9 A. Landasan Teori
1. Lembaga Keuangan
a. Pengertian Lembaga Keuangan
Lembaga keuangan adalah badan usaha yang kekayaannya terutama berbentuk aset keuangan (financial assets) atau tagihan (claims) dibandingkan dengan aset non keuangan (non financial assets) (Latumaerissa, 2017). Lembaga keuangan juga menawarkan berbagai jenis jasa keuangan secara luas, diantaranya: simpanan, kredit, program pension, penyediaan mekanisme pembayaran dan mekanisme transfer dana.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa, lembaga keuangan adalah sebagai lembaga yang menjembatani antara kelompok masyarakat yang kelebihan dana dan kelompok msayarakat yang kekurangan dana, atau bisa disebut juga lembaga intermediasi keuangan. b. Pengelompokkan Lembaga Keuangan
Secara umum lembaga keuangan dapat dikelompokkan dalam dua bentuk, yaitu bank dan bukan bank. Melihat dari kegiatan utama dari lembaga keungan adalah menarik uang dari masyarakat dan menyalurkan kepada masyarakat, maka perbedaan bank dan lembaga keuangan bukan bank dapat dilihat melalui kegiatan utama mereka tersebut. Perbedaan dari kedua bentuk lembaga keuangan tersebut dapat digambarkan dalam tabel dibawah ini:
Tabel 2.1
Perbandingan Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank
Kegiatan
Lembaga Keuangan
Bank Bukan Bank
Penghimpunan Dana
1. Secara langsung berupa simpanan dana masyarakat (tabungan, giro, deposito), dan 2. Secara tidak langsung
dari masyarakat (kertas berharga, penyertaan, pinjaman atau kredit dari lembaga lain)
1. Hanya secara tidak langsung dari masyarakat (terutama melalui kertas berharga, dan bisa juga dari penyertaan, pinjam atau kredit dari lembaga lain) Penyaluran Dana
1. Untuk tujuan modal kerja, investasi, konsumsi
2. Kepala badan usaha dan individu
3. Untuk jangka pendek, menengah, dan panjang
1. Terutama untuk tujuan investasi 2. Terutama kepada badan usaha 3. Terutama untuk jangka menengah dan panjang
Sumber: utamisantoso dan Nuritomo (2017)
Dalam tabel diatas menjelaskan bahwa ada dua perbedaan antara lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank, perbedaan yang paling utamanya yaitu pada aktivitas penghimpunan dana dan aktivitas penyaluran dana. Dalam aktivitas penghimpunan dana, secara jelas disebutkan bahwa bank dapat menghimpun dana baik secara langsung maupun tidak langsung dari masyarakat, sedangkan dalam lembaga keuangan bukan bank hanya dapat menghimpun dana secara tidak langsung dari masyarakat. Dalam aktivitas penyaluran dana juga, di dalam tabel diatas memberikan perbedaan, bahwa Bank dalam menyalurkan dana itu bertujuan untuk modal kerja, investasi, dan konsumsi, sedangkan lembaga keuangan bukan bank tujuan utamanya yaitu untuk investasi.
c. Peran Lembaga Keuangan
Lembaga keuangan baik bank maupun bukan bank mempunyai peran penting bagi aktivitas perekonomian. Peran strategi bank dan lembaga keuangan bukan bank tersebut sebagai wahana yang mampu menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan dana kepada masyarakat secara efektif dan efisiens kearah peningkatan taraf hidup rakyat, misalnya berbentuk kredit, surat-surat berharga, giro dan aktiva produktif lainnya (Suwiknyo, 2009).
d. Fungsi Lembaga Keuangan
Dalam kenyataannya fungsi lembaga keuangan sangat luas cakupannya namun dalam faktanya terdapat beberapa fungsi pokok lembaga keuangan diantaranya, sebagaimana yang terlihat dalam gambar dibawah ini:
Gambar 2.1 Fungsi-Fungsi Lembaga Keuangan
Sumber: Latumaerissa (2017)
Menurut Soemitra (2009), fungsi lembaga keuangan bisa dilihat dari empat aspek, diantaranya:
1) Fungsi lembaga keuangan yang dilihat dari sisa jasa-jasa penyediaan financial, diantaranya yaitu:
a) Fungsi tabungan. Sistem pasar keuangan dan lembaga keuangan menyediakan instrumen untuk tabungan bagi masyarakat yang kelebihan dana setelah pemenuhan kebutuhan dasar (konsumsi).
Fungsi Asuransi Fungsi Kepercayaan Fungsi Perantara Fungsi Penjaminan Fungsi Tabungan Fungsi Kredit Fungsi Investasi Fungsi Manajemen Kas Fungsi Pembayaran Fungsi Lembaga Keuangan
b) Fungsi menyimpanan kekayaan, maksudnya dengan cara menahan nilai aset yang dimiliki di samping itu menerima pendapatan dalam jumlah tertentu, dalam bentuk giro, obligasi dan instrumen keuangan lainnya yang diperjual belikan di pasar uang dan di pasar modal yang menjanjikan suntu pendapatan dengan resiko tertentu. c) Fungsi transmutasi kekayaan, maksudnya lembaga keuangan mempunyai aset dalam bentuk janji-janji yang memberikan imbalan kepada pemilik dana, yang berupa pemibiayaan atau kredit yang diberikan kepada unit deficit dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kesepakatan.
d) Fungsi likuiditas. Likuiditas berkaitan dengan kemampuan memperoleh uang tunai pada saat dibutuhkan. Kekayaan yang disimpan dalam bentuk instrumen keuangan dapat dengan mudah dicairkan melalui mekanisme pasar keuangan. Obligasi atau saham dan instrumen keuangan lainnya menjanjikan keuntungan dengan resiko relatif kecil. Pasar uang dan pasar modal menyediakan suatu cara untuk mengubah instrumen-instrumen tersebut menjadi uang tunai. Maka dari lembaga keuangan depositori menyediakan berbagai alternatif instrumen simpanan yang memiliki tingkat likuiditas yang tinggi.
e) Fungsi pembiayaan atau kredit. Pasar keuangan menyediakan pembiayaan/kredit untuk membiayai kebutuhan konsumsi dan investasi dalam ekonomi.
2) Fungsi lembaga keuangan yang dilihat dari sisi kedudukan lembaga keuangan dalam sistem perbankan itu berfungsi sebagai bagian yang terintegrasi dari unit-unit yang diberi kebebasan atau memiliki wewenang dana mengeluarkan uang giral (penciptaan uang) atau pun deposito (time deposits).
3) Fungsi lembaga keuangan yang dilihat dari dari sisi kedudukan lembaga keuangan dalam sistem moneter, yang berfungsi untuk menciptakan uang (money). Bertujuan untuk menjaga stabilitas dari
mata uang baik secara internal maupun eksternal, sehingga pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tercapai.
4) Fungsi lembaga keuangan yang dilihat dari sisi kedudukan lembaga keuangan dalam sistem finansial, yang berfungsi sabagai jaringan yang terintegritas dari seluruh lembaga keuangan yang ada dalam sistem ekonomi dan yang terdiri dari sistem perbankan, sistem moneter dan lembaga keuangan lainnya seperti lembaga pembiayaan, asuransi, modal ventura dan lain-lain.
2. Bank
a. Pengertian Bank
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Pasal 1, yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya ke masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Bank merupakan lembaga keuangan yang fungsi utamanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan dana kepada masyarakat, dan juga memberikan pelayanan-pelayanan dalam bentuk jasa-jasa perbankan (Ismail, 2010).
Gambar 2.2 Fungsi Utama Bank
Dari gambar diatas, bank memiliki tiga fungsi utama, yaitu melakukan aktivitas dalam menghimpun dana kepada pihak ketiga, aktivitas penyaluran dana kepada pihak yang membutuhkan dana, dan aktivitas bank dalam memberikan layanan jasa kepada masyarakat. Dari
BANK
Penyaluran Dana Pelayanan Jasa Penghimpunan Dana
ketiga fungsi tersebut bank dapat mengembangkan dalam berbagai macam produk bank, yaitu (Sumar’in, 2012):
1) Produk bank yang terkait dengan penghimpunan dana, seperti dalam bentuk simpanan dan investasi, diantaranya: giro, Tabungan, dan Deposito berjangka.
2) Produk bank yang terkait dengan penyaluran dana dalam bentuk kredit atau pinjaman.
3) Produk bank yang terkait dengan pelayanan jasa, berupa: jasa pengiriman uang (transfer), pemindah bukuan, negosiasi wesel ekspor, penagihan warkat kliring dan lain-lain.
