• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK HUKUM PENGANGKATAN ANAK DALAM RANGKA PERLINDUNGAN ANAK DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POLITIK HUKUM PENGANGKATAN ANAK DALAM RANGKA PERLINDUNGAN ANAK DI INDONESIA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

RANGKA PERLINDUNGAN ANAK DI INDONESIA

Oleh:

Sabrina Vanissa Rizki Hilaihi 110620170040

Dosen:

Prof. Dr. H. Rukmana Amanwinata, S.H., M.H. Dr. Hernandi Affandi, S.H., LL.M.

Diajukan untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester dari mata kuliah Politik Hukum

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

(2)

i DAFTAR ISI ... i I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Identifikasi Masalah ... 3 C. Tujuan Penulisan ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. Pengertian Politik Hukum ... 4

B. Perlindungan Anak ... 5

C. Pengangkatan Anak ... 6

III. PEMBAHASAN ... 8

A. Perkembangan Politik Hukum Pengangkatan Anak Dalam Rangka Perlindungan Anak Di Indonesia ... 8

B. Kedudukan Anak Angkat Menurut Hukum Positif Di Indonesia... 13

1. Menurut Hukum Perdata Barat (BW)... 14

2. Menurut Hukum Adat... 15

3. Menurut Hukum Islam ... 16

IV. PENUTUP ... 17

A. Kesimpulan ... 17

B. Rekomendasi ... 17

(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda lainnya, senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat pula harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita luhur bangsa, calon-calon pemimpin bangsa, perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani dan sosial serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan, diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu adanya peran masyarakat baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa dan lembaga pendidikan.

Komitmen yuridis negara untuk melindungi warga negaranya sebagaimana disebutkan dalam alinea ke-IV UUD 1945, yaitu:

“... Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejateraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu...”

(4)

Selanjutnya dijabarkan juga dalam BAB XA tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Khusus untuk perlindungan terhadap anak, Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”1

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindungnya hak-hak anak. Upaya perlindungan terhadap anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Hal ini bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif.

Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional. Melindungi anak adalah melindungi manusia, adalah membangun manusia seutuhnya. Mengabaikan masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan pembangunan nasional. Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalah sosial, yang dapat menggangu ketertiban, keamanan dan pembangunan nasional.

Oleh karenanya, Pengangkatan anak atau Adopsi termasuk bagian substansi dari hukum perlindungan anak yang telah menjadi bagian dari hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sesuai dengan adat istiadat dan motivasi yang berbeda-beda serta perasaan hukum yang hidup dan berkembang di masing-masing daerah.2

Praktik pengangkatan anak sudah dikenal lama oleh kalangan masyarakat Indonesia, baik penduduk asli melalui hukum adatnya, penduduk keturunan Tionghoa melalui Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917, dan

1 Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, Bandung: CV. Mandar Maju, 2009, hlm. 1. 2 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di

(5)

orang yang beragama Islam dengan menggunakan ketentuan Hukum Islam. Namun sampai saat ini belum ada undang-undang secara khusus yang mengatur masalah pengangkatan anak di Indonesia. Maka, berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji dan menuangkan dalam bentuk penulisan hukum yang berjudul "Politik Hukum Pengangkatan Anak Dalam Rangka Perlindungan Anak di Indonesia”.

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana perkembangan politik hukum pengangkatan anak dalam rangka perlindungan anak di Indonesia?

