BAB III
LANDASAN TEORI
3.1. Konsep Supply Chain
Supply chain adalah jaringan instansi-instansi yang secara bersama-sama bekerja untuk menciptakan dan menghantarkan suatu produk ke tangan pemakai akhir (end user). Instansi-instansi tersebut biasanya termasuk supplier, instansi, distributor, toko atau ritel,
serta instansi-instansi pendukung seperti instansi jasa logistik. ( Pujawan, 2005).
3.2. Pengukuran Bullwhip Effect
Dalam melakukan perhitungan bullwhip effect yang terjadi harus mempertimbangkan supply chain sebagai bagian dari unit independen (perusahaan) dan sebagai himpunan bagian
dari sejumlah jaringan. Chen (2000) menyatakan bahwa tiap unit pada tingkatan supply chain yang dipertimbangkan mungkin mempunyai hubungan dengan beberapa atau kelipatan
unit atau supply chain lainnya. Sebuah supply chain terdiri dari beberapa echelon berikutnya. Sebuah echelon adalah satu level dalam supply chain. Sebuah echelon mungkin terdiri dari beberapa outlet yang pararel, misalnya beberapa pusat distribusi mungkin bersama-sama
membentuk sebuah tingkatan “Distribution Centre”, atau bahkan beberapa toko mungkin dapat bersama-sama membentuk sebuah tingkatan “Retail Shop”.
Di dalam pembahasannya akan dipertimbangkan sebuah supply chain yang terdiri dari beberapa tingkatan. Yang diidentifikasikan sebagai indeks l, dengan (l=0 menjadi tingkatan yang paling atas / upstream). Setiap tingkatan terdiri dari M outlet yang
ditunjukkan dengan ml, lebih lanjutnya kita membedakan antara permintaan yang datang dari tingkatan bawah / downstream (Din) dan permintaan yang keluar menuju tingkatan
Dalam melakukan pengukuran terhadap bullwhip effect pada tingkatan atau
sekumpulan tingkatan tertentu pada supply chain sebagai hasil bagian dari koefisien variansi permintaan yang diterima oleh tingkatan ini adalah :
ω
=
CoutCin
Dimana,
Cout =
σ[Dout (t,t+T)]µ[Dout (t,t+T)]
;
Cin =
σ[Din (t,t+T)]
µ[Din (t,t+T)]
Dout (t,t+T) dan Din (t,t+T) adalah permintaan selama interval waktu (t,t+T) dan akan ditulis
sebagai Dout dan Din.
3.3. Model Probabilistik Q
Sebagaimana model Wilson atau model inventori probabilistik sederhana, dalam hal ini pihak manajemen harus melakukan monitoring secara intensif atas status inventori untuk mengetahui kapan saat pemesanan dilakukan (r) dan harus konsisten dalam melakukan
pemesanan, yaitu sebesar q0 yang konstan untuk setiap kali melakukan pembelian.
Oleh karenanya model Q menurut Martin dan Star (1978) disebut pula sebagai sistem
inve ntori otomatis (Automated InventorySystem). Artinya pemesanan akan dilakukan secara otomatis bila posisi barang telah mencapai r dan besarnya ukuran pemesanan selalu konstan sebesar q0 untuk setiap kali pemesanan. Dengan waktu ancang-ancang yang tidak sama
dengan nol maka saat pemesanan (reoder point) dilakukan pada saat barang di gudang (stock on hand) sebesar kebutuhan selama waktu ancang-ancanganya , sehingga yang menjadi
masalah selanjutnya yang perlu dikaji adalah berapa besarnya q0 dan r yang optimal. Optimalitas diukur tidak hanya dengan menggunakan kriteria ekpetasi ongkos total nilai inventori selama horison perencanaan, tetapi juga harus memperhitungkan tingkat pelayanan
3.3.1. Karakteristik Model Q
Karakteristik kebijakan persediaan model Q ditandai oleh dua hal mendasar sebagai berikut:
1. Besarnya ukuran pemesanan (qo) selalu tetap untuk setiap kali pemesanan dilakukan. 2. Pemesanan dilakukan apabila jumlah persediaan yang dimiliki telah mencapai suatu
tingkat tertentu (r) yang disebut titik pemesanan kembali (reorder point).
Sesuai dengan karakteristik serta asumsi tersebut di atas, secara grafis situasi persediaan yang ada dalam gudang bila menggunakan model Q dapat digambarkan pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Situasi Persediaan dengan Model Q
Karena permintaan probabilistik tidak tetap sedangkan ukuran pemesanan (qo) selalu
tetap maka interval waktu antara saat pemesanan berubah-ubah (variabel). Disamping itu tampak juga adanya suatu periode waktu tertentu dimana kemungkinan barang tidak ada di
gudang atau terjadi kekurangan inventori (out of stock). Dalam model Q, kekurangan persediaan hanya mungkin terjadi selama waktu ancang-ancang saja (L), karena itu cadangan pengaman yang diperlukan hanya digunakan untuk meredam fluktuasi kebutuhan selama
waktu ancang-ancang tersebut.
3.3.2. Formulasi Model Q (G. Handley and T.M Within) Kasus Lost Sales
Pada metode G.Hadley dan T.M Whitin untuk kasus lost sales ini dikenal pola permintaan berdistribusi normal serta waktu ancang (lead time) yang konstan. Berdasarkan
akan dirinci formulasinya sehingga kelak akan dapat ditentukan variabel-variabel keputusan
yang akan dikendalikan, yaitu qo dan r.
