• Tidak ada hasil yang ditemukan

KORELASI ANTARA KADAR TISSUE POLYPEPTIDE SPECIFIC ANTIGEN SERUM DAN VOLUME PROSTAT PADA PENDERITA BPH Repository - UNAIR REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KORELASI ANTARA KADAR TISSUE POLYPEPTIDE SPECIFIC ANTIGEN SERUM DAN VOLUME PROSTAT PADA PENDERITA BPH Repository - UNAIR REPOSITORY"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

KORELASI ANTARA KADAR

TISSUE POLYPEPTIDE

SPECIFIC ANTIGEN

SERUM DAN VOLUME PROSTAT

PADA PENDERITA BPH

Oleh:

Mahrany Graciella Bumbungan, dr NIM: 011181505

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I PATOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

(2)

KORELASI ANTARA KADAR

TISSUE POLYPEPTIDE

SPECIFIC ANTIGEN

SERUM DAN VOLUME PROSTAT

PADA PENDERITA BPH

Oleh:

Mahrany Graciella Bumbungan, dr

Pembimbing:

Endang Retnowati, dr., MS., Sp.PK (K) Dr. Wahjoe Djatisoesanto, dr., Sp.U

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I PATOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

(3)

SPECIFIC ANTIGEN

SERUM DAN VOLUME PROSTAT

PADA PENDERITA BPH

KARYA AKHIR

Dalam rangka memenuhi persyaratan

Program Pendidikan Dokter Spesialis I Patologi Klinik

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I DEPARTEMEN-INSTALASI PATOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

(4)
(5)

1. Prof. Dr. Prihatini, dr., Sp.PK (K) 2. Leonita Anniwati, dr., Sp.PK (K) 3. Fery H. Soedewo, dr., MS., Sp.PK (K)

Konsultan Statistika :

(6)
(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat, kemurahan, dan perkenaanNya saya dapat menyelesaikan karya akhir yang berjudul “Korelasi antara kadar Tissue Polypeptide Specific Antigen Serum dan Volume Prostat pada

Penderita BPH”. Karya akhir ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan Program Pendidikan Dokter Spesialis I Patologi Klinik di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.

Terima kasih yang setulus-tulusnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya saya ucapkan kepada Endang Retnowati, dr., MS, Sp.PK(K) dan Dr. Wahjoe Djatisoesanto, dr., Sp.U selaku pembimbing yang telah banyak memberi dorongan, bimbingan, petunjuk, dan saran yang sangat bermanfaat dalam penyusunan karya akhir ini.

Rasa hormat dan terima kasih saya sampaikan kepada:

1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan spesialis di bidang Patologi Klinik. 2. Direktur RSUD Dr. Soetomo yang telah memberi ijin untuk menggunakan fasilitas

rumah sakit dalam rangka melaksanakan tugas selama pendidikan spesialis ini. 3. Yetti Hernaningsih, dr., Sp.PK, sebagai Kepala Departemen Patologi Klinik

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan

Prof. Dr. Aryati, dr., MS, Sp.PK(K), selama menjabat sebagai Kepala Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas pengarahan serta bimbingannya selama saya menempuh pendidikan.

4. Dr. Puspa Wardhani, dr., Sp.PK, sebagai Ketua Program Studi Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan Dr. Sidarti Soehita, dr., MS, Sp.PK(K), selama menjabat sebagai Ketua Program Studi Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas pengarahan serta bimbingannya selama saya menempuh pendidikan.

(8)

6. Prof. SP Edijanto, dr., Sp.PK(K), Prof. Dr. Prihatini, dr., Sp.PK(K), Prof. Dr. Aryati, dr., MS, Sp.PK(K), Prof. Dr. Jusak Nugraha, dr., MS, Sp.PK(K), dan

Prof. Dr. Drs. Suprapto Ma’at, MS, Apt. sebagai Guru Besar yang dengan penuh kesabaran membimbing saya memahami pengetahuan patologi klinik.

7. Dr. Windhu Purnomo, dr., MS, dari Departemen Biostatistika dan Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya sebagai konsultan statistik, atas segala bimbingannya dalam metodologi dan analisis statistik dalam penelitian ini.

8. Prof. Dr. Prihatini, dr., MS., Sp.PK (K), Fery H. Soedewo, dr., MS., Sp.PK (K), dan Leonita Anniwati, dr., Sp.PK (K) yang telah bersedia menjadi penilai dan memberi masukan yang berharga untuk perbaikan karya akhir ini.

9. Juli Soemarsono, dr., Sp.PK (Alm) selama menjabat sebagai Sekretaris Program Studi Patologi Klinik yang semasa hidup beliau telah memberikan bimbingan dan arahan selama saya menempuh pendidikan.

10. M. Yolanda Probohoesodo, dr., Sp.PK(K) yang telah membantu saya dalam penulisan abstrak dan ringkasan dalam bahasa Inggris.

11. Seluruh staf pengajar Departemen-Instalasi Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya yang telah membimbing dan memberi petunjuk selama saya mengikuti pendidikan.

12. Seluruh teman sejawat peserta PPDS I Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, atas persahabatan, bantuan, dan kerjasama yang baik selama menempuh pendidikan spesialis ini, khususnya angkatan Januari 2012 yaitu Binar Rahma Utami, Rahmi Rusanti, Suci Andriani, Pauline Hadisiswoyo, M. Abid Fahruddin, Si Ngurah Oka Putrawan, dan Eko Bagus Wahyudi yang selalu kompak, baik dalam suka maupun duka, senasib seperjuangan selama menempuh pendidikan ini, dan juga kepada kakak kelas serta teman PPDS yang lain.

13. Sri Hariastuti, AMd.K; Yuanita Bahar, AMd.AK, atas bantuannya dalam pelaksanaan penelitian.

14. Semua karyawan dan karyawati Instalasi Patologi Klinik RSUD Dr. Soetomo Surabaya, atas segala bantuan dan kerjasama yang baik selama menempuh pendidikan.

(9)

16. Semua residen urologi dan perawat di Poli Rawat Jalan Urologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya, atas segala bantuan dan kerjasama yang baik dalam pengambilan sampel penelitian.

17. Orang tuaku Bara Bumbungan, Ir., MBA dan Rosanna Christina; papa mama mertua Soleman Marianus Louk, SE dan Margaritha Louk Salean, drg., M.Kes

serta kakak-adik tercinta Angely Naftalie, S.Sos dan Manoressy Tobias, ST, Michael Jackson Aza Louk, SE dan Raynaldo Christo Louk, SE yang penuh kasih sayang mendukung dan mendoakan dalam menyelesaikan pendidikan ini, serta kepada seluruh keluarga besar atas dukungan, doa, bantuan materiil dan moril. 18. Suamiku tercinta Ronald Melvianno Louk, dr yang selalu sabar dan penuh

pengertian, atas doa, pengorbanan lahir batin serta semangat yang diberikan dalam menjalani pendidikan ini. Putriku tercinta Dorothy Melviella Louk (Diva) yang merupakan sumber kebahagiaan serta sumber semangat untuk menyelesaikan pendidikan.

19. Kepada semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah membantu saya dalam menempuh pendidikan spesialisasi hingga terselesaikannya karya akhir ini.

Akhir kata saya mohon maaf kepada semua pihak untuk kesalahan dan kekurangan dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan laporan karya akhir ini, serta segala kesalahan dan kekhilafan dalam bertutur kata maupun bersikap yang kurang berkenan dalam berinteraksi selama menempuh pendidikan dan selama kegiatan penelitian ini.

Surabaya, Maret 2016

(10)

ABSTRAK

KORELASI ANTARA KADAR TISSUE POLYPEPTIDE SPECIFIC ANTIGEN

SERUM DAN VOLUME PROSTAT PADA PENDERITA BPH

Mahrany Graciella Bumbungan

Pendahuluan

Volume prostat menjadi informasi yang penting karena dapat memprediksi morbiditas pada Hiperplasia Prostat Jinak (BPH). Volume prostat diukur menggunakan transrectal ultrasonography (TRUS) sebagai baku emas namun TRUS mempunyai beberapa kekurangan. Dibutuhkan suatu parameter lain yang dapat memprediksi volume prostat. Tissue Polypeptide Specific Antigen (TPS) yang terdeteksi di sirkulasi terdiri dari fragmen sitokeratin yang terdapat dalam jaringan dan menunjukkan status proliferasi. Sel epitel pada BPH yang mengandung sitokeratin 18 akan mengalami hiperplasia sehingga dapat terdeteksi dengan pemeriksaan TPS. Tujuan penelitian ini adalah membuktikan adanya korelasi antara kadar TPS serum dan volume prostat.

Metode

Penelitian bersifat observasional potong lintang, dilakukan mulai dari bulan Oktober 2015 sampai dengan Februari 2016. Subjek penelitian terdiri dari 28 penderita BPH yang datang berobat ke Poli Rawat Jalan Urologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Volume prostat diukur menggunakan alat TRUS. Kadar TPS serum diukur menggunakan metode ELISA secara manual (TPS® ELISA IDL Biotech).

