• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekerasan Verbal terhadap Anak dalam Keluarga:Kajian Sosiolinguistik Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kekerasan Verbal terhadap Anak dalam Keluarga:Kajian Sosiolinguistik Chapter III V"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif merupakan kegiatan yang berlangsung

secara simultan dengan kegiatan analisis data (Mahsun, 2005:257). Penelitian

deskriptif kualitatif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata

cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk

tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta

proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu

fenomena. Jadi, prosedur atau cara pemecahan masalah penelitian dengan

memaparkan dan mendeskripsikan keadaan objek yang diteliti.

Metode deskriptif kualitatif ini digunakan untuk menjelaskan data yang

sudah terkumpul oleh penulis dan juga dengan menggunakan metode ini dapat

memberikan gambaran terhadap fenomena kekerasan verbal terhadap anak dalam

keluarga pada saat ini yang terwujud dalam tutur orang tua terhadap anak-anaknya

yang kemudian dikaitkan dengan status sosial. Dengan menggunakan metode

deskriptif, data yang diperoleh dideskripsikan seobjektif mungkin dan dianalisis

(2)

3.2Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Kelurahan ini berada di Kecamatan Medan Deli dimana merupakan daerah

yang mengalami perkembangan yang pesat dan sebagai kawasan industri dan

pergudangan. Kelurahan ini diapit oleh dua jalan utama kota yaitu Tol Belmera

disebelah timur dan Jalan Alumunium di sebelah barat.

Kelurahan ini mempunyai jumlah penduduk yang cukup tinggi yaitu

hampir mencapai 35.000 jiwa dengan pembagian 22 lingkungan (seperti unit RW

di Pulau Jawa). Rata-rata penduduk per lingkungan berkisar antara 300-600

Kepala Keluarga. Mayoritas penduduk kelurahan ini bermata pencaharian buruh

(industri) dari perusahaan yang ada di sekitarnya. Sedangkan dilihat dari segi etnis

terdapat beberapa etnis dengan didominasi oleh etnis Jawa dan Batak Toba.

Meskipun demikian faktor keragaman etnis dan agama tidak menjadi faktor

penghambat bagi interaksi sosial dari masyarakat kelurahan ini.

3.3Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di kelurahan Tanjung Mulia, Kecamatan

Medan Deli Kota Medan. Alasan khusus pemilihan lokasi ini, karena penulis

mempertimbangkan keadaan sosial masyarakat yang heterogen, yang secara

bersama-sama membentuk masyarakat tutur tersebut.

3.4 Responden Penelitian

Pengambilan responden dilakukan dengan pertimbangan pada kebutuhan

data yang ingin diperoleh yang mengacu pada permasalahan yang digarap yang

(3)

orang tua dan anak prasekolah. Namun, tidak seluruh orang tua yang dipilih

menjadi responden. Untuk itu, peneliti menetapkan jumlah responden dengan

menggunakan teknik pengambilan sampel. Untuk mendapatkan responden,

peneliti menggunakan rumus Slovin (dalam Prasetyo dan Jannah, 2006:137).

Jumlah orang tua yang memiliki anak prasekolah di Kelurahan Tanjung Mulia

Hilir Lingkungan 22 Medan sebanyak 98 orang. Populasi orang tua yang memiliki

anak prasekolah di atas merupakan subjek yang akan dipilih sebagai responden.

Untuk kepentingan penelitian ini, responden diambil dari populasi dengan teknik

pengambilan sampel dengan menggunakan rumus Slovin, yakni sebagai berikut:

Rumus :

e : batas toleransi kesalahan (error tolerance)

n =

Berdasarkan perhitungan rumus di atas, dari populasi sebanyak 98 orang

tua dan batas toleransi kesalahan sebesar 5% diperoleh sampel sebanyak 78,7

dibulatkan menjadi 79 orang. Oleh karena itu responden dalam penelitian ini

(4)

3.5 Jenis dan Sumber Data 3.5.1 Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang menunjang

terjawabnya permasalahan penelitian yaitu mengenai bentuk kekerasan

verbal orang tua terhadap anaknya, peristiwa tutur kekerasan verbal,

serta faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya kekerasan verbal

terhadap anak. Terdapat dua jenis data yang digunakan untuk

mendukung penelitian ini,

1) Data kualitatif, yaitu data yang dikumpulkan berdasarkan

keterangan/informasi yang berhubungan dengan permasalahan

yang diajukan, yaitu data bentuk kekerasan verbal, peristiwa

tutur,dan faktor-faktor penyebab kekerasan verbal.

2) Data kuantitatif, yaitu data yang dikumpulkan berupa angka-angka

yang berhubungan dengna permasalahan yang dibahas. Misalnya

jumlah orang tua yang melakukan kekerasan verbal.

3.5.2 Sumber Data

Ada pun sumber data pada penelitian ialah sebagai berikut.

1) Data Primer

Data primer untuk penelitian ini diperoleh dari orang tua yang

melakukan kekerasan verbal terhadap anaknya dalam keluarga.

2) Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini berasal dari angket yang berisi

bentuk-bentuk kekerasan verbal yang diucapkan orang tua terhadap

(5)

responden dengan karakteristik pria atau wanita yang memiliki anak

usia 3-6 tahun (sesuai dengan tumbuh kembang anak oleh

Soetjiningsih). Pemilihan pada usia ini dilakukan karena pada usia

3-6 tahun (prasekolah) umumnya anak mulai menambah

perbendaharaan kata 50-100 kata sampai 2000 lebih.

Penentuan sumber data ini didasarkan pada

pertimbangan-pertimbangan peneliti sesuai dengan acuan yang diberikan oleh

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (1987).

1) Derajat keseragaman dari populasi

2) Presisi yang dikehendaki dari penelitian

3) Rencana analisis

4) Tenaga, biaya, dan waktu

3.6Instrumen Penelitian

Ada pun instrumen pengumpulan data yang digunakan pada penelitian

ialah sebagai berikut :

1) Alat Rekam

Pada penelitian ini alat rekam yang digunakan oleh peneliti ialah

handphone. Alat ini berfungsi merekam tuturan-tuturan verbal orang tua terhadap anaknya serta mempermudah peneliti dalam pentranskripan data

kebahasaan.

2) Angket/Kuesioner

Alat yang digunakan sebagai pengumpulan data berupa angket atau

(6)

masyarakat mengenai bentuk kekerasan verbal orang tua terhadap anak

dalam keluarga. Waktu yang diperlukan responden untuk mengisi

kuesioner diperkirakan 15 menit tiap angketnya dan pengumpulan data

dilakukan sendiri oleh peneliti. Kuesioner terdiri atas dua bagian besar

yaitu pertama berisi data demografi (kependudukan) dan pendidikan

responden dan kedua berisi pertanyaan sebanyak 42 pertanyaan yang

terdiri atas 10 pertanyaan tentang sosiodemografi responden, 11 pertanyaan

bentuk kekerasan verbal, 21 pertanyaan tentang faktor kekerasan verbal,

(contoh kuesioner dilihat dari Ina Nurul Rahmawati)

3) Peneliti

Peneliti bertindak sebagai alat instrumen mengamati secara langsung data

tuturan orang tua terhadap anaknya baik berupa tuturan verbal atau

nonverbal serta mengklafikasi tuturan tersebut sesuai dengan kebutuhan

data yang telah ditentukan.

3.7Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah metode simak dan observasi. Metode

simak digunakan untuk memeroleh data dengan menyimak penggunaan bahasa.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu dengan

(7)

1) Teknik Observasi

Pengumpulan data dengan observasi langsung atau dengan

pengamatan langsung adalah cara pengambilan data dengan

menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk

keperluan tersebut (Nazir, 1988:22). Lewat teknik ini peneliti melakukan

pengamatan secara langsung tuturan orang tua terhadap anaknya,

kemudian mencatat hal-hal (tuturan) serta bentuk-bentuk kekerasan

verbal yang dilakukan orang tua terhadap anaknya.

2) Teknik Rekam

Penggunaan teknik rekam pada penelitian ini yaitu dengan

merekam data kebahasaan yang termasuk ke dalam kekerasan verbal

dengan menggunakan alat perekam. Mahsun (2005:132) dalam buku

Metode Penelitian Bahasa menyatakan bahwa :

Teknik rekam hanya dapat digunakan pada saat penerapan teknik cakap semuka. Kekurangan dari teknik ini adalah adanya kekhawatiran akan hasil yang kurang baik karena alat perekam yang kurang baik hingga menimbulkan keraguan dalam menginterprestasi data yang didapat.

Namun teknik ini sangat diperlukan untuk melakukan

pendokumentasian sumber data penelitian yang berasal dari tuturan.

3) Angket

Angket dilakukan melalui penyebaran kuesioner atau daftar

tanyaan untuk menjaring data persepsi orang tua terhadap bentuk-bentuk

tindak kekerasan verbal terhadap anak dalam keluarga dan faktor-faktor

penyebab terjadinya kekerasan verbal terhadap anak dalam keluarga.

(8)

1. Pengambilan data dilakukan oleh peneliti sendiri dengan mendatangi

orang tua di Lingkungan 22 dan sebelumnya memberikan penjelasan

kepada calon responden.