2. Bagaimana kedudukan anak angkat menurut hukum positif di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penulisan ini adalah untuk memahami dan menganalisis secara lengkap, jelas, rinci dan sistematis tentang:

1. Perkembangan politik hukum pengangkatan anak dalam rangka perlindungan anak di Indonesia.

(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Politik Hukum

Deskripsi atau rumusan tentang politik hukum yang digambarkan melalui beberapa pandangan ahli hukum antara lain:

1. William Zevenberg, politik hukum menjawab pertanyaan peraturan-peraturan hukum mana yang patut untuk dijadikan hukum.

2. Bellefroid, politik hukum menyelidiki perubahan-perubahan apakah yang harus diadakan pada hukum yang ada sekarang, supaya dapat memenuhi syarat-syarat baru dari hidup kemasyarakatan. Ia melanjutkan perkembangan tertib hukum, karena dia menjadikan ius constitutum yang diperkembangkan dari stelsel-stelsel hukum yang lama, menjadi ius constituendum atau hukum untuk masa yang akan datang (hukum yang dicita-citakan).3

3. Satjipto Rahardjo, politik hukum yaitu aktivitas memilih suatu tujuan sosial tertentu dan keharusan untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan maupun cara-cara yang hendak dicapai untuk mencapai tujuan tersebut.

Menurut Satjipto Rahardjo, terdapat beberapa pertanyaan mendasar yang muncul dalam studi politik hukum, yaitu:

3 Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik Hukum, Buku I, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm.

(7)

a. Tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada;

b. Cara-cara apa dan yang mana, yang dirasa paling baik untuk bisa dipakai mencapai tujuan tersebut;

c. Kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan;

d. Dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan, yang bisa membantu kita memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut secara baik.4

4. Dr. Hernandi Affandi, S.H., LL.M., politik hukum yaitu suatu strategi penentuan dan pemilihan cara, metode, tujuan, dan arah yang akan diterapkan dalam pembentukan, perumusan, dan penyusunan produk hukum.

B. Perlindungan Anak

Pengertian Perlindungan Anak menurut UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yaitu:

1. Segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan, dan pemenuhan kesejahteraan fisik, mental dan sosial anak dan remaja yang sesuai dengan kepentingan hak asasinya.

4 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta: Rajawali

(8)

2. Segala daya upaya bersama yang dilakukan dengan sadar oleh perorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak berusia 0-21 tahun tidak dan belum pernah menikah sesuai dengan hak asasi dan kepentingannya agar dapat mengembangkan dirinya seoptimal mungkin.5

Perlindungan anak berasaskan Pancasila dan UUD 1945 serta prinsip-prinsip konvensi Hak-Hak Anak, yang meliputi: (1) Non diskriminasi; (2) Kepentingan Yang Terbaik Bagi Anak; (3) Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; dan (4) Penghargaan terhadap pendapat anak (Pasal 2 UU No. 23 Tahun 2002).6

C. Pengangkatan Anak

Adopsi berasal dari kata ‘adoptie’ bahasa Belanda, atau ‘adopt

(adoption) bahasa Inggris, yang berarti pengangkatan anak, mengangkat anak. Pengertian dalam bahasa Belanda menurut Kamus Hukum, berarti ‘pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri’. Arif

Gosita mendefinisikan pengangkatan anak sebagai suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya

5 Emeliana Krisnawati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bandung: CV. Utomo, 2005,

hlm. 3.

6 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hlm.

(9)

sendiri berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan.7

Dr. Mahmud Syaltut, seperti yang dikutip secara ringkas oleh Drs. Fatchur Rahman dalam bukunya Ilmu Waris, beliau membedakan dua macam arti anak angkat, yaitu, Pertama: Penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya bahwa ia sebagai anak orang lain. Ia diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri.

Kedua: yakni yang dipahamkan dari perkataan ‘tabanni’ (mengangkat anak secara mutlak). Menurut syariat adat dan kebiasaan yang berlaku pada manusia. Tabanni ialah memasukkan anak yang diketahuinya sebagai orang lain ke dalam keluarganya, yang tidak ada pertalian nasab kepada dirinya, sebagai anak yang sah, tetapi mempunyai hak dan ketentuan hukum sebagai anak.8

7 Shanty Dellyana, Wanita Dan Anak Di Mata Hukum, Yogyakarta: Liberty, 2004, hlm.

13.

