• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Ekuitas Merek Universitas Kristen Satya Wacana: Analisis Deskriptif Kuantitatif T2 912007016 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Ekuitas Merek Universitas Kristen Satya Wacana: Analisis Deskriptif Kuantitatif T2 912007016 BAB II"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

TELAAH PUSTAKA

2.1 KONSEP BIDANG JASA /SERVICE

Service atau bidang jasa memiliki cakupan yang luas

dan beragam sehingga tidak mudah menemukan definisi yang

dapat mencakup semua aspek. Secara singkat Kotler &

Armstrong (2012) mendefinisikan jasa sebagai suatu produk

yang bersifat intangible/tak berwujud. Sedangkan Lovelock &

Wright (2002) menyatakan bahwa jasa adalah suatu tindakan

atau unjuk kerja yang pada dasarnya bersifat intangible

(meskipun prosesnya mungkin berkaitan erat dengan aspek

fisik), serta biasanya tidak berwujud kepemilikan. Definisi lain

yang juga diajukan oleh Lovelock & Wright (2002) bahwa jasa

adalah aktivitas ekonomi yang menciptakan value dan

menyediakan benefit bagi konsumen pada saat dan di tempat

tertentu atas kehendak pihak penerima jasa tersebut.

Jenis, cakupan, maupun sifat bidang jasa yang beragam

menjadikan suatu produk seringkali tidak dapat dikategorikan

sebagai murni jasa ataupun murni barang/goods. Suatu

produk mungkin lebih dominan sebagai jasa, atau sebaliknya

lebih dominan sebagai barang/goods sedangkan aspek

jasa/service hanya sebagai pendukung saja (Mudie & Pirrie,

(2)

Gambar II.1 Skala Dominasi Elemen Jasa & Barang

Sumber: Shostack, 1982 dalam Mudie & Pirrie, 2006

Bidang jasa memiliki karakter khusus yang

membedakan jasa/service dengan barang/goods. Tabel

berikut ini merangkum berbagai ciri/karakter khusus yang

melekat pada bidang jasa/service :

Tabel II.1 Ciri Khusus Bidang Jasa / Service

CIRI KHUSUS KETERANGAN

Tidak terdapat

kepemilikan/ownership.

Konsumen tidak memperoleh

kepemilikan permanen atas sesuatu yang bersifat tangible/berwujud. Meskipun konsumen pada umumnya berfokus pada hasil akhir, namun bagaimana perlakuan terhadap mereka selama proses berlangsung juga ikut berpengaruh.

Unjuk kerja/performance

bersifat tak

berwujud/intangible.

Pada umumnya jasa tidak memiliki fitur fisik yang dapat dirasakan dengan panca indera calon konsumen sebelum

transaksi dilaksanakan. Dapat

dikatakan bahwa pemasar menjual janji kepada calon konsumen. Benefit

yang diperoleh konsumen juga bukan pada karakter fisik melainkan lebih kepada unjuk kerja/performance. Konsumen banyak terlibat

dalam proses.

(3)

dikehendaki, sekaligus mempengaruhi proses penciptaan & distribusi jasa tersebut.

Aspek manusia

merupakan bagian yang penting.

Unjuk kerja/performance suatu jasa banyak dipengaruhi kualitas manusia yang terlibat di dalamnya & interaksi yang terjadi tidak hanya antara pihak penyedia jasa dengan konsumen, tetapi

kadang-kadang diperlukan juga

interaksi antar konsumen.

Input maupun output

sangat bervariasi.

Penetapan standar serta pengendalian variasi input maupun output tidak mudah dilakukan dan berimbas pada produktivitas, pengendalian kualitas, serta hasil akhir yang konsisten. Konsumen tidak mudah

mengevaluasi.

Jasa memiliki atribut yang baru dapat dirasakan dan dicermati sewaktu

ataupun setelah konsumen

mengalaminya, tetapi bahkan setelah memperoleh hasilnya pun seringkali tidak mudah bagi konsumen untuk menilainya.