2. Responden diberikan penjelasan cara pengisian kuesioner dan

apabila ada yang kurang jelas, responden dipersilakan untuk

bertanya.

3. Pengumpulan data dengan cara kuesioner secara langsung oleh

peneliti, selama pengisian peneliti di samping responden.

4. Data primer didapat dari hasil pengisian yang berisi tindak kekerasan

verbal dan faktor penyebab kekerasan verbal.

5. Setelah semua pertanyaan diisi, lembar kuesioner diambil/dikumpul

oleh peneliti

3.8Metode dan Teknik Penganalisisan Data

Pada tahap analisis, data yang sudah terkumpul melalui kuesioner

selanjutnya dipilah-pilah dengan teknik identifikasi. Dengan teknik ini, data dapat

diklasifikasi berdasarkan jenis data. Setelah data diklasifikasikan, data yang

tersedia didisekripsikan, diinterpretasikan, dan dianalisis sesuai dengan kerangka

teori yang dijadikan landasan.

Data kekerasan verbal yang diperoleh melalui jawaban kuesioner,

selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan diklasifikasikan berdasarkan aspek

bentuk kekerasan verbal terhadap anak dalam keluarga. Selanjutnya data

(9)

yang dikemukakan oleh pakar. Bentuk kekerasan verbal dan faktor penyebab

kekerasan verbal yang telah diklasifikasikan oleh peneliti selanjutnya

dideskripsikan sesuai dengan teori yang dijadikan acuan dalam penelitian ini.

Dengan demikian, penelitian ini dapat menjelaskan (1) bentuk-bentuk

kekerasan verbal orang tua terhadap anaknya, dan (2) faktor-faktor yang

menyebabkan terjadikan kekerasan verbal terhadap anak dalam keluarga.

3.9Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Pada tahap analisis, data yang sudah terkumpul melalui kuesioner

selanjutnya dipilah-pilah dengan teknik identifikasi. Dengan teknik ini, data dapat

diklasifikasi berdasarkan jenis data. Setelah data diklasifikasikan, data yang

tersedia dideskripsikan, diinterpretasikan, dan dianalisis sesuai dengan kerangka

teori yang dijadikan landasan.

Data kekerasan verbal yang diperoleh melalui kuesioner, selanjutnya

dianalisis secara kualitatif dan diklasifikasikan berdasarkan bentuk kekerasan

verbal. Selanjutnya peristiwa tutur dan faktor-faktor kekerasan verbal yang

dilakukan responden dianalisis dan diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi faktor

kekerasan verbal yang dikemukakan oleh pakar. Data kekerasan verbal, peristiwa

tutur, dan faktor kekerasan verbal yang telah diklasifikasikan oleh peneliti ini

selanjutnya dideskripsikan sesuai dengan teori yang dijadikan acuan dalam

penelitian ini.

Dengan demikian, penelitian ini dapat menjelaskan (1) bentuk-bentuk

(10)

verbal terhadap anak dalam keluarga, (3) faktor-faktor yang menyebabkan

(11)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1Pendahuluan

Pada Bab ini, peneliti memaparkan hasil penelitian bentuk-bentuk

kekerasan verbal terhadap anak dalam keluarga, peristiwa tutur kekerasan verbal

terhadap anak dalam keluarga, dan faktor-faktor yang menyebabkan kekerasan

verbal. Hasil analisis diuraikan sesuai dengan masalah penleitian.

4.2Bentuk Kekerasan Verbal

Kekerasan verbal berdasarkan bentuk dalam penelitian ini dihubungkan

dengan teori sintaksis. Crane, et al (1981:102) berpendapat bahwa syntax is the way words are put together to form phrases and sentences. Dari teori tersebut

dapat dikatakan bahwa sintaksis adalah studi yang mempelajari penggabungan

kata-kata membentuk frasa dan kalimat. Akan tetapi dalam penelitian ini

hanya membahasa kekerasan verbal dalam bentuk kata, frasa, dan klausa. Dalam

kajian sintaksis, kekerasan verbal berbentuk kata, frasa, dan klausa dikaji untuk

mengetahui bentuk-bentuk kekerasan verbal apa yang sering dilakukan orang tua

terhadap anak.

Dari data yang diperoleh melalui jawaban kuesioner oleh responden,

peneliti menemukan sebanyak 233 buah kekerasan verbal. Jumlah tersebut

merupakan jumlah kekerasan verbal secara keseluruhan, yakni jumlah kekerasan

verbal yang dilakukan orang tua baik laki-laki (ayah) ataupun perempuan (ibu)

(12)

Berdasarkan bentuknya, kekerasan verbal yang digunakan oleh responden

dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:

1) Kekerasan verbal berbentuk kata;

2) Kekerasan verbal berbentuk frasa;

3) Kekerasan verbal berbentuk klausa.

Sementara itu, berdasarkan kategorinya, kekerasan verbal yang digunakan

oleh responden dapat dikelompokkan menjadi :

1) Kekerasan verbal berkategori nomina

2) Kekerasan verbal berkategori verba

3) Kekerasan verbal berkategori ajektiva

4.2.1 Kekerasan Verbal Berbentuk Kata

Kridalaksana (2008:110) menyatakan bahwa kata adalah (1) morfem atau

kombinasi yang oleh bahasawan dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat

diujarkan sebagai bentuk yang bebas, (2) satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri,

terjadi dari morfem tunggal (misalnya batu, rumah, datang, dan sebagainya) atau

gabungan morfem (misalnya pejuang, mengikuti, pancasila, mahakuasa, dan

sebagainya, dan (3) satuan terkecil dalam sintaksis yang berasal dari leksem yang

telah mengalami proses morfologis.

Dengan merujuk pengertian “kata” di atas, penelitian ini menemukan

sebanyak 20 buah kekerasan verbal yang berbentuk kata. Menurut Rosidin (2010),

kekerasan verbal berbentuk kata dapat dibedakan menjadi dua, yakni kekerasan

verbal bentuk dasar dan kekerasan verbal bentuk kata jadian. Kekerasan verbal

(13)

atau kata yang terjadi dari satu morfem. Sementara itu, kekerasan verbal bentuk

jadian adalah kekerasan verbal yang berupa kata-kata polimorfemis. Kekerasan

verbal polimorfemis dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni (1) kekerasan

verbal berafiks dan (2) kekerasan verbal bentuk majemuk.

Berdasarkan data yang diperoleh, kekerasan verbal berbentuk kata

monomorfemis yang digunakan oleh responden ditemukan 18 buah. Kekerasan

verbal yang termasuk ke dalam kekerasan verbal berbentuk kata monomorfemis

ditampilkan dalam tabel berikut:

Tabel 4.1 Kekerasan Verbal Berbentuk Kata Monomorfemis

No. Kekerasan Verbal

Sementara itu, kekerasan verbal jadian adalah kekerasan verbal yang

(14)

dibedakan menjadi dua jenis, yakni (1) kekerasan verbal berafiks dan (2)

kekerasan verbal bentuk majemuk.

Kekerasan verbal yang digunakan oleh responden ke dalam kekerasan

verbal berafiks ditemukan sebanyak 2 buah dan kekerasan verbal yang termasuk

kekerasan bentuk majemuk tidak ditemukan, antara lain:

Tabel 4.2 Kekerasan Verbal Polimorfemis

No. Kekerasan Verbal 1 Pemalas

2 Bajingan

Berdasarkan hasil penelitian di atas data yang ditemukan ke dalam

kekerasan verbal dalam bentuk kata terdapat 20 buah yang dapat digolongkan

menjadi dua bentuk yaitu monomorfemis dan polimorfemis. Bentuk ini dapat

dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.3 Kekerasan Verbal Berbentuk Kata

Jenis Kekerasan Verbal Jumlah Kata % Monomorfemis

Polimorfemis

18 2

90 10

Kekerasan verbal dalam bentuk kata monomorfemis lebih banyak

digunakan orang tua untuk memarahi anak daripada kekerasan verbal bentuk kata

polimorfemis. Hal itu dapat dilihat dari data yang telah dikumpulkan.

Secara kategorial, kekerasan verbal dapat digolongkan menjadi beberapa

jenis yakni kekerasan verbal yang berkategori nomina, seperti bandot, tai, iblis,

(15)

statif) seperti diam,; kekerasan verbal berkategori ajektiva, seperti goblok, gila,

dan lain-lain (Rosidin, 2010). Hal itu dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 4.4 Kekerasan Verba Kategori Nomina

Kategori Kekerasan Verbal Kata Jumlah Persentase %

ajektiva lebih banyak digunakan orang tua untuk memaki anak-anaknya

dibandingankan kekerasan verbal kategori verba dan nomina.

4.2.2 Kekerasan Verbal Berbentuk Frasa

Frasa merupakan kumpulan kata yang di dalamnya tidak terdapat subjek

dan predikat. Seperti yang dikemukakan oleh Richard, et al. (1985:39) “ A Phrase

(16)

finite verb and does not have a subject-predicate structure. Ungkapan tersebut

menunjukkan frasa adalah suatu kumpulan kata yang membentuk suatu unit

gramatikal, frasa tidak memuat kata kerja terbatas dan tidak mempunyai struktur

subjek dan predikat.

