• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA ASMA BRONKIAL DENGAN REFLUKS GASTROESOFAGEAL DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA ASMA BRONKIAL DENGAN REFLUKS GASTROESOFAGEAL DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

HUBUNGAN ANTARA ASMA BRONKIAL DENGAN REFLUKS

GASTROESOFAGEAL DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar SarjanaKedokteran

JUNITA I.M. SIREGAR

G0006100

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Surakarta 2010

(2)

commit to user

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, Juli 2010

Junita I.M. Siregar NIM. G0006100

(3)

commit to user

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul : Hubungan antara Asma Bronkial dengan Refluks Gastroesofageal di RSUD dr. Moewardi Surakarta

Junita I.M. Siregar, NIM/Semester : G.0006100/VIII, Tahun: 2010 Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Pada Hari Selasa, Tanggal 01 Juni Tahun 2010

Pembimbing Utama

Nama : Dr. Eddy Surjanto, dr., Sp.P(K)

NIP : 1950110419751110 .………

Pembimbing Pendamping

Nama : Veronika Ika Budiastuti, dr., M.Pd

NIP : 197303122002122001 ..………... Penguji Utama Nama : Reviono, dr., Sp.P NIP : 196510302003121001 ..……… Anggota Penguji

Nama : Dian Ariningrum, dr., M.Kes., Sp.PK

NIP : 197107202006042001 ..………

Surakarta,

Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS

Sri Wahjono, dr., M.Kes., DAFK Prof. Dr. A.A. Subijanto, dr., M.S NIP. 194508241973101001 NIP. 194811071973101003

(4)

commit to user

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karuniaNya sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Hubungan antara Asma Bronkial dengan Refluks Gastroesofageal di RSUD Dr. Moewardi Surakarta”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar kesarjanaan dalam bidang kedokteran di Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Penelitian dan penulisan skripsi ini dapat terwujud dengan baik atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis secara pribadi mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, yaitu:

1. Prof. Dr. AA. Subiyanto, dr., MS. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Sri Wahjono, dr., M.Kes selaku Ketua Tim Skripsi.

3. Dr. Eddy Surjanto, dr., SpP(K) selaku Pembimbing Utama atas segala bimbingan yang sangat berharga yang telah diberikan selama penulisan skripsi.

4. Veronika Ika Budiastuti, dr., MPd selaku Pembimbing Pendamping atas segala bimbingan yang sangat berharga yang telah diberikan selama penulisan skripsi.

5. Reviono, dr., SpP selaku Penguji Utama yang telah berkenan menguji dan memberikan masukan-masukan yang sangat berharga dalam penulisan skripsi.

6. Dian Ariningrum, dr., M.Kes., SpPK selaku Anggota Penguji selaku yang telah berkenan menguji dan memberikan masukan-masukan yang sangat berharga dalam penulisan skripsi.

7. Segenap staf Poliklinik Penyakit Paru RSUD DR. Moewardi atas bantuan selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.

8. Bapak, Mama, Abang, Kakak yang selalu setia mendoakan, memberi banyak perhatian, dukungan materi, dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. Teman-teman CYTO FK UNS, dan angkatan 2006 , terima kasih atas doa, dukungan, dan bantuannya selama ini.

Surakarta, Juli 2010 Junita I.M. Siregar

(5)

commit to user

ABSTRAK

Junita I.M. Siregar, G0006100, 2010. Hubungan antara Asma Bronkial dengan

Refluks Gastroesofageal di RSUD Dr. Muwardi Surakarta. Fakultas

Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Tujuan Penelitian: Beberapa studi kasus mengenai pasien dengan gejala kronik

gangguan saluran napas atas menjelaskan adanya hubungan yang potensial antara saluran napas atas dan GERD (Gastroesofageal Reflux Disease. GERD cenderung meningkatkan risiko serangan asma bronkial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asma bronkial dengan refluks gastroesofageal di RSUD Dr. Muwardi Surakarta.

Metode Penelitian: Penelitian ini termasuk jenis penelitian observasional analitik

dengan pendekatan cross sectional. Subjek yang digunakan berjumlah 36 subjek (18 subjek kasus dan 18 subjek kontrol). Penelitian dilakukan di poliklinik Bagian Paru RSUD Dr. Muwardi Surakarta pada 03 November 2009 sampai 11 Februari 2010. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Analisis data yang digunakan adalah uji statistik chi square untuk mengetahui uji proporsi pada dua variabel penelitian, kemudian untuk menguji hubungan antara 2 variabel digunakan uji korelasi Phi. Rasio prevalens digunakan untuk menilai estimasi risiko relatif yaitu perbandingan antara jumlah subyek dengan penyakit (lama dan baru) pada satu saat dengan seluruh subyek yang ada.

Hasil Penelitian: Hasil uji chi square menunjukkan signifikansi sebesar 0,015

sehingga ada hubungan antara asma bronkial dengan refluks gastroesofageal di RSUD Dr. Muwardi Surakarta. Hasil perhitungan ratio prevalens adalah 2.21.

Simpulan Penelitian: Ada hubungan antara refluks gastroesofageal dengan asma

bronkial di RSUD Dr. Muwardi Surakarta ( p = 0,015). Angka kejadian GERD lebih besar pada kelompok kasus (asma bronkial) dibandingkan dengan kelompok kontrol .

(6)

commit to user

DAFTAR ISI

halaman PRAKATA ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL dan GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN ... BAB I PENDAHULUAN ... A. Latar Belakang Masalah ... B. Rumusan Masalah ... C. Tujuan Penelitian ... D. Manfaat Penelitian ... BAB II LANDASAN TEORI ... A. Tinjauan Pustaka ... 1. Asma Bronkial... 2. Refluks Gastroesofageal ... 3. Refluks Gastroesofageal pada Asma Bronkial... B. Kerangka Pemikiran ... C. Hipotesis ... BAB III METODE PENELITIAN ... A. Jenis Penelitian ... B. Lokasi Penelitian ... C. Subjek Penelitian... v vi viii ix 1 1 3 3 3 5 5 5 11 16 18 19 20 20 20 20

(7)

commit to user

D. Teknik Pengambilan Sampel... E. Instrumentasi Penelitian... F. Rancangan Penelitian ... G. Identifikasi Variabel Penelitian ... H. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... I. Cara Kerja Penelitian ... J. Teknik Analisis Data ... BAB IV HASIL PENELITIAN ... BAB V PEMBAHASAN ... BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ...

