• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PT TAISHO PHARMACEUTICAL INDONESIA TBK. JALAN RAYA BOGOR KM. 38 PERIODE 9 SEPTEMBER 31 OKTOBER 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PT TAISHO PHARMACEUTICAL INDONESIA TBK. JALAN RAYA BOGOR KM. 38 PERIODE 9 SEPTEMBER 31 OKTOBER 2013"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

DI PT TAISHO PHARMACEUTICAL INDONESIA TBK.

JALAN RAYA BOGOR KM. 38

PERIODE 9 SEPTEMBER – 31 OKTOBER 2013

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

SYAHRIL, S. Farm.

1206330160

ANGKATAN LXXVII

FAKULTAS FARMASI

PROGRAM PROFESI APOTEKER

DEPOK

(2)

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

DI PT TAISHO PHARMACEUTICAL INDONESIA TBK.

JALAN RAYA BOGOR KM. 38

PERIODE 9 SEPTEMBER – 31 OKTOBER 2013

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker

SYAHRIL, S. Farm.

1206330160

ANGKATAN LXXVII

FAKULTAS FARMASI

PROGRAM PROFESI APOTEKER

DEPOK

(3)
(4)

Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah

saya nyatakan dengan benar.

Nama : Syahril, S.Farm.

NPM : 1206330160

Tanda Tangan :

(5)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di PT Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk.. Penulisan laporan ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Apoteker pada Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan laporan ini. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Drs. M. Sumarno, Apt. selaku Plant Director PT. Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk. yang telah berkenan memberikan kesempatan, fasilitas, dan bimbingan kepada para mahasiswa peserta Praktek Kerja Profesi Apoteker. 2. Yuli Hermintowati, S.Si., Apt. selaku Quality Control Section Head PT.

Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk. dan pembimbing I penulis atas saran

dan ilmu pengetahuan yang diberikan selama pelaksanaan hingga

penyusunan laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker.

3. Luthfi Zarkasyi, S. Farm., Apt., MBA selaku Value Stream Manager

Counterpain PT. Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk. atas ilmu pengetahuan yang diberikan selama pelaksanaan hingga penyusunan laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker.

4. I Made Adhi G., S.Si., Apt. selaku Quality Assurance Manager PT. Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk. atas ilmu pengetahuan yang diberikan selama pelaksanaan hingga penyusunan laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker.

5. Ika Kartikaningrum selaku bagian GMP and Technical Training PT. Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk. atas masukan dan pengarahan yang diberikan selama pelaksanaan hingga penyusunan laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker.

6. Dr. Mahdi Jufri, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi UI dan pembimbing II yang telah memberikan arahan selama Praktek Kerja Profesi

(6)

sampai dengan tanggal 20 Desember 2013.

8. Dr. Harmita, Apt., selaku Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi UI sekaligus Pembimbing Akademis yang telah memberikan pengarahan dan motivasi selama penulis menempuh pendidikan di Farmasi UI.

9. Seluruh manajer dan karyawan di PT. Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk., yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas pengarahan dan ilmu pengetahuan selama pelaksanaan hingga penyusunan laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker.

10. Seluruh staf pengajar dan tata usaha Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi UI yang telah banyak memberikan bekal ilmu, berbagi pengalaman, dan pengetahuan kepada penulis selama masa studi di Fakultas Farmasi. 11. Keluarga yang telah memberikan dukungan moral dan material yang tidak

terhingga kepada penulis.

12. Seluruh teman-teman Apoteker UI angkatan 77 yang telah bekerja sama selama perkuliahan hingga pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker. 13. Semua pihak yang yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang

membantu penulis melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker dan penyusunan laporan.

Penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna penyempurnaan laporan ini. Harapan penulis, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dunia farmasi.

Depok, 2013

(7)

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Syahril, S.Farm.

NPM : 1206330160

Program Studi : Apoteker

Fakultas : Farmasi

Jenis karya : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty

Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PT

TAISHO PHARMACEUTICAL INDONESIA TBK. JL. RAYA

BOGOR KM. 38 PERIODE 9 SEPTEMBER – 31 OKTOBER

2013

beserta perangkat yang ada (bila diperlukan) dengan Hak Bebas Royalti

Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih

media/formatkan, mengelola dalam bentuk basis data, merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok

Pada Tanggal : 11 Januari 2014 Yang menyatakan

(8)

Nama : Syahril, S. Farm.

NPM : 1206330160

Program Studi : Profesi Apoteker

Judul : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di PT Taisho

Pharmaceutical Indonesia Tbk. Periode 9 September – 31 Oktober 2013

Praktek Kerja Profesi Apoteker dilaksanakan di PT. Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk. Jalan Raya Bogor KM 38, Tapos. Kegiatan PKPA ini bertujuan agar mahasiswa profesi apoteker dapat melihat langsung aktivitas yang berlangsung dalam suatu industri farmasi, memperoleh pengetahuan dan wawasan tentang segala aspek yang terkait di industri farmasi terutama dalam hal penerapan CPOB di PT. Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk. Dan dapat memiliki pemahaman yang mendalam mengenai peran dan tugas apoteker di industri farmasi. Tugas khusus yang diberikan berjudul Spare Part Management Instrumen Gas Chromatography dan High Performance Liquid Chromatography. Tugas khusus ini bertujuan untuk mengetahui jenis sparepart yang bersifat

consumable dan kritis dari instrumen GC dan HPLC.

Kata kunci : PT. Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk., Spare Part

Management, GC, HPLC

Tugas umum : xii + 78 halaman; 8 lampiran

Tugas khusus : iv + 21 halaman; 1 tabel; 2 lampiran Daftar Acuan Tugas Umum : 7 (1988 - 2012) Daftar Acuan Tugas Khusus : 3 (2007 - 2012)

(9)

Name : Syahril, S.Farm.

NPM : 1206330160

Program Study : Apothecary profession

Title : Pharmacist Internship Program at PT. Taisho

Pharmaceutical Indonesia Tbk. Period September 9th – October 31st2013

Pharmacists Professional Practice implemented in PT. Actavis Indonesia Jalan Raya Bogor KM 28, Jakarta Timur. PKPA activity is intended that students can see the direct profession pharmacists activity that takes place in the pharmaceutical industry, gaining knowledge and insight into everything related aspects in the pharmaceutical industry, especially in terms of the implementation of GMP in PT. Takeda Indonesia and may have a deep understanding of the role and duties of the pharmacist in the pharmaceutical industry. Special task given called Spare Part Management Instruments Gas Chromatography and High Performance Liquid Chromatography. The specific task is to know the type of consumables and spare parts that are critical of GC and HPLC instruments.

Keywords : PT. Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk., Sparepart

Manaagement,GC, HPLC

General Assignment : xii + 78 pages; 8 appendices

Specific Assignment : iv + 21 pages; 1 tables; 2 appendices Bibliography of General Assignment: 7 (1988 - 2012) Bibliography of Specific Assignment: 3 (2007 - 2012)

(10)

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... iv

KATA PENGANTAR ... v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT... ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Tujuan ... 2

BAB 2 TINJAUAN UMUM... 3

2.1 Industri Farmasi ... 3

2.2 Pengertian Cara Pembuatan Obat yang Baik... 6

2.3 Aspek-aspek CPOB ... 8

2.4 Kompetensi Apoteker Praktisi Industri ... 25

BAB 3 TINJAUAN KEGIATAN ... 28

3.1 PT Taisho Pharmaceutical International... 28

3.2 PT Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk. ... 29

3.3 Value Stream... 30

3.4 Departemen Plant Logistic (PL)... 31

3.5 Quality Operation Department... 35

3.6 Technical Service Department... 41

3.7 Maintenance Engineering & EHS Department... 43

3.8 Lean Continous Improvement (LCI)... 49

BAB 4 PEMBAHASAN ... 51

4.1 Manajemen Mutu... 51

4.2 Personalia... 52

4.3 Bangunan dan Fasilitas ... 52

4.4 Peralatan ... 53

4.5 Sanitasi dan Higiene ... 54

4.6 Produksi ... 55

4.7 Pengawasan Mutu... 59

4.8 Inspeksi Diri dan Audit Mutu ... 62

4.9 Penanganan Keluhan Terhadap Produk, Penarikan Kembali Obat, dan Produk Kembalian... 63

(11)

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

5.1 Kesimpulan ... 69

5.2 Saran ... 69

(12)

Lampiran 1. Struktur Organisasi PT Taisho Pharmaceutical Indonesia

Tbk. ... 71

Lampiran 2a. Struktur Organisasi Value Stream Counterpain... 72

Lampiran 2b. Struktur Organisasi Value Stream Tempra ... 72

Lampiran 3a. Struktur Organisasi Value Stream Diamond . ... 73

Lampiran 3b. Struktur Organisasi Plant Logistic Department ... 73

Lampiran 4. Label Identifikasi Material di Warehouse ... 74

Lampiran 5. Struktur Organisasi Quality Operation Department ... 75

Lampiran 6a. Struktur Organisasi Maintenance Engineering dan EHS Department... 76

Lampiran 6b. Diagram HVAC. ... 76

Lampiran 7a. Alur Pengolahan Purified Water (PW) ... 77

Lampiran 7b. Struktur Organisasi Lean Continous Improvement (LCI)... 77

Lampiran 8a. Label Kebersihan. ... 78

(13)

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara berkembang yang berusaha memajukan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan yang menyeluruh. Pembangunan kesehatan merupakan salah satu bagian penting dalam pembangunan nasional karena kesehatan menunjang semua aspek kehidupan manusia. Derajat kesehatan masyarakat menjadi salah satu indikator tingkat kesejahteraan dan kemajuan suatu bangsa. Faktor penting pendukung dalam bidang kesehatan adalah obat yang bermutu tinggi. Tentu saja hal ini berkaitan erat dengan peran industri farmasi yang merupakan salah satu elemen penting dalam mewujudkan kesehatan nasional di bidang pembuatan obat. Vitalnya aktivitas obat yang mempengaruhi fungsi fisiologi tubuh manusia, menuntut industri farmasi agar memproduksi obat yang berkualitas. Oleh karena itu, semua industri farmasi harus dapat menghasilkan produk obat yang memenuhi standar kualitas yang dipersyaratkan.

