BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif merupakan kegiatan yang berlangsung
secara simultan dengan kegiatan analisis data (Mahsun, 2005:257). Penelitian
deskriptif kualitatif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata
cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk
tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta
proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu
fenomena. Jadi, prosedur atau cara pemecahan masalah penelitian dengan
memaparkan dan mendeskripsikan keadaan objek yang diteliti.
Metode deskriptif kualitatif ini digunakan untuk menjelaskan data yang
sudah terkumpul oleh penulis dan juga dengan menggunakan metode ini dapat
memberikan gambaran terhadap fenomena kekerasan verbal terhadap anak dalam
keluarga pada saat ini yang terwujud dalam tutur orang tua terhadap anak-anaknya
yang kemudian dikaitkan dengan status sosial. Dengan menggunakan metode
deskriptif, data yang diperoleh dideskripsikan seobjektif mungkin dan dianalisis
3.2Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Kelurahan ini berada di Kecamatan Medan Deli dimana merupakan daerah
yang mengalami perkembangan yang pesat dan sebagai kawasan industri dan
pergudangan. Kelurahan ini diapit oleh dua jalan utama kota yaitu Tol Belmera
disebelah timur dan Jalan Alumunium di sebelah barat.
Kelurahan ini mempunyai jumlah penduduk yang cukup tinggi yaitu
hampir mencapai 35.000 jiwa dengan pembagian 22 lingkungan (seperti unit RW
di Pulau Jawa). Rata-rata penduduk per lingkungan berkisar antara 300-600
Kepala Keluarga. Mayoritas penduduk kelurahan ini bermata pencaharian buruh
(industri) dari perusahaan yang ada di sekitarnya. Sedangkan dilihat dari segi etnis
terdapat beberapa etnis dengan didominasi oleh etnis Jawa dan Batak Toba.
Meskipun demikian faktor keragaman etnis dan agama tidak menjadi faktor
penghambat bagi interaksi sosial dari masyarakat kelurahan ini.
3.3Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di kelurahan Tanjung Mulia, Kecamatan
Medan Deli Kota Medan. Alasan khusus pemilihan lokasi ini, karena penulis
mempertimbangkan keadaan sosial masyarakat yang heterogen, yang secara
bersama-sama membentuk masyarakat tutur tersebut.
3.4 Responden Penelitian
Pengambilan responden dilakukan dengan pertimbangan pada kebutuhan
data yang ingin diperoleh yang mengacu pada permasalahan yang digarap yang
orang tua dan anak prasekolah. Namun, tidak seluruh orang tua yang dipilih
menjadi responden. Untuk itu, peneliti menetapkan jumlah responden dengan
menggunakan teknik pengambilan sampel. Untuk mendapatkan responden,
peneliti menggunakan rumus Slovin (dalam Prasetyo dan Jannah, 2006:137).
Jumlah orang tua yang memiliki anak prasekolah di Kelurahan Tanjung Mulia
Hilir Lingkungan 22 Medan sebanyak 98 orang. Populasi orang tua yang memiliki
anak prasekolah di atas merupakan subjek yang akan dipilih sebagai responden.
Untuk kepentingan penelitian ini, responden diambil dari populasi dengan teknik
pengambilan sampel dengan menggunakan rumus Slovin, yakni sebagai berikut:
Rumus :
e : batas toleransi kesalahan (error tolerance)
n =
Berdasarkan perhitungan rumus di atas, dari populasi sebanyak 98 orang
tua dan batas toleransi kesalahan sebesar 5% diperoleh sampel sebanyak 78,7
dibulatkan menjadi 79 orang. Oleh karena itu responden dalam penelitian ini
3.5 Jenis dan Sumber Data 3.5.1 Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang menunjang
terjawabnya permasalahan penelitian yaitu mengenai bentuk kekerasan
verbal orang tua terhadap anaknya, peristiwa tutur kekerasan verbal,
serta faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya kekerasan verbal
terhadap anak. Terdapat dua jenis data yang digunakan untuk
mendukung penelitian ini,
1) Data kualitatif, yaitu data yang dikumpulkan berdasarkan
keterangan/informasi yang berhubungan dengan permasalahan
yang diajukan, yaitu data bentuk kekerasan verbal, peristiwa
tutur,dan faktor-faktor penyebab kekerasan verbal.
2) Data kuantitatif, yaitu data yang dikumpulkan berupa angka-angka
yang berhubungan dengna permasalahan yang dibahas. Misalnya
jumlah orang tua yang melakukan kekerasan verbal.
3.5.2 Sumber Data
Ada pun sumber data pada penelitian ialah sebagai berikut.
1) Data Primer
Data primer untuk penelitian ini diperoleh dari orang tua yang
melakukan kekerasan verbal terhadap anaknya dalam keluarga.
2) Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini berasal dari angket yang berisi
bentuk-bentuk kekerasan verbal yang diucapkan orang tua terhadap
responden dengan karakteristik pria atau wanita yang memiliki anak
usia 3-6 tahun (sesuai dengan tumbuh kembang anak oleh
Soetjiningsih). Pemilihan pada usia ini dilakukan karena pada usia
3-6 tahun (prasekolah) umumnya anak mulai menambah
perbendaharaan kata 50-100 kata sampai 2000 lebih.
Penentuan sumber data ini didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan peneliti sesuai dengan acuan yang diberikan oleh
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (1987).
1) Derajat keseragaman dari populasi
2) Presisi yang dikehendaki dari penelitian
3) Rencana analisis
4) Tenaga, biaya, dan waktu
3.6Instrumen Penelitian
Ada pun instrumen pengumpulan data yang digunakan pada penelitian
ialah sebagai berikut :
1) Alat Rekam
Pada penelitian ini alat rekam yang digunakan oleh peneliti ialah
handphone. Alat ini berfungsi merekam tuturan-tuturan verbal orang tua terhadap anaknya serta mempermudah peneliti dalam pentranskripan data
kebahasaan.
2) Angket/Kuesioner
Alat yang digunakan sebagai pengumpulan data berupa angket atau
masyarakat mengenai bentuk kekerasan verbal orang tua terhadap anak
dalam keluarga. Waktu yang diperlukan responden untuk mengisi
kuesioner diperkirakan 15 menit tiap angketnya dan pengumpulan data
dilakukan sendiri oleh peneliti. Kuesioner terdiri atas dua bagian besar
yaitu pertama berisi data demografi (kependudukan) dan pendidikan
responden dan kedua berisi pertanyaan sebanyak 42 pertanyaan yang
terdiri atas 10 pertanyaan tentang sosiodemografi responden, 11 pertanyaan
bentuk kekerasan verbal, 21 pertanyaan tentang faktor kekerasan verbal,
(contoh kuesioner dilihat dari Ina Nurul Rahmawati)
3) Peneliti
Peneliti bertindak sebagai alat instrumen mengamati secara langsung data
tuturan orang tua terhadap anaknya baik berupa tuturan verbal atau
nonverbal serta mengklafikasi tuturan tersebut sesuai dengan kebutuhan
data yang telah ditentukan.
3.7Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah metode simak dan observasi. Metode
simak digunakan untuk memeroleh data dengan menyimak penggunaan bahasa.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu dengan
1) Teknik Observasi
Pengumpulan data dengan observasi langsung atau dengan
pengamatan langsung adalah cara pengambilan data dengan
menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk
keperluan tersebut (Nazir, 1988:22). Lewat teknik ini peneliti melakukan
pengamatan secara langsung tuturan orang tua terhadap anaknya,
kemudian mencatat hal-hal (tuturan) serta bentuk-bentuk kekerasan
verbal yang dilakukan orang tua terhadap anaknya.
2) Teknik Rekam
Penggunaan teknik rekam pada penelitian ini yaitu dengan
merekam data kebahasaan yang termasuk ke dalam kekerasan verbal
dengan menggunakan alat perekam. Mahsun (2005:132) dalam buku
Metode Penelitian Bahasa menyatakan bahwa :
Teknik rekam hanya dapat digunakan pada saat penerapan teknik cakap semuka. Kekurangan dari teknik ini adalah adanya kekhawatiran akan hasil yang kurang baik karena alat perekam yang kurang baik hingga menimbulkan keraguan dalam menginterprestasi data yang didapat.
Namun teknik ini sangat diperlukan untuk melakukan
pendokumentasian sumber data penelitian yang berasal dari tuturan.
3) Angket
Angket dilakukan melalui penyebaran kuesioner atau daftar
tanyaan untuk menjaring data persepsi orang tua terhadap bentuk-bentuk
tindak kekerasan verbal terhadap anak dalam keluarga dan faktor-faktor
penyebab terjadinya kekerasan verbal terhadap anak dalam keluarga.
