TELAAH PUSTAKA
2.1 KONSEP BIDANG JASA /SERVICE
Service atau bidang jasa memiliki cakupan yang luas
dan beragam sehingga tidak mudah menemukan definisi yang
dapat mencakup semua aspek. Secara singkat Kotler &
Armstrong (2012) mendefinisikan jasa sebagai suatu produk
yang bersifat intangible/tak berwujud. Sedangkan Lovelock &
Wright (2002) menyatakan bahwa jasa adalah suatu tindakan
atau unjuk kerja yang pada dasarnya bersifat intangible
(meskipun prosesnya mungkin berkaitan erat dengan aspek
fisik), serta biasanya tidak berwujud kepemilikan. Definisi lain
yang juga diajukan oleh Lovelock & Wright (2002) bahwa jasa
adalah aktivitas ekonomi yang menciptakan value dan
menyediakan benefit bagi konsumen pada saat dan di tempat
tertentu atas kehendak pihak penerima jasa tersebut.
Jenis, cakupan, maupun sifat bidang jasa yang beragam
menjadikan suatu produk seringkali tidak dapat dikategorikan
sebagai murni jasa ataupun murni barang/goods. Suatu
produk mungkin lebih dominan sebagai jasa, atau sebaliknya
lebih dominan sebagai barang/goods sedangkan aspek
jasa/service hanya sebagai pendukung saja (Mudie & Pirrie,
Gambar II.1 Skala Dominasi Elemen Jasa & Barang
Sumber: Shostack, 1982 dalam Mudie & Pirrie, 2006
Bidang jasa memiliki karakter khusus yang
membedakan jasa/service dengan barang/goods. Tabel
berikut ini merangkum berbagai ciri/karakter khusus yang
melekat pada bidang jasa/service :
Tabel II.1 Ciri Khusus Bidang Jasa / Service
CIRI KHUSUS KETERANGAN
Tidak terdapat
kepemilikan/ownership.
Konsumen tidak memperoleh
kepemilikan permanen atas sesuatu yang bersifat tangible/berwujud. Meskipun konsumen pada umumnya berfokus pada hasil akhir, namun bagaimana perlakuan terhadap mereka selama proses berlangsung juga ikut berpengaruh.
Unjuk kerja/performance
bersifat tak
berwujud/intangible.
Pada umumnya jasa tidak memiliki fitur fisik yang dapat dirasakan dengan panca indera calon konsumen sebelum
transaksi dilaksanakan. Dapat
dikatakan bahwa pemasar menjual janji kepada calon konsumen. Benefit
yang diperoleh konsumen juga bukan pada karakter fisik melainkan lebih kepada unjuk kerja/performance. Konsumen banyak terlibat
dalam proses.
dikehendaki, sekaligus mempengaruhi proses penciptaan & distribusi jasa tersebut.
Aspek manusia
merupakan bagian yang penting.
Unjuk kerja/performance suatu jasa banyak dipengaruhi kualitas manusia yang terlibat di dalamnya & interaksi yang terjadi tidak hanya antara pihak penyedia jasa dengan konsumen, tetapi
kadang-kadang diperlukan juga
interaksi antar konsumen.
Input maupun output
sangat bervariasi.
Penetapan standar serta pengendalian variasi input maupun output tidak mudah dilakukan dan berimbas pada produktivitas, pengendalian kualitas, serta hasil akhir yang konsisten. Konsumen tidak mudah
mengevaluasi.
Jasa memiliki atribut yang baru dapat dirasakan dan dicermati sewaktu
ataupun setelah konsumen
mengalaminya, tetapi bahkan setelah memperoleh hasilnya pun seringkali tidak mudah bagi konsumen untuk menilainya.
Tidak dapat di-inventaris & mudah
lenyap/perishable.
Jasa merupakan sesuatu yang
berdasarkan unjuk kerja. Fasilitas, peralatan & tenaga kerja yang
disiapkan hanya menggambarkan
kapasitas, tidak menggambarkan
output jasa itu sendiri.
Inseparability/diproduksi
& dikonsumsi pada waktu yang kuranglebih
bersamaan.