Menurut Latumaerissa (2017) umumnya bank didefinikan sebagai:
1) Suatu badan usaha yang kegiatan utamanya adalah menerima simpanan dari masyarakat dan atau pihak yang lainnya, kemudian dana tersebut dialokasikan kembali untuk memperoleh keuntungan serta menyediakan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran.
2) Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan mengeluarkan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
3) Bank adalah suatu industri yang bergerak dibidang kepercayaan yang menghubungkan debitur dan kreditur dana.
Berdasarkan definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Bank adalah badan usaha yang kegiatannya melakukan penghimpunan dana dalam bentuk simpanan, dananya berasal dari masyarakat yang kelebihan dana atau masyarakat yang menabung dan atau menitipkan dananya kepada bank, dan menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkan dana dalam bentuk kredit atau pinjaman dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
b. Fungsi Bank
Fungsi utama dari Bank yaitu sebagai penghimpun dana dan penyaluran dana masyarakat (Tri Isma, 2016). Berikut penjelasannya (Ismail, 2011):
1) Menghimpun Dana dari Masyarakat
Fungsi bank yang pertama adalah menghimpun dana dari masyarakat yang berbentuk simpanan (uang), karena masyarakat mempercai bank sebagai tempat yang aman untuk menyimpan dananya. Keamanan atas dana (uang) yang disimpannya di bank merupakan faktor yang penting bagi masyarakat. Selain rasa aman, tujuan yang lainnya yaitu sebagai wadah untuk melakukan investasi. Dengan begitu masyarakat mendapatkan keuntungan yang berupa
return dari simpanan yang besarnya tergantung pada kebijakan
masing-masing bank.
Return merupakan keuntungan yang diperoleh nasabah dari
sejumlah dana yang disimpan dibank yang diberikan oleh pihak bank kepada msayarakat dalam bentuk bunga simpanan untuk bank konvensional atau bagi hasil yang diberikan oleh bank syariah. 2) Menyalurkan Dana dari Masyarakat
Fungsi yang kedua bank adalah menyalurkan dana kepada masyarakat yang membutuhkan dana. Menyalurkan dana kepada masyarakat yang membutuhkan dana merupakan aktivitas bank yang sangat penting bagi bank, karena dengan begitu bank mendapatkan dana dari aktivitas penyaluran dana tersebut dan merupakan pendapatan yang terbesar dari setiap bank. Pendapatan yang diperoleh bank berupa pendapatan bunga untuk bank konvensional, dan bagi hasil atau lainnya untuk bank syariah.
Penyaluran dana yang diberikan oleh pihak bank itu berupa kredit untuk bank konvensional dan atau pembiayaan untuk bank syariah dan aktivitas tersebut menempati porsi aset yang terbesar dari setiap bank.
3) Pelayanan Jasa Perbankan
Fungsi yang ketiga bank adalah memberikan pelayanan jasa perbankan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam melakukan aktivitasnya. Produk pelayan yang diberikan oleh bank itu dalam bentuk jasa pengiriman uang (transfer), pemindah bukuan, penagihan surat-surat berharga, kliring, leter of Credit¸ inkaso, garansi bank dan pelayanan jasa lainnya. Dari aktivitas tersebut diharapkan dapat meningkatkan pendapatan bank yang berasal dari fee atas pelayanan jasa tersebut. Salah satu pelayanan yang telah dikembangkan oleh bank diantaranya ATM bersama, RTGS (Real Time Gross Settlement), intecity kliring, SKN (Sitem Kliring Nasional), Internet banking, sms banking, dan produk pelayanan jasa lainnya.
c. Jenis-jenis Bank
Menurut Darmawati (2014), apabila dilihat dari prinsip kerjanya, maka dalam sistem perbankan Indonesia dapat dibedakan atas: Bank konvensional meliputi bank umum dan BPR yang menggunakan sistem “bunga uang” sebagai dasar kegiatannya, dan bank syariah meliputi bank umum dan BPR syariah yang dalam kegiatannya menggunakan prinsip “jual-beli” dan prinsip “bagi hasil” atau sesuai dengan akad yang disepakati pada awal perjanjian.
Gambar 2.3
Struktur Perbankan Indonesia
Menurut Kasmir (2013), perbedaan jenis perbankan dapat ditinjau dari segi fungsi bank, serta kepemilikan bank tersebut. Misalkan
Bank Sentral Indonesia
Bank-Bank Perkreditan Rakyat
Bank Umum Non Devisa Bank-Bank Umum
dalam segi fungsi perbedaan yang terletak pada luasnya kegiatan ataupun jumlah produk yang ditawarkan oleh bank tersebut maupun jangkauan wilayah operasinya. Lalu dari kepemilikan perusahaan yang dilihat dari pemilik saham yang ada serta akte pendirinya, contohnya bank pemilik yang dimiliki oleh pemerintah seperti Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan bank-bank lainnya. Perbedaan yang lainnya yaitu bisa dilihat dari segi statusnya, maksudnya siapa nasabah yang mereka layani apakah masyarakat luas atau masyarakat dalam lokasi tertentu (kecamatan) seperti Bank Devisa (bank yang melakukan transksi ke luar negeri) dan Bank Non Devisa (bank yang melakukan transaksinya di dalam negeri atau transaksinya dilakukan masih dalam batas-batasan negara). Dan jenis perbankan juga dibagi dalam caranya menentukan harga jual dan harga beli.
d. Sumber Dana Bank
Sumber dana bank adalah dana yang dimiliki oleh bank untuk membiayai kegiatan operasinya, dimana kegiatan sehari-harinya adalah bergerak dibidang keuangan, maka dari itu sumber-sumber dananya pun berkaitan dengan bidang keuangan. Berikut adalah jenis sumber-sumber dana bank:
1) Dana yang bersumber dari bank itu sendiri (Kasmir, 2010).
a) Setoran modal dari pemegang saham, maksudnya pemilik saham dapat menyetorkan dana tambahannya atau membeli saham yang dikeluarkan perusahaan tersebut.
b) Cadangan-cadangan bank, maksudnya terdapat cadangan-cadangan laba pada tahun lalu yang tidak diberikan atau dibagikan kepada masing-masing pemegang sahamnya. Cadangan ini sengaja disediakan untuk mengantisipasi laba tahun yang akan datang atau bisa juga disebut sebagai kas.
c) Laba bank yang belum dibagi, merupakan laba yang belum dibagikan atau di berikan kepada pihak yang bersangkutan, sehingga bisa dimanfaatkan sebagai modal untuk sementara waktu.
Keuntungan yang diperoleh dari sumber ini yaitu tidak perlu membayar bunga atau yang relatif besar dari pada meminjam uang dari lembaga lainnya. Sedangkan kerugian dari sumber ini adalah waktu yang diperlukan untuk memperoleh dana dalam jumlah yang besar membutuhkan waktu yang cukup lama, karena untuk menjual saham bukanlah hal yang mudah.
2) Dana yang bersumber dari masyarakat a) Simpanan Giro
Menurut Undang-undang Bank Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, simpanan giro merupakan simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan syarat menggunakan cek, bilyet giro, sarana pemerintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindah bukuan.
Maksud dari penarikannya dapat dilakukan setiap saat adalah uang yang sudah disimpan direkening giro tersebut dapat ditarik berkali-kali dalam sehari dengan syarat dana yang tersimpan masih mencukupi (Kasmir, 2012). Kemudian memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh bank tersebut, seperti keabsahan alat penarikannya.
b) Simpanan Tabungan
Menurut Undang-undang Bank Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, bahwa simpanan tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang di sepakati, tetapi tidak bisa ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu (Yaya at all., 2014). Namun dalam penarikannya terdapat alat-alat tertentu sehingga masyarakat dapat mengambil atau menyimpan atau menstransfer dana tersebut sesuai dengan persyaratan masing-masing bank. Alat-alat yang dimaksud diantaranya buku tabungan, slip penarikan, kartu yang tebuat dari plastik atau yang bisa kita kenali dengan nama ATM (Anjungan Tunai Mandiri), dan kombinasi, maksudnya penarikan tabungan
dapat dilakukan dengan kombinasi antara buku tabungan dan slip penarikan (Kasmir, 2012).
c) Simpanan Deposito
Deposito atau simpanan berjangka merupakan simpanan dana dari masyarakat dan dalam penarikan dananya dapat dilakukan pada waktu tertentu sesuai dengan tanggal yang telah ditentukan atau yang telah disepakati antara nasabah dan pihak bank (Sukmayani at all., 2008).
Jika nasabah menarik atau mengambil dananya tidak sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan atau disepakati pada awal akad maka nasabah akan mendapatkan denda.