1. Pengambilan data dilakukan oleh peneliti sendiri dengan mendatangi
orang tua di Lingkungan 22 dan sebelumnya memberikan penjelasan
kepada calon responden.
2. Responden diberikan penjelasan cara pengisian kuesioner dan
apabila ada yang kurang jelas, responden dipersilakan untuk
bertanya.
3. Pengumpulan data dengan cara kuesioner secara langsung oleh
peneliti, selama pengisian peneliti di samping responden.
4. Data primer didapat dari hasil pengisian yang berisi tindak kekerasan
verbal dan faktor penyebab kekerasan verbal.
5. Setelah semua pertanyaan diisi, lembar kuesioner diambil/dikumpul
oleh peneliti
3.8Metode dan Teknik Penganalisisan Data
Pada tahap analisis, data yang sudah terkumpul melalui kuesioner
selanjutnya dipilah-pilah dengan teknik identifikasi. Dengan teknik ini, data dapat
diklasifikasi berdasarkan jenis data. Setelah data diklasifikasikan, data yang
tersedia didisekripsikan, diinterpretasikan, dan dianalisis sesuai dengan kerangka
teori yang dijadikan landasan.
Data kekerasan verbal yang diperoleh melalui jawaban kuesioner,
selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan diklasifikasikan berdasarkan aspek
bentuk kekerasan verbal terhadap anak dalam keluarga. Selanjutnya data
yang dikemukakan oleh pakar. Bentuk kekerasan verbal dan faktor penyebab
kekerasan verbal yang telah diklasifikasikan oleh peneliti selanjutnya
dideskripsikan sesuai dengan teori yang dijadikan acuan dalam penelitian ini.
Dengan demikian, penelitian ini dapat menjelaskan (1) bentuk-bentuk
kekerasan verbal orang tua terhadap anaknya, dan (2) faktor-faktor yang
menyebabkan terjadikan kekerasan verbal terhadap anak dalam keluarga.
3.9Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Pada tahap analisis, data yang sudah terkumpul melalui kuesioner
selanjutnya dipilah-pilah dengan teknik identifikasi. Dengan teknik ini, data dapat
diklasifikasi berdasarkan jenis data. Setelah data diklasifikasikan, data yang
tersedia dideskripsikan, diinterpretasikan, dan dianalisis sesuai dengan kerangka
teori yang dijadikan landasan.
Data kekerasan verbal yang diperoleh melalui kuesioner, selanjutnya
dianalisis secara kualitatif dan diklasifikasikan berdasarkan bentuk kekerasan
verbal. Selanjutnya peristiwa tutur dan faktor-faktor kekerasan verbal yang
dilakukan responden dianalisis dan diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi faktor
kekerasan verbal yang dikemukakan oleh pakar. Data kekerasan verbal, peristiwa
tutur, dan faktor kekerasan verbal yang telah diklasifikasikan oleh peneliti ini
selanjutnya dideskripsikan sesuai dengan teori yang dijadikan acuan dalam
penelitian ini.
Dengan demikian, penelitian ini dapat menjelaskan (1) bentuk-bentuk
verbal terhadap anak dalam keluarga, (3) faktor-faktor yang menyebabkan
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1Pendahuluan
Pada Bab ini, peneliti memaparkan hasil penelitian bentuk-bentuk
kekerasan verbal terhadap anak dalam keluarga, peristiwa tutur kekerasan verbal
terhadap anak dalam keluarga, dan faktor-faktor yang menyebabkan kekerasan
verbal. Hasil analisis diuraikan sesuai dengan masalah penleitian.
4.2Bentuk Kekerasan Verbal
Kekerasan verbal berdasarkan bentuk dalam penelitian ini dihubungkan
dengan teori sintaksis. Crane, et al (1981:102) berpendapat bahwa syntax is the way words are put together to form phrases and sentences. Dari teori tersebut
dapat dikatakan bahwa sintaksis adalah studi yang mempelajari penggabungan
kata-kata membentuk frasa dan kalimat. Akan tetapi dalam penelitian ini
hanya membahasa kekerasan verbal dalam bentuk kata, frasa, dan klausa. Dalam
kajian sintaksis, kekerasan verbal berbentuk kata, frasa, dan klausa dikaji untuk
mengetahui bentuk-bentuk kekerasan verbal apa yang sering dilakukan orang tua
terhadap anak.
Dari data yang diperoleh melalui jawaban kuesioner oleh responden,
peneliti menemukan sebanyak 233 buah kekerasan verbal. Jumlah tersebut
merupakan jumlah kekerasan verbal secara keseluruhan, yakni jumlah kekerasan
verbal yang dilakukan orang tua baik laki-laki (ayah) ataupun perempuan (ibu)
Berdasarkan bentuknya, kekerasan verbal yang digunakan oleh responden
dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:
1) Kekerasan verbal berbentuk kata;
2) Kekerasan verbal berbentuk frasa;
3) Kekerasan verbal berbentuk klausa.
Sementara itu, berdasarkan kategorinya, kekerasan verbal yang digunakan
oleh responden dapat dikelompokkan menjadi :
1) Kekerasan verbal berkategori nomina
2) Kekerasan verbal berkategori verba
3) Kekerasan verbal berkategori ajektiva
4.2.1 Kekerasan Verbal Berbentuk Kata
Kridalaksana (2008:110) menyatakan bahwa kata adalah (1) morfem atau
kombinasi yang oleh bahasawan dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat
diujarkan sebagai bentuk yang bebas, (2) satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri,
terjadi dari morfem tunggal (misalnya batu, rumah, datang, dan sebagainya) atau
gabungan morfem (misalnya pejuang, mengikuti, pancasila, mahakuasa, dan
sebagainya, dan (3) satuan terkecil dalam sintaksis yang berasal dari leksem yang
telah mengalami proses morfologis.
Dengan merujuk pengertian “kata” di atas, penelitian ini menemukan
sebanyak 20 buah kekerasan verbal yang berbentuk kata. Menurut Rosidin (2010),
kekerasan verbal berbentuk kata dapat dibedakan menjadi dua, yakni kekerasan
verbal bentuk dasar dan kekerasan verbal bentuk kata jadian. Kekerasan verbal
atau kata yang terjadi dari satu morfem. Sementara itu, kekerasan verbal bentuk
jadian adalah kekerasan verbal yang berupa kata-kata polimorfemis. Kekerasan
verbal polimorfemis dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni (1) kekerasan
verbal berafiks dan (2) kekerasan verbal bentuk majemuk.
Berdasarkan data yang diperoleh, kekerasan verbal berbentuk kata
monomorfemis yang digunakan oleh responden ditemukan 18 buah. Kekerasan
verbal yang termasuk ke dalam kekerasan verbal berbentuk kata monomorfemis
ditampilkan dalam tabel berikut:
Tabel 4.1 Kekerasan Verbal Berbentuk Kata Monomorfemis
No. Kekerasan Verbal
Sementara itu, kekerasan verbal jadian adalah kekerasan verbal yang
dibedakan menjadi dua jenis, yakni (1) kekerasan verbal berafiks dan (2)
kekerasan verbal bentuk majemuk.
Kekerasan verbal yang digunakan oleh responden ke dalam kekerasan
verbal berafiks ditemukan sebanyak 2 buah dan kekerasan verbal yang termasuk
kekerasan bentuk majemuk tidak ditemukan, antara lain:
Tabel 4.2 Kekerasan Verbal Polimorfemis
No. Kekerasan Verbal 1 Pemalas
2 Bajingan
Berdasarkan hasil penelitian di atas data yang ditemukan ke dalam
kekerasan verbal dalam bentuk kata terdapat 20 buah yang dapat digolongkan
menjadi dua bentuk yaitu monomorfemis dan polimorfemis. Bentuk ini dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.3 Kekerasan Verbal Berbentuk Kata
Jenis Kekerasan Verbal Jumlah Kata % Monomorfemis
Polimorfemis
18 2
90 10
Kekerasan verbal dalam bentuk kata monomorfemis lebih banyak
digunakan orang tua untuk memarahi anak daripada kekerasan verbal bentuk kata
polimorfemis. Hal itu dapat dilihat dari data yang telah dikumpulkan.
Secara kategorial, kekerasan verbal dapat digolongkan menjadi beberapa
jenis yakni kekerasan verbal yang berkategori nomina, seperti bandot, tai, iblis,
statif) seperti diam,; kekerasan verbal berkategori ajektiva, seperti goblok, gila,
dan lain-lain (Rosidin, 2010). Hal itu dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 4.4 Kekerasan Verba Kategori Nomina
Kategori Kekerasan Verbal Kata Jumlah Persentase %
ajektiva lebih banyak digunakan orang tua untuk memaki anak-anaknya
dibandingankan kekerasan verbal kategori verba dan nomina.
