TINJAUAN PUSTAKA
Lansia
Penentuan masa usia lanjut merupakan hal yang tidak mudah. Di
Indonesia, batas usia 60 tahun ditetapkan sebagai awal dari usia lanjut. Hal ini
disesuaikan dengan kondisi Indonesia, dimana masa pensiun yang tergolong
pada tahap dewasa akhir adalah 55 tahun, kecuali untuk orang dengan fungsi
tertentu seperti professor, ahli hukum, dokter atau professional lain yang
biasanya pensiun ketika berumur 65 tahun (Anitasari, 1993). Pada masa
kehidupan lanjut usia biasanya seseorang mengalami banyak masalah yang
berkaitan dengan kesehatannya. Berbagai macam masalah yang terjadi
semakin bertambah dengan bertambahnya umur, kondisi ini berkaitan dengan
proses penuaan yang terjadi. Pada setiap individu, proses menjadi tua sangat
bervariasi, tergantung dari kondisi fisik dan mentalnya sehingga sulit membuat
patokan siapa yang disebut lanjut usia (lansia). Dalam kegiatan program,
Departemen Kesehatan membuat patokan kelompok lansia berdasarkan usia
kronologis yaitu seorang pria atau wanita yang berumur 60 tahun atau lebih, baik
secara fisik masih berkemampuan (potensial) maupun karen a sesuatu hal tidak
lagi mampu berperan secara aktif dalam pembangunan (Depkes, 1998).
Burnside (1979) membagi batasan lanjut usia berdasarkan usia
kronologisnya adalah sebagai berikut:
a. Young-old (60 – 69 tahun)
Masa ini dianggap sebagai transisi utama dari masa dewasa akhir ke masa
tua. Biasanya ditandai dengan penurunan pendapatan dan keadaan fisik
yang menurun. Sehubungan dengan berkurangnya peran, individu sering
merasa kurang memperoleh penghargaan dari lingkungan.
b. Middle-age old (70 – 79 tahun)
Periode ini identik dengan periode kehilangan karena banyak pasangan
hidup dan teman yang meninggal. Ditandai dengan kesehatan yang semakin
menurun, partisipasi dalam organisasi formal menurun, muncul rasa gelisah
dan mudah marah serta aktifitas seks menurun.
c. Old-old (80 – 89 tahun)
Pada masa ini lanjut usia telah mengalami kesulitan dalam beradaptasi dan
berinteraksi dengan lingkungannya. Selain itu ketergantungannya terhadap
orang lain dalam melakukan kegiatan sehari-hari sudah semakin besar.
d. Very old-old (lebih atau sama dengan 90 tahun)
Lebih parah dari masa sebelumnya dimana individu benar-benar tergantung
pada orang lain dengan kesehatan yang semakin menurun.
Pada proses penuaan, terjadi evolusi dan degenerasi jaringan serta sel-sel
tubuh yang berlangsung secara terus menerus dan berkesinambungan yang
dimulai sejak usia 20 tahun dan semakin meningkat pada usia 45 tahun keatas.
Proses ini biasanya ditandai oleh kemunduran fisik, anatomis dan fungsional
yang akhirnya akan mempengaruhi kemampuan badan secara keseluruhan
(Hardinsyah & Martianto, 1992). Schlenker, Pipies & Thrahms (1992)
menyatakan bahwa proses penuaan terjadi dalam dua aspek yaitu aspek biologis
dan aspek fisiologis. Aspek biologis meliputi perubahan sel dan jaringan antar
sel. Pada lansia terjadi pembelahan sel yang lebih cepat sehingga jumlahnya
semakin sedikit dan berkurang.
Selain aspek biologis, aspek fisiologis juga mengalami perubahan.
Penuaan yang terjadi dalam aspek in meliputi perubahan fungsi otak dan sistem
syaraf. Stimuli terhadap respon juga berkurang, respon yang diberikan oleh
sistem organ lebih lambat ketika terjadi perubahan lingkungan misalnya respon
terhadap perubahan suhu lingkungan. Selain itu pula terjadi perubahan pada
sistem hormon, sistem peredaran darah, sistem ekskresi, sistem pernafasan dan
sistem pencernaan.