8 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta: Sinar Grafika,

(10)

BAB III PEMBAHASAN

A. Perkembangan Politik Hukum Pengangkatan Anak dalam Rangka Perlindungan Anak di Indonesia.

Falsafah bangsa dan Dasar Negara Republik Indonesia, Pancasila, mewajibkan kita utuk selalu bersikap dan berprilaku manusiawi. Hal ini secara khusus diwajibkan oleh sila kedua, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (dalam hal ini terhadap anak sebagai generasi penerus cita-cita bangsa).

Berkaitan dengan Sila Kedua dan juga Sila Kelima, yaitu Keadilan Sosial, dirumuskan beberapa pasal dalam UUD 1945 yang juga mencakup kewajiban negara untuk memberi jaminan hukum kepada anak-anak. Pasal-pasal ini adalah:

1. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: Segala warganegara (jadi juga anak-anak) bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

2. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 berbunyi: Tiap-tiap warga berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

3. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. 4. Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 berbunyi: Tiap warganegara berhak

mendapat pengajaran.

5. Pasal 34 UUD 1945 berbunyi: Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.9

9 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung:

(11)

Perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung, maksudnya kegiatannya langsung ditujukan kepada anak, yaitu dengan cara mendidik, membina, mendampingi anak dengan berbagai cara. Sedangkan, perlindungan anak secara tidak langsung, yaitu kegiatan tidak langsung ditujukan kepada anak, tetapi orang lain yang melakukan/terlibat dalam usaha perlindungan anak.10

Adopsi anak adalah salah satu upaya secara langsung dalam perlindungan hak-hak anak. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak mengatur masalah adopsi atau pengangkatan anak. Oleh karena itu, pengaturannya kemudian diatur pertama kali dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 yang merupakan bagian dari keseluruhan aturan dalam staatsblad tersebut dan khusus berlaku untuk masyarakat Tionghoa. Karena sebagian besar KUHPerdata tersebut berlaku bagi masyarakat Tionghoa.

Tetapi aturan tersebut hanya memperbolehkan pengangkatan anak bagi anak laki-laki. Kemudian hari, pengangkatan anak bagi anak perempuan diperbolehkan dengan keluarnya Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Nomor 907/1963/P tanggal 29 Mei 1963 juncto Nomor 588/1963/G tanggal 17 Oktober 1963. Selanjutnya, Pengadilan Negeri Bandung Nomor 32/1970 Comp. tanggal 26 Februari 1970 telah menetapkan untuk memperbolehkan orang tua angkat yang tidak menikah untuk mengangkat anak.11

Sekarang ini pengaturan mengenai pengangkatan anak diatur sebagian dalam beberapa peraturan, di antaranya:

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Dasar hukum ini digunakan, karena dalam undang-undang ini dari Pasal 1 sampai 16 menyebutkan hak-hak anak, tanggung jawab orang tua terhadap kesejahteraan anak dan usaha-usaha yang harus dilakukan untuk

10 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana

Anak Di Indonesia, Bandung: PT Refika Aditama, 2014, hlm. 45.

11 Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya

(12)

kesejahteraan anak. Hal-hal yang telah disebutkan tadi tidak hanya berlaku untuk anak kandung tapi juga berlaku bagi anak adopsi, karena baik anak kandung maupun anak adopsi harus mendapatkan hak dan perlakuan yang sama.

2. Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia

Dalam Pasal 2 ayat (1) menyebutkan “Anak Asing yang belum berumur 5 (lima) tahun yang diangkat oleh seorang warga negara Republik Indonesia, memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, apabila pengangkatan itu dinyatakan sah oleh Pengadilan Negeri dari tempat tinggal orang yang mengangkat anak tersebut”. Pasal ini hanya berlaku bagi anak asing yang diadopsi oleh warga negara Indonesia, karena hal ini akan berkaitan dengan kewarganegaraan anak adopsi tersebut.