4.2.2 Kekerasan Verbal Berbentuk Frasa
Frasa merupakan kumpulan kata yang di dalamnya tidak terdapat subjek
dan predikat. Seperti yang dikemukakan oleh Richard, et al. (1985:39) “ A Phrase
finite verb and does not have a subject-predicate structure. Ungkapan tersebut
menunjukkan frasa adalah suatu kumpulan kata yang membentuk suatu unit
gramatikal, frasa tidak memuat kata kerja terbatas dan tidak mempunyai struktur
subjek dan predikat.
Menurut Kridalaksana (2008:66), frasa adalah gabungan dua kata atau
lebih yang sifatnya tidak predikatif; gabungan itu dapat rapat, dapat renggang;
misalnya gunung tinggi adalah frasa karena merupakan konstruksi nonpredikatif;
konstruksi ini berbeda dengan gunung itu tinggi yang bukan frasa karena bersifat
predikatif.
Rosidin (2010) mengatakan ada dua cara yang dapat digunakan untuk
membentuk frasa dalam bahasa Indonesia, yakni dasar plus kekerasan verbal,
seperti dasar bodoh, dasar gila, dan kekerasan verbal plus mu, seperti mamakmu.
Kata dasar dalam hal ini dimungkinkan melekat dengan berbagai kekerasan verbal
yang referensinya bermacam-macam, seperti binatang (dasar babi, dasar buaya,
dan sebagainya), profesi (dasar pelacur, dasar sundal, dan sebagainya), benda
(dasar tai, dasar cabe, dan sebagainya), keadaan (dasar gila, dasar keparat, dan
sebagainya), dan makhlus halus (dasar setan, dasar iblis, dan sebagainya).
Sedangkan pada kata –mu hanya dapat berdampingan dengan kata-kata
kekerabatan (kakekmu, atokmu) dan bagian tubuh (matamu).
Berdasarkan teori di atas, kekerasan verbal yang digunakan oleh
responden yang dapat dikelompokkan sebagai frasa ditemukan sebanyak 34 buah.
Tabel 4.5 Kekerasan Verbal Berbentuk Frasa
22 Dasar anak kurang ajar 23 Diam bodoh
33 Dasar anak bodoh gak bisa dibilangin 34 Dasar binatang
Secara kategorial, kekerasan verbal dapat digolongkan menjadi beberapa
jenis yakni kekerasan verbal yang berkategori nomina atau frasa nomina, seperti
bandot, tai matamu, iblis, sundal, dan sebagainya; kekerasan verbal berkategori
berkategori ajektiva, seperti goblok, gila, dan lain-lain (Rosidin, 2010). Hal
tersebut diuraikan di bawah ini:
4.2.1.1Kekerasan Verbal Berkategori Frasa Nomina
Menurut Kridalaksana (2008:63), nomina adalah kelas kata yang biasanya
dapat berfungsi sebagai subjek atau objek dari klausa; kelas kata ini sering
berpadanan dengan orang, benda, atau hal lain yang dibendakan dalam alam di
luar bahasa. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Radford et al. (2009:192),
yang menyatakan, “Nouns often refer to types of concrete objects in the world
(e.g cake, engine, moon, waiter)‟ (nomina sering merujuk pada benda-benda
konkret yang ada di dunia ini, misalnya kue, mesin, bulan, pelayan, dan lain-lain).
Berdasarkan defenisi dan penjelasan tersebut, dari 34 buah kekerasan
verbal yang digunakan oleh responden, peneliti menemukan sebanyak 19 buah
kekerasan verbal berkategori nomina. Frasa-frasa itu, berdasarkan kelas kata unsur
pusatnya, disebut sebagai frasa nomina. Hal itu sejalan dengan pernyataan
Kridalaksana (2008:66), yang menyatakan frasa nomina adalah frasa endosentris
berinduk satu yang induknya nomina.
Berikut merupakan tabel kekerasan verbal berkategori frasa nomina (FN)
yang digunakan oleh responden, antara lain:
Tabel 4.6 Kekerasan verbal Berkategori Frasa Nomina
No Kekerasan Verbal Kategori
1 Matamu FN
2 Mulutmu FN
5 Dasar binatang FN
4.2.1.2Kekerasan Verbal Berkategori Frasa Verba
Menurut kridalaksana (2008:254), verba adalah kelas kata yang biasanya
berfungsi sebagai predikat; dalam beberapa bahasa lain verba mempunyai ciri
morfologis seperi ciri kala, aspek, persona, atau jumlah. Sebagaian besar verba
mewakili unsur semantis perbuatan, keadaan atau proses; kelas kata ini dalam
bahasa Indonesia ditandai dengan kemungkinan untuk diawali dengan kata tidak
dan tidak mungkin diawali dengan kata seperti sangat, lebih, dan sebagainya
misalnya datang, naik, bekerja, dan sebagainya. Sejalan dengan pendapat tersebut,
Radford et al. (2009:129) menyatakan, “Verbs typically refer to acitivities
(applaud, steal, collide, bark)” (verba umumnya merujuk pada kegiatan/aktivitas
(misalnya, bertepuk tangan , mencuri, bertabrakan, membentak).
Berdasarkan defenisi dan penjelasan tersebut, dari sebanyak 34 buah
kekerasan verba yang digunakan oleh responden, peneliti ini menemukan
sebanyak 5 buah kekerasan verba berkategori frasa verba. Kekerasan verba
Tabel 4.7 Kekerasan verbal Berkategori Frasa Verba
No Kekerasan Verbal Kategori
1 Kurang ajar FV
2 Tukang nangis FV
3 Keluar sana FV
4 Susah kali dibilangin FV
5 Diam bodoh FV
4.2.1.3 Kekerasan Verbal Berkategori Frasa Ajektiva
Ajektiva dapat diartikan sebagai kata yang menerangkan kata benda
(Kridalaksana, 2008:4). Senada dengan pernyataan itu, Radford et al. (2009:130)
menyatakan, “Adjectives typically refer to properties which people or things
possess and they are used to modify nouns, e. g. Happy man, noisy engine”
(ajektiva umumnya merujuk pada sifat yang dimiliki orang atau sesuatu dan
lazimnya digunakan untuk membatasi/ memodifikasi nomina, misalnya orang
yang berbahagia, mesin yang berisik). Selanjutnya, frasa ajektiva diartikan
sebagai frasa endosentris berinduk satu yang induknya ajektiva dan
modifikatornya adverbia seperti sangat, lebih, kurang, dan sebagainya, misalnya
lebih baik (Kridalaksana, 2008:66).
Berdasarkan defenisi tersebut, dari 34 buah kekerasan verbal yang
digunakan oleh responden ditemukan 10 buah kekerasan verbal berkategori frasa
ajektiva. Kekerasan verbal berkategori frasa ajektiva (FA) tersebut ditampilkan
Tabel 4.8 Kekerasan verbal Berkategori Frasa Ajektiva
No Kekerasan Verbal Kategori
1 Bandal kali FA
Kategori kekerasan verbal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.9 Kategori Kekerasan Verbal Berbentuk Frasa
Jenis Frasa Jumlah Frasa %
Pada hasil penelitian di atas, responden lebih sering menggunakan
kekerasan verbal dalam bentuk frasa nomina daripada kekerasan verbal dalam
bentuk frasa adjektiva dan frasa verba. Hal itu dapat dilihat dari hasil temuan
penelitian yang tertera pada tabel di atas.
4.2.3 Kekerasan Verbal Berbentuk Klausa
Klausa merupakan kelas sintaksis yang terdiri atas nomina dan verba
mengungkapkan clause a term used in some models of grammar to refer to a unit
of grammatical smaller than the sentence but larger than phrase, word or morphemes. Pengertian itu menunjukkan bahwa klausa digunakan dalam kajian
grammar yang mengacu kepada sebuah gramatikal yang lebih kecil dari kalimat tetapi lebih besar dari frasa, kata ataupun morfem. Richards, et al. (1985:23)
Clause is a group of words which contain subject and finite verb. Batasan ringkas
tersebut menunjukkan bahwa klausa merupakan kumpulan kata yang memiliki
subjek dan kata kerja terbatas.
Klausa terbagi menjadi dua jenis, yaitu klausa bebas dan klausa
subordinator atau terikat seperti yang diungkapkan oleh Gucker (1966:76) There are two types: mainn (or independent) clauses and subordinator (or dependent)
clause. Downing dan Locke (2006:13) mengungkapkan perbedaan klausa bebas dan terikat bahwa All grammatically independent clauses are finite. Dependent clauses may be finite or non-finite. Pemahaman tersebut menunjukkan bahwa
secara gramatikal klausa bebas terdiri dari kata kerja terbatas. Klausa terikat dapat
terdiri dari kata kerja terbatas atau kata kerja tidak terbatas.