Hasil

Kadar TPS serum berkisar antara 82,45-1771,5 U/L (195,35±349,79 U/L). Volume prostat bervariasi antara 20,7-87,4 ml (34,70±15,31 ml). Tidak terdapat korelasi positif yang bermakna antara kadar TPS serum dan volume prostat (p=0,404; r=0,164).

Simpulan

Tidak terdapat korelasi antara kadar TPS serum dan volume prostat pada penderita BPH

(11)

ABSTRACT

CORRELATION BETWEEN LEVEL OF SERUM TISSUE POLYPEPTIDE SPECIFIC ANTIGEN AND PROSTATE VOLUME IN BPH PATIENTS

Mahrany Graciella Bumbungan

Background

Prostate volume has become an important information because it can predict morbidity in Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). Prostate volume was measured using transrectal ultrasonography (TRUS) as a gold standard; but it has some disadvantages. Other parameters are needed to predict prostate volume. Tissue Polypeptide Specific Antigen (TPS) detected in the circulation consists of cytokeratin fragments contained in the tissue and show the proliferation status. BPH epithelial cells containing cytokeratin 18 will undergo hyperplasia, so it can be detected by TPS examination. The aim of this study was to prove any correlation between the levels of serum TPS and prostate volume.

Methods

This study was done in October 2015 until February 2016, the study design was cross sectional observational. Study subjects consisted of 28 BPH patients from the Urology Outpatient Clinic Dr. Soetomo General Hospital Surabaya. Prostate volume was measured using TRUS. Levels of serum TPS were measured using manual ELISA method (TPS® ELISA IDL Biotech).

Results

Levels of serum TPS ranged between 82.45-1771.5 U/L (195.35±349.79 U/L). Prostate volume varied between 20.7-87.4 ml (34.70±15.31 ml). No significant positive correlations between levels of serum TPS and prostate volume were found (p=0.404; r=0.164).

Conclusions

There were no correlations between levels of serum TPS and prostate volume in BPH patients.

(12)

RINGKASAN

KORELASI ANTARA KADAR TISSUE POLYPEPTIDE SPECIFIC ANTIGEN

SERUM DAN VOLUME PROSTAT PADA PENDERITA BPH

Mahrany Graciella Bumbungan

Hiperplasia prostat atau benign prostatic hyperplasia (BPH) merupakan kelainan terbanyak kedua pada penderita laki-laki setelah batu saluran kemih. Pedoman American Urological Association (AUA) mendefinisikan BPH sebagai diagnosis histopatologis yaitu terjadi proliferasi sel epitel dan sel stroma prostat di dalam zona transisional prostat yang mengakibatkan penyempitan uretra. BPH sering ditemukan pada pria usia lanjut dengan angka kejadian yang meningkat seiring bertambahnya usia. Diagnosis BPH ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit penderita termasuk kuesioner International Prostate Symptom Score (IPSS) dan 1 pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup (quality of life atau QoL). Pencitraan ultrasonografi transrektal atau transrectal ultrasonography (TRUS) merupakan baku emas untuk memprediksi volume prostat sehingga dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat dan konsistensi prostat namun TRUS memilik beberapa kelemahan.

Parameter lain dibutuhkan untuk memprediksi volume prostat yang dapat digunakan secara luas yaitu Tissue Polypeptide Specific Antigen (TPS). Sel epitel pada BPH yang mengandung sitokeratin 18 akan mengalami hiperplasia termasuk sel stroma sehingga sitokeratin 18 dapat terdeteksi dengan pemeriksaan TPS.

(13)

Kadar TPS serum meningkat pada 13 subjek penderita BPH berkisar antara 82,45-1822 U/L dengan rerata±SD pada seluruh sampel adalah 195,35 ± 349,79 U/L. Volume prostat bervariasi antara 20,7-87,4 cm dengan rerata ±SD adalah 34,70 ± 15,31 cm.

Hasil analisis statistik dengan uji korelasi Pearson menunjukkan tidak adanya korelasi positif yang bermakna antara kadar TPS serum dengan volume prostat (p= 0,404) dengan nilai r= 0,164.

Hasil penelitian ini berlawanan dengan hipotesis. Sitokeratin 18 memiliki efek terbatas pada fisiologis sel epitel prostat karena kemungkinan ada peningkatan sitokeratin lain yang berlebihan. Sitokeratin 18 menunjukkan dampak yang rendah terhadap morfogenesis dan pertumbuhan sel epitel prostat karena adanya upregulation dari sitokeratin lain seperti sitokeratin 8 dan 19.

(14)

SUMMARY

CORRELATION BETWEEN LEVEL OF SERUM TISSUE POLYPEPTIDE SPECIFIC ANTIGEN AND PROSTATE VOLUME IN BPH PATIENTS

Mahrany Graciella Bumbungan

Prostatic hyperplasia or benign prostatic hyperplasia (BPH) is the second most common disorder in male patients after urinary tract stones. Guidelines of the American Urological Association (AUA) define BPH as the histopathologic diagnosis which is proliferation of epithelial cells and prostate stromal cells in the transitional zone of the prostate that cause constriction of the urethra. BPH is common in older males with the incidence increasing with age.

BPH diagnosis is made based on patient’s medical history questionnaire including the International Prostate Symptom Score (IPSS) and one single question about the quality of life (quality of life or QoL). Transrectal ultrasonography (TRUS) is the gold standard for predicting prostate volume in order to detect enlarged prostate and prostate consistency but TRUS have some disadvantages.

Another parameter is needed to predict the volume of the prostate that can be used widely, namely Tissue Polypeptide Specific Antigen (TPS). BPH epithelial cells containing cytokeratin 18 will undergo hyperplasia including stromal cells so that cytokeratin 18 can be detected by TPS examination.

The aim of this study was to prove any correlation between levels of serum TPS and prostate volume. This study was an observational analytical type with cross sectional design, and was done in October 2015 until February 2016. Study subjects were 28 BPH patients who visited the Urology Outpatient Clinic Dr. Soetomo General Hospital, Surabaya. Venous blood samples were taken and levels of TPS were measured by ELISA method ((TPS® ELISA IDL Biotech). Prostate volume was measured by TRUS.

(15)

Statistical analysis using Pearson’s Correlation Test showed that there was no significant positive correlation between levels of serum TPS and prostate volume (p= 0.404; r= 0.164).

The result of this study was in contrast with the hypothesis. This is due to the fact that cytokeratin 18 that has a limited effect on prostate epithelial cell physiology because there may be an increase in other cytokeratins excessively. Cytokeratin 18 shows a low impact on morphogenesis and growth of prostate epithelial cells due to their upregulation of cytokeratin such as cytokeratin 8 and cytokeratin 19.

(16)

DAFTAR ISI

1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti ... 5

1.4.2 Manfaat Bagi Institusi ... 6

1.4.3 Manfaat Bagi Klinisi ... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Benign Prostatic Hyperplasia (BPH).. ... 7

2.1.1 Definisi ... 7

2.1 5.2 Peran Estrogen dan Ketidakseimbangan dengan Androgen ... 17

(17)

2.1.7.7 Penentuan Volume Prostat dengan TRUS ... 24

2.2 Tissue Polypeptide Specific Antigen (TPS) ... 34

2.2.1 Biokimia dan Fisiologi ... 34

2.2.2 Metode Pemeriksaan TPS ... 37

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual ... 38

3.2 Penjelasan Kerangka Konseptual ... 39

3.3 Hipotesis Penelitian ... 41

BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian ... 42

4.2 Populasi, Sampel, Besar sampel dan Kriteria Sampel ... 42

4.2.1 Populasi Penelitian ... 42

4.3 Teknik Pengambilan Sampel ... 43

4.4 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 44

4.4.1 Waktu Penelitian ... 44

4.4.2 Lokasi Penelitian ... 44

4.5 Variabel Penelitian ... 44

4.6 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 44

4.7 Alur Penelitian ... 45

4.8 Prosedur Kerja Laboratorium ... 46

4.8.1 Pengukuran kadar TPS serum ... 46

4.8.1.1 Prinsip Pengukuran kadar TPS serum ... 46

4.8.1.2 Sampel untuk Pengukuran TPS serum ... 46

4.8.1.3 Bahan-bahan yang Disediakan ... 47

4.8.1.4 Persiapan Reagen ... 48

4.8.1.5 Cara Pengukuran kadar TPS serum ... 48

4.8.1.6 Interferensi ... 50

4.8.2 Penjaminan Mutu Pengukuran kadar TPS serum ... 50

4.9 Pengumpulan dan Penyajian Data ... 50

4.9.1 Pengumpulan Data ... 50

(18)

4.10 Analisis Data ... 50

4.10.1 Analisis Desktriptif ... 50

4.10.2 Analisis Statistik ... 51

4.11 Persetujuan dari Komite Etik Penelitian ... 51

4.12 Kerahasiaan Data Subjek Penelitian . ... 51

BAB 5 HASIL PENELITIAN 6.1 Penjaminan Mutu Pengukuran Kadar TPS ... 60

6.2 Karakteristik Subjek Penelitian ... 61

6.3 Kadar TPS serum pada Penderita BPH ... 62

6.4 Hasil Pengukuran Volume Prostat pada penderita BPH ... 64

6.5 Korelasi antara kadar TPS serum dengan Volume Prostat ... 65

(19)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Definisi atau istilah berhubungan dengan BPH ...8

