Jawaban UAS M.K. Teknoekonomi
Take Home Test
Febriani Purba
F 5 5
Dosen : Dr. Elisa Anggraeni, STP, MSc
Nanoteknologi dan Perkembangannya di Indonesia
Nanoteknologi merupakan ilmu dan penerapan tentang bagaimana cara
mengontrol partikel berukuran nano (1 sampai 100 nanometer) untuk mennghasilkan
produk atau alat yang memberikan dampak positif bagi perkembangan umat manusia.
Perkembangan nanoteknologi dunia dimulai pada tahun 2000 saat Amerika Serikat
mendirikan National Nanotechnology Initiative (NNI), lembaga milik pemerintah
Amerika Serikat yang berfokus untuk melakukan penelitian dan pengembangan
nanoteknologi. Pemerintah Amerika Serikat memberikan perhatian yang sangat besar
terhadap NNI, bahkan memasukan penelitian pada bidang Nanoteknologi sebagai salah
satu rencana Nasional. Langkah yang sama juga terjadi di negara-negara lain seperti
Prancis, Jerman, Jepang, China, dan Korea. Negara-negara tersebut merupakan sumber
terbesar penghasil riset dalam bidang nanoteknologi di dunia.
Perkembangan nanoteknologi di Indonesia dimulai sejak tahun 2005 setelah
Masyarakat Nano Indonesia (MNI) didirikan. Nanoteknologi juga telah dibuat menjadi
salah agenda riset nasional sejak tahun 2006 oleh Kementrian Riset dan Teknologi (LIPI
2014). Perkembangan ini juga didukung oleh pemerintah dengan memandang dan
menetapkan nanoteknologi sebagai salah satu bidang ilmu yang harus dikembangkan
untuk mendukung daya saing bangsa. Pemerintah melalui Kementrian Riset dan
Teknologi memasukkan nanoteknologi (matrial maju) sebagai salah satu bidang prioritas
yang sudah mulai dituangkan dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menegah)
2010-2014 dan ARN (Agenda Riset Nasional) 2010-2014 serta berkelanjutan pada
periode 2015-2019 (LIPI 2015, Kementrian Riset dan Teknologi 2010).
Di dunia internasional posisi nanoteknologi berada pada tahap tumbuh dan
untuk nanoteknologi dalam bidang pertanian dan pangan masih dalam tahap awal
(Kuzma & VerHage 2006; Roco 2004). Di Indonesia sendiri perkembangan nanoteknologi
pada bidang pangan dan pertanian masih berada pada tahap awal. Hal ini terlihat dari
penerapannya. Pengembangan nanoteknologi dalam bidang pangan dan pertanian di
Indonesia di mulai pada tahun 2007. Sampai pada tahun 2009 penelitian dilakukan
dalam skala kecil karena keterbatasan peralatan laboratorium dan anggaran. Pusat
Nanoteknologi Pangan dan Pertanian baru didirkan pada tahun 2014. Pusat penelitian
ini memiliki laboratorium nanoteknologi yang lengkap sehingga diharapkan penelitian
nanoteknologi ke depannya bisa dalam skala yang lebih luas (BB Pascapanen 2014).
Perkembangan nanoteknologi kedapannya di Indonesia masih akan terbuka lebar
Pada tahun 2008 Kementrian Perindustrian telah membuat roadmap tentang
nanoteknologi untuk dunia industri. Hal ini tentu mengindikasikan dukungan yang besar
dari pemerintah untuk meningkatkan penelitian dan pengaplikasiannya di industri.
Perkembangan kedepan terutama pada bidang pangan dan pertanian, karena Indonesia
memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah dibanding dengan negara lain.
Perkembangan ini akan sangat mungkin terjadi mengingat ancaman krisis pangan di
masa depan karena ketersediaan sumber pangan diperkirakan tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan seluruh penduduk bumi, Nanoteknologi adalah pilihan yang tepat.
