• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Model Arsitektur Pohon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Model Arsitektur Pohon"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Arsitektur pohon merupakan gambaran morfologi pada suatu waktu yang merupakan suatu fase pada saat tertentu dari suatu rangkaian seri pertumbuhan pohon, nyata dan dapat diamati setiap waktu. Bentuk pertumbuhan yang menentukan rangkaian fase arsitektur pohon disebut model arsitektur. Elemen-elemen dari suatu arsitektur pohon terdiri dari pola pertumbuhan batang, percabangan dan pembentukan pucuk terminal (Gambar 1). Pola pertumbuhan pohon dapat berupa ritmik dan kontinu. Pola pertumbuhan ritmik memiliki suatu periodisitas dalam proses pemanjangannya yang secara morfologi ditandai dengan adanya segmentasi pada batang atau cabang. Pola pertumbuhan kontinu berbeda dengan pola pertumbuhan ritmik karena tidak memilki periodisitas dan tidak ada segmentasi pada batang atau cabangnya (Halle et al. 1978).

Terkait dengan pola percabangan pohon, Halle dan Oldemen (1975) membedakan pola arsitektur pohon kedalam 4 (empat) karakteristik utama yaitu:

1. Pohon tidak bercabang (monoaxial) yaitu bagian vegetatif pohon terdiri dari satu aksis dan dibangun oleh meristem soliter, contohnya model Holtum dan model Corner.

2. Pohon bercabang dengan axis vegetatif ekuivalen dan orthotrophik, contohnya model Tomlinson, dan model Chamberlain.

3. Pohon bercabang dengan axix vegetatif non equivalen, contohnya model Prevost, model Rauh, model Cook.

4. Pohon bercabang dengan axis vegetatif campuran, ada yang ekuivalen dan ada juga yang non ekuivalen, contohnya model Troll, Champagnat, dan model Mangenot.

Vegetasi berperan dalam mengintersepsi curah hujan. Curah hujan yang yang turun akan dicegat oleh tajuk vegetasi, sebagian diuapkan ke atmosfer dan sebagian lagi jatuh ke lantai hutan sebagai curahan tajuk (throughfall) (Manokaran 1979). Sedangkan bagian yang ditahan oleh permukaan daun akan mengalir melalui batang menuju tanah sebagai aliran batang (stemflow). Selanjutnya curahan tajuk dan aliran batang mengalir di permukaan tanah

(2)

tanah (Tajang 1980).

Gambar 1. Macam-Macam Model Arsitektur Pohon (Halle et al. 1978)

Model Arsitektur Pohon Massart

Model arsitektur pohon Massart dibentuk oleh sebuah batang monopodial dan orthrotrophik dengan pertumbuhan ritmik dan secara berurutan menghasilkan percabangan bertingkat secara teratur yang berasal dari pertumbuhan meristem batang. Cabang-cabang lateral bersifat plagiotropik dan sering menampakan bentuk simetris (Gambar 2). Perbungaan akan muncul dari cabang lateral tersebut dan dari batang utama (cauliflory). Nama model ini diberikan oleh Jean Massart yang telah mendeskripsikan arsitekturnya pada spesimen Virola surinamensis di Botanical Garden, Rio de Janeiro (Halle et al. 1978). Model arsitektur pohon Massart membagi curah hujan menjadi curahan tajuk, aliran batang yang kemudian akan terakumulasi menjadi surface run-off yang dapat mengakibatkan erosi (Gambar 2).

(3)

Gambar 2. Model Arsitektur Massart dan Transformasi Air Hujan (Athtorick 2000)

Agathis dammara L.C.Richard (damar) merupakan salah satu contoh pohon

dengan arsitektur pohon Massart (Aththorick 2000). Jenis ini memiliki batang monopodial dengan pertumbuhan ritmik. Percabangannya bersifat plagiotropik, memiliki daun berhadapan dan menjadi terjumbai kebawah karena umur. Agathis

dammara L.C.Richard termasuk kedalam suku Araucariaceae, tingginya dapat

mencapai 50 m dan diameter 170 cm. Batangnya tegak, lurus dan bulat. Kulitnya kasar, bercak-bercak sampai bopeng, berkultisel dan berwarna abu-abu sampai kecoklat-coklatan. Tajuk tebal seperti kerucut, daunnya lebar dan berbentuk bundar panjang sampai jorong, pipih dan bertangkai pendek (Anonim 2001).

Agathis dammara L.C.Richard memiliki distribusi alami di kawasan

Malesia, Inggris, Australia Barat, Kepulauan Solomon, New Kaledonia, Fiji dan New Zealand bagian utara. Beberapa pusat keanekaragaman Agathis dammara L.C.Richard adalah North Queensland, New Kaledonia dan termasuk Kalimantan.