Tabel 2.2 Pilihan Terapi pada BPH ...30

Tabel 2.3 Jenis Obat golongan ARB dan Efek Samping ...32

Tabel 2.4 Jenis Obat golongan 5-ARI dan Efek Samping ...33

Tabel 5.1 Distribusi Subjek Penelitian menurut Usia ...53

Tabel 5.2 Hasil Rerata Usia Subjek Penelitian ...53

Tabel 5.3 Hasil Pengukuran kadar TPS Serum ...55

Tabel 5.4 Hasil Rerata Pengukuran kadar TPS Serum ...55

Tabel 5.5 Hasil Pengukuran Volume Prostat ...56

Tabel 5.6 Hasil Rerata Pengukuran Volume Prostat ...56

(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Prostat...11

Gambar 2.2 Struktur dan Pembagian Zona Prostat ...12

Gambar 2.3 Mekanisme Perubahan Testosteron menjadi DHT oleh enzim 5α Reduktase... ...13

Gambar 2.4 Mekanisme Kerja Androgen pada Sel Epitel dan Sel Stroma Prostat...16

Gambar 2.5 Efek T cell-derived proinflammatory cytokines pada Patogenesis dan Progresivisitas Inflamasi dan Pertumbuhan Sel pada Penuaan Prostat ...19

Gambar 2.6 Ultrasonografi Transrektal (TRUS) ...26

Gambar 2.7 Gambaran BPH pada TRUS ...27

Gambar 2.8 Gambaran Kanker Prostat pada TRUS ...27

Gambar 2.9 Skema Pengelolaan BPH di Indonesia untuk Spesialis Urologi ...29

Gambar 2.10 Algoritma Pemilihan Golongan obat BPH ...31

Gambar 2. 11 Hipotesis Jalur Diferensiasi Sel Epitel Prostat Manusia ...35

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual ...38

Gambar 4.1 Alur Penelitian ...45

Gambar 4.2 Skema Prosedur Pemeriksaan TPS ELISA ...49

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Information for Consent (Penjelasan penelitian untuk disetujui) ...74

Lampiran 2 Surat Pernyataan Persetujuan Ikut dalam Penelitian ...77

Lampiran 3 Surat Persetujuan Pengambilan Sampel Darah ...78

Lampiran 4 Lembar Pengumpulan Data Penderita BPH ...79

Lampiran 5 Skor IPSS dan QoL ...80

Lampiran 6 Surat Ijin Pengambilan Sampel Penelitian ...81

Lampiran 7 Surat Ijin Pengambilan Kelengkapan Data Sampel Penelitian ... 82

Lampiran 8 Keterangan Kelaikan Etik ... 83

Lampiran 9 Tabel Pemantapan Mutu Pengukuran Kadar TPS serum ... 84

Lampiran 10 Data Hasil Penelitian ... 85

(22)

DAFTAR SINGKATAN

AUA : American Urology Association AUR : Acute Urinary Retention BPE : Benign Prostate Enlargement BPH : Benign Prostatic Hyperplasia BPO : Benign Prostate Obstruction BOO : Benign Outlet Obstruction CD : Cluster of Differentiation Ck : Cytokeratin

CYFRA : Cytokeratin 19 Fragment

CZ : Central Zone

DHT : Dihidrotestosteron DM : Diabetes Melitus

DRE : Digital Rectal Examination EGF : Epidermal Growth Factor

ELISA : Enzyme Linked Immunosorbent Assay FGF : Fibroblast Growth Factor

FK : Fakultas Kedokteran HCC : Hepatocellular Carcinoma HRP : Horse Radish Peroxidase IFN-γ : Interferon gamma

IGF : Insulin-like Growth Factor

IL : Interleukin

IPSS : International Prostate Symptom Score ISK : Infeksi Saluran Kemih

(23)

ml : mililiter

RSCM : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah

SD : Standar Deviasi

SST : Serum Separator Tube

TGF-β : Transforming Growth Factor-β TMB : Tetra Methyl Benzidine

TPS : Tissue Polypeptide Specific antigen TUIP : Transurethral Incisi Prostate

TUNA : Transurethral needle ablation of the prostate TRUS : Transrectal Ultrasonography

(24)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Hiperplasia prostat jinak atau benign prostatic hyperplasia (BPH) merupakan kelainan terbanyak kedua pada penderita laki-laki setelah batu saluran kemih. BPH adalah pertumbuhan sel kelenjar prostat yang tidak terkontrol dan bersifat jinak. Pedoman American Urological Association (AUA) mendefinisikan BPH sebagai diagnosis histopatologis yaitu terjadi proliferasi sel epitel dan sel stroma prostat di dalam zona transisional prostat yang mengakibatkan penyempitan uretra sehingga menghambat pengeluaran urine. Hal ini menyebabkan timbulnya infeksi, batu buli dan prostatitis kronik (Aulia D, 2009; Astrawinata DAW, 2009; McVary 2010).

BPH memberi keluhan yang meresahkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari meskipun jarang mengancam jiwa. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat atau benign prostate enlargement (BPE) yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO). Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun ginjal (Parnham A & Haq A, 2013).

Keluhan yang disampaikan oleh penderita BPH seringkali berupa LUTS (lower urinary tract symptoms) yang terdiri atas jenis iritatif (storage symptoms) yang meliputi

(25)

malam hari (nocturia), miksi sulit ditahan (urge incontinence), dan jenis obstruktif (voiding symptoms) terdiri dari pancaran lemah (slow stream), miksi harus menunggu lama (hesitancy), mengedan (straining), aliran terputus-putus (intermittency) dan tidak tuntas (Astrawinata, 2009).

BPH lebih sering ditemukan pada pria usia lanjut dengan angka kejadian yang meningkat seiring bertambahnya usia. Diperkirakan 1 dari 4 pria di Amerika membutuhkan pengobatan untuk BPH bergejala saat usia 80 tahun. BPH menjadi alasan kedua tersering untuk dilakukan tindakan pembedahan pada pria diatas usia 65 tahun (Hudson DL et al, 2001; McConnell et al, 2003).

Telitian kohort Baltimore Longitudinal Study of Aging didapat bahwa 60% pria berusia lebih dari 60 tahun menderita BPH. Kejadian BPH di Amerika menurut Olmsted County Survey sebanyak 13% pria kaukasian berusia 40-49 tahun dan 28% pada pria

berusia lebih dari 70 tahun. Penelitian multicenter pada negara di Asia didapat bahwa persentase BPH lebih tinggi dibanding di Amerika (Aulia D, 2009).

BPH menjadi urutan kedua setelah penyakit batu saluran kemih di Indonesia dan secara umum diperkirakan hampir 50% pria yang berusia di atas 50 tahun ditemukan menderita BPH (Rahardjo, 2006).

(26)

pencitraan ultrasonografi transrektal atau transrectal ultrasonography (TRUS) juga merupakan pemeriksaan yang penting pada penderita BPH sehingga dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat dan adanya nodul (Wijanarko S et al, 2006).

Ukuran prostat bervariasi secara signifikan semasa hidup pria. Berry et al menemukan

bahwa rerata berat prostat meningkat sekitar 20 gram saat seorang pria berusia 40 tahun dan

sekitar 38,8 gram pada pria diatas usia 80 tahun. Informasi mengenai volume prostat menjadi

hal yang penting karena menjadi peramal keparahan dari progresivitas penyakit BPH atau

outcome dari BPH seperti terjadinya retensi urine akut atau Acute Urinary Retention (AUR),

dan respon terhadap pengobatan (Shim HB et al, 2007; Mosli HA et al, 2010).

Telitian oleh Park et al tahun 2003 menyatakan pria dengan volume prostat ≥ 30 ml mengalami resiko gejala LUTS sedang sampai berat, penurunan aliran urine, dan retensi urine 3 sampai 4 kali lipat lebih tinggi sehingga volume prostat menjadi informasi yang semakin penting karena volume prostat memprediksi kuat morbiditas yang berkaitan dengan BPH seperti AUR (Alawad AAM et al, 2014).

Pengukuran volume prostat dapat dilakukan dengan teknik DRE, TRUS dan transabdominal sonography. DRE yang selama ini menjadi metode yang dipercaya

(27)

dan terlatih, biaya yang mahal dan menimbulkan rasa tidak nyaman pada pasien (Shim HB et al, 2007; Kuo HC, 2008; Mosli HA et al, 2010).

Parameter lain dengan demikian dibutuhkan untuk memprediksi volume prostat yang dapat digunakan secara luas yaitu Tissue Polypeptide Specific Antigen (TPS). TPS adalah suatu protein yang mewakili epitop M3 dari Tissue Polypeptide Antigen (TPA). TPS yang terdeteksi di sirkulasi terdiri dari fragmen sitokeratin yang terdapat dalam jaringan yang menunjukkan status proliferasi. TPS adalah satu-satunya tes yang secara spesifik mengukur fragmen terlarut sitokeratin 18 yaitu protein sitokeratin yang terdapat di sel epitel prostat sehingga TPS sering disebut “proliferation markers” (Bormer, 1994; Rebhandi 1998; Assiri MA, 2008).