Para ilmuwan dunia telah memanfaatkan nanoteknologi pangan untuk tahap
pengolahan produk pangan, pemantauan kualitas pangan, serta produk kemasan
pangan. Pasar nanoteknologi pangan di dunia, diperkirakan mencapai US$ 45 miliar
pada tahun 2014 (BB Pascapanen 2014).
Nanopartikel ZnO pada kemasan pangan biodegradable foam
Kemasan biodegradable foam merupakan kemasan alternatif untuk mengganti
penggunaan styrofoam. Styrofoam merupakan kemasan pangan yang mampu
mempertahankan keutuhan dan kesegaran makanan yang dikemas baik panas ataupun
dingin dan inert terhadap keasaman pangan (Nurhajati dan Indrajati 2011). Namun
styrofoam, terutama yang tidak terdaftar dan dilaminasi dapat melepaskan karsinogen
stiren pada makanan ketika disimpan atau dipanaskan yang dapat menyebabkan
gangguan sistem syaraf dan kanker. Selain itu styrofoam juga sulit untuk terurai
sehingga dapat menyebabkan masalah lingkungan (BPOM 2008, Khalid et al. 2012).
Hasil kajian Divisi Keamanan Pangan Jepang pada Juli 2001 mengungkapkan
bahwa residu styrofoam dalam makanan dapat menyebabkan endokrin disrupter (EDC),
yang sudah dilakukan sejak tahun 1930-an, diketahui bahwa stiren, bahan dasar
styrofoam, bersifat mutagenik (mampu mengubah gen) dan potensial karsinogen.
Kelemahan styrofoam, tuntutan konsumen untuk kemasan pangan yang aman bagi
kesehatan dan lingkungan, hak konsumen untuk memperoleh produk yang aman sesuai
dengan UUD 1945, ketersediaan bahan natural yang potensial, dan perkembangan
teknologi kemasan dan nanoteknologi menjad faktor pendurung perkembangan
penelitian penerapan nanoteknologi untuk kemasan pangan.
Bahan yang banyak digunakan dalam pembuatan biodegradable foam adalah pati
karena sifat biodegrabilitas yang tinggi, murah, densitas rendah, tidak toksik dan
ketersediaannya berlimpah, akan tetapi biodegraadable foam yang terbentuk dari pati
murni biasanya tidak memberikan sifat fisik dan sifat mekanik yang baik dan mudah larut
air (Fang & Hanna 2001, Salgado et al. 2008, Kaisangsri et al. 2012). Salah satu cara
untuk memperbaiki sifat-sifat biodegradable foam dari pati adalah dengan menambahan
Nanopartikel seng oksida (ZnO) yang dapat meningkatkan kekuatan mekanik, sifat
barier, dan stabilitas kemasan serta meningkatkan aktivitas antimikroba pada kemasan
sehingga berpotensi sebagai kemasan antimikroba (Espitia et al. 2012). Nanopartikel
seng oksida memiliki rasio luas permukaan dan volume yang besar, sehingga secara
kimia dapat mengubah sifat fisik, meningkatkan reaktivitas permukaan, sifat termal,
mekanik, dan elektrik yang unik, stabil terhadap panas dan memiliki efek antimokroba
(Kanmani % Rhim 2014).
Penggunaan nanopartikel pada kemasan biodegradable foam memberikan
pengaruh yang sangat baik dalam meningkatkan sifat fisik mekanik kemasan, namun
demikian penelitian dan kajian tentang toksistas nanopartikel seng oksida belum
dilakukan. Juga belum diketahui apakah terjadi migrasi seng oksida dari kemasan ke
dalam pangan yang dikemas. Perubahan seng oksida menjadi bentuk nanopartikel
menyebabkan luas permukaan yang kontak dengan pangan akan semakin besar
sehingga migrasi dari kemasan ke produk pangan menyebabkan peluang masuknya
produk nano ke dalam tubuh manusia dan berpotensi menimbulkan risiko terhadap
kesehatan. Seng oksida dalam bentuk bubuk apabila terhirup atau tertelah berbahaya
karena dapat menyebabkan zinc fever (Moezzi et al. 2012). Sebagai contoh titanium
dioksida yang digunakan dalam kemasan pangan sebagai antimikrobial dan pelindung
sampai beberatus nanometer titanium dioksida dapat merusak DNA, merusak fungsi sel,
mempengaruhi hati dan ginjal pada binatang percobaan, dan dapat terakumulasi pada
hati, ginjal, dan paru-paru (ALPI 2012).