Berdasarkan pengertian tersebut, kekerasan verbal dalam bentuk klausa
yang digunakan oleh responden ditemukan sebanyak 105 kekerasan verbal yang
digolongkan menjadi dua klausa, yaitu klausa bebas dan klausa terikat. Di bawah
ini merupakan tabel klausa bebas dan klausa terikat.
Tabel 4. 9 Kekerasan Verbal Berbentuk Klausa Bebas
No Klausa Bebas
1 Gitu aja tidak bisa, padahal adiknya bisa 2 Jangan di situ nak
5 Kukurung kau nanti 6 Diam mulutmu 7 Anak bodoh
8 Ceroboh aja kerjaanmu 9 Matamu kau letak dimana? 10 Diam mulutmu
11 Jangan nakal lagi 12 Jangan melawan 13 Awas kalau diulangi
14 Jangan menyentuh barang-barang itu bodoh 15 Pergi dari situ, pusing kepala melihatmu 16 Anak tidak tahu diri
17 Monyet kau 18 Anak bodoh 19 Lamban kau yah
20 Jangan tidur kalau belum belajar
21 Makanan kesukaanmu itu ibu tidak mau membelinya lagi jika kamu nakal
22 Nanti semua mainan itu ibu kasih orang 23 Mainan kamu ini saya buang nanti 24 Jangan main kalau belum mandi 25 Gak boleh main kalau belum belajar
26 Susah kalipun dibilangin, gak boleh makan siang kalau begitu
27 Gak usah kau makan 28 Anak gak tau diri
29 Udah kriting, suka melawan lagi 30 Anak gak tau diuntung
31 jangan mengulanginya lagi, nanti saya pukul kamu 32 Kupotong tanganmu nanti
41 Jangan nakal nanti dipukul 42 Matamu kau letak dimana
43 Anak-anak jangan sok tau bikin mau orang tua saja 44 Jangan belagak bodoh
45 Anak bodoh kau 46 Anak tolol
47 Nanti bajumu tidak ibu belikan jika kamu masih nakal
50 Jangan nakal nanti dipukul
51 Makan dulu baru boleh minum susu 52 Tidur siang dulu baru boleh jajan 53 Jangan main kalau nakal
54 Diam kau
55 Jangan makan kalau belum cuci tangan 56 Jangan nangis nanti kupukul
57 Anak nakal
64 Jangan masuk diluar saja 65 Matamu kau letak dimana? 66 Diam mulutmu
67 Jangan nakal lagi 68 Jangan melawan
Dari data yang dikumpulkan melalui responden ditemukan kekerasan
verbal dalam bentuk klausa bebas sebanyak 68 kekerasan seperti yang ditulis pada
tabel di atas.
Tabel 4.10 Kekerasan Verbal Berbentuk Klausa Terikat
No Klausa Terikat
1 Kalau nakal nanti dibuat ke panti
2 Jika kamu masih berbuat begitu, botakmu bisa aja pecah
3 Kalau nangis nanti dikurung
4 Kalau gak tidur siang gak boleh main 5 Kalau gak nurut nanti dijual ke botot 6 Kalau kencing celana dikasih tikus 7 Kalau nakal tidur dengan tikus 8 Kalau gak makan, gak boleh jajan 9 Kalau tidak nurut gak boleh sekolah 10 Kalau nangis nanti ditinggal
15 Kalau pipis celana nanti kodok datang
16 Kalau nanti jalan-jalan kamu tidak usah ikut lagi 17 Kalau gak nurut nanti dipukul
18 Kalau bandal nanti digigit ular 19 Kalau nakal nanti didatangi hantu
20 Kalau gak puasa full, gak boleh baju baru
21 Kalau tidur gak boleh ngompol nanti digigit semut 22 Kalau nakal dijual ke botot
23 Kalau gak makan, gak boleh main 24 Kalau gak belajar, gak boleh jajan 25 Kalau nakal gak boleh sekolah 26 Kalau nangis dikurung di kamar
27 Kalau PR kamu tidak siap gak boleh nonton 28 Kalau bandel gak usah sekolah lagi
29 Kalau bodoh gak boleh sekolah 30 Kalau bandel gak boleh ikut ke pesta 31 Kalau nakal nanti dikasih ke orang 32 Kalau gak nurut nanti dijual ke botot 33 Kalau kencing celana dikasih tikus 34 Kalau nakal nanti dibuat ke panti 35 Kalau gak tidur, gak boleh makan
36 Kalau gak makan nanti dikurung di kamar mandi 37 Kalau gak mau disuruh gak dikasih uang jajan
Berdasarkan hasil penelitian di atas data yang ditemukan ke dalam
kekerasan verbal dalam bentuk klausa terdapat 105 buah yang dapat digolongkan
menjadi dua kategori, yaitu klausa bebas dan klausa terikat. Kategori kekerasan
verbal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.11 Kategori Kekerasan Verbal Berbentuk Klausa
Dari hasil penelitian, dapat dikatakan orang tua kerap menggunakan
kekerasan verbal dalam bentuk klausa bebas dibandingkan dalam bentuk klausa
terikat. Hal itu dapat dilihat dari persentase penggunaan kekerasan verbal dalam
klausa pada tabel di atas.
4.3 Peristiwa Tutur
Seorang pakar linguistik terkenal mengatakan bahwa peristiwa tutur harus
memenuhi delapan komponen, yang jika huruf-huruf awalnya dirangkaikan
menjadi akronim SPEAKING. Peristiwa tutur (speach event) adalah gejala sosial
terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau
lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu
pokok tuturan di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Jadi, interaksi yang
berlangsung antara seorang anak dan orang tua pada waktu tertentu dengan
menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur.
Peristiwa serupa kita dapati juga dalam acara diskusi di ruangan kuliah, rapat
dinas di kantor, sidang di pengadilan, dan sebagainya. Sebuah percakapan baru
dapat disebut sebagai peristiwa tutur kalau memenuhi syarat seperti yang
disebutkan di atas. Menurut Hymes (1972) seorang pakar sosiolinguistik terkenal,
bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila
huruf-huruf pertamanya dirangkai menjadi akronim SPEAKING kedelapan komponen
itu adalah sebagai berikut:
S (Setting and Scene) P (Participants)
I (Instrumentalities)
N (Norms of Interaction and Interpretation) G (Genres)
Setting and science, di sini setting berkenaan dengan waktu dan tempat
tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat dan situasi tutur yang berbeda
menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam peraturan, biasa pembicara dan pendengar,
penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). Dua orang yang
bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara atau pendengar. Status
sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Ends merujuk
pada maksud dan tujuan pertuturan. Act sequence mengacu pada bentuk ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana
penggunaanya dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik
pembicaraan. Key mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan disampaikandengan senang hati, serius, singkat, sombong, mengejek, dan
sebagainya. Hal ini juga dapat ditunjukkan dengan geraktubuh dan isyarat.
Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan seperti, jalur lisan,
tertulis melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara. Norms of interaction
mengacu pada norma atau aturan dalam interaksi. Misalnya, yang berhubungan
dengan cara berinterupsi, bertanya, dan sebagainya. Juga mengacu pada norma
penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara. Genre mengacu pada jenis bentuk
Berdasarkan teori di atas, di bawah ini dipaparkan peristiwa tutur
kekerasan verbal yang diperoleh dari anak yang mendapatkan kekerasan verbal
dari orang tuanya.
Percakapan antara pewawancara dengan anak yang mendapatkan
kekerasan verbal dari orang tuanya.
Rekaman
Pewawancara : Siapa nama Adek?
Anak 2 : Abel.
Pewawancara : Boru apa Abel?
Anak 2 : Boru Situmorang
Pewawanara : Boru Situmorang?
Anak 2 : Hmmm
Pewawancara : Usia Abel berapa?
Anak 2 : 4 tahun.
Pewawancara : Mmm 4 tahun. Abel pernah dimarahi mamak?
Anak 2 : Mmm ngak tahu.
Pewawancara : Ngak tau. Pernah dibilang Abel bodoh?
Anak 2 : Pernah.
Pewawancara : Kalau marah lagi apalah dibilang mamak?
Anak 2 : Bodok (maksudnya bodoh).
Pewawancara : Trus?
Anak 2 : Dipukulin.
Pewawancara : Trus? Apalah dibilang sambil dipukul?
Pewawancara : Setelah dilibas, apalah dibilang mamak sambil dilibas?
Anak 2 : Dijawabkan!
Pewawancara : Kalau Abel dimarahin mamak apalah dibilang?
Anak 2 : Anjing!
Pewawancara : Anjing dibilang mamak sama Abel?
Anak 2 : Iyah.
Pewawancara : Trus apalagi dibilang mamak?
Anak 2 : Monyet!