Manusia lanjut usia mengalami penurunan fungsi-fungsi organ tubuh yang
mengakibatkan aktivitas atau kegiatannya menjadi menurun dibandingkan pada
masa dewasa dan remaja. Oleh karena itu kecukupan gizi pada lansia umumnya
lebih rendah dibandingkan pada masa dewasa dan remaja (Hardinsyah &
Martianto, 1992).
Pendidikan
Pendidikan merupakan usaha untuk mengadakan perubahan perilaku
mencakup aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan para peserta didik sesuai
dengan tujuan yang diharapkan. Secara umum, pendidikan dibedakan menjadi
tiga jenis, yaitu formal, non formal dan informal (Pranadji, 1988).
Michael (1975) diacu dalam Suyanto (2002) mengungkapkan bahwa
pendidikan dapat mempengaruhi perilaku dan kebiasaan manusia. Aspek-aspek
perilaku atau kebiasaan yang dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dalam
individu maupun rumah tangga antara lain adalah pendapatan, pemilihan
pekerjaan, pemilihan tempat tinggal, pemilihan dan jumlah konsumsi makanan,
gaya hidup, dan karakteristik teman pergaulan.
Suhardjo (1989) juga menambahkan bahwa dari beberapa kajian empiris,
terdapat indikasi bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi secara langsung
kebiasaan makan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang,
maka tingkat kesejahteraannya cenderung akan lebih tinggi, termasuk dalam hal
pola makan.
Panti Werdha
Menurut Departemen Sosial RI (1994), panti werdha merupakan bentuk
pelayanan kesejahteraan sosial lanjut usia yang pada awalnya merupakan
inisiatif organisasi sosial yang pada waktu itu merasakan pentingnya
penanganan permasalahan lanjut usia melalui panti. Lahirnya panti-panti tersebut
berdasarkan atas adanya kebutuhan-kebutuhan akan perawatan kesehatan,
kegiatan-kegiatan keagamaan, dan komunikasi sosial yang bersifat efektif yang
tidak didapat lansia di luar panti.
Di negara-negara berkembang memasukkan lansia di panti merupakan
tindakan yang dianggap kurang pantas atau kurang etis. Tetapi, karena adanya
kecenderungan pergeseran nilai-nilai masyarakat akibat globalisasi, maka hal ini
sudah dianggap sesuatu yang wajar bahkan suatu keharusan.
Saat ini banyak panti werdha didirikan yang bertujuan untuk memberikan
santunan dan pelayanan kepada golongan lansia. Panti werdha merupakan
upaya terakhir setelah keluarga dan masyarakat tidak dapat memberi mekanisme
pelayanan.
Menurut Suyanto (1996), latar belakang lansia masuk panti werdha dapat
ditinjau:
1. Status perkawinan
a. Tidak pernah menikah
b. Pernah menikah tetapi tidak mempunyai keturunan
c. Menikah, mereka masih terikat perkawinan dan ada juga yang sudah
berpisah
2. Ditinjau dari segi pendapatan
a. Mempunyai pensiun/ pendapatan
b. Tidak mempunyai pendapatan
c. Tidak mempunyai pendapatan tetapi ada yang membantu
3. Ditinjau dari segi kesehatan
a. Sehat
b. Sakit ringan
c. Komplikasi
d. Gangguan kejiwaan
e. Sakit dan perlu perawatan khusus
4. Ditinjau dari masalah yang dihadapi
a. Terlantar, tidak mempunyai tempat tinggal, tidak mempunyai pendapatan,
tidak mempunyai keluarga
b. Terlantar, sakit dan tidak ada yang mengurus
c. Tidak bisa hidup dengan menantu
d. Dibuang oleh keluarganya
e. Masalah sosial lain (perbedaan gaya hidup, agama, dll)
f. Mencari ketenangan hidup di hari tua
Panti Werdha di Indonesia ada yang diselenggarakan oleh pemerintah
dan ada yang diselenggarakan oleh lembaga sosial swasta. Apabila kesehatan,
status ekonomi atau kondisi lainnya tidak memungkinkan lansia untuk
melanjutkan hidup di rumah masing-masing, dan jika lansia tidak mempunyai
sanak saudara yang dapat atau sanggup merawat mereka, maka para orang
lanjut usia sebaiknya tinggal di lembaga tempat tinggal yang dirancang khusus
untuk orang lanjut usia. Rumah yang disediakan khusus untuk para lanjut usia
dapat digolongkan ke dalam dua kategori yaitu rumah untuk pensiunan dan
rumah untuk perawatan. Dalam rumah untuk pensiunan, tempat tinggal
perorangan berukuran kecil baik dalam bentuk apartemen perorangan atau
kamar untuk perorangan. Dalam apartemen terdapat ruang makan, ruang
rekreasi dan ruang duduk yang letaknya dalam wilayah yang dapat terjangkau
oleh semua penghuni. Dalam ruang perawatan, kebutuhan fisik bagi orang lanjut
usia dikerjakan oleh orang-orang yang telah dilatih dan dapat berbuat seperti di
rumah sakit bila memang diperlukan (Hurlock, 1980).