Tidak dapat di-inventaris & mudah

lenyap/perishable.

Jasa merupakan sesuatu yang

berdasarkan unjuk kerja. Fasilitas, peralatan & tenaga kerja yang

disiapkan hanya menggambarkan

kapasitas, tidak menggambarkan

output jasa itu sendiri.

Inseparability/diproduksi

& dikonsumsi pada waktu yang kuranglebih

bersamaan.

Pada umumnya jasa bersifat real time

& seringkali konsumen harus hadir secara fisik serta terlibat secara langsung.

Variability/heterogeneity

/sifat heterogen

Standarisasi jasa relatif sulit dilakukam, akan tetapi dari waktu ke

waktu penyedia jasa berupaya

mewujudkan standarisasi dengan berbagai cara.

Penyedia jasa/sevice

provider merupakan

faktor yang sangat penting.

Persepsi calon konsumen atas penyedia jasa/provider merupakan persepsi mereka atas jasa itu sendiri.

(4)

Sama halnya dengan penyedia produk berupa barang,

perusahaan atau organisasi sebagai pihak penyedia jasa

bertujuan membangun relasi yang menguntungkan dan

berjangka panjang dengan konsumen. Jasa adalah sesuatu

yang dilaksanakan, bukan diproduksi dan penyampaian jasa

tersebut merupakan periode yang kritis. Disaat suatu jasa

dikonsumsi atau digunakan, pada saat yang kurang lebih

bersamaan, konsumen akan menangkap kesan kualitas serta

mengukur level kepuasan yang akan menjadi landasan

apakah akan melakukan pengkonsumsian ulang atau tidak

serta kesediaan merekomendasikan ke pihak lain (Brown,

2005).

2.2 KONSEP PENGELOLAAN MEREK/ BRAND

MANAGEMENT DAN BRAND AUDIT

2.2.1 BRAND MANAGEMENT

Branding atau pengelolaan brand mulai banyak

dipelajari, diteliti, dan diperdalam pada era1980-an. Dalam

kurun waktu sekitar 16 tahun bermunculan berbagai konsep,

teori, dan gagasan mengenai brand dan pengelolaannya.

Sejauh ini, terdapat 7 pendekatan terhadap pengelolaan brand

(5)

Tabel II. 2 Pendekatan terhadap Pengelolaan Brand

JENIS PENDEKATAN

KATA KUNCI ASUMSI

Pendekatan Ekonomi

(Economic

Approach)

manusia ekonomi, teori

transaksi, bauran

pemasaran (4P).

Keputusan pengkonsumsian

berdasarkan rasional &

pertukaran antara

brand dan konsumen

bersifat linier,

fungsional & berbasis transaksi. identitas yang menyatu & koheren,secara

internal &

eksternal,perusahaan

membangun brand

dengan identitas visual & perilaku.

ekuitas merek berbasis konsumen, citra brand, asosiasi brand.

Brand adalah konstrual kognitif dalam benak

konsumen, brand

mengendap dalam

pikiran konsumen

tetapi pemasar masih dapat mengendalikan

kepribadian brand, diri sendiri/self,

archetypes/pola perilaku yang ditiru pihak lain.

Watak kepribadian/trait

merupakan pendorong

penting ikatan

emosional antara brand

dengan konsumen.

Pendekatan Relasional

(Relational

Approach)

Relasi antara brand

dengan konsumen,

kualitas relasi suatu

brand.

Brand dipersepsikan sebagai partner relasi yang berkelanjutan.

Relasi brand yang

melibatkan banyak

(6)

Approach) brand. Pendekatan

Kultural

(Cultural

Approach)

Globalisasi, budaya pop, ikon merek, tanpa logo.

Brand dipersepsikan sebagai benda sejarah budaya & dikenal adanya persepsi budaya bagi brand.