1. Biaya Pengadaan
Biaya pengadaan per tahun (Op) bergantung pada besarnya ekspektasi frekuensi pemesanan (f) dan biaya untuk setiap kali pemesanan (A). Secara matematis biaya
pengadaan dapat dinyatakan sebagai berikut.
Op =f. A ...(2-2)
Adapun besarnya ekspektasi frekuensi pemesanan per tahun bergantung pada ekspektasi kebutuhan tahunan (λ ) dan besarnya ukuran pemesanan (A) , maka secara
matematis dapat dinyatakan sebagai berikut.
f = λ
�� ...(2-2)
Dengan demikian besarnya biaya pengadaan per tahun (Op) dapat diperoleh dengan
melakukan substitusi persamaan (2-2) ke dalam persamaan (2-2) sehingga didapat:
Op = A� ...2-4)
2. Biaya Simpan
Biaya simpan per tahun (Os) bergantung pada ekspektasi jumlah persediaan yang disimpan (m) dan biaya simpan per unit per tahun (h) , yang dapat dinyatakan sebagai
berikut.
Os = h= h x m ..(2-5)
Biaya simpan per unit per tahun (h) biasanya merupakan fungsi dari harga barang yang disimpan dan besarnya dinyatakan sebagai persentase (I) dari harga barang (c) .
h = I. c ...(2-6)
untuk menghitung dapat ditinjau posisi persediaan bagi setiap siklusnya seperti ditunjukkan pada Gambar 2.5. Dalam keadaan yang stabil (steady state) maka pada
sebesar s (safety stock) dan setelah pesanan datang jumlah barang akan sebesar (s +
qo) . Pada akhir siklus, jumlah persediaan akan menyusut kembali menjadi s. Situasi ini dapat digambarkan pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2. Posisi Inventori dalam Keadaan Steady State
Dengan demikian dalam keadaan steady state persediaan yang ada dalam gudang akan berfluktuasi s antara dan (s + qo), sehingga ekspektasi persediaan yang ada
dapat dinyatakan:
m =1
2��+� ...(2-7)
S
ubstitusi persamaan m =1
2��+�, ke dalam , akan memberikan hasil sebagai berikut. Os = (
1
2��+�) h ...(2-8)
Untuk dapat menghitung biaya simpan (Os) dari persamaan di atas yang belum diketahui hanyalah s. Harga s akan bervariasi dari satu siklus ke siklus yang lain. Jika permintaan barang selama lead time (L) sebesar x dengan distribusi kemungkinan f(x)
, maka harga s =r-x adalah . Harga s dengan demikian bisa berharga positif maupun negatif. Dalam keadaan steady state nilai ekspektasi s dapat dicari dimana besarnya
s = �−���� ��>� 0 ���� �≤�
Dengan demikian ekspektasi dari harga dapat dihitung sebagai berikut.
s = ∫�(� − �)�(�)��
Jika persamaan (2-9) disubstitusikan kedalam persamaan (2-8) akan diperoleh biaya simpan untuk keadaan lost sales sebagai berikut.
��=�� ���
2 +� −µ +ƞ(�)�...(2-11)
3. Biaya kekurangan persediaan (��)
Dalam model Q kekurangan persediaan hanya dimungkinkan selama waktu
yang kurang. Jika biaya kekurangan setiap satu unit barang sebesar π, biaya
kekurangan persediaan per tahun adalah:
Ok = NT π ...(2-12)
Dimana:
NT : jumlah kekurangan barang selama satu tahun
Harga NT dapat dicari dengan menghitung ekspektasi jumlah kekurangan persediaan
setiap siklusnya (ƞ(�)) dan ekspektasi frekuensi siklus selama satu tahun (f) , atau :
Dengan demikian biaya kekurangan persediaan (Ok) yang dihitung berdasarkan
kuantitas dapat diformulasikan sebagai berikut:
Ok = ��
�� ƞ(�) ...(2-16) Berangkat dari rumus biaya simpan dan biaya kekurangan persediaan, akan diperoleh formulasi total biaya persediaan. Hasil yang diperoleh dari persamaan 2-4, 2-11 dan
2-16 jika disubstitusikan kedalam OT dengan kekurangan persediaan diperlakukan secara lost sales maka akan diperoleh:
OT = OP + OS + Ok
Variabel keputusan optimal akan dapat diperoleh dengan menggunakan prinsip
optimasi. Syarat agar OT minimal adalah:
qo*= � digunakan prosedur interaktif G.Hadley and T.M Within sebagai berikut:
a. Hitung nilai qo1∗ awal sama dengan nilai qow∗ dengan formula Wilson yaitu:
qo1* = qow∗ = � 2��
ℎ ...(2-20)
b. Berdasarkan nilai qo1* yang diperoleh akan dapat dicari besarnya kemungkinan kekurangan persediaan Φ(z) dengan menggunakan persamaan
(2-19) dan selanjutnya akan dapat dihitung nilai r1∗:
Φ(z) = ℎqo
��+ℎqo, z dapat dicari dari tabel normalitas
Selanjutnya nilai r1∗ dapat dicari dengan menggunakan persamaan berikut:
r1∗= µ + zσ ...(2-21)
c. Dengan diketahui r1∗ yang diperoleh akan dapat dihitung nilai qo2∗
berdasarkan formula yang diperoleh dari persamaan (2-18).