Untuk mengatasi kendala-kendala yang demikian maka dibutuhkan penelitian
yang bersifat menyuluruh dan melibatkan berbagai bidang ilmu seperti nanoteknologi,
material science, ilmu dan teknologi pangan, dan bidang biologi molekular untuk
mengetahu efek toksisitas nanopartikel seng oksida bagi sel manusia. Dukungan dari
pemerintah juga sangat diperlukan dalam pengembangan nanopartikel untuk kemasan
pangan. Tidak hanya dalam penyediaan dana dan fasilitas penelitian yang memadai,
tetapi juga menyediakan regulasi yang jelas.
Regulasi akan nanoteknologi dibutuhkan sebagai acuan bagi peneliti untuk dapat
mengarahkan penelitiannya dan juga sebagai perlindungan bagi konsumen. Dalam
regulasi yang akan dibuat perlu diatur acuan pengawasan terhadap produk yang beredar
juga baik ekspor dan Impor. regulasi yang dikenakan dapat berupa peraturan, standar
atau code of practices. Dengan adanya regulasi yang jelas dari pemerintah akan
mendorong perkembangan penerapan nanoteknologi dalam kemasan pangan di
Indonesia.
Kesimpulan
Potensi perkembangan nanoteknologi di Indonesia sangat besar terutama pada
bidang pangan dan pertanian. Aplikasi nanopartikel seng oksida (ZnO) dalam kemasan
pangan dari bahan biodegradable foam merupakan salah satu solusi dalam mengatasi
kekurangan sifat fisik mekanik bahan alam. Namun demikian penelitian dan kajian
tentang sifat toksisitas dari nanopartikel yang dihasilkan perlu dilakukan. Agar keamanan
konsumen dapat terjaga. Sinergi antar berbagai displin ilmu diperlukan dalam
pengembanganan nanopartikel untuk kemasan pangan. Dukungan pemerintah melalui
pemberian dana, dan penyediaan fasilitas penelitian yang memadai, serta regulasi yang
jelas tentang nanoteknologi dalam bidanga pangan dan pertanian menjadi faktor
Daftar Pustaka
Asosiasi Laboratorium Pangan Indonesia (ALPI). 2012. Penerapan nanoteknologi perlu
dikawal dengan regulasi. [Online]. Tersedia di:
http://alpindonesia.org/berita/index1.php?view&id=216. Diakses 2016 Januari
14.
Kanmani P, Rhim J. 2014. Properties and characterization of bionanocomposite films
prepared with various biopolymers and ZnO nanoparticles. J
Carbopol.106:190199.doi:10.1016/j.carbopol.2014.02.007.
Kementrian Riset dan Teknologi. 2010. Agenda Riset Nasional 2010-2014. [Online).
Tersedia di: http://www.ristek.go.id/file/upload/Referensi/2010/ARN.pdf.
Diakses 2016 Januari 13.
Kuzma J. 2006. Nanotechnology oversight: Just do it. Environmental Law Reporter, 36,
10913–10920.
LIPI. 2014. Nanoteknologi: Teknologi Masa Depan. [Online]. Tersedia di:
http://www.inovasi.lipi.go.id/id/berita/nanoteknologi-teknologi-masa-depan.
Diakses 2016 Januari 13.
LIPI. 2016. Optimasi TEM untuk mendukung penelitian berbasis nanoteknologi di
Indonesia. [Online]. Tersedia di: http://situs.opi.lipi.go.id/wtem/. Diakses 2016
Januari 2013.
Roco M. 2004. Broader societal issues of nanotechnology. Journal of Nanoparticle
Research, 5, 181–189.