BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Penelitian ini membahas tugas konstitusional Polisi Nasional Timor
Leste (selanjutnya disingkat PNTL) dalam membela democratic legality.
Dalam Section 147 Constitution of The Republic Democratic of Timor-Leste
yang mengatur mengenai Police dan security forces dinyatakan bahwa:
“1) The police shall defend the democratic legality and
guarantee the internal security of the citizens, and shall be strictly non-partisan; 2) Prevention of crime shall be undertaken with due respect for human rights; 3) The la w shall determine the rules and regulations for the police and other security forces.”
Berdasarkan hal tersebut, maka “defend the democratic legality” merupakan salah satu tugas konstitusional PNTL.
Setelah Timor Leste secara dejure berpisah dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia, melalui referendum pada tahun 1999, perpolisian Timor
Leste sepenuhnya dijalankan oleh United Nation Police (UNPOL). Pada
tahun 2000 UNPOL mulai melakukan perekrutan bagi para putra-putri Timor
Leste, termasuk mantan Polisi Republik Indonesia (POLRI) yang mengambil
keputusan menetap di Timor Leste untuk dilatih menjadi Timor Leste Police
pendidikan dan pelatihan oleh UNPOL tersebut dilantik menjadi anggota
polisi pada tanggal 27 Maret 2000, sehingga tanggal tersebut dijadikan
sebagai hari jadinya institusi PNTL hingga saat ini. Komunitas internasional
melalui berbagai kerjasama bilateral memainkan peran penting dalam
pengembangan institusi dan juga pelatihan bagi PNTL.1
Peraturan yang menaungi PNTL adalah Decree-La w No. 8/2004
tentang The Organic La w of The National Police Of Timor-Leste (PNTL).
Pada tahun 2006 terjadi krisis politik di badan PNTL. Kehancuran institusi
ini adalah puncak dari berbagai persoalan yang menimpa PNTL, baik yang
bersifat individual maupun institusional. Seperti yang diuraikan oleh Komisi
Investigasi Internasional pada 2006, institusi PNTL sering dipolitisir oleh
para pemimpinnya.2 Perpecahan di dalam PNTL dikarenakan latar belakang
politik, pendidikan, dan sejarah (antara mantan anggota POLRI dan mantan
anggota resistensi). Selain itu secara structural, institusi ini di bawah
Kementerian Dalam Negeri, sehingga Menteri Dalam Negeri mudah
mempolitisasi institusi PNTL dan melakukan intervensi dalam berbagai
tugas operasional.3 Hal tersebut menurut penulis, tidak sesuai dengan tugas
konstitusional PNTL dalam membela democratic legality.
1La’o Hamutuk,
Penyaringan PNTL untuk Kembali Bertugas, Buletin La’o Hamutuk, Vol.
8, No. 2, Dili: La’o Hamutuk, Institut Pemantau dan Rekonstruksi Timor-Leste, Juni 2007, hal 1.
2 Ibid.
Setelah krisis politik yang terjadi di badan PNTL, Decree-La w No.
8/2004 direvisi dan digantikan dengan Decree-La w No 9/2009 tentang
Organic La w of Timor-Leste’s National Police (PNTL). Article 1 ayat (1)
Decree-La w No 9/2009 menyatakan bahwa:
“Timor-Leste’s National Police, hereinafter referred to in short as PNTL, is a security force whose mission is to defend
democratic legality, guarantee people’s security and property,
and safeguard citizens’ rights in accordance with the Constitution and the Law.”4
Berdasarkan Article 1 ayat (1) Decree-La w No 9/2009, maka tugas
PNTL dalam membela democratic legality merupakan suatu keniscayaan
yang berlandaskan konstitusi dan hukum yang berlaku di Timor Leste.
Democratic dan legality (rule of la w) adalah dua konsepsi mekanisme
kekuasan dalam menjalankan roda pemerintahan negara. Kedua konsepsi
tersebut saling berkaitan yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan,
karena pada satu sisi demokrasi memberikan landasan dan mekanisme
kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia, pada
sisi yang lain rule of la w memberikan patokan bahwa yang memerintah
dalam suatu negara bukanlah manusia, tetapi hukum.5
Dalam tataran praksis, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat
dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan
dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat.