Pewawancara : Monyet. Trus kalau bapak marah? Mau bapak marah?
Anak 2 : Mau!
Pewawancara : Kalau bapak marah apalah dibilang bapak sama Abel?
Anak 2 : Bodok!
Pewawancara : Bodok. Trus apalagi?
Anak 2 : Babi!
Pewawancara : Kenapa bapak marah sama Abel?
Anak 2 : Gak ada dimarah.
Pewawancara : Gak ada dimarah?
Anak 2 : Enggak.
Pewawancara : Tapi tadi Abel bilang dimarahin.
Anak 2 : Iyah. Jadi gak dimarahkan karena dikurunglah.
Pewawancara : Owh dimarahin tapi sambil dikurung. Iyah?
Anak : Mmmm
Dari hasil rekaman yang diperoleh peneliti dengan mewawancarai anak
terkait dengan teori peristiwa tutur. Pada Setting and scene, sesuai dengan teori
SPEAKING tempat diperolehnya kekerasan verbal, yaitu di ruangan rumah. Anak
mengatakan dia menerima kekerasan verbal dari orang tuanya di ruangan rumah..
Participant pada peristiwa tutur pertama di atas adalah orang tua (ayah dan ibu) dan dan anak di ruangan rumah tersebut. Ends merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur di atas terjadi ketika ayah menyuruh anak men-carger
hp akan tetapi anak tidak melakukannya sehingga ayah mengatakan kepada anak
tersebut dengan kata kekerasan verbal, yaitu bodoh,babi, monyet, dan sebagainya.
Pada Act sequence, bentuk ujarannya berupa percakapan ayah dan anak. Ayah mengucapkan kata-kata kepada anaknya dengan kasar dan tidak sopan.
Selanjutnya key, key mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan disampaikan dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong,
dengan sedih, dan sebagainya.orang tua mengucapakan kekerasan verbal dengan
nada suara yang tinggi karena sedang marah. Instrumentalities menggunakan bahasa lisan. Pada norm of interaction and interpretation, tidak terdapat norma-normat yang ada pada peristiwa tutur di atas. Genre mengacu pada jenis bentuk
penyampaian. Pada peristiwa tutur di atas penyampaian data dalam bentuk narasi
(percakapan).
4.4 Faktor Kekerasan Verbal
Responden memiliki perilaku kekerasan verbal terhadap anaknya yang
hampir merata pada tingkat tahu dan tidak tahu. Hal ini karena responden
memiliki tingkat pendidikan, pengetahuan, pengalaman mendapatkan kekerasan
Berdasarkan hasil penelitian, responden memiliki tingkat pengetahuan
yang beragam tentang kekerasan verbal pada anak. Keberagaman pengetahuan
yang dimiliki oleh responden ini dapat dikarenakan adanya keragaman informasi
yang didapat oleh responden melalui media elektronik, media cetak, maupun
melalui pendidikan kesehatan tentang kekerasan verbal.
4.4.1 Faktor Pengalaman
Orang tua yang sewaktu kecilnya mendapat perlakuan salah merupakan
situasi pencetus terjadinya kekerasan pada anak. Semua tindakan kepada anak
akan direkam dalam alam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai kepada
masa dewasa. Anak yang mendapat perilaku kejam dari orang tuanya akan
menjadi agresif dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam pada anaknya.
Orang tua yang agresif akan melahirkan anak-anak yang agresif pula. Gangguan
mental (mental disorder) ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang
diterima manusia ketika dia masih kecil (Rahmat, 2006).
Sesuai landasan teori, maka dalam penelitian ini, peneliti menemukan
adanya pengalaman orang tua mendapatkan perilaku kekerasan verbal saat masa
kanak-kanak dulu. Hal itu didukung dari data yang telah diterima peneliti dari
responden melalui kuesioner. Responden yang mengatakan pernah mendapatkan
pengalaman kekerasan verbal semasa kecil sebanyak 51 orang dan responden
yang mengatakan tidak pernah mendapatkan pengalaman kekerasan verbal semasa
sebanyak 28 orang. Responden yang mendapatkan pengalaman kekerasan verbal
semasa kecil lebih banyak dibandingkan responden yang tidak mendapatkan.
Pengalaman kekerasan verbal yang didapatkan responden semasa kecil dapat
anak-anak mereka setelah mereka menjadi orang tua. Hal itu sejalan dengan hasil
penelitian Rahmawati (2006) yang mengatakan adanya pengalaman melihat orang
tua mereka bertengkar, ditakut-takuti, dan dimarahi dengan kata-kata kotor oleh
orang tua mereka yang dialami oleh responden sewaktu kecil akan terekam dalam
alam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa dan terus
sepanjang hidupnya. Hal ini menyebabkan kecenderungan orang tua untuk
melakukan hal yang sama pada anak-anak mereka. Kebiasaan orang tua mereka
dulu yang membentak, memaki, dan mengancam saat berbicara turut berperan
pula dalam kecenderungan orang tua melakukan kekerasan yang sama.
4.4.2 Faktor Lingkungan
Pada hasil penelitian ini responden mengatakan bahwa lingkungan tempat
tinggal mereka sekarang sangat memengaruhi terjadinya kekerasan verbal.
Responden dalam penelitian ini 69 orang mengatakan bahwa orang yang tinggal
di lingkungan tempat tinggalnya mempunyai kebiasaan berbicara dengan nada
bicara yang keras dan 10 orang mengatakan sedang. Responden mengatakan
orang yang tinggal di lingkungan tempat tinggalnya adalah orang yang kasar
berjumlah 56 orang dan 23 mengatakan tidak tahu. Responden yang mengatakan
sering mendengar orang berkata-kata kotor dari tetangga berjumlah 62 orang, 2
orang mengatakan dari TV, sebanyak 15 orang mengatakan sering mendengar
orang berkata kotor dari pasar.
Lingkungan sekitar yang merupakan tipe orang yang keras dan sering
hal yang sama. Baik itu kepada orang dewasa maupun anak-anak. Kebiasaan
sering mendengar tetangga berkata kotor mengakibatkan hal yang sama. Dan
adanya informasi berupa pemberitaan-pemberitaan melalui televisi tentang
peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya semakin
menambah kemungkinan orang tua untuk melakukan kekerasan verbal pada anak.
4.4.3 Faktor Pengetahuan
Kebanyakan orang tua tidak begitu mengetahui atau mengenal informasi
mengenai kebutuhan perkembangan anak, misalnya anak belum memungkinkan
untuk melakukan sesuatu tetapi karena sempitnya pengetahuan orang tua anak
dipaksa melakukan dan ketika memang belum bisa dilakukan orang tua menjadi
marah, membentak dan mencaci anak. Orang tua yang mempunyai harapan yang
tidak realistik terhadap perilaku anak berperan memperbesar tindakan kekerasan
pada anak. Serta kurangnya pengetahuan orang tua tentang pendidikan anak dan
minimnya pengetahuan agama orang tua melatarbelakangi kekerasan pada anak.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sutandio (2003) yang menyebutkan bahwa
terdapat hubungan yang kuat antara pengetahuan orang tua dengan pola asuh
orang tua anak jalanan dalam memberikan pengasuhan anak. Orang tua yang tidak
mengetahui atau mengenal sedikit informasi mengenai perkembangan anak, dan
mempunyai harapan-harapan yang tidak realistik terhadap perilaku anak berperan
memperbesar tindakan kekerasan pada anak, misalnya usia anak belum
memungkinkan untuk melakukan sesuatu tetapi karena sempitnya pengetahuan
orang tua, si anak dipaksa melakukan dan ketika memang belum mampu orang
kekerasan pada anak merupakan hasil dari tidak adanya kemampuan dan
keterampilan orang tua dalam mendidik anak.Pandangan yang keliru tentang
posisi anak dalam keluarga. Orang tua menganggap bahwa anak adalah seseorang
yang tidak tahu apa-apa. Dengan demikian pola asuh apapun berhak dilakukan
oleh orang tua (Fitri, 2008).
Pengetahuan responden tentang kekerasan verbal sangat minim, hal itu
terbukti saat responden menjawab angket yang dibagikan. Sebanyak 53 orang
mengatakan arti kekerasan verbal adalah kekerasan dalam bentuk fisik, 20 orang
mengatakan kekerasan dalam bentuk kalimat dan 6 orang mengatakan kekeraan
dalam bentuk pengabaian. Dari data tersebut, dapat ditemukan hasil penelitian
bahwa orang tua tidak mengetahui arti kekerasan verbal sebanyak 59 orang hal
tersebut didukung oleh data yang telah diterima peneliti dari responden. Dan
Responden mengetahui arti kekerasan verbal sebanyak 20 orang. Banyaknya
responden yang tidak memiliki pengetahuan tentang kekerasan verbal dapat
menjadi salah satu faktor terjadinya kekeraan verbal terhadap anak.