Menurut Kridalaksana (2008:66), frasa adalah gabungan dua kata atau

lebih yang sifatnya tidak predikatif; gabungan itu dapat rapat, dapat renggang;

misalnya gunung tinggi adalah frasa karena merupakan konstruksi nonpredikatif;

konstruksi ini berbeda dengan gunung itu tinggi yang bukan frasa karena bersifat

predikatif.

Rosidin (2010) mengatakan ada dua cara yang dapat digunakan untuk

membentuk frasa dalam bahasa Indonesia, yakni dasar plus kekerasan verbal,

seperti dasar bodoh, dasar gila, dan kekerasan verbal plus mu, seperti mamakmu.

Kata dasar dalam hal ini dimungkinkan melekat dengan berbagai kekerasan verbal

yang referensinya bermacam-macam, seperti binatang (dasar babi, dasar buaya,

dan sebagainya), profesi (dasar pelacur, dasar sundal, dan sebagainya), benda

(dasar tai, dasar cabe, dan sebagainya), keadaan (dasar gila, dasar keparat, dan

sebagainya), dan makhlus halus (dasar setan, dasar iblis, dan sebagainya).

Sedangkan pada kata –mu hanya dapat berdampingan dengan kata-kata

kekerabatan (kakekmu, atokmu) dan bagian tubuh (matamu).

Berdasarkan teori di atas, kekerasan verbal yang digunakan oleh

responden yang dapat dikelompokkan sebagai frasa ditemukan sebanyak 34 buah.

(17)

Tabel 4.5 Kekerasan Verbal Berbentuk Frasa

22 Dasar anak kurang ajar 23 Diam bodoh

33 Dasar anak bodoh gak bisa dibilangin 34 Dasar binatang

Secara kategorial, kekerasan verbal dapat digolongkan menjadi beberapa

jenis yakni kekerasan verbal yang berkategori nomina atau frasa nomina, seperti

bandot, tai matamu, iblis, sundal, dan sebagainya; kekerasan verbal berkategori

(18)

berkategori ajektiva, seperti goblok, gila, dan lain-lain (Rosidin, 2010). Hal

tersebut diuraikan di bawah ini:

4.2.1.1Kekerasan Verbal Berkategori Frasa Nomina

Menurut Kridalaksana (2008:63), nomina adalah kelas kata yang biasanya

dapat berfungsi sebagai subjek atau objek dari klausa; kelas kata ini sering

berpadanan dengan orang, benda, atau hal lain yang dibendakan dalam alam di

luar bahasa. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Radford et al. (2009:192),

yang menyatakan, “Nouns often refer to types of concrete objects in the world

(e.g cake, engine, moon, waiter)‟ (nomina sering merujuk pada benda-benda

konkret yang ada di dunia ini, misalnya kue, mesin, bulan, pelayan, dan lain-lain).

Berdasarkan defenisi dan penjelasan tersebut, dari 34 buah kekerasan

verbal yang digunakan oleh responden, peneliti menemukan sebanyak 19 buah

kekerasan verbal berkategori nomina. Frasa-frasa itu, berdasarkan kelas kata unsur

pusatnya, disebut sebagai frasa nomina. Hal itu sejalan dengan pernyataan

Kridalaksana (2008:66), yang menyatakan frasa nomina adalah frasa endosentris

berinduk satu yang induknya nomina.

Berikut merupakan tabel kekerasan verbal berkategori frasa nomina (FN)

yang digunakan oleh responden, antara lain:

Tabel 4.6 Kekerasan verbal Berkategori Frasa Nomina

No Kekerasan Verbal Kategori

1 Matamu FN

2 Mulutmu FN

(19)

5 Dasar binatang FN

4.2.1.2Kekerasan Verbal Berkategori Frasa Verba

Menurut kridalaksana (2008:254), verba adalah kelas kata yang biasanya

berfungsi sebagai predikat; dalam beberapa bahasa lain verba mempunyai ciri

morfologis seperi ciri kala, aspek, persona, atau jumlah. Sebagaian besar verba

mewakili unsur semantis perbuatan, keadaan atau proses; kelas kata ini dalam

bahasa Indonesia ditandai dengan kemungkinan untuk diawali dengan kata tidak

dan tidak mungkin diawali dengan kata seperti sangat, lebih, dan sebagainya

misalnya datang, naik, bekerja, dan sebagainya. Sejalan dengan pendapat tersebut,

Radford et al. (2009:129) menyatakan, “Verbs typically refer to acitivities

(applaud, steal, collide, bark)” (verba umumnya merujuk pada kegiatan/aktivitas

(misalnya, bertepuk tangan , mencuri, bertabrakan, membentak).

Berdasarkan defenisi dan penjelasan tersebut, dari sebanyak 34 buah

kekerasan verba yang digunakan oleh responden, peneliti ini menemukan

sebanyak 5 buah kekerasan verba berkategori frasa verba. Kekerasan verba

(20)

Tabel 4.7 Kekerasan verbal Berkategori Frasa Verba

No Kekerasan Verbal Kategori

1 Kurang ajar FV

2 Tukang nangis FV

3 Keluar sana FV

4 Susah kali dibilangin FV

5 Diam bodoh FV

4.2.1.3 Kekerasan Verbal Berkategori Frasa Ajektiva

Ajektiva dapat diartikan sebagai kata yang menerangkan kata benda

(Kridalaksana, 2008:4). Senada dengan pernyataan itu, Radford et al. (2009:130)

menyatakan, “Adjectives typically refer to properties which people or things

possess and they are used to modify nouns, e. g. Happy man, noisy engine

(ajektiva umumnya merujuk pada sifat yang dimiliki orang atau sesuatu dan

lazimnya digunakan untuk membatasi/ memodifikasi nomina, misalnya orang

yang berbahagia, mesin yang berisik). Selanjutnya, frasa ajektiva diartikan

sebagai frasa endosentris berinduk satu yang induknya ajektiva dan

modifikatornya adverbia seperti sangat, lebih, kurang, dan sebagainya, misalnya

lebih baik (Kridalaksana, 2008:66).

Berdasarkan defenisi tersebut, dari 34 buah kekerasan verbal yang

digunakan oleh responden ditemukan 10 buah kekerasan verbal berkategori frasa

ajektiva. Kekerasan verbal berkategori frasa ajektiva (FA) tersebut ditampilkan

(21)

Tabel 4.8 Kekerasan verbal Berkategori Frasa Ajektiva

No Kekerasan Verbal Kategori

1 Bandal kali FA

Kategori kekerasan verbal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.9 Kategori Kekerasan Verbal Berbentuk Frasa

Jenis Frasa Jumlah Frasa %

Pada hasil penelitian di atas, responden lebih sering menggunakan

kekerasan verbal dalam bentuk frasa nomina daripada kekerasan verbal dalam

bentuk frasa adjektiva dan frasa verba. Hal itu dapat dilihat dari hasil temuan

penelitian yang tertera pada tabel di atas.

4.2.3 Kekerasan Verbal Berbentuk Klausa

Klausa merupakan kelas sintaksis yang terdiri atas nomina dan verba

(22)

mengungkapkan clause a term used in some models of grammar to refer to a unit

of grammatical smaller than the sentence but larger than phrase, word or morphemes. Pengertian itu menunjukkan bahwa klausa digunakan dalam kajian

grammar yang mengacu kepada sebuah gramatikal yang lebih kecil dari kalimat tetapi lebih besar dari frasa, kata ataupun morfem. Richards, et al. (1985:23)

Clause is a group of words which contain subject and finite verb. Batasan ringkas

tersebut menunjukkan bahwa klausa merupakan kumpulan kata yang memiliki

subjek dan kata kerja terbatas.

Klausa terbagi menjadi dua jenis, yaitu klausa bebas dan klausa

subordinator atau terikat seperti yang diungkapkan oleh Gucker (1966:76) There are two types: mainn (or independent) clauses and subordinator (or dependent)

clause. Downing dan Locke (2006:13) mengungkapkan perbedaan klausa bebas dan terikat bahwa All grammatically independent clauses are finite. Dependent clauses may be finite or non-finite. Pemahaman tersebut menunjukkan bahwa

secara gramatikal klausa bebas terdiri dari kata kerja terbatas. Klausa terikat dapat

terdiri dari kata kerja terbatas atau kata kerja tidak terbatas.

Berdasarkan pengertian tersebut, kekerasan verbal dalam bentuk klausa

yang digunakan oleh responden ditemukan sebanyak 105 kekerasan verbal yang

digolongkan menjadi dua klausa, yaitu klausa bebas dan klausa terikat. Di bawah

ini merupakan tabel klausa bebas dan klausa terikat.