Sumber : Brown, 2005 & Heding, 2009.

Ketujuh pendekatan tersebut merupakan serangkaian

evolusi, namun dengan munculnya pendekatan baru tidak

berarti pendekatan yang sebelumnya menjadi ‘mati’ atau tidak

digunakan lagi. Dengan kata lain, pendekatan-pendekatan

tersebut bersifat komplemen, bukan substitusi.

Dua pendekatan pertama, yaitu Pendekatan Ekonomi &

Pendekatan Identitas berfokus pada perusahaan sebagai pihak

sender/pengirim dalam proses pengkomunikasian suatu

brand (periode tahun 1985-1992).

Tahap selanjutnya (periode tahun 1993-1999) yang

diwujudkan melalui Pendekatan Berbasis Konsumen,

Pendekatan Kepribadian & Pendekatan Relasional,

menunjukkan adanya pergeseran fokus ke arah pihak

penerima komunikasi brand. Pengumpulan data juga tidak

semata-mata kuantitatif, dimungkinkan adanya gabungan

antara kuantitatif & kualitatif, atau bahkan murni kualitatif.

Dalam periode paling akhir (tahun 2000-2006) muncul

pendekatan baru yang berfokus pada konteks & budaya,

untuk menyikapi perubahan budaya & perubahan teknologi

yang pesat, yang turut mempengaruhi peranan pengelolaan

brand. Perubahan-perubahan tersebut antara lain otonomi

(7)

brand berbasis internet, dan sebagainya.

2.2.2 BRAND AUDIT

Brand audit merupakan suatu pengujian yang

komprehensif terhadap suatu brand untuk mengetahui

ekuitas brand tersebut (Keller, 2008). Brand audit berfokus

pada konsumen dan digunakan sebagai suatu alat untuk

menentukan seberapa ‘sehat’ suatu brand dan sekaligus

menunjukkan bagaimana memperbaiki maupun mengangkat

ekuitas merek untuk brand tersebut (Keller 2008).

Heding et al (2009) menyatakan bahwa brand

audit pada umumnya terdiri dari brand inventory dan brand

exploratory. Brand inventory merupakan deskripsi internal

yang mendetil mengenai bagaimana brand tersebut

dipasarkan selama ini. Sedangkan brand exploratory adalah

investigasi eksternal mengenai makna brand tersebut bagi

konsumen.

Manfaat brand audit antara lain; 1)melihat adakah

kesenjangan atau ketidaksesuaian antara citra merek/brand

image yang dikehendaki oleh pemilik brand dengan fakta

mengenai brand sesuai persepsi yang ada dalam pemikiran

konsumen, 2)menemukan kesempatan-kesempatan untuk

menopang ataupun meningkatkan suatu brand, 3)menemukan

maupun memformulasikan ulang strategi yang tepat untuk

menguatkan brand tersebut (Ford, 2005).

(8)

   

2.3 KONSEP EKUITAS MEREK

Brand atau merek adalah sebuah nama yang

memiliki kekuatan untuk memengaruhi pasar, dan kekuatan

tersebut akan terus meningkat apabila semakin banyak orang

yang mengetahuinya, merasa yakin serta mempercayainya

(Kapferer, 2008). Secara umum terdapat dua sudut pandang

bagi brand, yaitu dari perspektif finansiil (Farquhar, Han &

Ijiri 1991; Simon & Sullivan 1993; Doyle 2001) maupun

perspektif konsumen (Aaker 1991; Keller 1993; Shocker,

Srivastava & Rueckert 1994; Chen 2001).

Dari perspektif finansiil, nilai suatu brand diukur dari

aliran dana/cashflow tambahan yang disebabkan oleh brand

tersebut (Kapferer, 2008). Hal tersebut dapat terjadi apabila

konsumen lebih memilih suatu brand, sekalipun brand

tersebut relatif lebih tinggi harganya dibandingkan produk

pesaing. Konsumen memiliki keinginan membayar lebih

apabila terdapat keyakinan (belief) mengenai suatu brand

serta terdapat keterikatan (bond) dengan brand tersebut, yang

diyakini sebagai hasil dari upaya-upaya pemasaran tertentu.