4.4.4 Faktor Ekonomi
Sebagian besar kekerasan rumah tangga dipicu faktor kemiskinan dan
tekanan hidup atau ekonomi. Pangangguran, PHK, dan beban hidup lain kian
memperparah kondisi itu. Faktor kemiskinan dan tekanan hidup yang selalu
meningkat, disertai dengan kemarahan atau kekecewaan pada pasangan karena
ketidakberdayaan dalam mengatasi masalah ekonomi menyebabkan orang tua
mudah sekali melimpahkan emosi kepada orang sekitarnya. Anak sebagai
menjadikan anak paling mudah menjadi sasaran dalam meluapkan kemarahannya.
Kemiskinan sangat berhubungan dengan penyebab kekerasan pada anak karena
bertambahnya jumlah krisis dalam hidupnya dan disebabkan mereka mempunyai
jalan terbatas dalam mencari sumber ekonomi. Karena tekanan ekonomi oran gtua
mengalami stres yang berkepanjangan, menjadi sensitif, mudah marah, kelelahan
fisik tidak memberinya kesempatan untuk bercanda dengan anak-anak, terjadilah
kekerasan verbal (Dita,2007).
Faktor ekonomi ini juga meliputi ketimpangan sosial. Kita menemukan
bahwa para pelaku juga korban kekerasan kebanyakan berasal dari kelompok
sosial ekonomi yang rendah. Karena tekanan ekonomi, orang tua mengalami
stress berkepanjangan. Ia menjadi sangat sensitif. Ia mudah marah. Kelelahan
fisik tidak memberinya kesempatan untuk bercanda dengan anak-anak. Maka
terjadilah kekerasan emosional. Pada saat tertentu orang uta bisa meradang dan
membentak anak dihadapan banyak orang. Sehingga terjadilah kekerasan verbal.
Responden dalam penelitian ini, dengan status ekonomi kurang terdapat 48
responden, responden dengan ekonomi sedang 20 orang, dan responden dengan
ekonomi tinggi yaitu sejumlah 11 responden. Hal ini dilihat dari pendapatan tiap
bulan kurang yaitu <Rp 600.000, sedang yaitu Rp 600.000-1.200.000 dan tinggi
>1.200.000. Hal ini dikarenakan beragam-ragam pekerjaan yang dikerjakan oleh
orang tua. Orang tua yang memiliki profesi petani sebanyak 1 orang, buruh
sebanyak 32 orang, wiraswastas sebanyak 11 orang, PNS 5 orang, dan ibu rumah
4.5 Pembahasan
Pada bagian berikut, peneliti memaparkan pembahasan bentuk-bentuk
kekerasan verbal, peristiwa tutur kekerasan verbal, dan faktor-faktor yang
menyebabkan kekerasan verbal terhadap anak dalam keluarga di Kelurahan
Tanjung Mulia Hilir Kecamatan Medan Deli Lingkungan 22 Kota Medan.
4.5.1 Bentuk-Bentuk Kekerasan Verbal
Kekerasan verbal dapat diartikan sebagai bentuk kekerasan yang halus
dengan menggunakan kata-kata kasar, jorok, dan menghina dan dilakukan secara
lisan (Effendy, 1989:381). Berpijak pada teori yang digunakan, peneliti
menemukan temuan-temuan penelitian yang mengarahkan pada implikasi dari
kekerasan verbal yang diterima oleh anak dalam sebuah keluarga. kekerasan
verbal tersebut dikategorikan dalam bentuk kata, frasa dan klausa.
4.5.1.1Kekerasan Verbal Berdasarkan Bentuk Kata
Richard, et al (1985:1213) menyatakan bahwa One or more sounds which can be spoken to represent an idea, object, action, etc. The smallest unit spoken language which has meaning and stand alone. Pengertian tersebut dapat dipahami
bahwa kata merupakan satu bunyi atau lebih yang diutarakan untuk
menggambarkan sebuah ide, objek, peristiwa, dan lain-lain. Kata juga merupakan
unit terkecil dalam bahasa yang memiliki makna dan berdiri sendiri.
Kekerasan Verbal yang berbentuk kata dapat dibedakan menjadi dua,
yakni bentuk dasar dan bentuk kata jadian. Kekerasan verbal bentuk dasar adalah
kekerasan verbal yang berupa kata-kata polimorfemis. Kekerasan verbal
polimorfemis dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yakni (1) kekerasan verbal
berafiks, (2) kekerasan verbal bentuk ulang, dan (3) kekerasan verbal bentuk
majemuk.
Kata yang digunakan orang tua untuk melukai perasaan anak dalam
sebuah keluarga sangatlah banyak. Kata-kata itu digunakan dengan harapan agar
anak tidak lagi nakal dan lebih menurut kepada orang tua sehingga anak tidak lagi
melakukan kesalahan yang sama yang dapat memunculkan amarah orang tua.
Kata bodoh, kurus, dan keriting kerap kali digunakan orang tua untuk melukai perasaan anak. Kata tersebut digunakan ketika anak melakukan kesalahan
dimana orang tua melarang anak bermain hp akan tetapi anak tidak
mendengarkan perkataan orang tua sehingga menimbulkan amarah orang tua,
orang tua mengeluarkan kekerasan verbal. Kekerasan verbal berbentuk kata
seperti bodoh, kurus, dan keriting yang kerap diterima oleh anak dalam keluarga termasuk ke dalam kekerasan verbal bentuk kata dasar. Kata dasar adalah unsur
bahasa yang diucapkan atau dituliskan sebagai satuan terkecil yang dapat
diujarkan sebagai bentuk yang bebas. Kata dasar adalah kata yang belum diberi
imbuhan. Dengan kata lain, kata dasar adalah kata yang menjadi dasar awal
pembentukan kata yang lebih besar. Kata yang digunakan orang tua seperti bodoh,
kurus, keriting dan sebagainya digunakan orang tua untuk membuat perasaan
anak terluka sehingga anak menjadi kurang percaya diri dengan keadaanya.
Kata-kata yang sering digunakan orang tua untuk melakukan kekerasan
verbal juga terdapat dalam bentuk bahasa daerah begu dalam bahasa Batak Toba
yang artinya monyet dalam bahasa Indonesia. Kata-kata kekerasan verbal begu
dan bodat termasuk ke dalam kata dasar karena kata tersebut belum mengalami proses pengimbuhan meskipun sudah diartikan dalam bahasa Indonesia. Selain
kata-kata di atas, orang tua juga ketika marah sering menggunakan kata kekerasan
verbal yang menghubungkan dengan kejiwaan anak tersebut. Anak yang
melakukan kesalahan dianggap seperti seseorang yang tidak memiliki kejiwaan
yang normal, dianggap sebagai anak yang tidak berguna, anak yang tidak ada
manfaatnya, anak yang tidak menyenangkan dan lain sebagainya sehingga orang
tua ketika marah mengatakan gila, idiot, setan, dan sebagainya. Berdasarkan data-data di atas, kekerasan verbal yang digunakan oleh responden untuk memaki anak
sering dikaitkan dengan keadaan fisik anak. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya
pernyataan orang tua yang kerap melakukan kekerasan verbal dengan mengatakan
keriting, gendut, peyang, botak, jelek, kurus, buncit, bodoh dan jugul. Orang tua
mengatakan kekerasan verbal dengan menghubungkan keadaan fisik ataupun
kejiwaan anak.
Selain itu kekerasan verbal yang sering digunakan orang tua untuk
memaki anak adalah dengan mengatakan bahwa anak seperti binatang. Orang tua
kerap ketika marah mengatakan binatang dan monyet. Berdasarkan defenisinya,
kekerasan verbal di atas merujuk pada referen binatang yang mewakili watak atau
ciri tertentu, misalnya menganggu dan buruk rupa seperti monyet. Kekerasan
verbal yang bereferensi binatang digunakan untuk mengekspresikan kekerasan
verbal secara langsung mengacu pada sifat-sifat individu yang menyerupai
binatang. Artinya, hanya sifat-sifat tertentu dari binatang itulah yang memiliki
kekerasan verbal. Tentu saja tidak semua nama binatang dapat digunakan untuk
sarana memaki dalam penggunaan bahasa. Binatang-binatang yang dipilih atau
digunakan sebgai kata-kata kekerasan verbal adalah binatang-binatang yang
memiliki sifat-sifat tertentu. Bila digunakan sebgai kekerasan verbal, tentu saja
sifat-sifat itu kemudian diterapkan kepada manusia.
