• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Lansia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Lansia"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Lansia

Penentuan masa usia lanjut merupakan hal yang tidak mudah. Di

Indonesia, batas usia 60 tahun ditetapkan sebagai awal dari usia lanjut. Hal ini

disesuaikan dengan kondisi Indonesia, dimana masa pensiun yang tergolong

pada tahap dewasa akhir adalah 55 tahun, kecuali untuk orang dengan fungsi

tertentu seperti professor, ahli hukum, dokter atau professional lain yang

biasanya pensiun ketika berumur 65 tahun (Anitasari, 1993). Pada masa

kehidupan lanjut usia biasanya seseorang mengalami banyak masalah yang

berkaitan dengan kesehatannya. Berbagai macam masalah yang terjadi

semakin bertambah dengan bertambahnya umur, kondisi ini berkaitan dengan

proses penuaan yang terjadi. Pada setiap individu, proses menjadi tua sangat

bervariasi, tergantung dari kondisi fisik dan mentalnya sehingga sulit membuat

patokan siapa yang disebut lanjut usia (lansia). Dalam kegiatan program,

Departemen Kesehatan membuat patokan kelompok lansia berdasarkan usia

kronologis yaitu seorang pria atau wanita yang berumur 60 tahun atau lebih, baik

secara fisik masih berkemampuan (potensial) maupun karen a sesuatu hal tidak

lagi mampu berperan secara aktif dalam pembangunan (Depkes, 1998).

Burnside (1979) membagi batasan lanjut usia berdasarkan usia

kronologisnya adalah sebagai berikut:

a. Young-old (60 – 69 tahun)

Masa ini dianggap sebagai transisi utama dari masa dewasa akhir ke masa

tua. Biasanya ditandai dengan penurunan pendapatan dan keadaan fisik

yang menurun. Sehubungan dengan berkurangnya peran, individu sering

merasa kurang memperoleh penghargaan dari lingkungan.

b. Middle-age old (70 – 79 tahun)

Periode ini identik dengan periode kehilangan karena banyak pasangan

hidup dan teman yang meninggal. Ditandai dengan kesehatan yang semakin

menurun, partisipasi dalam organisasi formal menurun, muncul rasa gelisah

dan mudah marah serta aktifitas seks menurun.

(2)

c. Old-old (80 – 89 tahun)

Pada masa ini lanjut usia telah mengalami kesulitan dalam beradaptasi dan

berinteraksi dengan lingkungannya. Selain itu ketergantungannya terhadap

orang lain dalam melakukan kegiatan sehari-hari sudah semakin besar.

d. Very old-old (lebih atau sama dengan 90 tahun)

Lebih parah dari masa sebelumnya dimana individu benar-benar tergantung

pada orang lain dengan kesehatan yang semakin menurun.

Pada proses penuaan, terjadi evolusi dan degenerasi jaringan serta sel-sel

tubuh yang berlangsung secara terus menerus dan berkesinambungan yang

dimulai sejak usia 20 tahun dan semakin meningkat pada usia 45 tahun keatas.

Proses ini biasanya ditandai oleh kemunduran fisik, anatomis dan fungsional

yang akhirnya akan mempengaruhi kemampuan badan secara keseluruhan

(Hardinsyah & Martianto, 1992). Schlenker, Pipies & Thrahms (1992)

menyatakan bahwa proses penuaan terjadi dalam dua aspek yaitu aspek biologis

dan aspek fisiologis. Aspek biologis meliputi perubahan sel dan jaringan antar

sel. Pada lansia terjadi pembelahan sel yang lebih cepat sehingga jumlahnya

semakin sedikit dan berkurang.

Selain aspek biologis, aspek fisiologis juga mengalami perubahan.

Penuaan yang terjadi dalam aspek in meliputi perubahan fungsi otak dan sistem

syaraf. Stimuli terhadap respon juga berkurang, respon yang diberikan oleh

sistem organ lebih lambat ketika terjadi perubahan lingkungan misalnya respon

terhadap perubahan suhu lingkungan. Selain itu pula terjadi perubahan pada

sistem hormon, sistem peredaran darah, sistem ekskresi, sistem pernafasan dan

sistem pencernaan.

Manusia lanjut usia mengalami penurunan fungsi-fungsi organ tubuh yang

mengakibatkan aktivitas atau kegiatannya menjadi menurun dibandingkan pada

masa dewasa dan remaja. Oleh karena itu kecukupan gizi pada lansia umumnya

lebih rendah dibandingkan pada masa dewasa dan remaja (Hardinsyah &

Martianto, 1992).

(3)

Pendidikan

Pendidikan merupakan usaha untuk mengadakan perubahan perilaku

mencakup aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan para peserta didik sesuai

dengan tujuan yang diharapkan. Secara umum, pendidikan dibedakan menjadi

tiga jenis, yaitu formal, non formal dan informal (Pranadji, 1988).