3.4. Peramalan
3.4.1. Peramalan Kualitatif
Peramalan kualitatif biasanya digunakan bila tidak ada atau sedikit data masa lalu tersedia. Dalam metode ini, pendapat pakar dan prediksi mereka dijadikan dasar untuk menetapkan permintaan yang akan datang. Beberapa metode kualitatif yang banyak dikenal
antara lain (Spyros. 1998): 1. Metode Delphi
Metode ini merupakan cara sistematis untuk mendapatkan keputusan bersama dari suatu grup yang terdiri dari para ahli dan berasal dari disiplin yang berbeda. Grup ini tidak bertemu secara bersama dalam suatu forum untuk berdiskusi, tetapi mereka diminta
pendapatnya secara terpisah dan tidak boleh saling berunding. Hal ini dilakukan untuk menghindari pendapat yang bias karena pengaruh kelompok. Metode ini dipakai dalam
peramalan teknologi yang sudah digunakan pada pengoperasian jangka panjang.
2. Dugaan Manajemen
Dalam hal ini, peramalan didasarkan pada pertimbangan manajemen, umumnya oleh
manajemen senior. Metode ini akan akan cocok dalam situasi yang sangat sensitif terhadap
intuisi dari suatu kelompok kecil orang yang karena pengalamannya mampu memberikan opini
yang kritis dan relevan.
3. Riset Pasar
Metode ini mengumpulkan dan menganalisa fakta secara sistematis pada bidang yang berhubungan dengan pemasaran. Salah satu teknik utama adalah survey pasar yang akan memberikan informasi mengenai selera yang diharapkan konsumen, dimana informasi
Metode ini melibatkan orang-orang yang berpengalaman dalam berbagai bidang.
Perbedaan dengan metode Delphi terletak pada interaksi antar anggota panel. Dalam metode ini terdapat diskusi antar anggota secara langsung sedangkan dalam metode Delphi sama sekali tidak ada interaksi lisan.
5. Analogi Historis
Merupakan teknik peramalan yang didasarkan pada pola data masa lalu dari
produk-produk yang dapat disamakan secara analogi. Analogi historis akan cenderung lebih baik untuk penggantian produk di pasar dan apabila terdapat hubungan substitusi langsung dari
produk dalam pasar itu.
3.4.2. Peramalan Kuantitatif
Metode peramalan ini didasarkan pada data kuantitatif pada masa lalu. Hasil peramalan yang dibuat tergantung pada metode yang dipergunakan dalam peramalan
tersebut. Metode yang baik yaitu yang memberi nilai-nilai perbedaan atau penyimpangan yang mungkin. Peramalan kuantitatif hanya dapat digunakan apabila terdapat tiga kondisi berikut:
1. Adanya informasi tentang keadaan yang lain.
2. Informasi tersebut dapat dikuantifikasikan dalam bentuk data dapat diasumsikan bahwa
pola yang lalu akan berkelanjutan pada masa yang akan datang.
Adapun langkah-langkah melakukan peramalan secara kuantitatif (Gambar 3.3) sebagai berikut:
1. Tentukan tujuan peramalan
2. Pembuatan diagram pencar (scatter diagram)
3. Pilih minimal dua metode peramalan yang dianggap sesuai 4. Hitung parameter-parameter fungsi peramalan.
5. Hitung kesalahan setiap metode yang terbaik, yaitu yang memiliki kesalahan terkecil
7. Lakukan verifikasi peramalan.
Gambar 3.3. Langkah-langkah Peramalan Secara Kuantitatif
Ada dua kelompok besar metode kuantitatif, yaitu:
a. Metode Time Series
Metode time series adalah metode yang dipergunakan untuk menganalisis serangkaian data
yang merupakan fungsi dari waktu. Metode ini mengasumsikan beberapa pola atau kombinasi pola selalu berulang sepanjang waktu, dan pola dasarnya dapat diidentifikasi semata-mata atas dasar data historis dari serial itu. Dengan metode deret waktu dapat
ditunjukkan bagaimana permintaan terhadap suatu produk tertentu bervariasi terhadap waktu. Sifat dari perubahan permintaan dari tahun ke tahun dirumuskan untuk meramalkan
penjualan pada masa yang akan datang.
Ada empat komponen utama yang mempengaruhi analisis ini, yaitu : a. Pola siklis, jika penjualan produk memilki siklus yang berulang secara periodik
b. Pola musiman, jika pola penjualan berulang setiap periode Langkah I
Definisikan Tujuan Peramalan
Langkah II Buat Diagram Pencar
Langkah III
Pilih Beberapa Metode Peramalan
Langkah IV Hitung parameter-parameter
Langkah V
Hitung setiap kesalahan setiap metode
Langkah VI
Pilih Metode dengan kesalahan terkecil
c. Pola horizontal, jika nilai data berfluktuasi di sekitar nilai rata-rata.