A. Simpulan ... B. Saran ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN 22 22 30 23 23 24 29 30 34 37 37 37 38

(8)

commit to user

DAFTAR TABEL dan GAMBAR

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Sampel Penderita Asma Bronkial Menurut

Jenis Kelamin...

Tabel 2.Distribusi Frekuensi Sampel Penderita Asma Bronkial Menurut

Umur...

Tabel 3.Distribusi Frekuensi Refluks Gastroesofageal pada Kelompok Asma

Bronkial dan Kelompok Kontrol...

Tabel 4.Hasil Analisis Data Hubungan Asma Bronkial dan Refluks

Gastroesofageal...

Gambar 1. Frekuensi GERD dan tidak GERD pada Kelompok Asma

(9)

commit to user

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Penjelasan

Lampiran 2. Surat Persetujuan (Informed Consent) Lampiran 3. Kuesioner Penelitian

Lampiran 4. Distribusi Subjek Kasus (Asma Bronkial)

Lampiran 5. Distribusi Subjek Kontrol (tidak Asma Bronkial) Lampiran 6. Hasil Uji Statistik Mann Whitney

Lampiran 7. Hasil Uji Statistik Chi Square dan Korelasi Phi Lampiran 8. Penghitungan Nilai Ratio Prevalens

Lampiran 9. Surat Ijin Penelitian di RSUD dr. Moewardi Surakarta Lampiran 10. Surat Pengantar Penelitian di RSUD dr. Moewardi Surakarta Lampiran 11. Surat Ethical Clearance

(10)

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Asma merupakan gangguan inflamasi kronik yang berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas , dan batuk terutama pada malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan luas inflamasi, menyebabkan obstruksi saluran napas yang bervariasi derajatnya dan bersifat reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan ( Mariono, 1999; Bosquet et al , 2000 ).

Asma dapat timbul pada berbagai usia,dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Dari hasil penelitian prevalensi asma di Indonesia masih tergolong rendah, namun terlihat kecenderungan peningkatan jumlah penderita penyakit ini. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan bahwa asma menduduki urutan ke-5 pola kesakitan dan urutan ke-10 penyebab kematian sedangkan hasil SKRT tahun 1992 menunjukkan asma sebagai urutan ke-7 penyebab kematian. Referensi lain yang juga dapat digunakan untuk memperlihatkan kecenderungan peningkatan prevalensi penyakit ini adalah penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy

in Children) tahun 1995 menunjukkan, prevalensi asma masih 2,1%, yang

(11)

commit to user

Refluks gastroesofageal didefinisikan sebagai gejala atau kerusakan mukosa esofagus akibat masuknya isi lambung ke dalam esofagus (Caestecker , 2001). Gejala yang timbul adalah akibat keterlibatan esofagus, faring, laring, dan saluran napas. Reflus gastroesofageal terjadi akibat hilang atau sangat rendahnya perbedaan tekanan antara LES ( Lower Esophageal Sphincter) dan laring, hal ini dapat disebabkan oleh menurunnya kekuatan otot LES yang kadang-kadang tidak diketahui sebabnya (Mahdi, 2008).

Refluks gastroesofageal merupakan kondisi umum yang ada pada sekitar 20-25% populasi dewasa (Stein, 2001). Prevalensi refluks gastroesofageal dan komplikasinya di Asia termasuk rendah dibandingkan dengan negara-negara Barat. Prevalensi di negara-negara Barat berkisar 10-20 persen, sedangkan di Asia 3-5 persen, dengan pengecualian di Jepang 13-15 persen dan Taiwan 15 persen. Syafruddin (1998) menyebutkan bahwa belum ada data epidemiologi mengenai refluks gastroesofageal di Indonesia.

Hubungan antara penyakit asma dan refluks gastroesofageal telah sering didiskusikan , meskipun sampai sekarang belum ada konsep seragam yang dapat menjelaskan tentang prevalensi tinggi refluks gastroesofageal pada penderita asma (Field, 2002). Beberapa studi kasus mengenai pasien dengan gejala kronik gangguan saluran napas atas (Theodoropoulus et al, 2001) menjelaskan adanya hubungan yang potensial antara saluran napas atas dan GERD (Gastroesofageal Reflux Disease). Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis ingin meneliti hubungan antara asma bronkial dan refluks gastroesofageal di RSUD Dr. Moewardi.

(12)

commit to user

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat dirumuskan sebagai berikut.

Adakah hubungan antara asma bronkial dengan refluks gastroesofageal di RSUD Dr.Moewardi Surakarta?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara asma bronkial dengan refluks gastroesofageal di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi peneliti dan klinisi tentang hubungan antara asma bronkial dan refluks gastroesofageal.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hubungan antara asma bronkial dengan refluks gastroesofageal sehingga

(13)

commit to user

dapat dilakukan pendekatan klinis mengenai terapi asma yang lebih komprehensif.

(14)

commit to user BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Asma a. Definisi

Definisi asma yang umum digunakan saat ini adalah definisi menurut National Heart, Lung, and Blood Institute sebagai berikut: asma adalah suatu inflamasi kronik saluran napas di mana terdapat berbagai sel inflamasi yang memegang peranan, terutama sel mast, eosinofil dan limfosit T. Pada individu yang peka inflamasi ini menyebabkan episode berulang berupa mengi, sesak napas, rasa berat di dada serta batuk terutama malam hari atau dini hari. Gejala ini umumnya berhubungan dengan pengurangan arus udara yang luas tetapi bervariasi yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga meningkatkan kepekaan saluran napas terhadap berbagai rangsangan (Boushey, 2000; Surjanto, 2001).

b. Patogenesis

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Di mana proses inflamasi ini melibatkan berbagai sel inflamasi yaitu sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, dan sel epitel (PDPI, 2004). Adanya inflamasi saluran napas telah dibuktikan melalui beberapa penelitian seperti hipereaktivitas bronkus, kurasan bronkoalveolar, biopsi bronkus,

(15)

commit to user

induksi sputum serta otopsi pasien yang meninggal pada saat serangan (Surjanto, 2005).