Pada tanggal 02 Februari 1988, Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan dengan Keputusan Menteri Kesehatan No.43/Menkes/SK/II/1988 tentang Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) berusaha menjamin mutu obat yang dihasilkan industri farmasi meliputi serangkaian kegiatan produksi hingga obat jadi yang dihasilkan memenuhi syarat dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Penerapan pedoman CPOB ini diharapkan dapat meningkatkan mutu produk obat secara terus menerus serta memberikan perlindungan terhadap kesehatan masyarakat. Penerapan pedoman CPOB menjadi langkah progresif bagi perkembangan industri farmasi di Indonesia sehingga mutu obat mendapat pengakuan dan kepercayaan konsumen.

Apoteker memiliki peranan penting dalam penerapan CPOB di industri farmasi berdasarkan PP No. 51 tahun 2009 tentang Tenaga Kefarmasian dan Permenkes 1799 tahun 2010 tentang Industri Farmasi. Apoteker di industri farmasi terlibat dalam berbagai tahapan, mulai dari penelitian dan pengembangan suatu produk baru, uji klinis, produksi sediaan, pengawasan mutu hingga bidang

(14)

pemasaran serta memiliki kemampuan dalam bidang manajemen suatu industri farmasi. Oleh karena itu, apoteker harus memiliki kompetensi yang baik dalam menjamin pelaksanaan CPOB berjalan sesuai persyaratan.

Berdasarkan hal tersebut, gambaran mengenai industri farmasi sangatlah penting untuk diketahui oleh para calon apoteker. Calon apoteker harus memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang memadai sehingga dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional. Oleh karena itu, Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia bekerja sama dengan PT. Taisho Pharmaceutical Indonesia, Tbk., menyelenggarakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) bagi para calon apoteker guna memberikan pembekalan, pengetahuan, pemahaman, dan gambaran singkat mengenai peran dan tanggung jawab apoteker di industri farmasi.

1.2 Tujuan

a. Meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang segala aspek industri farmasi yang berhubungan dengan CPOB serta mengetahui penerapan CPOB di PT. Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk.

b. Mengetahui dan memahami peran dan tanggung jawab Apoteker dalam industri farmasi khususnya di PT. Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk. yang diharapkan dapat menjadi bekal untuk menghadapi dunia kerja yang sesungguhnya.

(15)

2.1 Industri Farmasi

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1799/MENKES/PER/XII/2010, industri farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat meliputi seluruh tahapan kegiatan dalam menghasilkan obat mulai dari pengadaan bahan awal dan bahan pengemas, produksi, pengemasan,

pengawasan mutu, dan pemastian mutu sampai diperoleh obat untuk

didistribusikan. Setiap industri farmasi wajib memiliki izin usaha Menteri Kesehatan. Wewenang pemberian izin dilimpahkan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan harus memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Persyaratan lain untuk memperoleh izin industri farmasi terdiri atas (Menteri Kesehatan, 2010):

a. Berbadan usaha berupa perseroan terbatas.

b. Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat. c. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

d. Memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang apoteker Warga Negara Indonesia masing-masing sebagai penanggung jawab pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu.

e. Komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian.

f. Industri farmasi wajib memenuhi persyaratan CPOB yang dibuktikan

dengan sertifikat CPOB.

g. Pengajuan permohonan persetujuan prinsip untuk pendirian usaha industri

farmasi diajukan kepada Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan.

Permohonan persetujuan prinsip dilakukan oleh industri Penanaman Modal Asing atau Penanaman Modal Dalam Negeri, harus memperoleh Surat Persetujuan Penanaman Modal dari instansi yang menyelenggarakan

(16)

perundang-undangan. Persetujuan prinsip diberikan setelah pemohon memperoleh persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) dari kepala BPOM.

h. Setiap industri farmasi wajib melakukan farmakovigilans. Bila

industri farmasi menemukan obat dan atau bahan obat hasil produksinya yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan keamanan, khasiat/keamanan dan mutu, industri farmasi wajib melaporkan hal tersebut kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Persyaratan pada poin (a) dan (b) tidak diperlukan bagi pemohon izin industri farmasi milik Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Menteri Kesehatan, 2010).

Izin usaha industri farmasi diberikan kepada pemohon yang telah siap berproduksi sesuai persyaratan CPOB. Izin industri farmasi diberikan oleh

Menteri Kesehatan dan wewenang pemberian izin dilimpahkan kepada

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) (Menteri Kesehatan, 2010).

Setelah selesai melaksanakan tahap persetujuan prinsip, industri farmasi dapat mengajukan permohonan izin industri farmasi. Permohonan izin industri farmasi diajukan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan dan kepala dinas kesehatan provinsi setempat. Surat permohonan izin industri farmasi harus ditandatangani oleh direktur utama dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu dengan kelengkapan sebagai berikut:

a. Fotokopi persetujuan prinsip Industri Farmasi.

b. Surat Persetujuan Penanaman Modal untuk Industri Farmasi dalam rangka Penanaman Modal Asing atau Penanaman Modal Dalam Negeri;

c. Daftar peralatan dan mesin-mesin yang digunakan. d. Jumlah tenaga kerja dan kualifikasinya.

e. Fotokopi sertifikat Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan/Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

f. Rekomendasi kelengkapan administratif izin industri farmasi dari kepala

dinas kesehatan provinsi.

g. Rekomendasi pemenuhan persyaratan CPOB dari Kepala Badan POM. h. Daftar pustaka wajib seperti Farmakope Indonesia edisi terakhir.

(17)

penanggung jawab produksi, penanggung jawab pengawasan mutu, dan penanggung jawab pemastian mutu.

j. Fotokopi surat pengangkatan bagi masing-masing apoteker penanggung

jawab produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu dari pimpinan perusahaan.

k. Fotokopi ijazah dan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) dari

masing- masing apoteker penanggung jawab produksi, penanggung jawab pengawasan mutu, dan penanggung jawab pemastian mutu.

l. Surat pernyataan komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik

langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran perundang-undangan di bidang kefarmasian.

Persyaratan registrasi obat dalam negeri menurut peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1010/MENKES/PER/XI/2008 sebagai berikut:

a. Registrasi obat produksi dalam negeri hanya dilakukan oleh industri farmasi yang memiliki izin industri farmasi yang dikeluarkan oleh Menteri.

b. Industri farmasi yang dimaksud tersebut harus memenuhi persyaratan CPOB. c. Pemenuhan persyaratan CPOB yang dimaksud dibuktikan dengan sertifikat

CPOB yang dikeluarkan oleh Kepala Badan POM.

Izin industri farmasi berlaku untuk seterusnya selama Industri Farmasi yang bersangkutan masih berproduksi dan memenuhi ketentuan peraturan perundangundangan. Industri Farmasi yang menghasilkan obat atau bahan obat dapat mendistribusikan atau menyalurkan hasil produksinya langsung kepada pedagang besar farmasi, apotek, instalasi farmasi rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, klinik, dan toko obat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Menteri Kesehatan, 2010).

Industri Farmasi wajib menyampaikan laporan industri kepada Direktorat Jenderal BPOM mengenai kegiatan usahanya setiap 6 bulan, meliputi jumlah dan nilai produksi setiap obat atau bahan obat yang dihasilkan dan setiap 1 tahun untuk laporan lengkapnya (Menteri Kesehatan, 2010). Jika Industri Farmasi melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan yang tercantum

(18)

1799/Menkes/Per/XII/2010, dapat dikenakan sanksi administratif berupa (Menteri Kesehatan, 2010) :

a. Peringatan secara tertulis.

b. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk penarikan kembali obat atau bahan obat dari peredaran bagi obat atau bahan obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/ kemanfaatan, atau mutu.

c. Perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti tidak memenuhi

persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu. d. Penghentian sementara kegiatan.

e. Pembekuan izin industri farmasi atau pencabutan izin industri farmasi.

