SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Pada Program Studi Ilmu Komunikasi
Disusun Oleh
Tiara Puji Pangesti
NIM 6662111198
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
v
“Bismillahir-rahmanir-rahim”
Dengan Menyebut Nama Allah yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. (Q.S. Al-Fatihah, Ayat: 1)
“Dan sebuah keajaiban terjadi bukan dengan menunggu tapi
membuatnya, karena keajaiban merupakan nama lain dari
usaha . . . Jangan pernah katakana tidak bisa sebelum
berusaha” J
(Tiara Puji Pangesti)
Karya kecil yang berisikan pelajaran tentang doa, usaha,
kesabaran, kesungguhan, keikhlasan, keberuntungan, dan
keberhasilan.
Skripsi ini kupersembahkan untuk: Bapak, Ibu,
vi
Tiara Puji Pangesti. NIM. 6662111198. Skripsi. Presentasi Diri Mahasiswa Homoseksual Di Kota Serang. Pembimbing I: Naniek Afrilla Framaniek., S.Sos., M.Si dan Pembimbing II: Husnan Nurjuman., S.Ag., M.Si.
Gay disadari sebagai sebuah orientasi seksual yang ada di dalam masyarakat dan menimbulkan berbagai macam reaksi oleh lingkungan sekitarnya. Tidak terkecuali kota Serang, sebagai ibu kota Banten yang masih menjaga budaya ketimurannya dan Serang identik dengan kota santri. Sehingga, sebagai mahasiswa, yang notabenenya seseorang yang terpelajar, maka pandangan negatif akan segera
dilayangkan pada mahasiswa gay. Mahasiswa juga merupakan calon intelektual atau
cendekiawan muda dalam suatu lapisan masyarakat yang sering kali syarat dengan
berbagai predikat. Sehingga di mata masyarakat mahasiswa dianggap nyaris tidak
boleh memiliki kesalahan. Yang pada akhirnya, mahasiswa gay ini melakukan hal
yang dapat menyelamatkan diri mereka sehingga supaya merasa diterima di lingkungan sosialnya yaitu dengan menghindari pengungkapan jati diri mereka
kepada lingkungan sosialnyanya, dengan cara menjaga front personal mereka yaitu
dari penampilan dan gaya mereka. Peneliti tertarik untuk meneliti masalah penelitian yaitu tentang presentasi diri mahasiswa homoseksual di kota Serang, dengan pertanyaan penelitian mengenai presentasi diri yang dilakukan mahasiswa homoseksual di panggung depan dan presentasi diri yang dilakukan mahasiswa homoseksual di panggung belakang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan tersebut. Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dan paradigma konstruktivisme. Teknik pengumpulan data
yang digunakan yaitu wawancara dengan 3 key informan yaitu pria homoseksualdan
2 informan tambahan yaitu sahabat dari key informan dan psikolog. Peneliti
menggunakan analisis teori Dramaturgi dari Erving Goffman, yang berlangsung dalam 2 bagian yaitu bagian panggung depan dan bagian panggung belakang. Hasil dari penelitian ini yaitu, Dalam hal ini mereka memiliki suatu peran yang sangat berbeda ketika berada di lingkungan rumah dan lingkungan kampus maupun
lingkungan kelompok gaynya. Mereka berdramaturgi dalam proses kehidupannya.
Seperti dari gaya bicara, body language, dan penampilan, dalam aktivitas dan
rutinitas mereka dijalankan dalam dua peran yang berbeda.
Kata Kunci: Homoseksual, Teori Dramaturgi, Pria Homoseksual.
vii
ABSTRACT
Tiara Puji Pangesti. Student Number. 6662111198. Essay. The Presentation Of Self About Homoseksual Student In The Serang City. Supervisor I: Naniek Afrilla Framaniek, S.Sos., M.Si and Supervisor II: Husnan Nurjuman, S.Ag., M.Si.
Gay considered as a sexual orientation that is in society and have a kinds of reaction by the environment. Is no exception serang city, as the capital Banten who was guarded its east culture and attack identical to the city of santri. So, as a student, who as someone who has been educated, so a negative view will soon be submitted on students gay. Student also is candidates intellectual or young scholars in a levels of society who often condition with various the predicate. So that in the citizens students considered barely may have a mistake. That in the end, students gay this do the can save them that that feel accepted in the neighborhood social namely by avoid the disclosure of who they are to social environment, with how to keep their personal front of appearance and their code. Researchers interested to scrutinize problems research which was about presentation self students homosexual in the Serang city, with questions research on presentation that has done students homosexual in the front stage and presentation soul that has done students homosexual in the back stage. This study attempts to know these problems. Researchers used research methodology qualitative approach phenomenology and paradigm constructivism. Technique data collection used the interview with 3 key informants namely homosexual man and 2 informants additional namely friend from key informants and psychologist. Researchers used analysis the theory Dramaturgy of Erving Goffman, which was held in 2 regions those regions of the front stage and regions of the back stage. The result of research is, in this case they have a role very different while in home environment and social life at the college and their gay’s group. They are drama in the process of their life. As from tone of speech, body language, and appearance, activity and about their business executed in two different roles.
viii Assalamualaikum Wr. Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga
peneliti dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa dengan judul “Presentasi Diri Mahasiswa Homoseksual Di Kota
Serang.”
Selama proses penyusunan skripsi ini, tentunya peneliti banyak sekali menerima
bantuan, bimbingan, dorongan, support, dan nasihat dari berbagai pihak, sehingga skripsi
penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu dalam kesempatan ini
peneliti ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Allah SWT, yang telah melimpahkan karunia, kemudahan dan hidayah-Nya.
2. Bapak Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M.Pd selaku Rektor Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa beserta staff dan jajarannya.
3. Bapak Dr. Agus Sjafari, S.Sos., M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa beserta staff dan jajarannya.
4. Dr. Rahmi Winangsih., M.Si selaku Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
5. Bapak Darwis Sagita., M.Kom selaku Sekretaris Prodi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
6. Ibu Nurprapti Wahyu, M.Si selaku dosen Akademik. Terimakasih saran dan
ix
7. Ibu Naniek Afrilla Framaniek, S.Sos., M.Si selaku dosen pembimbing I.
Terimakasih atas bimbingannya, kesabaran dan juga saran, kritik serta masukan
yang telah banyak membantu peneliti menyelesaikan skripsi ini.
8. Bapak Husnan Nurjuman, S.Ag., M.Si selaku dosen pembimbing II dan penguji
sidang. Terimakasih atas bimbingannya, kesabaran, dan juga saran, kritik serta
masukan yang telah banyak membantu peneliti menyelesaikan skripsi ini.
9. Seluruh dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang
telah banyak memberikan ilmu pengetahuan selama peneliti duduk dibangku
perkuliahaan.
10.Orang tua tercinta, Ayahanda Marpujo dan Ibunda Daryatun yang selalu
memberi motivasi, mendoakan, serta memberikan dukungan moril maupun
materil, beserta seluruh keluarga besar yang turut memberikan dukungan dan doa
agar peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.
11.Kakak-kakak ku tersayang Arif Setia Budi, Retno Citra Dewi, dan Anggi Tri
Prayogo yang selalu memberikan motivasi, saran, masukan dan doa sehingga
dalam proses pengerjaan skripsi berjalan dengan lancar.
12.Dicky Cahyadhi selaku teman dekat saya yang selalu memberikan motivasi,
membantu dan menemani saya ke beberapa perpustakaan kampus lain, sehingga
pengerjaan skripsi menjadi lebih lancar dan menyenangkan.