d. Pola trend, jika data memiliki kecenderungan untuk naik/turun terus-menerus
Dalam meramalkan biaya-biaya yang termasuk dalam biaya operasi dipergunakan
pola trend karena biaya tersebut cenderung naik jika mesin/peralatan semakin tua atau semakin lama jangka waktu pemakaiannya. Ada beberapa trend yang digunakan di dalam penyelesaian masalah ini yaitu :
1.Trend linier
Bentuk persamaan umum :
Y = a + bt
sedangkan peramalannya mempunyai bentuk persamaan Yt = a + bt
2.Trend Eksponensial atau Pertumbuhan
Bentuk persamaan umum : Y = aebt
sedangkan peramalannya mempunyai bentuk persamaan :
Yt = aebt
3.Trend Logaritma Y = a + b log t
Yt = a + b log t
4.Trend Geometrik Bentuk persamaannya : Y = atb
sedangkan bentuk peramalannya : Yt = atb
5.Trend Hyperbola
Bentuk persamaan umumnya adalah :
Y = t b
a
sedangkan peramalnnya :
Yt = t
Adapun metode peramalan yang termasuk model time series adalah :
Metode ini digunakan untuk mengurangi ketidakteraturan musiman dari data yang lalu,
dengan membuat rata-rata tertimbang dari sederetan data masa lalu. Ketepatan dengan metode ini akan terdapat pada peramalan jangka pendek, sedangkan untuk peramalan
jangka panjang kurang akurat. Metode ini terdiri dari:
a. Metode Rata-rata Bergerak (moving average) Single Moving Average
Merupakan peramalan untuk satu periode ke depan dari periode rata-rata.
Rumus yang digunakan adalah:
Dasar dari metode ini adalah penggunaan moving average kedua untuk memperoleh
penyesuaian bentuk pola trend. Double Moving Avarage
Notasi yang diberikan adalah MA (M x N), artinya M – periode MA dan N – periode
NA
Weigthed Moving Average
Weighted moving average adalah metode perhitungan dengan cara mengalikan tiap-tiap periode dengan faktor bobot dan membagikannya dengan hasil produk yang merupakan penjumlahan faktor bobot. Formula metode Weighted Moving Average
dimana : Single Exponential Smoothing(SES)
Pengertian dasar dari metode ini adalah: nilai ramalan pada periode t+1 merupakan
nilai aktual pada periode t ditambah dengan penyesuaian yang berasal dari kesalahan nilai ramalan yang terjadi pada periode t tersebut. Secara matematis dapat dinyatakan:
α : suatu nilai (0<α<1) yang ditentukan secara subjektif
t
f : permintaan aktual pada periode t
1
ˆ
−
t
f : perkiraan permintaan pada periode t-1
Double Exponential Smoothing
Formula DoubleExponentialSmoothing adalah :
.
"
t
f : double exponential smoothing
(
' ")
2 ' "c. Trend Corrected Exponential Smoothing (Metode Hold)
Langkah pertama dilakukan dengan menghitung nilai level estimasi awal (Lo) dan trend estimasi awal (To) dengan menjalankan regresi linier antara permintaan At dan periode t
dalam bentuk persamaan At = at + b, konstanta b merupakan estimasi awal level Lo dan a merupakan estimasi trend awal To.
Perhitungan To dan Lo sebagai berikut:
To =
Selanjutnya, memodifikasi estimasi dengan rumusan sebagai berikut:
Lt+1 = α At+1 + (1- α)(Lt + Tt) Tt+1 = β(Lt+1 – Lt) + (1- β)Tt
2. Metode Proyeksi Kecenderungan dengan Regresi
Metode ini merupakan dasar garis kecenderungan untuk suatu persamaan, sehingga
dengan dasar persamaan tersebut dapat di proyeksikan hal-hal yang akan diteliti pada masa yang akan datang.
Bentuk fungsi dari metode ini dapat berupa: a. Konstan, dengan fungsi peramalan (Yt):
Yt = a, dimana
dimana : Yt = nilai tambah
N = jumlah periode b. Linier, dengan fungsi peramalan:
Yt = a + bt
c. Kuadratis, dengan fungsi peramalan : Yt = a + bt + ct2
n
3. Metode dekomposisi
Metode peramalan yang ditentukan dengan kombinasi dari fungsi yang ada sehingga
tidak dapat diramalkan secara biasa. Model tersebut didekati dengan fungsi linier atau siklis, kemudian bagi t atas kuartal sementara berdasarkan pola data yang ada. Metode
dekomposisi merupakan pendekatan peramalan yang tertua. Terdapat beberapa pendekatan alternatif umtuk mendekomposisikan suatu deret berkala yang semuanya bertujuan memisahkan setiap komponen deret data seteliti mungkin.
3.5. Penentuan Ukuran Lot (Lot Sizing)
Ada beberapa prosedur untuk menentukan ukuran lot. Prosedur-prosedur ini dimulai dari yang paling sederhana hingga algoritma yang komplek. Berikut ini ada beberapa teknik-tekniknya antara lain (Sukaria. 2008):
1. Metode Lot for Lot (LFL)
Pada metode ini dilakukan pemesanan sejumlah yang dibutuhkan sehingga tidak ada on hand inventory. Selain itu menggunakan asumsi bahwa order dapat dilakukan untuk jumlah berapapun.
2. Least Unit Cost (LUC)
Pada teknik LUC ini ukuran kuantitas pemesanan ditentukan dengan cara coba-coba
Keputusan ditentukan berdasarkan ongkor per unit terkecil dari setiap bakal ukuran lot
yang dipilih.
