BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Defenisi Merek
Menurut UU Merek No.15 Tahun 2001 pasal 1 ayat 1, merek adalah
“tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan
warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan
digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa”. Sedangkan menurut
pendapat Kotler (2000), pengertian merek adalah suatu janji penjual untuk secara
konsisten memberikan fitur, manfaat dan jasa tententu kepada pembeli, bukan
hanya sekedar simbol yang membedakan produk perusahaan tertentu dengan
kompetitornya.
Definisi merek menurut American Marketing Association memiliki
kesamaan dengan definisi menurut UU Merek No.15 Tahun 2001, yaitu lebih
menekankan merek sebagai identifier dan differentiator. Berdasarkan beberapa
definisi di atas, secara teknis apabila seorang pemasar membuat nama, logo atau
simbol baru untuk sebuah produk baru, maka ia telah menciptakan sebuah merek.
2.1.2 Manfaat Merek
Menurut Keller dalam Tjiptono (2005), merek bermanfaat bagi produsen
maupun konsumen. Bagi produsen merek berperan sebagai berikut :
1. Sarana identifikasi untuk memudahkan proses penanganan atau pelacakan
produk bagi perusahaan, terutama dalam pengorganisasian sediaan dan
2. Bentuk proteksi hukum terhadap fitur atau aspek produk yang unik.
Merek bisa mendapatkan perlindungan properti intelektual. Nama merek
bisa diproteksi melalui merek dagang terdaftar (registered trademarks),
proses pemanufakturan bisa dilindungi melalui hak paten, dan kemasan
bisa diproteksi melalui hak cipta (copyrights) dan desain. Hak-hak
properti intelektual ini memberikan jaminan bahwa perusahaan dapat
berinvestasi dengan aman dalam merek yang dikembangkannya dan
meraup manfaat dari saet bernilai tersebut.
3. Signal tingkat kualitas bagi para pelanggan yang puas, sehingga mereka
bisa dengan mudah memilih dan membelinya lagi di lain waktu.
Loyalitas merek seperti ini menghasilkan predictability dan security
permintaan bagi perusahaan dan menciptakan hambatan masuk yang
menyulitkan perusahaan lain untuk memasuki pasar.
4. Sarana menciptakan asosiasi dan makna unik yang membedakan produk
dari para pesaing.
5. Sumber keunggulan kompetitif, terutama melalui perlindungan hukum,
loyalitas pelanggan, dan citra unik yang terbentuk dalam benak
konsumen
6. Sumber financial returns, terutama menyangkut pendapatan masa
datang.
Bagi konsumen, merek bisa memberikan beraneka macam nilai melalui
sejumlah fungsi dan manfaat potensial. Keller dalam Tjiptono (2005) ada 7
1. Sebagai identifikasi sumber produk
2. Penetapan tanggung jawab pada pemanufaktur atau distributor
tertentu
3. Pengurang risiko
4. Penekan biaya pencarian (search costs) internal dan eksternal
5. Janji atau ikatan khusus dengan produsen
6. Alat simbolis yang memproyeksikan citra diri
7. Signal kualitas
Sedangkan menurut Kapferer dalam Tjiptono (2005), fungsi potensial
sebuah merek meliputi identifikasi, praktikalitas, garansi, optimisasi,
karakterisasi, kontinuitas, hedonistic, dan fungsi etis. Seperti pada tabel berikut
ini:
Tabel 2.1
Fungsi Merek
No. FUNGSI MANFAAT BAGI PELANGGAN
1. Identifikasi
Bisa dilihat dengan jelas; memberikan makna bagi produk; gampang mengidentifikasi produk yang dibutuhkan atau dicari.
2. Praktikalitas
Memfasilitasi penghematan waktu dan energy melalui pembelian ulang identik dan loyalitas.
3. Jaminan
No. FUNGSI MANFAAT BAGI PELANGGAN
4. Optimisasi Memberikan kepastian bahwa konsumen dapat membeli alternatif terbaik dalam kategori produk tertentu dan pilihan terbaik untuk tujuan spesifik.
5. Karakterisasi Mendapatkan informasi mengenai citra diri konsumen atau citra yang ditampilkannya kepada orang lain.
6 Kontinuitas
Kepuasan terwujud melalui familiaritas dan intimasi dengna merek yang telah digunakan atau dikonsumsi pelanggan selama bertahun-tahun.