13.AL, EL dan YEL selaku narasumber. Terimakasih atas ketersediaannya menjadi
key informan dalam memberikan informasi dan jawaban sehingga peneliti dapat
x
Terimakasih atas ketersediaannya memberikan informasi yang dibutuhkan dalam
penelitian ini.
15.Kepada para sahabat tercinta, sahabat seperjuangan Ratna Rahayu, Dwi
Kurnia, Arin Novyanti, Ema Masriyah, Rifki Kurniawan dan sahabat yang
meski tidak berjuang bersama namun selalu memberikan semangat kepada
peneliti. Terimakasih atas dukungan, motivasi, serta selalu ada dalam suka dan
duka selama ini sehingga peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini.
16.Teman-Teman seperjuangan C Humas 2011. Abel, Ade, Agung, Amanda, Dina,
Fairuz, Fauzul, Gima, Hari, Helmi, Ifat, Irene, Irhas, Isma, Laras, Lifah, Mitha,
Mutia, Neni, Noni, Nurjanah, Puti, Reza Ali, Triesty, Seftian, Tanya, Ufi, Yudi
dan Zahra. Terimakasih atas saran, motivasi, bantuan, doa, dukungan serta
kebersamaan selama ini.
17.Teh Lulu yang selalu memberikan nasihat dan semangat sehingga peneliti bisa
menyelesaikan skripsi ini.
18.Teman-teman Ilmu Komunikasi angkatan 2011 yang selalu memberikan saran,
dukungan dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
19.Teman-teman KKM 05 2011. Terimakasih atas kebersamaan selama KKM di
Desa Waringin Kurung yang memberikan banyak ilmu bermanfaat.
20.Pihak-pihak yang telah membantu peneliti tetapi tidak dapat peneliti sebutkan
satu persatu.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, dikarenakan
keterbatasan wawasan peneliti. Oleh karena itu, peneliti dengan rendah hati memohon
xi
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penelitian ini. Akhir kata,
peneliti berharap skripsi ini dapat berguna dan dapat menambah ilmu pengetahuan serta
wawasan bagi siapa pun yang membacanya.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Serang, Januari 2016
(Tiara Puji Pangesti)
12
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR ORISINALITAS ... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ... iii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1
1.2Rumusan Masalah ... 7
1.3Identifikasi Masalah ... 7
1.4Tujuan Penelitian ... 7
1.5Manfaat Penelitian ... 8
BAB 2 KAJIAN TEORI 2.1 Tinjauan Konsep ... 9
2.1.1Komunikasi ... 9
2.1.2Komunikasi Sosial ... 11
2.1.3Komunikasi Interpersonal ... 12
2.2 Perspektif Teoritis ... 13 Halaman
13
1. Pemahaman Mengenai Dramaturgi ... 16
2. Presentasi Diri ... 18
3. Panggung Pertunjukan ... 20
4. Front Stage (Panggung Depan) ... 22
5. Back Stage (Panggung Belakang) ... 24
2.3 Orientasi Seksual ... 25
1. Pengertian Homoseks dan Homoseksualitas ... 28
2. Tipe-Tipe Homoseksual ... 29
3. Pengertian Gay atau Pria Homoseksual ... 32
2.4 Mahasiswa ... 34
3.2 Ruang Lingkup Penelitian ... 51
3.3 Instrumen Penelitian ... 52
3.3.1Sumber Data ... 52
3.3.2Teknik Pengumpulan Data ... 52
3.4 Informan Penelitian ... 55
4.1.1Deskripsi Identitas key Informan ... 62
1. Key Informan 1 AL ... 63
2. Key Informan 2 EL ... 65
3. Key Informan 3 YEL ... 67
4.1.2Deskripsi Identitas Narasumber ... 70
Sake Pramawisakti, S.Psi ... 70
4.1.3Deskripsi Identitas Informan Tambahan ... 71
Laddy Marriet ... 71
4.2 Deskripsi Hasil Penelitian ... 72
4.2.1 Panggung Pertunjukkan Individu gay ... 75
4.2.1.1 Panggung Depan Individu gay ... 76
1. Di dalam Lingkungan Keluarga ... 80
2. Di dalam Lingkungan Kampus ... 98
4.2.1.2 Pangggung Belakang Individu gay ... 122
Di Lingkungan kelompok Gay ... 123
14
5.1 Kesimpulan ... 161
1. Presentasi Diri Mahasiswa Gay di Lingkungan Keluarga Sebagai Panggung Depan ... 161
2. Presentasi Diri Mahasiswa Gay di Lingkungan Kampus Sebagai Panggung Depan ... 162
3. Presentasi Diri Mahasiswa Gay di Lingkungan Kelompok Gay Sebagai Panggung Belakang ... 162
5.2 Saran ... 163
DAFTAR PUSTAKA ... 165
LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 167
RIWAYAT HIDUP ... 206
15
Tabel 2.2 Penelitian Sejenis ... 44 Tabel 3.1 Jadwal Penelitian ... 60
16
Gambar 4.1 Informan Tambahan Sake Pramawisakti, S.Psi ... 71 Gambar 4.2 Hasil Temuan Penelitian ... 160
17 DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Pedoman Wawancara informan ... 167
1. Pedoman Wawancara Key Informan ... 168
2. Pedoman Wawancara Sahabat Key Informan ... 170
3. Pedoman Wawancara Narasumber ... 170
Lampiran 2 Hasil Jawaban Wawancara Key Informan ... 171
1. Jawaban Wawancara Key Informan AL ... 172
2. Jawaban Wawancara Key Informan EL ... 180
3. Jawaban Wawancara Key Informan YEL ... 187
Lampiran 3 Hasil Jawaban Wawancara Sahabat Key Informan ... 195
Lampiran 4 Hasil Jawaban Wawancara Narasumber ... 198
Lampiran 5 Surat Ijin Penelitian Kepada Psikolog Sake Pramawisakti, S.Psi. ... 201
Lampiran 6 Buku Bimbingan Skripsi ... 203
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Homogeny relationship merupakan suatu identitas seksual diluar
heteronormativitas yang tidak lagi mampu disangkal keberadaanya. Homosexual,
adalah ketertarikan seksual dimana pasangan yang dipilih dari sesama jenis.
Kelompok homoseksual dibedakan menjadi empat golongan, yaitu kelompok
lesbian, gay, biseksual dan transgender atau biasa disingkat menjadi LGBT.
Kelompok yang menjadi fokus penelitian yang dilakukan peneliti adalah
kelompok gay atau pria homoseksual. Biasanya karakteristik dari pria
homoseksual ini yaitu penampilannya yang modis, dan trendy.
Munculnya fenomena gay memang tidak lepas dari konteks kebudayaan.
Kebiasaan-kebiasaan pada masa anak-anak ketika mereka dibesarkan di dalam
keluarga, kemudian mendapat penegasan pada masa remaja menjadi penyumbang
terciptanya gay. Tidak satu pun gay yang “menjadi gay” karena proses mendadak.
Kesimpulannya bahwa tidak ada seorang gay yang lahir ke dunia ini lalu
kemudian murni menjadi gay tanpa adanya proses sosialisasi di dalamnya,
sehingga dalam tahap sosialisasi ini seorang gay bisa berperilaku tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor.
Tidak semua gay di Indonesia secara terbuka dan berani menyatakan
bahwa dirinya adalah seorang gay dengan alasan demi menjaga nama baik mereka
maupun keluarga. Sehingga hal inilah yang menyebabkan seorang gay lebih
memilih untuk menutupi identitas seksualnya dibandingkan harus membuka
dirinya sebagai seorang gay. Di samping itu beberapa hal yang menyebabkan
mereka menutupi identitas aslinya sebagai gay yaitu karena adanya nilai dan
norma sosial yang ada dimasyarakat.