Sedangkan dalam negara yang berdasarkan atas rule of law, dalam hal ini
hukum harus dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang
berpuncak pada konstitusi.6 Hal tersebut sebagaimana cita negara The
Republic Democratic of Timor-Leste yang termaktub dalam Section 1 ayat
(1) Constitution of The Republic Demoratic of Timor-Leste yang
menyatakan:
“The Republic Democratic of East Timor is a democratic, sovereign, independent and unitary State based on the rule of la w, the will of the people and the respect for the dignity of the human person.”7
Dalam beberapa hal, rule of la w sulit dibedakan dengan demokrasi
sekalipun tidak dapat dipersamakan. Keduanya ibarat dua sisi dari sekeping
mata uang yang sulit dipisahkan satu dengan yang lainnya. Rule of la w tidak
harus demokratis, pemerintahan monarchis atau paternalistik sekalipun dapat
saja taat kepada hukum tanpa tunduk kepada kaedah-kaedah demokrasi.
Tetapi demokrasi yang bukan rule of la w bukanlah demokrasi dalam arti
6Ibid.
7
sesungguhnya.8 Demokrasi dalam kerangka rule of law juga termaktub
dalam Preambule Constitution of The Republic Democratic of Timor-Leste.9
Dalam Preambule dan Section 1 ayat (1) Constitution of The
Republic Democratic of Timor-Leste menekankan bahwa Timor Leste adalah
democratic state “based on the rule of law.” Konsep demokrasi dalam
konstitusi Timor Leste merupakan konsep yang penting dalam kerangka rule
of la w, hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Erik Jensen dalam laws and for democratically elected institutions constitute its unquestionable foundation; Interpreting the profound sentiments, the aspirations and the faith in God of the P eople of East Timor;
Solemnly reaffirm their determination to fight all forms of tyranny, oppression, social, cultural or religious domination and segregation, to defend national independence, to respect and guarantee human rights and the fundamental rights of the citizen, to ensure the principle of the separation of powers in the organisation of the State, and to establish the essential rules of multi-party democracy, with a view to building a just and prosperous
nation and developing a society of solidarity and fraternity.”
10 “
The preamble and Section 1 of the Constitution say that Timor -Leste should be a
democratic state “based on the rule of law. This statement alone does not tell us very much about what the drafters meant by rule of law. However, it is important to realize that every
time the Constitution mentions the rule of law, it appears near a reference to a “democratic
State.” The idea that democracy and the rule of law go together is a feature of the thicker
definitions of the rule of law we discussed earlier. One of those thicker definitions was the idea of democratic rule of law, which emphasized the importance of the consent of the people to the laws that the government makes.
Why might democracy be important to the rule of law? Remember that the thinner
definitions of the rule of law told us very little about what the laws should actually say—the
Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep
rule of la w, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi, karena konstitusi
adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.11 Oleh sebab itu PNTL dalam
melakukan tugasnya “defend the democratic legality” harus bersandar pada
rule of la w.
Dengan berdirinya sebuah Negara baru, rakyat Timor-Leste berharap
bahwa polisinya akan bersikap berbeda dari angkatan-angkatan yang
dikontrol oleh Indonesia selama masa pendudukan. Tapi pengawasan yang
tidak efektif, pelatihan yang tidak memadai, mekanisme
pertanggungjawaban yang buruk serta kurang baiknya seleksi petugas PNTL
telah mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan oleh PNTL menjadi sebuah
tantangan serius dalam melakukan tugas dan fungsinya “defend the democratic legality”.
Article 5 Decree-La w No. 13/2004 tentang Disciplinary Regulation
of The National Police Of Timor-Leste menyatakan bahwa:
“While exercising their functions, the PNTL members a re
exclusively in the service of the public interest a s defined by la w and by the competent organs.
enforced more broadly. As a result, laws will apply more uniformly and completely. Additionally, if everyone is represented in a democratic government, it seems more likely
that the laws will be applied equally to everyone.” Erik Jensen, Introduction to the Laws of
Timor-Leste: Legal History and the Rule of Law in Timor -Leste, Palo Alto, California:
USAID, The Asia Foundation & Stanford Law School, 2013. hal 9.