Korelasi antara TPS dan volume prostat yang akan diteliti pada pasien BPH diharapkan dapat membantu dalam memperkirakan volume prostat khususnya oleh klinisi yang tidak memiliki TRUS atau akses melakukan TRUS. Tujuannya adalah membantu klinisi yang tidak dapat mengetahui besar volume prostat melalui TRUS, masih dapat memprediksinya melalui kadar TPS.

(28)

1.2Rumusan Masalah

Apakah terdapat korelasi antara kadar TPS serum dan volume prostat pada penderita BPH?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

1.3.1.1 Membuktikan adanya korelasi antara kadar TPS serum dan volume prostat pada penderita BPH

1.3.1.2 Memperoleh informasi mengenai hubungan antara kadar TPS serum dengan volume prostat dalam menunjang diagnosis dan memperkirakan pembesaran prostat pada penderita BPH.

1.3.2 Tujuan khusus

1.3.2.1Mengukur kadar TPS serum pada penderita BPH. 1.3.2.2Mengukur volume prostat pada penderita BPH.

1.3.2.3Menganalisis korelasi antara kadar TPS serum dan volume prostat pada penderita BPH.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat bagi Peneliti

(29)

1.4.2 Manfaat bagi Institusi

Menambah wawasan ilmu pengetahuan sekaligus untuk pengembangan penelitian selanjutnya dalam bidang kesehatan khususnya dalam penyakit BPH sehingga diharapkan dapat membantu proses pembelajaran di Instalasi Patologi Klinik RSUD DR. Soetomo Surabaya.

1.4.3 Manfaat bagi Klinisi

(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

2.1.1 Definisi

Pedoman American Urological Association (AUA) pada tahun 2010 mendefinisikan BPH sebagai diagnosis histopatologis yaitu terjadi proliferasi sel epitel dan sel stroma prostat di dalam zona transisional prostat (McVary, 2010).

Proliferasi sel epitel dan sel stroma prostat ini disebabkan oleh berbagai gangguan seluler yang rumit termasuk peningkatan proliferasi, diferensiasi, apoptosis dan penuaan. Akibat proliferasi ini kelenjar prostat akan mengalami pembesaran yang dapat melampaui leher kandung kemih dan uretra yang mengarah ke gejala obstruksi berkemih (Brannigan RE, 2004; Penna et al, 2009; Sussman, 2015).

Pembesaran prostat berperan pada terjadinya obstruksi saluran kemih atau bladder outlet obstruction (BOO) karena komponen statis yaitu jaringan prostat yang

membesar dan peningkatan tonus otot polos. Akibat 2 mekanisme ini pasien dapat menderita gejala traktus urinarius bagian bawah atau lower urinary tract symptoms (LUTS). Hubungan antara BPH dan LUTS kompleks. Tidak semua pasien BPH mengalami gangguan buang air kecil dan sebaliknya tidak semua keluhan berkemih disebabkan oleh BPH (Gerber GS, 2006; McVary, 2010).

(31)

meresmikan prostate symptom score yang telah distandarisasi (lampiran 5) (Wijanarko S et al, 2006).

Abram dan Chapple et al pada tahun 2008 mengusulkan rangkaian definisi yang bisa secara lebih akurat menggambarkan komponen klinis, patologi dan patofisiologi BPH pada tabel 2.1 (Parnham, 2013).

Tabel 2.1. Definisi atau Istilah Berhubungan dengan BPH (sumber: Parnham 2013)

Istilah Definisi

Benign Prostatic Enlargement (BPE)

Bladder Outlet Obstruction (BOO)

Lower Urinart Tract Symptoms (LUTS)

BPH Istilah umum untuk semua jenis obstruksi

kandung kemih (contoh striktur urethra) Keadaan progresif, berhubungan dengan

usia, tidak berhubungan dengan jenis kelamin yang bisa dialami baik pria maupun wanita dengan gejala campuran

storage, voiding, dan pasca miksi. Proses hiperplasia sel kelenjar prostat

(32)

lebih dari 90% pria pada dekade kedelapan menderita hiperplasia prostat dan tetap menjadi morbiditas utama pada pria usia lanjut (Malati et al, 2006; Penna et al, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh McConnell et al menemukan BPH lebih sering terjadi pada usia lanjut dengan angka kejadian yang meningkat seiring bertambahnya usia. Lebih dari setengah pria menderita BPH pada usia 60 tahun dan pada usia 85 tahun angka kejadiannya meningkat 90%. Diperkirakan 1 dari 4 pria di Amerika membutuhkan pengobatan untuk BPH bergejala saat usia 80 tahun dan terapi yang paling sering adalah prosedur operasi transurethral resection of the prostate atau TURP (McConnell et al, 2003).

Hasil penelitian dari Olmsted County Study memperlihatkan peningkatan progresivisitas LUTS sedang sampai berat mencapai 50% pada usia dekade kedelapan. LUTS sedang sampai berat ini juga dihubungkan dengan retensi urinarius akut atau Acute Urinarius Retention (AUR) sebagai gejala dari LUTS yang progresif yang

meningkat dari 6,8 kejadian per 1000 pasien dalam setahun follow up menjadi 34,7 kejadian pada pria usia lebih atau sama dengan 70 tahun. Penelitian lain mengestimasi 90% pria usia antara 45 sampai 80 tahun menderita beberapa tipe LUTS (Wasson J, 1995).

(33)

Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Goh HJ et al tahun 2009 sampai 2011 di Yangpyeong, Korea pada 775 pria berusia lebih dari 40 tahun terdiagnosis BPH sebesar 20% dan meningkat sesuai usia dimana skor IPSS juga meningkat sejalan dengan bertambahnya usia (Goh HJ et al, 2015).

2.1.3 Prostat

Prostat adalah kelenjar seks tambahan yang utama pada pria. Sekresinya menghasilkan cairan yang meliputi 15% cairan ejakulasi. Sekresi ini menghasilkan suatu sarana yang mengembangkan jalan sperma namun prostat belum diketahui fungsi reproduksinya. Kelenjar prostat merupakan lokasi terjadinya hiperplasia jinak dan keganasan. Lokasinya yang dekat dengan leher kandung kemih dan uretra meningkatkan pentingnya proses patologis ini (Stern JA et al, 2004).

2.1.3.1 Anatomi Prostat

(34)

Gambar 2.1. Anatomi Prostat

(sumber: http://www.aboutcancer.com/prostate_anatomy.htm )

(35)

Gambar 2.2 Struktur dan pembagian zona prostat (sumber: McPhee SJ 1997)

Kelenjar prostat terdiri atas komponen kelenjar dan stroma secara histologis. Komponen stroma terdiri atas otot polos, fibroblas, pembuluh darah, saraf, dan jaringan penyangga yang lain (Al-Zashami KA, 2014).

Prostat mendapat inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus prostatikus. Pleksus prostatikus (pleksus pelvikus) menerima masukan serabut parasimpatik dari korda spinalis S2-4 dan simpatik dari nervus hipogastrikus (T10-L2). Stimulasi parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat ke dalam uretra posterior seperti pada saat ejakulasi. Sistem simpatik memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsul prostat dan leher buli-buli. Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot polos tersebut (Purnomo, 2009).

2.1.3.2 Fungsi Prostat

(36)

posterior dan dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Otot polos prostat dapat membantu keluarnya semen selama ejakulasi (Purnomo, 2009).

Komponen utama dari sekresi prostat adalah Prostate Specific Antigen (PSA) bersama dengan sitrat, zinc, spermin dan kolesterol. Pertumbuhan kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon testosteron yang didalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan diubah menjadi metabolit aktif dihidrotestosteron (DHT) oleh enzim 5α-reduktase (gambar 2.3). DHT inilah yang secara langsung memicu m-RNA di dalam sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang memicu pertumbuhan kelenjar prostat (Purnomo, 2009; Al-Zashami KA, 2014).

Gambar 2.3 Mekanisme perubahan testosteron menjadi DHT oleh enzim 5α-reduktase (sumber: Brannigan RE, 2004).

2.1.4 Etiologi BPH

(37)

Kekhasan BPH yaitu peningkatan jumlah sel epitel dan stromal di area periuretral prostat secara histopatologis. Istilah yang sesuai adalah hiperplasia dan bukan hipertrofi. Peningkatan jumlah sel disebabkan karena proliferasi sel epitel dan stroma atau proses apoptosis yang terganggu mengakibatkan penumpukan seluler (cellular accumulation). Androgen, estrogen, interaksi epitel-stroma, growth factor dan neurotransmiter juga berperan sebagai etiologi proses hiperplasia (Roehrborn CG, 2012).

2.1.5 Patogenesis BPH

Dahulu faktor yang diduga berperan dalam proliferasi kelenjar prostat adalah faktor penuaan dan fungsi testis yang normal. Saat ini ditemukan konsep baru adanya faktor yang menjelaskan etiologi dan patogenesis BPH. Faktor tersebut mampu mempengaruhi sel prostat untuk mensintesis protein growth factor yang selanjutnya protein inilah yang berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat. Faktor yang mampu meningkatkan sintesis protein growth factor dikenal sebagai faktor ekstrinsik sedangkan protein growth factor dikenal sebagai faktor intrinsik (Wijanarko S et al, 2006; Aulia D, 2009).