3. Least Total Cost (LTC)
Sarana untuk mencapai tujuan ini adalah suatu faktor yang disebut Economic Part Period (EPP). Pemilihan ukuran lot ditentukan dengan jalan membandingkan ongkos part period yang ditimbulkan oleh setiap ukuran lot yang akan dilaksanakan. EPP dihitung dengan
membagi ongkos pengadaan (A) dengan ongkos simpan per unit per periode. 4. Part Period Balancing (PPB)
Teknik ini merupakan satu variasi dari Least Total Cost (LTC). Konversikan ongkos pesan menjadi Equivalent Part Period (EPP).
H A EPP=
Dimana : A = ongkos pesan
H = ongkos simpan per unit periode 5. Period Order Quantity (POQ)
Prosedur yang dilakukan adalah :
a. Hitung Economic Order Quantity (EOQ)
b. Gunakan EOQ untuk menghitung frekuensi pemesanan per tahun (N)
EOQ N = λ
Dimana λ adalah kebutuhan tahunan c. Hitung POQ
N
tahun per periode Jumlah
POQ=
d. Bulatkan hasil POQ 6. Wagner Within
diabaikan karena fungsinya sebagai penyangga (buffer) dalam memelihara kelancaran proses
produksi dan distribusi. Sehubungan dengan itu, dibutuhkan suatu model tentang jumlah persediaan yang optimum.
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di PT Florindo Makmur yang bergerak dalam bidang produksi tepung
. PT. Florindo Makmur berada di Jl. Besar Desa Pergulaan Dusun V, Kecamatan Sei Rampah,
Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara.
4.2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Penelitian deskriptif ialah jenis penelitian
yang bertujuan untuk mendiskripsikan secara sistematik, factual, dan akurat tentang fakta-fakta dan
sifat-sifat suatu objek atau populasi tertentu. Tujuan penelitian ini adalah hanya sebatas membuat
deskripsi yang tepat apa adanya tentang fakta-fakta dan sifat-sifat dari objek tanpa membuat
prekdiksi atau mencari pemecahan atas masalah yang ada di objek tersebut. (Sinulingga, 2011).
4.3. Objek Penelitian
Objek penelitian yang diamati adalah distributor Lotte Mart dan distributor Berastagi
Supermarket dengan data yang diamati yaitu data permintaan produk Gunun Agung. Pemilihan
distributor dikarenakan area pemasaran distributor yang sangat luas, selain itu distributor tersebut
juga mempunyai retailer-retailer yang besar sehingga jumlah permintaan yang diterima oleh
perusahaan juga sangat besar.
4.4. Variabel Penelitian
1. Variabel independen
Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi variabel dependen baik secara positif maupun secara negatif (Sinulingga, 2011). Variabel independen pada penelitian
ini adalah diskon, jumlah permintaan, jumlah penjualan, dan distorsi informasi. 2. Variabel Dependen
Variabel dependen adalah yang nilainya dipengaruhi atau ditentukan oleh nilai variabel lain
(Sinulingga, 2011). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah bullwhip effect dan inventory
cost sebagai focus penelitian
4.5. Kerangka Konseptual Penelitian
Penelitian dapat dilaksanakan apabila tersedia sebuah perancangan kerangka konseptual yang baik sehingga langkah-langkah penelitian lebih sistematis. Kerangka
konseptual penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Jumlah Permintaan
Jumlah Penjualan
Bullwhip effect
Inventory Cost
Variabel Independen
Variabel Dependen
Distorsi Informasi Jumlah Penjualan
4.6. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan ada dua jenis yaitu:
1. Data primer berupa entitas pada setiap level distribusi dan aliran distribusi barang yang meliputi prosedur pemesanan dan pengiriman produk jadi.
2. Data sekunder berupa data yang diperoleh melalui pihak perusahaan dan karyawan PT.
Florindo Makmur yaitu: a. Data penjualan produk
b. Data permintaan produk
c. Biaya pesan, biaya simpan dan biaya kekurangan persediaan produk d. Leadtime pemesanan produk
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut: 1. Wawancara
Wawancara dilakukan tanya jawab dengan pihak manajemen distributor yang bekerja di
perusahaan tersebut mengenai hal-hal yang berhubungan dengan sistem pendistribusian
produk PT. Florindo Makmur. Responden yang dipilih dalam wawancara tersebut adalah
seorang manager distribution PT. Florindo Makmur dengan instrumen penelitian yang
digunakan adalah kuesioner terbuka yang mencakup informasi distribusi aliran barang di PT.
Florindo Makmur. Teknik pemilihan responden adalah purposive sampling yaitu sampel diambil
dengan maksud atau tujuan tertentu. Manager distribution diambil sebagai sampel karena
peneliti menganggap bahwa seseorang tersebut memiliki informasi sistem distribusi produk
yang diperlukan dalam penelitian.
2. Teknik kepustakaan
4.7. Pengolahan Data
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengolahan data adalah sebagai berikut: 1. Melakukan peramalan permintaan terhadap permintaan tahun 2015 dengan metode
Simple Exponential Smoothing dan metode Hold. Hasil peramalan permintaan tahun 2015 akan menjadi permintaan produk untuk tahun 2016.
2. Membandingkan hasil peramalan permintaan tahun 2015 atau permintaan produk tahun 2015 dengan permintaan aktual tahun 2016.