Dengan demikian, kedua perspektif tersebut bukanlah dua hal

yang terpisah melainkan berkaitan erat. Ekuitas konsumen

merupakan awal dari ekuitas finansiil suatu brand. Dengan

(9)

brand tersebut telah terlebih dahulu memiliki aset yang

terletak dalam benak konsumen, seperti kesadaran merek,

keyakinan atas superioritas merek, keterikatan emosional,

dan sebagainya.

Dari perspektif konsumen, Aaker (1991) mendefinisikan

ekuitas merek sebagai aset merek yang dikaitkan dengan

nama atau simbol suatu merek, yang dapat bersifat

menambah ataupun mengurangi nilai suatu produk maupun

jasa. Aset-aset merek tersebut oleh Aaker dikelompokkan

dalam dimensi-dimensi kesadaran merek, asosiasi merek,

kualitas yang dipersepsikan, dan loyalitas merek.

Selanjutnya, Keller (1993) memperkenalkan model

Customer-Based Brand Equity yang merupakan pendekatan

dari perspektif konsumen. Hal ini didasarkan pada keyakinan

Keller bahwa kekuatan suatu brand ada pada apa yang telah

dipelajari, dirasakan, dilihat dan didengar mengenai brand

tersebut, sebagai hasil dari pengalaman konsumen dalam

kurun waktu tertentu. Dengan kata lain, Keller

mendefinisikan Customer-Based Brand Equity sebagai efek

diferensial dari pemahaman konsumen, sebagai respon atas

pemasaran suatu brand (Keller, 1993) Dalam mengukur

ekuitas merek, Keller menggunakan dimensi-dimensi Brand

Image dan Brand Awareness (yang terdiri dari Brand

Recognition dan Brand Recall ).

Berikut ini adalah tabel rangkuman mengenai

pendekatan terhadap ekuitas merek, khususnya dari

(10)

Tabel II. 3 Pendekatan terhadap Ekuitas Merek dari Perspektif Konsumen

PENCETUS GAGASAN KONSEP PENGUKURAN

Aaker (1991) o Kesadaran Merek (brand awareness)

o Asosiasi Merek (brand association)

o Kualitas yang Dipersepsikan (perceived quality)

o Loyalitas Merek (brand loyalty)

Keller (1993) • Citra merek (brand image)

• Kesadaran Merek ((brand awareness)

 

2.3.1 Sub Konsep Brand Awareness (Kesadaran merek)

Pada dasarnya, brand awareness adalah seberapa

konsumen merasa familiar/tidak asing lagi dengan suatu

brand tertentu (Kapferer, 2008; Keller, 1993). Lebih lanjut lagi

dijelaskan bahwa kesadaran merek adalah kemampuan

konsumen untuk mengingat kembali bahwa suatu merek

merupakan bagian dari suatu kategori produk. Dengan kata

lain, kesadaran merek menunjukkan seberapa kuat suatu

merek “tertanam” dalam benak konsumen (Aaker, 1991,

Keller, 1993, Pappu, 2005).

Kesadaran merek sangat penting karena pada umumnya

konsumen akan cenderung memilih apa yang familiar dan

dikenal, dibandingkan dengan merek lain yang samasekali

tidak diketahui. Bahkan brand yang tidak disadari

(11)

konsumen samasekali (Miller & Muir, 2004).