Sel-sel inflamasi yang teraktivasi melepas beberapa mediator sitokin, molekul adhesi, kemokin, dan berinteraksi antara yang satu dengan yang lain. Eosinofil sendiri terlibat dengan melepas granul-granul yang toksik. Hal tersebut menimbulkan reaksi yang sangat kompleks dengan gejala-gejala klinis seperti bronkokonstriksi, produksi mukus yang berlebihan, alergi, dan hiperaktivitas bronkus (Baratawidjaja, 2003)

Selain perubahan akut, juga didapatkan perubahan yang bersifat kronik yaitu hipertrofi otot polos, pembentukan pembuluh darah baru, peningkatan sel-sel goblet epitelial, fibrosis subepitelial, dan penebalan membran basalis, yang dikenal dengan airway remodelling (Muro, 2000; Boushey, 2000). Airway remodeling merupakan suatu reaksi tubuh yang berusaha memperbaiki jaringan tubuh yang rusak akibat dari inflamasi yang berjalan terus-menerus (Baratawidjaja, 2003). Adapun konsekuensi dari proses ini menyebabkan peningkatan gejala dan tanda asma seperti hipereaktivitas jalan napas, masalah distensibilitas atau regangan jalan napas, hingga obstruksi jalan napas (PDPI, 2004).

Obstruksi aliran udara merupakan tanda klinik yang khas dari asma (Rees, 2005) yaitu pada bagian proksimal dari bronkus kecil pada saat ekspirasi. Empat faktor utama yang berperan dalam proses terjadinya obstruksi aliran udara pada bronkus:

(16)

commit to user

1) kontraksi otot polos bronkus yang merupakan respon terhadap alergen spesifik

2) hipertrofi (edema) selaput lendir yang disebabkan karena bertambahnya permeabilitas pembuluh darah

3) hipersekresi kelenjar mukus dan sel goblet dengan penyumbatan bronkus oleh lendir yang kental

4) airway remodeling

c. Faktor Resiko

Perkembangan resiko terjadinya asma adalah interaksi antara faktor pejamu (host factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik antara lain genetik asma, atopi, hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin, dan ras.

Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala menetap Faktor lingkungan tersebut antara lain rokok, polusi udara, exercise, substansi mikro, dan alergen (PDPI, 2004).

(17)

commit to user

Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada, dan variabilitas yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru (PDPI, 2004).

Indikator yang digunakan dalam menegakkan diagnosis asma (Surjanto, 2001) adalah sebagai berikut:

1) mengi (wheezing). 2) riwayat satu atau lebih :

a) batuk, yang memburuk terutama pada malam hari b) mengi berulang

c) sesak napas berulang d) merasa berat di dada

3) penyempitan saluran napas yang reversibel dan variasi diurnal. Variasi diurnal diukur dengan peak flow meter. Arus Puncak Ekspirasi (APE) yang diukur pagi hari (sebelum inhalasi Agonis Beta-2) dan malam hari (setelah inhalasi Beta Agonis-2) menunjukkan perbedaan 20 % atau lebih.

4) gejala timbul atau memburuk pada berbagai faktor pencetus.

5) gejala terjadi atau memburuk pada malam hari yang menyebabkan penderita bangun.

Pemeriksaan penunjang yang paling penting pada asma ialah uji faal paru. Pengukuran faal paru dapat menilai adanya dan beratnya

(18)

commit to user

obstruksi jalan napas, membantu diagnosis, memantau perjalanan penyakit, dan menilai hasil terapi (Mariono, 1999).

e. Derajat Berat

Klasifikasi asma yang sekarang digunakan ialah berdasarkan pada derajat beratnya penyakit dan bertujuan untuk memberikan penatalaksanaan yang tepat dan adekuat. Berat penyakit ditentukan oleh gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, dan uji faal paru (Aditama, 2004). Klasifikasi derajat berat asma terbaru yang diadaptasi dari Global Initiative of Asthma (GINA, 2006) adalah :

1) Intermiten

Gejala < 1 kali seminggu, tanpa gejala di luar serangan, serangan singkat, gejala malam ≤ 2 kali sebulan.

2) Persisten ringan

Gejala > 1 kali seminggu tetapi < 1 kali perhari, serangan dapat mengganggu aktivitas tidur, gejala malam > 2 kali sebulan.

3) Persisten sedang

Gejala setiap hari, serangan mengganggu aktivitas dan tidur, gejala malam > 1 kali seminggu.

4) Persisten berat

Gejala terus-menerus, sering kambuh, aktivitas fisik terbatas, gejala malam sering.

(19)

commit to user

Asma pada kebanyakan penderita dapat dikontrol secara efektif meskipun tidak dapat disembuhkan. Penatalaksanaan yang paling efektif adalah mencegah atau mengurangi inflamasi kronik dan menghilangkan faktor penyebab. Faktor utama yang berperan dalam kesakitan dan kematian pada asma adalah tidak terdiagnosanya penyakit ini dan pengobatan yang tidak cukup (Yunus, 1999).

f. Penatalaksanaan

Asma tidak dapat disembuhkan, namun dapat dikontrol dengan pemberian obat-obat yang benar (Baratawidjaja, 2003). Obat-obat yang dapat mngontrol asma antara lain: inhalasi kortikosteroid, kortikosteroid sistemik, sodium kromolin, sodium medokromil, dan teofilin.

International Consensus Report on Diagnosis and Management of Asthma merekomendasikan enam cara untuk mengoptimalkan

penatalaksanaan asma, yang saling terkait satu sama lain, yaitu:

1) penyuluhan kepada pasien dan keluarganya untuk membina kerjasama dan penatalaksanaan

2) penilaian dan pemantauan beratnya asma berdasarkan gejala dan pemeriksaan fungsi paru

3) mencegah atau mengendalikan faktor pencetus 4) merencanakan pengobatan jangka panjang

5) menetapkan rencana individu dalam mengatasi eksaserbasi 6) menyelenggarakan pemantauan secara berkala

(20)

commit to user

2. Refluks Gastroesofageal a. Patogenesis

Refluks gastroesofageal pada dasarnya dapat terjadi karena ketidakseimbangan faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Adapun yang termasuk faktor defensif adalah pemisah antirefluks dan ketahanan epitelial esofagus (Makmun, 2006).