7 Hedonistik
Kepuasan terkait dengan daya tarik merek, logo, dan komunikasinya
8. Etis
Kepuasan berkaitan dengan perilaku bertanggung-jawab merek bersangkutan dalam hubungannya dengan masyarakat.
Sumber : Kapferer dalam (Tjiptono,2005)
2.1.3 Interpretasi merek
Istilah “merek” sebenarnya memiliki banyak interpretasi dan tidak
mudah membedakannya dengan “produk” dan “marketing offering”. Profesor
Brand Marketing dari University of Birmingham, Leslie de Chernatony
(2001-2003) mengidentifikasi setidaknya ada 14 interpretasi terhadap merek, yang
dikelompokkan menjadi tiga kategori : interpretasi berbasis input (branding
rangka meyakinkan konsumen), interpretasi berbasis output (interpretasi dan
pertimbangan konsumen terhadap kemampuan merek memberikan nilai tambah
bagi mereka), dan interpretasi berbasis waktu (menekankan branding sebagai
proses yang berlangsung terus-menerus. Ketiga kategori ini kemudian dijabarkan
menjadi 14 macam interpretasi, yakni merek sebagai logo, instrumen hukum,
perusahaan shorthand, risk reducer, positioning, kepribadian, serangkaian nilai,
visi, penambah nilai, identitas, citra, relasi, dan evolving entity.
Tabel 2.2
Interpretasi Terhadap Merek
No
. INTERPRETASI DESKRIPSI
A. Perspektif Input
1. Merek sebagai logo Merek didefinisikan sebagai “nama, istilah, tanda, simbol atau desain, atau kombinasi di antaranya yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang dan jasa dari satu penjual atau sekelompok penjual dan membedakannya dari barang dan jasa para pesaingnya” (definisi American Marketing Association, dikutip dalam Kotler, et al. (2004, p. 407). Definisi ini menekankan peranan merek sebagai identifier dan differentiator.
2. Merek sebagai instrumen Merek mencerminkan hak kepemilikan yang dilindungi secara hukum.
3. Merek sebagai perusahaan Merek mempresentasikan perusahaan, dimana nilai-nilai korporat diperluas ke berbagai macam kategori produk.
No INTERPRETASI DESKRIPSI 5. Merek sebagai penekan
risiko (risk reducer)
Merek menekan persepsi konsumen terhadap risiko (misalnya, risiko kinerja, risiko finansial, risiko waktu, risiko sosial, dan risiko psikologis)
6. Merek sebagai positioning
Merek diinterpretasikan sebagai wahana yang memungkinkan pemiliknya untuk mengasosiasikan penawarannya dengan manfaat fungsional tertentu yang penting, bisa dikenali, dan dinilai penting oleh para konsumen.
7. Merek sebagai
kepribadian
Merek memiliki nilai-nilai emosional atau kepribadian yang bisa sesuai dengan citra diri konsumen (baik citra actual, citra aspirasional, maupun citra situasional).
8. Merek sebagai
serangkaian nilai
Merek memiliki serangkaian nilai yang mempengaruhi pilihan merek. 9. Merek sebagai visi Merek merupakan visi para manajer
senior dalam rangka membuat dunia semakin baik. Dengan kata lain, merek mencerminkan apa yang ingin diwujudkan dan ditawarkan oleh para manajer senior kepada masyarakat luas.
10. Merek sebagai penambah nilai
Merek merupakan manfaat ekstra (fungsional dan emosional) yang ditambahkan pada produk atau jasa inti dan dipandang bernilai oleh konsumen.
11. Merek sebagai identitas Merek memberikan makna pada produk dan menentukan identitasnya, baik dalam hal ruang maupun waktu.
Perspektif Output
No INTERPRETASI DESKRIPSI
13. Merek sebagai relasi Oleh karena merek bisa dipersonifikasikan, mak apara pelanggan bisa menjali relasi dengannya. Merek membantu pelanggan melegitimasi pandangan atau pemikirannya terhadap dirinya sendiri.
Perspektif Waktu
14. Merek sebagai
evolving entity
Merek bertumbuh seiring perubahan permintaan pelanggan dan persaingan. Akan tetapi, yang berubah adalah peripheral values, sementara core values jarang berubah.