Michael (1975) diacu dalam Suyanto (2002) mengungkapkan bahwa

pendidikan dapat mempengaruhi perilaku dan kebiasaan manusia. Aspek-aspek

perilaku atau kebiasaan yang dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dalam

individu maupun rumah tangga antara lain adalah pendapatan, pemilihan

pekerjaan, pemilihan tempat tinggal, pemilihan dan jumlah konsumsi makanan,

gaya hidup, dan karakteristik teman pergaulan.

Suhardjo (1989) juga menambahkan bahwa dari beberapa kajian empiris,

terdapat indikasi bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi secara langsung

kebiasaan makan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang,

maka tingkat kesejahteraannya cenderung akan lebih tinggi, termasuk dalam hal

pola makan.

Panti Werdha

Menurut Departemen Sosial RI (1994), panti werdha merupakan bentuk

pelayanan kesejahteraan sosial lanjut usia yang pada awalnya merupakan

inisiatif organisasi sosial yang pada waktu itu merasakan pentingnya

penanganan permasalahan lanjut usia melalui panti. Lahirnya panti-panti tersebut

berdasarkan atas adanya kebutuhan-kebutuhan akan perawatan kesehatan,

kegiatan-kegiatan keagamaan, dan komunikasi sosial yang bersifat efektif yang

tidak didapat lansia di luar panti.

Di negara-negara berkembang memasukkan lansia di panti merupakan

tindakan yang dianggap kurang pantas atau kurang etis. Tetapi, karena adanya

kecenderungan pergeseran nilai-nilai masyarakat akibat globalisasi, maka hal ini

sudah dianggap sesuatu yang wajar bahkan suatu keharusan.

Saat ini banyak panti werdha didirikan yang bertujuan untuk memberikan

santunan dan pelayanan kepada golongan lansia. Panti werdha merupakan

upaya terakhir setelah keluarga dan masyarakat tidak dapat memberi mekanisme

pelayanan.

(4)

Menurut Suyanto (1996), latar belakang lansia masuk panti werdha dapat

ditinjau:

1. Status perkawinan

a. Tidak pernah menikah

b. Pernah menikah tetapi tidak mempunyai keturunan

c. Menikah, mereka masih terikat perkawinan dan ada juga yang sudah

berpisah

2. Ditinjau dari segi pendapatan

a. Mempunyai pensiun/ pendapatan

b. Tidak mempunyai pendapatan

c. Tidak mempunyai pendapatan tetapi ada yang membantu

3. Ditinjau dari segi kesehatan

a. Sehat

b. Sakit ringan

c. Komplikasi

d. Gangguan kejiwaan

e. Sakit dan perlu perawatan khusus

4. Ditinjau dari masalah yang dihadapi

a. Terlantar, tidak mempunyai tempat tinggal, tidak mempunyai pendapatan,

tidak mempunyai keluarga

b. Terlantar, sakit dan tidak ada yang mengurus

c. Tidak bisa hidup dengan menantu

d. Dibuang oleh keluarganya

e. Masalah sosial lain (perbedaan gaya hidup, agama, dll)

f. Mencari ketenangan hidup di hari tua

Panti Werdha di Indonesia ada yang diselenggarakan oleh pemerintah

dan ada yang diselenggarakan oleh lembaga sosial swasta. Apabila kesehatan,

status ekonomi atau kondisi lainnya tidak memungkinkan lansia untuk

melanjutkan hidup di rumah masing-masing, dan jika lansia tidak mempunyai

sanak saudara yang dapat atau sanggup merawat mereka, maka para orang

lanjut usia sebaiknya tinggal di lembaga tempat tinggal yang dirancang khusus

untuk orang lanjut usia. Rumah yang disediakan khusus untuk para lanjut usia

dapat digolongkan ke dalam dua kategori yaitu rumah untuk pensiunan dan

rumah untuk perawatan. Dalam rumah untuk pensiunan, tempat tinggal

(5)

perorangan berukuran kecil baik dalam bentuk apartemen perorangan atau

kamar untuk perorangan. Dalam apartemen terdapat ruang makan, ruang

rekreasi dan ruang duduk yang letaknya dalam wilayah yang dapat terjangkau

oleh semua penghuni. Dalam ruang perawatan, kebutuhan fisik bagi orang lanjut

usia dikerjakan oleh orang-orang yang telah dilatih dan dapat berbuat seperti di

rumah sakit bila memang diperlukan (Hurlock, 1980).

Dalam usaha memberikan pelayanan kepada lansia, panti werdha

melaksanakan kegiatan-kegiatan antara lain: a) memberikan jaminan makanan

dengan pengaturan menu yang sesuai dengan kebutuhan gizi, b) memelihara

kesehatan dan kebersihan melalui pemeriksaan secara rutin, pengobatan pada

saat sakit melalui kerjasama dengan instansi kesehatan setempat, serta

lingkungan yang bersih dan teratur, c) bimbingan mental keagamaan dan

kemasyarakatan untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan YME serta

memupuk rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri serta lingkungannya, d)

pengisian waktu luang dengan melaksanakan kegiatan- kegiatan yang

bermanfaat termasuk kegiatan aktifitas berolahraga yang teratur (Departemen

Sosial, 1994).