Pada umumnya jasa bersifat real time
& seringkali konsumen harus hadir secara fisik serta terlibat secara langsung.
Variability/heterogeneity
/sifat heterogen
Standarisasi jasa relatif sulit dilakukam, akan tetapi dari waktu ke
waktu penyedia jasa berupaya
mewujudkan standarisasi dengan berbagai cara.
Penyedia jasa/sevice
provider merupakan
faktor yang sangat penting.
Persepsi calon konsumen atas penyedia jasa/provider merupakan persepsi mereka atas jasa itu sendiri.
Sama halnya dengan penyedia produk berupa barang,
perusahaan atau organisasi sebagai pihak penyedia jasa
bertujuan membangun relasi yang menguntungkan dan
berjangka panjang dengan konsumen. Jasa adalah sesuatu
yang dilaksanakan, bukan diproduksi dan penyampaian jasa
tersebut merupakan periode yang kritis. Disaat suatu jasa
dikonsumsi atau digunakan, pada saat yang kurang lebih
bersamaan, konsumen akan menangkap kesan kualitas serta
mengukur level kepuasan yang akan menjadi landasan
apakah akan melakukan pengkonsumsian ulang atau tidak
serta kesediaan merekomendasikan ke pihak lain (Brown,
2005).
2.2 KONSEP PENGELOLAAN MEREK/ BRAND
MANAGEMENT DAN BRAND AUDIT
2.2.1 BRAND MANAGEMENT
Branding atau pengelolaan brand mulai banyak
dipelajari, diteliti, dan diperdalam pada era1980-an. Dalam
kurun waktu sekitar 16 tahun bermunculan berbagai konsep,
teori, dan gagasan mengenai brand dan pengelolaannya.
Sejauh ini, terdapat 7 pendekatan terhadap pengelolaan brand
Tabel II. 2 Pendekatan terhadap Pengelolaan Brand
JENIS PENDEKATAN
KATA KUNCI ASUMSI
Pendekatan Ekonomi
(Economic
Approach)
manusia ekonomi, teori
transaksi, bauran
pemasaran (4P).
Keputusan pengkonsumsian
berdasarkan rasional &
pertukaran antara
brand dan konsumen
bersifat linier,
fungsional & berbasis transaksi. identitas yang menyatu & koheren,secara
internal &
eksternal,perusahaan
membangun brand
dengan identitas visual & perilaku.
ekuitas merek berbasis konsumen, citra brand, asosiasi brand.
Brand adalah konstrual kognitif dalam benak
konsumen, brand
mengendap dalam
pikiran konsumen
tetapi pemasar masih dapat mengendalikan
kepribadian brand, diri sendiri/self,
archetypes/pola perilaku yang ditiru pihak lain.
Watak kepribadian/trait
merupakan pendorong
penting ikatan
emosional antara brand
dengan konsumen.
Pendekatan Relasional
(Relational
Approach)
Relasi antara brand
dengan konsumen,
kualitas relasi suatu
brand.
Brand dipersepsikan sebagai partner relasi yang berkelanjutan.
Relasi brand yang
melibatkan banyak
Approach) brand. Pendekatan
Kultural
(Cultural
Approach)
Globalisasi, budaya pop, ikon merek, tanpa logo.
Brand dipersepsikan sebagai benda sejarah budaya & dikenal adanya persepsi budaya bagi brand.
Sumber : Brown, 2005 & Heding, 2009.
Ketujuh pendekatan tersebut merupakan serangkaian
evolusi, namun dengan munculnya pendekatan baru tidak
berarti pendekatan yang sebelumnya menjadi ‘mati’ atau tidak
digunakan lagi. Dengan kata lain, pendekatan-pendekatan
tersebut bersifat komplemen, bukan substitusi.
Dua pendekatan pertama, yaitu Pendekatan Ekonomi &
Pendekatan Identitas berfokus pada perusahaan sebagai pihak
sender/pengirim dalam proses pengkomunikasian suatu
brand (periode tahun 1985-1992).