2.2 Pengertian Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)

Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) adalah pedoman pembuatan obat yang bertujuan untuk memastikan agar mutu obat yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan dan tujuan penggunaan. Pada prinsipnya, CPOB bertujuan untuk menjamin obat dibuat secara konsisten, memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPOB mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu (BPOM RI, 2012). Persyaratan dasar dari CPOB (BPOM RI, 2012) adalah:

a. Semua proses pembuatan obat dijabarkan dengan jelas, dikaji secara sistematis berdasarkan pengalaman dan terbukti mampu secara konsisten menghasilkan obat yang memenuhi persyaratan mutu dan spesifikasi yang telah ditetapkan; b. Tahap proses yang kritis dalam pembuatan, pengawasan proses, dan sarana

penunjang serta perubahannya yang signifikan divalidasi;

c. Tersedia semua sarana yang diperlukan dalam CPOB termasuk: personil yang terkualifikasi dan terlatih, bangunan dan sarana dengan luas yang memadai, peralatan dan sarana penunjang yang sesuai, bahan, wadah dan label yang benar, prosedur dan instruksi yang disetujui, tempat penyimpanan, dan transportasi yang memadai.

d. Prosedur dan instruksi ditulis dalam bentuk instruksi dengan bahasa yang jelas, tidak bermakna ganda, dapat diterapkan secara spesifik pada sarana

(19)

yang tersedia;

e. Operator memperoleh pelatihan untuk menjalankan prosedur secara benar; f. Pencatatan dilakukan secara manual atau dengan alat pencatat selama

pembuatan yang menunjukkan bahwa semua langkah yang dipersyaratkan dalam prosedur dan instruksi yang ditetapkan benar-benar dilaksanakan dan jumlah serta mutu produk yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan. Tiap penyimpangan dicatat secara lengkap dan diinvestigasi;

g. Catatan pembuatan termasuk distribusi yang memungkinkan penelusuran riwayat bets secara lengkap, disimpan secara komprehensif, dan dalam bentuk yang mudah diakses;

h. Penyimpanan dan distribusi obat yang dapat memperkecil risiko terhadap mutu obat;

i. Tersedia sistem penarikan kembali bets obat manapun dari peredaran; dan j. Keluhan terhadap produk yang beredar dikaji, penyebab cacat mutu

diinvestigasi serta dilakukan tindakan perbaikan yang tepat dan pencegahan pengulangan kembali keluhan.

Pelanggaran terhadap ketentuan Pedoman CPOB dapat dikenai sanksi administratif (BPOM RI, 2012) sebagai berikut:

a. Peringatan. b. Peringatan keras.

c. Penghentian sementara kegiatan.

d. Pembekuan Sertifikat CPOB/CPBBAOB. e. Pencabutan Sertifikat CPOB/CPBBAOB.

f. Rekomendasi pencabutan izin industri farmasi.

Perkembangan yang sangat pesat dalam teknologi farmasi dewasa ini mengakibatkan berbagai perubahan yang sangat cepat pula dalam konsep serta persyaratan CPOB. Hal ini sesuai dengan filosofi yang akan berubah mengikuti

perkembangan atau teknologi dalam bidang farmasi. Demikian pula

perkembangan penerapan CPOB di Indonesia. CPOB pertama keluar pada tahun 1988 dan pada tahun 1989, Petunjuk Operasional Penerapan CPOB diterbitkan agar pedoman tersebut dapat diterapkan secara efektif diindustri farmasi. Dalam

(20)

kembali pada tahun 2006. Karena kedinamisan tersebut, CPOB tahun 2006 pun kembali direvisi di tahun 2012.

2.3 Aspek-aspek CPOB

Berdasarkan pedoman CPOB tahun 2012, aspek CPOB meliputi manajemen mutu, personalia, bangunan dan fasilitas, peralatan, sanitasi dan higiene, produksi, pengawasan mutu, inspeksi diri dan audit mutu, penanganan

keluhan terhadap produk, penarikan kembali produk dan produk

kembalian,dokumentasi, pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak, serta kualifikasi dan validasi. Berikut ini adalah 12 aspek CPOB tersebut, yaitu (BPOM RI, 2012) :

2.3.1 Manajemen Mutu

Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai dengan

tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam

dokumen izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan risiko yang membahayakan penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif.Manajemen bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan ini melalui suatu “Kebijakan Mutu”, yang memerlukan partisipasi dan komitmen jajaran di semua departemen di

dalam perusahaan, para pemasok dan para distributor. Untuk mencapai

tujuan mutu secara konsisten dan dapat diandalkan, diperlukan sistem Pemastian Mutu yang didesain secara menyeluruh dan diterapkan secara benar serta menginkorporasi Cara Pembuatan Obat yang Baik termasuk Pengawasan Mutu dan Manajemen Risiko Mutu. Hal ini hendaklah didokumentasikan dan dimonitor efektivitasnya. Unsur dasar manajemen mutu (BPOM RI, 2012) adalah:

a. Suatu infrastruktur atau sistem mutu yang tepat mencakup struktur organisasi, prosedur, proses dan sumber daya

b. Tindakan sistematis yang diperlukan untuk mendapatkan kepastian dengan tingkat kepercayaan yang tinggi, sehingga produk (atau jasa pelayanan) yang

dihasilkan akan selalu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

Keseluruhan tindakan tersebut disebut Pemastian Mutu.

(21)

ketersediaan personil yang kompeten, bangunan dan sarana serta peralatan yang cukup dan memadai. Tambahan tanggung jawab legal hendaklah diberikan kepada kepala Manajemen Mutu (Pemastian Mutu). Pemastian Mutu adalah suatu konsep luas yang mencakup semua hal baik secara tersendiri maupun secara kolektif, yang akan memengaruhi mutu dari obat yang dihasilkan. Pemastian Mutu adalah totalitas semua pengaturan yang dibuat dengan tujuan untuk memastikan bahwa obat dihasilkan dengan mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Karena itu Pemastian Mutu mencakup CPOB ditambah dengan

faktor lain di luar Pedoman ini, seperti desain dan pengembangan

produk. Sistem Pemastian Mutu yang benar dan tepat bagi pembuatan obat hendaklah memastikan bahwa (BPOM RI, 2012):

a. Desain dan pengembangan obat dilakukan dengan cara yang memperhatikan persyaratan CPOB;

b. Semua langkah produksi dan pengawasan diuraikan secara jelas dan CPOB diterapkan;

c. Tanggung jawab manajerial diuraikan dengan jelas dalam uraian jabatan;

d. Pengaturan disiapkan untuk pembuatan, pemasokan, dan penggunaan bahan awal dan pengemas yang benar;

e. Semua pengawasan terhadap produk antara dan pengawasan selama-proses lain serta dilakukan validasi;

f. Pengkajian terhadap semua dokumen terkait dengan proses, pengemasan, dan pengujian tiap bets, dilakukan sebelum memberikan pengesahan pelulusan untuk distribusi produk jadi. Penilaian hendaklah meliputi semua faktor yang relevan termasuk kondisi produksi, hasil pengujian selama-proses, pengkajian dokumen pembuatan (termasuk pengemasan), pengkajian penyimpangan dari prosedur yang telah ditetapkan, pemenuhan persyaratan dari spesifikasi produk jadi, dan pemeriksaan produk dalam kemasan akhir;

g. Obat tidak dijual atau didistribusikan sebelum kepala Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) menyatakan bahwa tiap bets produksi dibuat dan dikendalikan sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam izin edar dan peraturan lain yang berkaitan dengan aspek produksi, pengawasan mutu, dan pelulusan produk;

(22)

h. Tersedia pengaturan yang memadai untuk memastikan bahwa, sedapat

mungkin produk disimpan, didistribusikan, dan selanjutnya ditangani

sedemikian rupa agar mutu tetap dijaga selama masa simpan obat;

i. Tersedia prosedur inspeksi diri dan atau audit mutu yang secara berkala mengevaluasi efektivitas dan penerapan sistem Pemastian Mutu;

j. Pemasok bahan awal dan bahan pengemas dievaluasi dan disetujui untuk memenuhi spesifikasi mutu yang telah ditentukan oleh perusahaan;

k. Penyimpangan dilaporkan, diselidiki dan dicatat;

l. Tersedia sistem persetujuan terhadap perubahan yang berdampak pada mutu produk;

m. Prosedur pengolahan ulang produk dievaluasi dan disetujui; dan

n. Evaluasi berkala mutu obat dilakukan untuk verifikasi konsistensi proses dan memastikan perbaikan proses yang berkesinambungan.

Pengawasan Mutu adalah bagian dari CPOB yang berhubungan dengan pengambilan sampel, spesifikasi dan pengujian, serta dengan organisasi, dokumentasi dan prosedur pelulusan yang memastikan bahwa pengujian yang diperlukan dan relevan telah dilakukan dan bahwa bahan yang belum diluluskan tidak digunakan serta produk yang belum diluluskan tidak dijual atau dipasok sebelum mutunya dinilai dan dinyatakan memenuhi syarat (BPOM RI, 2012).

Manajemen risiko mutu adalah suatu proses sistematis untuk melakukan penilaian, pengendalian dan pengkajian risiko terhadap mutu suatu produk. Hal ini dapat diaplikasikan secara proaktif maupun retrospektif. Manajemen risiko mutu hendaklah memastikan bahwa (BPOM RI, 2012):

a. Evaluasi risiko terhadap mutu dilakukan berdasarkan pengetahuan secara

ilmiah, pengalaman dengan proses, dan pada akhirnya terkait pada

perlindungan pasien;

b. Tingkat usaha, formalitas, dan dokumentasi dari proses manajemen risiko mutu sepadan dengan tingkat risiko.