Dalam usaha memberikan pelayanan kepada lansia, panti werdha
melaksanakan kegiatan-kegiatan antara lain: a) memberikan jaminan makanan
dengan pengaturan menu yang sesuai dengan kebutuhan gizi, b) memelihara
kesehatan dan kebersihan melalui pemeriksaan secara rutin, pengobatan pada
saat sakit melalui kerjasama dengan instansi kesehatan setempat, serta
lingkungan yang bersih dan teratur, c) bimbingan mental keagamaan dan
kemasyarakatan untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan YME serta
memupuk rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri serta lingkungannya, d)
pengisian waktu luang dengan melaksanakan kegiatan- kegiatan yang
bermanfaat termasuk kegiatan aktifitas berolahraga yang teratur (Departemen
Sosial, 1994).
Fungsi dan peranan panti werdha dalam upaya mewujudkan
kesejahteraan sosial dapat dilihat pada Pola Dasar Bidang Kesejahteraan Sosial
diacu dalam Depsos RI (1994), dinyatakan bahwa pemeliharaan dan
penyantunan sosial lansia terlantar merupakan tugas kemanusiaan dan
fungsional yang harus dilaksanakan dalam kerjasama dengan masyarakat
beserta lembaga-lembaga sosial lainnya secara terpadu dan berkesinambungan.
Upaya untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi para lansia tercantum dalam
UU nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian Bantuan Penghidupan Orang Jompo
yang pelaksanaannya dituangkan dalam surat Keputusan Menteri Sosial RI
Nomor 3 HUK/I.50/107 tahun 1971 jo Undang- Undang Nomor 6 tahun 1974
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.
Adapun kebijaksanaan pemerintah untuk memberikan pelayanan dan
penyantunan kepada lansia itu antara lain:
a. Pemberian bantuan dan santunan kepada para lansia di panti werdha
b. Pemberian bantuan penyantunan kepada para lansia di luar panti berupa
pemberian bantuan usaha produktif
c. Bantuan dan peningkatan kemampuan pelayanan panti werdha pemerintah
daerah dan swasta
Keputusan Menteri Sosial nomor 41/HUK/KEP/XI/79 tahun 1979 tentang
kedudukan, tugas, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja panti di lingkungan
Departemen Sosial pada pasal 211 menyebutkan tentang fungsi panti, yaitu:
a. Pemeliharaan kesehatan
b. Pelaksanaan kegiatan yang bersifat rekreatif dan kegiatan-kegiatan lain yang
bermanfaat
c. Pelaksanaan bimbingan mental dan spiritual kemasyarakatan
Lansia yang masuk ke panti werdha umumnya adalah lansia yang
terlantar dan tidak mempunyai keluarga yang dapat merawatnya. Selain itu,
adapula lansia karena keinginan sendiri atau dititipkan oleh keluarganya. Lansia
yang dititipkan harus mempunyai sponsor. Pihak sponsor ini biasanya harus
membayar biaya hidup di panti tiap bulan. Tujuan pembayaran ini selain untuk
biaya pengelolaan dan perawatan juga agar para anggota keluarga tetap
mempunyai perhatian pada lansia yang menjadi klien di panti (Wongkaren,
1994).