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Dalam undang-undang ini benar-benar diatur bagaimana dalam mengusahakan perlindungan terhadap anak. Dalam undang-undang ini diatur tentang pengangkatan anak dari Pasal 39 sampai 41. Selain mengatur tentang pengangkatan anak, juga diatur tentang hak dan kewajiban anak dalam Pasal 4 sampai 19, baik anak kandung maupun anak adopsi yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Pasal 39 mengatur mengenai tujuan adopsi yaitu adopsi dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan menurut adat setempat dan peraturan perundang-undangan, menyatakan juga adopsi tidak memutuskan hubungan antara anak yang diadopsi dan orang tua kandungnya. Dalam proses adopsi agama calon orang tua adopsi dan calon anak adopsi harus sama, apabila asal usul orang tua kandung tidak diketahui, maka agama anak akan disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat. Adopsi yang dilakukan oleh warga negara asing

(13)

adalah merupakan upaya terakhir yang dapat dilakukan untuk anak yang bersangkutan. Pasal 40 mengatur bahwa “setiap orang tua adopsi wajib untuk memberitahukan asal usul orang tua kandung anak kepada anak yang bersangkutan, tetapi dalam pemberitahuannya dilihat dari situasi, kondisi dan kesiapan anak.” Sementara, Pasal 41 mengatur bahwa “pemerintah dan masyarakat ikut serta dalam bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan adopsi anak.“

4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial

Dasar hukum ini digunakan dalam adopsi anak dan pengangkatan anak, karena tujuan pengadopsian anak dan pengangkatan anak adalah agar kehidupan dan kesejahteraan anak dapat terpenuhi. Dalam undang-undang ini, Pasal 1 sampai dengan Pasal 12 dalam proses mensejahterakan anak terdapat campur tangan pemerintah, masyarakat dan yayasan atau organisasi sosial. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 yaitu “Setiap warganegara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial”. Ini berarti bahwa anak adopsi juga berhak untuk mendapatkan kesejahteraan dalam kehidupannya dan setiap orang dan negara wajib ikut serta dalam mewujudkan kesejahteraan tersebut.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak bagi Anak yang Mempunyai Masalah

Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur usaha-usaha untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anak-anak yang mempunyai masalah

dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Agar dapat

mensejahterakan anak-anak tersebut adopsi anak dapat menjadi salah satu solusi terbaik.

(14)

6. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak jo Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1989 tentang Pengangkatan Anak jo Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak.

Dalam Surat Edaran ini menyebutkan syarat-syarat pengangkatan anak, permohonan pengesahan pengangkatan anak, pemeriksaan di pengadilan dan lain-lain.

7. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan “Convention on the Right of the Child” (Konvensi tentang Hak-Hak Anak)

Dasar hukum ini digunakan, karena dalam konvensi tentang Hak-hak Anak disebutkan, anak berHak-hak mendapat perlindungan, kesempatan, dan fasilitas untuk berkembang secara sehat dan wajar, mendapat jaminan sosial, mendapatkan pendidikan dan perawatan dan lain-lain. Untuk mewujudkan hal-hal tersebut adopsi adalah salah satu cara yang sesuai.

8. Keputusan Menteri Sosial Nomor 40/HUK/KEP/IX/1980 tentang Organisasi Sosial

Dasar hukum ini mengatur tentang organisasi-organisasi sosial, termasuk yayasan sosial yang bertugas dalam menangani adopsi anak.

9. Keputusan Menteri Sosial Nomor 58/HUK/1985 tentang TIM Pertimbangan Perijinan Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing Inter Country Adoption.

(15)

Keputusan Menteri Sosial ini mengatur tentang perizinan pengangkatan anak atau adopsi akan yang dilakukan antar WNI dan WNA.12

Meskipun belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur tentang pengangkatan anak, karena lembaga pengangkatan anak telah menjadi bagian dari kultur masyarakat dan telah menjadi kebutuhan masyarakat, maka praktik pengangkatan anak secara adat telah ditertibkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang tersebar di beberapa peraturan dan Surat Edaran Mahkamah Agung.