Fungsi dan peranan panti werdha dalam upaya mewujudkan

kesejahteraan sosial dapat dilihat pada Pola Dasar Bidang Kesejahteraan Sosial

diacu dalam Depsos RI (1994), dinyatakan bahwa pemeliharaan dan

penyantunan sosial lansia terlantar merupakan tugas kemanusiaan dan

fungsional yang harus dilaksanakan dalam kerjasama dengan masyarakat

beserta lembaga-lembaga sosial lainnya secara terpadu dan berkesinambungan.

Upaya untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi para lansia tercantum dalam

UU nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian Bantuan Penghidupan Orang Jompo

yang pelaksanaannya dituangkan dalam surat Keputusan Menteri Sosial RI

Nomor 3 HUK/I.50/107 tahun 1971 jo Undang- Undang Nomor 6 tahun 1974

tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.

Adapun kebijaksanaan pemerintah untuk memberikan pelayanan dan

penyantunan kepada lansia itu antara lain:

a. Pemberian bantuan dan santunan kepada para lansia di panti werdha

b. Pemberian bantuan penyantunan kepada para lansia di luar panti berupa

pemberian bantuan usaha produktif

(6)

c. Bantuan dan peningkatan kemampuan pelayanan panti werdha pemerintah

daerah dan swasta

Keputusan Menteri Sosial nomor 41/HUK/KEP/XI/79 tahun 1979 tentang

kedudukan, tugas, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja panti di lingkungan

Departemen Sosial pada pasal 211 menyebutkan tentang fungsi panti, yaitu:

a. Pemeliharaan kesehatan

b. Pelaksanaan kegiatan yang bersifat rekreatif dan kegiatan-kegiatan lain yang

bermanfaat

c. Pelaksanaan bimbingan mental dan spiritual kemasyarakatan

Lansia yang masuk ke panti werdha umumnya adalah lansia yang

terlantar dan tidak mempunyai keluarga yang dapat merawatnya. Selain itu,

adapula lansia karena keinginan sendiri atau dititipkan oleh keluarganya. Lansia

yang dititipkan harus mempunyai sponsor. Pihak sponsor ini biasanya harus

membayar biaya hidup di panti tiap bulan. Tujuan pembayaran ini selain untuk

biaya pengelolaan dan perawatan juga agar para anggota keluarga tetap

mempunyai perhatian pada lansia yang menjadi klien di panti (Wongkaren,

1994).

Pengelolaan Makanan

Menurut Nursiah (1990), pengelolaan makanan adalah penyelenggaraan

dan pelaksanaan makanan dalam jumlah besar. Pengelolaan makanan

mencakup anggaran belanja, perencanaan menu, perencanaan kebutuhan

bahan makanan, penyediaan/pembelian bahan makanan, penerimaan dan

pencatatan, penyimpanan dan penyaluran bahan makanan, pengolahan bahan

makanan, penyajian dan pelaporan. Secara garis besar pengelolaan makanan

mencakup perencanaan menu, pembelian, penerimaan dan persiapan

pengolahan bahan makanan, pengolahan bahan makanan, pendistribusian/

penyajian makanan dan pencatatan serta pelaporan.

Perencanaan Menu

.

Perencanaan menu merupakan rangkaian untuk menyusun suatu hidangan

dalam variasi yang serasi. Kegiatan ini sangat penting dalam sistem pengelolaan

makanan, karena menu sangat berhubungan dengan kebutuhan dan

penggunaan sumberdaya lainnya dalam sistem tersebut, seperti anggaran

(7)

belanja. Perencanaan menu harus disesuaikan dengan anggaran yang ada

dengan mempertimbangkan kebutuhan gizi dan aspek kepadatan makanan dan

variasi bahan makanan. Menu seimbang perlu untuk kesehatan, namun agar

menu yang disediakan dapat dihabiskan, maka perlu disusun variasi menu yang

baik, aspek komposisi, warna, rasa, rupa dan kombinasi masakan yang serasi

(Nursiah, 1990).

Perencanaan kebutuhan bahan makanan adalah kegiatan untuk

menetapkan jumlah, macam dan jenis serta kualitas bahan makanan yang

dibutuhkan untuk kurun waktu tertentu. Langkah-langkah yang perlu ditempuh

dalam perencanaan kebutuhan bahan makanan adalah mengumpulkan data

mengenai jumlah pasien yang diberi makanan, jumlah dan macam makanan

yang diberikan, menghitung taksiran persediaan bahan makanan, menghitung

kebutuhan bahan makanan untuk satu periode tertentu hingga diperoleh taksiran

bahan makanan. Tujuannya adalah menetapkan kebutuhan bahan makanan

sesuai dengan menu yang telah direncanakan serta jumlah pasien yang akan

dilayani (Mukrie & Nursiah, 1983).