2.3.2 Personalia

Sumber daya manusia sangat penting dalam pembentukan dan penerapan sistem pemastian mutu yang memuaskan dan pembuatan obat yang benar. Oleh

(23)

sebab itu industri farmasi bertanggung jawab untuk menyediakan personil yang terkualifikasi dalam jumlah yang memadai untuk melaksanakan semua tugas. Tiap personil hendaklah memahami tanggung jawab masing-masing dan dicatat. Seluruh personil hendaklah memahami prinsip CPOB serta memperoleh pelatihan awal dan berkesinambungan, termasuk instruksi mengenai higiene yang berkaitan dengan pekerjaannya (BPOM RI, 2012).

Industri farmasi hendaklah memiliki personil yang terkualifikasi dan berpengalaman praktis dalam jumlah yang memadai. Tiap personil hendaklah tidak dibebani tanggung jawab yang berlebihan untuk menghindarkan risiko terhadap mutu obat. Industri farmasi harus memiliki struktur organisasi. Tugas spesifik dan kewenangan dari personil pada posisi penanggung jawab hendaklah dicantumkan dalam uraian tugas tertulis. Tugas mereka boleh didelegasikan kepada wakil yang ditunjuk serta mempunyai tingkat kualifikasi yang memadai. Hendaklah penerapan aspek CPOB tidak ada yang terlewatkan ataupun tumpang tindih dalam tanggung jawab yang tercantum pada uraian tugas (BPOM RI, 2012). Personil kunci mencakup kepala bagian Produksi, kepala bagian Pengawasan Mutu dan kepala bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu). Posisi utama tersebut dijabat oleh personil purnawaktu. Kepala bagian Produksi dan kepala bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu)/ kepala bagian Pengawasan Mutu harus independen satu terhadap yang lain (BPOM RI, 2012).

2.3.3 Bangunan dan Fasilitas

Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat harus memiliki desain, konstruksi dan letak yang memadai, serta disesuaikan kondisinya dan dirawat dengan baik untuk memudahkan pelaksanaan operasi yang benar. Tata letak dan desain ruangan harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil risiko terjadi

kekeliruan, pencemaran silang dan kesalahan lain, serta memudahkan

pembersihan, sanitasi, dan perawatan yang efektif untuk menghindarkan pencemaran silang, penumpukan debu atau kotoran, dan dampak lain yang dapat menurunkan mutu obat (BPOM RI, 2012).

Letak bangunan hendaklah sedemikian rupa untuk menghindarkan pencemaran dari lingkungan sekelilingnya, seperti pencemaran dari udara, tanah

(24)

dan air serta dari kegiatan industri lain yang berdekatan. Apabila letak bangunan tidak sesuai, hendaklah diambil tindakan pencegahan yang efektif terhadap pencemaran tersebut. Bangunan dan fasilitas hendaklah didesain, dikonstruksi, dilengkapi, dan dirawat sedemikian agar memperoleh perlindungan maksimal terhadap pengaruh cuaca, banjir, rembesan dari tanah serta masuk dan bersarang serangga, burung, binatang pengerat, kutu atau hewan lain. Hendaklah tersedia prosedur untuk pengendalian binatang pengerat dan hama. Bangunan dan fasilitas hendaklah dirawat dengan cermat, dibersihkan dan, bila perlu, didisinfeksi sesuai prosedur tertulis rinci. Catatan pembersihan dan disinfeksi hendaklah disimpan (BPOM RI, 2012).

Seluruh bangunan dan fasilitas termasuk area produksi, laboratorium, area penyimpanan, koridor, dan lingkungan sekeliling bangunan hendaklah dirawat dalam kondisi bersih dan rapi. Kondisi bangunan hendaklah ditinjau secara teratur dan diperbaiki di mana perlu. Perbaikan serta perawatan bangunan dan fasilitas hendaklah dilakukan hati-hati agar kegiatan tersebut tidak memengaruhi

mutu obat. Tenaga listrik, lampu penerangan, suhu, kelembaban, dan

ventilasi hendaklah tepat agar tidak mengakibatkan dampak yang merugikan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap produk selama proses pembuatan dan penyimpanan, atau terhadap ketepatan/ketelitian fungsi dari peralatan. Desain dan tata letak ruang hendaklah memastikan (BPOM RI, 2012): a. Kompatibilitas dengan kegiatan produksi lain yang mungkin dilakukan di

dalam sarana yang sama atau sarana yang berdampingan; dan

b. Pencegahan area produksi dimanfaatkan sebagai jalur lalu lintas umum bagi personil dan bahan atau produk, atau sebagai tempat penyimpanan bahan atau produk selain yang sedang diproses.

Tindakan pencegahan hendaklah diambil untuk mencegah personil yang tidak berkepentingan masuk. Area produksi, area penyimpanan, dan area pengawasan mutu tidak boleh digunakan sebagai jalur lalu lintas bagi personil yang tidak bekerja di area tersebut. Kegiatan di bawah ini hendaklah dilakukan di area yang ditentukan (BPOM RI, 2012):

a. Penerimaan bahan;

(25)

c. Penyimpanan bahan awal dan bahan pengemas;

d. Penimbangan dan penyerahan bahan atau produk;

e. Pengolahan;

f. Pencucian peralatan;

g. Penyimpanan peralatan;

h. Penyimpanan produk ruahan;

i. Pengemasan;

j. Karantina produk jadi sebelum memperoleh pelulusan akhir;

k. Pengiriman produk; dan

l. Laboratorium pengawasan mutu

2.3.4 Peralatan

Peralatan untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain dan konstruksi yang tepat, ukuran yang memadai serta ditempatkan dan dikualifikasi dengan tepat, agar mutu obat terjamin sesuai desain serta seragam dari bets-ke-bets dan untuk mempermudah pembersihan serta perawatan agar dapat mencegah kontaminasi silang, penumpukan debu atau kotoran, dan hal-hal yang umumnya berdampak buruk pada mutu produk (BPOM RI, 2012).

Desain dan konstruksi peralatan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut (BPOM RI, 2012):

a. Peralatan manufaktur hendaklah didesain, ditempatkan, dan dirawat sesuai dengan tujuannya.

b. Permukaan peralatan yang bersentuhan dengan bahan awal, produk antara atau produk jadi tidak boleh menimbulkan reaksi, adisi atau absorbsi yang dapat memengaruhi identitas, mutu atau kemurnian di luar batas yang ditentukan. c. Bahan yang diperlukan untuk pengoperasian alat khusus, misalnya pelumas

atau pendingin tidak boleh bersentuhan dengan bahan yang sedang diolah sehingga tidak memengaruhi identitas, mutu atau kemurnian bahan awal, produk antara ataupun produk jadi.

d. Peralatan tidak boleh merusak produk akibat katup bocor, tetesan pelumas, dan hal sejenis atau karena perbaikan, perawatan, modifikasi, dan adaptasi yang tidak tepat.

(26)

e. Peralatan manufaktur hendaklah didesain sedemikian rupa agar mudah dibersihkan. Peralatan tersebut hendaklah dibersihkan sesuai prosedur tertulis yang rinci serta disimpan dalam keadaan bersih dan kering.

f. Peralatan pencucian dan pembersihan hendaklah dipilih dan digunakan agar tidak menjadi sumber pencemaran.

g. Peralatan produksi yang digunakan hendaklah tidak berakibat buruk pada produk. Bagian alat produksi yang bersentuhan dengan produk tidak boleh bersifat reaktif, aditif atau absorbtif yang dapat memengaruhi mutu dan berakibat buruk pada produk.

h. Semua peralatan khusus untuk pengolahan bahan mudah terbakar atau bahan kimia atau yang ditempatkan di area di mana digunakan bahan mudah terbakar, hendaklah dilengkapi dengan perlengkapan elektris yang kedap eksplosi serta dibumikan dengan benar.

i. Hendaklah tersedia alat timbang dan alat ukur dengan rentang dan ketelitian yang tepat untuk proses produksi dan pengawasan.

j. Peralatan untuk mengukur, menimbang, mencatat, dan mengendalikan hendaklah dikalibrasi dan diperiksa pada interval waktu tertentu dengan metode yang ditetapkan. Catatan yang memadai dari pengujian tersebut hendaklah disimpan.

k. Filter cairan yang digunakan untuk proses produksi hendaklah tidak melepaskan serat ke dalam produk. Filter yang mengandung asbes tidak boleh digunakan walaupun sesudahnya disaring kembali menggunakan filter khusus yang tidak melepaskan serat.

l. Pipa air suling, air deionisasi, dan bila perlu pipa air lain untuk produksi hendaklah disanitasi sesuai prosedur tertulis. Prosedur tersebut hendaklah berisi rincian batas cemaran mikroba dan tindakan yang harus dilakukan.

2.3.5 Sanitasi dan Higiene

Tingkat sanitasi dan higiene yang tinggi hendaklah diterapkan pada setiap aspek pembuatan obat. Ruang lingkup sanitasi dan higiene meliputi personil, bangunan, peralatan dan perlengkapan, bahan produksi serta wadahnya, bahan pembersih dan desinfeksi, dan segala sesuatu yang dapat merupakan sumber

(27)

pencemaran produk. Sumber pencemaran potensial hendaklah dihilangkan melalui suatu program sanitasi dan higiene yang menyeluruh dan terpadu (BPOM RI, 2012).

