35 BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN HASIL
36 mendapat kepercayaan baik dari masyarakat maupun pemerintah. Pada saat ini UKSW memiliki 56 Program Studi yang terdiri dari 4 Program Studi Diploma 3, 39 Program Studi Program Sarjana (S1), 10 Program Studi Program Magister (S2), dan 3 Program Studi Program Doktoral (S3) diakses dalam http://www.uksw.edu/id.php/akademik/programstu di/title/pendidikan-sejarah, pada tanggal 03 Desember 2014 pukul 16.00.
4.2 Karakteristik Informan
37 Akuntansi yang terdiri dari enam orang mahasiswa yaitu F dan M aktif sebagai mahasiswa semester 2. J dan T aktif sebagai mahasiwa semester 3, R dan L aktif sebagai mahasiswa semester 4. Adapun karakteristik informan dalam penelitian ini dapat dikategorikan berdasarkan faktor demografi yang meliputi usia, tingkat pendidikan, status perkawinan, dan lamanya tinggal di Indonesia (Salatiga).
Dari jumlah mahasiswa asal Timor Leste yang dijadikan informan, jika di dasarkan pada umur maka key informan atas nama J berusia 30 tahun, T berusia 40 tahun, R berusia 33 tahun, L berusia 34 tahun, F dan M masing-masing berusia 31 tahun.
38 melanjutkan pendidikan S2 dengan jurusan manajemen, L S1 keperawatan kemudian melanjutkan S2 dengan jurusan manajemen, sedangkan F dan M S1 Akuntansi kemudian melanjutkan S2 dengan jurusan akuntansi. Dilihat dari segi sumber daya manusia mahasiwa asal Timor Leste yang diteliti dalam obyek penelitian ini semuanya memiliki pengetahuan yang baik.
39 keluarga walaupun tiga dari enam informan sudah berstatus menikah.
4.3 Gambaran Kehidupan Mahasiswa Timor Leste Di UKSW
Oberg (Ward, dkk 2001) ada 4 fase dalam culture shock, yaitu fase honeymoon, fase culture
shock, fase recovery, dan adaptation. Fase honeymoon umumnya terjadi pada satu hingga dua
bulan setelah kedatangan individu ke tempat yang baru. Pada saat itu individu akan sangat tertarik dengan segala macam sesuatu dan ingin mencoba semua hal baru yang ditemui di tempat baru tersebut.
40 mereka sebagaimana yang diungkapkan oleh informan yang berinisial J berikut ini:
“dalam waktu tiga bulan pertama kali
saya menginjakan kaki di Salatiga (UKSW) saya diliputi dengan perasaan senang, dan bahagia.
Namun, dalam kenyataannya tidak semua mahasiswa menyukai hal-hal yang baru yang ada di tempat yang baru pula, yang tentunya berbeda dengan tempat asalnya. Perbedaan itu dapat saja menyebabkan individu mengalami gegar budaya (culture shock). Seperti halnya yang diungkapkan oleh
informan yang berinisial M berikut ini:
41 sekedar bercanda tidak ada maksud untuk berantem, walaupun volume suara yang agak kencang. Hal ini juga yang membuat saya putus asa dalam waktu 3-4 bulan berlangsung, sehingga tidak tahu harus berbuat apa dan dengan siapa saya harus bergaul.
Dari hasil wawancara diatas, terlihat bahwa watak dan karakter individu sangat berpengaruh dalam sebuah interaksi, apalagi berhadapan dengan lawan bicara yang berasal dari negara yang berbeda yang tentunya memiliki latar belakang budaya yang berbeda pula.
42 maupun asing, pasti mengalami sejumlah persolan ketika memasuki perguruan tinggi.
Untuk menghindari perbedaan itu maka keselarasan dan rasa saling menerima perbedaan antara yang satu dengan lainnya sangat diharapkan. Inilah yang disebut dengan fase recovery. Seperti halnya yang dilakukan oleh informan yang berinisial T berikut ini:
“dalam kurun waktu tiga minggu pertama saya merasa sulit untuk menyesuaikan diri. Tetapi saya tetap berusaha untuk dapat melewati masa-masa sulit tersebut. Adapun upaya yang saya lakukan adalah membangun hubungan persahabatan dengan beberapa teman asal Timor. Karena bagi saya, bergaul dengan sesama orang Timor interaksi lebih cepat nyambung.
43 seperti ini dapat memberikan dampak negatif seperti culture shock. Untuk menghindari culture shock maka
adaptasi (adjustment) perlu dilakukan. Hal serupa juga dilakukan oleh informan yang berinisial L:
“saya selalu memperhatikan
kebiasaan masyarakat Indonesia (Salatiga) kemudian saya mencoba untuk meniru kebiasaan tersebut. Karena ketika saya mencoba untuk menggunakannya, kayanya ada jembatan yang menghubungkan sehingga interaksi lebih nyaman dan lebih nyambung. Tujuan saya belajar agar culture shock yang saya rasakan tidak berkepanjangan.
Hal yang serupa juga diungkapkan oleh informan yang berinisial J berikut ini:
berlama-44 lama di Indonesia (Salatiga). Salatiga merupakan surga kedua.
Dari hasil wawancara, diketahui bahwa enam orang mahasiswa Timor Leste yang dijadikan informan, semuanya mengalami culture shock. Dengan melewati empat tahapan adaptasi yaitu honeymoon, culture shock, recovery, adjustment.