Tabel 4. 9 Kekerasan Verbal Berbentuk Klausa Bebas

No Klausa Bebas

1 Gitu aja tidak bisa, padahal adiknya bisa 2 Jangan di situ nak

(23)

5 Kukurung kau nanti 6 Diam mulutmu 7 Anak bodoh

8 Ceroboh aja kerjaanmu 9 Matamu kau letak dimana? 10 Diam mulutmu

11 Jangan nakal lagi 12 Jangan melawan 13 Awas kalau diulangi

14 Jangan menyentuh barang-barang itu bodoh 15 Pergi dari situ, pusing kepala melihatmu 16 Anak tidak tahu diri

17 Monyet kau 18 Anak bodoh 19 Lamban kau yah

20 Jangan tidur kalau belum belajar

21 Makanan kesukaanmu itu ibu tidak mau membelinya lagi jika kamu nakal

22 Nanti semua mainan itu ibu kasih orang 23 Mainan kamu ini saya buang nanti 24 Jangan main kalau belum mandi 25 Gak boleh main kalau belum belajar

26 Susah kalipun dibilangin, gak boleh makan siang kalau begitu

27 Gak usah kau makan 28 Anak gak tau diri

29 Udah kriting, suka melawan lagi 30 Anak gak tau diuntung

31 jangan mengulanginya lagi, nanti saya pukul kamu 32 Kupotong tanganmu nanti

41 Jangan nakal nanti dipukul 42 Matamu kau letak dimana

43 Anak-anak jangan sok tau bikin mau orang tua saja 44 Jangan belagak bodoh

45 Anak bodoh kau 46 Anak tolol

47 Nanti bajumu tidak ibu belikan jika kamu masih nakal

(24)

50 Jangan nakal nanti dipukul

51 Makan dulu baru boleh minum susu 52 Tidur siang dulu baru boleh jajan 53 Jangan main kalau nakal

54 Diam kau

55 Jangan makan kalau belum cuci tangan 56 Jangan nangis nanti kupukul

57 Anak nakal

64 Jangan masuk diluar saja 65 Matamu kau letak dimana? 66 Diam mulutmu

67 Jangan nakal lagi 68 Jangan melawan

Dari data yang dikumpulkan melalui responden ditemukan kekerasan

verbal dalam bentuk klausa bebas sebanyak 68 kekerasan seperti yang ditulis pada

tabel di atas.

Tabel 4.10 Kekerasan Verbal Berbentuk Klausa Terikat

No Klausa Terikat

1 Kalau nakal nanti dibuat ke panti

2 Jika kamu masih berbuat begitu, botakmu bisa aja pecah

3 Kalau nangis nanti dikurung

4 Kalau gak tidur siang gak boleh main 5 Kalau gak nurut nanti dijual ke botot 6 Kalau kencing celana dikasih tikus 7 Kalau nakal tidur dengan tikus 8 Kalau gak makan, gak boleh jajan 9 Kalau tidak nurut gak boleh sekolah 10 Kalau nangis nanti ditinggal

(25)

15 Kalau pipis celana nanti kodok datang

16 Kalau nanti jalan-jalan kamu tidak usah ikut lagi 17 Kalau gak nurut nanti dipukul

18 Kalau bandal nanti digigit ular 19 Kalau nakal nanti didatangi hantu

20 Kalau gak puasa full, gak boleh baju baru

21 Kalau tidur gak boleh ngompol nanti digigit semut 22 Kalau nakal dijual ke botot

23 Kalau gak makan, gak boleh main 24 Kalau gak belajar, gak boleh jajan 25 Kalau nakal gak boleh sekolah 26 Kalau nangis dikurung di kamar

27 Kalau PR kamu tidak siap gak boleh nonton 28 Kalau bandel gak usah sekolah lagi

29 Kalau bodoh gak boleh sekolah 30 Kalau bandel gak boleh ikut ke pesta 31 Kalau nakal nanti dikasih ke orang 32 Kalau gak nurut nanti dijual ke botot 33 Kalau kencing celana dikasih tikus 34 Kalau nakal nanti dibuat ke panti 35 Kalau gak tidur, gak boleh makan

36 Kalau gak makan nanti dikurung di kamar mandi 37 Kalau gak mau disuruh gak dikasih uang jajan

Berdasarkan hasil penelitian di atas data yang ditemukan ke dalam

kekerasan verbal dalam bentuk klausa terdapat 105 buah yang dapat digolongkan

menjadi dua kategori, yaitu klausa bebas dan klausa terikat. Kategori kekerasan

verbal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.11 Kategori Kekerasan Verbal Berbentuk Klausa

(26)

Dari hasil penelitian, dapat dikatakan orang tua kerap menggunakan

kekerasan verbal dalam bentuk klausa bebas dibandingkan dalam bentuk klausa

terikat. Hal itu dapat dilihat dari persentase penggunaan kekerasan verbal dalam

klausa pada tabel di atas.

4.3 Peristiwa Tutur

Seorang pakar linguistik terkenal mengatakan bahwa peristiwa tutur harus

memenuhi delapan komponen, yang jika huruf-huruf awalnya dirangkaikan

menjadi akronim SPEAKING. Peristiwa tutur (speach event) adalah gejala sosial

terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau

lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu

pokok tuturan di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Jadi, interaksi yang

berlangsung antara seorang anak dan orang tua pada waktu tertentu dengan

menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur.

Peristiwa serupa kita dapati juga dalam acara diskusi di ruangan kuliah, rapat

dinas di kantor, sidang di pengadilan, dan sebagainya. Sebuah percakapan baru

dapat disebut sebagai peristiwa tutur kalau memenuhi syarat seperti yang

disebutkan di atas. Menurut Hymes (1972) seorang pakar sosiolinguistik terkenal,

bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila

huruf-huruf pertamanya dirangkai menjadi akronim SPEAKING kedelapan komponen

itu adalah sebagai berikut:

S (Setting and Scene) P (Participants)

(27)

I (Instrumentalities)

N (Norms of Interaction and Interpretation) G (Genres)

Setting and science, di sini setting berkenaan dengan waktu dan tempat

tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat dan situasi tutur yang berbeda

menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam peraturan, biasa pembicara dan pendengar,

penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). Dua orang yang

bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara atau pendengar. Status

sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Ends merujuk

pada maksud dan tujuan pertuturan. Act sequence mengacu pada bentuk ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana

penggunaanya dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik

pembicaraan. Key mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan disampaikandengan senang hati, serius, singkat, sombong, mengejek, dan

sebagainya. Hal ini juga dapat ditunjukkan dengan geraktubuh dan isyarat.

Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan seperti, jalur lisan,

tertulis melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara. Norms of interaction

mengacu pada norma atau aturan dalam interaksi. Misalnya, yang berhubungan

dengan cara berinterupsi, bertanya, dan sebagainya. Juga mengacu pada norma

penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara. Genre mengacu pada jenis bentuk

(28)

Berdasarkan teori di atas, di bawah ini dipaparkan peristiwa tutur

kekerasan verbal yang diperoleh dari anak yang mendapatkan kekerasan verbal

dari orang tuanya.

Percakapan antara pewawancara dengan anak yang mendapatkan

kekerasan verbal dari orang tuanya.

Rekaman

Pewawancara : Siapa nama Adek?

Anak 2 : Abel.

Pewawancara : Boru apa Abel?

Anak 2 : Boru Situmorang

Pewawanara : Boru Situmorang?

Anak 2 : Hmmm

Pewawancara : Usia Abel berapa?

Anak 2 : 4 tahun.

Pewawancara : Mmm 4 tahun. Abel pernah dimarahi mamak?

Anak 2 : Mmm ngak tahu.

Pewawancara : Ngak tau. Pernah dibilang Abel bodoh?

Anak 2 : Pernah.

Pewawancara : Kalau marah lagi apalah dibilang mamak?

Anak 2 : Bodok (maksudnya bodoh).

Pewawancara : Trus?

Anak 2 : Dipukulin.

Pewawancara : Trus? Apalah dibilang sambil dipukul?

(29)

Pewawancara : Setelah dilibas, apalah dibilang mamak sambil dilibas?

Anak 2 : Dijawabkan!

Pewawancara : Kalau Abel dimarahin mamak apalah dibilang?

Anak 2 : Anjing!

Pewawancara : Anjing dibilang mamak sama Abel?

Anak 2 : Iyah.

Pewawancara : Trus apalagi dibilang mamak?

Anak 2 : Monyet!

Pewawancara : Monyet. Trus kalau bapak marah? Mau bapak marah?

Anak 2 : Mau!

Pewawancara : Kalau bapak marah apalah dibilang bapak sama Abel?

Anak 2 : Bodok!

Pewawancara : Bodok. Trus apalagi?

Anak 2 : Babi!

Pewawancara : Kenapa bapak marah sama Abel?

Anak 2 : Gak ada dimarah.

Pewawancara : Gak ada dimarah?

Anak 2 : Enggak.

Pewawancara : Tapi tadi Abel bilang dimarahin.

Anak 2 : Iyah. Jadi gak dimarahkan karena dikurunglah.

Pewawancara : Owh dimarahin tapi sambil dikurung. Iyah?