11
The PNTL members shall honour the oath they have made and act in a strictly nonpartisan manner and shall, in the performance of their functions, be guided by criteria of impartiality, detachment, objectivity and respect for democratic legality.” 12
Kenyataannya, sejak merdeka pada 2002, penyalahgunaan fungsi dan
tugas polisi telah menjadi salah satu masalah Hak Asasi Manusia
Timor-Leste yang paling mengkhawatirkan. Petugas PNTL sering menggunakan
kekuasaan yang berlebihan selama penahanan dan memukul tawanan setelah
mereka berada di tahanan. Polisi sering gagal untuk merespon
penyalahgunaan wewenang ini dengan tindakan-tindakan disipliner yang
sesuai atau dengan tuntutan kriminal.13 Pada tahun 2014, masalah
profesionalitas PNTL dalam melakukan tugasnya di Timor Leste juga
dilaporkan oleh Fundasaun Mahein.14
12
Lihat Article 5 Decree-Law No. 13/2004tentang Disciplinary Regulation of The National
Police Of Timor-Leste.
13
Human Rights Watch, Langkah Awal yang Tersiksa: Kekerasan Polisi dan Awal
Kekebalan Hukum di Timor-Leste, Human Rights Watch Journal, Vol. 18, No. 2, April
2006, hal 20.
14“From Fundasaun Mahein’s monitoring it has become apparent that the Timorese public
is still questioning the PNTL’s actions that have violated the laws and regulations of the
state. Because these actions seem to be the result of officer’s following orders, other
arguments and concerns from public have been about the lack of training by Police officers and their commanders in the law and in human rights. This has led to calls for more intensive training in the use of force among all levels of the police force. These concerns have now become a challenge for the PNTL to face whenever they are now deployed and are increasingly forcing them to obey the mission which has been defined by constitution and
the laws of the nation.
Reports from the Justice Security Monitoring Program (JSMP) observed that PNTL did not work professionally because the human rights violence always occurred in their actions against civilians. These facts have shown through cases and concerns raised by the members of the national parliament, as well as from the report of human rights institutions
Melalui tesis ini penulis hendak berargumen bahwa kepatuhan
terhadap misi yang telah ditetapkan oleh konstitusi merupakan tantangan
bagi PNTL. Dalam melakukan tugasnya “defend the democratic legality”,
PNTL harus bersandar pada “rule of law, the will of the people and the respect for the dignity of the human person” sebagaimana diamanatkan
dalam cita negara The Republic Democtatc of Timor-Leste pada Section 1
ayat (1) Constitution of The Republic Demoratic of Timor-Leste. Oleh sebab
itu, melalui tesis ini penulis tertarik untuk menganalisis tolok ukur “defend
the democratic legality” yang merupakan tugas konstitusional dari PNTL.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
Apa saja tolok ukur “defend the democratic legality” yang merupakan tugas konstitusional dari PNTL?
C. Tujuan Penelitian.
Penelitian ini memiliki tujuan:
Mengetahui tolok ukur “defend the democratic legality” sebagai tujuan police force dari PNTL sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi
Timor Leste.
D. Manfaat Penelitian.
1. Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan bagi pengetahuan
dalam ilmu hukum, khususnya mengenai tolok ukur “defend the
democratic legality” yang merupakan tugas konstitusional dari
PNTL.
2. Secara praktis hasil pengkajian penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi pemerintah Timor Leste dan PNTL terkait sebagai
pengetahuan tolok ukur “defend the democra tic legality” yang
merupakan tugas konstitusional dari PNTL.
E. Landasan Teori.
1. Democratic Legality.
Istilah demokrasi merupakan asal kata berarti “rakyat berkuasa” atau
government or rule by the people (kata Yunani demos berarti rakyat,
kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa).15 Konsepsi demokrasi
menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal
15
dengan prinsip kedaulatan rakyat, maka bisa dipastikan akan menjadi
kekuasaan yang demokratis karena kehendak rakyatlah sebagai landasan
legitimasinya.16 Dalam sistem demokrasi partisipasi rakyat merupakan esensi
dari sistem ini. Akan tetapi, demokrasi tanpa pengaturan hukum akan
kehilangan bentuk dan arah, sementara hukum tanpa demokrasi akan
kehilangan makna.17
Oleh sebab itu menurut penulis, dalam konstitusi di Timor Leste, kata
“democratic” disandingkan dengan “legality”—yang dalam hal ini
berhubungan dengan rule of la w. Meskipun keduanya memiliki makna yang
berbeda dan terpisah, namun dapat dikombinasikan. Sebagaimana
dinyatakan oleh Brian Z. Tamanaha:
“The rule of law is an ideal that relates to legality. Democracy is a system of governance. Human rights a re universal norms and standards, or at least norms that cla im universal application. Since each of these notions has meaning that is well understood, it invites confusion, in my view, to insist that the latter two are pa rt of the definition of the rule of la w. Each must be understood and argued for on its own terms. They are separate elements that focus on different aspects of a political-legal system, which can exist separately or in combination.”18
Dalam konstitusi Timor Leste, kedua konsepsi tersebut saling
berkaitan yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan, karena pada satu
16
Muntoha, Op.cit, hal 384.