Sumber : de Chernatony dalam Tjiptono (2005)
2.1.4 Perubahan Merek (Rebranding)
Perubahan merek (Rebranding) berarti proses dimana organisasi
melakukan perubahan terkait dengan cara produk dipasarkan dan didistribusikan
dengan menggunakan merek yang berbeda. Hal ini biasanya dilakukan dengan
mengubah logo merek, nama merek, citra merek, strategi pemasaran atau strategi
periklanan, tapi tidak selalu demikian. Perubahan tersebut biasanya ditujukan
untuk repositioning produk di pasar (Donnelly dan Linton, 2009).
Pengertian rebranding adalah perubahan identitas, yang harus dilihat
sebagai sebuah keputusan strategis dengan rencana yang matang.(Daly dan
Moloney,2004). Rebranding dapat juga diartikan sebagai suatu proses pemberian
nama brand baru atau identitas baru pada produk atau jasa yang sudah mapan
tanpa perubahan berarti dari manfaat yang ditawarkan oleh produk.
Beberapa hal yang dapat menjadi motivasi dilakukannya rebranding,
1. Terjadi merger, akuisisi, divestasi yang memungkinkan merek, logo atau slogan
tidak lagi sesuai.
2. Pergeseran pasar yang dikarenakan tindakan pesaing, munculnya pesaing baru,
maupun perubahan kondisi ekonomi dan hukum.
3. Citra yang sudah kadaluarsa atau tidak sesuai lagi dengan perkembangan pasar.
4. Munculnya fokus dan visi baru bagi perusahaan.
5. Menjauhi perusahaan dari lingkup sosial dan moral dan untuk menampilkan
citra yang lebih bertanggung jawab sosial.
Proses rebranding terdiri atas dua tipe, tipe pertama adalah apabila
dalam proses rebranding terjadi penggantian merek yang sudah mapan dengan
merek yang baru seperti Sari Puspa menjadi Soffell dan National menjadi
Panasonic, sedangkan tipe kedua adalah apabila dalam proses rebranding terjadi
suatu modifikasi dari merek yang sudah mapan seperti Coco Krispies menjadi
Coco Pops dan produk minuman Nestle Quik menjadi Nesquik.
2.1.5 Faktor Perubahan Merek
Hal ini berhubungan dengan latar belakang perusahaan yang ingin
melakukan adaptasi agar lebih eksis terhadap perubahan lingkungan bisnis atau
untuk meningkatkan daya saing dalam era kompetitif. Beberapa hal yang biasanya
menjadi dasar perubahan di antaranya:
1. Pergantian pemimpin
Pergantian pemimpin sering sekali juga diikuti dengan proses rebranding
sebagai bentuk pemberitahuan pada publik internal dan eksternal akan
2. Krisis image
Image sebagai bentuk persepsi eksternal terhadap aktivitas yang dijalankan
oleh perusahaan seringkali harus diubah karena adanya krisis yang
dihadapi oleh perusahaan. Kasus korupsi 1,7 triliun yang dihadapi oleh
BNI pada akhir tahun 2004 membuat pihak manajemen merasa perlu
melakukan rebranding sebagai upaya untuk menunjukkan kepada publik
bahwa pihak manajemen telah melakukan perubahan dan lebih profesional
dalam melayani publik.
3. Kejenuhan pasar
Ada saat di mana pasar merasa jenuh dengan brand image yang diusung
sebuah produk atau perusahaan yang berdampak pada menurunnya
penjualan. Oleh karena itu, perusahaan perlu melakukan penyegaran
dengan melakukan rebranding.
4. Visi baru perusahaan
Adanya keinginan untuk memunculkan satu nilai bersama dari beragam
unit bisnis akan melahirkan sebuah visi baru. MedcoEnergi misalnya,
dengan beragam unit bisnis yang dimiliki dan beragam identitas visual
serta sikap, merasa perlu memunculkan kesamaan sikap dan rasa
kebersamaan yang berdampak pada perlunya rebranding. Di tahap awal
prosesnya rebranding MedcoEnergi berhubungan dengan perubahan dan
penyatuan identitas visual, penyeragaman sistem penamaan unit bisnis dan
2.1.6 Hasil Perubahan Merek
Implementasi dari proses rebranding yang dijalankan oleh perusahaan
biasanya berhubungan dengan tiga hal berikut:
1. Perubahan logo
Disebabkan karena logo lama dianggap sudah ketinggalan jaman atau
terjadi kesalahan asosiasi brand. Apa yang dialami oleh PT Excelcomindo
di mana pelanggan lebih mengasosiasikan product brand Pro XL dengan
company brand PT Excelcomindo dikarenakan pihak manajemen terlalu
menonjolkan product brand, sehingga pelanggan lebih mengetahui
product brand dari pada company brand dan menganggap product brand
sebagai company brand. Logo baru diharapkan bisa mengubah asosiasi
yang keliru terhadap product brand dan company brand.