Tiap personil yang masuk ke area pembuatan hendaklah mengenakan pakaian pelindung yang sesuai dengan kegiatan yang dilaksanakannya. Prosedur higiene perorangan termasuk persyaratan untuk mengenakan pakaian pelindung hendaklah diberlakukan bagi semua personil yang memasuki area produksi, baik karyawan purnawaktu, paruhwaktu atau bukan karyawan yang berada di area pabrik, misal karyawan kontraktor, pengunjung, anggota manajemen senior, dan inspektur. Untuk menjamin perlindungan produk dari pencemaran dan untuk keselamatan personil, hendaklah personil mengenakan pakaian pelindung yang bersih dan sesuai dengan tugasnya termasuk penutup rambut. Pakaian kerja kotor dan lap pembersih kotor (yang dapat dipakai ulang) hendaklah disimpan dalam wadah tertutup hingga saat pencucian, dan bila perlu, didisinfeksi atau disterilisasi (BPOM RI, 2012).

Program higiene yang rinci hendaklah dibuat dan diadaptasikan terhadap berbagai kebutuhan di dalam area pembuatan. Program tersebut hendaklah mencakup prosedur yang berkaitan dengan kesehatan, praktik hygiene, dan

pakaian pelindung personil. Prosedur hendaklah dipahami dan dipatuhi

secara ketat oleh setiap personil yang bertugas di area produksi dan

pengawasan. Program higiene hendaklah dipromosikan oleh manajemen dan dibahas secara luas selama sesi pelatihan (BPOM RI, 2012).

Semua personil hendaklah menjalani pemeriksaan kesehatan pada saat direkrut. Merupakan suatu kewajiban bagi industri agar tersedia instruksi yang memastikan bahwa keadaan kesehatan personil yang dapat memengaruhi mutu

produk diberitahukan kepada manajemen industri. Sesudah pemeriksaan

kesehatan awal hendaklah dilakukan pemeriksaan kesehatan kerja dan kesehatan

personil secara berkala. Petugas pemeriksa visual hendaklah menjalani

pemeriksaan mata secara berkala (BPOM RI, 2012).

Semua personil hendaklah menerapkan higiene perorangan yang baik. Hendaklah mereka dilatih mengenai penerapan higiene perorangan. Semua personil yang berhubungan dengan proses pembuatan hendaklah memerhatikan

(28)

tingkat higiene perorangan yang tinggi. Tiap personil yang mengidap penyakit atau menderita luka terbuka yang dapat merugikan mutu produk hendaklah dilarang menangani bahan awal, bahan pengemas, bahan yang sedang diproses, dan obat jadi sampai kondisi personil tersebut dipertimbangkan tidak lagi menimbulkan risiko. Semua personil hendaklah diperintahkan dan didorong untuk melaporkan kepada atasan langsung tiap keadaan (pabrik, peralatan atau personil) yang menurut penilaian mereka dapat merugikan produk. Hendaklah dihindarkan bersentuhan langsung antara tangan operator dengan bahan awal, produk antara dan produk ruahan yang terbuka, bahan pengemas primer dan juga dengan bagian peralatan yang bersentuhan dengan produk (BPOM RI, 2012).

Personil hendaklah diinstruksikan supaya menggunakan sarana mencuci tangan dan mencuci tangannya sebelum memasuki area produksi. Untuk tujuan itu perlu dipasang poster yang sesuai. Merokok, makan, minum, mengunyah, menyimpan makanan, minuman, atau obat pribadi hanya diperbolehkan di area tertentu dan dilarang dalam area produksi, laboratorium, area gudang, dan area lain yang mungkin berdampak terhadap mutu produk (BPOM RI, 2012).

2.3.6 Produksi

Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah

ditetapkan, dan memenuhi ketentuan CPOB yang menjamin senantiasa

menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu serta memenuhi ketentuan izin pembuatan dan izin edar. Produksi hendaklah dilakukan dan diawasi oleh personil yang kompeten. Penanganan bahan dan produk jadi, seperti penerimaan dan karantina, pengambilan sampel, penyimpanan, penandaan, penimbangan, pengolahan, pengemasan, dan distribusi hendaklah dilakukan sesuai dengan prosedur atau instruksi tertulis dan bila perlu dicatat. Seluruh bahan yang diterima hendaklah diperiksa untuk memastikan kesesuaiannya dengan pesanan.Wadah hendaklah dibersihkan dimana perlu dan diberi penandaan dengan data yang diperlukan. Kerusakan wadah dan masalah lain yang dapat berdampak merugikan terhadap mutu bahan hendaklah diselidiki, dicatat dan dilaporkan kepada Bagian Pengawasan Mutu. Bahan yang diterima dan produk jadi

(29)

hendaklah dikarantina secara fisik atau administratif segera setelah diterima atau diolah, sampai dinyatakan lulus untuk pemakaian atau distribusi (BPOM RI, 2012).

Produk antara dan produk ruahan yang diterima hendaklah ditangani seperti penerimaan bahan awal. Semua bahan dan produk jadi hendaklah disimpan pada kondisi seperti yang ditetapkan pabrik pembuat dan disimpan secara teratur untuk memudahkan segregasi antar bets dan rotasi stok. Pemeriksaan hasil nyata dan rekonsiliasi jumlah hendaklah dilakukan sedemikian untuk memastikan tidak ada penyimpangan dari batas yang telah ditetapkan. Pengolahan produk yang berbeda tidak boleh dilakukan secara bersamaan atau bergantian dalam ruang kerja yang sama kecuali tidak ada risiko terjadi kecampurbauran ataupun kontaminasi silang (BPOM RI, 2012).

Produk dan bahan hendaklah dilindungi terhadap pencemaran mikroba atau pencemaran lain pada tiap tahap pengolahan. Bila bekerja dengan bahan atau produk kering, hendaklah dilakukan tindakan khusus untuk mencegah debu timbul serta penyebarannya.Hal ini terutama dilakukan pada penanganan

bahan yang sangat aktif atau menyebabkan sensitisasi. Selama pengolahan,

semua bahan, wadah produk ruahan, peralatan atau mesin produksi dan bila perlu ruang kerja yang dipakai hendaklah diberi label atau penandaan dari produk atau bahan yang sedang diolah, kekuatan (bila ada) dan nomor bets. Bila perlu, penandaan ini hendaklah juga menyebutkan tahapan proses produksi (BPOM RI, 2012).

Label pada wadah, alat atau ruangan hendaklah jelas, tidak berarti ganda dan dengan format yang telah ditetapkan. Label yang berwarna sering kali sangat membantu untuk menunjukkan status (misal: karantina, diluluskan, ditolak, bersih dan lain-lain). Pemeriksaan perlu dilakukan untuk memastikan pipa penyalur dan alat lain untuk transfer produk dari satu ke tempat lain telah terhubung dengan

benar. Penyimpangan terhadap instruksi atau prosedur sedapat mungkin

dihindarkan. Bila terjadi penyimpangan maka hendaklah ada persetujuan tertulis dari kepala bagian Pemastian Mutu dan bila perlu melibatkan bagian Pengawasan Mutu. Akses ke fasilitas produksi hendaklah dibatasi hanya untuk personil yang berwenang. Pada umumnya pembuatan produk non-obat hendaklah

(30)

dihindarkan dibuat di area dan dengan peralatan untuk produk obat (BPOM RI, 2012).

2.3.7 Pengawasan Mutu

Pengawasan Mutu merupakan bagian yang esensial dari Cara Pembuatan Obat yang Baik untuk memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten mempunyai mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Keterlibatan dan komitmen semua pihak yang berkepentingan pada semua tahap merupakan keharusan untuk mencapai sasaran mutu mulai dari awal pembuatan sampai kepada distribusi produk jadi (BPOM RI, 2012).

Pengawasan Mutu mencakup pengambilan sampel, spesifikasi, pengujian

serta termasuk pengaturan, dokumentasi, dan prosedur pelulusan yang

memastikan bahwa semua pengujian yang relevan telah dilakukan, dan bahan tidak diluluskan untuk dipakai atau produk diluluskan untuk dijual, sampai mutunya telah dibuktikan memenuhi persyaratan. Pengawasan Mutu tidak

terbatas pada kegiatan laboratorium, tapi juga harus terlibat dalam semua

keputusan yang terkait dengan mutu produk. Ketidaktergantungan Pengawasan Mutu dari Produksi dianggap hal yang fundamental agar Pengawasan Mutu dapat melakukan kegiatan dengan memuaskan (BPOM RI, 2012).

Tiap pemegang izin pembuatan harus mempunyai Bagian Pengawasan Mutu. Bagian ini harus independen dari bagian lain dan di bawah tanggung jawab dan wewenang seorang dengan kualifikasi dan pengalaman yang sesuai, yang membawahi satu atau beberapa laboratorium. Sarana yang memadai harus

tersedia untuk memastikan bahwa segala kegiatan Pengawasan Mutu

dilaksanakan dengan efektif dan dapat diandalkan (BPOM RI, 2012).

Bagian Pengawasan Mutu secara keseluruhan juga mempunyai tanggung jawab, antara lain adalah (BPOM RI, 2012):

a. Membuat, memvalidasi, dan menerapkan semua prosedur pengawasan mutu. b. Menyimpan sampel pembanding dari bahan dan produk.

c. Memastikan pelabelan yang benar pada wadah bahan dan produk. d. Memastikan pelaksanaan pemantauan stabilitas dari produk.