Anak : Mmmm

Dari hasil rekaman yang diperoleh peneliti dengan mewawancarai anak

(30)

terkait dengan teori peristiwa tutur. Pada Setting and scene, sesuai dengan teori

SPEAKING tempat diperolehnya kekerasan verbal, yaitu di ruangan rumah. Anak

mengatakan dia menerima kekerasan verbal dari orang tuanya di ruangan rumah..

Participant pada peristiwa tutur pertama di atas adalah orang tua (ayah dan ibu) dan dan anak di ruangan rumah tersebut. Ends merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur di atas terjadi ketika ayah menyuruh anak men-carger

hp akan tetapi anak tidak melakukannya sehingga ayah mengatakan kepada anak

tersebut dengan kata kekerasan verbal, yaitu bodoh,babi, monyet, dan sebagainya.

Pada Act sequence, bentuk ujarannya berupa percakapan ayah dan anak. Ayah mengucapkan kata-kata kepada anaknya dengan kasar dan tidak sopan.

Selanjutnya key, key mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan disampaikan dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong,

dengan sedih, dan sebagainya.orang tua mengucapakan kekerasan verbal dengan

nada suara yang tinggi karena sedang marah. Instrumentalities menggunakan bahasa lisan. Pada norm of interaction and interpretation, tidak terdapat norma-normat yang ada pada peristiwa tutur di atas. Genre mengacu pada jenis bentuk

penyampaian. Pada peristiwa tutur di atas penyampaian data dalam bentuk narasi

(percakapan).

4.4 Faktor Kekerasan Verbal

Responden memiliki perilaku kekerasan verbal terhadap anaknya yang

hampir merata pada tingkat tahu dan tidak tahu. Hal ini karena responden

memiliki tingkat pendidikan, pengetahuan, pengalaman mendapatkan kekerasan

(31)

Berdasarkan hasil penelitian, responden memiliki tingkat pengetahuan

yang beragam tentang kekerasan verbal pada anak. Keberagaman pengetahuan

yang dimiliki oleh responden ini dapat dikarenakan adanya keragaman informasi

yang didapat oleh responden melalui media elektronik, media cetak, maupun

melalui pendidikan kesehatan tentang kekerasan verbal.

4.4.1 Faktor Pengalaman

Orang tua yang sewaktu kecilnya mendapat perlakuan salah merupakan

situasi pencetus terjadinya kekerasan pada anak. Semua tindakan kepada anak

akan direkam dalam alam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai kepada

masa dewasa. Anak yang mendapat perilaku kejam dari orang tuanya akan

menjadi agresif dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam pada anaknya.

Orang tua yang agresif akan melahirkan anak-anak yang agresif pula. Gangguan

mental (mental disorder) ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang

diterima manusia ketika dia masih kecil (Rahmat, 2006).

Sesuai landasan teori, maka dalam penelitian ini, peneliti menemukan

adanya pengalaman orang tua mendapatkan perilaku kekerasan verbal saat masa

kanak-kanak dulu. Hal itu didukung dari data yang telah diterima peneliti dari

responden melalui kuesioner. Responden yang mengatakan pernah mendapatkan

pengalaman kekerasan verbal semasa kecil sebanyak 51 orang dan responden

yang mengatakan tidak pernah mendapatkan pengalaman kekerasan verbal semasa

sebanyak 28 orang. Responden yang mendapatkan pengalaman kekerasan verbal

semasa kecil lebih banyak dibandingkan responden yang tidak mendapatkan.

Pengalaman kekerasan verbal yang didapatkan responden semasa kecil dapat

(32)

anak-anak mereka setelah mereka menjadi orang tua. Hal itu sejalan dengan hasil

penelitian Rahmawati (2006) yang mengatakan adanya pengalaman melihat orang

tua mereka bertengkar, ditakut-takuti, dan dimarahi dengan kata-kata kotor oleh

orang tua mereka yang dialami oleh responden sewaktu kecil akan terekam dalam

alam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa dan terus

sepanjang hidupnya. Hal ini menyebabkan kecenderungan orang tua untuk

melakukan hal yang sama pada anak-anak mereka. Kebiasaan orang tua mereka

dulu yang membentak, memaki, dan mengancam saat berbicara turut berperan

pula dalam kecenderungan orang tua melakukan kekerasan yang sama.

4.4.2 Faktor Lingkungan

Pada hasil penelitian ini responden mengatakan bahwa lingkungan tempat

tinggal mereka sekarang sangat memengaruhi terjadinya kekerasan verbal.

Responden dalam penelitian ini 69 orang mengatakan bahwa orang yang tinggal

di lingkungan tempat tinggalnya mempunyai kebiasaan berbicara dengan nada

bicara yang keras dan 10 orang mengatakan sedang. Responden mengatakan

orang yang tinggal di lingkungan tempat tinggalnya adalah orang yang kasar

berjumlah 56 orang dan 23 mengatakan tidak tahu. Responden yang mengatakan

sering mendengar orang berkata-kata kotor dari tetangga berjumlah 62 orang, 2

orang mengatakan dari TV, sebanyak 15 orang mengatakan sering mendengar

orang berkata kotor dari pasar.

Lingkungan sekitar yang merupakan tipe orang yang keras dan sering

(33)

hal yang sama. Baik itu kepada orang dewasa maupun anak-anak. Kebiasaan

sering mendengar tetangga berkata kotor mengakibatkan hal yang sama. Dan

adanya informasi berupa pemberitaan-pemberitaan melalui televisi tentang

peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya semakin

menambah kemungkinan orang tua untuk melakukan kekerasan verbal pada anak.

4.4.3 Faktor Pengetahuan

Kebanyakan orang tua tidak begitu mengetahui atau mengenal informasi

mengenai kebutuhan perkembangan anak, misalnya anak belum memungkinkan

untuk melakukan sesuatu tetapi karena sempitnya pengetahuan orang tua anak

dipaksa melakukan dan ketika memang belum bisa dilakukan orang tua menjadi

marah, membentak dan mencaci anak. Orang tua yang mempunyai harapan yang

tidak realistik terhadap perilaku anak berperan memperbesar tindakan kekerasan

pada anak. Serta kurangnya pengetahuan orang tua tentang pendidikan anak dan

minimnya pengetahuan agama orang tua melatarbelakangi kekerasan pada anak.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sutandio (2003) yang menyebutkan bahwa

terdapat hubungan yang kuat antara pengetahuan orang tua dengan pola asuh

orang tua anak jalanan dalam memberikan pengasuhan anak. Orang tua yang tidak

mengetahui atau mengenal sedikit informasi mengenai perkembangan anak, dan

mempunyai harapan-harapan yang tidak realistik terhadap perilaku anak berperan

memperbesar tindakan kekerasan pada anak, misalnya usia anak belum

memungkinkan untuk melakukan sesuatu tetapi karena sempitnya pengetahuan

orang tua, si anak dipaksa melakukan dan ketika memang belum mampu orang

(34)

kekerasan pada anak merupakan hasil dari tidak adanya kemampuan dan

keterampilan orang tua dalam mendidik anak.Pandangan yang keliru tentang

posisi anak dalam keluarga. Orang tua menganggap bahwa anak adalah seseorang

yang tidak tahu apa-apa. Dengan demikian pola asuh apapun berhak dilakukan

oleh orang tua (Fitri, 2008).

Pengetahuan responden tentang kekerasan verbal sangat minim, hal itu

terbukti saat responden menjawab angket yang dibagikan. Sebanyak 53 orang

mengatakan arti kekerasan verbal adalah kekerasan dalam bentuk fisik, 20 orang

mengatakan kekerasan dalam bentuk kalimat dan 6 orang mengatakan kekeraan

dalam bentuk pengabaian. Dari data tersebut, dapat ditemukan hasil penelitian

bahwa orang tua tidak mengetahui arti kekerasan verbal sebanyak 59 orang hal

tersebut didukung oleh data yang telah diterima peneliti dari responden. Dan

Responden mengetahui arti kekerasan verbal sebanyak 20 orang. Banyaknya

responden yang tidak memiliki pengetahuan tentang kekerasan verbal dapat

menjadi salah satu faktor terjadinya kekeraan verbal terhadap anak.

4.4.4 Faktor Ekonomi

Sebagian besar kekerasan rumah tangga dipicu faktor kemiskinan dan

tekanan hidup atau ekonomi. Pangangguran, PHK, dan beban hidup lain kian

memperparah kondisi itu. Faktor kemiskinan dan tekanan hidup yang selalu

meningkat, disertai dengan kemarahan atau kekecewaan pada pasangan karena

ketidakberdayaan dalam mengatasi masalah ekonomi menyebabkan orang tua

mudah sekali melimpahkan emosi kepada orang sekitarnya. Anak sebagai

(35)

menjadikan anak paling mudah menjadi sasaran dalam meluapkan kemarahannya.

Kemiskinan sangat berhubungan dengan penyebab kekerasan pada anak karena

bertambahnya jumlah krisis dalam hidupnya dan disebabkan mereka mempunyai

jalan terbatas dalam mencari sumber ekonomi. Karena tekanan ekonomi oran gtua

mengalami stres yang berkepanjangan, menjadi sensitif, mudah marah, kelelahan

fisik tidak memberinya kesempatan untuk bercanda dengan anak-anak, terjadilah

kekerasan verbal (Dita,2007).