2. Refreshment logo
Pada prinsipnya tidak ada perubahan logo, tapi lebih dimaksudkan untuk
menyegarkan product brand atau company brand di benak pelanggan agar
tetap menjadi top of mind. Di kalangan karyawan sendiri diharapkan
adanya kegairahan atau motivasi dalam bekerja sebagai wujud komitmen
refreshment logo yang dilakukan. Positioning perusahaan perlu ditegaskan
kepada karyawan agar dampak dari refreshment yang dilakukan bisa
dirasakan oleh seluruh anggota perusahaan yang akan berimbas pada
aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan dan akan dipersepsi oleh publik
3. Perubahan visi
Visi perusahaan yang baru diharapkan akan lebih mampu beradaptasi
terhadap lingkungan bisnis yang secara konstan akan terus berubah.
Indikator seperti perkembangan teknologi dan liberalisasi perdagangan
harus dicermati agar perusahaan dapat senantiasa beradaptasi dengan baik.
Rebranding perusahaan dalam menyikapi perubahan ini seringkali akan
berimbas pada lahirnya visi perusahaan yang baru.
2.1.7 Definisi Loyalitas
Berikut definisi dari terjemahan loyalitas (customer loyalty) menurut
beberapa ahli. Menurut Oliver (1997), antara lain : “Komitmen untuk bertahan
secara mendalam dengan melakukan pembelian ulang atau berlangganan kembali
dengan produk atau jasa terpilih secara konsisten dimasa yang akan datang,
meskipun pengaruh situasi dan usaha-usaha pemasaran mempunyai potensi untuk
menyebabkan perubahan perilaku”.
Sedangkan Griffin (1995), menyatakan pendapatnya tentang loyalitas
pelanggan antara lain : “Konsep loyalitas lebih mengarah kepada prilaku
(behaviour) dibandingkan dengan sikap (attitude) dan seorang konsumen yang
loyal akan memperlihatkan prilaku pembelian yang didefinisikan sebagai pembeli
yang teratur dan diperlihatkan sepanjang waktu oleh beberapa unit pembuatan
keputusan”.
2.1.8 Brand Loyalty
Brand loyalty (loyalitas terhadap suatu merek) didefinisikan sebagai
komitmen dan bermaksud untuk melanjutkan pembelian di masa yang akan
datang (Mowen, 1995) dalam Griffin.
Loyalitas merek merupakan ukuran kedekatan / keterkaitan pelanggan
pada sebuah merek. Ukuran ini menggambarkan tentang mungkin tidaknya
konsumen beralih ke merek lain, terutama jika merek tersebut mengalami
perubahan baik yang menyangkut harga ataupun atribut lainnya. Konsumen yang
loyal pada umumnya akan melanjutkan penggunaan merek tersebut, walaupun
dihadapkan dengan banyak alternatif merek produk pesaing yang menawarkan
karakteristik produk yang lebih unggul. Beberapa fungsi yang dapat diberikan
oleh brand loyalty kepada perusahaan yaitu:
1. Mengurangi biaya pemasaran.
2. Meningkatkan perdagangan.
3. Menarik minat pelanggan baru.
4. Memberi waktu untuk merespon ancaman pesaing.Branduality
Loyalitas konsumen terhadap merek terdiri dari lima kategori yang memiliki
tingkatan loyalitas mulai dari yang paling rendah sampai tertinggi yang
membentuk piramida loyalitas merek. Adapun tingkatan loyalitas merek adalah :
1. Konsumen yang berpindah-pindah (Switcher)
Pembeli yang berada pada tingkat ini disebut sebagai pelanggan yang
berada pada tingkat paling dasar, dan juga sama sekali tidak loyal. Pembeli pada
tingkat ini tidak mau terikat pada merek apa pun, karena karakteristik konsumen
yang berada pada kategori ini pada umumnya adalah mereka yang sensitif
dianggap telah memadai serta hanya memiliki peranan yang kecil dalam
keputusan untuk membeli.