2.1.5.1 Teori DHT dan growth factors yang terganggu

(38)

Perkembangan BPH berkaitan dengan androgen pada testis sama seperti dengan proses penuaan. Androgen dibutuhkan dalam proliferasi sel normal dan diferensiasi prostat. Androgen juga secara aktif menghambat turnover cell dan kematian sel (McPhee, 1997).

Testosteron bukan hormon androgen utama di prostat namun 80-90% testosteron diubah menjadi bentuk aktif DHT oleh enzim reduktase. Terdapat 2 subtipe 5α-reduktase tipe 1 dan tipe 2. Tipe 2 hanya terdapat pada traktus urogenital fetus dan dewasa termasuk di sel epitel basal dan sel stroma prostat. Sintesis DHT mayoritas bergantung pada enzim 5α-reduktase tipe 2 (McPhee, 1997).

(39)

Gambar 2.4 Mekanisme kerja androgen pada sel epitel dan sel stroma prostat (sumber: McPhee SJ 1997)

Beberapa growth factor yang diekspresikan atau growth stimulatory factors yang mengikuti stimulasi androgen di dalam prostat adalah endothelial growth factor (EGF), keratinocyte growth factor (KGF), insulin-like growth factor (IGF), fibroblastic growth factor (FGF) dan transforming growth factor-β (TGF-β) (Aulia D, 2009).

(40)

TGF-β merupakan growth factor inhibitor penting pada sel epitel prostat. TGF-β menghambat proliferasi dan memicu apoptosis dalam sel epitel prostat. TGF- β juga memfasilitasi diferensiasi dari sel basal terhadap sel luminal yang kemudian memegang peranan penting dalam keseimbangan epitel prostat (Aulia D, 2009; Roehrborn CG, 2012).

2.1.5.2. Peran estrogen dan ketidakseimbangan dengan androgen

Faktor testis terdiri dari hormon yang diproduksi oleh testis yang dapat meregulasi perkembangan prostat antara lain androgen, non-androgenic testicular factor (NATF) dan estrogen (Roehborn CG, 2012).

Peran estrogen dalam perkembangan prostat belum diketahui dengan jelas namun pada penelitian menggunakan hewan coba memperlihatkan bahwa estrogen berperan dalam patogenesis BPH. Estrogen bekerja secara sinergis dengan androgen dalam menghasilkan BPH pada penelitian dengan prostat anjing. Estrogen terlibat dalam proses induksi AR bahkan estrogen mensensitisasi prostat anjing terhadap efek androgen. Estrogen dapat menginduksi rangsangan pada proses proliferasi sel stroma yang menyebabkan peningkatan jumlah kolagen dengan kata lain pemberian estrogen bersama dengan androgen dapat menyebabkan terjadinya hiperplasia, metaplasia skuamosa, keratinisasi dan displasia dari epitel prostat. Hal ini menunjukkan paparan estrogen yang berlebihan selama perkembangan prostat dapat menyebabkan terjadinya BPH dan kanker prostat (Aulia D, 2009; Roehrbon CG, 2012).

(41)

(apoptosis) sehingga meski rangsangan pembentukan sel baru akibat rangsangan testosteron menurun tetapi sel prostat yang sudah ada mempunyai umur yang lebih panjang (McPhee, 1997).

2.1.5.3 Peran jalur inflamasi dan sitokin pada BPH

Aspek imunologi juga terlibat dalam hiperplasia prostat yaitu terdapatnya peran jalur inflamasi dan sitokin pada penuaan sel prostat. Hampir semua spesimen BPH pada pemeriksaan histologi menunjukkan infiltrasi peradangan namun apakah infiltrasi ini berhubungan dengan bakteri atau antigen belum dapat dijelaskan. Pengenalan hasil sekresi prostat oleh sel T autoreaktif dan hewan coba pada penelitian eksperimental memperlihatkan komponen autoimun terhadap inflamasi kronik pada BPH. Infiltrat terdiri limfosit CD4+ dimana secara permanen diambil ke jaringan prostat melalui peningkatan ekspresi interleukin-15 (IL-15) dan interferon γ (IFN-γ), sitokin proinflamasi yang diproduksi oleh otot polos dan sel T. Produksi sitokin yang berasal dari sel T yaitu IFN-γ, IL-2 dan TGF-β meningkat 10 kali pada BPH dibanding prostat normal (Kramer G, 2007).

(42)

TGF-β memiliki fungsi sebaliknya yaitu sebagai inhibitor proliferasi sel stroma. IL-2 dan IL-17 akan menstimulasi pertumbuhan sel stroma dan sel epitel prostat sedangkan IL-4 akan menghambat proliferasi sel stroma. Kesimpulannya sel T yang teraktivasi berkontribusi terhadap produksi faktor pertumbuhan prostat dan tumbuh melalui beberapa lingkaran sitokin yaitu dengan melepas IL-17, IFN-γ, IL-4, IL-13, FGF-2 dengan demikian secara tidak langsung meningkatkan produksi IL-6, IL-8 dan IL-15 (Kramer G, 2007).

Autoimunitas merupakan salah satu etiologi dari disregulasi imun kronik pada BPH. Pejamu antigen prostat bekerja sebagai autoantigen. Produk sekresi dari prostat adalah yang paling bersifat imunogenik. Produk sekresi ini memiliki aktivitas proteolitik yang tinggi dan jika terpapar ke jaringan periglandular setelah cedera epitel maka bisa menghancurkan bukan hanya jaringan konektif namun juga mencerna matriks ekstraseluler (Kramer G, 2007).

(43)

Gambar 2.5 Efek T cell-derived proinflammatorycytokines pada patogenesis dan progresivisitas inflamasi dan pertumbuhan sel pada penuaan prostat

(sumber: Kramer G 2006)

2.1.6 Manifestasi Klinis

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Vesika urinaria harus berkontraksi lebih kuat untuk melawan tahanan ini untuk mengeluarkan urine. Kontraksi yang berkelanjutan ini akan menyebabkan perubahan struktur vesika urinaria dan oleh pasien dirasakan sebagai keluhan di saluran kemih bagian bawah atau lower urinary tract symptoms (LUTS) (Purnomo, 2009).

(44)

berkemih (urgency), miksi di malam hari (nocturia), kencing sulit ditahan (urge incontinence) sedangkan gejala obstruktif terdiri dari pancaran lemah (slow stream), miksi harus menunggu lama (hesitancy), mengedan (straining), aliran terputus-putus (intermittency) dan tidak tuntas (Kapoor A, 2012).

Derajat keparahan LUTS dapat dinilai dengan sistem penilaian yang secara subyektif dapat diisi sendiri oleh pasien. Sistem penilaian yang dianjurkan oleh WHO adalah nilai IPSS. IPSS terdiri atas 7 pertanyaan mengenai keluhan miksi dan 1 pertanyaan tentang kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan memiliki nilai 0 sampai 5 sedangkan pertanyaan tentang kualitas hidup diberi nilai 1 sampai 7. Berdasarkan skor tersebut gejala LUTS dapat dibagi dalam 3 derajat: ringan skor 0-7, sedang skor 8-19 dan berat skor 20-35 (lampiran 5) (Purnomo, 2009).

Gejala LUTS sebenarnya tidak spesifik untuk BPH karena meskipun gejala LUTS berhubungan langsung dengan hiperplasia prostat yang menyebabkan penyempitan lumen uretra dan aliran urine terhambat, sekitar 30% pria menderita overactive bladder (OAB) dapat memiliki gejala yang sama (Kapoor A, 2012).

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang

2.1.7.1 Urinalisis

(45)

Pemeriksaan urinalisis tidak banyak manfaatnya pada pasien BPH yang telah mengalami retensi urine dan telah memakai kateter karena sering telah ada leukosituria maupun hematuria akibat pemasangan kateter (Wijanarko S et al, 2006; Parnham, 2013).

2.1.7.2 Pemeriksaan fungsi ginjal

Fungsi ginjal diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya penyulit yang menyerang traktus urinarius bagian atas. Obstruksi infravesika akibat BPH dapat menyebabkan gangguan pada traktus urinarius bagian bawah atau atas.

2.1.7.3 Catatan harian miksi (Voiding diaries)

Catatan harian miksi ini merekam perincian kapan dan berapa jumlah urine yang dikeluarkan dalam beberapa hari selama periode 24 jam. Menurut Brown et al pencatatan biasanya dilakukan selama 3-4 hari sudah cukup menilai aktivitas berlebihan otot detrusor. Pencatatan miksi ini berguna pada pasien dengan keluhan nokturia yang paling menonjol atau kelebihan masukan cairan (Wijanarko S et al, 2006; Sussman, 2015).