3) Dana yang bersumber dari lembaga lain
Dana yang berasal atau yang bersumber dari lembaga lain seperti lembaga keuangan bank atau pun non bank, yaitu dana yang didapat dari pinjaman antar bank maupun pinjaman dari lembaga keuangan non bank (Suangkupon at all., 2014).
e. Tugas Bank
Undang-undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 2004 Pasal 8, tugas bank sebagai berikut:
1) Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; 2) Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; 3) Mengatur dan mengawasi bank.
3. Bank Syariah
a. Pengertian Bank Syariah
Bank yang beroperasi berdasarkan dengan prinsip-prinsip syariat Islam (Kurniasari, 2013), maksudnya adalah bank yang dalam melakukan kegiatan operasinya mengikuti ketentuan hukum Islam yang berpegang pada firman Allah dan hadist Rasulullah, khususnya dalam hal tata cara bermuamalah secara Islam dan bank ini beroperasi dengan prinsip bagi hasil dan menggunakan prinsip saling tolong-menolong (ta’awun).
Berdasarkan Undang-Undang Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 pasal 1 ayat 12, tentang prinsip syariah yaitu aturan perjanjian perdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan yang barang modal berdasarkan prinsip sewa menyewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan cara adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewakan dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa
iqtina).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan, bank syariah merupakan bank yang tidak menggunakan bunga atau riba melainkan menggunakan prinsip bagi hasil, margin dan ujrahi, serta menggunakan prinsip saling tolong-menolong (ta’awun). Seperti yang terkandung dalam firman Allah SWT, yaitu QS. Al-Baqarah ayat 275:
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali
(mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
b. Asas Bank Syariah
Bank syariah dalam melakukan usahanya berasaskan (Mardani, 2017):
1) Prinsip Syariah
Dalam kegiatan usanya berasaskan prinsip syariah, diantaranya kegiatan yang tidak mengandung unsur:
a) Riba, yaitu penambahan pendapatan yang tidak sah atau batil, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjaman-pinjaman secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
b) Maisir, yaitu transaksi yang tidak pasti dan untung-untungan, bisa disebut juga sebagai perjudian.
c) Gharar yaitu sebuah jual-beli yang mengandung unsur ketidak pastian (jahalah) atau ketidak tahuan antara dua pihak yang bertransakasi (Huda dan Heykal, 2010).
d) Haram yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah. e) Zalim yaitu transaksi yang mengakibatkan ketidak adilan bagi
pihak lain atau pihak lain yang merasa di kecewakan. 2) Demokrasi Ekonomi
Demokrasi ekonomi merupakan kegiatan ekonomi syariah yang didalamnya mengandung pemerataan, keadilan dan kemanfaatan bagi semua orang.
3) Prinsip Kehati-hatian
Merupakan pedoman bagi yang wajib diterapkan sehingga mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan efesiensi yang sesuai dengan ketentuan peraturan undang-undang yang berlaku.
Selain itu harus memenuhi prinsip syariah, diantaranya: a) Prinsip keadilan (‘adl), yaitu memberikan atau menempatkan
sesuatu pada tempatnya yang memiliki haknya.
b) Prinsip keseimbangan (tawazun), yaitu yang meliputi aspek privat dan publik, aspek bisnis dan sosial, aspek pemanfaatan dan kelestarian, dan sebagainya.
c) Prinsip kemaslahatan (maslahah), yaitu segala bentuk kebaikan yang berdimensi pada duniawi dan ukhrawi, individual dan kolektif, material dan spiritual serta harus memenuhi tiga unsur, diantaranya kepatuhan (halal), bermanfaat dan membawa kebaikan (toyib), dan semua aspek yang tidak mengandung kemudharatan. d) Prinsip universalisme (alamiyah), adalah sesuatu yang dapat
dilakukan oleh semua orang tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan, yang sesuai dengan kerahmatan bagi alam semesta (rahmatal lil ‘alamin).
c. Tujuan Bank Syariah
Menurut Undang-Undang Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 3 tentang Perbankan Syariah, tujuan bank syariah yaitu untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
Tujuan lain dari bank syariah diantaranya untuk mencapai kesuksesan yang hakiki dalam perekonomian yang dibuktikan dengan tercapainya kesejahteraan yang mencangkup kebahagiaan serta kemakmuran (material) pada tingkat individu dan masyarakat (Ikatan Bankir Indonesia, 2015).
d. Fungsi Bank Syariah
Perbankan syariah memiliki tiga fungsi utama, diantaranya (Syahputra, 2015):
1) Menghimpunan dana dari masyarakat yang kelebihan dana. Bank syariah mengimpun dana dari masyarakat dalam bentuk titipan dengan menggunakan akad Al-Wadiah dan dalam bentuk investasi dengan menggunakan akad Al-Mudharabah.
2) Menyalurkan dana kepada masyarakat yang membutuhkan (user of
fund). Masyarakat dapat memperoleh pembiayaan dari bank syariah
dengan syarat dapat memenuhi semua ketentuan dan persyaratan yang berlaku.
3) Memberikan pelayanan jasa perbankan. Pelayanan jasa yang diberikan bank syariah ini dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam menjalankan aktifitasnya. Pelayanan jasanya yang diberikan berupa jasa pengiriman uang (transfer), pemindah bukuan, penagihan surat berharga, kliring, letter of credit, inkaso, garansi bank, dan pelayanan jasa bank lainnya.
e. Produk dan Jasa Bank Syariah
Menurut Karim (2013), Produk yang ditawarkan oleh bank syariah dapat dibedakan menjadi tiga bagian, diantaranya:
1) Produk penghimpunan dana (funding)
Pada dasarnya, penghimpunan dana di Bank Syariah berupa giro, tabungan dan deposito. Namun dalam prinsip operasionalnya dapat diterapkan dengan prinsip sebagai berikut:
a) Prinsip wadiah b) Prinsip mudharabah
2) Produk penyaluran dana (financing)
Dalam penyaluran dana kepada nasabah, produk pembiayaan dibagi menjadi beberapa kategori sesuai dengan tujuan penggunaannya, yaitu:
a) Pembiayaan dengan prinsip jual-beli (Ba’i)
Transaksi jual-beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayaran dan waktu penyerahan barangnya, diantaranya (Rosyadi, 2017): (1) Murabahah (mark-up financing), jual beli barang dengan
harga asal ditambah dengan keuntungan (margin) yang disepakati.
(2) Salam, merupakan jual beli barang pesanan antara pembeli (muslam) dan penjual (muslam alaihi) dimana harga dibayar dimuka, barang penyerahannya menyusul sesuai dengan kesepakatan.
(3) Istishna’, merupakan jual beli antara pemesan dan penerima pesanan atas sebuah barang dengan spesifikasi tertentu.
b) Pembiayaan dengan prinsip sewa (ijarah), merupakan jenis akad untuk mengambil manfaat dari suatu barang dengan kompensasi tanpa ada pemindahan kepemilikan (Muslim, 2015).
c) Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (syirkah)
Produk pembiayaan syariah dalam prinsip bagi hasil atau syirkah dibagi menjadi beberapa, diantaranya yaitu:
i) Pembiayaan Musyarakah, yaitu akad kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk melakukan suatu usaha yang halal dan produktif yang nantinya apabila terjadi resiko akan ditanggung oleh kedua belah pihak berdasarkan prosi kerja samanya (Hakim, 2012).
ii) Pembiyaan Mudharabah, atau bisa disebut juga profit
sharing/trust financing. Dalam kerjasama ini keseluruhan
dana tersebut berasal dari seorang investor (shahibul maal) atau pemilik dana yang memberikan seluruh dananya kepada seorang pengusaha (mudharib) untuk dikelolah dengan baik. Sedangkan kerugiannya ditanggung oleh investor (shahibul
maal), tetapi nilai kerugiannya berasal dari pengusaha maka
yang bertanggung jawab adalah pengusaha tersebut (mudharib) (Rival at all., 2010).
d) Pembiayaan dengan prinsip akad pelengkap
1) Hiwalah (Alih Utang-Piutang), maksudnya pengalihan utang dari satu pihak yang berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung pembayaran tersebut (No.31/POJK.05/2014). 2) Rahn (Gadai), berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang pergadaian bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh perusahaan pegadaian atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh nasabahnya atau kuasanya, sebagai jaminan atas jaminannya (No.31/POJK.05/2016). 3) Qard, merupakan akad pinjaman dana kepada nasabah dengan
diterima pada waktu yang telah disepakati (Surat Edaran Bank Indonesia, No.17/ 25 /DKMP tanggal 12 Oktober 2015). 4) Wakalah (Perwakilan), menurut Peraturan Otoritas jasa
keuangan bahwa pemberian kuasa dari pemberi kuasa (muwakkil) kepada penerima kuasa (wakil) dalam hal yang boleh diwakilkan, dimana penerima kuasa (wakil) tidak menanggung resiko terhadap apa yang diwakilkan, kecuali karena kecerobohan atau wasprestasi (No.31/POJK.05/2014). 5) Kafalah (Garansi Bank), maksudnya suatu akad yang di
dalamnya berisi tentang pihak penjamin (kafiil/guarantor) yang melakukan perjanjian untuk memberikan jaminan kepada pihak yang diberikan jaminan (makfuul’anhu/ashli/debitur) untuk memenuhi kewajiban pihak yang dijamin kepada pihak lain (Haryani dan Serfianto, 2010). Dalam akad ini jaminannya bisa berupa jaminan kendaraan dan atau jaminan umum, seperti jaminan perusahaan (corporate guarantee), dan jaminan pribadi (personal guarantee).