Agathis dammara L.C.Richard dikembangkan sebagai pohon perkebunan dan

digunakan dalam penghutanan kembali berbagai daerah seperti di Jawa, Papua, India, dll. Anakan Agathis dammara L.C.Richard membutuhkan naungan dan

(4)

kompetisi dengan herba pertumbuhannya menjadi cepat. Pada perkebunan di pulau Jawa, Agathis dammara L.C.Richard mulai menghasilkan buah pada usia 15 tahun, tetapi biji yang dapat tumbuh baru dapat dihasilkan pada usia 25 tahun (Soerianegara & Lemmens 1994).

Pada kawasan Malesia, Agathis dammara L.C.Richard terdapat pada dataran rendah hutan hujan tropis, kecuali pada beberapa populasi di Semenanjung Malaysia yang tumbuh baik di bagian atas pegunungan hutan hujan, mulai dari 2000-2400 m dpl. Meskipun jenis ini tumbuh pada bermacam-macam formasi tanah, tetapi membutuhkan iklim yang terus menerus basah atau tidak tahan akan iklim yang mempunyai musim panas yang khas. Agathis dammara L.C.Richard membutuhkan tanah-tanah yang subur dengan iklim basah, curah hujan antara 3000-4000 mm/tahun. Tumbuh baik pada ketinggian 200-1500 m dpl. di pulau Jawa

Erosi

Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis dan terangkut yang kemudian diendapkan ditempat lain. Pengikisan dan pengangkutan tanah tersebut terjadi oleh media alami yaitu air dan angin.

Erosi angin disebabkan oleh kekuatan angin, sedangkan erosi air disebabkan oleh kekuatan air. Didaerah beriklim basah erosi air yang penting, sedangkan erosi oleh angin tidak berarti. Erosi oleh angin merupakan kejadian yang sangat penting apabila terjadi di daerah yang beriklim kering.

Beberapa macam erosi yang dikenal dalam kamus konservasi tanah dan air yaitu erosi geologi, erosi normal dan erosi dipercepat (Arsyad 2006). Erosi geologi adalah erosi yang terjadi sejak permukaan bumi terbentuk terkikisnya batuan sehingga terjadi bentuk morfologi bumi seperti yang terbentuk sekarang ini. Erosi normal disebut juga dengan nama erosi alami yaitu proses pengangkutan tanah atau bagian-bagian tanah yang terjadi dibawah keadaan alami. Erosi alami terjadi dengan laju yang lambat serta memungkinkan terbentuknya tanah yang

(5)

tebal dan mampu mendukung pertumbuhan vegetasi secara normal. Erosi dipercepat adalah pengangkutan tanah atau bagian-bagian tanah dengan laju yang lebih cepat dari erosi normal dan lebih cepat dari pembentukan tanah yang menimbulkan kerusakan tanah, sebagai akibat perbuatan manusia yang menghilangkan tanaman penutup tanah. Meskipun kedua macam erosi tersebut terjadi, hanya erosi dipercepat yang menjadi perhatian konservasi tanah dan pembahasan selanjutnya digunakan istilah erosi.

Menurut Baver (1956), erosi ditentukan oleh faktor-faktor iklim (i), tanah (s), vegetasi (v), dan manusia (m). Sedangkan menurut Manokaran (1979), faktor-faktor yang mempengaruhi laju erosi adalah curah hujan, aliran permukaan, angin, tanah, lereng, tanaman penutup lahan serta tindakan konservasi tanah.

Tumbuhan Bawah Penutup Tanah

Tumbuhan Penutup tanah adalah tumbuhan atau tanaman yang khusus ditanam untuk melindungi tanah dari ancaman kerusakan oleh erosi dan atau untuk memperbaiki sifat kimia dan fisik tanah. Tanaman penutup tanah berperan untuk: menahan atau mengurangi daya perusak butir-butir hujan yang jatuh dan aliran air diatas permukaan tanah, menambahkan bahan organik tanah melalui batang, ranting dan daun mati yang jatuh, serta untuk melakukan trasnpirasi yang dapat mengurangi kandungan air tanah. Arsyad (2006) mengemukakan bahwa pengaruh tanaman yang menutup permukaan tanah secara rapat bukan hanya dapat memperlambat aliran permukaan tetapi juga mencegah pengumpulan air secara cepat. Xian-li et al. (2008) mengemukakan bahwa aliran permukaan akan berkurang secara linier seiring dengan bertambahnya penutupan lahan oleh tanaman.

(6)

Pengelolaan hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan salah satu langkah strategis untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang baik. Pola ini sebetulnya sudah ada sejak dulu, yakni sebagai representasi kearifan lokal (local

wisdom) masyarakat disekitar hutan, namun pola tersebut terpinggirkan dengan

adanya kebijakan pengelolaan hutan berbasis negara (state forest management) yang marak terjadi pada orde baru. Pola kebijakan ini cenderung ekspliotatif sehingga menimbulkan berbagai dampak negatif seperti kerusakan lingkungan, keterdesakan masyarakat asli, konflik dan hancurnya budaya lokal (Iqbal et al. 2008).