(31)

Semua kegiatan tersebut hendaklah dilakukan sesuai dengan prosedur tertulis, dan dicatat di mana perlu. Dokumentasi dan prosedur pelulusan yang diterapkan bagian Pengawasan Mutu hendaklah menjamin bahwa pengujian yang diperlukan telah dilakukan sebelum bahan digunakan dalam produksi dan produk disetujui sebelum didistribusikan (BPOM RI, 2012).

2.3.8 Inspeksi Diri, Audit Mutu dan Audit dan Persetujuan Pemasok

Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek produksi dan pengawasan mutu industri farmasi memenuhi ketentuan CPOB. Program inspeksi diri hendaklah dirancang untuk mendeteksi kelemahan dalam pelaksanaan CPOB dan untuk menetapkan tindakan perbaikan yang diperlukan. Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara independen dan rinci oleh petugas yang kompeten dari perusahaan yang dapat mengevaluasi penerapan CPOB secara obyektif (BPOM RI, 2012).

Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara rutin dan pada situasi khusus, misalnya dalam hal terjadi penarikan kembali obat jadi atau terjadi penolakan yang berulang. Semua saran untuk tindakan perbaikan supaya dilaksanakan. Prosedur dan catatan inspeksi diri hendaklah didokumentasikan dan dibuat program tindak lanjut yang efektif. Hendaklah dibuat instruksi tertulis untuk inspeksi diri yang menyajikan standar persyaratan minimal dan seragam. Daftar ini hendaklah berisi pertanyaan mengenai ketentuan CPOB yang mencakup antara lain (BPOM RI, 2012):

a. Personalia.

b. Bangunan termasuk fasilitas untuk personil. c. Perawatan bangunan dan peralatan.

d. Penyimpanan bahan awal, bahan pengemas, dan obat jadi. e. Peralatan.

f. Pengolahan dan pengawasan selama-proses. g. Pengawasan Mutu.

h. Dokumentasi. i. Sanitasi dan higiene.

(32)

k. Kalibrasi alat atau sistem pengukuran. l. Prosedur penarikan kembali obat jadi. m. Penanganan keluhan.

n. Pengawasan label.

o. Hasil inspeksi diri sebelumnya dan tindakan perbaikan.

Aspek-aspek tersebut hendaklah diperiksa secara berkala menurut program yang telah disusun untuk memverifikasi kepatuhan terhadap prinsip Pemastian Mutu. Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara independen dan rinci oleh personil perusahaan yang kompeten. Manajemen hendaklah membentuk tim

inspeksi diri yang berpengalaman dalam bidangnya masing-masing dan

memahami CPOB. Audit independen oleh pihak ketiga juga dapat bermanfaat. Inspeksi diri dapat dilaksanakan per bagian sesuai dengan kebutuhan perusahaan, namun inspeksi diri yang menyeluruh hendaklah dilaksanakan minimal 1 (satu) kali dalam setahun. Frekuensi inspeksi diri hendaklah tertulis dalam prosedur inspeksi diri.Semua hasil inspeksi diri hendaklah dicatat. Laporan hendaklah mencakup (BPOM RI, 2012):

a. Semua hasil pengamatan yang dilakukan selama inspeksi dan, bila

memungkinkan,

b. Saran untuk tindakan perbaikan.

Pernyataan dari tindakan yang dilakukan hendaklah dicatat. Hendaklah ada program penindak-lanjutan yang efektif. Manajemen perusahaan hendaklah mengevaluasi baik laporan inspeksi diri maupun tindakan perbaikan bila diperlukan (BPOM RI, 2012).

2.3.9 Penanganan Keluhan Terhadap Produk dan Penarikan

Semua keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan kemungkinan terjadi kerusakan obat harus dikaji dengan teliti sesuai dengan prosedur tertulis. Untuk menangani semua kasus yang mendesak, hendaklah disusun suatu sistem, bila perlu mencakup penarikan kembali produk yang diketahui atau diduga cacat dari peredaran secara cepat dan efektif (BPOM RI, 2012).

(33)

keluhan dan memutuskan tindakan yang hendak dilakukan bersama staf yang memadai untuk membantunya. Apabila personil tersebut bukan kepala bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu), maka ia hendaklah memahami cara penanganan seluruh keluhan, penyelidikan atau penarikan kembali produk. Hendaklah tersedia prosedur tertulis yang merinci penyelidikan, evaluasi, tindak lanjut yang sesuai, termasuk pertimbangan untuk penarikan kembali produk, dalam menanggapi keluhan terhadap obat yang diduga cacat. Penanganan keluhan dan laporan suatu produk termasuk hasil evaluasi dari penyelidikan serta tindak lanjut yang dilakukan hendaklah dicatat dan dilaporkan kepada manajemen atau bagian yang terkait (BPOM RI, 2012).

Penarikan kembali produk adalah suatu proses penarikan kembali dari satu atau beberapa produk atau seluruh bets produk tertentu dari peredaran yang dilakukan apabila ditemukan produk yang cacat mutu atau bila ada laporan mengenai reaksi yang merugikan yang serius serta berisiko terhadap kesehatan. Hendaklah ditunjuk personil yang bertanggung jawab untuk melaksanakan dan mengkoordinasikan penarikan kembali produk dan hendaklah ditunjang oleh staf yang memadai untuk menangani semua aspek penarikan kembali sesuai dengan tingkat urgensinya. Personil tersebut hendaklah independen terhadap bagian penjualan dan pemasaran. Jika personil ini bukan kepala bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu), maka ia hendaklah memahami segala operasi penarikan kembali. Hendaklah tersedia prosedur tertulis, yang diperiksa secara berkala dan dimutakhirkan jika perlu, untuk mengatur segala tindakan penarikan kembali. Operasi penarikan kembali hendaklah mampu untuk dilakukan segera dan tiap saat (BPOM RI, 2012).

Produk kembalian adalah obat jadi yang telah beredar, yang kemudian ke industri farmasi karena keluhan mengenai kerusakan, daluwarsa, atau alasan lain misalnya kondisi wadah atau kemasan yang dapat menimbulkan keraguan akan identitas, mutu, jumlah dan keamanan obat yang bersangkutan. Tiap keluhan yang menyangkut kerusakan produk dicatat yang mencakup rincian mengenai asal

usul keluhan dan diselidiki secara menyeluruh dan mendalam. Kepala

bagian Pengawasan Mutu dilibatkan dalam pengkajian masalah tersebut (BPOM RI, 2012).

(34)

Jika produk pada suatu bets ditemukan atau diduga cacat, maka

dipertimbangkan untuk memastikan apakah bets lain juga terpengaruh.

Khusus bets yang mengandung hasil pengolahan ulang dari bets yang cacat diselidiki. Setelah melakukan penyelidikan dan evaluasi terhadap laporan dan keluhan mengenai suatu produk dilakukan tindak lanjut mencakup tindakan perbaikan bila diperlukan, penarikan kembali satu bets atau seluruh produk akhir yang bersangkutan, dan tindakan lain yang tepat. Catatan keluhan dikaji secara berkala untuk mengidentifikasi hal yang spesifik atau masalah yang berulang

terjadi, yang memerlukan perhatian dan kemungkinan penarikan kembali

produk dari peredaran (BPOM RI, 2012).

2.3.10 Dokumentasi

Dokumentasi adalah bagian dari sistem informasi manajemen dan dokumentasi yang baik merupakan bagian yang esensial dari pemastian mutu. Dokumentasi yang jelas adalah fundamental untuk memastikan bahwa tiap personil menerima uraian tugas yang relevan secara jelas dan rinci sehingga memperkecil risiko terjadi salah tafsir dan kekeliruan yang biasanya timbul karena hanya mengandalkan komunikasi lisan. Spesifikasi, dokumen produksi induk/formula pembuatan, prosedur, metode dan instruksi, laporan, dan catatan harus bebas dari kekeliruan dan tersedia secara tertulis. Keterbacaan dokumen menjadi sangat penting (BPOM RI, 2012).

Spesifikasi menguraikan secara rinci persyaratan yang harus dipenuhi

produk atau bahan yang digunakan atau diperoleh selama pembuatan.

Dokumen ini merupakan dasar untuk mengevaluasi mutu. Dokumen Produksi Induk, Prosedur Pengolahan Induk, dan Prosedur Pengemasan Induk (Formula Pembuatan, Instruksi Pengolahan, dan Instruksi Pengemasan) menyatakan seluruh bahan awal dan bahan pengemas yang digunakan serta menguraikan semua operasi pengolahan dan pengemasan. Prosedur berisi cara untuk melaksanakan operasi tertentu, misalnya pembersihan, berpakaian, pengendalian lingkungan, pengambilan sampel, pengujian, dan pengoperasian peralatan. Metode dan instruksi ditulis dengan bahasa yang jelas, tidak bermakna ganda, dan dapat diterapkan secara spesifik pada sarana yang tersedia; merupakan kewajiban dari

(35)

suatu industri untuk memiliki instruksi dari setiap tahapan proses yang jelas dan terperinci. Laporan berisi ringkasan hasil yang diperoleh. Catatan menyajikan riwayat tiap bets produk, termasuk distribusinya dan semua keadaan yang relevan yang berpengaruh pada mutu produk akhir (BPOM RI, 2012).