Tahap selanjutnya (periode tahun 1993-1999) yang
diwujudkan melalui Pendekatan Berbasis Konsumen,
Pendekatan Kepribadian & Pendekatan Relasional,
menunjukkan adanya pergeseran fokus ke arah pihak
penerima komunikasi brand. Pengumpulan data juga tidak
semata-mata kuantitatif, dimungkinkan adanya gabungan
antara kuantitatif & kualitatif, atau bahkan murni kualitatif.
Dalam periode paling akhir (tahun 2000-2006) muncul
pendekatan baru yang berfokus pada konteks & budaya,
untuk menyikapi perubahan budaya & perubahan teknologi
yang pesat, yang turut mempengaruhi peranan pengelolaan
brand. Perubahan-perubahan tersebut antara lain otonomi
brand berbasis internet, dan sebagainya.
2.2.2 BRAND AUDIT
Brand audit merupakan suatu pengujian yang
komprehensif terhadap suatu brand untuk mengetahui
ekuitas brand tersebut (Keller, 2008). Brand audit berfokus
pada konsumen dan digunakan sebagai suatu alat untuk
menentukan seberapa ‘sehat’ suatu brand dan sekaligus
menunjukkan bagaimana memperbaiki maupun mengangkat
ekuitas merek untuk brand tersebut (Keller 2008).
Heding et al (2009) menyatakan bahwa brand
audit pada umumnya terdiri dari brand inventory dan brand
exploratory. Brand inventory merupakan deskripsi internal
yang mendetil mengenai bagaimana brand tersebut
dipasarkan selama ini. Sedangkan brand exploratory adalah
investigasi eksternal mengenai makna brand tersebut bagi
konsumen.
Manfaat brand audit antara lain; 1)melihat adakah
kesenjangan atau ketidaksesuaian antara citra merek/brand
image yang dikehendaki oleh pemilik brand dengan fakta
mengenai brand sesuai persepsi yang ada dalam pemikiran
konsumen, 2)menemukan kesempatan-kesempatan untuk
menopang ataupun meningkatkan suatu brand, 3)menemukan
maupun memformulasikan ulang strategi yang tepat untuk
menguatkan brand tersebut (Ford, 2005).
2.3 KONSEP EKUITAS MEREK
Brand atau merek adalah sebuah nama yang
memiliki kekuatan untuk memengaruhi pasar, dan kekuatan
tersebut akan terus meningkat apabila semakin banyak orang
yang mengetahuinya, merasa yakin serta mempercayainya
(Kapferer, 2008). Secara umum terdapat dua sudut pandang
bagi brand, yaitu dari perspektif finansiil (Farquhar, Han &
Ijiri 1991; Simon & Sullivan 1993; Doyle 2001) maupun
perspektif konsumen (Aaker 1991; Keller 1993; Shocker,
Srivastava & Rueckert 1994; Chen 2001).
Dari perspektif finansiil, nilai suatu brand diukur dari
aliran dana/cashflow tambahan yang disebabkan oleh brand
tersebut (Kapferer, 2008). Hal tersebut dapat terjadi apabila
konsumen lebih memilih suatu brand, sekalipun brand
tersebut relatif lebih tinggi harganya dibandingkan produk
pesaing. Konsumen memiliki keinginan membayar lebih
apabila terdapat keyakinan (belief) mengenai suatu brand
serta terdapat keterikatan (bond) dengan brand tersebut, yang
diyakini sebagai hasil dari upaya-upaya pemasaran tertentu.
Dengan demikian, kedua perspektif tersebut bukanlah dua hal
yang terpisah melainkan berkaitan erat. Ekuitas konsumen
merupakan awal dari ekuitas finansiil suatu brand. Dengan
brand tersebut telah terlebih dahulu memiliki aset yang
terletak dalam benak konsumen, seperti kesadaran merek,
keyakinan atas superioritas merek, keterikatan emosional,
dan sebagainya.
Dari perspektif konsumen, Aaker (1991) mendefinisikan
ekuitas merek sebagai aset merek yang dikaitkan dengan
nama atau simbol suatu merek, yang dapat bersifat
menambah ataupun mengurangi nilai suatu produk maupun
jasa. Aset-aset merek tersebut oleh Aaker dikelompokkan
dalam dimensi-dimensi kesadaran merek, asosiasi merek,
kualitas yang dipersepsikan, dan loyalitas merek.