Menurut Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, yang dimaksud dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (Pemerintah RI 1999). Sedangkan Borman et al. (2005) dalam Iqbal et al. (2008) mendefinisikan hutan sebagai berikut: "The forest is a complex ecosystem a

biological system with distinct, myriad interrealtionships of the living part of the environment (Plants, animal and micro-organisms) to each other and to the non-living, inorganic or biotic parts (soil, climate, water, organic debris, rocks). Picture it as an intricate web-fragile but at same time holding the ecosystem together (Hutan adalah suatu ekosistem yang kompleks dimana di dalamnya

terdapat perbedaan sistem biologis yang memiliki aneka hubungan baik antar lingkungan mahluk hidup (tanaman, binatang dan mikro-organisme) dan mahluk tak hidup maupun unsur anorganik atau non-biota lainnya (tanah, iklim, bahan-bahan organik dan batu-batuan). dengan kata lain, hutan dapat digambarkan sebagai suatu jaringan yang kompleks terurai tapi saling menjaga ekosistem secara bersama-sama)".

Berdasarkan definisi diatas, penyelenggaraan pembangunan kehutanan seyogyanya bukan tanggung jawab pemerintah semata, namun juga merupakan tanggung jawab semua pemangku kepentingan pada sektor ini. Aturan penyelengggaraan tersebut telah diatur dalam Undang Undang Nomor 41 tahun 1999 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan kehutanan adalah berasaskan

(7)

manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 1). Penyelenggaraan yang dimaksud ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan (Pasal 2) melalui upaya berikut: (1) menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; (2) mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari; (3) meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; (4) meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan (5) menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal dan peningkatan IPM yang bersifat fleksibel, partisipatif dan akomodatif (Anonim 2007).

Program PHBM dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara proporsional dan profesional. PHBM bertujuan untuk meningkatkan peran dan tanggung jawab Perum Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan melalui pengelolaan sumberdaya hutan dengan model kemitraan. Dengan adanya program PHBM ini diharapkan masyarakat, perhutani dan pemerintah daerah dapat bersinergi dalam mengelola hutan dengan sebaik-baiknya sehingga semua elemen masyarakat tersebut dapat membentuk fungsi hutan yang tidak hanya bersifat ekologis, tetapi juga bisa menjadi tempat masyarakat bermata pencaharian tanpa harus merusak hutan.

PHBM di KPH Bandung Selatan ini telah dilaksanakan sejak tahun 2001. Khususnya di lokasi penelitian (area PHBM petak 27 RPH Gambung, KPH Bandung Selatan) dilaksanakan program PHBM dengan tanaman produksi jenis

(8)

dengan sifat dari tanaman kopi yang dapat bermetabolisme secara optimal pada intensitas cahaya sebesar 40-70 % (Kumar & Tieszen 1980) dan rentang suhu dari 15-25 0C (Wilson 1985). Artinya, tanaman ini memerlukan naungan agar dapat berproduksi secara maksimal. Oleh karena itu, masyarakat yang bercocok tanam kopi akan dengan sadar melindungi tegakan yang menjadi penyangga lahan, sehingga selain tujuan ekonomisnya tercapai juga tujuan konservasinya juga tercapai.

Gambar

Gambar 1.  Macam-Macam Model Arsitektur Pohon (Halle et al. 1978)
Gambar  2.  Model  Arsitektur  Massart  dan  Transformasi  Air  Hujan  (Athtorick  2000)

Referensi

Dokumen terkait

Pada peristiwa erosi (yang dipercepat) volume penghanyutan tanah adalah lebih besar dibandingkan dengan pembentukan tanah, sehingga penipisan lapisan tanah akan

Secara umum dikenal 4 macam erosi yang dibedakan berdasarkan bentuknya, antara lain : (1) Sheet erosion atau erosi lembaran yang merupakan pengangkutan secara

Tanah-tanah yang bertekstur kasar (tanah-tanah berpasir) mempunyai kapasitas dan laju infiltrasi yang tinggi sehingga jika tanah tersebut dalam maka erosi dapat diabaikan,

Tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut oleh air dari suatu tempat yang mengalami erosi pada suatu daerah aliran sungai (DAS) dan masuk ke dalam suatu

Tanaman yang pertama ditanam di lahan reklamasi adalah jenis tanaman penutup tanah (cover crop) yang bertujuan untuk mengurangi laju erosi tanah, menstabilkan

Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan erosi adalah (1) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi laju infiltrasi; (2) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi

Untuk memprediksi laju potensi erosi adalah sangat diperlukan dan merupakan alat untuk menilai apakah suatu program atau tindakan konservasi tanah telah berhasil

Laju pembekuan mempengaruhi kualitas bahan pangan, dimana pada laju pembekuan lambat terjadi pertumbuhan kristal es yang lebih cepat dibandingkan dengan pembentukan