Martini dan Yunus (1997) menyebutkan bahwa dalam keadaan normal, pemisah antirefluks terdiri dari lower esophageal sphincter (LES) dan konfigurasi anatomi gastroesophageal junction. Hegar dan Firmansyah (1999) menyebutkan faktor barier antirefluks yang terpenting adalah LES.

Terdapat dua kondisi yang harus ada untuk suatu episode refluks yaitu isi lambung siap untuk proses refluks dan mekanisme antirefluks pada LES mengalami gangguan. Refluks terjadi jika tekanan LES menghilang atau rendah (≤ 3 mmHg), hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan tekanan dalam lambung atau penurunan sementara tonus sfingter. Penurunan tonus sfingter dapat disebabkan oleh kelemahan otot atau gangguan relaksasi sfingter yang difasilitasi oleh saraf. Penyebab sekunder kelemahan LES antara lain kehamilan, merokok, obat relaksan otot kecil seperti β-adrenegik, aminofilin, nitrat, kalsium antagonis, dan kerusakan sfingter oleh operasi (Goyal, 1994).

(21)

commit to user

b. Manifestasi Klinis

Gejala klinik refluks gastroesofageal yang khas adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia, mual atau regurgitasi, dan rasa pahit di lidah (Makmun, 2006).

Manifestasi klinis ekstraesofagus lain yang dapat ditemukan (Caestecker, 2001) yaitu : 1) batuk kronik 2) bronkokonstriksi 3) disfonia 4) sakit tenggorokan 5) suara parau 6) laringitis

7) nyeri dada non-kardiak.

Refluks gastroesofageal juga dapat terjadi pada saat tidur dengan manifestasi berupa timbulnya batuk pada malam hari, rasa tercekik, dan mengi pada saat bangun tidur (Simpson, 1995; Gislason et al, 2002).

c. Diagnosis

Diagnosis refluks gastroesofageal ditentukan dari gejala dan tanda klinis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Gejala dan tanda klinis khas seperti adalah rasa panas di dada, regurgitasi, disfagia,

(22)

commit to user

serta juga dapat dijumpai gejala ektraesofagus yang lain (Caestecker, 2001). Pemeriksaan fisik tidak banyak membantu karena tidak didapatkan tanda yang spesifik (Stein, 2001).

Beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adanya GERD (Makmun, 2006):

1) Endoskopi saluran cerna bagian atas

Pemeriksaan saluran cerna endoskopi bagian atas menilai perubahan makroskopik dari mukosa esophagus dengan ditemukan

mucosal break di esophagus (esofagitis refluks). Klasifikasi kelainan

esofagitis pada pemeriksaan endoskopi dari pasien GERD berdasarkan klasifikasi Los Angeles (dalam tabel)

(23)

commit to user

Derajat Kerusakan

Gambaran Endoskopi

A Erosi kecil-kecil pada mukosa esofagus dengan diameter < 5 mm B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm

tanpa saling berhubungan

C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/ mengelilingi seluruh lumen

D Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial (mengelilingi seluruh lumen esofagus)

2) Esofagografi dengan barium 3) Pemantauan pH 24 jam

Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esofagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal esophagus. pH di bawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggao diagnostik yntuk refluks gastroesofageal.

4) Tes Bernstein

Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari 1 jam. Tes ini bersifat pelengkap tehadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas.

(24)

commit to user 5) Manometri esofagus

6) Sintigrafi esofagus

7) Tes Penghambat Pompa Proton

d. Penatalaksanaan

1) Target penatalaksanaan GERD adalah (Mahdi, 2008) : a) menyembuhkan lesi esofagus

b) menghilangkan gejala/keluhan c) mencegah kekambuhan

d) memperbaiki kualitas hidup e) mencegah timbulnya komplikasi

2) Beberapa langkah penatalaksanaan refluks gastroesofageal adalah terdiri dari ( Martini dan Yunus, 1997):

a) Terapi konservatif

(1) meninggikan kepala 15 cm pada waktu tidur (2) tidak makan 3 sampai 4 jam sebelum tidur

(3) hindari makanan yang memperburuk gejala refluks seperti kopi, coklat, bawang, minuman berkarbonat, alcohol dan produk tinggi lemak.

(4) berhenti merokok

(5) mengurangi obat-obatan yang mempengaruhi lambung (6) menggunakan antasida sesudah makan dan sebelum tidur b) Terapi medikamentosa

(25)

commit to user

Obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa GERD adalah:

(1) Antasid

(2) Antagonis reseptor H2 (3) Sukralfat

(4) Penghambat Pompa Proton c) Terapi bedah

Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika terapi medikamentosa gagal, atau pada pasien GERD dengan striktur berulang. Umumnya pembedahan yang dilakukan adalah fundoplikasi.

3. Refluks Gastroesofageal pada Asma Bronkial

Penelitian-penelitian mengenai kecenderungan terjadinya kejadian refluks gastroesofageal pada pasien asma telah banyak dilakukan, tetapi konsep kausal yang benar dan seragam antar peneliti masih belum jelas. Pada penderita asma, refluks gastroesofageal dapat menyebabkan terjadinya proses bronkokonstriksi. Mekanisme patofisiologi terjadinya bronkokonstriksi adalah reflek vagal, peningkatan reaktivitas bronkus, dan mikroaspirasi.

Reflek vagal dapat terjadi karena esofagus, bronchial tree, dan lambung berasal dari segmen embrionik yang sama dan dipersarafi oleh nervus vagus. Sehingga adanya zat asam di esofagus dapat menstimulasi reseptor esofageal dan menginisiasi terjadinya reflek

(26)

commit to user

vagal. Akibat infusi asam tersebut ditemukan adanya penurunan pada aliran udara yang diukur dengan volume udara ekspirasi paksa pada detik pertama (VEP1) dan penurunan saturasi oksigen (Isaac, 2009). Mekanisme kedua yaitu peningkatan reaktivitas saluran napas, Wu (2000) menyimpulkan bahwa penderita asma yang diinduksi oleh stimulasi Hcl pada esofagus menunjukkan peningkatan reaktivitas saluran napas.