Pembelian, Penerimaan dan Persiapan Pengolahan Bahan Makanan

Pembelian bahan makanan merupakan serangkaian proses penyediaan

bahan makanan melalui prosedur dan peraturan yang telah ditetapkan

sebelumnya, agar tersedia bahan makanan dengan jumlah dan macam serta

kualitas sesuai dengan yang direncanakan. Cara pembelian bahan makanan

yang tepat dapat membantu meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan

dana yang tersedia. Mutu hidangan yang dimasak tergantung dari keadaan fisik

dan kualitas bahan makanan yang dibeli. Prosedur pembelian dapat dilakukan

secara tender maupun penunjukkan langsung (Depkes, 1999).

Penerimaan bahan makanan adalah kegiatan yang meliputi pemeriksaan,

penimbangan, pencatatan, pengambilan keputusan dan pelaporan mengenai

jumlah bahan makanan menurut permintaan atau pesanan (Mukrie & Nursiah,

1983). Dalam penerimaan diperhatikan juga jumlah, jenis, ukuran kualitas bahan

dan batas waktu kadaluarsa (Moehyi, 1992).

Persiapan bahan makanan merupakan suatu pros es dalam rangka

menyiapkan bahan makanan dan bumbu-bumbu yang siap untuk dimasak sesuai

dengan standar resep. Depkes (1999) menetapkan beberapa hal yang perlu

(8)

diperhatikan dalam kegiatan persiapan bahan makanan adalah (1) melakukan

persiapan bahan makanan berdasarkan tertib kerja dan metode teknik persiapan

bahan makanan dalam standar resep, (2) merencanakan persiapan bahan

makanan dengan memperhatikan waktu dan menu yang digunakan, (3)

peralatan, bahan makanan, dan bumbu-bumbu dikumpulkan sesuai dengan

menu yang akan diolah dan diatur secara baik sehingga memudahkan dalam

melakukan pekerjaan, (4) mempergunakan peralatan yang sesuai dengan

pekerjaan, (5) perlengkapan dan peralatan disusun sedemikian rupa dalam

daerah pekerjaan sesuai dengan tugas, (6) mempergunakan peralatan dengan

baik dan benar untuk menghindari kecelakaan kerja, (7) memperhatikan urutan

langkah- langkah kerja sesuai dengan metode teknik persiapan, (8) meja kerja,

perlengkapan dan peralatan segera dibersihkan dan disusun setelah digunakan.

Pengolahan Bahan Makanan

.

Memasak adalah suatu pengetahuan dan seni yang sudah dikenal sejak

zaman dahulu, untuk menghasilkan makanan yang berkualitas dan dapat

memenuhi selera konsumen. Makanan yang disajikan harus dapat merangsang

kelenjar ludah, mata, lidah dan dan perasaan sehingga makanan yang diproduksi

sedap dipandang dan mempunyai citarasa yang lezat. Kesalahan dalam urutan

dan pencampuran bumbu akan menghasilkan makanan yang tidak menarik.

Untuk dapat menghasilkan makanan yang berkualitas tinggi memerlukan

persiapan dan diolah dengan cara yang tepat, proporsi bahan penyusun yang

seimbang, bervariasi, disajikan dengan menarik serta standar sanitasi yang tinggi

(Depkes, 1999).

Dalam pengolahan bahan makanan terdapat dua kegiatan yaitu

persiapan dan pemasakan bahan makanan. Tahap ini perlu mendapat perhatian

karena kehilangan sering terjadi pada saat bahan pangan mengalami proses

pengolahan (Hardinsyah & Briawan, 1994). Persiapan sebaiknya dilakukan

dengan baik agar makanan kelihatan menarik, nilai gizi tidak berkurang. Tujuan

pemasakan bahan makanan adalah mempertahankan nilai gizi makanan,

meningkatkan mutu cerna, mempertahankan dan menambah rasa, memperindah

rupa, warna dan tekstur makanan.

(9)

Pendistribusian/ Penyajian Makanan

.

Dalam menerapkan prosedur distribusi, dikenal dua cara pendistribusian

makanan kepada klien, yaitu cara sentralisasi dan desentralisasi (Moehyi, 1992).

1. Cara sentralisasi

Dengan cara ini maka semua kegiatan pembagian makanan dipusatkan pada

suatu tempat (centralized). Sebelum memilih cara sentralisasi ini, maka

manajer/penanggung jawab penyediaan makanan sudah harus

memperhitungkan konsekuensi yang harus diadakan seperti luas tempat,

peralatan, tenaga dan kesiapan manajemen yang menyeluruh. Sistem

sentralisasi sesuai untuk institusi besar yang memiliki tenaga yang terbatas.