Gay disadari sebagai sebuah orientasi seksual yang ada di dalam
masyarakat dan menimbulkan berbagai macam reaksi oleh lingkungan sekitarnya.
Perdebatan mengenai homoseksualitas telah lama menjadi perbincangan hangat
yang melahirkan pro dan kontra terhadap orientasi seksual diluar
heteronormativitas. Tidak sulit kita temukan kelompok orang yang
mengatasnamakan norma dan nilai agama tertentu untuk melakukan tindakan
kriminalisasi terhadap kaum gay. Sebagai contoh penyerangan dan terror yang
dilancarkan oleh Front Pembela Islam terhadap agenda Internasional Lesbian Gay
Assosiation (ILGA) di Surabaya pada tanggal 26-28 Maret 2010, dan mirisnya
pembubaran ini diamini oleh aparat kepolisian yang bertindak sebagai alat
pengamanan negara.1 Dari kasus tersebut, aparat kepolisian memiliki peran
sebagai alat pengamanan negara terhadap masyarakat yang mendominasi
kepemimpinan moral dan intelektual rakyatnya, yang pada akhirnya menyudutkan
keberadaan kaum gay. Selain dari kasus tindakan kriminalisasi diatas, masih
banyak kasus-kasus yang berkaitan dengan tindakan homoseksual.
Salah satu contoh kasus yang terjadi yaitu pada pasangan sesama jenis
yang menikah pada tanggal 12 januari 2012, menurut sumber dari Tempo yang
1
bernama Angelis, 41 tahun dan Angga Sucipto, 21 tahun telah meninggalkan
rumah mereka di Perumahan Puri Agung III, Blok B6 Nomor 20, Batam, setelah
masyarakat sekitar menggerebek mereka. Timbul niat warga menggerebek
pasangan Anggelis dan Angga ini, menurut salah seorang warga yang tak mau
disebutkan identitasnya, karena tingkah laku mereka yang kadang di luar norma.
Bahkan ketika digerebek, keduanya sedang tidak mengenakan pakaian lengkap,
jadi mudah diketahui jenis kelamin mereka. Angelis dan Angga adalah sesama
jenis, yaitu sama-sama perempuan.2
Dari kasus-kasus di atas kita bisa melihat bahwa masyarakat Indonesia
dengan nilai-nilai ketimurannya menganggap bahwa hubungan sesama jenis
adalah tabu, dianggap salah, dan tidak diakui bahkan dianggap aneh, pria
berpakaian seperti perempuan saja tidak dibolehkan apalagi pasangan sesama
jenis.
Di negara Indonesia sampai saat ini masih tidak melegalkan pernikahan
sesama jenis, karena pernikahan yang dianggap sah bagi Negara Indonesia adalah
pernikahan antar lawan jenis. Sehingga terdapat tindakan yang dilakukan oleh
Front Pembela Islam terhadap agenda Internasional Lesbian Gay Assosiation
(ILGA) di Surabaya, dan penggerebekan yang dilakukan oleh warga terhadap
pasangan homoseksual. Kondisi inilah yang menjadikan individu gay enggan
untuk membuka diri mengenai jati diri mereka yang sebenarnya, karena hal
tersebut dianggap bisa mendapatkan penolakan dari masyarakat.
2
http://nasional.tempo.co/read/news/2013/01/12/058453944/Pasangan-Nikah-Sesama-Jenis-Kabur-dari-Rumah. Diakses pada tanggal 9-06-2015.
Dari stigma-stigma sosial yang mendiskreditkan komunitas maupun
individu homoseksual di Indonesia. keberadaan kaum homoseksual di Indonesia
tetap ada, Begitu juga di daerah kota Serang, keberadaan individu
homoseksualpun telah berkembang. Kehidupan kaum homoseksual yang bertolak
belakang dengan kebiasaan kehidupan manusia secara normal dalam berperilaku
dan menentukan sikap membuat individu homoseksual itu sendiri tidak
mendapatkan tempat di masyarakat. Itu semua dikarenakan pola kehidupan
mereka dianggap akan mempengaruhi kehidupan masyarakat lain.
Masih ada kekhawatiran sebagian individu gay di kota serang untuk
terbuka kepada masyarakat mengenai identitas seksual mereka, karena terkait
dengan berita pelegalan pernikahan sejenis di Amerika, sehingga orang indonesia
langsung anti pati dengan keberadaan gay, sehingga membuat sebagian individu
gay merasa takut untuk membuka identitas mereka. Sehingga dari kasus tersebut,
Permasalahan yang tengah dihadapi oleh individu sebagai pelaku homoseksual
sekarang ini yaitu bagaimana menempatkan diri dalam kehidupan bermasyarakat.
Karena keberadaan mereka masih dibilang asing dalam kehidupan dan sedikit
sulit untuk di terima.
Terlebih lagi masyarakat Indonesia dengan budaya ketimurannya masih
memegang teguh nilai heteronormativitas sebagai hubungan yang dianggap sesuai
dengan budaya masyarakat indonesia. Heteronormativitas inilah yang selama ini
menjadikan gay merasa bahwa dirinya harus tetap menjaga kerahasian mengenai
pilihan orientasi seksual yang dipilihnya. Kaum gay juga tidak diuntungkan dalam
Dalam interaksinya dengan kaum dominan, kaum gay harus mengupayakan
sebuah cara berkomunikasi sendiri supaya tetap dapat berinteraksi dengan dunia
sosialnya.
Dari peristiwa sosial di atas yang memaparkan tentang semakin
berkembangnya keberadaan kaum homoseksual dan penolakan dari masyarakat
dengan keberadaan pelaku homoseksual dan pada realitasnya masyarakat selalu
meyisihkan mereka dengan tidak sebagaimana semestinya, karena masyarakat
menganggap para pelaku homoseksual berlaku tidak sesuai dengan norma-norma
yang berlaku. Sehingga para pelaku homoseksual sering melakukan
tindakan-tindakan yang mereka rasa menyelamatkan diri mereka sendiri. Seperti contoh
melakukan sandiwara atau mengelola kesan dengan sebaik mungkin untuk
mendapatkan pengakuan yang baik dan tetap diterima menjadi bagian dari
anggota di lingkungan tempat dia berada.
Sehingga masyarakat akan tetap mengganggap mereka dengan
sebagaimana semestinya, walaupun mereka adalah kaum homoseksual. Oleh
karena itu mereka mencoba untuk membentuk gambaran idealis mengenai diri
mereka sendiri misalnya, di lingkungan keluarga dan di depan umum. Karena
mereka merasa bahwa mereka harus menyembunyikan sesuatu dalam perbuatan
mereka.
Hal tersebut dilakukan karena manusia tidak hanya sebagai makhluk
individu, akan tetapi juga sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri
tanpa bantuan orang lain, yang dalam kesehariannya tidak terlepas dari berbagai
berkomunikasi dan saling bersosialisasi setiap saat mereka saling membutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Baik itu kebutuhan biologis seperti
makan, minum dan seks maupun kebutuhan psikologis, seperti rasa kasih sayang,
dihargai, diakui, rasa aman dan sebagainya.