2.1.7.4 Uroflometri

(46)

Hasil uroflometri tidak spesifik menunjukkan penyebab terjadinya kelainan pancaran urine karena pancaran urine yang lemah dapat disebabkan karena BOO atau kelemahan otot detrusor. Penilaian ada tidaknya BOO tidak hanya dari hasil Qmax saja namun dikombinasi dengan IPSS. Idealnya pengukuran pancaran urine dilakukan lebih dari 1 kali dan volume urine > 150 ml memberi hasil bermakna. Qmax > 15 ml/detik dianggap normal sedangkan Qmax < 10 ml/detik mencurigakan BOO (Wijanarko S et al, 2006; Parnham, 2013; Sussman, 2015).

2.1.7.5 Pemeriksaan residual urine (Post voiding residual urine/PVR)

Residual urine adalah sisa urine yang tertinggal di dalam kandung kemih setelah berkemih. Jumlah residual urine pada orang normal adalah 0,09 - 2,24 ml dengan rerata 0,53 ml per 24 jam. Pemeriksaan sisa urine dapat dilakukan secara non invasif yaitu dengan mengukur sisa urine melalui ultrasonografi atau bladder scan, atau secara invasif dengan kateterisasi uretra setelah pasien berkemih. Kateterisasi uretra lebih akurat dibanding ultrasonografi namun dapat menimbulkan cedera uretra dan infeksi saluran kemih (anon, 2006; Parnham, 2013).

(47)

2.1.7.6 Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Examination (DRE)

Pemeriksaan DRE adalah memasukkan jari telunjuk yang sudah dilubrikasi ke dalam lubang dubur. Pemeriksaan ini menimbulkan rasa tidak nyaman (sakit) dan menyebabkan kontraksi sfingter ani sehingga dapat menyulitkan pemeriksaan. Penderita perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang pemeriksaan yang akan dilakukan agar penderita dapat bekerja sama (Purnomo, 2009).

Penderita diminta berkemih lebih dulu sebelum dilakukan tindakan DRE dan bila penderita dalam keadaan retensi urine, DRE dikerjakan setelah buli-buli dikosongkan dengan kateter. Pemeriksaan DRE dapat memberi penilaian tonus sfingter ani, menilai keadaan prostat seperti konsistensi prostat, refleks bulbo-kavernosus, dan mencari kemungkinan adanya massa di dalam lumen rektum (Purnomo, 2009).

DRE pada BPH menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Konsistensi prostat yang menonjol atau teraba nodul harus dipikirkan adanya karsinoma atau prostatitis (Purnomo, 2009).

Menentukan besarnya prostat secara DRE memiliki akurasi yang rendah karena membutuhkan tenaga terlatih, berpengalaman, faktor subjektivitas yang tinggi, dan variabilitas yang besar.

2.1.7.7 Penentuan volume prostat dengan pemeriksaan Transrectal

Ultrasonography (TRUS)

(48)

median pertumbuhan prostat 1,7% tiap tahun dibandingkan dengan pria dengan volume prostat > 30 ml yang mempunyai median pertumbuhan prostat sebesar sebesar 2,2%.

Dogma urologi secara tradisional menyatakan ukuran kelenjar prostat tidak berhubungan dengan gejala dan atau pancaran urine, namun penelitian akhir-akhir ini mengkonfirmasi bahwa volume prostat awal berhubungan dengan progresivisitas BPH dan negative outcome seperti AUR, perlu tindakan operasi dan memprediksi respon terapi (Nickel JC, 2003).

Volume prostat mungkin adalah faktor resiko terbesar yang diteliti terhadap progresivisitas BPH. Pria dengan volume prostat ≥ 30 ml cenderung mengalami gejala yang sedang sampai berat (3,5 kali lipat), penurunan pancaran urine (2,5 kali lipat) dan retensi urine (3 sampai 4 kali lipat) dibanding pria dengan volume prostat < 30 ml (Alawad AAM, 2014).

Pemeriksaan ultrasonografi transrektal atau transrectal ultrasonography (TRUS) bertujuan untuk mengetahui bentuk prostat, besar atau volume kelenjar prostat, adanya kemungkinan keganasan prostat, sebagai petunjuk untuk melakukan biopsi aspirasi prostat, dan menentukan jumlah residual urine (gambar 2.6) (Purnomo, 2009).

(49)

Gambar 2.6 Ultrasonografi transrektal (TRUS)

2.1.7.7.1 Prosedur TRUS

Pasien diposisikan dekubitus berbaring ke kiri atau ke kanan dengan lutut difleksikan dan ditarik dekat ke dada sehingga memungkinkan insersi dari rectal probe. Salep anestesi topikal dioleskan ke jari telunjuk sebelum melakukan DRE. TRUS dilakukan dengan micro convex transrectal probe dengan transduser antara 5 sampai 7, 5 mHz. Probe dilapisi pelindung dan diberi gel ultrasound untuk memastikan didapatkan gelombang akustik. Probe secara pelan dimasukkan ke rektum menuju dasar kandung kemih sampai vesikel seminalis tervisualisasi. Gambaran transversal dipertahankan saat probe dipindah dari dasar prostat ke puncak prostat. Probe kemudian dirotasi searah jarum jam untuk melihat seluruh bagian kelenjar prostat. Kelenjar prostat dievaluasi dan dinilai ada atau tidaknya lesi fokal dan pola echo, integritas kapsular, perluasan proses penyakit melebihi batas kelenjar (Malik R, 2004; Carrol P, 2008).

2.1.7.7.2 Interpretasi hasil TRUS

(50)

glandural bagian dalam mencurigakan suatu BPH (gambar 2.7). Pembesaran kelenjar dengan lesi fokal di zona perifer dengan atau tanpa menembus kapsul merupakan gambaran yang mengarah kanker prostat (gambar 2.8).

Gambaran pada vesikel seminal, dasar, tengah dan puncak prostat dicetak dan dengan transducer di potongan melintang terbesar pada bidang transversal dan bidang mid-sagital maka volume prostat dapat dihitung. Prorated ellipsoid formula biasanya digunakan untuk menghitung volume prostat yaitu (diameter anterior-posterior) x (diameter transversal) x (diameter superior-inferior) x Π/6 (kurang lebih 0, 52) (Carrol P, 2008).

Gambar 2.7 gambaran BPH pada TRUS. Pembesaran kelenjar prostat dengan

ekogenisitas simetris dan echotexture heterogen mencurigakan suatu BPH (sumber: Malik

R, 2004)

Gambar 2.8 Gambaran kanker prostat pada TRUS. Tanda panah warna putih

(51)

2.1.7.7.3 Komplikasi TRUS

Komplikasi TRUS berupa komplikasi minor sekitar 60% sampai 79%, komplikasi mayor yang lebih jarang sekitar 0,4% sampai 4,3% dan komplikasi yang membutuhkan rawat inap sekitar 0,4% sampai 3,4%. Komplikasi yang segera terjadi pada TRUS untuk biopsi prostat adalah episode vasovagal (5,3%), perdarahan rektum (8,3%) dan hematuria (70,8%). Disuria (9,1%), ketidaknyamanan pelvis (13,2%), hematuria persisten (47,1%), perdarahan rektum (9,1%) dan hematospermia (9,1%) merupakan komplikasi yang terjadi 3 sampai 7 hari (Carrol P, 2008).

2.1.7.8 Pemeriksaan urodinamika (Pressure flow and urodynamic studies/UDS)

UDS adalah pilihan pemeriksaan tambahan dan dianggap sebagai baku emas untuk diagnosis BOO sekunder. Pemeriksaan ini berguna untuk membedakan bahwa pancaran yang lemah pada pemeriksaan uroflometri itu memang disebabkan karena obstruksi prostat dan bukan karena kelemahan otot detrusor.

UDS melibatkan pengukuran multichannel secara simultan dari tekanan vesika urinaria dan tekanan dinding abdomen selama fase pengisian dan pancaran urine selama fase pengosongan urine. Pola khas BOO adalah tekanan detrusor tinggi dengan pancaran urine rendah. Indikasi UDS adalah sebagai berikut (1) evaluasi fungsi vesika urinaria pre-operatif, (2) pasien LUTS dengan kegagalan terapi, (3) pasien dengan penyakit neurologis (Sussman, 2015).

2.1.8 Terapi BPH

(52)

penyebab obstruksi dengan obat penghambat adrenergik α (α blocker), mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan menurunkan kadar hormon testosteron/DHT melalui inhibitor 5α-reduktase, mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, mengurangi volume residu urine setelah berkemih dan mencegah progresivitas penyakit. Pilihan terapi pada pasien bergantung pada derajat keluhan LUTS maupun kondisi obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh BPH (gambar 2.9) (Purnomo, 2009).

Gambar 2.9 Skema pengelolaan BPH di Indonesia untuk spesialis urologi (sumber:

(53)

Pilihan terapinya adalah tanpa terapi atau watchful waiting, medikamentosa, pembedahan atau tindakan enduorologi yang invasif minimal (tabel 2.2) (Purnomo, 2009).

Tabel 2.2. Pilihan terapi pada BPH (Sumber: McVary KT 2010)

2.1.8.1 Watchful waiting

Watchful waiting artinya pasien tidak mendapat terapi apapun tetapi

(54)

selama terapi atau keluhan bertambah berat perlu dipikirkan untuk pemberian terapi medikamentosa (Wijanarko S et al, 2006).