Pada mikroaspirasi, isi lambung refluks ke proksimal esofagus, hipofaring, laring dan trakea menyebabkan respon pada saluran napas. Mekanisme ini dikenal sebagai teori refluks. Adanya refluks asam esofagus menyebabkan penurunan peak expiratory volume

rate (PEVR) sebesar 8L/menit dan pada kondisi asma berat (Isaac, 2009)

ditemukan 37 episode refluks esofagus dalam 5 menit yang dinilai dengan pengukuran pH esofagus.

(27)

commit to user B. Kerangka Pemikiran Keterangan : : menyebabkan C. Hipotesis Asidifikasi esofagus proksimal

Mekanisme refleks vagal Asidifikasi esofagus

distal

Mikroaspirasi Bronkokonstriksi

Asma bronkial

(28)

commit to user

Berdasarkan dari tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran di atas,

dapat dirumuskan hipotesis pada penelitian ini sebagai berikut: ada hubungan yang antara asma bronkial dengan refluks gastroesofageal.

(29)

commit to user

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan pendekatan

cross sectional.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di poliklinik bagian penyakit paru RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan November 2009-Februari 2010.

C. Subjek Penelitian

1. Subjek kasus

Subjek kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien yang terdiagnosis asma oleh dokter Spesialis Paru di poliklinik bagian penyakit paru RSUD Dr.Moewardi bulan November 2009-Februari 2010 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan dalam penelitian ini.

Kriteria inklusi

a. pasien asma dewasa usia 18-60 tahun Kriteria eksklusi

a. menderita penyakit paru lain b. memiliki kebiasaan merokok c. menderita penyakit jantung d. sedang hamil

(30)

commit to user e. menderita stenosis laring

f. tidak bersedia terlibat dalam penelitian 2. Subjek kontrol

Subjek kontrol dalam penelitian ini adalah orang dewasa yang tidak menderita asma dan memenuhi kriteria eksklusi yang telah ditetapkan. Dalam pengambilan subjek kontrol, populasi yang digunakan tidak harus dari populasi yang sama dengan subjek kasus (Taufiqqurahman, 2004).

Besar sampel ditentukan dengan rumus (Murti, 2006) : n = Zα2.p.q

d2 Keterangan :

n : perkiraan besar sampel

p : perkiraan prevalensi penyakit yang diteliti atau paparan pada populasi

q : 1-p

Zα : nilai statistik Zα pada kurva normal standar pada tingkat kemaknaan

d : presisi absolut yang dikehendaki pada kedua sisi proporsi populasi

(31)

commit to user Sehingga didapatkan besar sampel:

n = (1.96)2 . (0.05). (0.95) (0.10)2

n = 18 sampel

Berdasarkan perhitungan di atas maka ukuran sampel minimal yang digunakan dalam penelitian ini adalah 18 subjek untuk masing-masing kelompok.

D. Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini akan dilakukan secara

Purposive Sampling sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.

E. Instrumentasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan surat pernyataan kesediaan menjadi responden, dan kuesioner RDQ.

(32)

commit to user

F. Rancangan Penelitian

G. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : asma bronkial

2. Variabel terikat : refluks gastroesofageal 3. Variabel luar

a. terkendali : umur, jenis kelamin, ras, kehamilan,rokok Diagnosis pasti

dokter Spesialis Paru

Refluks Gastroesofageal (+)

Asma bronkial (+) Asma bronkial (-)

Screening :

Mengisi Kuesioner RDQ

Uji Chi Kuadrat

Screening :

Mengisi Kuesioner RDQ

Refluks Gastroesofageal (-) Pasien Poliklinik Paru

RSUD dr. Moewardi

(33)

commit to user

b.tak terkendali : genetik, atopi, polusi udara, dan subjektivitas penderita dalam mengisi kuesioner

H. Definisi Operasional Variabel

1. Refluks Gastroesofageal

Penyakit refluks gastroesofageal dalam Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal / GERD didefinisikan sebagai kelainan yang menyebabkan cairan lambung mengalami refluks (mengalir balik) ke kerongkongan. Gejala klinis khas yang mendukung penegakkan diagnosis refluks gastroesofageal antara lain :

a. rasa terbakar di dada, kadang-kadang disertai rasa nyeri. b. rasa asam dan pahit di lidah.

c. nyeri ulu hati, perut kembung.

d. sering bersendawa, serta kesulitan menelan.

Adapun penentuan ada atau tidaknya refluks gastroesofageal dilakukan dengan metode kuesioner. Kuesioner yang digunakan adalah Reflux Disease Questionnaire (RDQ) yang terdiri dari 12 pertanyaan yang mengukur frekuensi dan tingkat keburukan gejala gangguan gastrointestinal bagian atas. Frekuensi dan tingkat keburukan gejala tersebut dinilai dengan 6-point Likert scale (0-5). GERD (+) jika skor RDQ lebih dari 12. (Cao et al, 2008; Du et al, 2007). Skala yang digunakan untuk variabel refluks gastroesofageal

(34)

commit to user

adalah skala nominal dikotom. Hasil pengukuran berupa ada refluks gastroesofageal dan tidak ada refluks gastroesofageal.

2. Asma Bronkial

Asma bronkial adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik tersebut menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas (PDPI, 2004).

Indikator dalam menegakkan asma (PDPI, 2004) adalah:

a. gejala berupa batuk, sesak napas, rasa berat di dada, dan berdahak.

b. bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

c. gejala timbul/memburuk terutama pada malam/dini hari. d. diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu.

Diagnosis asma bronkial didasarkan pada diagnosis yang dibuat oleh dokter Spesialis Paru RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

Skala yang digunakan untuk variabel asma bronkial adalah skala nominal dikotom, di mana hasil pengukuran berupa sakit asma bronkial dan tidak sakit asma bronkial.