Pengelolaan Makanan
Menurut Nursiah (1990), pengelolaan makanan adalah penyelenggaraan
dan pelaksanaan makanan dalam jumlah besar. Pengelolaan makanan
mencakup anggaran belanja, perencanaan menu, perencanaan kebutuhan
bahan makanan, penyediaan/pembelian bahan makanan, penerimaan dan
pencatatan, penyimpanan dan penyaluran bahan makanan, pengolahan bahan
makanan, penyajian dan pelaporan. Secara garis besar pengelolaan makanan
mencakup perencanaan menu, pembelian, penerimaan dan persiapan
pengolahan bahan makanan, pengolahan bahan makanan, pendistribusian/
penyajian makanan dan pencatatan serta pelaporan.
Perencanaan Menu
.
Perencanaan menu merupakan rangkaian untuk menyusun suatu hidangan
dalam variasi yang serasi. Kegiatan ini sangat penting dalam sistem pengelolaan
makanan, karena menu sangat berhubungan dengan kebutuhan dan
penggunaan sumberdaya lainnya dalam sistem tersebut, seperti anggaran
belanja. Perencanaan menu harus disesuaikan dengan anggaran yang ada
dengan mempertimbangkan kebutuhan gizi dan aspek kepadatan makanan dan
variasi bahan makanan. Menu seimbang perlu untuk kesehatan, namun agar
menu yang disediakan dapat dihabiskan, maka perlu disusun variasi menu yang
baik, aspek komposisi, warna, rasa, rupa dan kombinasi masakan yang serasi
(Nursiah, 1990).
Perencanaan kebutuhan bahan makanan adalah kegiatan untuk
menetapkan jumlah, macam dan jenis serta kualitas bahan makanan yang
dibutuhkan untuk kurun waktu tertentu. Langkah-langkah yang perlu ditempuh
dalam perencanaan kebutuhan bahan makanan adalah mengumpulkan data
mengenai jumlah pasien yang diberi makanan, jumlah dan macam makanan
yang diberikan, menghitung taksiran persediaan bahan makanan, menghitung
kebutuhan bahan makanan untuk satu periode tertentu hingga diperoleh taksiran
bahan makanan. Tujuannya adalah menetapkan kebutuhan bahan makanan
sesuai dengan menu yang telah direncanakan serta jumlah pasien yang akan
dilayani (Mukrie & Nursiah, 1983).
Pembelian, Penerimaan dan Persiapan Pengolahan Bahan Makanan
Pembelian bahan makanan merupakan serangkaian proses penyediaan
bahan makanan melalui prosedur dan peraturan yang telah ditetapkan
sebelumnya, agar tersedia bahan makanan dengan jumlah dan macam serta
kualitas sesuai dengan yang direncanakan. Cara pembelian bahan makanan
yang tepat dapat membantu meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan
dana yang tersedia. Mutu hidangan yang dimasak tergantung dari keadaan fisik
dan kualitas bahan makanan yang dibeli. Prosedur pembelian dapat dilakukan
secara tender maupun penunjukkan langsung (Depkes, 1999).
Penerimaan bahan makanan adalah kegiatan yang meliputi pemeriksaan,
penimbangan, pencatatan, pengambilan keputusan dan pelaporan mengenai
jumlah bahan makanan menurut permintaan atau pesanan (Mukrie & Nursiah,
1983). Dalam penerimaan diperhatikan juga jumlah, jenis, ukuran kualitas bahan
dan batas waktu kadaluarsa (Moehyi, 1992).