Terdapat beberapa hal yang melatarbelakangi penelitian ini dilakukan di
kota Serang. Dengan pertimbangan bahwa Serang identik dengan kota santri,
dimana masyarakatnya mayoritas beragama islam dan menganggap bahwa
perilaku seks seperti ini dianggap salah karena tidak sesuai dengan norma yang
ada dan masih dianggap aneh oleh sebagian masyarakat, sehingga hal ini masih
menjadi permasalahan yang agak sedikit sensitif untuk diangkat. Perkembangan
kaum homoseksual di kota Serang yang semakin berkembang. Akan tetapi dari
semuanya masih banyak dari mereka yang enggan menunjukkan jati diri mereka
yang sebenarnya dikarenakan norma-norma yang ada. Sehingga tanpa kita sadari
dalam realita kehidupan sehari-hari terdapat individu gay yang berinteraksi
dengan lingkungan sekitar kita. Karena keberadaan mereka yang tak tampak
itulah, sehingga orang normal susah untuk membedakannya.
Mahasiswa sebagai remaja dewasa yang merupakan remaja yang berada
pada perkembangan psikoseksual yang sudah matang sehingga mereka memiliki
kebebasan untuk menentukan cara dan jalan yang dipilih untuk memenuhi
dorongan-dorongan yang ada, oleh karena itu mahasiswa menjadi objek utama
penelitian mengenai homoseksualitas ini. Sebagai mahasiswa, yang notabenenya
seseorang yang terpelajar, maka pandangan negatif akan segera dilayangkan pada
Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti memilih untuk mengkaji
presentasi diri mahasiswa homoseksual di kota Serang adalah untuk mengetahui
tujuan tertentu terhadap pesan yang disampaikan oleh gay tersebut kepada orang
lain. Sehingga gay ini akan memperlihatkan sosok- sosok tertentu yang dapat
dipahami oleh orang lain yang melihatnya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka dapat dirumusan fokus
masalah dalam penelitian ini yaitu Bagaimanakah “Presentasi Diri Mahasiswa
Homoseksual di Kota Serang”.
1.3 Identifikasi Masalah
Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka dapat di identifikasikan
masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1) Bagaimana presentasi diri mahasiswa homoseksual di dalam lingkungan
keluarga dan di lingkungan kampusnya?
2) Bagaimana presentasi diri mahasiswa homoseksual di dalam kelompok
gay-nya?
1.4 Tujuan Penelitian
1) Untuk menjelaskan presentasi diri mahasiswa homoseksual di dalam
lingkungan keluarga dan di lingkungan kampusnya.
2) Untuk menjelaskan presentasi diri mahasiswa homoseksual di dalam
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat berguna bagi semua pihak
terutama bagi pihak yang memiliki kepentingan langsung terhadap permasalahan
yang dikaji dalam penelitian ini. Adapun hasilnya dapat bermanfaat dan berguna
sebagai berikut:
a. Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini dapat menyumbangkan
pemikiran-pemikiran baru, terutama dalam bidang Ilmu Komunikasi khususnya
dalam komunikasi sosial dan komunikasi antarpribadi yaitu terhadap
Presentasi Diri Mahasiswa Homoseksual.
b. Praktis
1) Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
berupa gambaran dan pemahaman terhadap Presentasi Diri
Mahasiswa Homoseksual di Kota Serang. Dimana pemahaman
tersebut diharapkan mampu memberikan sumbangan kerangka
pemikiran yang dapat di perankan dalam kehidupan
bermasyarakat.
2) Secara praktis penelitian ini juga dapat memberikan manfaat bagi
individu homoseksual agar keberadaan mereka dapat lebih
dipahami sebagai makhluk sosial yang memerlukan kegiatan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Konsep
Agar tidak terjadi kekeliruan dalam pemaknaan mengenai judul penelitian
“Presentasi Diri Mahasiswa Homoseksual di Kota Serang”, maka peneliti akan
memberikan gambaran dari beberapa teori yang ada dengan judul penelitian
tersebut:
2.1.1. Komunikasi
Kata Komunikasi atau communication dalam bahasa inggris berasal dari
kata Latin communis yang berarti “sama”, communico, communication, atau
communicare yang berarti “membuat sama” (to make common). Istilah pertama
(communis) adalah istilah yang paling sering disebut sebagai asal-usul kata
komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata Latin lainnya yang mirip.
Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan
dianut secara sama.3 Carl L. Hovland mendefinisikan komunikasi adalah proses
yang memungkinkan seseorang (komunikator) menyampaikan rangsangan
(biasanya lambang-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain
(komunikate). Everett M. Rogers mendefinisikan komunikasi adalah proses di
3
Sudikin Basrowi. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya: Insan Cendikia. Hal. 62.
mana suatu ide dilahirkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan
maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.4
Dari pengertian komunikasi diatas, untuk memperjelasnya dapat
dianalogikan sesuai dengan objek kajian dalam penelitian ini yaitu individu
homoseksual, yang menjadi komunikator yang memungkinkan seorang individu
homoseksual (komunikator) untuk memberikan rangsangan berupa
lambang-lambang verbal dan non verbal, di mana ketika individu homoseksual
memberikan rangsangan tersebut, individu itu berusaha untuk menumbuhkan
kesan-kesan tertentu yang sesuai dengan harapannya agar dapat mengubah
perilaku komunikannya, yang mungkin akan berubah menjadi menerimanya
meskipun dia homoseksual.
Dalam hidup bermasyarakat, orang yang tidak pernah berkomunikasi
dengan orang lain niscahaya akan terisolasi dari masyarakatnya. Pengaruh
keterisolasian ini akan menimbulkan depresi mental yang pada akhirnya
membawa orang kehilangan keseimbangan jiwa. Oleh sebab itu menurut Dr.
Everett Kleinjan dari East West Center Hawaii, komunikasi sudah merupakan
bagian kekal dari kehidupan manusia seperti halnya bernafas. Sepanjang manusia
ingin hidup maka ia perlu berkomunikasi.
Banyak pakar menilai bahwa komunikasi adalah suatu kebutuhan yang
sangat fundamental bagi seseorang dalam hidup bermasyarakat. Wilbur Schramm
menyebutnya bahwa komunikasi dan masyarakat adalah dua kata kembar yang
tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Sebab tanpa komunikasi tidak mungkin
4
masyarakat terbentuk, sebaliknya tanpa masyarakat maka manusia tidak mungkin
dapat mengembangkan komunikasi (Schramm; 1982).5
Apa yang mendorong manusia sehingga ingin berkomunikasi dengan
manusia lainnya. Teori dasar biologi menyebut adanya dua kebutuhan, yakni
kebetuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan kebutuhan untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Oleh karena itu, manusia melakukan
berbagai cara agar dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya dan kebutuhan
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya sesuai dengan apa yang menurut
mereka benar.
2.1.2. Komunikasi Sosial
Komunikasi sosial adalah kegiatan komunikasi yang diarahkan pada
pencapaian suatu situasi integrasi sosial. Komunikasi sosial sebagai salah satu
fungsi komunikasi adalah suatu proses sosialisasi untuk pencapaian stabilitas
sosial, tertib sosial, dan penerusan nilai-nilai lama dan baru yang diagungkan oleh
suatu masyarakat. Melalui komunikasi sosial inilah kesadaran masyarakat
dipupuk, dibina dan diperluas, melalui komunikasi sosial juga masalah-masalah
sosial dipecahkan secara konsensus.6 Komunikasi sosial setidaknya
mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk menbangun konsep diri kita,
aktualisasi diri, kelangsungan hidup, memperoleh kebahagian, terhindar dari
tekanan dan ketegangan dan mempunyai hubungan dengan orang lain.
5
Hafied Cangara. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hal 2.
6
Komunikasi sosial pada dasarnya adalah komunikasi kultur, karena dua
istilah sosial dan kultur bagaimana dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan. Budaya menjadi perilaku komunikasi, dan komunikasipun turut
menentukan, memelihara, mengembangkan, dan mewariskan budaya.7 Menurut
Hall “komunikasi adalah budaya, sebaliknya budaya adalah mekanisme sosialisasi
budaya masyarakat baik secara horizontal (dari anggota masyarakat ke anggota
masyarakat lainnya), ataupun secara vertical (dari generasi ke generasi
berikutnya). Laki-laki tidak gampang menangis, dan tidak bermain boneka. Anak
perempuan tidak bermain pistol-pistolan, pedang-pedangan atau mobil-mobilan.