3. Perhitungan bullwhip effect dilakukan dengan membandingkan koefisien variansi
permintaan dengan koefisien variansi penjualan. Nilai dari koefisien variansi diperoleh terlebih dahulu mencari rata-rata maupun standar deviasi untuk permintaan maupun penjualan produk.
4. Kebijakan pengendalian persediaan dilakukan dengan perhitungan optimalisasi persediaan dengan model Q menggunakan pendekatan Hadley-Within sehingga
diperoleh ukuran lot pemesanan ekonomis (q) dan cadangan pengaman (ss) yang optimum. Ukuran lot pemesanan ekonomis (q) dan cadangan pengaman (ss) yang optimum yang telah diperoleh. Flow chart pengolahan data dapat dilihat pada Gambar
Melakukan peramalan terhadap
permintaan tahun 2015
Membandingkan hasil peramalan
dengan permintaan aktual tahun
2016
Perhitungan
Bullwhip Effect
Selesai
Mulai
Perhitungan optimalisasi persediaan
dengan Model Q menggunakan
pendekatan Hadley-Within
Membandingkan hasil perhitungan
bullwhip effect sebelum dan sesudah
dilakukan kebijakan pengendalian
persediaan
Analisis Pemecahan Masalah
4.8. Analisis Pemecahan Masalah
Analisis faktor dan solusi permasalahan tersebut akan diselesaikan dengan menerapkan
Model Q menggunakan pendekatan Hadley-Within atau kebijakan pengendalian persediaan barang
menggunakan model probabilistik yang membahas tentang penekanan biaya, mengurangi tingkat
persediaan serta menetapkan dan menjamin tersedianya produk dalam kuantitas dan waktu yang
tepat.
3.9. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil analisis dan pengolahan data, ditarik kesimpulan yang dapat memberikan
gambaran secara umum dari penelitian yang dilakukan. Kesimpulan merupakan rangkuman hasil
penelitian. Saran-saran yang diberikan berguna untuk tindak lanjut penelitian dan pemberian saran
kepada pihak perusahaan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penelitian.
4.10. Block Diagram Metode Penelitian
MULAI
Studi Pendahuluan
1. Kondisi Perusahaan 2. Mekanisme distribusi 3. Informasi pendukung 4. Masalah-masalah
Studi Literatur
1. Teori Buku
2. Referensi Jurnal Penelitian 3. Langkah-langkah penyelesaian
Identifikasi Masalah Awal
Distorsi informasi terhadap permintaan produk (Bullwhip Effect) yang mengakibatkan pembengkakan biaya pada sistem inventori
Pengumpulan Data
1. Data primer
- Prosedur pemesanan dan pengiriman produk jadi
2. Data sekunder
- Jumlah penjualan produk - Jumlah permintaan barang
- Biaya pesan, biaya simpan, dan biaya akibat kekurangan produk jadi
- Waktu pemesanan
Pengolahan Data
1.Melakukan peramalan permintaan kemudian
membandingkan hasil peramalan dengan permintaan aktual 2.Melakukan perhitungan bullwhip effect
3.Melakukan perhitungan optimalisasi persediaan dengan Model Q menggunakan pendekatan Hadley-Within
Analisis Pemecahan Masalah
Analisis penyebab dan solusi mengatasi bullwhip effect
Kesimpulan dan Saran
SELESAI
BAB V
PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
5.1. Pengumpulan Data
Dalam penyelesaian masalah pada penelitian ini, dibutuhkan sejumlah data yang relevan, yakni lead time pemesanan produk jadi oleh distributor, biaya pemesanan produk, biaya simpan, biaya kekurangan persediaan (stockout cost),dan data jumlah permintaan
produk jadi.
5.1.1. Lead Time Pemesanan
Lead time pemesanan adalah jangka waktu yang dibutuhkan dari pelepasan order PT. Florindo makmur sampai diterima oleh gudang distributor di wilayah pemasaran.
Komponen-komponen yang termasuk dalam lead time pemesanan adalah: a. Waktu pelepasan order
b. Waktu pemuatan Barang (Loading) c. Waktu Perjalanan (In transit) d. Waktu Bongkar (Unloading)
Lead time pemesanan bahan baku maupun produk jadi dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Lead Time Pemesanan
No. Keterangan Lead Time (Hari)
1 Produk Jadi (Manufaktur-Distributor) 1
2 Produk Jadi (Distributor-Retailer) 1
Sumber: PT. Florindo Makmur
5.1.2. Biaya Pemesanan Distributor Medan
Biaya pemesanan terdiri atas biaya untuk sekali pesan satu kotak produk Gunung
Agung yaitu sebesar Rp 1.000.
Biaya simpan bahan dan produk jadi terdiri dari beberapa elemen biaya yaitu biaya
yang diperkirakan akibat adanya modal yang tertanam dalam persediaan (capital cost), Biaya yang diperhitungkan akibat adanya penurunan nilai produk yang disimpan (deterioration cost), biaya pengawasan, pemindahan produk, pencatatan dan biaya pemeliharaan produk.
Besarnya biaya simpan untuk distributor ditetapkan sebesar 75% dari harga pembelian produk. Dengan demikian biaya simpan untuk produk produk Gunung Agung sebesar Rp
37.500 per kotak di level distributor.