Persiapan bahan makanan merupakan suatu pros es dalam rangka
menyiapkan bahan makanan dan bumbu-bumbu yang siap untuk dimasak sesuai
dengan standar resep. Depkes (1999) menetapkan beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam kegiatan persiapan bahan makanan adalah (1) melakukan
persiapan bahan makanan berdasarkan tertib kerja dan metode teknik persiapan
bahan makanan dalam standar resep, (2) merencanakan persiapan bahan
makanan dengan memperhatikan waktu dan menu yang digunakan, (3)
peralatan, bahan makanan, dan bumbu-bumbu dikumpulkan sesuai dengan
menu yang akan diolah dan diatur secara baik sehingga memudahkan dalam
melakukan pekerjaan, (4) mempergunakan peralatan yang sesuai dengan
pekerjaan, (5) perlengkapan dan peralatan disusun sedemikian rupa dalam
daerah pekerjaan sesuai dengan tugas, (6) mempergunakan peralatan dengan
baik dan benar untuk menghindari kecelakaan kerja, (7) memperhatikan urutan
langkah- langkah kerja sesuai dengan metode teknik persiapan, (8) meja kerja,
perlengkapan dan peralatan segera dibersihkan dan disusun setelah digunakan.
Pengolahan Bahan Makanan
.
Memasak adalah suatu pengetahuan dan seni yang sudah dikenal sejak
zaman dahulu, untuk menghasilkan makanan yang berkualitas dan dapat
memenuhi selera konsumen. Makanan yang disajikan harus dapat merangsang
kelenjar ludah, mata, lidah dan dan perasaan sehingga makanan yang diproduksi
sedap dipandang dan mempunyai citarasa yang lezat. Kesalahan dalam urutan
dan pencampuran bumbu akan menghasilkan makanan yang tidak menarik.
Untuk dapat menghasilkan makanan yang berkualitas tinggi memerlukan
persiapan dan diolah dengan cara yang tepat, proporsi bahan penyusun yang
seimbang, bervariasi, disajikan dengan menarik serta standar sanitasi yang tinggi
(Depkes, 1999).
Dalam pengolahan bahan makanan terdapat dua kegiatan yaitu
persiapan dan pemasakan bahan makanan. Tahap ini perlu mendapat perhatian
karena kehilangan sering terjadi pada saat bahan pangan mengalami proses
pengolahan (Hardinsyah & Briawan, 1994). Persiapan sebaiknya dilakukan
dengan baik agar makanan kelihatan menarik, nilai gizi tidak berkurang. Tujuan
pemasakan bahan makanan adalah mempertahankan nilai gizi makanan,
meningkatkan mutu cerna, mempertahankan dan menambah rasa, memperindah
rupa, warna dan tekstur makanan.
Pendistribusian/ Penyajian Makanan
.
Dalam menerapkan prosedur distribusi, dikenal dua cara pendistribusian
makanan kepada klien, yaitu cara sentralisasi dan desentralisasi (Moehyi, 1992).
1. Cara sentralisasi
Dengan cara ini maka semua kegiatan pembagian makanan dipusatkan pada
suatu tempat (centralized). Sebelum memilih cara sentralisasi ini, maka
manajer/penanggung jawab penyediaan makanan sudah harus
memperhitungkan konsekuensi yang harus diadakan seperti luas tempat,
peralatan, tenaga dan kesiapan manajemen yang menyeluruh. Sistem
sentralisasi sesuai untuk institusi besar yang memiliki tenaga yang terbatas.
Pegawai hanya diperlukan di dapur dan ruang makan saja, karena klien bisa
langsung mengambil makanan ke ruang makan tidak perlu diantar ke tiap
ruang klien. Sehingga pegawai untuk pendistribusian atau pengantar
makanan dapat ditiadakan.
2. Cara desentralisasi
Cara desentralisasi adalah suatu cara pendistribusian makanan. Dengan
cara ini fokus kegiatan masih tetap berada di unit pembagian utama,
kemudian langkah selanjutnya adalah menata makanan dalam alat-alat
makan perorangan yang telah disediakan di pantry/dapur ruangan. Sistem ini
jelas membutuhkan pantry/pos pelayanan makan sementara yang berfungsi
untuk menghangatkan kembali makanan, membuat minuman/sejenisnya,
menyiapkan peralatan makan bersih, menyajikan makanan sesuai dengan
porsi yang ditetapkan, meneliti macam dan jumlah makanan, serta membawa
hidangan kepada klien.
Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dan pelaporan merupakan serangkaian kegiatan
mengumpulkan data kegiatan pengelolaan makanan dalam jangka waktu
tertentu, untuk menghasilkan bahan bagi penilaian kegiatan pelayanan makanan.