Meskipun demikian, kesadaran merek bukan sekedar

aspek kognitif belaka, melainkan secara tidak langsung

menyiratkan atau menggambarkan berbagai dimensi positif

lainnya, seperti; kualitas, kepercayaan, kehandalan,

kedekatan, rasio yang baik antara kualitas dengan harga, dan

sebagainya (Kapferer, 2008). Itulah sebabnya, kesadaran

merek dinyatakan sebagai prasyarat bagi ekuitas merek

berbasis konsumen. Apabila konsumen atau calon konsumen

tidak memiliki kesadaran/awareness terhadap suatu brand

tertentu, maka pembicaraan lebih lanjut mengenai ekuitas

merek bagi brand tersebut menjadi tidak relevan lagi (Heding,

et al 2009).

Aspek kesadaran merek ini diindentifikasikan melalui

brand recognition dan brand recall (Keller, 1993 & Heding, et al

2009). Brand recognition adalah kemampuan konsumen untuk

membedakan suatu brand (yang pernah didengar atau dilihat)

dengan brand lain dalam satu kategori produk. Dengan kata

lain, brand recognition seakan-akan memberikan konfirmasi

bahwa konsumen pernah terekspos pada brand tersebut

(Heding, et al 2009). Brand recall merupakan kemampuan

konsumen untuk mengingat kembali suatu brand tertentu,

apabila diberikan kategori produk dan/atau hal-hal yang

dapat dipenuhi oleh kategori tersebut (Keller, 1993). Melalui

Brand recognition dan/ atau brand recall, pemasar berusaha

menggali top of mind brand dari dalam benak konsumen,

(12)

harus dapat diidentifikasikan dengan jelas dan benar, baik

melalui petunjuk tertentu/aided maupun tanpa

petunjuk/non-aided.

2.3.2 Sub Konsep Brand Association (Asosiasi Merek)

Menurut Keller (1993), brand association adalah semua

kesan emosional yang tertanam dalam benak konsumen

mengenai suatu brand. Sedangkan Miller & Muir (2004)

menyatakan bahwa asosiasi merek adalah semua citra

ataupun gagasan yang dikaitkan dengan suatu brand dan

inilah makna suatu brand di mata konsumen.

Brand association atau asosiasi merek terbagi dalam tiga

kategori; attributes/atribut, benefits/manfaat atau keuntungan

dan attitudes/sikap (Heding, et al 2009).

Atribut adalah semua ciri-ciri sifat atau karakter suatu

produk/jasa yang dapat digambarkan oleh konsumen. Dengan

kata lain, atribut adalah segala sesuatu yang menurut

konsumen dimiliki oleh suatu produk/jasa dan berkaitan erat

dengan pengkonsumsian produk atau pemakaian jasa

tersebut. Atribut dapat berupa product-related attribut,

non-product-related attribut (Kapferer, 2008; Miller & Muir, 2004 ).

Product-related attribute adalah asosiasi langsung

dengan suatu produk/jasa, meliputi atribut yang bersifat fisik

maupun perasaan yang timbul sewaktu mengkonsumsi suatu

produk, baik barang maupun jasa. Sedangkan

(13)

pembelian dan pengkonsumsian suatu produk, baik barang

maupun jasa. Misalnya informasi harga, kemasan produk,

kesan mengenai tipe orang yang mengkonsumsi produk

tersebut, dan kesan mengenai konteks penggunaan produk

tersebut.

Manfaat/benefit merupakan nilai/value yang dilekatkan

oleh konsumen terhadap atribut suatu brand (Heding et al,

2009). Benefit terdiri atas tiga kategori: functional, experiental

dan symbolic.

Functional benefit/keuntungan fungsional adalah

ekspektasi pribadi mengenai apa yang bisa dilakukan suatu

brand. Meskipun hal ini berkaitan dengan fitur-fitur yang

berkaitan dengan produk tersebut, namun evaluasinya

bersifat personil. Dengan demikian, functional benefit bersifat

lebih subyektif jika dibandingkan dengan product-related

attribut. Experiental benefit berkaitan dengan keterlibatan

indera kita, seperti; bagaimana rasanya menggunakan brand

tersebut? Kesenangan seperti apa yang didapat berkenaan

dengan pengkonsumsian suatu brand? Berikutnya adalah

symbolic benefit, yaitu ekspresi diri dan bagaimana seseorang

berusaha menunjukkan siapa dirinya melalui penggunaan

suatu brand tertentu.