Faktor ekonomi ini juga meliputi ketimpangan sosial. Kita menemukan

bahwa para pelaku juga korban kekerasan kebanyakan berasal dari kelompok

sosial ekonomi yang rendah. Karena tekanan ekonomi, orang tua mengalami

stress berkepanjangan. Ia menjadi sangat sensitif. Ia mudah marah. Kelelahan

fisik tidak memberinya kesempatan untuk bercanda dengan anak-anak. Maka

terjadilah kekerasan emosional. Pada saat tertentu orang uta bisa meradang dan

membentak anak dihadapan banyak orang. Sehingga terjadilah kekerasan verbal.

Responden dalam penelitian ini, dengan status ekonomi kurang terdapat 48

responden, responden dengan ekonomi sedang 20 orang, dan responden dengan

ekonomi tinggi yaitu sejumlah 11 responden. Hal ini dilihat dari pendapatan tiap

bulan kurang yaitu <Rp 600.000, sedang yaitu Rp 600.000-1.200.000 dan tinggi

>1.200.000. Hal ini dikarenakan beragam-ragam pekerjaan yang dikerjakan oleh

orang tua. Orang tua yang memiliki profesi petani sebanyak 1 orang, buruh

sebanyak 32 orang, wiraswastas sebanyak 11 orang, PNS 5 orang, dan ibu rumah

(36)

4.5 Pembahasan

Pada bagian berikut, peneliti memaparkan pembahasan bentuk-bentuk

kekerasan verbal, peristiwa tutur kekerasan verbal, dan faktor-faktor yang

menyebabkan kekerasan verbal terhadap anak dalam keluarga di Kelurahan

Tanjung Mulia Hilir Kecamatan Medan Deli Lingkungan 22 Kota Medan.

4.5.1 Bentuk-Bentuk Kekerasan Verbal

Kekerasan verbal dapat diartikan sebagai bentuk kekerasan yang halus

dengan menggunakan kata-kata kasar, jorok, dan menghina dan dilakukan secara

lisan (Effendy, 1989:381). Berpijak pada teori yang digunakan, peneliti

menemukan temuan-temuan penelitian yang mengarahkan pada implikasi dari

kekerasan verbal yang diterima oleh anak dalam sebuah keluarga. kekerasan

verbal tersebut dikategorikan dalam bentuk kata, frasa dan klausa.

4.5.1.1Kekerasan Verbal Berdasarkan Bentuk Kata

Richard, et al (1985:1213) menyatakan bahwa One or more sounds which can be spoken to represent an idea, object, action, etc. The smallest unit spoken language which has meaning and stand alone. Pengertian tersebut dapat dipahami

bahwa kata merupakan satu bunyi atau lebih yang diutarakan untuk

menggambarkan sebuah ide, objek, peristiwa, dan lain-lain. Kata juga merupakan

unit terkecil dalam bahasa yang memiliki makna dan berdiri sendiri.

Kekerasan Verbal yang berbentuk kata dapat dibedakan menjadi dua,

yakni bentuk dasar dan bentuk kata jadian. Kekerasan verbal bentuk dasar adalah

(37)

kekerasan verbal yang berupa kata-kata polimorfemis. Kekerasan verbal

polimorfemis dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yakni (1) kekerasan verbal

berafiks, (2) kekerasan verbal bentuk ulang, dan (3) kekerasan verbal bentuk

majemuk.

Kata yang digunakan orang tua untuk melukai perasaan anak dalam

sebuah keluarga sangatlah banyak. Kata-kata itu digunakan dengan harapan agar

anak tidak lagi nakal dan lebih menurut kepada orang tua sehingga anak tidak lagi

melakukan kesalahan yang sama yang dapat memunculkan amarah orang tua.

Kata bodoh, kurus, dan keriting kerap kali digunakan orang tua untuk melukai perasaan anak. Kata tersebut digunakan ketika anak melakukan kesalahan

dimana orang tua melarang anak bermain hp akan tetapi anak tidak

mendengarkan perkataan orang tua sehingga menimbulkan amarah orang tua,

orang tua mengeluarkan kekerasan verbal. Kekerasan verbal berbentuk kata

seperti bodoh, kurus, dan keriting yang kerap diterima oleh anak dalam keluarga termasuk ke dalam kekerasan verbal bentuk kata dasar. Kata dasar adalah unsur

bahasa yang diucapkan atau dituliskan sebagai satuan terkecil yang dapat

diujarkan sebagai bentuk yang bebas. Kata dasar adalah kata yang belum diberi

imbuhan. Dengan kata lain, kata dasar adalah kata yang menjadi dasar awal

pembentukan kata yang lebih besar. Kata yang digunakan orang tua seperti bodoh,

kurus, keriting dan sebagainya digunakan orang tua untuk membuat perasaan

anak terluka sehingga anak menjadi kurang percaya diri dengan keadaanya.

Kata-kata yang sering digunakan orang tua untuk melakukan kekerasan

verbal juga terdapat dalam bentuk bahasa daerah begu dalam bahasa Batak Toba

(38)

yang artinya monyet dalam bahasa Indonesia. Kata-kata kekerasan verbal begu

dan bodat termasuk ke dalam kata dasar karena kata tersebut belum mengalami proses pengimbuhan meskipun sudah diartikan dalam bahasa Indonesia. Selain

kata-kata di atas, orang tua juga ketika marah sering menggunakan kata kekerasan

verbal yang menghubungkan dengan kejiwaan anak tersebut. Anak yang

melakukan kesalahan dianggap seperti seseorang yang tidak memiliki kejiwaan

yang normal, dianggap sebagai anak yang tidak berguna, anak yang tidak ada

manfaatnya, anak yang tidak menyenangkan dan lain sebagainya sehingga orang

tua ketika marah mengatakan gila, idiot, setan, dan sebagainya. Berdasarkan data-data di atas, kekerasan verbal yang digunakan oleh responden untuk memaki anak

sering dikaitkan dengan keadaan fisik anak. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya

pernyataan orang tua yang kerap melakukan kekerasan verbal dengan mengatakan

keriting, gendut, peyang, botak, jelek, kurus, buncit, bodoh dan jugul. Orang tua

mengatakan kekerasan verbal dengan menghubungkan keadaan fisik ataupun

kejiwaan anak.

Selain itu kekerasan verbal yang sering digunakan orang tua untuk

memaki anak adalah dengan mengatakan bahwa anak seperti binatang. Orang tua

kerap ketika marah mengatakan binatang dan monyet. Berdasarkan defenisinya,

kekerasan verbal di atas merujuk pada referen binatang yang mewakili watak atau

ciri tertentu, misalnya menganggu dan buruk rupa seperti monyet. Kekerasan

verbal yang bereferensi binatang digunakan untuk mengekspresikan kekerasan

verbal secara langsung mengacu pada sifat-sifat individu yang menyerupai

binatang. Artinya, hanya sifat-sifat tertentu dari binatang itulah yang memiliki

(39)

kekerasan verbal. Tentu saja tidak semua nama binatang dapat digunakan untuk

sarana memaki dalam penggunaan bahasa. Binatang-binatang yang dipilih atau

digunakan sebgai kata-kata kekerasan verbal adalah binatang-binatang yang

memiliki sifat-sifat tertentu. Bila digunakan sebgai kekerasan verbal, tentu saja

sifat-sifat itu kemudian diterapkan kepada manusia.

Bukan itu saja dalam kehidupan sehari-hari banyak anak yang

mendapatkan kekerasan verbal dalam kehidupannya yang mungkin tidak bisa

terhitung berapa kekerasan verbal yang diterimanya setiap hari. Kata pemalas dan

bajingan juga sering diterima anak dari orang tua dalam keluarga sebagai bentuk kekerasan verbal. Bila dilihat dari fungsi kata tersebut, pemalas diungkapkan

karena anak tidak mengerjakan apa yang biasanya (seharusnya) ia kerjakan dan

bajingan biasanya diungkapkan kepada seseorang yang tidak bertanggung jawab

atau lari dari tanggung jawab. Kedua kata tersebut termasuk ke dalam kekerasan

verbal karena orang tua dianggap telah melukai perasaan anak. Akan tetapi, kata

pemalas dan bajingan berbeda dengan kata kekerasan verbal yang dibahas sebelumnya. Kata pemalas dan bajingan termasuk ke dalam kekerasan verbal

berbentuk kata jadian. Kata jadian adalah kata yang dapat dibedakan atas dua

jenis, yakni kekerasan verbal berafiks dan kekerasan verbal bentuk majemuk.

Kata pemalas diartikan sebagai kekerasan verbal dalam bentuk jadian karena kata pemalas telah diikuti oleh imbuhan pe- dan kata dasar malas. Pe- merupakan

imbuhan awalan yang biasa melekat sebelum kata dasar. Sama halnya dengan

kekerasan verbal pada kata bajingan kata tersebut termasuk ke dalam kekerasan verbal bentuk jadian yang sudah dilekatkan dengan imbuhan, yaitu diikuti oleh

(40)

yang melekat setelah kata dasar. Sementara itu dalam penelitian ini untuk

kekerasan verbal bentuk jadian dalam bentuk majemuk tidak ditemukan.