Pegawai hanya diperlukan di dapur dan ruang makan saja, karena klien bisa

langsung mengambil makanan ke ruang makan tidak perlu diantar ke tiap

ruang klien. Sehingga pegawai untuk pendistribusian atau pengantar

makanan dapat ditiadakan.

2. Cara desentralisasi

Cara desentralisasi adalah suatu cara pendistribusian makanan. Dengan

cara ini fokus kegiatan masih tetap berada di unit pembagian utama,

kemudian langkah selanjutnya adalah menata makanan dalam alat-alat

makan perorangan yang telah disediakan di pantry/dapur ruangan. Sistem ini

jelas membutuhkan pantry/pos pelayanan makan sementara yang berfungsi

untuk menghangatkan kembali makanan, membuat minuman/sejenisnya,

menyiapkan peralatan makan bersih, menyajikan makanan sesuai dengan

porsi yang ditetapkan, meneliti macam dan jumlah makanan, serta membawa

hidangan kepada klien.

Pencatatan dan Pelaporan

Pencatatan dan pelaporan merupakan serangkaian kegiatan

mengumpulkan data kegiatan pengelolaan makanan dalam jangka waktu

tertentu, untuk menghasilkan bahan bagi penilaian kegiatan pelayanan makanan.

Kegiatan pencatatan pelaporan diperlukan agar semua pekerjaan atau

kegiatan dapat terlaksana sesuai dengan rencana dan tercapai secara berdaya

guna dan berhasil guna. Kegiatan pencatatan dan pelaporan merupakan salah

satu bentuk dari pengawasan dan pengendalian. Pencatatan dilakukan setiap

(10)

langkah kegiatan yang dilakukan, sedangkan pelaporan dilakukan secara berkala

sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2003).

Analisis SWOT

Lingkungan adalah salah satu faktor penting untuk menunjang

keberhasilan suatu program. Untuk membuat dan menentukan tujuan, sasaran

dan strategi yang diambil maka diperlukan suatu analisis mendalam serta

menyeluruh mengenai lingkungan (Wahyudi, 1996). Lingkungan tersebut dibagi

menjadi dua, yaitu lingkungan internal dan eksternal. Untuk menunjang

keberhasilan program suatu panti dengan adanya kedua lingkungan tersebut

dapat dilakukan analisis, salah satunya dengan analisis SWOT.

Menurut Siagian (1995), SWOT merupakan akronim dari Strength

(kekuatan), Weakness (kelemahan), Opportunity (peluang) dan Threat

(ancaman). Analisis SWOT dapat merupakan instrumen untuk memaksimalkan

peranan faktor yang bersifat positif, meminimalisasi kelemahan yang terdapat

dalam tubuh organisasi dan menekan dampak ancaman yang timbul dan harus

dihadapi. Jika para penentu strategi panti mampu melakukan hal tersebut

dengan tepat, maka upaya untuk memilih dan menentukan strategi akan

membuahkan hasil yang diharapkan (Siagian, 1995).

SWOT merupakan pendekatan diagnosis dari analisis strategi, yang

terdiri atas faktor internal dan faktor eksternal untuk mengidentifikasi masalah

(potensi) secara konseptual, yaitu dengan mengoptimasi sumberdaya yang

dimiliki (pemecahan masalah) suatu unit kerja pada posisi dari setiap segmen

kegiatan. Analisis SWOT dapat digunakan untuk memformulasikan, membuat

rekomendasi dan memperoleh pemahaman yang jelas terhadap suatu

permasalahan sehingga dapat diambil tindakan manajemen yang tepat dan

konkret (Rangkuti, 1999).

Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal (Peluang dan

Ancaman) dengan faktor internal (Kekuatan dan Kelemahan) untuk merumuskan

strategi (Rangkuti, 1999). Perbandingan antara faktor internal dan faktor

eksterna l dapat dilihat pada Tabel 1.

(11)

Tabel 1. Lembar Kerja SWOT

Analisis SWOT merupakan penyesuaian atau perpaduan antara sarana ETOP

dengan SAP (Glueck dan Jauch, 1992).

Berikut ini disajikan uraian lebih lanjut tentang analisis yang dapat digunakan

dalam melakukan analisis lingkungan. Analisis SWOT dan analisis yang

dilakukan dalam ETOP dan SAP dapat diuraikan seperti di bawah ini:

Kekuatan (Strength)

Menurut Stahl dan Grigsby (1992), kekuatan adalah segala faktor internal

dalam perusahaan yang memiliki keunggulan relatif terhadap pelanggan.

Faktor-faktor kekuatan yang dimiliki oleh perusahaan termasuk satuan-satuan

didalamnya antara lain kompetensi khusus yang terdapat dalam organisasi.