Aspek terakhir yaitu attitude/sikap menggambarkan

evaluasi konsumen secara menyeluruh terhadap suatu brand

(Ford, 2005).

Brand association secara keseluruhan merupakan unsur

(14)

menggambarkan dengan tepat bagaimana citra brand tersebut

dalam benak konsumen. Konsumen diharapkan memiliki

brand association yang bersifat disukai/favorable, kuat/strong

dan unik/unique, terutama jika dibandingkan dengan brand

pesaing (Heding et al, 2009). Bagi konsumen, asosiasi merek

yang favorable, strong & unique tersebut akan menciptakan

diferensiasi serta menimbulkan alasan pengkonsumsian.

2.3.3 Sub Konsep Perceived Quality (Kualitas yang

Dipersepsikan)

Persepsi adalah respon seseorang atas stimuli yang

diterimanya melalui seluruh panca indera-penglihatan,

pendengaran, sentuhan, perasa dan penciuman. Selanjutnya,

penelitian menunjukkan bahwa persepsi tidak hanya

dipengaruhi oleh stimuli yang sesungguhnya melainkan juga

tergantung pada apa yang ingin mereka persepsikan (Boone &

Kurtz, 2012). Dengan kata lain, persepsi merupakan hasil

interaksi antara faktor stimulus & faktor individu.

Faktor individu yang dimaksud adalah sikap/attitude

individu tersebut. Sikap/attitude merupakan kecenderungan

evaluasi, emosi, dan tindakan terhadap suatu obyek atau

gagasan, baik positif maupun negatif dan biasanya bertahan

relatif lama (Boone & Kurtz, 2012).

Konsumen memiliki persepsi masing-masing terhadap

jasa yang sedang atau akan digunakan. Perceived quality atau

kualitas yang dipersepsikan, merupakan dugaan atau

(15)

keseluruhan, jika dibandingkan dengan brand alternatif

(Zeithaml et al, 1990; Keller, 1993; Aaker 1996). Hal ini

sejalan dengan pernyataan Miller & Muir (2004) bahwa

perceived quality adalah penilaian konsumen atas kualitas

yang diharapkan akan diberikan oleh suatu brand.

2.3.4 Sub Konsep Perceived Price (Harga yang

Dipersepsikan)

Dari perspektif konsumen, harga adalah apa yang

diberikan atau dikorbankan untuk memperoleh suatu produk,

baik barang maupun jasa (Monroe dan Krishnan, 1985;

Chapman, 1986). Dalam bidang jasa,“harga” tersebut memiliki

beragam istilah, seperti biaya, ongkos, tarif, honor dan

sebagainya.

Harga atau biaya dalam memperoleh atau menikmati

suatu jasa bersifat relatif dan seringkali menggambarkan

kualitas yang akan diperoleh konsumen. Dengan demikian,

pihak penyedia jasa dapat memiliki berbagai tujuan dalam

penetapan biaya, apakah sebagai sarana bertahan/survival

dalam bisnis, memaksimalkan profit dan jumlah penjualan,

ataupun sebagai prestige/gengsi (Mc Donald, et al 2011).

Selain itu perlu dibedakan antara objective price (harga

produk yang sesungguhnya) dengan perceived price (harga

yang diperkirakan oleh konsumen) (Maxwell, 2008; Zeithaml

1988). Selanjutnya, beberapa penelitian membuktikan bahwa

konsumen tidak selalu mengetahui atau mengingat harga

(16)

cenderung memperkirakan harga dengan cara mereka sendiri

(Zeithaml 1988; Dickson dan Sawyer, 1985).