Kekerasan verbal pada kata pemalas dan bajingan dapat digolongkan kepada sifat

atau karakter anak yang pemalas artinya orang yang tidak mau bekerja atau

mengerjakan sesuatu dan bajingan orang yang kurang ajar.

4.5.1.2Kekerasan Verbal Berdasarkan Bentuk Frasa

Kemarahan dan keegoisan orang tua yang terungkap melalui kekerasan

verbal merupakan reaksi sehat dan normal yang dapat terjadi dalam merespon

situasi atau keadaan yang tidak diinginkan, ketika seseorang tidak dihormati, atau

ketika harapan individu tidak terpenuhi. Namun kemarahan orang tua yang

ditunjukkan dalam bentuk kekerasan verbal dapat menjadi konsep negatif yang

akan tertanam bagi diri anak yang menjadi penerima kemarahan tersebut.

Frasa merupakan kumpulan kata yang di dalamnya tidak terdapat subjek

dan predikat. Seperti yang dikemukakan oleh Richard, et al. (1985:39) “ A Phrase

is a group of word which forms a grammatical unit, a phrase does not contains a finite verb and does not have a subject-predicate structure. Ungkapan tersebut

menunjukkan frasa adalah suatu kumpulan kata yang membentuk suatu unit

gramatikal, frasa tidak memuat kata kerja terbatas dan tidak mempunyai struktur

subjek dan predikat.

Dalam penelitian ini ditemukan 37 buah kekerasan verbal dalam bentuk

frasa nomina, verba, adjektiva, dan adverbia yang digunakan oleh responden.

(41)

digambarkan dengan FN=N1+N2 maksudnya adalah frasa nomina terdiri dari N1

berupa kata atau nomina sebagai induk/ inti frasa dan N2 berupa kata atau nomina

sebagai atribut. Anak disebut sebagai inti dari frasa tersebut sedangkan sapi

disebut atribut. Sama hal nya dengan dengan frasa yang memiliki inti nomina

yaitu frasa bayi kolot. Bayi adalah inti dari frasa tersebut dan kolot disebut sebagai atributif. Pada frasa bayi kolot, bayi menduduki kelas kata nomina dan kolot

menduduki kelas kata sifat atau dapat digambarkan dengan FN=N+Adj yang

artinya frasa nomina diikuti oleh kata nomina (bayi) dan kata sifat (kolot) . hal ini

sejalan dengan pendapat Kridalaksana (2008:63), nomina adalah kelas kata yang

biasanya dapat berfungsi sebagai subjek atau objek dari klausa; kelas kata ini

sering berpadanan dengan orang, benda, atau hal lain yang dibendakan dalam

alam di luar bahasa. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Radford et al.

(2009:192), yang menyatakan, “Nouns often refer to types of concrete objects in

the world (e.g cake, engine, moon, waiter)‟ (nomina sering merujuk pada benda

-benda konkret yang ada di dunia ini, misalnya kue, mesing, bulan, pelayan, dan

lain-lain). Kekerasan verbal dalam bentuk frasa nomina yang kerap diucapkan

orang tua terhadap anak, antara lain dasar anjing, babi jalang, dasar binatang,

dasar anak bandal, dasar anak sapi, dasar pemalas, eh anjing, dasar anak monyet,

dasar anak babi, bayi kolot, anak setan, dasar monyet, dasar anak kurang ajar,

dasar begu, dasar anak nakal.

Pada kata tukang nangis digolongkan ke dalam kelompok frasa verbal

dengan pewatas depan karena inti frasa tersebut adalah nangis, sedangkan pewatas depan sebagai atributifnya, tukang, terletak di kanan atau sebelum inti. Pada frasa

(42)

nomina (tukang) dan verba (nangis). Kata-kata yang termasuk ke dalam frasa

verba sebagian besar mewakili unsur semantis perbuatan, keadaan, atau proses

dari sebuah kegiatan. Verbal adalah kelas kata yang biasanya berfungsi sebagai

predikat; dalam beberapa bahasa lain verba mempunyai ciri morfologis seperi ciri

kala, aspek, persona, atau jumlah. Menurut Kridalaksana (2008:254), sebagaian

besar verbal mewakili unsur semantis perbuatan, keadaan atau proses; kelas kata

ini dalam bahasa Indonesia ditandai dengan kemungkinan untuk diawali dengan

kata tidak dan tidak mungkin diawali dengan kata seperti sangat, lebih, dan

sebagainya misalnya datang, naik, bekerja, dan sebagainya. Sejalan dengan

pendapat tersebut, Radford et al. (2009:129) menyatakna, “Verbs typically refer to

acitivities (applaud, steal, collide, bark)” (verbal umumnya merujuk pada

kegiatan/aktivitas (misalnya, bertepuk tangan , mencuri, bertabrakan,

membentak). Kekerasan verbal dalam bentuk frasa verbal, antara lain tukang

nangis, jangan malas belajar, keluar sana, kurang aja, susah kali dibilangi, diam

bodoh, gak boleh jajan.

Pada frasa keluar sana digolongkan ke dalam frasa verba karena pada

frasa tersebut yang menjadi inti adalah keluar yang berkelas kata verbal dan sana

adalah atribut yang berkelas kata adverbia. Hal tersebut dikatakan sebagai frasa

verba karena frasa verba dibentuk dari dua kata atau lebih dengan verba sebagai

intinya.

Selanjutnya, frasa ajektival diartikan sebagai frasa endosentris berinduk

satu yang induknya ajektiva dan modifikatornya adverbial seperti sangat, lebih,

kurang, dan sebagainya, misalnya lebih baik (Kridalaksana, 2008:66). Ajektiva

(43)

2008:4). Berdasarkan batasan itu, dari sebanyak 61 buah kekerasan verbal yang

digunakan oleh responden, peneliti ini menemukan sebanyak 18 buah kekerasan

verbal yang berkategori ajektiva. Senada dengan pernyataan itu, Radford et al.

(2009:130) menyatakan, “Adjectives typically refer to properties which people or

things possess and they are used to modify nouns, e. g. Happy man, noisy

engine” (ajektiva umumnya merujuk pada sifat yang dimiliki orang atau sesuatu

dan lazimnya digunakan untuk membatasi/ memodifikasi nomina, misalnya orang

yang berbahagia, mesin yang berisik). Salah satunya pada frasa dasar pendek

jelek, frasa tersebut disebut sebagai frasa adjektiva dimana frasa tersebut diikuti oleh pewatas di depan dan dibelankang. Kedua pewatas tersebut mengapit inti dari

frasa tersebut. Kata dasar pada frasa di atas adalah atribut yang biasa melekat dengan nomina atau adjektiva, pendek pada frasa di atas digolongkan sebagai adjektiva karena seperti teori yang dipedomani frasa adjektiva intinya dapat

diikuti dengan afiks ter- sangat, amat, paling, agak, alangkah-nya, dan se-nya.

Pendek (adjektiva) merupakan inti dari frasa tersebut. Jelek pada frasa tersebut digolongkan menjadi atribut yang berkelas kata adjektiva. Kekerasan verbal

dalam bentuk frasa adjektifa, antara lain bandal kali, bodoh kalilah, dasar anak

bodoh gak bisa dibilangin, dasar pendek jelek, gak tau malu, bodoh kalipun, dasar

bodoh.

4.5.1.3Kekerasan Verbal Berdasarkan Bentuk Klausa

Klausa ialah satuan gramatikal, berupa kelompok kata yang

sekurang-kurangnya terdiri dari subjek S dan predikat P, dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat. Klausa juga merupakan unsur kalimat, karena sebagaian esar

(44)

demikian, S juga sering dibuangkan, misalnya dalma kalimat luas sebagai akibat dari penggabungan klausa, dan kalimat jawaban (Ramlan, 1981:62). Dari definisi

tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa klausa adalah satuan gramatik yang

terdiri atas predikat, baik diikuti oleh subjek, objek, pelengkap, keterangan atau

tidak dan merupakan bagian dari kalimat. Penanda klausa adalah P, jika mempunya S, klausa terdiri atas S dan P. Jika mempunyai S, klausa terdiri dari

S,P, dan O. Jika tidak memiliki O dan Ket, klausa terdiri atas P, O, dan Ket. Demikian seterusnya. Penanda klausa adalah P, tetapi yang dianggap unsur inti klausa adalah S dan P.

Klausa merupakan bagian dari kalimat. Oleh karena itu, klausa bukan

kalimat. Klausa belum mempunyai intonasi lengkap. Sementara itu kalimat sudah

mempunyai intonasi lengkap yang ditandai dengan adanya kesenyapan awal dan

kesenyapan akhir yang menunjukkan bahwa kalimat tersebut sudah selesai.

Klausa sudah pasti mempunyai P , sedangkan kalimat belum tentu mempunyai P.