2. Pembelian yang berdasarkan kebiasaan (Habitual Buyer)
Pembeli yang berada pada tingkat ini, dikategorikan sebagai pembeli
yang puas dengan merek yang telah mereka konsumsi. Para pembeli tipe ini
memilih merek hanya karena faktor kebiasaan. Karakteristik konsumen yang
termasuk dalam kategori ini adalah jarang untuk mengevaluasi merek lain.
Sungkannya konsumen untuk berpindah ke merek lain lebih dikarenakan sikap
mereka yang pasif.
3. Pembeli yang puas dengan biaya peralihan (Satisfied Buyer)
Pembeli pada tingkat ini dikategorikan sebagai pembeli yang puas
dengan merek yang mereka konsumsi, namun demikian mungkin saja mereka
memindahkan pembelian ke merek lain dengan menanggung switch cost yang
terkait dengan waktu, uang, manfaat, ataupun resiko kinerja yang melekat dengan
tindakan mereka dalam peralihan merek.
4. Pembeli yang menyukai merek (Liking the Brand)
Pada tingkat ini, konsumen sungguh-sungguh menyukai merek. Pada
tingkat ini dijumpai perasaan emosional yang terkait pada merek. Preferensi
mereka dilandaskan pada suatu asosiasi, seperti simbol, rangkaian pengalaman
dalam menggunakan merek produk.
5. Pembeli yang setia (Committed Buyer)
Pada tingkatan ini pembeli merupakan pelanggan yang setia. Mereka
menjadi suatu hal yang sangat penting bagi mereka, baik karena fungsi
operasional maupun emosional dalam mengekspresikan jati diri. Salah satu
aktualisasi loyalitas konsumen pada tingkat ini ditunjukan dengan tindakan
merekomendasikan dan mempromosikan merek tersebut pada pihak lain. Upaya
perusahaan untuk meningkatkan ekuitas merek yang dimiliki dapat dijadikan
landasan dari program pemasaran yang sukses. Setiap perusahaan, apapun jenis
usahanya, dipastikan selalu sangat bergantung dengan kesetiaan konsumen
terhadap merek.
Committed Buyer
Liking the Brand
Satisfied Buyer
Habitual Buyer
Switcher
Sumber : Aaker dalam Durianto (2004)
Gambar 2.1
Piramida Brand Loyalty (Loyalitas Merek) Menurut Griffin (1995), ada tujuh tahap loyalitas, yaitu :
1. Suspect
Meliputi semua orang yang mungkin akan membeli barang atau jasa
perusahaan. Pada hal ini konsumen akan membeli tetapi belum mengetahui
2. Prospect
Orang-orang yang memiliki kebutuhan barang atau jasa tertentu dan
mempunyai kemampuan untuk membelinya. Pada tahap ini konsumen belum
melakukan pembelian, tetapi telah mengetahui keberadaan perusahaan dan barang
atau jasa yang ditawarkan, karena seseorang telah merekomendasikan barang atau
jasa tersebut padanya.
3. Disqualified Prospect
Orang yang telah mengetahui barang atau jasa tertentu, tetapi tidak
mempunyai kebutuhan akan barang atau jasa tersebut, atau tidak mempunyai
kemampuan untuk membeli barang atau jasa tersebut.
4. First Time Customer
Konsumen yang membeli untuk yang pertama kalinya. Pembelian ini
masih menjadi konsumen pembelian biasa dari barang atau jasa pesaing.
5. Repeat Customer
Konsumen yang telah melakukan pembelian suatu produk sebanyak dua
kali atau lebih. Konsumen ini adalah yang melakukan pembelian atas produk yang
sama sebanyak dua kali atau membeli dua macam produk yang berbeda dalam dua
kesempatan yang berbeda pula.
6. Clients
Membeli semua barang atau jasa yang ditawarkan yang mereka
butuhkan, hubungan dengan konsumen ini sudah kuat dan berlangsung lama, yang
7. Advocates
Layaknya klien, advocates membeli seluruh barang atau jasa yang
ditawarkan dan dibutuhkan, serta melakukan pembelian secara teratur. Sebagai
tambahan, mereka mendorong orang luar untuk membeli barang atau jasa
tersebut.