Bukan itu saja dalam kehidupan sehari-hari banyak anak yang
mendapatkan kekerasan verbal dalam kehidupannya yang mungkin tidak bisa
terhitung berapa kekerasan verbal yang diterimanya setiap hari. Kata pemalas dan
bajingan juga sering diterima anak dari orang tua dalam keluarga sebagai bentuk kekerasan verbal. Bila dilihat dari fungsi kata tersebut, pemalas diungkapkan
karena anak tidak mengerjakan apa yang biasanya (seharusnya) ia kerjakan dan
bajingan biasanya diungkapkan kepada seseorang yang tidak bertanggung jawab
atau lari dari tanggung jawab. Kedua kata tersebut termasuk ke dalam kekerasan
verbal karena orang tua dianggap telah melukai perasaan anak. Akan tetapi, kata
pemalas dan bajingan berbeda dengan kata kekerasan verbal yang dibahas sebelumnya. Kata pemalas dan bajingan termasuk ke dalam kekerasan verbal
berbentuk kata jadian. Kata jadian adalah kata yang dapat dibedakan atas dua
jenis, yakni kekerasan verbal berafiks dan kekerasan verbal bentuk majemuk.
Kata pemalas diartikan sebagai kekerasan verbal dalam bentuk jadian karena kata pemalas telah diikuti oleh imbuhan pe- dan kata dasar malas. Pe- merupakan
imbuhan awalan yang biasa melekat sebelum kata dasar. Sama halnya dengan
kekerasan verbal pada kata bajingan kata tersebut termasuk ke dalam kekerasan verbal bentuk jadian yang sudah dilekatkan dengan imbuhan, yaitu diikuti oleh
yang melekat setelah kata dasar. Sementara itu dalam penelitian ini untuk
kekerasan verbal bentuk jadian dalam bentuk majemuk tidak ditemukan.
Kekerasan verbal pada kata pemalas dan bajingan dapat digolongkan kepada sifat
atau karakter anak yang pemalas artinya orang yang tidak mau bekerja atau
mengerjakan sesuatu dan bajingan orang yang kurang ajar.
4.5.1.2Kekerasan Verbal Berdasarkan Bentuk Frasa
Kemarahan dan keegoisan orang tua yang terungkap melalui kekerasan
verbal merupakan reaksi sehat dan normal yang dapat terjadi dalam merespon
situasi atau keadaan yang tidak diinginkan, ketika seseorang tidak dihormati, atau
ketika harapan individu tidak terpenuhi. Namun kemarahan orang tua yang
ditunjukkan dalam bentuk kekerasan verbal dapat menjadi konsep negatif yang
akan tertanam bagi diri anak yang menjadi penerima kemarahan tersebut.
Frasa merupakan kumpulan kata yang di dalamnya tidak terdapat subjek
dan predikat. Seperti yang dikemukakan oleh Richard, et al. (1985:39) “ A Phrase
is a group of word which forms a grammatical unit, a phrase does not contains a finite verb and does not have a subject-predicate structure. Ungkapan tersebut
menunjukkan frasa adalah suatu kumpulan kata yang membentuk suatu unit
gramatikal, frasa tidak memuat kata kerja terbatas dan tidak mempunyai struktur
subjek dan predikat.
Dalam penelitian ini ditemukan 37 buah kekerasan verbal dalam bentuk
frasa nomina, verba, adjektiva, dan adverbia yang digunakan oleh responden.
digambarkan dengan FN=N1+N2 maksudnya adalah frasa nomina terdiri dari N1
berupa kata atau nomina sebagai induk/ inti frasa dan N2 berupa kata atau nomina
sebagai atribut. Anak disebut sebagai inti dari frasa tersebut sedangkan sapi
disebut atribut. Sama hal nya dengan dengan frasa yang memiliki inti nomina
yaitu frasa bayi kolot. Bayi adalah inti dari frasa tersebut dan kolot disebut sebagai atributif. Pada frasa bayi kolot, bayi menduduki kelas kata nomina dan kolot
menduduki kelas kata sifat atau dapat digambarkan dengan FN=N+Adj yang
artinya frasa nomina diikuti oleh kata nomina (bayi) dan kata sifat (kolot) . hal ini
sejalan dengan pendapat Kridalaksana (2008:63), nomina adalah kelas kata yang
biasanya dapat berfungsi sebagai subjek atau objek dari klausa; kelas kata ini
sering berpadanan dengan orang, benda, atau hal lain yang dibendakan dalam
alam di luar bahasa. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Radford et al.
(2009:192), yang menyatakan, “Nouns often refer to types of concrete objects in
the world (e.g cake, engine, moon, waiter)‟ (nomina sering merujuk pada benda
-benda konkret yang ada di dunia ini, misalnya kue, mesing, bulan, pelayan, dan
lain-lain). Kekerasan verbal dalam bentuk frasa nomina yang kerap diucapkan
orang tua terhadap anak, antara lain dasar anjing, babi jalang, dasar binatang,
dasar anak bandal, dasar anak sapi, dasar pemalas, eh anjing, dasar anak monyet,
dasar anak babi, bayi kolot, anak setan, dasar monyet, dasar anak kurang ajar,
dasar begu, dasar anak nakal.
Pada kata tukang nangis digolongkan ke dalam kelompok frasa verbal
dengan pewatas depan karena inti frasa tersebut adalah nangis, sedangkan pewatas depan sebagai atributifnya, tukang, terletak di kanan atau sebelum inti. Pada frasa
nomina (tukang) dan verba (nangis). Kata-kata yang termasuk ke dalam frasa
verba sebagian besar mewakili unsur semantis perbuatan, keadaan, atau proses
dari sebuah kegiatan. Verbal adalah kelas kata yang biasanya berfungsi sebagai
predikat; dalam beberapa bahasa lain verba mempunyai ciri morfologis seperi ciri
kala, aspek, persona, atau jumlah. Menurut Kridalaksana (2008:254), sebagaian
besar verbal mewakili unsur semantis perbuatan, keadaan atau proses; kelas kata
ini dalam bahasa Indonesia ditandai dengan kemungkinan untuk diawali dengan
kata tidak dan tidak mungkin diawali dengan kata seperti sangat, lebih, dan
sebagainya misalnya datang, naik, bekerja, dan sebagainya. Sejalan dengan
pendapat tersebut, Radford et al. (2009:129) menyatakna, “Verbs typically refer to
acitivities (applaud, steal, collide, bark)” (verbal umumnya merujuk pada
kegiatan/aktivitas (misalnya, bertepuk tangan , mencuri, bertabrakan,
membentak). Kekerasan verbal dalam bentuk frasa verbal, antara lain tukang
nangis, jangan malas belajar, keluar sana, kurang aja, susah kali dibilangi, diam
bodoh, gak boleh jajan.
Pada frasa keluar sana digolongkan ke dalam frasa verba karena pada
frasa tersebut yang menjadi inti adalah keluar yang berkelas kata verbal dan sana
adalah atribut yang berkelas kata adverbia. Hal tersebut dikatakan sebagai frasa
verba karena frasa verba dibentuk dari dua kata atau lebih dengan verba sebagai
intinya.
Selanjutnya, frasa ajektival diartikan sebagai frasa endosentris berinduk
satu yang induknya ajektiva dan modifikatornya adverbial seperti sangat, lebih,
kurang, dan sebagainya, misalnya lebih baik (Kridalaksana, 2008:66). Ajektiva
2008:4). Berdasarkan batasan itu, dari sebanyak 61 buah kekerasan verbal yang
digunakan oleh responden, peneliti ini menemukan sebanyak 18 buah kekerasan
verbal yang berkategori ajektiva. Senada dengan pernyataan itu, Radford et al.
(2009:130) menyatakan, “Adjectives typically refer to properties which people or
things possess and they are used to modify nouns, e. g. Happy man, noisy
engine” (ajektiva umumnya merujuk pada sifat yang dimiliki orang atau sesuatu
dan lazimnya digunakan untuk membatasi/ memodifikasi nomina, misalnya orang
yang berbahagia, mesin yang berisik). Salah satunya pada frasa dasar pendek
jelek, frasa tersebut disebut sebagai frasa adjektiva dimana frasa tersebut diikuti oleh pewatas di depan dan dibelankang. Kedua pewatas tersebut mengapit inti dari
frasa tersebut. Kata dasar pada frasa di atas adalah atribut yang biasa melekat dengan nomina atau adjektiva, pendek pada frasa di atas digolongkan sebagai adjektiva karena seperti teori yang dipedomani frasa adjektiva intinya dapat
diikuti dengan afiks ter- sangat, amat, paling, agak, alangkah-nya, dan se-nya.
Pendek (adjektiva) merupakan inti dari frasa tersebut. Jelek pada frasa tersebut digolongkan menjadi atribut yang berkelas kata adjektiva. Kekerasan verbal
dalam bentuk frasa adjektifa, antara lain bandal kali, bodoh kalilah, dasar anak
bodoh gak bisa dibilangin, dasar pendek jelek, gak tau malu, bodoh kalipun, dasar
bodoh.
