-Nya. Di sanalah Dia akan mengambil roti, memberkati, memecah-mecah dan memberikannya kepada kita.

“Ambilah dan makanlah, inilah Tubuhku. Ambilah dan minumlah, inilah Darahku. Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku.”

Itu yang selalu kita dengar dalam Ekaristi. Apakah ada yang baru? Tidak. Semuanya sama. Semuanya sederhana.

Apakah ada yang mengejutkan kita? Tidak, karena semuanya sederhana dan biasa. Lantas apakah yang kita rasakan?

Apakah hati kita tidak sontak terbakar? Atau semuanya berlalu biasa saja? Apakah karena sudah terlalu biasa, sehingga kita tidak mendengar seruan dan tawaran-Nya lagi? Padahal undangan itu juga menyimpan permohonan, menyimpan sebuah tugas bagi kita.

(5)

Sahabat, mungkin kita akan merasakan lagi seruan hati Yesus kalau Beliau berkata demikian: “Ambilah dan makanlah.

Ambilah yang banyak agar engkau kuat, ambillah agar engkau bergembira, ambillah dan rasakanlah betapa aku mencin- taimu.”

Pemberian diri ini adalah pemberian diri Tuhan. Pemberian diri seorang kekasih kepada yang diaksihi. Jika sudah demikian, masihkan tidak terasakan? Di dalam Ekaristi Yesus memberikan segalanya. Roti itu bukan saja gambaran sederhana akan makanan dan anggur itu bukan sekadar gambaran dari minuman kita. Roti dan anggur itu adalah Tubuh dan Darah-Nya. Tubuh dan Darah-Nya yang diberikan kepada kita. Dia menjadi sebuah hadiah yang sangat berarti bagi kita. Hadiah terindah dari Tuhan, yaitu anak-Nya sendiri menjadi santapan bagi kita. (bersambung)

MASA KANAK KANAK

Oleh : Ben Sugija

Entah mengapa, saya senang mengenang masa lalu, masa kanak kanak yang indah dan sering lucu. Selain mengenang rasa indah masa lalu, saya juga sering melakukankan refleksi dan introspeksi mengenai pengalaman tersebut, yang salah satunya saya ceritakan dibawah ini.

Saya dibesarkan di Jakarta, yang sederhana dan boleh disebut ‘kampung’ waktu itu, di daerah Petodjo. Penduduknya- pun kebanyakan orang “betawi’ dengan slang-nya yang cukup medok. Pendidikan rata rata-pun tidak tinggi dan ditahun 1960-an pendidikan tinggi sangat langka. Suasana yang penuh kesederhanaan ini ternyata tidak mengurangi kenya- manan memiliki teman yang bermacam-macam latar belakang sosial ekonomis. Dapat diduga, kebanyakan teman saya beragama Islam apalagi didalam masyarakat Jakarta asli. Dalam bulan Ramadhan / puasa, sayapun sering ikut teman teman ikut-ikutan ber-teraweh sambil bergurau. Indah !

Dilain pihak karena masuk sekolah Katolik, pendidikan agama Katolik-pun mulai memainkan pengaruh dalam kehidupan saya, walaupun hanya ditingkat sekolah dasar. Doa Bapak kami dan Salam Maria sangat bangga kalau bisa menghafal- nya, termasuk Syahadat para Rasul, doa cinta , tobat dsb. Sehubungan dengan teman teman se-permainan, tentu saja kita sering terlibat dalam pembicaraan mengenai agama dan sering cukup ‘intens’; dan bagusnya tidak pernah sampai berkelahi.

Perdebatan mengenai agamapun tidak dapat dicegah, mulai dengan permainan kata kata maupun pertanyaan. Salah satunya, pertanyaan kalau ada Allah Bapa dan Allah Putera, mana Allah Ibu-nya? Terus terang saya kewalahan untuk menjawabnya. Begitupun dalam berdoa, masing masing meng-claim Tuhan-nya yang lebih hebat, mampu membuat mukjisat yang luar biasa. Saya masih ingat berdebat dengan seorang ‘musuh’; Tuhan siapa yang lebih hebat? Kami masing masing berdoa untuk meminta datangnya hujan walaupun harinya terang benderang. Dengan usuk, saya berdoa Bapak Kami, Kemuliaan Allah Bapa, sampai Salam Maria untuk mohon diberikan hujan. Dapat diduga apa yang telah terjadi, hujannya tidak ada, dan saya sering tertawa kalau ingat pengalaman kanak kanak tersebut. Apalagi kalau saya berpikir, kok berani-beranian untuk meminta Tuhan melakukan mukjisat, apa sih artinya seorang anak kecil. Tetapi, me- mang begitulah dimensi maupun intelektualitasnya seorang anak anak.

Kembali kepada cerita pengalaman kanak kanak saya, marilah kita melihat sekeliling kita sendiri. Apakah sikap kanak kanak itu hanya dilakukan oleh anak anak saja, atau juga dilakukan oleh orang dewasa maupun orang yang lanjut usia.

(6)

Banyak kejadian dan pengalaman nyata yang bisa dilihat di media cetak, layar televisi dimana orang orang atau kelom- pok yang berlomba lomba, mempromosikan “Tuhan mereka”, membanding-bandingkan yang mana yang lebih hebat.