3) Produk jasa (service)
Selain melakukan fungsinya sebagai penghubung (intermediasi), bank juga menyediakan pelayanan jasa untuk pihak-pihak yang membutuhkan dana (deficit unit) sehingga dari kegiatan itu bank mendapatkan imbalan yang berupa sewa atau keuntungan. Jasa perbankan tersebut diantaranya berupa (Karim, 2013):
a) Sharf, berupa jual beli valuta asing
b) Ijarah (Sewa), dari jenis ini bank menyewakan kontak simpanan (safe deposit box) dan jasa tata laksana administrasi dokumen (costudian) dan dari kegiatan itu bank mendapatkan imbalan dari sewa itu.
4. Bank Konvensional
a. Pengertian Bank Konvensional
Menurut Latumaerissa (2017), Bank Konvensional merupakan Bank yang menjalankan usahanya secara konvensional dan berdasarkan
jenisnya yang terdiri atas Bank Umum Konvensional (BUK) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Bank konvensional adalah bank konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (Sholihin, 2010). Dalam praktiknya, bank konvensional menganggap uang menjadi komoditas atau objek yang diperdagangkan dengan kompensasi berbentuk bunga (Laksmana, 2009).
Jadi bisa kita simpulkan bahwa, bank konvensional adalah bank yang dalam kegiatan usahanya secara konvensional, yang dimana dalam aktivitas penghimpunan dana ataupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan mengenakan imbalan berupa bungan atau sejumlah imbalan yang dalam presentase tertentu dari dana untuk suatu periode tertentu.
b. Aktivitas Bank Konvensional
Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 6/POJK.03/OJK/2016 tentang kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti, bahwa kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank konvensional dikelompokan sebagai berikut: 1) Penghimpunan dana, maksudnya menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk giro, deposito berjangka, tabungan, sertivikat deposito, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. 2) Penyaluran dana, dalam bentuk memberikan kredit kepada
masyarakat yang membutuhkan dana. 3) Pembiayaan perdagangan (trade finance)
4) Kegiatan treasury atau disebut dengan kegiatan unit kerja pendanaan, maksudnya kegiatan yang dilakukan melalui dua sisi yang ada pada neraca bank, yaitu dari sisi pasiva dan sisi aktiva (Leon dan Ericson, 2017).
5) Kegiatan dalam valuta asing. Valuta asing atau bisa disebut juga valas yang artinya mata uang Negara lain (Salim, 2008).
6) Kegiatan kerjasama
8) Kegiatan penyertaan modal sementara dalam rangka pemyelamatan kredit
9) Kegiatan lainnya yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
5. Laporan Keuangan
a. Pengertian Laporan Keuangan
Menurut Wahyudiono (2014), laporan keuangan adalah sebuah alat yang fungsi utamanya sebagai komunikasi utama sebuah perusahaan, karena dengan begitu perusahaan dapat mengkomunikasikan kegiatan proses prediksi ataupun bisnisnya, perusahaan dapat berusaha untuk mencari investor perusahaan yang baru, perusahaan juga dapat mengajukan kredit ke bank untuk mendapatkan pembiayaan baru, bagian instansi pajak juga dapat menerima beberapa alasan perusahaan menjadi rugi sehingga belum bisa membayar pajak alias nihil dan manajer SDM perusahaan pun dapat meyakinkan kepada buruh atau karyawan perusahaan kalau suatu periode perusahaan belum bisa menaikkan gaji.
Laporan keuangan adalah laporan yang menginformasikan tentang posisi keuangan perusahaan yang tersusun sangat secara rinci dan lengkap yang meliputi Neraca, Laba Rugi, Neraca Saldo, dan seterusnya (Priyatno, 2009).
Jadi bisa disimpulkan, bahwa laporan keuangan merupakan laporan yang menginformasikan segala sesuatu tentang keuangan suatu perusahaan yang digunakan oleh pihak internal maupun pihak eksternal perusahaan utuk menilai perkembangan perusahaan tersebut.
b. Tujuan Laporan Keuangan
Tujuan dari laporan keuangan yaitu menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, perubahan posisi keuangan, dan kinerja suatu perusahaan yang sangat bermanfaat bagi sejumlah penggunaan dalam pengambilan suatu keputusan ekonomi (Ikatan Akuntansi Indonesia, 2008). Berikut tujuan lain deri lembaga keuangan (Yadiati dan Mubarok, 2017):
1) Memberikan pelayan informasi kepada para pengguna terutama yang memliki keterbatasan dalam wewenang, ataupun kemampuan untuk mendapatkan informasi tentang kegiatan ekonomi suatu perusahaan. 2) Untuk membantu para investor dan kreditor dalam memberi informasi
untuk mengevaluasi arus kas potensial terkait jumlah, waktu dan keterkaitan.
3) Menyediakan informasi untuk menilai kebaikan dari manajemen yang terkait dengan pemanfaatan kekayaan perusahaan secara efektif sehingga tercapai tujuan utama perusahaan.
4) Menyediakan informasi tentang aktivitas keuangan guna mengevaluasi kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. 5) Menyediakan informasi tentang laporan periodik untuk
membandingkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. c. Manfaat Laporan Keuangan
Menurut Suharli (2009), manfaat laporan keuangan, diantaranya:
1) Memberikan ataupun menyediakan informasi tentang ekonomis suatu perusahaan yang relevan untuk mengambil keputusan untuk investasi maupun kredit yang tepat.
2) Menyediakan informasi tentang media komunikasi bisnis antar manajemen dan bagi pengguna eksternal mengenai posisi keuangan, arus kas perusahaan, dan perubahan posisi keuangan.
3) Memberikan gambaran apa yang dapat diandalkan mengenai kemampuan menghasilkan laba dan arus kas perusahaan.
4) Memberikan gambaran tentang kondisi suatu perusahaan dari satu periode ke periode berikutnya.
Selain itu, ada juga manfaat dari laporan keuangan bagi para investor atau penanaman modal jangka panjang, yaitu untuk melihat peluang dari keuntungan dimasa yang akan datang dan perkembangan usaha serta untuk melihat jaminan yang diberikan atas investasi yang dilakukan, dan manfaat lainnya yaitu bagi masyarakat umum untuk
kesempatan kerja, pendapatan masyarakat dan fasilitas lainnya yang bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya (Amrin, 2009).
d. Unsur-unsur Laporan Keuangan
Berikut adalah beberapa penjelasan tentang unsur-unsur yang ada di dalam laporan keuangan (Hery, 2017):
1) Aset atau aktiva, merupakan manfaat ekonomi yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang, yang diperoleh atau dikendalikan oleh entitas, sabagai dari hasil usaha.
2) Kewajiban adalah hutang masa kini dari suatu entitas yang ditimbulkan dari peristiwa masa lalu.
3) Ekuitas, merupakan kepemilikan residu dalam aset entitas, yang masih tersisa setelah dikurangi dengan kewajiban.
4) Pendapatan atau income, merupakan arus masuk atau peningkatan atas aset dari kewajiban entitas dari pengiriman barang atau aktivitas lainnya yang merupakan kegiatan sentral perusahaan.
5) Beban, merupakan arus keluar aset yang muncul disebabkan oleh pengiriman barang atau aktivitas lainnya yang merupakan kegiatan utama perusahaan.
6) Keuntungan, merupakan kenaikan dari aset bersih yang diakibatkan oleh transaksi luar kegiatan utama atau transaksi yang jarang terjadi dan dari seluruh aktivitas lainnya, dan bukan berasal dari pendapatan atau investasi pemilik.