2.3.5 Sub Konsep Brand Loyalty (Loyalitas Merek)

Brand Loyalty adalah ikatan emosional antara brand

dengan konsumen, yang pada akhirnya dapat mendorong ke

arah pengkonsumsian ulang dan dengan suka rela menjadi

‘duta’ brand yang akan memberikan referensi positif tentang

brand tersebut kepada pihak lain (Miller & Muir, 2004). Brand

Loyalty merupakan kombinasi berbagai elemen, termasuk di

dalamnya tingkat kepuasan konsumen dan brand association

yang positif (Atilgan, 2005). Sementara studi yang dilakukan

oleh Pappu (2005) menggambarkan bahwa persepsi konsumen

atas kualitas akan dikaitkan dengan brand loyalty mereka.

Semakin loyal seorang konsumen terhadap suatu brand,

makin besar kemungkinan konsumen tersebut

mempersepsikan brand tertentu sebagai brand yang

menawarkan kualitas tertinggi, dan sebaliknya.

Terdapat tiga tahapan dalam brand loyalty atau loyalitas

terhadap suatu merek tertentu: brand recognition/pengenalan

merek, brand preference/pilihan merek, dan brand

insistence/bertahan pada suatu merek.

Tahap paling awal adalah brand recognition/pengenalan

merek. Bagi produk baru/yang baru saja dilempar ke pasaran,

pengenalan merek jelas diperlukan, minimal untuk

menimbulkan awareness/kesadaran merek. Bagi produk yang

(17)

dalam upaya mempopulerkan/menjadikan suatu produk

menjadi lebih familiar sehingga meningkatkan kemungkinan

pembelian produk.

Tingkatan berikutnya adalah brand preference, dimana

konsumen mengandalkan ingatannya atas pengalaman

pengkonsumsian yang pernah dialami. Diharapkan

pengalaman positif tadi akan mendorong konsumen untuk

kembali memilih brand tersebut.

Tingkatan yang paling tinggi dalam loyalty adalah brand

insistence, dimana konsumen bersikap menolak brand

lain/brand alternatif dan terus berupaya mencari info yang

lebih luas dan lebih dalam atas brand yang telah menjadi

preference tersebut.

Loyalitas konsumen berkaitan erat dengan sikap

konsumen terhadap stimuli dari pesaing. Sebagai mana

dijelaskan sebelumnya, dengan banyaknya stimuli yang

menyerbu konsumen, konsumen akan semakin giat

menyaring stimuli yang masuk, mana yang akan memperoleh

perhatian dan mana yang akan diabaikan. Konsumen yang

loyal akan cenderung mengabaikan stimuli dari pihak

kompetitor produk barang/jasa yang sejenis.

 

2.4 NALAR KONSEP

Pendidikan tinggi tergolong jasa yang memiliki karakter

(18)

• Dominasi aspek manusia/people dalam proses

pendidikan tergolong besar, dengan demikian sifat

intangibility serta inseparability juga sangat besar.

• Konsumen banyak terlibat dalam proses serta berjangka

waktu relatif panjang, banyak terjadi

kustomisasi/customized serta pertimbangan

konsumen/judgement.

• Aspek manusia (calon mahasiswa maupun dosen) ikut

menentukan kualitas output.

Input & output bisa sangat bervariasi.

• Keputusan calon konsumen memilih suatu perguruan

tinggi tertentu tergolong high-involvement (keputusan ini

tergolong mahal dan berisiko serta pada umumnya

dikonsumsi hanya satu kali) dan pada umumnya

berkaitan dengan status sosial.

Oleh karena itu, calon konsumen-dalam hal ini calon

mahasiswa-kerap mengandalkan aspek asosiasi serta

persepsi.

Asosiasi yang dimaksud disini adalah kecenderungan

meng-asosiasikan aspek yang tangibel (banyaknya fakultas,

kelengkapan fasilitas belajar-mengajar,kemegahan gedung,

besarnya biaya kuliah) hingga aspek yang intangibel

(mutu,gengsi).