Kegiatan pencatatan pelaporan diperlukan agar semua pekerjaan atau
kegiatan dapat terlaksana sesuai dengan rencana dan tercapai secara berdaya
guna dan berhasil guna. Kegiatan pencatatan dan pelaporan merupakan salah
satu bentuk dari pengawasan dan pengendalian. Pencatatan dilakukan setiap
langkah kegiatan yang dilakukan, sedangkan pelaporan dilakukan secara berkala
sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2003).
Analisis SWOT
Lingkungan adalah salah satu faktor penting untuk menunjang
keberhasilan suatu program. Untuk membuat dan menentukan tujuan, sasaran
dan strategi yang diambil maka diperlukan suatu analisis mendalam serta
menyeluruh mengenai lingkungan (Wahyudi, 1996). Lingkungan tersebut dibagi
menjadi dua, yaitu lingkungan internal dan eksternal. Untuk menunjang
keberhasilan program suatu panti dengan adanya kedua lingkungan tersebut
dapat dilakukan analisis, salah satunya dengan analisis SWOT.
Menurut Siagian (1995), SWOT merupakan akronim dari Strength
(kekuatan), Weakness (kelemahan), Opportunity (peluang) dan Threat
(ancaman). Analisis SWOT dapat merupakan instrumen untuk memaksimalkan
peranan faktor yang bersifat positif, meminimalisasi kelemahan yang terdapat
dalam tubuh organisasi dan menekan dampak ancaman yang timbul dan harus
dihadapi. Jika para penentu strategi panti mampu melakukan hal tersebut
dengan tepat, maka upaya untuk memilih dan menentukan strategi akan
membuahkan hasil yang diharapkan (Siagian, 1995).
SWOT merupakan pendekatan diagnosis dari analisis strategi, yang
terdiri atas faktor internal dan faktor eksternal untuk mengidentifikasi masalah
(potensi) secara konseptual, yaitu dengan mengoptimasi sumberdaya yang
dimiliki (pemecahan masalah) suatu unit kerja pada posisi dari setiap segmen
kegiatan. Analisis SWOT dapat digunakan untuk memformulasikan, membuat
rekomendasi dan memperoleh pemahaman yang jelas terhadap suatu
permasalahan sehingga dapat diambil tindakan manajemen yang tepat dan
konkret (Rangkuti, 1999).
Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal (Peluang dan
Ancaman) dengan faktor internal (Kekuatan dan Kelemahan) untuk merumuskan
strategi (Rangkuti, 1999). Perbandingan antara faktor internal dan faktor
eksterna l dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Lembar Kerja SWOT
Analisis SWOT merupakan penyesuaian atau perpaduan antara sarana ETOP
dengan SAP (Glueck dan Jauch, 1992).
Berikut ini disajikan uraian lebih lanjut tentang analisis yang dapat digunakan
dalam melakukan analisis lingkungan. Analisis SWOT dan analisis yang
dilakukan dalam ETOP dan SAP dapat diuraikan seperti di bawah ini:
Kekuatan (Strength)
Menurut Stahl dan Grigsby (1992), kekuatan adalah segala faktor internal
dalam perusahaan yang memiliki keunggulan relatif terhadap pelanggan.
Faktor-faktor kekuatan yang dimiliki oleh perusahaan termasuk satuan-satuan
didalamnya antara lain kompetensi khusus yang terdapat dalam organisasi.
Kelemahan (Weakness)
Menurut Siagian (1995), jika orang berbicara tentang kelemahan yang
terdapat dalam tubuh suatu satuan bisnis, maka yang dimaksud ialah
keterbatasan atau kekurangan dalam sumber, keterampilan dan kemampuan
yang menjadi penghalang serius bagi penampilan kinerja organisasi yang
memuaskan. Dalam praktek, berbagai keterbatasan dan kemampuan tersebut
bisa terlihat pada sarana yang dimiliki atau tidak dimiliki dan kemampuan
manajerial yang rendah.
Faktor Internal Faktor Eksternal Kekuatan 1. - - n Peluang 1. - - n Kelemahan 1. - - n Ancaman 1. - - n