17
Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, Jakarta : Rajawali Pers, 2013, hal 7.
18
sisi demokrasi memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan
prinsip persamaan dan kesederajatan manusia, pada sisi yang lain rule of la w
memberikan patokan bahwa yang memerintah dalam suatu negara bukanlah
manusia, tetapi hukum.19 Kerangka democratic legality ini memandang
bahwa rule of la w adalah untuk menjamin keberlangsungan demokrasi di
Timor Leste. Selain itu, demokrasi merupakan cara yang paling aman untuk
mempertahankan kontrol atas rule of la w.
2. Misi Kepolisian.
Jauh sebelum istilah polisi lahir sebagai organ, kata “polisi” telah
dikenal dalam bahasa Yunani, yakni “politeia”. Kata “politeia” digunakan sebagai title buku pertama Plato, yakni “Politeia” yang mengandung makna
suatu negara yang ideal sekali sesuai dengan cita-citanya, suatu negara yang
bebas dari pemimpin negara yang rakus dan jahat, tempat keadilan dijunjung
tinggi.20
Dalam penulisan Tesis ini, misi kepolisian berkaitan dengan
kewenangan kepolisian. Keabsahan tindakan misi kepolisian diukur
berdasarkan wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Perihal kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi Negara yang memberikan
19
Muntoha, Op.cit, hal 379.
20
Ida Bagus Kade Danendra, Kedudukan Dan Fungsi Kepolisian Dalam Struktur
legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara dalam menjalankan
fungsinya. Kewenangan adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh
undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan
hukum.21 Di dalam kewenangan terdapat -wewenang. Wewenang adalah
kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum publik”.22
Secara khusus, misi kepolisian tertuju pada terwujudnya keamanan
dan ketertiban umum yang merupakan salah satu fungsi pemerintahan. Hal
tersebut juga dinyatakan oleh Stephen Greenhalgh dan Blair Gibbs:
“The expectation of the core police role in the twenty-first century should start with what only the police can do. Public order is a special duty that relies upon the police having a monopoly on the legitimate use of force, both as a deterrent and as a means to stop violence and quell civil unrest. It is hard to conceive of any sharing of this function beyond policing (and in a civil emergency, the armed forces), and so it has to remain a core element of a rebalanced policing mission.”23
2. Prevention of crime shall be undertaken with due respect for
human rights;
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981, hal 29.
23
Stephen Greenhalgh dan Blair Gibbs, The Police Mission In The Twenty-First Century:
3. The la w shall determine the rules and regulations for the
police and other security forces.24
Kemudian secara eksplisit mengenai “nature and mission” PNTL
diatur dalam Article 1 Decree-La w No 9/2009 tentang Organic La w of
Timor-Leste’s National Police (PNTL) yang menyatakan bahwa:
1. Timor-Leste’s National Police, hereinafter referred to in
short as PNTL, is a security force whose mission is to defend democratic legality, guarantee people’s security and
property, and safeguard citizens’ rights in accordance with
the Constitution and the La w.
2. Wherea s, with regard to its strategy and approach to
policing, PNTL shall have the cha racteristics of a community police, its nature shall be identical to that of the military insofar as its organisation, discipline, training and personal status a re concerned without however constituting a force of a military nature.
3. PNTL shall be strictly non-partisan and shall exercise its
activities exclusively at the service of the State.
4. PNTL shall have its own legal personality, shall be directly
subordinated to the Ministry of Defense and Security, and
Metode penelitian tesis ini adalah penelitian hukum. Penelitian
hukum disini ditujukan untuk menemukan pemahaman mengenai “the
24
Lihat Section 147 Constitution of The Democratic Republic of Timor -Leste.
25
democratic legality” melalui prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum, yang kemudian pada gilirannya, sekaligus digunakan menjawab isu
hukumnya yaitu tolok ukur dari “defend the democratic legality”.