7) Kerugian, merupakan penurunan dari aset bersih yang diakibatkan oleh transaksi luar kegiatan utama atau transaksi yang jarang terjadi dan dari seluruh aktivitas lainnya, dan tidak termasuk dari beban atau distribusi kepada pemilik.
e. Karakteristik Kualitatif Laporan Kuangan
Terdapat empat karakteristik kualitatif pokok dari laporan kuangan, diantaranya yaitu (Tambuwun dan Sondakh, 2015):
1) Dapat dipahami, maksudnya laporan kuangan yang mempermudah pemahan penggunanya. Pengguna yang dimaksudkan adalah pengguna yang memiliki pengetahuan yang memadai tentang aktivitas
ekonomi dan bisnis, akuntansi, serta memiliki kemauan untuk mempelajari informasi dengan ketentuan yang wajar.
2) Relevan, maksudnya informasi yang dapat mempengaruhi keputusan ekonomi pengguna dengan cara membantu mereka dalam mengevaluasi masa lalu, masa kini, atau masa depan, serta mengoreksi, hasil evaluasi pengguna dimasa lalu.
3) Keandalan, maksudnya informasi yang memiliki kualitas yang handal, tidak menyesatkan, tidak memiliki kesalahan material dan bisa diandalkan penggunanya sebagai penyajian yang tulus serta jujur. 4) Dapat dibandingkan, maksudnya informasi tentang laporan
keuangannya dapat dibandingkan dengan entitas lain untuk mengevaluasi posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan secara relatif.
Dapat disimpulkan, bahwa pengertian dari karakteristik kualitatif laporan keuangan yaitu sebagai ciri khas serta kriteria yang terdapat dalam laporan keuangan untuk membantu pengguna laporan keuangan dalam penggunakan informasi didalamnya untuk mengambil keputusan, sehingga pada saat disajikan tidak ada kesalahan dan secara wajar.
f. Jenis-jenis Laporan Keuangan
Dalam praktiknya jenis-jenis laporan keuangan yang ada sebagai berikut (Shatu, 2016):
1) Laporan laba rugi, digunakan untuk mengetahui keadaan perusahaan apakah dalam keadaan untung atau dalam keadaan rugi.
2) Laporan perubahan modal, merupakan laporan yang menginformasikan keadaan modal perusahaan apakah bertambah atau tidak bertambah.
3) Neraca, merupakan laporan yang digunakan untuk mengetahui jumlah utang, harta, dan modal perusahaan dalam satu periode tertentu. 4) Laporan arus kas, merupakan laporan yang menginformasikan kas
suatu perusahaan, apakah bertambah atau mengurangi dalam satu periode tertentu.
5) Catatan atas laporan keuangan, merupakan laporan yang digunakan untuk menjelaskan secara detail mengenai laporan keuangan.
6. Kesehatan Bank
a. Pengertian Kesehatan Bank
Menurut Budisantoso dan Nuritomo (2017), kesehatan suatu Bank dapat diartikan sebagai kemampuan suatu bank dalam melakukan kegiatan operasional perbankan secara normal dan mampu memenuhi semua kewajibannya dengan baik dengan cara-cara yang sesuai dengan peraturan perbankan yang berlaku. Kegiatan bank tersebut meliputi: 1) Kemampuan dalam menghimpun dana dari masyarakat, dari lembaga
lain, dan dari modal sendiri.
2) Kemampuan dalam mengelolah dana.
3) Kemampuan untuk menyalurkan dana kepada msyarakat.
4) Kemampuan dalam memenuhi kewajiban kepada masyarakat, karyawan, pemilik modal dan pihak lain.
5) Pemenuhan peraturan perbankan yang berlaku.
Bank yang sehat adalah bank yang dapat menjaga dan memelihara kepercayaan masyarakat, dapat menjalankan intermediasi, dapat membantu kelancaran lalu lintas pembayaran serta dapat digunakan oleh pemerintah dalam melaksanakan berbagai kebijakannya, terutama kebijakan moneter (Fitriana at all., 2015). Dengan menjalankan fungsi-fungsi tersebut diharapkan bank dapat memberikan pelayanan dengan baik kepada masyarakat serta bermanfaat bagi perekonomian secara keseluruhan.
Tingkat kesehatan bank merupakan hasil penilitian atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu bank melalui penilaian faktor permodalan, kualitas aset, manajemen, rentabilitas, likuiditas dan sensitifitas terhadap resiko pasar. Penilaian terhadap faktor-faktor tersebut dilakukan melalui penilaian kuantitatif dan atau kualitatif setelah mempertimbangkan usur judgement yang didasarkan atas materialitas dan signifikansi dari faktor-faktor penilian
serta pengaruh dari faktor lainnya seperti kondisi industri perbankan perekonomian nasional (Budisantoso dan Nuritomo, 2017).
Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Pasal 8 Nomor 6/10/PBI/2004 tentang sistem penilaian tingkat kesehatan bank umum, bank wajib melakukan penilaian tingkat kesehatan bank secara triwulan untuk posisi pada bulan Maret, Juni, September dan Desember. Apabila diperlukan Bank Indonesia meminta hasil penilaian tingkat kesehatan bank tersebut secara berkala atau secara sewaktu-waktu untuk posisi penilaian tersebut terutama untuk menguji ketepatan dan kecukupan hasil analisis bank. Penilaian tingkat kesehatan bank dimaksud diselesaikan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah posisi penilaian atau dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh pengawas bank terkait.
Berdasarkan Booklet Perbankan Indonesia (2016) mengenai ketentuan Penilaian Kesehatan Bank Umum, kriteria penetapan peringkat komposit dapat digolongkan menjadi 5 peringkat komposit, yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.2
Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan Bank
Peringkat Komposit
Keterangan
1
Kondisi Bank yang secara umum sangat sehat sehingga dinilai sangat mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya.
2
Kondisi Bank yang secara umum sehat sehingga dinilai mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya.
3
Kondisi Bank yang secara umum cukup sehat sehingga dinilai cukup mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya.
4
Kondisi Bank yang secara umum kurang sehat sehingga dinilai kurang mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya.
5
Kondisi Bank yang secara umum tidak sehat sehingga dinilai tidak mampu menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan faktor eksternal lainnya.
Menurut Surat Edaran Bank Indonesia (2007), semua bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah maka masing-masing komponen pada faktor keuangan (CAELS) memiliki matrik bobot. Berikut adalah tabel matrik bobot penilian faktor keuangan:
Tabel 2.3
Matrik Bobot Penilian Faktor Keuangan
Keterangan Bobot
Peringakat Faktor Permodalan 25% Peringakat Faktor Kualitas Aset 50% Peringakat Faktor Rentabilitas 10% Peringakat Faktor Likuiditas 10% Peringakat Faktor Sensitivitas
Atas Resiko Pasar
5%
Sumber: Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 9/24/DPbs/2007
Bank Indonesia miliki ketentuan kriteria penetapan untuk faktor keuangan dalam metode CAMELS sebagai berikut:
1) Nilai Komposit < 1,5 = Sangat Baik 2) 1,5 ≤ Nilai Komposit < 2,5 = Baik
3) 2,5 ≤ Nilai Komposit < 3,5 = Cukup Baik 4) 3,5 ≤ Nilai Komposit < 4,5 = Kurang Baik 5) 4,5 ≤ Nilai Komposit ≤ 5 = Tidak Baik
Menurut Widari at all., (2017), kesimpulan peringkat komposit diperoleh dengan cara memberikan cheklist pada masing-masing peringkat. Adapun untuk penilaian peringkat sebagai berikut:
a) PK 1 = setiap 1 cheklist dikalikan dengan 5 b) PK 2 = setiap 1 cheklist dikalikan dengan 4 c) PK 3 = setiap 1 cheklist dikalikan dengan 3 d) PK 4 = setiap 1 cheklist dikalikan dengan 2 e) PK 5 = setiap 1 cheklist dikalikan dengan 1
Hasil perkalian dari tiap cheklist dibobotkan dengan cara mempresentasekan masing-masing hasil perhitungan komponen, bobot atau nilai komposit dapat diperoleh dari hasil pembagian dari total nilai komposit actual terhadap total nilai komposit ideal dan dikalikan 100%. Berikut tabel penentuan terhadap peringkat komposit seluruh komponen penilaian digunakan bobot dalam persentase:
Tabel 2.4
Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan Bank dengan Pendekatan Risk-Based Bank Rating (RBBR)
Bobot (%) Peringkat Komposit Keterangan
86 – 100 PK 1 Sangat Sehat
71 – 85 PK 2 Sehat
61 – 70 PK 3 Cukup Sehat
41 – 60 PK 4 Kurang Sehat
< 40 PK 5 Tidak Sehat
Keterangan: PK = Peringkat Komposit Sumber: Riadi at all., (2016)
b. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank dengan CAMELS
Penilaian tingkat kesehatan bank mencangkup penilaian terhadap faktor-faktor CAMELS yang terdiri dari (Budisantoso dan Nuritomo, 2017):
1) Permodalan (Capital)
Penilaian pendekatan kunatitatif dan kualitatif faktor permodalan antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen, yang meliputi:
a) Kecukupan pemenuhan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) terhadap ketentuan yang berlaku;
b) Tren ke depan/proyeksi KPMM;
c) Aset produktif yang diklasifikasikan dibandingkan modal bank; d) Kemampuan bank memelihara kebutuhan penambahan yang
berasal dari keuntungan (laba ditahan); e) Akses kepada sumber permodalan; dan
Dalam menilai aspek permodalan (capital) adalah meliputi permodalan yang ada didasarkan kepada kewajiban penyediaan modal minimum yang dimiliki oleh bank tersebut dan penilaian tersebut didasarkan pada CAR (Capital Adequaci Ratio) yang telah ditetapkann oleh Bank Indonesia (Kasmir, 2013). Perbandingan rasio tersebut dilihat dari rasio modal terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Rasio (KPPM) dan yang sesuai dengan ketentuan pemerintah CAR tahun 1999 minimal harus 8%.