4.5.1.3Kekerasan Verbal Berdasarkan Bentuk Klausa
Klausa ialah satuan gramatikal, berupa kelompok kata yang
sekurang-kurangnya terdiri dari subjek S dan predikat P, dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat. Klausa juga merupakan unsur kalimat, karena sebagaian esar
demikian, S juga sering dibuangkan, misalnya dalma kalimat luas sebagai akibat dari penggabungan klausa, dan kalimat jawaban (Ramlan, 1981:62). Dari definisi
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa klausa adalah satuan gramatik yang
terdiri atas predikat, baik diikuti oleh subjek, objek, pelengkap, keterangan atau
tidak dan merupakan bagian dari kalimat. Penanda klausa adalah P, jika mempunya S, klausa terdiri atas S dan P. Jika mempunyai S, klausa terdiri dari
S,P, dan O. Jika tidak memiliki O dan Ket, klausa terdiri atas P, O, dan Ket. Demikian seterusnya. Penanda klausa adalah P, tetapi yang dianggap unsur inti klausa adalah S dan P.
Klausa merupakan bagian dari kalimat. Oleh karena itu, klausa bukan
kalimat. Klausa belum mempunyai intonasi lengkap. Sementara itu kalimat sudah
mempunyai intonasi lengkap yang ditandai dengan adanya kesenyapan awal dan
kesenyapan akhir yang menunjukkan bahwa kalimat tersebut sudah selesai.
Klausa sudah pasti mempunyai P , sedangkan kalimat belum tentu mempunyai P.
Suatu ujaran kekerasan verbal yang terdiri atas subjek, predikat, objek, dan
keterangan, misalnya Ibu gak akan membeli makanan kesukaanmu kalau kamu
gak tidur siang merupakan klausa sekaligus sebuah kalimat, yakni kalimat
tunggal. Hal tersebut sesuai dengan dengan definisi yang dikemukakan
kridalaksana (1982:85) bahwa “klausa adalah satauan gramatikal berupa
kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari suhjek dan predikat dan
mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.” Pengertian yang sama dikemukakan
oleh Ramlan (1981:62) “Klausa dijelaskan sebagai satuan gramatik yang terdiri
P (O), (Pel) (Ket). Tanda kurung menandakan bahwa apa yang terletak dalam
kurung itu bersifat manasuka, artinya boleh ada, boleh juga tidak ada.”
Kekerasan verbal matamu kau letak dimana? Data pada klausa tersebut
mengisi unsur klausa yang berkategori interogatif. Unsur klausa dimana mengisi kategori interogatif dan berfungsi sebagai kata tanya. Unsur klausa kau mengisi fungsi objek pelaku (O2) berkelas kata nomina karena kau pada kalimat di atas
adalah orang yang dikenai sebuah tindakan atau perbuatan. Sedangkan letak
mengisi fungsi predikat berkelas kata verba, dan matamu mengisi unsur jabatan
subjek. Klausa dimana merupakan klausa tanya karena klausa tanya adalah klausa yang isinya menanyakan sesuatu kepada mitra tutur/mitra bicara (dalam bahasa
lisan) atau pembaca (dalam bahasa tulis). Klausa ini secara tekstual ditandai oleh
pemakaian kata tanya (interogatif). Klausa ini termasuk klausa yang berurutan
biasa, yaitu klausa yang subjeknya terletak pada awal kalimat dan predikat
dibelakang subjek. Klausa ini juga termasuk ke dalam jenis klausa inti.
Kalau PR kamu tidak siap gak boleh nonton data tersebut digolongkan ke dalam klausa. Data tersebut berpola konjungsi subordinat syarat + SP. Unsur
klausa kalau mengisi kategori konjungsi subordinat yang menyatakan syarat. PR kamu adalah unsur klausa yang berpola subjek dan berkelas kata nomina.
Sedangkan unsur klausa gak boleh nonton memiliki pola kalimat predikat. Konjungsi subordinat adalah konjungsi yang menghubungkan dua atau lebih
klausa yang tidak memiliki status sintaksis yang sama. Konjungsi ini membentuk
anak kalimat yang jika digabungkan dengan induk kalimat akan membentuk
selain ditandai dengan penggunaan kata kalau, juga dapat digunakan oleh
konjungsi bila, apabila, jikalau, jika, dan lain sebagainya.
4.5.2 Peristiwa Tutur
Salah satu tempat yang sering menjadi latar terjadinya kekerasan verbal
adalah keluarga. Keluarga terdiri atas ayah, ibu, dan anak. Dalam berkomunikasi,
masing-masing individu, baik ayah, ibu maupun anak saling berinteraksi dengan
tujuan masing-masing. Dalam sebuah interaksi komunikasi terkadang dapat
mengundang kemarahan, ketertekanan, ketakutan, ketidaknyamanan, dan
kecemasan orang lain yang diwujudkan dengan berbagai cara. Simpen dalam orasi
ilmiahnya yang berjudul Fungsi Bahasa dan Kekerasan Verbal dalam Masyarakat menyatakan bahwa kekerasan verbal lahir dari penyelewengan atau
pengawafungsian bahasa. Menurutnya, tindakan yang menyebabkan tidak
nyamannya orang lain, tertekannya orang lain, kecemasan orang lain,
kekhawatiran orang lain, ketakutan orang lain dan terancamnya orang lain. Hal
tersebut tercnatum dalam kutipan berikut.
Penyelewengan atau pengawafungsian bahasalah yang melahirkan kekerasan verbal, yaitu tindakan berbahasa yang menyebabkan tidak nyamannya orang lain, tertekannya orang lain, kecemasan orang lain, kekhawatiran orang lain, ketakutan orang lain, atau terancamnya orang lain (Simpen, 2011:9).
Jika kemarahan, ketertekanan, ketakutan, ketidaknyamanan, dan
kecemasan orang lain tersebut diwujudkan melalui peristiwa verbal, tuturan
tersebut dikategorikan dalam peristiwa tutur yang mengandung kekerasan verbal.
interaksi komunikasi tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial. Konteks sosial
tersebut meliputi setting (latar di mana bahasa itu digunakan dan latar psikologi),
participant (penutur dan petutur yang turut ambil bagian dalam komunikasi), end
(fungsi dan hasil), act sequence (bentuk tuturan), key (intonasi, sikap, dan semangat saat mengucapkan tuturan), instrument (jalur bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi), norm (perilaku dan kesantunan), dan genre (jenis bentuk
penyampaian) yang disingkat menjadi akronim SPEAKING.
Berikut merupakan analisis data Kekerasan verbal yang digunakan orang
tua terhadap anak.
Setting and scene
Setting berhubungan dengan waktu dan tempat pertuturan berlangsung,
sementara scene mengacuh pada situasi, tempat, dan waktu terjadinya pertuturan. Waktu, tempat, dan situasi yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi
bahasa yang berbeda. Misalnya pada saat percakapan yang terjadi dalam peristiwa
tutur di bawah ini.
Pewawancara : Kalau marah lagi apalah dibilang mamak?
Anak 2 : Bodok (maksudnya bodoh).
Pewawancara : Trus?
Anak 2 : Dipukulin.
Dan bila diamati setting atau waktu dan tempat pertuturan yang
berlangsung dalam peristiwa tutur di Jalan Kawat III, Tanjung Mulia, Medan pada
pukul 19.00 Wib atau sekitar jam 7 malam dan pertuturan berlangsung berada di
mencekam, sunyi, disebabkan orang tua sedang marah kepada anak yang tidak
mengerjakan apa yang diperinkan terhadap anak.
Participants
Participants adalah peserta tutur atau pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan. Peserta tutur dapat dipakai untuk menunjuk kepada minimal dua pihak
dalam bertutur. Participants yang ada di dalam peristiwa tutur kekerasan verbal
terhadap anak, yaitu:
1. Orang tua yaitu ibu dan ayah (yang melakukan kekerasan verbal)
2. Anak (anggota dari keluarga)
Hal tersebut dapat dilihat pada percakapan di bawah ini.
Pewawancara : Kalau Abel dimarahin mamak apalah dibilang?
Anak 2 : Anjing!
Pewawancara : Anjing dibilang mamak sama Abel?
Anak 2 : Iyah.
Pewawancara : Trus apalagi dibilang mamak?
Anak 2 : Monyet!
Pewawancara : Monyet. Trus kalau bapak marah? Mau bapak marah?
Anak 2 : Mau!
Pewawancara : Kalau bapak marah apalah dibilang bapak sama Abel?
Anak 2 : Bodok!
Pewawancara : Bodok. Trus apalagi?
Anak 2 : Babi!
Dari percakapan di atas orang tua (ayah dan ibu) adalah orang yang