Suatu ujaran kekerasan verbal yang terdiri atas subjek, predikat, objek, dan

keterangan, misalnya Ibu gak akan membeli makanan kesukaanmu kalau kamu

gak tidur siang merupakan klausa sekaligus sebuah kalimat, yakni kalimat

tunggal. Hal tersebut sesuai dengan dengan definisi yang dikemukakan

kridalaksana (1982:85) bahwa “klausa adalah satauan gramatikal berupa

kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari suhjek dan predikat dan

mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.” Pengertian yang sama dikemukakan

oleh Ramlan (1981:62) “Klausa dijelaskan sebagai satuan gramatik yang terdiri

(45)

P (O), (Pel) (Ket). Tanda kurung menandakan bahwa apa yang terletak dalam

kurung itu bersifat manasuka, artinya boleh ada, boleh juga tidak ada.”

Kekerasan verbal matamu kau letak dimana? Data pada klausa tersebut

mengisi unsur klausa yang berkategori interogatif. Unsur klausa dimana mengisi kategori interogatif dan berfungsi sebagai kata tanya. Unsur klausa kau mengisi fungsi objek pelaku (O2) berkelas kata nomina karena kau pada kalimat di atas

adalah orang yang dikenai sebuah tindakan atau perbuatan. Sedangkan letak

mengisi fungsi predikat berkelas kata verba, dan matamu mengisi unsur jabatan

subjek. Klausa dimana merupakan klausa tanya karena klausa tanya adalah klausa yang isinya menanyakan sesuatu kepada mitra tutur/mitra bicara (dalam bahasa

lisan) atau pembaca (dalam bahasa tulis). Klausa ini secara tekstual ditandai oleh

pemakaian kata tanya (interogatif). Klausa ini termasuk klausa yang berurutan

biasa, yaitu klausa yang subjeknya terletak pada awal kalimat dan predikat

dibelakang subjek. Klausa ini juga termasuk ke dalam jenis klausa inti.

Kalau PR kamu tidak siap gak boleh nonton data tersebut digolongkan ke dalam klausa. Data tersebut berpola konjungsi subordinat syarat + SP. Unsur

klausa kalau mengisi kategori konjungsi subordinat yang menyatakan syarat. PR kamu adalah unsur klausa yang berpola subjek dan berkelas kata nomina.

Sedangkan unsur klausa gak boleh nonton memiliki pola kalimat predikat. Konjungsi subordinat adalah konjungsi yang menghubungkan dua atau lebih

klausa yang tidak memiliki status sintaksis yang sama. Konjungsi ini membentuk

anak kalimat yang jika digabungkan dengan induk kalimat akan membentuk

(46)

selain ditandai dengan penggunaan kata kalau, juga dapat digunakan oleh

konjungsi bila, apabila, jikalau, jika, dan lain sebagainya.

4.5.2 Peristiwa Tutur

Salah satu tempat yang sering menjadi latar terjadinya kekerasan verbal

adalah keluarga. Keluarga terdiri atas ayah, ibu, dan anak. Dalam berkomunikasi,

masing-masing individu, baik ayah, ibu maupun anak saling berinteraksi dengan

tujuan masing-masing. Dalam sebuah interaksi komunikasi terkadang dapat

mengundang kemarahan, ketertekanan, ketakutan, ketidaknyamanan, dan

kecemasan orang lain yang diwujudkan dengan berbagai cara. Simpen dalam orasi

ilmiahnya yang berjudul Fungsi Bahasa dan Kekerasan Verbal dalam Masyarakat menyatakan bahwa kekerasan verbal lahir dari penyelewengan atau

pengawafungsian bahasa. Menurutnya, tindakan yang menyebabkan tidak

nyamannya orang lain, tertekannya orang lain, kecemasan orang lain,

kekhawatiran orang lain, ketakutan orang lain dan terancamnya orang lain. Hal

tersebut tercnatum dalam kutipan berikut.

Penyelewengan atau pengawafungsian bahasalah yang melahirkan kekerasan verbal, yaitu tindakan berbahasa yang menyebabkan tidak nyamannya orang lain, tertekannya orang lain, kecemasan orang lain, kekhawatiran orang lain, ketakutan orang lain, atau terancamnya orang lain (Simpen, 2011:9).

Jika kemarahan, ketertekanan, ketakutan, ketidaknyamanan, dan

kecemasan orang lain tersebut diwujudkan melalui peristiwa verbal, tuturan

tersebut dikategorikan dalam peristiwa tutur yang mengandung kekerasan verbal.

(47)

interaksi komunikasi tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial. Konteks sosial

tersebut meliputi setting (latar di mana bahasa itu digunakan dan latar psikologi),

participant (penutur dan petutur yang turut ambil bagian dalam komunikasi), end

(fungsi dan hasil), act sequence (bentuk tuturan), key (intonasi, sikap, dan semangat saat mengucapkan tuturan), instrument (jalur bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi), norm (perilaku dan kesantunan), dan genre (jenis bentuk

penyampaian) yang disingkat menjadi akronim SPEAKING.

Berikut merupakan analisis data Kekerasan verbal yang digunakan orang

tua terhadap anak.

Setting and scene

Setting berhubungan dengan waktu dan tempat pertuturan berlangsung,

sementara scene mengacuh pada situasi, tempat, dan waktu terjadinya pertuturan. Waktu, tempat, dan situasi yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi

bahasa yang berbeda. Misalnya pada saat percakapan yang terjadi dalam peristiwa

tutur di bawah ini.

Pewawancara : Kalau marah lagi apalah dibilang mamak?

Anak 2 : Bodok (maksudnya bodoh).

Pewawancara : Trus?

Anak 2 : Dipukulin.

Dan bila diamati setting atau waktu dan tempat pertuturan yang

berlangsung dalam peristiwa tutur di Jalan Kawat III, Tanjung Mulia, Medan pada

pukul 19.00 Wib atau sekitar jam 7 malam dan pertuturan berlangsung berada di

(48)

mencekam, sunyi, disebabkan orang tua sedang marah kepada anak yang tidak

mengerjakan apa yang diperinkan terhadap anak.

Participants

Participants adalah peserta tutur atau pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan. Peserta tutur dapat dipakai untuk menunjuk kepada minimal dua pihak

dalam bertutur. Participants yang ada di dalam peristiwa tutur kekerasan verbal

terhadap anak, yaitu:

1. Orang tua yaitu ibu dan ayah (yang melakukan kekerasan verbal)

2. Anak (anggota dari keluarga)

Hal tersebut dapat dilihat pada percakapan di bawah ini.

Pewawancara : Kalau Abel dimarahin mamak apalah dibilang?

Anak 2 : Anjing!

Pewawancara : Anjing dibilang mamak sama Abel?

Anak 2 : Iyah.

Pewawancara : Trus apalagi dibilang mamak?

Anak 2 : Monyet!

Pewawancara : Monyet. Trus kalau bapak marah? Mau bapak marah?

Anak 2 : Mau!

Pewawancara : Kalau bapak marah apalah dibilang bapak sama Abel?

Anak 2 : Bodok!

Pewawancara : Bodok. Trus apalagi?

Anak 2 : Babi!

Dari percakapan di atas orang tua (ayah dan ibu) adalah orang yang

Gambar

Tabel 4.1 Kekerasan Verbal Berbentuk Kata Monomorfemis
Tabel 4.3 Kekerasan Verbal Berbentuk Kata
Tabel 4.4 Kekerasan Verba Kategori Nomina
Tabel 4.5 Kekerasan Verbal Berbentuk Frasa
+5

Referensi

Dokumen terkait

Masalah yang terdapat pada siswa kelas IV MI Miftahul Huda Soga Desa Tenajar Kidul Kecamatan Kertasemaya Kabupaten Indramayu adalah rendahnya hasil belajar siswa pada mata

Persediaan minimum di dalam gudang yang harus dimiliki oleh perusahaan sebesar 7,04 ton kemudian perusahaan harus melakukan pemesanan kembali pada saat persediaan di dalam

Perbedaan ketebalan yang lebih besar antara hasil penghitungan menggunakan persamaan Sauerbrey dengan hasil karakterisasi SEM terjadi pada ZnPc jika dibandingkan

2) Penyelenggaraan Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Peneliti. Dengan kewenangan ini, LIPI melalui Pusbindiklat Peneliti harus dapate. merumuskan akreditasi penilaian

Dan hasil uji antibakteri menunjukan bahwa ekstrak etanol buah mengkudu memiliki aktivitas antibakteri pada konsentrasi 500 mg/ml dengan zona hambat masing masing 12

Najib, Muhammad Miftahun, Na&gt;sikh Mansu&gt;kh Dalam Tafsir al-Mana&gt;r, Telaah Atas Penafsiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha Tentang Ayat-Ayat Na&gt;sikh Mansu&gt;kh

Dan hasil uji antibakteri menunjukan bahwa ekstrak etanol buah mengkudu memiliki aktivitas antibakteri pada konsentrasi 500 mg/ml dengan zona hambat masing masing 12

KAJIAN PEWARISAN PENGETAHUAN ETNOBIOLOGI BIDANG PERTANIAN PADA MASYARAKAT KAMPUNG ADAT CIPTARASA KECAMATAN CIKAKAK KABUPATEN SUKABUMI.. Universitas Pendidikan Indonesia |