2.1.8.2 Medikamentosa

Medikamentosa ditujukan untuk pasien dengan keluhan sedang (IPSS 8-19) hingga berat (20-35) atau pasien yang tidak menunjukkan perbaikan setelah watchfull waiting (gambar 2.4). Terapi intervensi pada pasien dilakukan jika pasien tidak

menunjukkan perbaikan dengan medikamentosa (Nickel JC, 2010).

Gambar 2.10 Algoritma Pemilihan Golongan Obat BPH (sumber: Nickel JC 2010)

-Antagonis adrenergik α atau alpha receptor-blocker (ARB)

(55)

setidaknya sesudah 1 minggu sementara efek terapeutik penuh dicapai pada 6 sampai 8 minggu. (Parnham, 2013; Sussman, 2015).

Tamsulosin dikatakan sangat selektif terhadap otot polos prostat. Obat ini mampu memperbaiki pancaran miksi tanpa menimbulkan efek terhadap tekanan darah maupun denyut jantung. Efek samping ARB antara lain astenia, hipotensi ortostatik dan ejakulasi retrogard (tabel 2.4) (Purnomo, 2009; Parnham, 2013).

Tabel 2.3 Jenis Obat Golongan ARB dan Efek Samping (sumber: Kapoor A, 2012)

Nama Obat (nama dagang) Dosis Efek samping

Generasi II

(56)

Tabel 2.4 Jenis Obat Golongan 5-ARI dan Efek Samping (sumber: Kapoor A, 2012)

Nama obat/nama dagang Dosis Waktu Paruh Cara Kerja Efek Samping

Finasteride (Proscar) 5 mg/hari 6-8 jam Menghambat

5-AR

(5α-Dutasteride (Avodart) 0,5 mg/hari 3-5 minggu Menghambat

5-AR tipe I dan II Sama dengan atas

ARI dan ARB Sama dengan Dustasteride dan Tamsulosin

-Terapi kombinasi (ARB dan 5-ARI)

Penelitian yang dilakukan oleh Gormley GJ et al menunjukkan keuntungan menggunakan terapi kombinasi ini pada pasien dengan pembesaran prostat. Lima-ARI mengecilkan ukuran prostat dan ARB menurunkan tonus otot polos prostat sehingga aliran urine menjadi lancar (Gormley GJ et al, 2007)

2.1.8.3 Pembedahan

(57)

2.2 Tissue Polypeptide Specific Antigen (TPS)

2.2.1 Biokimia dan Fisiologi

Semua sel eukariotik memiliki struktur sitoskeletal sitoplasma yang dikenal sebagai filamen intermediet yang salah satunya adalah sitokeratin yang ditemukan pada sel epitel. Jaringan sitoskeletal ini bertanggung jawab terhadap integritas mekanis sel dan penting selama proses seluler seperti saat proses pembelahan sel, motilitas dan kontak antar sel. Saat ini terdapat 20 jenis sitokeratin yang berbeda yang telah teridentifikasi termasuk sitokeratin (Ck) 8, Ck 18 dan Ck 19 yang merupakan jenis terbanyak pada sel epitel (Biotech).

(58)

Gambar 2.11 Hipotesis jalur diferensiasi sel epitel prostat manusia berdasarkan pola pewarnaan sitokeratin. Sel basal (Ck 5 dan Ck 14) berdiferensiasi menjadi sel luminal yang mengekspresikan Ck 9, Ck 8 dan Ck 18 sebelum berdiferensiasi sempurna menjadi

sel yang mengekspresikan Ck 8/18 saja (sumber: Hudson et al 2001)

Sitokeratin dibagi menjadi 2 kelompok yaitu tipe I (Ck 9-20) yang ukurannya lebih kecil (40-56 kD) dan bersifat asam, dan tipe II (Ck 1-8) berukuran lebih besar (53-67 kD) yang bersifat netral sampai basa. Tissue Polypeptide Antigen (TPA), Tissue

Polypeptide Specific Antigen (TPS) yang mendeteksi Ck 18 dan cytokeratin 19 fragments (CYFRA 21-1) merupakan bagian famili sitokeratin yang memiliki kegunaan

klinis (Chan DW, 2006).

(59)

fragmen terlarut dari sitokeratin 18 yaitu suatu protein sitokeratin asam pada sel epitel (Bormer, 1994; Rebhandi, 1998; Assiri MA, 2008).

Sel umumnya mempertahankan pola ekspresi sitokeratinnya jika terjadi perubahan. Jaringan epitel normal dibatasi oleh membran basalis (kecuali di hepar) dan produk sitokeratin akan diekskresi ke permukaan internal atau eksternal. Hal yang berlawanan terjadi pada keganasan yang infiltrasi sel ganasnya menembus sampai membran basalis dan menyebabkan produk sel dilepas lebih banyak di sirkulasi. Hal ini dapat menjelaskan bagaimana fragmen sitokeratin yang tidak larut (insoluble) dapat terdeteksi di serum dan digunakan sebagai petanda proliferasi, sampai pada akhirnya sitokeratin ini dipakai sebagai petanda proliferasi sel dibandingkan ukuran sel (Bormer AP, 1994).

Fragmen sitokeratin akan dilepas dari filamen tidak terlarut melalui degradasi protein sel yang mati atau mengalami apoptosis. Terdeteksinya fragmen sitokeratin menandakan adanya subunit monomer yang berlebihan dari sintesis filamen sitokeratin dari sel yang berproliferasi sehingga TPS sering disebut “proliferation markers” (Bormer AP, 1994).

(60)

antibodi monoklonal tikus dan antibodi poliklonal kelinci monospesifik. Jaringan prostat kemudian diwarnai 3 kali dengan anti-Ki67, anti-CD44 dan pewarnaan inti Hoechst. Semua jaringan prostat yang mengalami hiperplasia mengekspresikan Ck 8

dan Ck 18 termasuk Prostatic Intraepithelial Neoplasia (PIN) mengekspresikan Ck 19 (Hudson DL et al, 2001).

2.2.2 Metode Pemeriksaan TPS

TPS diperiksa dengan metode ELISA yang menggunakan antibodi monoklonal afinitas tinggi terhadap M3 yaitu 1 dari 35 epitop tissue polypeptide antigen (TPA) yang teridentifikasi dimana mewakili spesifisitas yang berhubungan dengan proliferasi sel (Rebhandi W et al, 1998).

Prinsip pemeriksaan kadar TPS menggunakan sandwich ELISA. Sembilan puluh enam sumuran dilapisi antibodi monoklonal spesifik terhadap TPS. Standar, sampel dan kontrol dimasukkan ke dalam sumuran dan akan bereaksi secara simultan dengan antibodi monoklonal pada fase padat kemudian ditambah antibodi deteksi antihuman TPS yang dilapisi biotin menghasilkan ikatan “sandwich”

(61)
(62)

3.2 Penjelasan Kerangka Konseptual

Faktor yang diduga berperan dalam memacu proliferasi atau pertumbuhan sel kelenjar prostat terdiri dari faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik. Faktor-faktor yang mampu meningkatkan sintesis protein growth factor dikenal sebagai faktor ekstrinsik sedangkan faktor pertumbuhan yaitu protein growth factor yang berasal dari dalam prostat disebut sebagai faktor intrinsik.

Hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. DHT dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat dan sel stroma melalui enzim 5α-reduktase. DHT yang terbentuk akan berikatan dengan reseptor androgen membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat.

Faktor intrinsik sebagai salah satu penyebab terjadinya BPH yaitu interaksi antara sel epitel dan stroma. Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu.

Faktor testis terdiri dari hormon yang diproduksi oleh testis yang dapat meregulasi perkembangan prostat antara lain androgen, non-androgenic testicular factor (NATF) dan estrogen. Beberapa growth factor yang diekspresikan atau growth

stimulatory factors yang mengikuti stimulasi androgen di dalam prostat adalah endothelial growth factor (EGF), keratinocyte growth factor (KGF), insulin-like growth

factor (IGF), fibroblastic growth factor (FGF) dan transforming growth factor-β

(63)

inhibitor penting pada sel epitel prostat sehingga dapat menghambat proliferasi dan memicu terjadinya apoptosis.

Paparan estrogen yang berlebihan selama perkembangan prostat dapat menyebabkan terjadinya BPH dan kanker prostat. Estrogen berperan dalam proliferasi sel kelenjar prostat dengan cara menurunkan jumlah kematian sel (apoptosis) sehingga meski rangsangan pembentukan sel baru akibat rangsangan testosteron menurun tetapi sel prostat yang sudah ada mempunyai umur yang lebih panjang. Hasil akhirnya adalah massa prostat menjadi lebih besar dengan kata lain estrogen menghambat kerja TGF-β.

Aspek imunologi terlibat dalam hiperplasia prostat yaitu terdapatnya peran jalur inflamasi dan sitokin pada penuaan sel prostat. Sel T CD4+ dan sel T CD8+ mensekresi interferon γ (IFN-γ) yang akan menginduksi proliferasi sel stroma dan TGF-β yang berfungsi sebagai inhibitor proliferasi sel stroma. IL-2 dan IL-17 akan menstimulasi pertumbuhan sel stroma dan sel epitel prostat sedangkan IL-4 akan menghambat proliferasi sel stroma.