Di samping itu, meskipun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengangkatan anak belum mencukupi, telah ada garis asas hukum bahwa “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya” bahkan Pasal 22 AB (Algemene Bepalingen van wetgeving vor Indonesia) secara tegas menentukan bahwa hakim yang menolak suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili.13

B. Kedudukan Anak Angkat Menurut Hukum Positif Di Indonesia. Adopsi atau pengangkatan anak dikuatkan berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri. Adopsi mempunyai akibat hukum yang luas, antara lain menyangkut perwalian dan pewarisan. Sejak putusan ditetapkan pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali bagi anak angkat, dan sejak saat itu, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih kepada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan yang beragama Islam, bila dia akan

12 Novi Kartiningrum, 2008, “Implementasi Pelaksanaan Adopsi Anak Dalam Rangka

Perlindungan Anak (Studi di Semarang dan Surakarta)”,

< http://eprints.undip.ac.id/18419/1/NOVI_KARTININGRUM.pdf> [diakses 19/11/2017]

(16)

menikah, maka yang menjadi wali nikah hanyalah orang tua kandung atau saudara sedarah.

1. Menurut Hukum Perdata Barat (BW)

Dalam Staatsblad 1917 Nomor 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan anak yang dilahirkan anak perkawinan orang tua angkat. Akibatnya adalah dengan pengangkatan tersebut, si anak terputus hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, Oleh karena itu, secara otomatis, hak dan kewajiban seorang anak angkat sama dengan anak kandung harus merawat dan menghormati orang tua, layaknya orang tua kandung, dan anak angkat berhak mendapatkan hak yang sama dengan anak kandung orang tua angkat.14

Pengangkatan anak yang sah oleh hukum ialah dengan memenuhi prosedur menurut peraturan perundang-undangan. Pengangkatan anak yang dilakukan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Diantaranya ada beberapa kategori orang tua angkat yaitu suami dan istri Warga Negara Indonesia dan suami Warga Negara Indonesia dan istri Warga Negara Asing. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 6/83 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan pemohon pengesahan atau pengangkatan kepada Pengadilan Negeri ditempat anak yang akan diangkat itu berada.15

14 Muderis Zaini, Op.Cit., hlm. 36.

15 Sri Praptianingsih dan Ahmad Fahim Kurniawan, “Pengangkatan Anak Berdasarkan

Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia”

<http://digilib.unmuhjember.ac.id/files/disk1/23/umj-1x-sripraptia-1116-1-4.sri_pr-h.pdf> [diakses 19/11/2017]

(17)

2. Menurut Hukum Adat

Pada masyarakat matrilineal (yang mengikuti garis ibu), seperti Minangkabau yang masyarakatnya mayoritas beragama Islam, kedudukan anak angkat tidak memutuskan hubungan darah dengan orang tua biologisnya, serta anak angkat tidak menjadi pewaris dari orang tua angkatnya demikian juga orang tua angkatnya tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya.

Sedangkan dalam masyarakat yang sistem kekeluargaannya Patrilineal, seperti di Bali, memutuskan pertalian keluarga antara yang di angkat dengan orang tua kandungnya sendiri. Anak angkat itu masuk dalam kehidupan atau rumah tangga orang tua yang mengangkatnya, kedudukannya sebagai anak kandungnya sendiri dengan fungsi untuk meneruskan keturunan orang tua angkatnya, bukan mewaris harta peninggalan orang tua angkatnya, dan pengangkatan anak dilakukan dengan upacara "pemerasan" (pemutusan) dengan orang tua kandungnya dan ia sepenuhnya menjadi anak dari orang tua yang mengangkatnya.