Rasio Capital Adequaci Ratio (CAR) merupakan rasio kinerja bank untuk menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan resiko, misalkan kredit, surat berharga dan tagihan bank lain yang diberikan (Natalina at all., 2012). Rasio CAR merupakan indikator terhadap kemampuan bank untuk menutupi penurunan aktiva sebagai akibat dari kerugian-kerugian bank yang disebabkan oleh aktiva yang mempunyai resiko. CAR (Capital Adequaci Ratio) dirumuskan sebagai berikut (SEOJK No. 14/SEOJK.03/ 2017):
𝐶𝐴𝑅 =𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝐵𝑎𝑛𝑘
Adapun penilaian rasio CAR berdasarkan peraturan Bank Indonesia, yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.5
Kriteria Pengukuran Rasio CAR
Kriteria Peringkat Nilai
CAR ≥ 12% 1 Sangat Sehat
9% ≤ CAR < 12% 2 Sehat
8% ≤ CAR < 9% 3 Cukup Sehat
6% ≤ CAR < 8% 4 Kurang Sehat
CAR < 6% 5 Tidak Sehat
Sumber: Bank Indonesia, Kondifikasi Penilian Tingkat Kesehatan Bank Tahun 2012
2) Kualitas aset (Asset Quality)
Aspek kualitas aset ini menilai jenis-jenis aset yang dimiliki bank (Kurniasari, 2013). Penilaian faktor kualitas aset yang meggunakan rasio NPL (Non Performing Loan) atau NPF (Non
Performing Financing).
Rasio NPL (Non Performing Loan) merupakan rasio kualitas aset yang digunakan oleh bank konvensional. Rasio ini yang menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam mengelolah kredit bermasalah yang diberikan oleh bank (Yulianto at all., 2012). Standar kriteria yang ditentukan oleh Bank Indonesia untuk menjalankan kegiatan operasinya dengan baik jika NPL dibawah 5%. Rasio NPL dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah kredit yang bermasalah dibandingkan dengan total kredit. Berikut adalah rumus NPL (Non Performing Loan) sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia NO. 13/30/DPNP/2011:
𝑁𝑃𝐿 =𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐾𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡 𝐵𝑒𝑟𝑚𝑎𝑠𝑎𝑙𝑎ℎ
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐾𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡 × 100% Keterangan:
Kredit yaitu kredit yang diberikan kepada pihak ketiga dan bukan termasuk dari kredit kepada bank lain. Sedangkan kredit bermasalah yaitu kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet (SEBI NO. 3/30/DPNP/2001).
Sedangkan rasio likuiditas yang digunakan oleh bank syariah adalah NPF (Non Performing Financing). NPF merupakan pembiayaan bermasalah yang terdiri dari pembiayaan yang diklasifikasikan kurang lancar, diragukan dan macet (Saputra, 2016). Semakin tinggi rasio NPF menunjukan kualitas pembiayaan bank syariah yang semakin buruk pembiayaan yang dihadapi. Rumus NPF (Non Performing Financing) sebagai berikut (Saputra, 2016):
𝑁𝑃𝐹 =𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐾𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡 𝐵𝑒𝑟𝑚𝑎𝑠𝑎𝑙𝑎ℎ
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛 × 100%
Adapun penilaian rasio NPL/NPF berdasarkan peraturan Bank Indonesia, yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.6
Kriteria Pengukuran Rasio NPL/NPF
Kriteria Peringkat Nilai
NPL/NPF ≤ 2% 1 Sangat Sehat
2% < NPL/NPF ≤ 5% 2 Sehat
5% < NPL/NPF ≤ 8% 3 Cukup Sehat 8% < NPL/NPF ≤ 11% 4 Kurang Sehat
NPL/NPF> 11% 5 Tidak Sehat
Sumber: Bank Indonesia, Kondifikasi Penilian Tingkat Kesehatan Bank Tahun 2012
3) Manajemen (Management)
Manajemen bertujuan untuk memastikan kualitas dan tingkat kedalaman penerapan prinsip manajemen suatu yang sehat, terutama yang berkaitan dengan manajemen umum, manajemen resiko dan kepatuhan bank yang mempengaruhi perolehan laba (Gustisyaf, 2017).
Menurut Kasmir (2013), bahwa menilai aspek kualitas Manajemen (Management) bisa dilihat dari kegiatan sehari-hari yang dinilai melalui kualitas manajemen, kualitas manusia dalam bekerja, dan dinilai dari segi pendidikan pengalaman karyawannya dalam menangani berbagai masalah. Aspek manajemen ini dapat diukur dengan rasio keuangan yaitu NPM (Net Performing Margin). NPM (Net Performing Margin) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa besar kemampuan suatu bank dalam
menghasilkan net income (laba bersih) dari kegiatan operasional pokoknya (Zahara, 2013).
Menurut Yulianto dan Sulistyowati (2012), mengatakan bahwa Net Performing Margin dihitung dengan cara membagi laba bersih atau Net Income dengan laba usaha atau pendapatan operasional atau Operating Income. Berikut rumus untuk menghitung
Net Performing Margin (Zahara, 2013):
𝑁𝑃𝑀 = 𝑁𝑒𝑡 𝐼𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒
𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑡𝑖𝑛𝑔 𝐼𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒× 100%
Adapun penilaian rasio NPM berdasarkan peraturan Bank Indonesia, yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.7
Kriteria Pengukuran Rasio NPM
Kriteria Peringkat Nilai
NPM ≥100% 1 Sangat Sehat
81%≤ NPM < 100% 2 Sehat
66% ≤ NPM < 81% 3 Cukup Sehat 51% ≤ NPM < 66% 4 Kurang Sehat
NPM < 51% 5 Tidak Sehat
Sumber: Mirdhani & Budiyanto (2014)
4) Rentabilitas (Earning)
Rasio Rentabilitas (Earning) adalah upaya bank dalam menghasilkan laba. Suatu bank yang dikatakan sehat yaitu mempunyai tingkat rentabilitas yang terus meningkat. (Tri Isma., 2015).
Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor rentabilitas antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen meliputi (Budisantoso dan Nuritomo, 2017): a) Imbalan hasil atas aset (Return On Assets-ROA);
ROA (Return On Assets) merupakan rasio keuangan perusahaan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan atau laba sebelum pajak pada tingkat pendapatan, aset dan modal saham tertentu (Novitasari, 2015). Bisa
dikatakan, bahwa ROA ini digunakan untuk megukur kemampuan bank dalam menggunakan aset yang dimiliki untuk menghasilkan laba kotor (SEBI No. 3/30/DPNP 2001).