Selanjutnya, Keller (1993) memperkenalkan model
Customer-Based Brand Equity yang merupakan pendekatan
dari perspektif konsumen. Hal ini didasarkan pada keyakinan
Keller bahwa kekuatan suatu brand ada pada apa yang telah
dipelajari, dirasakan, dilihat dan didengar mengenai brand
tersebut, sebagai hasil dari pengalaman konsumen dalam
kurun waktu tertentu. Dengan kata lain, Keller
mendefinisikan Customer-Based Brand Equity sebagai efek
diferensial dari pemahaman konsumen, sebagai respon atas
pemasaran suatu brand (Keller, 1993) Dalam mengukur
ekuitas merek, Keller menggunakan dimensi-dimensi Brand
Image dan Brand Awareness (yang terdiri dari Brand
Recognition dan Brand Recall ).
Berikut ini adalah tabel rangkuman mengenai
pendekatan terhadap ekuitas merek, khususnya dari
Tabel II. 3 Pendekatan terhadap Ekuitas Merek dari Perspektif Konsumen
PENCETUS GAGASAN KONSEP PENGUKURAN
Aaker (1991) o Kesadaran Merek (brand awareness)
o Asosiasi Merek (brand association)
o Kualitas yang Dipersepsikan (perceived quality)
o Loyalitas Merek (brand loyalty)
Keller (1993) • Citra merek (brand image)
• Kesadaran Merek ((brand awareness)
2.3.1 Sub Konsep Brand Awareness (Kesadaran merek)
Pada dasarnya, brand awareness adalah seberapa
konsumen merasa familiar/tidak asing lagi dengan suatu
brand tertentu (Kapferer, 2008; Keller, 1993). Lebih lanjut lagi
dijelaskan bahwa kesadaran merek adalah kemampuan
konsumen untuk mengingat kembali bahwa suatu merek
merupakan bagian dari suatu kategori produk. Dengan kata
lain, kesadaran merek menunjukkan seberapa kuat suatu
merek “tertanam” dalam benak konsumen (Aaker, 1991,
Keller, 1993, Pappu, 2005).
Kesadaran merek sangat penting karena pada umumnya
konsumen akan cenderung memilih apa yang familiar dan
dikenal, dibandingkan dengan merek lain yang samasekali
tidak diketahui. Bahkan brand yang tidak disadari
konsumen samasekali (Miller & Muir, 2004).
Meskipun demikian, kesadaran merek bukan sekedar
aspek kognitif belaka, melainkan secara tidak langsung
menyiratkan atau menggambarkan berbagai dimensi positif
lainnya, seperti; kualitas, kepercayaan, kehandalan,
kedekatan, rasio yang baik antara kualitas dengan harga, dan
sebagainya (Kapferer, 2008). Itulah sebabnya, kesadaran
merek dinyatakan sebagai prasyarat bagi ekuitas merek
berbasis konsumen. Apabila konsumen atau calon konsumen
tidak memiliki kesadaran/awareness terhadap suatu brand
tertentu, maka pembicaraan lebih lanjut mengenai ekuitas
merek bagi brand tersebut menjadi tidak relevan lagi (Heding,
et al 2009).
Aspek kesadaran merek ini diindentifikasikan melalui
brand recognition dan brand recall (Keller, 1993 & Heding, et al
2009). Brand recognition adalah kemampuan konsumen untuk
membedakan suatu brand (yang pernah didengar atau dilihat)
dengan brand lain dalam satu kategori produk. Dengan kata
lain, brand recognition seakan-akan memberikan konfirmasi
bahwa konsumen pernah terekspos pada brand tersebut
(Heding, et al 2009). Brand recall merupakan kemampuan
konsumen untuk mengingat kembali suatu brand tertentu,
apabila diberikan kategori produk dan/atau hal-hal yang
dapat dipenuhi oleh kategori tersebut (Keller, 1993). Melalui
Brand recognition dan/ atau brand recall, pemasar berusaha
menggali top of mind brand dari dalam benak konsumen,
harus dapat diidentifikasikan dengan jelas dan benar, baik
melalui petunjuk tertentu/aided maupun tanpa
petunjuk/non-aided.