Laki-laki berpasangan dengan perempuan dan sebaliknya perempuan berpasangan
dengan laki-laki.
2.1.3. Komunikasi Interpersonal
Komunikasi antar pribadi (KAP) merupakan proses komunikasi yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih, tidak melalui media, efeknya segera dan
umpan balik bersifat langsung.8 Manusia membutuhkan komunikasi dengan orang
lain karena manusia merupakan makhluk sosial yang harus berinteraksi dengan
orang lain. Oleh karena itu peneliti memilih untuk mengkaji komunikasi
interpersonal terhadap presentasi diri gay di kota Serang adalah untuk mengetahui
tujuan tertentu terhadap pesan yang disampaikan oleh gay tersebut kepada orang
lain. Sehingga seorang gay akan memperlihatkan sosok-sosok tertentu yang akan
7
Burhan Bungin. 2008. Sosiologi Komunikasi (Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat). Jakarta: Kencana Pradana Media Grup. Hal.14.
dipahami oleh orang yang melihatnya dari proses komunikasi interpersonal
tersebut.
Komunikasi Interpersonal atau Komunikasi antar pribadi adalah sebuah
komunikasi yang dilakukan orang-orang secara tatap muka (face to face) yang
memungkinkan untuk mendapatkan respon secara langsung baik verbal maupun
non-verbal.9 Ada 3 (tiga) prediksi analisis bertahap yang dilakukan dalam KAP,
yaitu sosiologi, antropologi, dan psikologi.10 Analisis sosiologi dan antropologi
cenderung menghasilkan stereotype karena orang-orang yang terlibat dalam
komunikasi bersifat homophily (adanya kesamaan norma, nilai-nilai
kemasyarakatan, budaya, dan sebagainya), makan dengan tangan kanan, jangan
melawan orang tua, duduklah dengan sopan, perempuan mengenakan rok,
laki-laki mengenakan celana, laki-laki-laki-laki berpasangan dengan perempuan dan sebaliknya
perempuan berpasangan dengan laki-laki. Sedangkan pada analisis psikologis,
sudah melibatkan aspek empati atau sama rasa senasib sepenanggungan atau
orang-orang yang terlibat di kegiatan komunikasi ini bersifat heterophily
(perbedaan dalam sifat dan tingkah laku tetapi mampu menyesuaikan satu sama
lain), sehingga seringkali menghasilkan saling menyesuaikan satu sama lain.
2.2. Perspektif Teoritis
Perspektif adalah suatu kerangka konseptual (conceptual framework),
suatu perangkat asumsi, nilai, atau gagasan yang mempengaruhi persepsi kita, dan
9 Deddy Mulyana. 2008. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hal.81.
10
pada gilirannya mempengaruhi cara kita bertindak dalam suatu situasi.11
Sedangkan teori digunakan oleh peneliti untuk menjustifikasi dan memandu
penelitian mereka. Oleh karena itu dalam penelitian ini peneliti menggunakan
kajian-kajian konsep sebagai berikut:
2.2.1 Teori Dramaturgi
Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori dramaturgi dari
Erving Goffman, salah satu pakar sosiologi yang terkenal pada abad ke-20
menggunakan sebuah metafora dramatis untuk menjelaskan bagaimana para
pelaku komunikasi menghadirkan dirinya. Teori dramaturgi menurut Goffman
yaitu, bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu
gambaran diri yang akan diterima orang lain sesuai dengan apa yang
diharapkan.12 Ia menyebut upaya itu sebagai “pengelolaan kesan” yaitu
teknik-teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi
tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Upaya pengelolaan kesan untuk
membangun identitas dirinya dalam upaya menjaga kerahasiaan yang ada di
dalam dirinya tersebut. sehingga mereka mengelola kesan sebaik mungkin agar
orang lain menganggap mereka dengan sebagaimana mestinya.
Menurut Goffman, kebanyakan atribut, milik atau aktivitas manusia
digunakan untuk presentasi diri ini, termasuk busana yang aktor pakai, tempat
akor tinggal, cara aktor berjalan dan berbicara, dan juga pekerjaan yang aktor
lakukan. Memang segala sesuatu yang terbuka mengenai diri aktor atau pelaku
11
Dedy Mulyana. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya. Hal. 16.
12
komunikasi sendiri dapat digunakan untuk memberi tahu orang lain siapa dia.
Aktor melakukan hal itu dari situasi ke situasi.
Seperti halnya subjek dalam penelitian ini yaitu mahasiswa homoseksual,
mereka juga berusaha untuk menyesuaikan diri mereka dengan menampilkan citra
diri mereka kepada orang lain yang sesuai dengan lingkungan sosialnya. Upaya
penyesuaian diri itu disebut juga pengelolaan kesan.
Goffman menyebut aktivitas untuk mempengaruhi orang lain itu sebagai
pertunjukkan (performance). Pertunjukkan itu dilakukan untuk meyakinkan orang
lain agar menganggap aktor sesuai dengan apa yang aktor harapkan. Menurut
Goffman, kehidupan sosial bagaikan teater yang memungkinkan sang aktor
memainkan berbagai peran diatas suatu atau beberapa panggung.
Dalam perspektif dramaturgis, kehidupan ini ibarat teater, interaksi sosial
yang mirip dengan pertunjukkan diatas panggung, yang menampilkan peran-peran
yang dimainkan para aktor. Menurut Goffman, kehidupan sosial itu dapat dibagi
menjadi “wilayah depan” (front region) dan “wilayah belakang” (back region).
Wilayah depan merujuk kepada peristiwa sosial yang memungkinkan
individu bergaya atau menampilkan peran formalnya. Mereka seperti sedang
memainkan perannya diatas panggung sandiwara di hadapan khalayak penonton.
Sebaliknya, wilayah belakang ibarat panggung sandiwara bagian belakang (back
stage) atau tempat pemain sandiwara bersantai dengan kehidupan di panggung
belakangnya, contohnya mereka akan merasa lebih santai dan menjadi diri mereka
disembunyikan, seperti halnya pada saat mereka berada di lingkungan pada
panggung depan mereka.
Dalam usaha untuk mempresentasikan dirinya, terkadang sang aktor
menghadapi kesenjangan antara citra diri yang ia inginkan dilihat orang lain, dan
identitas yang sebenarnya, karena ia memiliki stigma (cacat), baik stigma fisik
(orang buta, orang lumpuh, orang pincang, bertangan atau berkaki satu) ataupun
stigma sosial (mantan pembunuh, mantan perampok, gay, lesbian, dan
sebagainya).
Buku Goffman, stigma, menelaah interaksi dramaturgis antara
orang-orang yang memiliki stigma dan orang-orang-orang-orang normal. Sifat interkasi itu
bergantung pada jenis stigma. Dalam kasus stigma fisik, aktor mengasumsikan
bahwa khalayak mengetahui bahwa aktor memang secara fisik berbeda dengan
mereka, sedangkan dalam kasus stigma sosial khalayak tidak mengetahui dan
melihatnya, misalnya homoseksual. Bagi aktor yang memiliki stigma fisik,
problem dramaturginya adalah menegelola ketegangan yang berasal dari fakta
bahwa orang lain mengetahui cacat fisik sang aktor, sedangkan bagi aktor dengan
stigma sosial, problem dramaturgisnya adalah mengelola informasi agar stigma
sosial tersebut tetap tersembunyi bagi khalayak, misalnya homoseksual.13
1) Pemahaman Mengenai Dramaturgi
Dramaturgi adalah suatu pendekatan yang lahir dari pengembangan Teori
Interaksionisme Simbolik. Dramaturgi diartikan sebagai suatu model untuk
mempelajari tingkah laku manusia, tentang bagaimana manusia itu menetapkan
13
arti kepada hidup mereka dan lingkungan tempat dia berada demi memelihara
keutuhan diri.