(35)

commit to user 3. Umur

a. Definisi : Umur adalah jumlah tahun yang dihitung sejak kelahiran sampai ulang tahun terakhir saat penelitian ini dilakukan

b. Alat ukur : Wawancara c. Skala : Rasio 4. Jenis Kelamin

a. Definisi : Jenis kelamin adalah sifat keadaan laki-laki atau perempuan

b. Alat ukur : Wawancara c. Skala : Nominal 5. Ras

a. Definisi : Ras adalah penggolongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik rumpun bangsa

b. Alat ukur : Wawancara c. Skala : Nominal 6. Kehamilan

a. Definisi : Tumbuhnya janin dalam uterus wanita setelah mengalami pembuahan (Sarwono, 2007). Kehamilan merupakan faktor risiko penyebab eksaserbasi/pencetus asma (Surjanto, 2001)

b. Alat ukur : Diagnosis dokter yang ditanyakan melalui wawancara

(36)

commit to user c. Skala : Nominal

7. Atopi

Menurut nomenklatur World Allergy Organization (WAO) tahun 2003 maka terminologi atopi dipakai untuk menjelaskan tendensi seseorang atau keluarga, biasanya pada masa anak atau remaja, yang tersensitisasi dan memproduksi IgE sebagai respon pajanan biasa terhadap alergen (in response to ordinary exposures to allergens) Sebagai konsekuensi hal tersebut maka pada individu atopi dapat timbul gejala khas asma, rinokonjungtivitis, atau eksim. Dalam penelitian ini atopi menjadi variabel tidak terkendali karena sebagaimana telah dijelaskan bahwa serangan asma dapat terjadi karena faktor atopi.

8. Genetik

Studi tentang keterkaitan dan asosiasi genetik molekular menunjukan bahwa atopi berawal dari sifat genetik yang heterogen dan poligenik. Berbagai regio kromosom terkait dengan atopi dan asma, terutama dengan loki pada kromosom 5, 6, 11, 12, 13, dan 16. Berdasarkan uraian tersebut maka genetik merupakan salah satu predisposisi timbulnya asma pada individu yang memiliki karakteristik genetik tesebut, maka pada penelitian ini genetik menjadi variabel luar tidak terkendali.

(37)

commit to user 9. Polusi Udara

Polusi udara adalah penurunan kualitas udara sampai pada yang mengganggu kehidupan karena masuknya polutan kedalam udara. Polutan udara dapat berupa partikulat atau gas antara lain: serat asbes, bijih besi, dan asbes yang hancur biasanya berbentuk asap, gas CO, gas CO2,dan gas NO (Wahidin, 2008). Polutan tersebut dalam ambang tertentu dapat memicu terjadinya serangan asma pada individu tertentu.

I. Cara Kerja Penelitian

1. Pasien yang telah didiagnosis asma oleh dokter spesialis paru di poliklinik paru RSUD Dr. Moewardi dan kelompok kontrol ( tidak asma bronkial ) dilakukan :

a) Wawancara (nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan alamat) dan penandatanganan informed consent.

b) Pengisian kuesioner Reflux Disease Questionnaire (RDQ) 2. Cara mengisi RDQ :

a) Berikan penjelasan secukupnya pada subyek penelitian b) Dampingi subyek penelitian pada waktu pengisian kuesioner c) Subyek penelitian dipersilahkan bertanya bila mengalami kesulitan d) Jika subyek penelitian tidak mampu mengisi sendiri, maka

(38)

commit to user 3. Kriteria GERD dihitung dengan cara:

a) Kuesioner terdiri dari 12 soal, masing-masing jawabannya mempunyai skor antara 0-5

b) Skor tiap soal tergantung jawaban pasien

c) Skor total kemudian dikelompokkan menjadi GERD (+) dan GERD (-) sesuai dengan ketentuan skor GERD yang diperoleh lewat RDQ. GERD (+) bila skor yang dicapai lebih dari 12.

J. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan uji Chi square (X2). Uji X2 adalah uji proporsi di mana pengujian dilakukan untuk penilaian kebergantungan dan homogenitas suatu data meliputi perbandingan frekuensi yang teramati dengan frekuensi yang diharapkan jika Ho benar. Analisis untuk menguji hubungan antara dua variabel dalam penelitian ini menggunakan korelasi Phi. Korelasi Phi digunakan untuk menguji hubungan antara dua variabel dalam bnetuk skala nominal diskrit dan nominal diskrit (Handoko, 2007). Pada penelitian cross-sectional, estimasi risiko relatif dinyatakan dengan rasio prevalens (RP) yaitu perbandingan antara jumlah subyek dengan penyakit (lama dan baru) pada satu saat dengan seluruh subyek yang ada (Sudigdo, 2007). Data diolah dengan menggunakan Statistical Products and Service Solution (SPSS) 16.0

(39)

commit to user

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Data Hasil Penelitian

Telah dilakukan penelitian di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dengan menggunakan 36 sampel yang terdiri dari 18 sampel yang menderita asma bronkial dan 18 sampel yang tidak menderita asma bronkial. Berikut disampaikan hasil penelitian yang disajikan dalam bentuk tabel.

Tabel 1. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Kelompok Kasus Kelompok Kontrol p

Perempuan 10 (55,56%) 9 (50%) 0, 742

Laki-laki 8 (44,44%) 9 (50%)

Jumlah 18 (100%) 18 (100%)

Dari tabel 1, didapatkan kelompok kasus sampel berjenis kelamin perempuan sebanyak 10 orang (55,56%) dan laki-laki 8 orang (44,44%). Sedangkan pada kelompok kontrol sampel berjenis kelamin perempuan dan laki-laki masing-masing sebanyak 9 orang (50%). Dari data jenis kelamin subjek penelitian kedua kelompok tersebut, secara statistik tidak didapatkan perbedaan yang bermakna (p > 0,05).