Dokumen hendaklah didesain, disiapkan, dikaji dan didistribusikan dengan cermat. Bagian dokumen pembuatan dan hendaklah sesuai dengan dokumen persetujuan izin edar yang relevan. Dokumen hendaklah disetujui, ditandatangani dan diberi tanggal oleh personil yang sesuai dan diberi wewenang. Isi dokumen hendaklah tidak bermakna ganda, judul, sifat dan tujuannya hendaklah dinyatakan dengan jelas. Penampilan dokumen hendaklah dibuat rapi dan mudah dicek. Dokumen hasil salinan hendaklah jelas dan terbaca. Salinan dokumen kerja dari dokumen induk tidak boleh menimbulkan kekeliruan yang disebabkan proses penyalinan. Dokumen hendaklah dikaji ulang secara berkala dan dijaga agar selalu mutakhir. Bila suatu dokumen direvisi, hendaklah dijalankan suatu sistem untuk menghindarkan penggunaan dokumen yang sudah tidak berlaku secara tidak sengaja (BPOM RI, 2012).

Dokumen hendaklah tidak ditulistangan; namun, bila dokumen

memerlukan pencatatan data, maka pencatatan ini hendaklah ditulis-tangan dengan jelas, terbaca, dan tidak dapat dihapus. Hendaklah disediakan ruang yang cukup untuk mencatat data. Semua perubahan yang dilakukan terhadap pencatatan pada dokumen hendaklah ditandatangani dan diberi tanggal; perubahan hendaklah memungkinkan pembacaan informasi semula. Jika perlu, alasan perubahan hendaklah dicatat. Pencatatan hendaklah dibuat atau dilengkapi pada tiap langkah yang dilakukan dan sedemikian rupa sehingga semua aktivitas yang signifikan mengenai pembuatan obat dapat ditelusuri. Catatan pembuatan hendaklah disimpan selama paling sedikit satu tahun setelah tanggal daluwarsa produk jadi (BPOM RI, 2012).

Data dapat dicatat dengan menggunakan sistem pengolahan data elektronis, cara fotografis atau cara lain yang dapat diandalkan, namun prosedur

rinci berkaitan dengan sistem yang digunakan hendaklah tersedia dan

akurasi catatan hendaklah dicek. Apabila dokumentasi dikelola dengan

(36)

wewenang boleh memasukkan atau memodifikasi data dalam komputer dan hendaklah perubahan dan penghapusannya dicatat; akses hendaklah dibatasi dengan menggunakan kata sandi (password) atau dengan cara lain, dan hasil masukan dari data kritis hendaklah dicek secara independen. Catatan bets yang disimpan secara elektronis hendaklah dilindungi dengan transfer pendukung (back-up transfer) menggunakan pita magnet, mikrofilm, kertas atau cara lain. Merupakan hal sangat penting bahwa data selalu tersedia selama kurun waktu penyimpanan (BPOM RI, 2012).

2.3.11 Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak

Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak harus dibuat secara benar, disetujui dan dikendalikan untuk menghindarkan kesalahpahaman yang dapat menyebabkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang tidak memuaskan. Kontrak tertulis antara pemberi kontrak dan penerima kontrak harus dibuat secara jelas yang menentukan tanggung jawab dan kewajiban masing-masing pihak. Kontrak harus menyatakan secara jelas prosedur pelulusan tiap bets produk untuk diedarkan yang menjadi tanggung jawab penuh kepala bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) (BPOM RI, 2012).

Kontrak tertulis hendaklah dibuat meliputi pembuatan dan atau

analisis obat yang dikontrakkan dan semua pengaturan teknis terkait. Semua pengaturan untuk pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak termasuk usul perubahan dalam pengaturan teknis atau pengaturan lain hendaklah sesuai dengan izin edar untuk produk bersangkutan. Dalam hal analisis berdasarkan kontrak, pelulusan akhir harus diberikan oleh kepala bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu) Pemberi Kontrak (BPOM RI, 2012).

2.3.12 Kualifikasi dan Validasi

Kualifikasi adalah segala kegiatan pembuktian dan pendokumentasian bahwa sebuah sistem dan atau alat sudah terpasang dan berfungsi secara benar sesuai dengan kriteria yang ditetapkan. Kualifikasi merupakan tahap awal yang

harus dilakukan sebelum validasi. Kualifikasi terdiri dari Kualifikasi

(37)

Kualifikasi Kinerja (KK) (BPOM RI, 2012).

CPOB mensyaratkan industri farmasi untuk mengidentifikasi validasi yang perlu dilakukan sebagai bukti pengendalian terhadap aspek kritis dari kegiatan

yang dilakukan. Perubahan signifikan terhadap fasilitas, peralatan, dan

proses yang dapat mempengaruhi mutu produk hendaklah divalidasi. Pendekatan dengan kajian risiko hendaklah digunakan untuk menentukan ruang lingkup dan cakupan validasi(BPOM RI, 2012).

Seluruh kegiatan validasi hendaklah direncanakan. Unsur utama program validasi hendaklah dirinci dengan jelas dan didokumentasikan di dalam Rencana Induk Validasi (RIV) atau dokumen setara. RIV hendaklah merupakan dokumen yang singkat, tepat, dan jelas. RIV hendaklah mencakup sekurang-kurangnya data sebagai berikut (BPOM RI, 2012):

a. kebijakan validasi;

b. struktur organisasi kegiatan validasi;

c. ringkasan fasilitas, sistem, peralatan dan proses yang akan divalidasi;

d. format dokumen: format protokol dan laporan validasi, perencanaan,

dan jadwal pelaksanaan; e. pengendalian perubahan; dan

f. acuan dokumen yang digunakan

2.4. Kompetensi Apoteker Praktisi Industri

Peran apoteker dalam industri farmasi yang digariskan oleh WHO yang dikenal dengan istilah Seven Star Pharmacist meliputi (WHO, 1997):

2.4.1 Care Giver

Apoteker harus menjadi pemberi pelayanan. Bentuk pelayanan yang diberikan dalam industri farmasi berupa informasi obat, efek samping obat, teknologi dalam pembuatan obat, regulasi obat, dan informasi analitis mengenai hal yang berhubungan dengan obat kepada dokter, sejawat, dan profesi kesehatan lain. Dalam memberikan pelayanan, apoteker harus mampu berinteraksi dengan individu dan kelompok dalam lingkungan industri seperti registrasi, formulasi, pengawasan mutu, penjaminan mutu, produksi, maupun di luar industri seperti

(38)

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam registrasi dan pengawasan mutu obat, Kementerian Kesehatan dalam pelayanan kefarmasian (WHO, 1997).

2.4.2 Decision Maker

Apoteker mendasarkan pekerjaanya pada ketepatan, keefikasian, dan biaya yang efektif dan efisien terhadap seluruh penggunaan sumber daya misalnya pengendalian bahan awal dan obat jadi, alokasi dana yang sesuai dengan

kebutuhan, operasi mesin-mesin produksi, prosedur yang tepat dalam

memproduksi obat, pemanfaatan sumber daya manusia dan strategi yang tepat dalam memasarkan, dan memperkenalkan obat kepada masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut kemampuan dan keterampilan apoteker perlu diukur untuk kemudian hasilnya dijadikan dasar dalam penentuan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan (WHO, 1997).

2.4.3 Communicator

Apoteker mempunyai kedudukan penting dalam berhubungan dengan masyarakat maupun praktisi kesehatan lain. Oleh karena itu, oleh karena itu ia harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang cukup baik. Komunikasi tersebut meliputi komunikasi verbal, nonverbal, mendengar, dan kemampuan menulis dengan menggunakan bahasa sesuai kebutuhan (WHO, 1997).

2.4.4 Leader

Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan (WHO, 1997).

2.4.5 Manager

Apoteker harus mampu mengelola seluruh sumber daya yang ada di industri farmasi dan dapat mengakumulasikannya untuk meningkatkan kinerja industri dari waktu ke waktu (WHO, 1997).

(39)

2.4.6 Life Long Learner

Belajar terus-menerus dan melakukan interaksi yang baik dengan rekan-rekan sejawat di industri farmasi untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan (WHO, 1997).

2.4.7 Teacher

Bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan dan pelatihan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan dunia industri kepada sejawat apoteker dalam

praktek kerja lapangan, dalam seminar mengenai aspek-aspek industri

(40)

3.1. PT. Taisho Pharmaceutical International

PT. Taisho Pharmaceutical didirikan pada tanggal 12 Oktober 1912 dan didirikan di Bunkyo Ward di Tokyo, Jepang pada 5 Mei 1928 untuk pembuatan obat over the counter (OTC) dengan formulasi yang berbeda. Taisho berkomitmen untuk berperan dalam kesehatan masyarakat dengan atau tanpa peresepan. Sosok kunci pada perusahaan ini adalah Shoji Uehara yang kemudian ditunjuk sebagai pimpinan perusahaan. Taisho memproduksi obat-obat resep maupun OTC selain produk bermanfaat lainnya.