Terjadinya culture shock disebabkan karena adanya perbedaan latar belakang budaya yang berbeda seperti bahasa, karakter, logat atau dialek, dan cuaca antara Timor Leste dengan Indonesia (Salatiga).
45 4.4 Dampak Negatif Dari Culture Shock
Culture shock dapat saja memberikan dampak positif maupun negatif. Tetapi hampir semua dampak culture shock berakibat pada hal yang negatif yang
dilatarbelakangi oleh perbedaan budaya seperti bahasa, logat atau dialek. Hal ini juga yang dialami oleh informan yang berinisial L berikut ini:
“saya pernak tidak diajak ngobrol karena dianggap susah mengerti dan menangkap isi pembicaraan mereka. Saya kecewa hilang harapan dan tidak tahu harus berbuat apa”.
Tidak hanya L saja yang mengalami putus asa, informan yang berinisial F juga mengalami hal yang sama berikut ungkapannya:
“saya stres, ketika saya berbicara
harus menyesuaikan dengan logat serta watak dari teman yang saya ajak bicara. Karena jika saya tidak menyesuaikan dengan lawan bicara saya, maka pembicaraan kami tidak akan sejalan alias tidak nyambung.
46 logat atau dialek, tetapi bisa juga berasal dari perbedaan cuaca seperti yang dialami R berikut ini:
“saya mengalami demam, flu dan
pilek, selama dua minggu dikarenakan Indonesia (Salatiga) memiliki udara yang dingin, sedangkan di negara kami memiliki udara yang panas. Perbedaan cuaca ini menyebabkan saya demam selama satu minggu”.
47 4.5 Strategi Mahasiswa Timor Leste Dalam
Mengatasi Culture Shock Ketika Beradaptasi. 4.5. 1 Individual
4.5.1.1 Anticipatory Adjustment
Riady, (2004) strategi-strategi dalam proses adaptasi sangat penting bagi individu yang memasuki lingkungan baru, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Salah satu bentuk strategi adaptasi individual adalah penyesuaian antisipatif (anticipatory adjustment) dan belajar secara otodidak
(self efficacy). Adapun strategi adaptasi individual adalah melakukan tindakan penyesuaian antisipatif (anticipatory adjustment) dan belajar secara otodidak
(self efficacy) yang didasari dalam pernyataan Herbert 1984, (dalam Riyandhiani 2013) yang dimulai dengan tahap persiapan (Preparatory Stage), tahap meniru dalam hal bertindak (Play Stage), tahap
kesiapan dalam bertindak (game stage), tahap
48 Tahapan persiapan terdiri dari 2 faktor yaitu penyediaan pelatihan sebelum keberangkatan (pre-departure training) dan pengetahuan serta pengalaman tentang lingkungan yang dituju. Yang dimaksud dengan tahapan persiapan yaitu individu melakukan persiapan sebelum keberangkatan dan sesudah tiba, dengan cara mengikuti kegiatan pelatihan. Kegiatan pelatihan atau traning harus disesuaikan dengan keadaan dimana mereka akan ditugaskan. Sebab kondisi Negara yang dengan Negara yang lain adanya perbedaan kultur dan bahasa juga perbedaan iklim. Hal ini juga yang menjadi harapan terbesar bagi mahasiswa asal Timor Leste. sebagaimana yang diungkapkan T berikut ini:
“keberadaan kami (mahasiswa asal
49 juga lembaga universitas tempat kami belajar. Tetapi dalam kenyataannya sampai saat ini pemerintah Timor Leste dan lembaga Universitas Kristen Satya Wacana juga belum pernah melakukan training mengenai budaya Indonesia (UKSW), sehingga kami merasa kesulitan dengan budaya baru.
Adapun upaya lain yang dilakukan mahasiswa asal Timor Leste sebelum keberangkatan adalah mencari informasi tentang Salatiga (UKSW) dari berbagai literatur seperti, internet dan teman-teman terdekat yang memiliki pengalaman tentang daerah yang dituju. Hal ini juga yang dilakukan oleh F berikut ini:
“saya melakukan persiapan sebelum
berangkat ke Salatiga (UKSW) dengan cara mencari informasi tentang Indonesia lebih khusus UKSW melalui internet.
50 “saya mencari informasi dengan cara bertanya kepada teman-teman asal Timor Leste yang suda duluan datang ke Indonesia (UKSW) dalam rangka belajar. Akibat hanya mengandalkan informasi dari teman-teman saya pernah kena tipu pada saat berbelanja.
51 4.5.1.2 Self Efficacy
Walaupun semua mahasiswa asal Timor Leste mengalami kesulitan dalam penyesuain akan tetapi semua mahasiswa memiliki kemampuan untuk mengelola setiap perbedaan budaya dan bahasa dengan cara belajar sendiri (self efficacy) atau otodidak yaitu mengenal budaya Indonesia (Salatiga) melalui berbagai literatur yang dianggap dapat membantu mereka dalam melakukan adaptasi di UKSW. Seperti yang diungkapkan J berikut ini:
Upaya yang saya lakukan adalah mengamati kebudayaan atau tradisi masyarakat Salatiga lebih kusus yang berada di lingkungan UKSW, kemudian saya mencoba menggunakan budaya serta kebiasaan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
52 kemampuan untuk mengelola setiap perbedaan budaya dan bahasa dengan cara belajar sendiri (self study) atau otodidak.