Pada masyarakat yang sistem kekeluargaannya Parental, seperti di Jawa, Madura atau daerah lainnya, kedudukan anak angkat itu tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak yang di angkat dengan orang tua kandungnya sendiri. Anak angkat itu masuk dalam kehidupan atau rumah tangga atau somah orang tua yang mengambil anak sebagai anggota rumah tangga, akan tetapi sama sekali tidak berkedudukan sebagai anak kandung dengan fungsi untuk meneruskan keturunan dari bapak angkatnya, dan dalam hal ini dikatakan ia berkewajiban lain dengan anak kandung.16 Pengadilan

Negeri Indramayu dan Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung pernah memutuskan, bahwa: “Anak Angkat berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya, yang bukan barang asal atau barang warisan”. (PN

(18)

Indramayu tanggal 8 September 1969, No. 24/1969/Perdt., PT Bandung tanggal 18 Mei 1970, Nomor 511/1969/Perd).17

3. Menurut Hukum Islam

Secara yuridis Islam, mengangkat anak dihukumkan boleh (mubah) namun dengan syarat yang ketat seperti tidak boleh menyamakan kedudukan hukumnya dengan anak kandung (nasabiyah). Hal ini berkaitan dengan tragedi pada masa Nabi SAW, ketika Nabi SAW mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi anaknya. Sehingga pada waktu itu orang-orang sering memanggil Zaid bin Haritsah menjadi Zaid bin Muhammad. Sementara di masyarakat Arab sendiri pengangkatan anak dianggap sebagai suatu hal yang biasa, misalnya ketika Abu Huzaifah mengangkat Salim bin ‘Atabah menjadi anak. Salim pun dipanggil dengan panggilan Salim bin Huzaifah. Keadaan ini berakibat turunnya Surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5 yang merupakan suatu bentuk teguran dari Allah SWT.

Pengertian anak angkat juga terdapat di dalam Pasal 171 huruf h Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orangtua asal kepada orangtua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. Di dalam pasal tersebut jelas terlihat bahwa pengangkatan anak menurut KHI mengatur hanya sebatas beralihnya tanggung jawab dari orangtua asal kepada orangtua angkatnya dalam hal pemeliharaan untuk kehidupan sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya tanpa menjadikan anak tersebut sebagai anak kandung dari orangtua angkatnya.18

17 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Bandung: PT Refika Aditama, 2014, hlm.

63.

18 Ghina Kartika Ardiyati, “Tinjauan Yuridis Pengangkatan Anak Terhadap Bagian Waris

Anak Angkat Menurut Ketentuan Hukum Positif Indonesia”, Artikel Ilmiah Hasil Penelitian

Mahasiswa 2014,

<http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/59171/Ghina%20Kartika.pdf?sequence= 1> [diakses 19/11/2017]

(19)

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pengangkatan Anak atau Adopsi merupakan salah satu upaya langsung dalam melindungi hak-hak anak. Pengaturan pengangkatan anak pertama kali dimulai dengan diberlakukannya Staatsblad 1917 Nomor 129 oleh Pemerintah Hindia Belanda yang pada saat itu masih berlaku khusus untuk golongan masyarakat keturunan Tionghoa. Seiring berjalan waktu, kebutuhan masyarakat tentang pengangkatan anak makin bertambah sehingga muncullah beberapa peraturan-peraturan baru mengenai pengangkatan anak, salah satunya dalam Pasal 39-41 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

2. Kedudukan anak angkat berdasarkan hukum adat mempunyai status hukum yang berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain tergantung pada sistem kekerabatan yang dianut. Sedangkan, dalam hukum islam kedudukan angkat angkat tidak boleh disamakan kedudukan hukumnya dengan anak kandung (nasabiyah), berdasarkan KHI pengangkatan anak hanya sebatas beralihnya tanggung jawab dari orangtua asal kepada orangtua angkatnya.

B. Rekomendasi

Mengingat saat ini masih banyaknya anak-anak yang membutuhkan perlindungan akan hak-haknya, adopsi atau pengangkatan anak memang menjadi salah satu solusi terbaik dalam menjawab pertanyaan akan bagaimana cara mensejahterakan anak-anak Indonesia yang belum terpenuhi hak-haknya tersebut sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam beberapa peraturan yang telah ada, ketentuan-ketentuan terkait pengangkatan anak hanya sebatas beberapa pasal.