Menurut Natalina at all. (2012), apabila tingkat rasio ROA suatu bank semakin besar maka semakin besar pula tingkat keuntungan yang diperoleh dan semakin baik pula posisi dari segi penggunaan aset, dan hal ini bisa mencerminkan bahwa bank tersebut semakin produktif. Rasio ROA (Return On Assets) dirumuskan sebagai berikut (SEOJK No. 14/SEOJK.03/2017):
𝑅𝑂𝐴 = 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑆𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘
𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡× 100%
Adapun penilaian rasio ROA berdasarkan peraturan Bank Indonesia, yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.8
Kriteria Pengukuran Rasio ROA
Kriteria Peringkat Nilai
ROA > 1,5% 1 Sangat Sehat
1,25% < ROA ≤ 1,5% 2 Sehat 0,5% < ROA ≤ 1,25% 3 Cukup Sehat 0% < ROA ≤ 0,5% 4 Kurang Sehat
ROA ≤ 0% 5 Tidak Sehat
Sumber: Bank Indonesia, Kondifikasi Penilian Tingkat Kesehatan Bank Tahun 2012
b) Biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO); Rasio Biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) ini digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya (Saputra, 2016). Rasio ini diharapkan kecil, karena biaya yang terjadi diharapkan dapat menutupi dengan pendapatan operasional yang dihasilkan oleh pihak bank (SEBI No.3/30/DPNP/2001). Rasio BOPO dirumuskan sebagai berikut (SEBI NO. 13/30/DPNP/2011):
𝐵𝑂𝑃𝑂 = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙
Adapun penilaian rasio BOPO berdasarkan peraturan Bank Indonesia, yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.9
Kriteria Pengukuran Rasio BOPO
Kriteria Peringkat Nilai
BOPO ≤ 83% 1 Sangat Sehat
83% < BOPO ≤ 85% 2 Sehat
85% < BOPO ≤ 87% 3 Cukup Sehat 87% < BOPO ≤ 89% 4 Kurang Sehat
BOPO > 89% 5 Tidak Sehat
Sumber: Bank Indonesia, Kondifikasi Penilian Tingkat Kesehatan Bank Tahun 2012
Aspek rentabilitas merupakan ukuran untuk mengukur kemampuan suatu bank dalam meningkatkan laba, untuk mengukur tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas yang dicapai oleh bank yang bersangkutan, karena bank yang sehat adalah bank yang memiliki aspek rentabilitas yang terus meningkat (Kasmir, 2013).
5) Likuiditas (Liquidity)
Likuiditas adalah kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban (utang) jangka pendek (Tambuwun dan Sondakh, 2015). Artinya, apabila perusahaan ditagih, maka akan mampu untuk memenuhi utang (membayar) tersebut terutama utang yang sudah jatuh tempo. Rasio yang digunakan adalah Rasio Loan to Deposite
Ratio (LDR) atau Financing to Deposit Ratio (FDR).
Rasio Loan to Deposite Ratio (LDR) merupakan rasio likuiditas yang digunakan oleh bank konvensional, yang digunakan untuk membandingkan antara total kredit dana yang diberikan bank dengan total dana pihak ketiga atau DPK (giro, tabungan, dan jangka pendek lainnya) yang dapat disimpan oleh bank. Maka dari itu rasio LDR, dirumuskan sebagai berikut (SEBI NO. 13/30/DPNP/2011):
LDR = 𝐾𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡
𝐷𝑎𝑛𝑎 𝑃𝑖ℎ𝑎𝑘 𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎× 100%
Sedangkan rasio likuiditas yang digunakan oleh bank syariah adalah Financing to Deposit Ratio (FDR). FDR merupakan rasio
pembiayaan terhadap dana pihak ketiga yang diterima oleh bank, dengan cara membandingkan antara pembiayaan yang disalurkan dengan dana yang dihimpun dari masyarakat sehingga dapat diketahui kemampuan bank dalam membayar kewajiban jangka pendek. Maka
Financing to Deposit Ratio (FDR) dapat dirumuskan sebagai berikut
(Tambuwun dan Sondakh, 2015):
𝐹𝐷𝑅 = 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛
𝐷𝑎𝑛𝑎 𝑃𝑖ℎ𝑎𝑘 𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎× 100%
Adapun penilaian rasio LDR/FDR berdasarkan peraturan Bank Indonesia, yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.10
Kriteria Pengukuran Rasio LDR/FDR Kriteria Peringkat Nilai
LDR/FDR ≤ 75% 1 Sangat Sehat
75% < LDR/FDR ≤ 85% 2 Sehat 85% < LDR/FDR ≤ 100% 3 Cukup Sehat 100% < LDR/FDR ≤ 120% 4 Kurang Sehat
LDR/FDR> 120% 5 Tidak Sehat
Sumber: Bank Indonesia, Kondifikasi Penilian Tingkat Kesehatan Bank Tahun 2012
6) Sensitivitas terhadap risiko pasar (Sensitivity To Market Risk)
Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor sensitivitas terhadap risiko pasar antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen meliputi:
a) Modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengatasi fluktuasi suku bunga dibandingakan dengan potensi kerugian sebagai akibat fluktuasi (adverse movement) suku bunga;
b) Modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengtasi fluktuasi nilai tukar dibandingkan dengan potensi kerugian sebagai akibat fluktuasi (adverse movement) nilai tukar; dan
c) Kecukupan penerapan sistem manajemen risiko pasar.
Menurut Fitriyaningsih (2013), penilaian rasio sensitivitas terhadap resiko pasar dilakukan dengan menilai besarnya kelebihan modal uang digunakan untuk menutup resiko bank dibandingkan
dengan besarnya risiko kerugian yang timbul dari pengaruh perubahan nilai tukar. Dalam menilai sensitivitas terhadap resiko pasar menggunakan rasio MR (market risk) untuk mengukur kemampuan modal bank dalam mengcover risiko yang muncul dari perubahan nilai tukar. Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP/2004 rasio MR (market risk) dirumuskan, sebagai berikut:
𝑀𝑅 = 𝐸𝑘𝑠𝑒𝑠 𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙
𝑃𝑜𝑡𝑒𝑛𝑡𝑖𝑎𝑙 𝐿𝑜𝑠𝑠 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑇𝑢𝑘𝑎𝑟× 100%
Adapun penilaian rasio MR berdasarkan peraturan Bank Indonesia, yaitu sebagai berikut (Fitriyaningsih, 2013):
Tabel 2.11
Kriteria Pengukuran Rasio MR
Kriteria Peringkat Nilai
MR >12% 1 Sangat Sehat
10% ≤ MR < 12% 2 Sehat
8% ≤ MR < 10% 3 Cukup Sehat 6% < MR < 8% 4 Kurang Sehat
MR < 6% 5 Tidak Sehat
Sumber: Bank Indonesia, Kondifikasi Penilian Tingkat Kesehatan Bank Tahun 2012
c. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank dengan RGEC
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, bank wajib melakukan Penilaian Tingkat Kesehatan berdasarkan resiko dengan metode RGEC dengan pedomannya mengacu pada Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/24/DPNP/2011 yaitu:
1) Profil Resiko (Risk Profil)
Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 Pasal 7, profil resiko (risk profil) merupakan penilaian terhadap resiko inheren dan kualitas penerapan manajemen resiko dalam operasional bank yang dilakukan terhadap 8 resiko, yaitu resiko kredit, resiko pasar, resiko likuiditas, resiko operasional, resiko hukum, resiko stratejik, resiko kepatuhan, dan resiko reputasi (Santi Budi Utami, 2015). Penelitian ini mengukur faktor Risk Profile dengan dua
indikator yaitu risiko kredit dengan menggunakan rumus NPL (Non
Performing Loan) atau NPF (Non Performing Financing) dan risiko
likuiditas dengan menggunakan LDR (Loan ToDeposite Ratio) atau FDR (Financing to Deposit Ratio). Berikut penjelasannya:
a) Risiko Akredit dengan Menggunakan Rasio NPL (Non Performing
Loan) atau NPF (Non Performing Financing)
Rasio NPL (Non Performing Loan) merupakan rasio kualitas aset yang digunakan oleh bank konvensional. Rasio ini yang menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam mengelolah kredit bermasalah yang diberikan oleh bank (Agung Y, 2012). Standar kriteria yang ditentukan oleh Bank Indonesia untuk menjalankan kegiatan operasinya dengan baik jika NPL dibawah 5%. Rasio NPL dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah kredit yang bermasalah dibandingkan dengan total kredit. Berikut adalah rumus NPL (Non Performing Loan) sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia No.13/30/DPNP/2011:
𝑁𝑃𝐿 =𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐾𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡 𝐵𝑒𝑟𝑚𝑎𝑠𝑎𝑙𝑎ℎ
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐾𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡 × 100% Keterangan:
Kredit yaitu kredit yang diberikan kepada pihak ketiga dan bukan termasuk dari kredit kepada bank lain. Sedangkan kredit bermasalah yaitu kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet (SEBI No.3/30/DPNP/2001).