5.1.4. Biaya Kekurangan Persediaan Produk Jadi
Ketidaktersediaan produk jadi di gudang distributor pada jumlah yang dibutuhkan diakibatkan perusahaan tidak mampu melakukan kegiatan produksi dan memenuhi
permintaan produk jadi. Berdasarkan pengalaman dan dikarenakan perusahaan tidak menginginkan sampai kehilangan penjualan maka ditetapkan besarnya biaya
BAB VI
ANALISA DAN PEMECAHAN MASALAH
6.1.Analisis
6.1.1. Analisa Bullwhip Effect
Berdasarkan hasil perbandingan peramalan permintaan periode Januari- Desember tahun 2015 dengan aktual permintaan tahun 2016 untuk distributor Lotte Mart, Berastagi
Supermarket, dan rantai manufakturnya diperoleh bahwa jumlah permintaan berdasarkan peramalan lebih rendah dibandingkan aktual permintaan nya. Rata-rata persentase selisih
permintaan untuk distributor Lotte Mart, Berastagi Supermarket, dan manufaktur masing-masing adalah 38,24%, 89,57%, dan 43,11 %.
Pada jumlah permintaan produk yang selalu berubah-ubah, serta keengganan dalam
melakukan komunikasi yang transparan dan akurat, telah menimbulkan fenomena yang sering terjadi pada sistem rantai supply, yaitu adanya simpangan yang jauh antara permintaan
yang ada dengan penjualan. Fenomena ini dinamakan bullwhip effect.
Dalam pelaksanaan sistem supply chain di PT. Florindo Makmur, telah terjadi bullwhip effect akibat distorsi informasi permintaan dari rantai distributor ke rantai
manufakturnya. Perbandingan hasil peramalan permintaan tahun 2015 dengan aktual permintaan tahun 2016 menunjukkan adanya variabilitas permintaan yang menimbulkan
inventori cukup besar pada rantai supply dan telah menyebabkan inefisiensi pada supply chain, yakni bertambahnya beban inventory cost atau ongkos simpan. Hal ini disebabkan kesalahan interpertasi data permintaan dan sistem informasi yang kurang terintegrasi pada
rantai distribusinya.
Besarnya nilai bullwhip effect diperoleh dari hasil bagi dari koefisien variansi
Mart (0,1982), Berastagi Supermarket (0,2425), begitu juga pada manufakturnya (0,2382).
Nilai bullwhip effect tersebut menunjukkan bahwa tidak terjadi peningkatan variabilitas permintaan dalam supply chain. Semakin besar nilai dari koefiesien variansi permintaan,
semakin besar pula nilai bullwhip effect. Sebaliknya, semakin kecil nilai dari koefiesien variansi permintaan, semakin kecil pula nilai bullwhip effect. Bullwhip effect dalam rantai supply dapat dilihat pada Tabel 6.1.
Tabel 6.1. Nilai Bullwhip Effect dalam Rantai Supply PT. Florindo Makmur
Rantai Supply Lotte Mart Berastagi Supermarket
Distributor 0.1982 0.2425
Manufaktur 0.2382
Nilai bullwhip effect lebih kecil dari satu, berarti tidak terjadi variabilitas permintaan pada rantai supply distributor Lotte Mart,dan distributor Berastagi Supermarket, begitu juga dengan rantai supply manufakturnya. Namun nilai bullwhip effect yang lebih kecil dari satu
menunjukkan terjadinya peningkatan variabilitas penjualan produk Gunung Agung.
Berdasarkan hasil identifikasi nilai bullwhip effect diketahui bahwa penyebab
terjadinya bullwhip effect adalah: 1. Demand Forecasting Updating
Peramalan yang dilakukan menggunakan peramalan permintaan yang diperoleh dari
distribusi resmi. Tidak akuratnya permintaan yang dilakukan pihak manufaktur mengakibatkan terjadinya variabilitas permintaan dalam rantai supply.
2. Lot Sizing
Lot Sizing diperlukan karena proses produksi dan pengiriman produk tidak akan ekonomis jika dilakukan dalam ukuran kecil. Permintaan pelanggan akhir yang relatif
retailer sehingga pusat distribusi akan menerima order yang lebih fluktuatif
dibandingkan permintaan yang dihadapi oleh retailer. 3. Rationing and Shortage Gaming
Pihak distributor maupun retailer sering melakukan rationing, yakni ketika mengetahui bahwa permintaan sering tidak terpenuhi seluruhnya, distributor berupaya membesarkan ukuran pesanan mereka dengan harapan kalau dilakukan rationing, mereka masih
memperoleh jumlah yang cukup. Akibatnya, seringkali pada saat persediaan sebenarnya cukup, distributor dan retailer mengubah atau membatalkan pesanan mereka. Cara
seperti ini merusak informasi pasar pada supply chain. Pihak manufaktur tidak akan pernah mendapatkan informasi pasar yang mendekati kenyataan akibat motif gaming dan spekulatif yang dilakukan oleh distributor maupun retailer. Pabrik atau pemain hulu
tidak akan dengan mudah membedakan antara kenaikan pesanan yang bermotif spekulatif dan peningkatan pesanan yang murni merefleksikan peningkatan permintaan
dari pelanggan akhir. 4. Fluktuasi harga
Kebijakan promosi berupa pemberian diskon menyebabkan perubahan permintaan.