Tabel 2. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur

Umur (tahun) Kelompok Kasus Kelompok Kontrol p

18-20 0 (0%) 1 (5,55%) 0,845 21-30 3 (16,67%) 3 (16,67%) 31-40 5 (27,78%) 5 (27,78%) 41-50 6 (33,33%) 4 (22,22%) 51-60 4 (22,22%) 5 (27,78%) Jumlah 18 (100%) 18 (100%)

(40)

commit to user

Dari tabel 2, didapatkan kelompok kasus sampel berumur 21-30 sebanyak 3 orang (16,67%), 31-40 sebanyak 5 orang (27,78%), 41-50 sebanyak 6 orang (33,33%), dan 51-60 sebanyak 4 orang (22,22%).

Pada kelompok kontrol, sampel yang berumur 16-20 sebanyak 1 orang (5,55%), 21-30 sebanyak 3 orang (16,67%), 31-40 sebanyak 5 orang (27,78%), 41-50 sebanyak 4 orang (22,22%), dan 51-60 sebanyak 5 orang (27,78%).

Tabel 3. Distribusi Sampel Berdasarkan Insidensi Refluks Gastroesofageal

Refluks Gastroesofageal (GERD) Kelompok Kasus Kelompok Kontrol P

GERD 10 (55,56%) 3 (16,67%) 0,015

Tidak GERD 8 (44,44%) 15 (83,33%)

Jumlah 18 (100%) 18 (100%)

GERD = Gastro Esophageal Reflux Disease

Dari tabel 3, didapatkan sampel kelompok kasus dengan GERD (+) sebanyak 10 orang (55,56%) dan tidak GERD sebanyak 8 orang (44,44%). Pada kelompok kontrol, sampel dengan GERD (+) sebanyak 3 orang (16,67%) dan tidak GERD sebanyak 15 orang (83,33%).

(41)

commit to user 0 2 4 6 8 10 12 14 16

Asma bronkial K ontrol

G E R D T idak G E R D

Gambar 1. Frekuensi GERD dan tidak GERD pada kelompok asma bronkial dan kelompok kontrol

B. Analisis Data

Pada penelitian ini, data yang terkumpul dianalisis dengan rumus

chi square yang diolah menggunakan SPSS 16.00 for Windows.

Tabel 4. Hasil Analisis Data Hubungan Asma Bronkial dan Refluks

Gastroesofageal

Berdasarkan tabel di atas, diperoleh nilai X2 hitung sebesar 5.90. Dengan menetapkan taraf signifikansi α = 0.05 dan derajat kebebasan (db) = 1 diperoleh nilai X2 tabel sebesar 3.841 sehingga diperoleh X2 hitung > X2 tabel.

GERD Asma Bronkial X2

p RP

2.21 Asma Bronkial (+) Asma Bronkial (-)

Jumlah Persen Jumlah Persen

GERD (+) 10 55,56% 3 16,67%

5.90 0.015

(42)

commit to user

Dengan demikian hipotesis nol (H0) yang berbunyi “ Tidak ada hubungan antara asma bronkial dengan refluks gastroesofageal “ ditolak. Dengan kata lain terdapat hubungan antara asma bronkial dengan refluks gastroesofageal.

Berdasarkan perhitungan uji Korelasi Phi didapatkan nilai p yang besarnya 0,015. Rasio prevalens pada penelitian ini adalah 2,21.

(43)

commit to user

BAB V PEMBAHASAN

Penelitian mengenai Hubungan antara Asma Bronkial dengan Refluks Gastroesofageal di RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang pelaksanaanya berlangsung pada bulan November 2009-Februari 2010 menggunakan 36 sampel. Sampel tersebut terdiri dari 18 pasien asma bronkial dan 18 subyek penelitian (sebagai kelompok kontrol) non asma bronkial yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang ditetapkan.

Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa frekuensi penderita asma lebih banyak pada wanita daripada pria yaitu sebesar 55,56 %. Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah jenis kelamin. Pada masa kanak- kanak ditemukan prevalensi anak laki- laki berbanding anak perempuan 1,5 : 1. (Sundaru, 2004). Sedangkan pada usia dewasa angka kejadian asma pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki (Wahyudi, 2008). Pada wanita dewasa mudah terserang asma, oleh karena selain masalah hormonal, wanita juga lebih rentan terserang stres. Hal ini diperkirakan sebagai salah satu faktor pemicu asma (Surjanto, 2001). Sedangkan untuk kelompok asma brokial (-) jumlah sampel berjenis kelamin laki-laki dan perempuan sama yaitu masing-masing 9 orang.

Dari tabel 2 dapat diketahui distribusi sampel berdasarkan umur. Pada kelompok asma bronkial (+), didapatkan persentase terbanyak pada rentang umur 41-50 sebanyak 6 orang (33,33%). Sedangkan pada kelompok asma bronkial (-),

(44)

commit to user

didapatkan persentase terbanyak pada rentang umur 31-40 dan rentang umur 51-60 sebanyak 5 orang untuk masing-masing kelompok umur.

Dari tabel 3 dapat diketahui dari penelitian bahwa GERD lebih banyak dialami oleh kelompok asma bronkial (+) dibandingkan dengan kelompok asma bronkial (-). Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa GERD lebih banyak dialami oleh wanita baik untuk kelompok asma bronkial (+) ataupun kelompok asma bronkial (-). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Nocon (2006) bahwa wanita lebih cenderung mengalami gejala refluks gastroesofageal non erosif sedang hingga berat dibandingkan pada pria yang mengalami gejala ringan.

Pada tabel 4, disajikan tabulasi silang asma bronkial dengan refluks gastroesofageal , dan perhitungan data statistik menggunakan metode Chi square

test, korelasi Phi dan nilai raio prevalens. Pada uji X2 didapatkan nilai p yang

besarnya 0,015 . Uji X2 adalah uji proporsi di mana pengujian dilakukan untuk penilaian kebergantungan dan homogenitas suatu data meliputi perbandingan frekuensi yang teramati dengan frekuensi yang diharapkan jika Ho benar.