Persepsi tidak selalu dipengaruhi oleh stimuli yang

sesungguhnya, melainkan banyak dipengaruhi oleh faktor

individu tersebut. Persepsi individu-dalam hal ini calon

(19)

universitas jika dibandingkan universitas lain yang sejenis,

serta persepsi mengenai besarnya biaya kuliah. Kualitas suatu

universitas pada umumnya belum dapat diketahui dengan

pasti karena jasa pendidikan ini belum dialami/dirasakan

oleh calon mahasiswa. Biaya kuliah pun lebih sering

merupakan persepsi saja karena hanya berwujud perkiraan

calon mahasiswa tersebut.

Selanjutnya, persepsi konsumen tersebut erat kaitannya

dengan loyalty. Persepsi yang positif cenderung mambawa

kepada loyalty yang kian tinggi. Loyalty disini tidak berwujud

pengkonsumsian ulang. Dalam hal jasa pendidikan tinggi yang

belum dialami oleh calon konsumen/calon mahasiswa, loyalty

berwujud keinginan kuliah dan keinginan merekomendasikan

universitas tersebut kepada pihak-pihak lain.

Dengan adanya berbagai karakter unik tersebut, sangat

diperlukan brand audit pendidikan tinggi, khususnya yang

bersifat eksternal. Hal ini sejalan dengan pendapat Ford

(2005) bahwa memahami perilaku konsumen merupakan

salahsatu isu penting dalam memperoleh gambaran yang

diperlukan dalam rangka melaksanakan brand audit.

Pemahaman mengenai perilaku konsumen antara lain dapat

diperoleh melalui pemahaman ekuitas merek berbasis

konsumen. Selanjutnya, dengan gambaran ekuitas merek

berbasis konsumen, diharapkan pihak pengelola pendidikan

tinggi dapat menentukan langkah stratejik seperti apa yang

Gambar

Tabel II. 2  Pendekatan terhadap Pengelolaan Brand
Tabel II. 3  Pendekatan terhadap Ekuitas Merek dari Perspektif

Referensi

Dokumen terkait

KUDUS-PURWODADI NO.93 MENGUMUMKAN RENCANA UMUM PENGADAAN BARANG/JASA UNTUK PELAKSANAAN KEGIATAN TAHUN ANGGARAN TAHUN 2013, SEPERTI TERSEBUT DIBAWAH INI. NON LELANG/

Pengetahuan fisis adalah suatu pengetahuan yang menunjukkan karakteristik fisik (ukuran, bentuk, warna, tekstur dsb) dari suatu objek/benda dan interaksi maupun

Apabila Saudara membutuhkan keterangan dan penjelasan lebih lanjut, dapat menghubungi kami sesuai alamat tersebut di atas sampai dengan batas akhir pemasukan Dokumen

Sehubungan dengan hasil evaluasi dokumen kualifikasi saudar a, per ihal Penawar an Peker jaan Pembangunan Pagar.. kecamatan Sebuku, maka dengan ini kami mengundang

This position is clearly mentioned by the Court of Appeal in the case of Bank Kerjasama Rakyat Malaysia v Emcee Corporation where the learned judge states that, “The law

(c) Letter of Offer, Facility Agreement, Property Purchase Agreement and Property Sale Agreement. For conventional banks, the documents will be the Letter of Offer

10.7 Pemberian penjelasan mengenai isi Dokumen Pengadaan, pertanyaan dari peserta, jawaban dari Pokja ULP, perubahan substansi dokumen, hasil peninjauan lapangan,

− Prototipe sistem SDR skala lab dengan frekuensi maksimal RF 50 MHz dengan daya RF kurang dari 1 mW menggunakan daughterboard Basic Tx-Rx dapat dikembangkan untuk sebuah