Permintaan melonjak pada saat pemberian diskon dan mengalami penurunan saat diskon dihentikan. Produksi dapat saja kekurangan saat ada harga khusus yang diberikan
kepada konsumen. Pada saat harga normal, stok pada distributor pun menumpuk.
6.2.Pembahasan
6.2.1. Kebijakan Inventori dengan Model Q (Metode Hadley-Within)
Setelah melakukan pengendalian persediaan produk menggunakan model
demikian pelayanan PT. Florindo Marmur terhadap pelanggan dapat terpenuhi meskipun
adanya fluktuasi permintaan produk dari pelanggan terhadap perusahaan.
Kebijakan inventori dengan model Q menggunakan metode Haldey-Within
mempunyai keunggulan dalam penentuan ukuran lot yang optimal dan cadangan pengaman mudah dipecahkan secara analitik karena pencarian solusinya dilakukan dengan cara iteratif. Kelemahan dari model ini sendiri adalah sulitnya untuk mendapatkan ukuran lot dan
cadangan pengaman yang optimal karena harus mengikuti tahap iterasi yang begitu rumit sampai diperoleh selang waktu pemesanan yang hampir sama.
6.2.2. Usulan Mengatasi Bullwhip Effect
Bedasarkan hasil penelitian, maka diberikan beberapa pendekatan yang dapat
diusulkan untuk mengatasi bullwhip effect yakni: 1. Information Sharing
Informasi yang tidak transparan mengakibatkan banyak pihak pada supply chain melakukan kegiatan dasar ramalan atau tebakan yang tidak akurat. Ritel sering sekali membagi informasi penjualan dengan pusat distribusi atau pabrik. Akibatnya pabrik
hanya mengetahui pola permintaan berdasarkan order yang diterima dari pusat ditribusi dan pusat distribusi memahami permintaan berdasarkan pola order dari para ritel. Oleh
karena itu, salah satu cara mereduksi bullwhip effect adalah dengan membagi informasi permintaan ke seluruh pemain pada supply chain, ternasuk pusat distribusi, pabrik, maupun pemasok komponen atau bahan baku. Kesalahan ramalan di seluruh lini supply
chain dapat dikurangi dengan pertukaran informasi yang lebih baik. Apabila data penjualan oleh toko atau ritel diketahui oleh semua pihak pada supply chain maka
ramalan permintaan dapat dibuat lebih seragam.
Sistem informasi yang transparan, akurat, dan terintegrasi mengenai hal-hal yang menyangkut permintan dan persediaan produk (Accurate Pull Data), yang dapat
dapat menjadwalkan secara efektif dan CAO (Computer Assisted Ordering), dengan ini
pihak supply chain dapat mengetahui secara pasti besarnya permintaan, jumlah penjualan dan jumlah produk yang tersedia.
2. Memperbaiki manajemen dan teknik peramalan
Demand Management/Forecasting dapat dilakukan dengan memperbaiki teknik-teknik peramalan khususnya pada bagian manufaktur sehingga didapatkan hasil peramalan
yang akurat.
3. Menciptakan stabilitas harga
Pemberian potongan harga oleh penyalur ke toko-toko atau ritel dapat mengakibatkan reaksi forward buying yang sebenarnya tidak berpengaruh kepada permintaan dari pelanggan akhir. Untuk mengindari reaksi forward buying, frekuensi dan intensitas
kegiatan promosi parsial seperti ini harus dikurangi dan lebih diarahkan ke pengurangan harga secara kontinyu sehingga dapat menciptakan program seperti every day low price.
Atau kalaupun kegiatan promosi atau penurunan harga dilakukan, semua pihak pada suplly chain harus mengetahui program tersebut dengan baik sehingga tidak keliru dalam menaksir permintaan yang sesungguhnya.
4. Pengurangan ongkos-ongkos tetap
Untuk bagian pengadaan, ukuran lot pemesanan dapat dikurangi dengan mengeliminasi
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil pengumpulan, pengolahan dan analisis data adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil peramalan tahun 2015 lebih rendah dibandingkan aktual permintaan pada distributor dan manufaktur tahun 2016 dengan rata-rata persentase selisih untuk distributor Lotte Mart, Berastagi Supermarket, dan manufaktur masing-masing sebesar 38,24%, 89,57%, dan 43,11%.
2. Hasil perbandingan peramalan nilai bullwhip effect permintaan tahun 2015 dengan permintaan aktual tahun 2016 untuk distributor Lotte Mart, Berastagi Supermarket dan
pada rantai manufakturnya masing-masing adalah 0,1982; 0,2425, dan 0,2382.
3. Usulan Solusi untuk mengatasi bullwhip effect di PT. Florindo Makmur adalah dengan mereduksi bullwhip effect yaitu memperhatikan kebutuhan dan persedian pengaman
menggunakan model Q melalui pendekatan Hadley-within, lalu menentukan ukuran lot pemesanan yang ekonomis, cadangan pengaman dan ekspetasi total persediaan.
7.2. Saran
Saran yang dapat diberikan setelah dilakukan penelitian ini adalah:
1. Seluruh pemain yang bergerak di bidang supply chain agar dapat menjalin komunikasi
2. Sebaiknya dilakukan manajemen permintaan pada bagian manufaktur dengan
memperbaiki teknik-teknik peramalan yang ada sehingga diperoleh hasil peramalan permintaan yang lebih akurat.