Analisis hubungan antara kedua variabel dalam penelitian ini yaitu asma bronkial dan refluks gastroesofageal menggunakan uji korelasi Phi. Korelasi Phi termasuk dalam kategori korelasi Pearson Product Moment dengan variabel yang diuji adalah nominal diskrit (Handoko,2007). Korelasi Phi dalam penelitian ini memiliki signifikansi (p) yang besarnya 0,015. Jika nilai tersebut (p) lebih besar dari α = 0,05 (p.0,05), maka H0 ditolak (Handoko, 2007). Sehingga dapat

(45)

commit to user

disimpulkan bahwa ada hubungan antara asma bronkial dengan refluks gastroesofageal.

Pada studi etiologik, studi cross sectional mencari hubungan antara faktor risiko dan efek (Sastroasmoro, 2007). Bila faktor risiko dan efek keduanya berskala nominal dikotom maka dapat diperoleh rasio prevalens yaitu perbandingan antara prevalens efek pada kelompok risiko dan pada kelompok tanpa risiko. Pada penelitian ini nilai rasio prevalens adalah 2,21. Rasio prevalens > 1 menunjukkan bahwa variabel tersebut merupakan faktor risiko timbulnya penyakit tertentu (Sastroasmoro, 2007). Sehingga berdasarkan nilai rasio prevalens yang didapat dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa refluks gastroesofageal merupakan faktor risiko terjadinya asma.

Kecenderungan penderita asma bronkial mengalami GERD juga dinyatakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Field (1999) bahwa persentase pasien asma yang mengalami gejala heartburn dan regurgitasi asam lebih besar dibanding kelompok kontrol. Dengan menggunakan tiga metode pengukuran yakni kuesioner, pemeriksaan pH esofagus, dan endoskopi didapatkan kesimpulan yang sama bahwa kejadian GERD lebih banyak ditemukan pada kelompok asma dibanding dengan kelompok kontrol. Shimizu (2006) melakukan penelitian dengan metode kuesioner, didapatkan hasil persentase kejadian GERD pada pasien asma dibandingkan dengan kelompok kontrol sebesar 69,2 % (OR =10,3). Leggett et al menggunakan metode pengukuran pH dengan menilai frekuensi episode refluks, waktu kontak asam, dan clearance time asam esofagus (p=0,0001), bahwa pada kelompok kontrol secara signifikan lebih rendah

(46)

commit to user

dibandingkan dengan kelompok asma. Refluks gastroesofageal (Vaezi, 2005) dapat menginduksi terjadinya asma secara langsung melalui aspirasi atau melalui stimulasi sistem saraf vagal di esofagus distal.

RDQ (Reflux Disease Questionnaire) digunakan dan dikembangkan untuk mengidentifikasi kejadian GERD pada pasien-pasien primary care. RDQ memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas sebesar 94% dan 50% ( Li et al, 2007). Gold standard dalam diagnosis kejadian GERD adalah dengan pengukuran pH esofagus. Pemeriksaan pH esofagus melalui parameter: jumlah episode refluks selama 24 jam, waktu total saat pH < 4 dalam 24 jam, jumlah episode refluks dengan durasi > 5 menit dan durasi terpanjang episode refluks. Pemeriksaan pH esofagus dengan parameter-parameter tersebut memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas sebesar 96% dan 100% (Theodoropoulus, 2001).

Kelemahan penelitian ini berdasar pada metode pengumpulan data yang digunakan yaitu metode kuesioner. Keterbatasan RDQ antara lain adanya faktor subyektifitas seperti reaktivitas dan sensitiviitas individu terhadap refluks material dan pemahaman terhadap definisi gejala ( Li et al, 2007). Kekurangan yang lain adalah juga kemungkinan terjadinya recall bias, di mana suyek penelitian diminta untuk mengingat frekuensi dan tingkat keburukan gejala selama satu minggu terakhir.

(47)

commit to user

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Terdapat hubungan yang bermakna antara asma bronkial dengan refluks gastroesofageal (x2 = 5,90; p = 0,015 dan RP = 2,21). 2. Pada kelompok penderita asma bronkial didapatkan 55,56%

sampel yang mengalami GERD dan pada kelompok yang tidak menderita asma bronkial didapatkan 16,67% sampel yang mengalami GERD.

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan asma bronkial dan refluks gastroesofageal menggunakan desain penelitian Cohort untuk mengetahui apakah GERD tersebut yang menyebabkan terjadinya asma.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan metode pengukuran lain dalam menentukan GERD (pengukuran pH esofagus) dan meminimalkan variabel luar.

Gambar

Tabel 1.  Distribusi Frekuensi Sampel Penderita Asma Bronkial Menurut                    Jenis Kelamin....................................................................................
Tabel 2. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur
Gambar  1.  Frekuensi  GERD  dan  tidak  GERD  pada  kelompok  asma  bronkial  dan  kelompok    kontrol

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan tipe peristiwanya, verba emosi statif dibagi atas empat subkategori: (1) “sesuatu yang buruk telah terjadi’ (“mirip sodih”), (2) ‘sesuatu yang buruk

Gambar 4.7 Informasi untuk chatting pribadi dengan client lain 50 Gambar 4.8 Tampilan ruang pribadi dengan tab baru 51 Gambar 4.9 Pengiriman pesan pada ruang pribadi berhasil 51

Tempe grits kacang merah terbaik diperoleh dengan ketebalan satu cm pada semua perlakuan persen aerasi, karena miselium menutupi hampir seluruh permukaan grits dan tempe

Dalam waktu 6 hari pasca gempa, PKPU telah memulai pembangunan rumah darurat dan sampai saat ini PKPU telah mendirikan 10 unit Sekolah darurat yang terdiri dari 6 lokal. Alokasi

Study Concer- ning the Reduction of Structures Dynamic Responses, April 1 1. High Altitudes Rockets

Apabila proses sampling yang digunakan adalah dengan Sampling Acak Sederhana, maka secara kebetulan bisa terpilih kebanyakan (mungkin semua) dari 200 voucher adalah berasal dari

Otak permainan atraktif Barcelona adalah Pep Guardiola dan ketiga trisula maut mereka, pemain terbaik dunia dua kali (2009 &amp; 2010) Lionel Messi, Andres Iniesta, dan Xavi

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kombinasi pemanis sukrosa dan aspartam menghasilkan tablet hisap ekstrak etanol daun pare yang memenuhi persyaratan fisik dan terdapat