Proliferasi sel epitel dan sel stroma akibat berbagai hal diatas akan meningkatkan kadar Tissue Polypeptide Specific Antigen (TPS) dalam darah. TPS adalah protein dalam serum yang mewakili epitop M3 dari Tissue Polypeptide Antigen (TPA) yang secara spesifik mengukur fragmen terlarut sitokeratin 18 yaitu protein sitokeratin yang terdapat di sel epitel prostat yang mengalami hiperplasia. Kadar TPS yang meningkat berkaitan dengan progresivisitas hiperplasia sel.

(64)

mengetahui besar atau volume kelenjar prostat, sebagai petunjuk untuk melakukan biopsi aspirasi prostat dan mencari kelainan lain yang mungkin ada di dalam kandung kemih.

3.3 Hipotesis Penelitian

(65)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan rancangan penelitian

Jenis penelitian ini merupakan kajian analisis observasional dengan rancangan potong lintang.

4.2 Populasi Penelitian, Sampel, Besar Sampel dan Kriteria Sampel

4.2.1 Populasi penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah penderita terdiagnosis BPH. 4.2.2 Sampel penelitian

Sampel penelitian adalah penderita BPH yang datang ke Poli Rawat Jalan Urologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya yang memenuhi kriteria penerimaan sampel.

4.2.3 Besar sampel

Besar sampel pada penelitian ini dihitung berdasarkan rumus besar sampel untuk koefisien korelasi pada sampel tunggal menurut Hulley, BS et al tahun 2013.

Rumus besar sampel adalah :

n = besar sampel α = 0,05 dan zα = 1,96 β = 0,20  zβ = 0,84

r = koefisien korelasi = 0, 441*

(66)

Didapatkan hasil perhitungan n= 26,9 jadi besar sampel minimal untuk penelitian ini adalah 27 sampel. Sampel yang diteliti dalam penelitian ini sebanyak 28 sampel.

4.2.4 Kriteria sampel

4.2.4.1 Kriteria penerimaan sampel

a. Penderita laki-laki usia 40-70 tahun.

b. Penderita BPH yang sudah ditentukan oleh dokter spesialis Urologi sebagai penderita BPH di Poli Rawat Jalan Urologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya. c. Bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani formulir persetujuan

(informed consent). 4.2.4.2 Kriteria penolakan sampel

a. Penderita dengan riwayat atau sedang dalam terapi alpha blockers atau 5 alpha reductase inhibitors (5-ARI)

b. Penderita dengan gangguan ginjal (obstruksi saluran kemih, infeksi saluran kemih, sistitis, pielonefritis, gagal ginjal)

4.3 Teknik pengambilan sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode consecutive sampling. Sampel penelitian yang diperiksa dilakukan berdasarkan

(67)

4.4 Waktu dan Lokasi Penelitian

4.4.1 Waktu penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan Oktober 2015 sampai dengan Februari 2016. 4.4.2 Lokasi penelitian

a. Poli Rawat Jalan Urologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya untuk pengambilan sampel darah.

b. Instalasi minimal Invasif Urologi (IIU) untuk pemeriksaan transrectal ultrasonography (TRUS) dan pengambilan kelengkapan data volume prostat.

c. Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Departemen-Instalasi Patologi Klinik FK Unair-RSUD Dr Soetomo Surabaya untuk pemeriksaan kadar TPS serum.

4.5 Variabel penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah : 1. Kadar TPS serum

2. Volume prostat

4.6 Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Kadar TPS serum

(68)

2. Volume prostat

Volume prostat merupakan hasil pengukuran besar prostat dengan pemeriksaan TRUS yang dinyatakan dalam satuan mililiter (ml). Nilai normal volume prostat < 25 ml (Goh HJ et al, 2015)

4.7Alur penelitian

Penderita BPH

Diambil darah vena sebanyak 5 ml dalam tabung Serum

Separator Tube (SST)

Sentrifugasi 3000 rpm 15 menit  serum diambil

Pengukuran volume prostat (TRUS)

Pengukuran kadar TPS

Hasil pengukuran

kadar TPS Hasil

pengukuran TRUS

Pengumpulan data, pengolahan dan analisis data  kesimpulan hasil penelitian

(69)

4.8 Prosedur Kerja Laboratorium

4.8.1 Pengukuran kadar TPS serum

Pengukuran kadar TPS dilakukan dengan menggunakan TPS® ELISA (IDL Biotech AB) dengan no lot F2636. Optical Density (OD) diukur dengan spektrofotometer pada 450 nm dengan ELISA reader.

4.8.1.1 Prinsip pengukuran

Metode yang digunakan pada kit ini adalah double antibody sandwich ELISA. Sembilan puluh enam sumuran dilapisi antibodi monoklonal spesifik terhadap TPS. Standar, sampel dan kontrol dimasukkan ke dalam sumuran dan akan bereaksi secara simultan dengan antibodi monoklonal pada fase padat, kemudian ditambah antibodi deteksi yaitu antihuman TPS yang dilapisi biotin menghasilkan ikatan “sandwich” antibodi-antigen-antibodi. Horseradish Peroxidase (HRP) dimasukkan ke dalam sumuran dilanjutkan larutan substrat TMB sehingga menghasilkan perubahan warna biru yang sebanding dengan kadar TPS dalam sampel. Reaksi enzim-substrat dihentikan dengan penambahan larutan penyetop yang berisi asam sulfat dan warna berubah menjadi kuning. Optical Density (OD) diukur secara spektrofotometrik pada panjang gelombang 450 nm. Nilai OD sebanding dengan kadar TPS. Kadar TPS sampel dapat ditentukan dengan menggunakan kurva standar.

4.8.1.2 Sampel untuk pengukuran kadar TPS serum

(70)

untuk mendapatkan serum dan mencegah adanya gelembung atau fibrin, kemudian serum dimasukkan ke tabung eppendorf.

Sampel disimpan pada suhu -80 °C di Bank Jaringan RSUD Dr. Soetomo sampai pemeriksaan dilakukan.

4.8.1.3 Bahan –bahan yang disediakan

TPS® ELISA menyediakan bahan-bahan yang diperlukan dalam pemeriksaan TPS, antara lain (Biotech, 2014) :

1. TPS® ELISA Microstrips

Satu lempeng terdiri dari 96 sumuran kering (12 strip), dilapisi dengan antibodi monoklonal anti-cytokeratin 18.

2. TPS® ELISA HRP Conjugate

Satu vial volume 11 ml, berisi antibodi M3 berkonjugasi dengan HRP, larutan penyangga penyeimbang protein, pH 7, 5; berwarna biru.

3. TPS® ELISA Diluent (Standard 0 U/l)

Satu vial, volume 5 ml, berisi pengencer sampel dan larutan standard 0 U/L, larutan penyangga penyeimbang protein, pH 7, 5; berwarna kuning.

4. TPS® ELISA Standard (30, 150, 500, 1200 U/l)

Empat vial, volume 1 ml tiap vial, berisi larutan penyangga penyeimbang protein. pH 7, 5; berwarna kuning.

5. TPS® ELISA Kendali rendah dan tinggi

Gambar

Tabel 2.1. Definisi atau Istilah Berhubungan dengan BPH
Gambar 2.1. Anatomi Prostat (sumber: http://www.aboutcancer.com/prostate_anatomy.htm )
Gambar 2.3 Mekanisme perubahan testosteron menjadi DHT oleh enzim 5α-reduktase (sumber: Brannigan RE, 2004)
Gambar 2.4 Mekanisme kerja androgen pada sel epitel dan sel stroma prostat (sumber:  McPhee SJ 1997)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menyadari manfaat dan resiko penelitian tersebut di bawah ini yang berjudul PENGARUH PEMBERIAN METHISOPRINOL TERHADAP PENINGKATAN KADAR IMUNOGLOBULIN M (IgM) SERUM PADA

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara kadar serum procalsitonin dengan jumlah leukosit pada penderita dengan kecurigaan sepsis di RSUP Sanglah

Korelasi Skor APRI ( AST to Platelet Ratio Index ) dengan Kadar Albumin Serum pada Penderita Sirosis Hati di RSUP dr.. Mohammad

dan karunia-Nya sehingga karya akhir “ Korelasi Antara Kadar Galektin-3 Serum dengan Parameter Ekhokardiografi Fungsi Diastolik Ventrikel Kiri (Rasio E/e’) pada Pasien

ix HUBUNGAN ANTARA BODY MASS INDEX BMI DAN KADAR SERUM PROSTATE SPECIFIC ANTIGEN PSA TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA BPH DI RSPAD GATOT SOEBROTO PADA

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulisan skripsi yang berjudul “Hubungan Antara Body Mass Index BMI dan Kadar Serum

Toriq Abqo, 2023 HUBUNGAN ANTARA BODY MASS INDEX BMI DAN KADAR SERUM PROSTATE SPECIFIC ANTIGEN PSA TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA BPH DI RSPAD GATOT

57 Toriq Abqo, 2023 HUBUNGAN ANTARA BODY MASS INDEX BMI DAN KADAR SERUM PROSTATE SPECIFIC ANTIGEN PSA TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA BPH DI RSPAD