Istilah dramaturgi dipopulerkan oleh Erving Goffman, salah seorang
sosiolog yang paling berpengaruh pada abad 20. Dalam bukunya yang berjudul
The Presentation of Self in Everyday Life yang diterbitkan pada tahun 1959,
Goffman memperkenalkan konsep dramaturgi yang bersifat penampilan teateris.
Yakni memusatkan perhatian atas kehidupan sosial sebagai serangkaian
pertunjukan drama yang mirip dengan pertunjukan drama di panggung.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa Goffman melihat banyak kesamaan
antara pementasan teater dan berbagai jenis peran yang kita mainkan dalam
interaksi dan tindakan sehari-hari.14 Ada aktor dan penonton. Tugas aktor hanya
mempersiapkan dirinya dengan berbagai atribut pendukung dari peran yang ia
mainkan, sedangkan bagaimana makna itu tercipta, masyarakatlah (penonton)
yang memberi interpretasi.
Individu tidak lagi bebas dalam menentukan makna tetapi konteks yang
lebih luas menentukan makna (dalam hal ini adalah penonton dari sang aktor).
Karyanya melukiskan bahwa manusia sebagai manipulator simbol yang hidup di
dunia simbol. Perhatian utama Goffman terletak di bidang interaksi. Ia
menyatakan, karena orang umumnya mencoba mempertunjukkan gambaran
idealis mengenai diri mereka sendiri di depan umum, maka tanpa terelakkan
14
mereka merasa bahwa mereka harus menyembunyikan sesuatu dalam perbuatan
mereka.15
Dalam konsep dramaturgi, Goffman mengawalinya dengan penafsiran
“konsep-diri”, di mana Goffman menggambarkan pengertian diri yang lebih luas
daripada Mead (menurut Mead, konsep-diri seorang individu bersifat stabil dan
sinambung selagi membentuk dan dibentuk masyarakat berdasarkan basis jangka
panjang). Sedangkan menurut Goffman, konsep-diri lebih bersifat temporer,
dalam arti bahwa diri bersifat jangka pendek, bermain peran, karena selalu
dituntut oleh peran-peran sosial yang berlainan, contohnya pada saat individu
homoseksual berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, mereka tidak hanya
berinterkasi dengan lingkungan keluarganya saja, akan tetapi dengan lingkungan
sosial lainnya dengan situasi dan identitas sosial yang mungkin berbeda sehingga
memungkinkan untuk memainkan peran-peran sosial yang berlainan. Berkaitan
dengan interaksi, definisi situasi bagi konsep-diri individu tertentu dinamakan
Goffman sebagai presentasi diri.
2) Presentasi Diri
Menurut Goffman, presentasi diri merupakan suatu kegiatan yang
dilakukan oleh individu tertentu untuk memproduksi definisi situasi dan identitas
sosial bagi para aktor dan definisi situasi tersebut mempengaruhi ragam interaksi
yang layak dan tidak layak bagi para aktor dalam situasi yang ada.16
15 George Ritzer & Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana. Hal. 299.
16
Lebih jauh presentasi diri merupakan upaya individu untuk menumbuhkan
kesan tertentu di depan orang lain dengan cara menata perilaku agar orang lain
memaknai identitas dirinya sesuai dengan apa yang ia inginkan. Dalam proses
produksi identitas tersebut, ada suatu pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan
mengenai atribut simbol yang hendak digunakan sesuai dan mampu mendukung
identitas yang ditampilkan secara menyeluruh.
Manusia adalah aktor yang berusaha menggabungkan karakteristik
personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”.
Dalam mencapai tujuannya tersebut, manusia akan mengembangkan
perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama,
seorang aktor dalam drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan
pertunjukan. Kemudian ketika perangkat simbol dan pemaknaaan identitas yang
hendak disampaikan itu telah siap, maka individu tersebut akan melakukan suatu
gambaran-diri yang akan diterima oleh orang lain. Upaya itu disebut Goffman
sebagai “pengelolaan kesan” (impression management), yaitu teknik-teknik yang
digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi-situasi
tertentu untuk mencapai tujuan tertentu (Mulyana, 2010: 112).
Menurut Goffman, kebanyakan atribut, milik atau aktivitas manusia
digunakan untuk presentasi diri, termasuk busana yang kita kenakan, tempat kita
tinggal, rumah yang kita huni berikut cara kita melengkapinya (furnitur dan
perabotan rumah), cara kita berjalan dan berbicara, pekerjaaan yang kita lakukan
dan cara kita menghabiskan waktu luang kita Lebih jauh lagi, dengan mengelola
pemaknaan orang lain terhadap diri kita. Hal itu digunakan untuk memberi tahu
kepada orang lain mengenai siapa kita.17
Dalam konsep dramaturgi, Goffman menyebut aktivitas untuk
mempengaruhi orang lain itu sebagai pertunjukkan (performance), yakni
presentasi diri yang dilakukan individu pada ungkapan-ungkapan yang tersirat,
suatu ungkapan yang lebih bersifat teateris, kontekstual, non-verbal dan tidak
bersifat intensional. Dalam arti, orang akan berusaha memahami makna untuk
mendapatkan kesan dari berbagai tindakan orang lain, baik yang dipancarkan dari
mimik wajah, isyarat dan kualitas tindakan.18 Menurut Goffman, perilaku orang
dalam interaksi sosial selalu melakukan permainan informasi agar orang lain
mempunyai kesan yang lebih baik. Kesan non-verbal inilah yang menurut
Goffman harus dicek keasliannya. Ketika individu akan mempengaruhi khalayak
penontonnya mengenai konsep ideal mengenai dirinya terdapat sebuah panggung
pertunjukkan, di mana ia akan memainkan sebuah peran dalam panggung
pertunjukan itu.
Goffman menyatakan bahwa hidup adalah teater, individunya sebagai
aktor dan masyarakat adalah penontonnya. Jadi kehidupan dapat juga diartikan
sebagai panggung pertunjukkan, misalnya untuk subjek dalam penelitian ini yaitu
mahasiswa homoseksual. Ketika individu dihadapkan pada panggung, ia akan
menggunakan simbol-simbol yang relevan untuk memperkuat identitas
karakternya, namun ketika individu tersebut telah habis masa pementasannya,
17
Dedy Mulyana. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. PT Remaja Rosdakarya. Hal. 112.
maka di belakang panggung akan terlihat tampilan seutuhnya dari individu
tersebut.
3) Panggung Pertunjukan
Dalam perspektif dramaturgis, kehidupan ini ibarat teater, interaksi sosial yang
mirip dengan pertunjukkan diatas panggung yang menampilkan peran-peran yang
dimainkan para aktor.19 Menurut Goffman, kehidupan sosial itu dapat dibagi
menjadi “wilayah depan” (front region) dan “wilayah belakang” (back region).
Goffman melihat ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas
panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage) drama
kehidupan. Kondisi akting di panggung depan adalah adanya penonton (yang
melihat kita) dan kita sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita
berusaha memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan
dari perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh konsep-konsep drama yang bertujuan
membuat drama yang berhasil. Sedangkan di panggung belakang adalah keadaan
di mana kita berada di belakang panggung dengan kondisi tidak ada penonton,
sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa memperdulikan plot perilaku
bagaimana yang harus kita bawakan.