Produk Taisho untuk peresepan yang terkenal adalah antibiotik

klaritromisin dengan nama paten Clarith & Tomiron, antibiotik lainnya dan Ancaron untuk pengobatan aritmia. Obat-obat OTC Taisho yang populer diantaranya adalah makanan/minuman kesehatan yang kaya nutrisi (Lipovitan-D, Livita), rangkaian makanan untuk penggunaan kesehatan khusus, Pabron-adalah obat untuk pilek, pengobatan gastrointestinal Kanpro Ichoyaku, Colac-yang efektif untuk sistem pencernaan, dan RiUp-efektif bekerja untuk gangguan kebotakan pada pria.

PT. Taisho Pharmaceutical telah menandatangani kerjasama dengan Toyama Chemical untuk menjual produk-produknya. Taisho memahami dengan baik makanan yang ideal dikonsumsi oleh orang-orang di sekitar, oleh sebab itu Taisho membuat berbagai minuman dan makanan kesehatan kaya gizi yang mencakup berbagai merek populer seperti Zena, Lipovitan dan Livita. Perusahaan juga selalu fokus pada kegiatan pengobatan penyakit yang berkaitan dengan sistem syaraf pusat (SSP), diabetes, imunologi, alergi, dan berbagai penyakit

menular. Setelah lebih dari sembilan dekade, Taisho berhasil menjaga

eksistensinya dalam pasar kesehatan global dan telah dipercaya oleh konsumen seluruh dunia.

(41)

3.2. PT. Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk.

Sebelum Taisho Pharmaceutical masuk ke Indonesia, pabrik ini dulunya adalah milik perusahaan Squibb yang berdiri pada 8 juli 1970 sebagai perusahaan modal asing yang diberi nama PT. Squibb Indonesia. Pada tahun 1991 perusahaan

Squibb di seluruh dunia bergabung dengan perusahaan Bristol yang sebelumnya

telah bergabung bersama perusahaan Mead Johnson dan berubah nama menjadi

PT. Bristol-Myers Squibb Indonesia (BMSI). Seluruh saham PT. BMSI

selanjutnya dibeli oleh PT. Taisho Pharmaceutical pada tahun 2009, dan namanya pun berubah menjadi PT. Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk. Struktur organisasi PT. Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk. terdapat pada Lampiran 1.

PT. Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk. berlokasi di Jl. Raya Bogor Km 38, Cilangkap-Tapos, Depok, Jawa Barat 16458, Indonesia untuk area pabrik. Sedangkan kantor pusat terletak di Wisma Tamara Lt. 10, Jl. Jend. Sudirman Kav. 24, Jakarta 12920. Area pabrik PT. Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk. memiliki luas lahan 22.970 m2 meliputi bangunan kantor, kantin, mushola, dan bangunan pabrik yang terdiri dari area proses (grey area), area pengemasan (black

area), laboratorium QC, gudang, area teknik mesin, gudang bahan mudah

terbakar, dan sarana pengolahan air dan limbah.

Produksi PT. Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk. dibagi menjadi tiga value stream yaitu Value Stream Tempra, Value Stream Counterpain, dan

Value Stream Diamond. Value stream adalah suatu sistem yang membagi

pekerjaan agar lebih terfokus pada masing-masing pekerjaan di masing-masing

value stream. Value stream mengatur perencanaan produksi untuk memenuhi

permintaan pasar khusus untuk masing-masing produk, dengan data permintaan dan kebutuhan bahan baku maupun bahan pengemas yang berasal dari Plant

Logistic. Plant Logistic merupakan departemen yang mengatur semua perencanaan penjualan, pembelian dan juga penyimpanan untuk semua produk.

PT. Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk. memproduksi produk jadi untuk wilayah Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Myanmar, dan Hongkong. Seluruh penyalur di provinsi-provinsi di Indonesia menyediakan produk-produk yang dibuat di PT. Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk.. PT. Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk. menerima toll manufacturing dari PT.

(42)

Janssen-Cilag Indonesia divisi pharma.

3.3. Value Stream

Setiap value stream dipimpin oleh seorang manager yang membawahi seorang supervisor dan seorang scheduler. Scheduler bertugas mengatur semua perencanaan produksi. Supervisor bertanggung jawab langsung pada manager untuk mengatur, mengontrol dan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia, bahan baku setengah jadi/jadi dan mesin-mesin produksi di dalam wilayah tanggung jawabnya guna memaksimalkan efisiensi, meminimalkan biaya dan menghasilkan bahan setengah jadi/jadi yang memenuhi standar kebutuhan pelanggan. Jadi, supervisor bertugas untuk menjamin seluruh proses produksi sesuai dengan standar operasional yang berlaku dan memenuhi persyaratan CPOB serta Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Supervisor membawahi foreman

mixing, foreman packaging, bagian IPC (In Process Control), dan teknisi.

3.3.1 Value Stream Counterpain (VSC)

Pada Value Stream Counterpain, foreman mixing membawahi operator

dispensing dan operator mixing serta bertugas untuk memastikan bahwa kegiatan dispensing dan mixing berjalan dengan lancar. Foreman packaging membawahi

operator filling dan operator cartoning, serta bertugas untuk memastikan bahwa kegiatan packaging (filling dan cartoning) berjalan dengan lancar. Foreman bertanggung jawab langsung kepada supervisor. Struktur organisasi Value Stream

Counterpain tersaji dalam Lampiran 2a.

Selain itu, terdapat seorang scheduler yang bertugas untuk merencanakan produksi dalam beberapa bulan kedepan. Schedule biasanya dibuat untuk 3 bulan kedepan. Untuk dapat merencanakan produksi, seorang scheduler berarti harus dapat merencanakan produk apa yang akan diproduksi (sesuai pesanan baik lokal maupun ekspor dan forecasting) dan waktu produksi serta material apa saja yang dibutuhkan untuk produksi tersebut. Setelah itu nantinya akan diperoleh monthly

(43)

3.3.2 Value Stream Tempra

Pada Value Stream Tempra, foreman mixing membawahi operator

dispensing dan operator mixing serta bertugas untuk memastikan bahwa kegiatan dispensing dan mixing berjalan dengan lancar. Foreman packaging membawahi

operator CVC line dan operator Kaps All line, serta bertugas untuk memastikan bahwa kegiatan packaging berjalan dengan lancar. Struktur organisasi Value

Stream Tempra tersaji dalam Lampiran 2b. Varian produk liquid antara lain acetaminophen syrup grape flavor, strawberry flavor, mango flavor, dan orange flavor.

3.3.3 Value Stream Diamond

Sama seperti dua value stream yang lain, value stream ini dipimpin oleh seorang kepala bagian (manager) yang membawahi langsung production foreman.

Production Foreman membawahi foreman manufacturing dan foreman packaging. Foreman manufacturing membawahi langsung operator dispensing

dan operator mixing serta bertugas untuk memastikan bahwa kegiatan dispensing dan mixing berjalan dengan lancar. Sedangkan foreman packaging membawahi langsung senior packer dan packer. Struktur organisasi value stream diamond terlampir dalam Lampiran 3a. Produk yang dihasilkan oleh value stream

diamond antara lain multivitamin, serta produk-produk toll in dari PT.

Janssen-Cilag divisi pharma antara lain krim dan serbuk anti jamur.

3.4 Departemen Plant Logistic (PL)

Departemen Plant Logistic bertugas untuk menerima dan menyimpan material inventori, mengatur kestabilan persediaan, dan mengkoordinasi serta merencanakan produk baru. Struktur organisasi Plant Logistic tersaji dalam

Lampiran 3b. Departemen Plant Logistic memiliki tiga seksi yaitu:

3.4.1 Warehouse (Gudang)

Sesuai CPOB 2006, gudang yang dimiliki oleh PT. Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk, memiliki kapasitas yang memadai untuk menyimpan bahan dan produk dengan rapi dan teratur, bersih, kering dan mendapat penerangan yang

Gambar

Tabel 2.1. Seven plus One Types of Waste ........................................................
Tabel 2.1. Seven plus One Types of Waste

Referensi

Dokumen terkait

Seluruh kegiatan produksi selalu mengikuti prosedur yang ditetapkan dalam CPOB sehingga dapat menjamin mutu bahan awal dan produk yang dihasilkan sesuai dengan spesifikasi yang

produksi dan pengawasan mutu sesuai dengan prosedur dan spesifikasi yang

Dokumentasi dan prosedur pelulusan yang diterapkan bagian Pengawasan Mutu hendaklah menjamin bahwa pengujian yang diperlukan telah dilakukan sebelum bahan

CPOB merupakan bagian dari sistem pemastian mutu yaitu suatu konsep dalam industri farmasi mengenai prosedur atau langkah-langkah yang dilakukan dalam suatu

Berdasarkan PPR, tramadol 50 mg kapsul telah memenuhi syarat kualitas dan spesifikasi yang ditetapkan, mulai dari spesifikasi bahan awal, bahan kemas, dan produk jadi, dan

Penanganan kualifikasi vendor ini bertujuan untuk mengetahui prosedur yang harus dilakukan dalam kualifikasi, persetujuan, dan sertifikasi vendor (pabrik pembuat dan

Untuk memastikan keseragaman bets dan keutuhan obat, prosedur tertulis yang menjelaskan pengambilan sampel, pengujian, atau pemeriksaan yang harus dilakukan selama proses

Pelayanan kesehatan tersebut antara lain: pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku, pelayanan kesehatan yang