Kelemahan (Weakness)

Menurut Siagian (1995), jika orang berbicara tentang kelemahan yang

terdapat dalam tubuh suatu satuan bisnis, maka yang dimaksud ialah

keterbatasan atau kekurangan dalam sumber, keterampilan dan kemampuan

yang menjadi penghalang serius bagi penampilan kinerja organisasi yang

memuaskan. Dalam praktek, berbagai keterbatasan dan kemampuan tersebut

bisa terlihat pada sarana yang dimiliki atau tidak dimiliki dan kemampuan

manajerial yang rendah.

Faktor Internal Faktor Eksternal Kekuatan 1. - - n Peluang 1. - - n Kelemahan 1. - - n Ancaman 1. - - n

(12)

Peluang (Opportunity )

Menurut Glueck dan Jauch (1992), peluang merupakan faktor lingkungan

yang berdampak positif bagi perusahaan. Berbagai situasi lingkungan yang

menguntungkan akan merupakan suatu peluang bagi satuan bisnis. Yang

dimaksud dengan berbagai situasi untuk penelitian ini antara lain ialah hubungan

antara lansia dengan petugas pelaksana program panti, program panti, dan

kebijaksanaan pemerintah/ swasta.

Ancaman (Threat)

Ancaman adalah faktor-faktor lingkungan yang tidak menguntungkan

suatu bisnis (hambatan, kendala atau berbagai unsur eksternal lainnya), yang

potensial untuk merusak strategi yang telah disusun, sehingga menimbulkan

masalah, kerusakan atau kekeliruan. Jika tidak diatasi, ancaman akan menjadi

hambatan/ ganjalan bagi satuan bisnis yang bersangkutan, baik untuk masa

sekarang maupun masa depan (Siagian 1995).

Strategic Advantage Profile (SAP)

Menurut Simanjuntak (2003), analisis ini membahas faktor-faktor internal

perusahaan. Dari analisis ini dapat dilihat bahwa perusahaan mempunyai hal-hal

yang menjadi keunggulan yang sifatnya strategis atau hal-hal lain yang

menguntungkan. Hasil dari analisis ini disusun dalam suatu profil keunggulan

strategis (SAP). Analisis keunggulan strategis dalam penelitian ini meliputi

program panti (pengelolaan makanan).

Environmental Threat and Opportunity Profile (ETOP)

Menurut Simanjuntak (2003), analisis ini membahas faktor-faktor

lingkungan yang berpengaruh terhadap perusahaan. Analisis ini menetapkan

faktor-faktor apa saja di luar perusahaan yang merupakan tantangan atau

peluang untuk berprestasi lebih baik, termasuk segala resiko dan kemungkinan

yang terkandung didalamnya. Faktor lingkungan yang dianalisis dalam penelitian

ini adalah: (1) Tenaga pengelola makanan, (2) Kebijakan pemerintah/swasta, (3)

Hubungan pengelola makanan dengan lansia, (4) Kegiatan pelatihan, (5) Sarana

angkutan.

(13)

Daya Terima Makanan

Daya terima terhadap suatu makanan ditentukan oleh rangsangan yang

timbul oleh makanan melalui panca indera penglihatan, penciuman, dan pencicip.

Namun demikian faktor utama yang akhirnya mempengaruhi daya terima

terhadap makanan adalah rangsangan citarasa yang ditimbulkan oleh makanan,

oleh karena itu penting sekali dilakukan penilaian citarasa untuk menjajaki daya

penerimaan konsumen (Nasoetion A, 1980).

Moehyi (1992) menyatakan bahwa makanan yang akan disajikan

haruslah memenuhi dua syarat utama, yaitu citarasa makanan harus memberi

kepuasan bagi yang memakannya dan makanan harus aman yang berarti tidak

mengandung zat atau mikroorganisme yang dapat mengganggu kesehatan

tubuh. Citarasa makanan ditimbulkan oleh adanya rangsangan terhadap

berbagai indera dalam tubuh manusia, terutama indera penglihatan, penciuman

dan pengecap.

Daya terima seseorang terhadap makanan secara umum dapat dilihat

dari jumlah yang habis dikonsumsi. Daya terima makanan dapat juga dinilai dari

jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan sehubungan dengan makanan yang

dikonsumsi. Daya terima makanan terdiri dari citarasa makanan (rasa, aroma

dan tekstur) dan penampilan makanan meliputi warna, bentuk dan ukuran

(Nasoetion, 1980).

Citarasa

Nasoetion (1980) mengemukakan bahwa faktor utama yang

mempengaruhi daya penerimaan terhadap makanan adalah citarasa yang

ditimbulkan oleh makanan tersebut. Sedangkan citarasa dapat ditimbulkan oleh

terjadinya rangsangan terhadap berbagai indera dalam tubuh manusia, terutama

indera penglihatan, indera penciuman dan indera pengecap (Moehyi, 1992).