Sedangkan rasio likuiditas yang digunakan oleh bank syariah adalah NPF (Non Performing Financing). NPF merupakan pembiayaan bermasalah yang terdiri dari pembiayaan yang diklasifikasikan kurang lancar, diragukan dan macet (Tambuwun dan Sondakh, 2015). Rumus NPF (Non Performing Financing) sebagai berikut (Tambuwun dan Sondakh, 2015):
𝑁𝑃𝐹 =𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐾𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡 𝐵𝑒𝑟𝑚𝑎𝑠𝑎𝑙𝑎ℎ
Adapun penilaian rasio NPL/NPF berdasarkan peraturan Bank Indonesia, yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.12
Kriteria Pengukuran Rasio NPL/NPF Kriteria Peringkat Nilai
NPL/NPF ≤ 2% 1 Sangat Sehat
2% < NPL/NPF ≤ 5% 2 Sehat 5% < NPL/NPF ≤ 8% 3 Cukup Sehat 8% < NPL/NPF ≤ 11% 4 Kurang Sehat
NPL/NPF> 11% 5 Tidak Sehat
Sumber: Bank Indonesia, Kondifikasi Penilian Tingkat Kesehatan Bank Tahun 2012
b) Risiko Likuiditas dengan Menggunakan Rasio LDR (Loan To
Deposite Ratio) atau FDR (Financing to Deposit Ratio)
Rasio Loan to Deposite Ratio (LDR) merupakan rasio likuiditas yang digunakan oleh bank konvensional, yang digunakan untuk membandingkan antara total kredit dana yang diberikan bank dengan total dana pihak ketiga atau DPK (giro, tabungan, dan jangka pendek lainnya) yang dapat disimpan oleh bank. Maka dari itu rasio LDR, dirumuskan sebagai berikut (SEBI No. 13/24/DPNP/2011):
LDR = 𝐾𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡
𝐷𝑎𝑛𝑎 𝑃𝑖ℎ𝑎𝑘 𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎× 100%
Sedangkan rasio likuiditas yang digunakan oleh bank syariah adalah Financing to Deposit Ratio (FDR). FDR merupakan rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga yang diterima oleh bank, maka Financing to Deposit Ratio (FDR) dapat dirumuskan sebagai berikut (Tambuwun dan Sondakh, 2015):
𝐹𝐷𝑅 = 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛
Adapun penilaian rasio LDR/FDR berdasarkan peraturan Bank Indonesia, yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.13
Kriteria Pengukuran Rasio LDR/FDR Kriteria Peringkat Nilai LDR/FDR ≤ 75% 1 Sangat Sehat 75% < LDR/FDR ≤ 85% 2 Sehat 85% < LDR/FDR ≤ 100% 3 Cukup Sehat 100% < LDR/FDR ≤ 120% 4 Kurang Sehat
LDR/FDR> 120% 5 Tidak Sehat
Sumber: Bank Indonesia, Kondifikasi Penilian Tingkat Kesehatan Bank Tahun 2012
2) Good Corporate Governant
Menurut Peraturan Bank Indonesia No.13/1/PBI/2011, bahwa penilaian terhadap Good Corporate Governant (GCG) merupakan penilaian terhadap manajemen bank dilakukan oleh bank berdasarkan sistem self assesment (penilaian sendiri) dan berdasarkan atas pelaksanaan prinsip-prinsip GCG.
Pelaksanaan Good Corporate Governant (GCG) pada perbankan harus berdasarkan 5 (lima) prinsip dasarnya yaitu transparansi (transparancy), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency) dan kewajaran (fairess) (Laporan Tahunan Perbankan, 2015).
Adapun penilaian rasio GCG berdasarkan peraturan Bank Indonesia, yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.14
Kriteria Pengukuran Rasio GCG
Peringkat Nilai 1 Sangat Sehat 2 Sehat 3 Cukup Sehat 4 Kurang Sehat 5 Tidak Sehat
Sumber: Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No. 13/SEOJK.03/2017. 3) Rentabilitas (Earning)
Rasio Rentabilitas (Earning) adalah upaya bank dalam menghasilkan laba. Suatu bank yang dikatakan sehat yaitu
mempunyai tingkat rentabilitas yang terus meningkat (Tri Isma., 2015).
Penilaian pendekatan kuantitatif dan kualitatif faktor rentabilitas antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen meliputi (Budisantoso & Nuritomo, 2017): a) Imbalan hasil atas aset (Return Non Assets-ROA);
ROA (Return On Assets) merupakan rasio keuangan perusahaan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan atau laba sebelum pajak pada tingkat pendapatan, aset dan modal saham tertentu (Novitasari, 2015). Bisa dikatakan, bahwa ROA ini digunakan untuk megukur kemampuan bank dalam menggunakan aset yang dimiliki untuk menghasilkan laba kotor (SEBI No.3/30/DPNP 2001).
Menurut Ary, Widi dan Andi (2012), apabila tingkat rasio ROA suatu bank semakin besar maka semakin besar pula tingkat keuntungan yang diperoleh dan semakin baik pula posisi dari segi penggunaan aset, dan hal ini bisa mencerminkan bahwa bank tersebut semakin produktif. Rasio ROA (Return Non Assets) dirumuskan sebagai berikut (SEOJK No.14/SEOJK.03/2017):
𝑅𝑂𝐴 = 𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑆𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑃𝑎𝑗𝑎𝑘
𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡× 100%
Adapun penilaian rasio ROA berdasarkan peraturan Bank Indonesia, yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.15
Kriteria Pengukuran Rasio ROA
Kriteria Peringkat Nilai ROA > 1,5% 1 Sangat Sehat 1,25% < ROA ≤ 1,5% 2 Sehat 0,5% < ROA ≤ 1,25% 3 Cukup Sehat 0% < ROA ≤ 0,5% 4 Kurang Sehat
ROA ≤ 0% 5 Tidak Sehat
Sumber: Bank Indonesia, Kondifikasi Penilian Tingkat Kesehatan Bank Tahun 2012
b) Biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO); Rasio Biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) ini digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya (Saputra, 2016).
Rasio ini diharapkan kecil, karena biaya yang terjadi diharapkan dapat menutupi dengan pendapatan operasional yang dihasilkan oleh pihak bank (SEBI No.3/30/DPNP/2001). Rasio BOPO dirumuskan sebagai berikut (SEBI NO. 13/30/DPNP/2011):
𝐵𝑂𝑃𝑂 = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙× 100%
Adapun penilaian rasio BOPO berdasarkan peraturan Bank Indonesia, yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.16
Kriteria Pengukuran Rasio BOPO
Kriteria Peringkat Nilai
BOPO ≤ 83% 1 Sangat Sehat
83% < BOPO ≤ 85% 2 Sehat
85% < BOPO ≤ 87% 3 Cukup Sehat 87% < BOPO ≤ 89% 4 Kurang Sehat
BOPO > 89% 5 Tidak Sehat
Sumber: Bank Indonesia, Kondifikasi Penilian Tingkat Kesehatan Bank Tahun 2012
Aspek rentabilitas merupakan ukuran untuk mengukur kemampuan suatu bank dalam meningkatkan laba, untuk mengukur tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas yang dicapai oleh bank yang bersangkutan, karena bank yang sehat adalah bank yang memiliki aspek rentabilitas yang terus meningkat (Kasmir, 2013).
4) Permodalan (Capital)
Penilaian pendekatan kunatitatif dan kualitatif faktor permodalan antara lain dilakukan melalui penilaian terhadap komponen-komponen, yang meliputi:
a. Kecukupan pemenuhan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) terhadap ketentuan yang berlaku;
b. Tren ke depan/proyeksi KPMM;
c. Aset produktif yang diklasifikasikan dibandingkan modal bank; d. Kemampuan bank memelihara kebutuhan penambahan yang
berasal dari keuntungan (laba ditahan); e. Akses kepada sumber permodalan;
Yang dinilai dalam aspek permodalan (capital) adalah permodalan yang ada didasarkan kepada kewajiban penyediaan modal minimum yang dimiliki oleh bank tersebut dan penilaian tersebut didasarkan pada CAR (Capital Adequacy Ratio) yang telah ditetapkann oleh Bank Indonesia (Kasmir, 2013). Perbandingan rasio tersebut dilihat dari rasio modal terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Rasio (KPPM) dan yang sesuai dengan ketentuan pemerintah CAR tahun 1999 minimal harus 8%.
Rasio Capital Adequacy Ratio (CAR) merupakan rasio kinerja bank untuk menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan resiko, misalkan kredit yang diberikan (Natalina at all., 2012). Rasio CAR merupakan indikator terhadap kemampuan bank untuk menutupi penurunan aktiva sebagai akibat dari kerugian-kerugian bank yang disebabkan oleh aktiva yang mempunyai resiko. CAR (Capital
Adequacy Ratio) dirumuskan sebagai berikut (SEOJK No.
14/SEOJK.03/2017):
𝐶𝐴𝑅 =𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝐵𝑎𝑛𝑘