2.3.2 Sub Konsep Brand Association (Asosiasi Merek)
Menurut Keller (1993), brand association adalah semua
kesan emosional yang tertanam dalam benak konsumen
mengenai suatu brand. Sedangkan Miller & Muir (2004)
menyatakan bahwa asosiasi merek adalah semua citra
ataupun gagasan yang dikaitkan dengan suatu brand dan
inilah makna suatu brand di mata konsumen.
Brand association atau asosiasi merek terbagi dalam tiga
kategori; attributes/atribut, benefits/manfaat atau keuntungan
dan attitudes/sikap (Heding, et al 2009).
Atribut adalah semua ciri-ciri sifat atau karakter suatu
produk/jasa yang dapat digambarkan oleh konsumen. Dengan
kata lain, atribut adalah segala sesuatu yang menurut
konsumen dimiliki oleh suatu produk/jasa dan berkaitan erat
dengan pengkonsumsian produk atau pemakaian jasa
tersebut. Atribut dapat berupa product-related attribut,
non-product-related attribut (Kapferer, 2008; Miller & Muir, 2004 ).
Product-related attribute adalah asosiasi langsung
dengan suatu produk/jasa, meliputi atribut yang bersifat fisik
maupun perasaan yang timbul sewaktu mengkonsumsi suatu
produk, baik barang maupun jasa. Sedangkan
pembelian dan pengkonsumsian suatu produk, baik barang
maupun jasa. Misalnya informasi harga, kemasan produk,
kesan mengenai tipe orang yang mengkonsumsi produk
tersebut, dan kesan mengenai konteks penggunaan produk
tersebut.
Manfaat/benefit merupakan nilai/value yang dilekatkan
oleh konsumen terhadap atribut suatu brand (Heding et al,
2009). Benefit terdiri atas tiga kategori: functional, experiental
dan symbolic.
Functional benefit/keuntungan fungsional adalah
ekspektasi pribadi mengenai apa yang bisa dilakukan suatu
brand. Meskipun hal ini berkaitan dengan fitur-fitur yang
berkaitan dengan produk tersebut, namun evaluasinya
bersifat personil. Dengan demikian, functional benefit bersifat
lebih subyektif jika dibandingkan dengan product-related
attribut. Experiental benefit berkaitan dengan keterlibatan
indera kita, seperti; bagaimana rasanya menggunakan brand
tersebut? Kesenangan seperti apa yang didapat berkenaan
dengan pengkonsumsian suatu brand? Berikutnya adalah
symbolic benefit, yaitu ekspresi diri dan bagaimana seseorang
berusaha menunjukkan siapa dirinya melalui penggunaan
suatu brand tertentu.
Aspek terakhir yaitu attitude/sikap menggambarkan
evaluasi konsumen secara menyeluruh terhadap suatu brand
(Ford, 2005).
Brand association secara keseluruhan merupakan unsur
menggambarkan dengan tepat bagaimana citra brand tersebut
dalam benak konsumen. Konsumen diharapkan memiliki
brand association yang bersifat disukai/favorable, kuat/strong
dan unik/unique, terutama jika dibandingkan dengan brand
pesaing (Heding et al, 2009). Bagi konsumen, asosiasi merek
yang favorable, strong & unique tersebut akan menciptakan
diferensiasi serta menimbulkan alasan pengkonsumsian.
2.3.3 Sub Konsep Perceived Quality (Kualitas yang
Dipersepsikan)
Persepsi adalah respon seseorang atas stimuli yang
diterimanya melalui seluruh panca indera-penglihatan,
pendengaran, sentuhan, perasa dan penciuman. Selanjutnya,
penelitian menunjukkan bahwa persepsi tidak hanya
dipengaruhi oleh stimuli yang sesungguhnya melainkan juga
tergantung pada apa yang ingin mereka persepsikan (Boone &
Kurtz, 2012). Dengan kata lain, persepsi merupakan hasil
interaksi antara faktor stimulus & faktor individu.