Lebih jauh untuk memahami konsep dramaturgi, analogi individu gay
adalah sebagai contoh. Seorang gay senantiasa mempunyai dua sisi kehidupan
yang berbeda ketika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Dia berupaya
melakukan teknik-teknik pengelolaan kesan yang baik, sehingga dapat diterima di
lingkungan sosial tempat dia berada pada saat itu, meskipun dia seorang gay.
19
Karena akan sangat beresiko jika individu gay tersebut tertangkap basah dengan
identitas aslinya ketika berada di lingkungan yang mayoritas heteroseksusal,
karena akan menimbulkan kesan negatif.
Terdapat suatu resiko yang besar ketika panggung belakang atau “privat”
dari seorang individu bisa diketahui orang lain. Mengingat dalam hal ini,
panggung tersebut bersifat rahasia, maka hal yang wajar bagi individu untuk
menutupi panggung privat tersebut dengan tampilan luar yang “memukau”.
Lebih jelas akan dibahas dua panggung pertunjukan dalam kajian dramaturgi:
4) Front Stage (Panggung Depan)
Merupakan suatu panggung yang terdiri dari bagian pertunjukkan
(appearance) atas penampilan dan gaya (manner). Di panggung inilah aktor akan
membangun dan menunjukkan sosok ideal dari identitas yang akan ditonjolkan
dalam interaksi sosialnya. Pengelolaan kesan yang ditampilkan merupakan
gambaran aktor mengenai konsep ideal dirinya yang sekiranya bisa diterima
penonton. Aktor akan menyembunyikan hal-hal tertentu dalam pertunjukkan
mereka.20
Menurut Goffman, aktor menyembunyikan hal-hal tertentu tersebut
dengan alasan:
a. Aktor mungkin menyembunyikan kesenangan-kesenangan tersembunyi,
seperti meminum minuman keras, yang dilakukan sebelum pertunjukan,
atau kehidupan masa lalu, seperti pecandu alkohol, pecandu obat bius atau
perilaku kriminal yang tidak sesuai dengan panggung pertunjukan.
20
b. Aktor mungkin ingin menyembunyikan kesalahan yang terjadi saat
persiapan pertunjukan, juga langkah-langkah yang diambil untuk
memperbaiki kesalahan tersebut. Misalnya, supir taksi mulai
menyembunyikan fakta ketika ia salah mengambil arah jalan.
c. Aktor mungkin merasa perlu menunjukkan hanya produk akhir dan
menyembunyikan proses memproduksinya. Misalnya dosen memerlukan
waktu beberapa jam untuk memberikan kuliah, namun mereka bertindak
seolah-olah mereka telah lama memahami materi kuliah itu.
d. Aktor mungkin perlu menyembunyikan “kerja kotor” yang dilakukan
untuk membuat produk akhir itu dari khalayak. Kerja kotor itu mungkin
meliputi tugas-tugas yang “secara fisik” kotor, semi-legal, kejam dan
menghinakan.
Dalam melakukan pertunjukan tertentu, aktor mungkin harus mengabaikan
standar lain. Akhirnya aktor mungkin perlu menyembunyikan hinaan, pelecehan
atau perundingan yang dibuat sehingga pertunjukan dapat berlangsung.
Goffman membagi panggung depan ini menjadi dua bagian yaitu front
pribadi, dan setting yakni situasi fisik yang harus ada ketika aktor harus
melakukan pertunjukkan. Tanpa setting, aktor biasanya tidak dapat melakukan
pertunjukkan. Misalnya: seorang mahasiswa yang memerlukan ruangan kelas,
seorang satpam memerlukan pos jaga, dan seorang pemain sepak bola
memerlukan lapangan bola. Front pribadi terdiri dari alat-alat yang dapat
Misalnya seorang satpam memerlukan seragam satpam dan pentungan yang harus
dibawa.21
5) Back Stage (Panggung Belakang)
Merupakan panggung penampilan individu di mana ia dapat
menyesuaikan diri dengan situasi penontonnya. Di panggung inilah segala
persiapan aktor disesuaikan dengan apa yang akan dihadapi di lapangan, untuk
menutupi identitas aslinya. panggung ini disebut juga panggung pribadi, yang
tidak boleh diketahui oleh orang lain. Dalam arena ini individu memiliki peran
yang berbeda dari front stage, ada alasan-alasan tertentu di mana individu
menutupi atau tidak menonjolkan peran yang sama dengan panggung depan. Di
panggung inilah individu akan tampil “seutuhnya” dalam arti identitas aslinya.
Di panggung inilah, aktor boleh bertindak dengan cara yang berbeda
dibandingkan ketika berada di hadapan penonton, jauh dari peran publik. Di sini
bisa terlihat perbandingan antara penampilan “palsu” dengan keseluruhan
kenyataan diri seorang aktor. Panggung belakang biasanya berbatasan dengan
panggung depan, tetapi tersembunyi dari pandangan khalayak. Ini dimaksudkan
untuk melindungi rahasia pertunjukkan, dan oleh karena itu, khalayak biasanya
tidak diizinkan memasuki panggung belakang, kecuali dalam keadaan darurat.
Suatu pertunjukkan akan sulit dilakukan bila aktor membiarkan khalayak berada
di panggung belakang.22
21
Dedy Mulyana. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.Hal. 114.
22
Baik panggung depan ataupun panggung belakang tidaklah merujuk
kepada suatu tempat fisik yang tetap. Misalnya mahasiswa homoseksual yang
berinteraksi tidak hanya dengan lingkungan kampusnya saja, tetapi dapat juga
berinteraksi dengan lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal, bahkan
lingkungan gaynya. Di mana dalam setiap tempat, mereka akan mengelola kesan
sesuai dengan situasi-situasi tertentu yang ada.
Maka, melalui kajian mengenai presentasi diri yang dikemukakan oleh
Goffman dengan memperhatikan aspek front stage dan back stage, upaya untuk
menganalisa pengelolaan kesan yang dilakukan oleh homoseksual dapat semakin
mudah untuk dikaji dalam perspektif dramaturgi. Karena walau bagaimanapun,
manusia tidak pernah lepas dalam penggunaan simbol-simbol tertentu dalam
hidupnya.
2.3. Orientasi Seksual
Orientasi seksual menunjuk kepada situasi di mana seseorang mengalami
ketertarikan dan memperoleh kenikmatan seksual dengan lawan jenis atau sesama
jenis.23 Pada umumnya orientasi seksual pada manusia bersifat heteroseksual
(hetero adalah kata Yunani yang berarti “yang lain”). Artinya orang merasa
tertarik dengan lawan jenis. Namun demikian ada orientasi seksual yang bersifat
homo-seksual di mana orang merasa tertarik dengan lawan jenis seks yang sama
(homo adalah kata Yunani yang berarti “sama”). Orientasi seksual secara garis
besar dapat dibedakan menjadi :
a. Heteroseksual, yaitu orang yang tertarik secara emosi dan seksual terhadap
lawan jenisnya.
b. Homoseksual, yaitu orang yang tertarik secara emosi dan seksual terhadap
sesama jenisnya. Gay adalah istilah untuk homoseksual laki-laki, dan
lesbian adalah istilah untuk homoseksual perempuan.
c. Biseksual, yaitu orang yang tertarik secara emosi dan seksual terhadap
lawan dan sesama jenisnya.