Kalau ada kelompok yang sanggup melakukan sesuatu dalam bentuk mukjisat atau magis, maka kelompok tersebut membuat klaim sepertinya Tuhan memihak kelompok tersebut. Melalui televisi, kita dapat menyaksikan kejadian yang

‘luar biasa’ dimana orang yang sakit, lumpuh dsb disembuhkan lewat doa atau sentuhan tangan. Kita juga dapat me- nyaksikan dalam suatu perayaan agama dimana orang dapat berjalan diatas bara api atau peragaan dimana bagian dari tubuh ditusuk atau ditembus dengan benda tajam.

Salah satu diskripsi tentang Tuhan adalah, Tuhan itu ‘transcendent’; maha besar, kudus, diluar kemampuan

imajinisasi,definisi dan antisipasi manusia. Disamping itu Tuhan juga ‘immanent’; berada dimana mana, termasuk dalam diri kita sendiri, didalam sel yang terkecil dan tatanan atau sistem tubuh kita sampai ke alam semesta. Santo Agustinus sampai sampai bisa mengatakan, ‘intimior intimo meo’ , Tuhan lebih dekat kediriku daripada aku terhadap diriku sendiri.

Kita bisa saja menyangkal keberadaan Tuhan, tetapi kita tidak dapat menolak ‘hadiah-Nya’ berupa intervensi-Nya yang mengatur system tubuh kita yang begitu rumit, tetapi akurat, tatanan alam semesta dsb.

Saya melihatnya semua ini adalah ekspresi kasih Allah kepada ciptaan-Nya dan bukanlah sebuah ‘kebetulan’. Istilah kebetulan ini sering diluncurkan oleh kelompok orang yang merasa cerdas atau ilmuwan, tetapi gagal menerima tran- sendansi ilahi. Secara bersamaan, semua tatanan ini memberikan kehidupan kepada kita semua, Kalau kita menolak intervensi Allah itu, dan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan tatanan-Nya, konsekwensi fatal bisa terjadi dan eksistensi kitapun dapat terganggu. Saya melihatnya, kenyataan ini merupakan tantangan akal budi maupun logika untuk bagaimana menyikapi diri kita terhadap Allah.

Sesuai dengan bertambahnya usia, akal budi kita diharapkan juga ikut tumbuh sehingga persepsi kita mengenai Tuhan juga menjadi dewasa tetapi tidak berlebihan. Saya pernah membaca buku katekismus gereja Katolik menegenai perintah Allah yang pertama. Pada nomor 2083 tertulis, Jesus menyimpulkan kewajiban manusia terhadap Allah dalam perkata- an, ‘Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu’

Tantangan akal budi kita mengenai Tuhan harus bebas bertumbuh terus, tidak dapat dipengaruhi oleh orang ketiga.

Dengan begitu, kita tidak akan mudah terjerumus menjadi anggauta sebuah ‘cult’. Juga, ironis kalau kita selalu mengacu atau mengukur Tuhan dalam bentuk bentuk yang extra ordinary dan spektakuler, magis maupun yang sejenisnya.

Penggunaan akal budi memang dapat membuat kita percaya diri, tetapi harus di-waspadai jangan sampai menjadi aro- gan, sehingga merasa lebih dekat kepadaNya, memiliki pengetahuan mengenai Tuhan yang lebih, dibandingkan dengan orang lain.

Saya teringat akan pernyataan seorang teman yang mengatakan, dia tidak percaya kalau Tuhan ingin dan perlu di- sanjung sanjung, dipuja-puja apalagi sampai dibawa keatas panggung pertunjukan. Saya setuju sekali atas pernyataan- nya. Yang penting, kita mengakui dengan tulus bahwa Allah itu pencipta kita. Menghayati dan menyadari diskripsi Tuhan, transcendent dan immanent adanya, Tuhan akan membimbing kita kepada sikap yang sederhana, rendah hati disertai penuh penyerahan diri.

Referensi

Dokumen terkait

Banyak orang mulai kehilangan iman dan meninggalkan Tuhan karena mereka berhadapan dengan banyak kenyataan yang tidak bisa dijelaskan dengan gambling oleh akal budi.. Mari kita

Pantang dan puasa bagi orang Katolik adalah suatu bentuk latihan rohani yang mendekatkan diri kita pada Tuhan dan sesama.. Kewajiban puasa hanyalah pada hari Rabu Abu dan Jumat

Kita diajak untuk berefleksi dan bersyukur kepada Tuhan bahwa semua ini telah berlangsung baik, memang dengan segala kekurangan dan kelebihannya.. Dalam edisi ini kita juga

Dengan demikian kita dapat melihat sekali lagi bahwa untuk mengikuti Kristus, untuk melaksanakan kasih sejati kepada Tuhan dan kepada sesama, seringkali orang yang

Menjadikan Tuhan sebagai tujuan hidup berarti dalam segala hal yang kita lakukan, kita hanya menyukakan hati Bapa dan Tuhan Yesus Kristus... menghayati bahwa dunia ini bukan

Pelbagai upaya pertolongan yang kita usahakan dapat makin kuat, makin ambil bagian dalam yang dikerjakan Yesus dan yang kini dilakukan bersama dengan kekuatan yang dikirimkannya

Kita harus belajar untuk melihat lebih dekat, di bawah permukaan, dan untuk mengenali apa yang meninggalkan tanda baik dan lama dalam hati kita, karena itulah yang berasal dari

Selama ini banyak orang yang berpendapat Adven sebagai masa penantian; tetapi dalam artikelnya pastor Boni ingin kita fokus juga atas maksud kedatangan Tuhan kepada kita yang