Faktor individu yang dimaksud adalah sikap/attitude
individu tersebut. Sikap/attitude merupakan kecenderungan
evaluasi, emosi, dan tindakan terhadap suatu obyek atau
gagasan, baik positif maupun negatif dan biasanya bertahan
relatif lama (Boone & Kurtz, 2012).
Konsumen memiliki persepsi masing-masing terhadap
jasa yang sedang atau akan digunakan. Perceived quality atau
kualitas yang dipersepsikan, merupakan dugaan atau
keseluruhan, jika dibandingkan dengan brand alternatif
(Zeithaml et al, 1990; Keller, 1993; Aaker 1996). Hal ini
sejalan dengan pernyataan Miller & Muir (2004) bahwa
perceived quality adalah penilaian konsumen atas kualitas
yang diharapkan akan diberikan oleh suatu brand.
2.3.4 Sub Konsep Perceived Price (Harga yang
Dipersepsikan)
Dari perspektif konsumen, harga adalah apa yang
diberikan atau dikorbankan untuk memperoleh suatu produk,
baik barang maupun jasa (Monroe dan Krishnan, 1985;
Chapman, 1986). Dalam bidang jasa,“harga” tersebut memiliki
beragam istilah, seperti biaya, ongkos, tarif, honor dan
sebagainya.
Harga atau biaya dalam memperoleh atau menikmati
suatu jasa bersifat relatif dan seringkali menggambarkan
kualitas yang akan diperoleh konsumen. Dengan demikian,
pihak penyedia jasa dapat memiliki berbagai tujuan dalam
penetapan biaya, apakah sebagai sarana bertahan/survival
dalam bisnis, memaksimalkan profit dan jumlah penjualan,
ataupun sebagai prestige/gengsi (Mc Donald, et al 2011).
Selain itu perlu dibedakan antara objective price (harga
produk yang sesungguhnya) dengan perceived price (harga
yang diperkirakan oleh konsumen) (Maxwell, 2008; Zeithaml
1988). Selanjutnya, beberapa penelitian membuktikan bahwa
konsumen tidak selalu mengetahui atau mengingat harga
cenderung memperkirakan harga dengan cara mereka sendiri
(Zeithaml 1988; Dickson dan Sawyer, 1985).
2.3.5 Sub Konsep Brand Loyalty (Loyalitas Merek)
Brand Loyalty adalah ikatan emosional antara brand
dengan konsumen, yang pada akhirnya dapat mendorong ke
arah pengkonsumsian ulang dan dengan suka rela menjadi
‘duta’ brand yang akan memberikan referensi positif tentang
brand tersebut kepada pihak lain (Miller & Muir, 2004). Brand
Loyalty merupakan kombinasi berbagai elemen, termasuk di
dalamnya tingkat kepuasan konsumen dan brand association
yang positif (Atilgan, 2005). Sementara studi yang dilakukan
oleh Pappu (2005) menggambarkan bahwa persepsi konsumen
atas kualitas akan dikaitkan dengan brand loyalty mereka.
Semakin loyal seorang konsumen terhadap suatu brand,
makin besar kemungkinan konsumen tersebut
mempersepsikan brand tertentu sebagai brand yang
menawarkan kualitas tertinggi, dan sebaliknya.
Terdapat tiga tahapan dalam brand loyalty atau loyalitas
terhadap suatu merek tertentu: brand recognition/pengenalan
merek, brand preference/pilihan merek, dan brand
insistence/bertahan pada suatu merek.
Tahap paling awal adalah brand recognition/pengenalan
merek. Bagi produk baru/yang baru saja dilempar ke pasaran,
pengenalan merek jelas diperlukan, minimal untuk
menimbulkan awareness/kesadaran merek. Bagi produk yang
dalam upaya mempopulerkan/menjadikan suatu produk
menjadi lebih familiar sehingga meningkatkan kemungkinan
pembelian produk.