Penilaian citarasa makanan, karena menggunakan indera manusia untuk

alat penilaian seringkali disebut dengan istilah penilaian organoleptik atau

sensori. Cara ini sering disebut sebagai cara penilaian subyektif, karena

tergantung sepenuhnya pada kemampuan atau kepekaan indera manusia.

Selanjutnya menurut Moehyi (1992), yang dimaksud dengan citarasa

tinggi adalah makanan yang disajikan dengan menarik, menyebarkan bau yang

sedap dan memberikan rasa yang lezat. Sedangkan penyajian makanan yang

(14)

cocok dan serasi dapat menimbulkan daya tarik yang kuat bagi konsumen.

Usaha untuk mendapatkan citarasa makanan yang baik sudah dimulai sejak

memilih bahan makanan yang akan digunakan dan kemudian menyiapkan bahan

makanan itu untuk dimasak melalui berbagai cara, seperti memotong, mengiris,

menggiling, mengaduk, serta membuat bentuk-bentuk tertentu agar menarik.

Pada tahap pengolahan digunakan berbagai cara memasak sehingga diperoleh

citarasa yang diinginkan, karena masing- masing cara memasak akan

menghasilkan citarasa berbeda (Moehyi, 1992).

Untuk menghasilkan makanan yang bercita rasa tinggi, yang merupakan

salah satu tujuan mengolah makanan, dapat diperoleh jika seorang juru masak

bukan hanya memiliki keterampilan dalam mengolah makanan, tetapi juga

pengetahuan tentang bahan makanan dan sifat-sifatnya. Keterampilan dan

pengetahuan yang dimilikinya itu, kemudian dipadukan dengan rasa seni dalam

mengolah dan memasak, sehingga menghasilkan makanan dengan berbagai cita

rasa yang diinginkan (Moehyi, 1992).

Rupa/Penampilan

Menurut Sukarni dan Kusno (1980) yang termasuk faktor-faktor rupa

diantaranya adalah sifat-sifat seperti warna, ukuran dan bentuk. Selanjutnya

Lowe diacu dalam Hardinsyah, Setiawan dan Marliyati (1989) berpendapat

bahwa hal pertama yang dinilai dari suatu makanan adalah berdasarkan indera

penglihatan, yaitu warna, bentuk, ukuran dan sifat permukaan seperti halus,

kasar, berkerut dan sebagainya.

Warna makanan memegang peranan utama dalam penampilan makanan,

karena meskipun makanan tersebut lezat, tetapi apabila penampilan tidak

menarik waktu disajikan, akan mengakibatkan selera orang yang memakannya

menjadi hilang (Moehyi, 1992). Menurut Sukarni & Kusno (1980) warna biasanya

merupakan tanda kemasakan atau kerusakan dari makanan. Oleh karena itu

untuk mendapatkan warna makanan yang sesuai dan menarik harus digunakan

teknik memasak tertentu. Soenardi (1992) menyebutkan bahwa kombinasi warna

merupakan faktor dalam mempengaruhi indera penglihatan dan berperan penting

dalam penampilan makanan. Tenaga pengolah makanan harus mengerti adanya

perbedaan warna makanan sebelum dan sesudah diolah. Makanan akan lebih

menarik jika terdiri dari tiga warna. Betapapun lezatnya makanan jika

(15)

penyajiannya tidak menarik mengakibatkan selera orang untuk memakannya

kurang.

Bentuk makanan yang serasi akan memberikan daya tarik tersendiri bagi

setiap makanan yang disajikan. Pada saat disajikan terdapat beberapa bentuk

makanan yaitu (a) sesuai dengan bentuk asli bahan makanan, (b) bentuk yang

diperoleh dengan cara memotong bahan makanan dengan teknik tertentu, (c)

bentuk sajian khusus seperti nasi kuning (Moehyi, 1992).

Ukuran dan berat tertentu dari bahan makanan dapat menentukan porsi

makanan yang dihasilkan, selain dapat mempengaruhi penampilan makanan

pada saat disajikan, juga berkaitan dengan perencanaan dan penghitungan

bahan (Moehyi, 1992).

Kondisi Kesehatan Lansia

Kondisi kesehatan adalah keadaan kesehatan yang dialami oleh

seseorang, dan penyakit yang diderita merupakan salah satu faktor yang

berhubungan dengan keadaan kesehatan seseorang (Shintadewi, 1995 diacu

dalam Herlina, 2001).

Penuaan bukanlah suatu penyakit atau masalah kesehatan, namun

perubahan fisiologis yang tak terelakkan dapat meningkatkan kemungkinan

munculnya masalah kesehatan. Penuaan tidak dapat dicegah, namun masalah

kesehatan yang berhubungan dengan penuaan dapat dicegah. Deteksi awal dan

manajemen kesehatan yang efektif dapat menurunkan konsekuensi hipertensi,

penyakit ginjal dan gagal jantung (Hanlon & Picket, 1984).