Penelitian ini, dengan demikian, menggunakan metode analisis
normatif, analisis demikian terutama digunakan di dalam memberikan arti
makna konsep dan tolok ukur “defend the democratic legality” sebagai tujuan police force dari PNTL sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi
Timor Leste. Untuk maksud demikian, penelitian ini juga berusaha
menemukan aturan-aturan hukum, khususnya yang ada di Timor Leste, yang
memberikan jawaban atas isu hukum tolok ukur “defend the democratic
legality” dari penelitian ini.26
2. Pendekatan.
Berdasarkan rumusan masalah dan jenis penelitian hukum normatif
yang telah dipaparkan di atas oleh penulis, maka untuk menjawab isu hukum
dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan beberapa pendekatan:
a. Pendekatan konsep (conceptual approach).
26
Analisis penelitian hukum yang demikian disebut sebagai penelitian hukum normatif. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan keenam, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010, hal. 35. Kegiatan menentukan isi aturan hukum setepat mungkin ini, dalam pandangan lain, merupakan cara analisis ini yang mendeskripsikan atau memaparkan yang dengan sendirinya mengandung kegiatan interpretasi. Bernard Arief Sidharta, Refleksi
Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2000, hal. 149-150 dan J.J.H.
Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak
dari aturan hukum yang ada.27 Dalam penelitian ini, maka penulis akan
menggali perkembangan konsep hukum “defend democratic legality” berdasarkan pandangan-pandangan tokoh-tokoh dan doktrin-doktrin hukum
yang berkembang dalam Ilmu Hukum. Meskipun tidak secara eksplisit,
konsep hukum dapat juga diketemukan di dalam undang-undang.28 Jadi
konsep-konsep hukum tersebut akan dijadikan penulis sebagai pijakan dalam
membangun argumen-argumen hukum mengenai makna konsep “defend the
democratic legality” sebagai tujuan police force dari PNTL sebagaimana
diamanatkan dalam konstitusi Timor Leste.
b. Pendekatan perundang-undangan (statute approach).
Dalam pendekatan perundang-undangan peneliti harus melihat
hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat: comprehensive,
all-inclusive, systematic.29 Selain itu dalam metode pendekatan
perundang-undangan, peneliti perlu memahami hierarki, dan asas-asas dalam peraturan
perundang-undangan.30 Dengan demikian, pendekatan perundang-undangan
penelitian ini merupakan legislasi dan regulasi mengenai PNTL di Timor
Leste.
27Ibid
, hal 137.
28
Ibid, hal 138.
29Ibid,
hal. 303.
30
3. Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum dan Sumber Penelitian.
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian
adalah penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan
dokumen-dokumen yang ada, yang berkaitan dengan objek penelitian.31 Oleh karena
itu, sumber bahan hukum penelitian ini adalah bahan hukum sekunder, yang
meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tertier.32 Bahan hukum yang dikaji meliputi beberapa hal berikut:
a. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas: Constitution
of The Republic Democratic of Timor-Leste, Decree-La w No. 13/2004
tentang Disciplinary Regulation of The National Police Of Timor-Leste,
Decree-La w No 9/2009 tentang Organic La w of Timor-Leste’s National
Police (PNTL), Decree-La w No 43/2011 tentang Legal Regime On The
Use of Force.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas
buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat
para sarjana dan hasil simposium.
31
Ronny Hantijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, hal. 24.
32
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk
atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder.
G. Sistematika Penulisan.
Bab I merupakan pendahuluan yang berisi mengenai latar belakang masalah
yang memaparkan isu penelitian yaitu “defend the democratic legality” yang merupakan tugas konstitusional dari PNTL. Selain itu juga memaparkan
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan metode
penelitian.
Bab II merupakan kajian mengenai konsepsi kepolisian terkait dengan
negara hukum. Pada tataran konseptual ini, penulis akan menggali konsep
negara hukum, konsep demokrasi dan konsep perpolisian meliputi konsep
kepolisian sebagai organ negara, konsep tugas kepolisian dan konsep
Community Policing.
Bab III membahas tentang konsep dan tolok ukur “defend the democratic
legality” sebagai tujuan police force dari PNTL sebagaimana diamanatkan
dalam konstitusi Timor Leste. Pada tataran historis, penulis akan membahas
sejarah singkat terbentuknya PNTL di Timor Leste dalam tataran analisis,
penulis akan menganalisis tolok ukur “defend the democratic legality”
sebagai tujuan police force dari PNTL sebagaimana diamanatkan dalam
Bab IV merupakan bab Penutup yang berisi mengenai kesimpulan yang
menjawab rumusan masalah dan tujuan penelitian. Pada akhir bab ini penulis
akan mengemukakan sarannya terkait preskriptif “defend the democratic
legality” sebagai tujuan police force dari PNTL sebagaimana diamanatkan