Tingkatan berikutnya adalah brand preference, dimana
konsumen mengandalkan ingatannya atas pengalaman
pengkonsumsian yang pernah dialami. Diharapkan
pengalaman positif tadi akan mendorong konsumen untuk
kembali memilih brand tersebut.
Tingkatan yang paling tinggi dalam loyalty adalah brand
insistence, dimana konsumen bersikap menolak brand
lain/brand alternatif dan terus berupaya mencari info yang
lebih luas dan lebih dalam atas brand yang telah menjadi
preference tersebut.
Loyalitas konsumen berkaitan erat dengan sikap
konsumen terhadap stimuli dari pesaing. Sebagai mana
dijelaskan sebelumnya, dengan banyaknya stimuli yang
menyerbu konsumen, konsumen akan semakin giat
menyaring stimuli yang masuk, mana yang akan memperoleh
perhatian dan mana yang akan diabaikan. Konsumen yang
loyal akan cenderung mengabaikan stimuli dari pihak
kompetitor produk barang/jasa yang sejenis.
2.4 NALAR KONSEP
Pendidikan tinggi tergolong jasa yang memiliki karakter
• Dominasi aspek manusia/people dalam proses
pendidikan tergolong besar, dengan demikian sifat
intangibility serta inseparability juga sangat besar.
• Konsumen banyak terlibat dalam proses serta berjangka
waktu relatif panjang, banyak terjadi
kustomisasi/customized serta pertimbangan
konsumen/judgement.
• Aspek manusia (calon mahasiswa maupun dosen) ikut
menentukan kualitas output.
• Input & output bisa sangat bervariasi.
• Keputusan calon konsumen memilih suatu perguruan
tinggi tertentu tergolong high-involvement (keputusan ini
tergolong mahal dan berisiko serta pada umumnya
dikonsumsi hanya satu kali) dan pada umumnya
berkaitan dengan status sosial.
Oleh karena itu, calon konsumen-dalam hal ini calon
mahasiswa-kerap mengandalkan aspek asosiasi serta
persepsi.
Asosiasi yang dimaksud disini adalah kecenderungan
meng-asosiasikan aspek yang tangibel (banyaknya fakultas,
kelengkapan fasilitas belajar-mengajar,kemegahan gedung,
besarnya biaya kuliah) hingga aspek yang intangibel
(mutu,gengsi).
Persepsi tidak selalu dipengaruhi oleh stimuli yang
sesungguhnya, melainkan banyak dipengaruhi oleh faktor
individu tersebut. Persepsi individu-dalam hal ini calon
universitas jika dibandingkan universitas lain yang sejenis,
serta persepsi mengenai besarnya biaya kuliah. Kualitas suatu
universitas pada umumnya belum dapat diketahui dengan
pasti karena jasa pendidikan ini belum dialami/dirasakan
oleh calon mahasiswa. Biaya kuliah pun lebih sering
merupakan persepsi saja karena hanya berwujud perkiraan
calon mahasiswa tersebut.
Selanjutnya, persepsi konsumen tersebut erat kaitannya
dengan loyalty. Persepsi yang positif cenderung mambawa
kepada loyalty yang kian tinggi. Loyalty disini tidak berwujud
pengkonsumsian ulang. Dalam hal jasa pendidikan tinggi yang
belum dialami oleh calon konsumen/calon mahasiswa, loyalty
berwujud keinginan kuliah dan keinginan merekomendasikan
universitas tersebut kepada pihak-pihak lain.
Dengan adanya berbagai karakter unik tersebut, sangat
diperlukan brand audit pendidikan tinggi, khususnya yang
bersifat eksternal. Hal ini sejalan dengan pendapat Ford
(2005) bahwa memahami perilaku konsumen merupakan
salahsatu isu penting dalam memperoleh gambaran yang
diperlukan dalam rangka melaksanakan brand audit.
Pemahaman mengenai perilaku konsumen antara lain dapat
diperoleh melalui pemahaman ekuitas merek berbasis
konsumen. Selanjutnya, dengan gambaran ekuitas merek
berbasis konsumen, diharapkan pihak pengelola pendidikan
tinggi dapat menentukan langkah stratejik seperti apa yang