(20)

Karenanya, tetap diperlukan Undang-Undang khusus yang mengatur mengenai Pengangkatan Anak untuk menjadi pedoman bagi hakim dalam menangani perkara permohonan pengangkatan anak yang diajukan oleh masyarakat.

(21)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku

Dellyana, Shanty. Wanita Dan Anak Di Mata Hukum. Yogyakarta: Liberty. 2004.

Gultom, Maidin. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem

Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Bandung: PT Refika

Aditama. 2014.

Hartono, Sunaryati. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Bandung: Alumni. 1991.

Kamil, Ahmad dan M. Fauzan. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2008.

Krisnawati, Emeliana Krisnawati. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Bandung: CV. Utomo. 2005.

Latif, Abdul dan Hasbi Ali. Politik Hukum. Buku I. Jakarta: Sinar Grafika. 2011.

Prinst, Darwan. Hukum Anak Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 1997.

Saraswati, Rika. Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2009.

Suparman, Eman. Hukum Waris Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama. 2014.

Syaukani, Imam dan A. Ahsin Thohari. Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta: Rajawali Press. 2013.

Waluyadi. Hukum Perlindungan Anak. Bandung: CV. Mandar Maju. 2009. Zaini, Muderis. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta:

Sinar Grafika. 1999.

B. Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Keempat.

(22)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

C. Sumber Lain

Novi Kartiningrum, 2008, Implementasi Pelaksanaan Adopsi Anak Dalam Rangka Perlindungan Anak (Studi di Semarang dan Surakarta),

diakses dari

http://eprints.undip.ac.id/18419/1/NOVI_KARTININGRUM.pdf, pada tanggal 19 November 2017.

Sri Praptianingsih dan Ahmad Fahim Kurniawan, Pengangkatan Anak Berdasarkan Hukum Adat Dan Hukum Positif Di Indonesia diakses dari http://digilib.unmuhjember.ac.id/files/disk1/23/umj-1x-sripraptia-1116-1-4.sri_pr-h.pdf pada tanggal 19 November 2017.

Ghina Kartika Ardiyati, Tinjauan Yuridis Pengangkatan Anak Terhadap Bagian Waris Anak Angkat Menurut Ketentuan Hukum Positif Indonesia, Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2014, diakses dari

http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/59171/Ghina %20Kartika.pdf?sequence=1 pada tanggal 19 November 2017.

Referensi

Dokumen terkait

Dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara subtipe imunohistokimia dengan usia pada pasien kanker payudara di RSUP Sanglah Kota Denpasar.. Kata kunci:

Untuk memilih jenis polimer terbaik sebagai material penyangga katalis, dilakukan pengujian pelapisan partikel TiO 2 pada tiga jenis polimer berbentuk bulir, yaitu

sangat terasa pada pengaplikasian dari eksterior bangunan ini, , seperti pintu masuk yang warna yang klasik seperti cokelat l yang digunakan untuk dinding juga Penempatan

Hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Dewi dan Purwanti, 2014, yang menyatakan bahwa mengumbar keburukan orang lain di media sosial dan media internet

lila teu maké basa Sunda. Éta hal ngabalukarkeun ayana campur kode dina acara “Milang Béntang”. Peristiwa campur kode lumangsung nalika panyatur maké kecap atawa frasa campuran

Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : (1) menganalisis kesesuaian rancangan sistem remunerasi di tiga PTNbh dengan tahapan dan prinsip

Dalam kesempatan ini secara khusus kami sampaikan terima kasih kepada : • Bupati Banyumas • Wakil Bupati Banyumas • Dinas/Instansi yang terkait • Para Camat di wilayah

tidak dapat memberikan, dan kalau ditunggu untuk waktu yang cukup lama para pesiarah dan masyarakat di tempat itu tidak juga menyadari bahwa permohonan-permohonan seperti itu