8. Partners
Merupakan bentuk hubungan yang paling kuat antara pelanggan dengan
perusahaan dan berlangsung secara terus menerus karena kedua pihak melihatnya
sebagai hubungan yang saling menguntungkan (win-win solution).
Menurut Oliver (1997), ada empat tahap loyalitas antara lain :
1. Loyalitas berdasarkan kesadaran (Cognitive loyalty)
Pada tahap pertama loyalitas ini, informasi utama suatu produk atau jasa
menjadi faktor penentu, tahap ini berdasarkan pada kesadaran dan harapan
konsumen. Namun bentuk kesetiaan ini kurang kuat karena konsumen mudah
beralih kepada produk atau jasa yang lain jika memberikan informasi yang lebih
menarik.
2. Loyalitas berdasarkan pengaruh (Affective loyalty)
Pada tahap ini loyalitas mempunyai kedudukan pengaruh yang kuat baik
dalam prilaku maupun sebagai komponen yang mempengaruhi kepuasan. Kondisi
sangat sulit dihilangkan karena kesetiaan sudah tertanam dalam pikiran konsumen
bukan hanya sebagai kesadaran atau harapan.
Tahap loyalitas ini mengandung komitmen perilaku yang tinggi untuk
melakukan pembelian produk atau jasa. Hasrat untuk melakukan pembelian ulang
atau bersikap loyal merupakan tindakan yang dapat diantisipasi namun tidak
disadari.
4. Loyalitas dalam bentuk tindakan (Action loyalty)
Tahap ini merupakan tahap terakhir dari kesetiaan, pada tahap ini
diawali suatu keinginan yang disertai motivasi, selanjutnya diikuti oleh siapapun
untuk bertindak dan keinginan untuk mengatasi seluruh hambatan untuk
melakukan tindakan.
Menurut Hill dalam Griffin (2005) membagi tahapan loyalitas pelanggan
menjadi enam tahap mulai dari suspect sampai pada tahap partner. Di bawah ini
akan digambarkan mengenai piramida tahapan loyalitas pelanggan tersebut.
* Profit Starts Here (keuntungan dimulai disini)
Gambar 2.2. Piramida tahap-tahap loyalitas pelanggan Sumber : Griffin (2005)
Suspect Prospect * Customer *
Clients Advocare
2.1.9 Loyalitas Konsumen
Oliver dalam Griffin (2005), mengungkapkan definisi loyalitas
konsumen adalah sebagai berikut: “ Customer loyalty is deefly held commitment
to rebuy or repatronize a preferred product or service consistenly in the future,
despite situational influence and marketing efforts having the potential to cause
switching behavior ”. Uraian definisi di atas menjelaskan bahwa loyalitas
konsumen adalah suatu komitmen dari konsumen untuk bertahan secara
mendalam agar mengkonsumsi kembali atau melakukan pembelian ulang suatu
produk dan jasa yang terpilih secara konsisten dimasa yang akan datang,
meskipun pengaruh situasi dan usaha-usaha pemasaran mempunyai potensi untuk
menyebabkan perubahan perilaku.
Menurut Sumarwan (2003), konsumen yang merasa puas terhadap
produk dan merek yang dikonsumsi atau dipakai akan membeli ulang produk
tersebut. Jika pembelian ulang tersebut dilakukan secara terus-menerus, maka
inilah yang dikatakan sebagai loyalitas konsumen.
Dick dan Basu dalam Tjiptono (2005), menyatakan bahwa ada empat
jenis loyalitas konsumen yang berbeda dan muncul apabila keterikatan rendah dan
tinggi diklasifikasi silang dengan pola pembelian ulang yang rendah dan tinggi.
Tabel 2.3 Keterikatan Relatif
Tinggi Rendah
Tinggi Loyalitas Premium Loyalitas Tersembunyi
Rendah Loyalitas Lemah Tanpa Loyalitas
Sumber: Tjiptono (2005)
1. Tanpa Loyalitas (No Loyalty)
Tanpa loyalitas terjadi bila tingkat keterikatan dan perilaku pembelian ulang
konsumen yang sama-sama lemah, sehingga loyalitas tidak terbentuk. Ada dua
kemungkinan penyebab. Pertama, sikap yang lemah (mendekati netral) dapat
terjadi jika suatu produk dan jasa baru diperkenalkan dan atau pemasarnya
tidak mampu mengkomunikasikan keunggulan unik produknya. Penyebab
kedua berkaitan dengan dinamika pasar, dimana merek-merek yang
berkompetisi dipersepsikan serupa atau sama.