Pada lansia, keadaan fisiologis yang melemah, memungkinkan lansia

mendapat gangguan penyakit hampir pada seluruh sistem dalam tubuhnya.

Penyakit tersebut antara lain : 1) Penyakit pada sistem pernafasan, yaitu

bronchitis chronica, dan tuberculosis pulmonum, penyakit ini lebih sering

dipengaruhi oleh faktor daya tahan tubuh dan daya elastisitas jaringan paru-paru

daripada pengaruh faktor gizi, 2) Penyakit pada sistem pencernaan, karena

fungsi kelenjar yang semakin kurang efektif pada usia lanjut, juga perubahan

susunan gigi sebagai alat pencerna makanan mekanis, 3) Gangguan

kardiovaskuler, atherosklerosis dan hipertensi, serta 4) Rheumatik (Astawan &

Wahyuni, 1988).

(16)

KERANGKA PEMIKIRAN

Dalam kegiatan program, Departemen Kesehatan membuat patokan

kelompok lansia berdasarkan usia kronologis yaitu seorang pria atau wanita yang

berumur 60 tahun atau lebih, baik secara fisik masih berkemampuan (potensial)

maupun karena sesuatu hal tidak lagi mampu berperan secara aktif dalam

pembangunan (Depkes, 1998).

Di Panti Werdha, penyediaan makanan untuk lansia dilakukan oleh

petugas pengelola makanan, maka para petugas pelaksana makanan di Panti

Werdha diharapkan dapat memberikan tanggapan yang tepat terhadap lansia,

memantau keadaan lansia dan lingkungannya.

Kegiatan pengelolaan makanan secara garis besar meliputi tiga tahap,

yaitu tahap perencanaan, produksi dan distribusi (penyajian). Penanganan dari

tahap perencanaan sampai distribusi (penyajian) akan berpengaruh terhadap

daya terima makanan yang disajikan dan kondisi kesehatan lansia. Karakteristik

dari lansia berpengaruh pula pada daya terima makanan yang disajikan dan

kondisi kesehatan lansia. Daya terima lansia terhadap makanan dan kondisi

kesehatan lansia merupakan salah satu indikator output dari proses pengelolaan

makanan di panti werdha. Pengukuran daya terima lansia terhadap makanan

yang disajikan dapat ditentu kan dari citarasa (rasa, aroma dan tekstur),

penampilan (warna, besar porsi/ ukuran dan bentuk). Sedangkan pengukuran

untuk kondisi kesehatan lansia adalah keadaan kesehatan dan penyakit yang

diderita lansia saat ini.

Untuk mengetahui apakah program panti khususnya pengelolaan

makanan sudah terlaksana dengan baik, maka dapat dilakukan analisis terhadap

sistem pengelolaan, salahsatunya dengan menggunakan analisis SWOT.

Analisis SWOT diharapkan dapat memberikan masukan pada pengelola panti

apakah input, proses dan output dari panti sudah mencapai tingkat efisiensi dan

efektifitas secara optimal.

Secara sistematis, kerangka pemikiran tersebut dapat disederhanakan

dalam Alur Bagan 1.

(17)

Referensi

Dokumen terkait

Yang dimaksud dengan penyesuaian diri pada lanjut usia adalah kemampuan orang yang berusia lanjut untuk menghadapi tekanan akibat perubahan perubahan fisik, maupun sosial

Masalah-masalah yang dihadapi lanjut usia antara lain berkurangnya kondisi fisik mereka, mencari teman untuk menggantikan suami atau istri yang telah meninggal dunia,

Banyak stereotip orang lanjut usia dan banyak kepercayaan tradisional tentang kemampuan fisik dan mental, Stereotip dan kepercayaan tradisional ini timbul dari berbagai sumber,

6) Adanya dampak negatif dari proses pembangunan seperti dampak lingkungan, polusi dan urbanisasiyang dapat mengganggu kesehatan fisik lanjut usia... DUKUNGAN TERHADAP ORANG

Kebutuhan hidup orang lanjut usia antara lain kebutuhan akan makanan bergizi seimbang, pemeriksaan kesehatan secara rutin, perumahan yang sehat dan kondisi rumah yang tentram

Perawatan pada lanjut usia baik lansia aktif maupun pasif sama, pada prinsipnya adalah memenuhi kebutuhan dasar lansia, dimana pada lansia pasif semua kebutuhannya

Penurunan kondisi fisik dan psikologis yang selanjutnya akan berpengaruh pada aktivitas ekonomi dan sosial dari lanjut usia, dengan demikian apabila lanjut usia sampai

Klien lanjut usia yang pasif atau tidak dapat bangun yang mengalami kelumpuhan atau sakit.. Pendekatan psikis Perawatan mempunyai peranan yang panjang untuk mengadakan pendekatan