Meskipun kebanyakan kebudayaan mendukung orientasi seksual yang
bersifat heteroseksual, namun ada juga orang-orang yang mentolerir atau bahkan
mendukung orientasi seksual yang homoseks atau lesbian. Namun karena
homoseksualitas tidak mungkin menjalankan fungsi reproduksi maka tidak
banyak kebudayaan yang mendukung adanya homoseksualitas ini. Bahkan ada
banyak kebudayaan yang menganggap kaum homo sebagai deviant. Dewasa ini
secara teoritis masyarakat umumnya sudah menerima adanya kaum waria. Tetapi
dalam kenyataannya, perlakuan terhadap mereka masih bersifat diskriminatif.
Prejudice dan tindakan diskriminatif ini menyebabkan banyak dari kaum mereka
tidak menampilkan diri secara terbuka.
Realitanya dalam kehidupan masyarakat Indonesia hanya ada 2 jenis
kelamin yang diakui yaitu laki-laki dan perempuan. Dimana konsep jenis kelamin
atau seks mengacu pada perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, pada
perbedaan antara tubuh laki-laki dan perempuan. Sebagaimana dikemukakan
men and women, the result of differences in the choromosomes of the embryo”.24
Definisi konsep seks tersebut menekankan pada perbedaan yang disebabkan oleh
perbedaan kromosom pada janin.
Dengan demikian, mana kala kita berbicara mengenai perbedaan Jenis
kelamin maka kita akan membahas perbedaan biologis yang umumnya dijumpai
antara kaum laki-laki dan perempuan, seperti perbedaan pada bentuk, tinggi, serta
berat badan, pada struktur organ reproduksi dan fungsinya, pada suara, pada bulu
badan, dan lain sebagainya. Sebagaimana dikemukakan oleh kerstan (1999), jenis
kelamin bersifat biologis dan dibawa sejak lahir sehingga tidak dapat diubah.
Contoh yang diberikannya, hanya perempuanlah yang dapat melahirkan; hanya
laki-lakilah yang dapat menjadikan seorang perempuan hamil.
Orientasi seksual dalam kelompok sosial manusia mempunyai cara-cara
untuk menentukkan berbagai aturan termasuk aktivitas biologis yang menyangkut
hubungan kekerabatan dan norma-norma sosial dan budaya yang berlaku dalam
kelompok tersebut meliputi hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang.
Aturan-aturan dalam seksualitas sebagai bentuk ekspresi dalam konstruksi sosial berarti
masyarakatlah yang mengorganisisir dan mengatur seksualitas dalam berbagai hal
dan menjadikan seseorang seksualis.
Seksualitas adalah tentang bagaimana seseorang mengalami, menghayati,
dan mengekspresikan diri sebagai makhluk seksual, bagaimana seseorang
berpikir, merasa dan bertindak berdasarkan posisinya sebagai makhluk seksual,
yaitu bagaimana mereka mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada orang lain
24
melalui tindakan yang dilakukannya seperti sentuhan, pelukan, ataupun perilaku
yang halus seperti isyarat gerak tubuh, cara berpakaian, dan perbendaharaan kata
termasuk pikiran, pengalaman, nilai, fantasi, emosi. Jadi seksualitas manusia
(human sexuality) merupakan topik yang kompleks dan sensitif. Ruang
lingkupnya meliputi perilaku, sikap, kepercayaan, nilai-nilai dan norma, orientasi
dan sebagainya.
Seksualitas adalah realitas yang dibangun secara sosial dan tidak sama
pada setiap orang. Seksualitas diciptakan oleh budaya dengan mendefinisikan
beberapa perilaku yang berhubungan dengan seksual serta dipelajari dari skrip
yang ada di masysrakat. Seksualitas adalah sebagai identitas seseorang.
Menurut Foucault, seksualitas adalah efek akhir, produk, pengawasan
akhir masyarakat, diskusi, klarifikasi dan regulasi jenis kelamin. Seksualitas
seseorang pada dasarnya terdiri dari:25
a. Identitas seksual (seks biologi) berupa gradasi kejantanan dan kebetinaan.
b. Perilaku (peran) gender baik sebagaimana ditentukan oleh budaya atau
berupa pilihan sendiri atau berupa pilihan sendiri yang bertentangan
dengan budaya itu.
c. Khusus pada masyarakat modern, ada orientasi (preferensi) seksualitas
yang menyimpang ataukah mematuhi budaya. (Sprecher dan Mc
Kinney,1993).
25
Seksualitas menyangkut banyak aspek kehidupan dan diekspresikan dalam
bentuk perilaku yang beraneka ragam.
1) Pengertian Homoseks dan Homoseksualitas
Homoseksual adalah salah satu bentuk femonema penyimpangan orientasi
seksual yang dialami oleh seorang individu dengan menyukai sesama jenisnya.
Secara definitif pengertian dari gay dan homoseksual dapat dilihat dalam
pengertian sebagai berikut:
a. Homoseks dan Homophili adalah orang yang orientasi atau pilihan seks
pokok atau dasarnya, entah diwujudkan atau tidak, diarahkan kepada
sesama jenis kelaminnya (Utomo, 2001:6). Kees Mass mengatakan bahwa
istilah homoseks kurang tepat karena pengertiannya terlalu menekankan
aspek seksual dalam arti yang sempit. Ia menganjurkan menggunakan
istilah homophili. Ia memberi pengertian homophili adalah seseorang yang
tertarik atau jatuh cinta kepada orang yang berjenis kelamin sama, dengan
tujuan mengadakan persatuan hidup, baik untuk sementara maupun untuk
selamanya. Dalam persatuan ini, mereka menghayati cinta dan menikmati
kebahagiaan seksual yang sama seperti dialami oleh orang heteroseksual.
b. Pengertian yang lain tentang homoseks dapat dilihat dari Dede Oetomo
(2001) mendifinisikan bahwa yang dimaksud dengan homoseks adalah
orang-orang yang orientasi atau pilihan seks pokok atau dasarnya, entah
diwujudkan atau dilakukan maupun tidak, diarahkan sesama jenis
kelaminnya. Atau dengan kata lain secara emosional dan secara seksual
2) Tipe-Tipe Homoseksual
Tanpa disadari homoseksual juga memiliki tipe-tipe tersenderi. Itu semua
disadari dengan orientasi seksual yang berbeda-beda dari masing-masing individu
tersebut. Dalam penelitian ini terdapat 6 (enam) tipe homoseksual yang ada.
Semua itu mencerminkan msing-masing kepribadian dari homoseksual itu sendiri.
Baik itu dari tipe homoseksual yang telah berani mengungkapkan diri mereka,
sebaliknya juga terdapat tipe homoseksual yang masih tertutup dalam masalah
pengungkapan diri mereka. Berikut tipe-tipe homoseksual yang ada.26
a. The Blatant Homoseksual
Mereka dikenali dengan dengan penampilan mereka yang
kewanita-wanitaa. Digambarkan sebagai pria yang lemah atau yang
dianggap sebagai tipe sissy, kata itu dimaksudkan untuk menunjukkan
perilaku mereka yang secara aneh sebagai kewanita-wanitaan. Termasuk
juga dalam kategori ini tipe yang disebut sebagai leather boy, yaitu
mereka yang dengan sengaja memperlihatkan sadomakistik dari
homoseksualitasnya, seperti memakai jaket kulit, rantai sepatu bot, dan
lain-lain. Sedangkan kaum homoseks yang tidak Nampak secara nyata
atau tidak cenderung menunjukkan homoseksualitasnya, dikategorikan
sebagai tipe boyish.
b. The Desperate Homosexual
Kaum homoseksual yang mencari partner seksualnya di toilet
umum atau tempat-tempat mandi uap (sauna). Mereka biasanya kurang
26