2. Loyalitas Lemah (Spurious Loyalty)
Tingkat keterikatan yang rendah bila digabung dengan perilaku pembelian
berulang yang tinggi akan menghasilkan loyalitas lemah. Konsumen ini
biasanya membeli karena adanya faktor kebiasaan. Hal ini termasuk jenis
pembelian ”karena konsumen selalu menggunakannya” atau ”karena sudah
terbiasa”. Pembeli ini merasakan tingkat kepuasan tertentu dengan perusahaan
atau minimal tiada ketidakpuasan yang nyata. Loyalitas jenis ini paling umum
3. Loyalitas Tersembunyi (Latent Loyalty)
Tingkat preferensi yang relatif tinggi bila digabung dengan perilaku pembelian
berulang yang rendah akan menunjukan loyalitas tersembunyi. Bila konsumen
memiliki loyalitas tersembunyi, pengaruh situasi dan bukan pengaruh sikap
yang akan menentukan pembelian berulang. Dengan memahami faktor situasi
yang berkontribusi pada loyalitas tersembunyi, perusahaan dapat menggunakan
berbagai strategi untuk mengatasinya.
4. Loyalitas Premium (Premium Loyalty)
Loyalitas premium merupakan jenis loyalitas yang paling dapat ditingkatkan.
Loyalitas ini terjadi bila ada tingkat keterikatan yang tinggi dan perilaku
pembelian berulang yang juga tinggi. Ini merupakan jenis loyalitas yang paling
diharapkan oleh setiap perusahaan. Pada tingkat preferensi yang paling tinggi
tersebut, konsumen akan merasa bangga apabila mengkonsumsi atau
menggunakan produk tertentu yang disertai dengan pola pembelian berulang
secara konsisten. Konsumen juga akan merasa senang dalam membagi
pengetahuan tentang produk tersebut kepada rekan dan keluarga mereka.
2.2 Kerangka Konseptual
Teori penghubung antara perubahan merek dengan loyalitas konsumen
dikutip dari Rangkuti (2002) yang mengatakan: “Apabila konsumen beranggapan
bahwa merek tertentu secara fisik berbeda dari merek pesaing, citra merek
tersebut akan melekat secara terus menerus sehingga dapat membentuk kesetiaan
Dalam banyak hal, sikap terhadap merek tertentu sering mempengaruhi
apakah konsumen akan loyal atau tidak. Persepsi yang baik dan kepercayaan
konsumen akan suatu merek tertentu akan menciptakan minat beli konsumen dan
bahkan meningkatkan loyalitas konsumen terhadap produk tertentu. Berdasarkan
latar belakang dan uraian di atas maka dapat ditarik kerangka konseptual sebagai
berikut:
Sumber : Aaker (2003) (data diolah)
Gambar 2.3 Kerangka Konseptual
Hubungan perubahan merek dengan loyalitas konsumen adalah dimana
perubahan merek yang dilakukan disini bukan karena merek tersebut telah usang
dipasaran melainkan untuk menjadikan merek tersebut secara global , sehingga
membuat kayakinan dan pengakuan kosumen terhadap merek tersebut semakin
meningkat, dengan meningkatnya keyakinan konsumen maka mereka akan loyal
terhadap merek tersebut.
2.3 Penelitian Terdahulu
Ulfathul Arzia (2007) melakukan penelitian dengan judul “Analisis
Pengaruh Rebranding Terhadap Brand Equity Air Conditioner (AC)
PANASONIC”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui brand equity
AC Panasonic dibandingkan merek AC lain pasca rebranding. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Brand Equity yang dimiliki AC Panasonic tergolong baik
pasca rebranding. Perubahan Merek
(X)
2.4 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
yang masih harus dibuktikan kebenarannya melalui penelitian.(Sugiyono, 2010).
Berdasarkan dari latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka
dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:“Apakah perubahan merek Sari Puspa
menjadi Soffell berpengaruh terhadap loyalitas konsumen dalam melakukan