• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

9 BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Manajemen

Robbins dan Coulter (2007: 37) dalam bukunya yang berjudul “Management” menjelaskan bahwa manajemen adalah: “involving coordinating and overseeing the work activities of others so that their activities are completed efficiently and effectively”, yang artinya manajemen adalah melibatkan koordinasi dan mengawasi kegiatan pekerjaan orang lain sehingga kegiatan mereka selesai secara efisien dan efektif. Sedangkan manajer adalah orang yang melibatkan diri dalam mengkoordinasi dan mengawasi kegiatan pekerjaan orang lain sehingga tujuan dalam organisasi mampu tercapai. Lebih lanjut Sobana (2012: 7) menjelaskan bahwa manajemen adalah “bagaimana mengelola suatu kegiatan melalui fungsi-fungsi manajemen secara sistematik”.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian manajemen adalah suatu ilmu dan seni dalam mengelola segala seuatu dengan fungsi-fungsi manajemen yang ada untuk mencapai tujuan yang jelas secara efektif dan efisien. Manajemen dikatakan ilmu karena manajemen dapat dipelajari dan memiliki konsep sistematis yang jelas yaitu terdapat fungsi-fungsi manajemen untuk memecahkan masalah yang ada. Untuk memecahkan masalah, segala sesuatunya harus diatur untuk diteliti dan dianalisa terlebih dahulu, oleh karenanya manajemen dikatakan sebagai suatu ilmu. Manajemen juga dikatakan sebagai suatu seni karena untuk mencapai semua itu diperlukan kerjasama dengan orang lain, disini bagaimana cara manajemen mencapai hal tersebut, seperti cara mengatur dan memerintah orang lain.

Manajemen mengupayakan segala sesuatunya agar efektif dan efisien. Efisien berfokus pada masukan dan keluaran yaitu bagaimana mengupayakan ‘input’ yang sedikit untuk menghasilkan ‘output’ yang banyak. Dengan kata lain dengan berfokus pada sumberdaya serta sarana yang ada, bagaimana cara mengatur penggunaan sumberdaya yang ada sesedikit mungkin dan menghasilkan produktivitas yang tinggi. Sedangkan efektif yaitu melakukan segala sesuatunya dengan benar untuk mencapai tujuan. Yaitu bagaimana manajemen berfokus pada proses kegiata

(2)

-kegiatan yang ada sesedemikian rupa dengan tepat sesuai dengan aturan yang ada dan mampu mencapai hasil akhir yang ditujukan.

Robbins dan Coulter (2007: 39) menjelaskan terdapat setidaknya empat fungsi dasar dari manajemen, yaitu planning, organizing, leading, dan controlling. Dimana keempat fungsi tersebut marupakan satu kesatuan yang tidak bisa dilepas.

1. Planning

Merupakan fungsi dari adanya manajemen dalam merencanakan segala sesuatunya seperti merencanakan dalam menentukan tujuan, membangun strategi untuk mencapai tujuan tersebut, dan membuat koordinasi antar bagian-bagian untuk mencapai tujuan.

2. Organizing

Merupakan fungsi dari manajemen untuk mengorganisasi segala sesuatunya sehingga lebih teratur serta sistematis seperti menentukan apa yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan, bagaimana langkah-langkah dalam mencapai tujuan serta siapa orang yang akan melakukannya.

3. Leading

Merupakan fungsi dari manajemen dalam memimpin serta bagaimana upaya dalam mendukung organisasi yang ada dalam mencapai tujuannya. Hal tersebut seperti memotivasi, memimpin dan segala sesuatu tindakan yang terlibat dalam menghadapi orang lain.

4. Controlling

Merupakan fungsi terakhir dalam manajemen yaitu mengawasi segala sesuatunya untuk memastikan segala sesuatunya berjalan sesuai dengan tujuan yang sudah ditetapkan seperti dengan memonitor aktivitas-aktivitas yang terjadi.

Robbins dan Coulter (2007: 36-37) menyebutkan terdapat tiga tingkatan dari manajerial, yaitu bottom manager/first-line manager, middle manager, dan top manager dimana setiap tingkatan manajerial memiliki fungsi yang berbeda-beda.

1. Bottom manager/first-line manager

Merupakan manajer yang berada dibagian paling bawah dalam tingkatan manajerial yang memiliki fungsi untuk mengatur kerja atas karyawan biasa.

(3)

Merupakan manajer yang berada dibagian tengah dalam tingkatan manajerial yang memiliki fungsi untuk mengatur kerja dari first-line manager.

3. Top Manager

Merupakan manajer yang berada dibagian atas dalam tingkat manajerial yang memiliki fungsi tanggung jawab dalam pembuatan serta pengambilan setiap keputusan organisasi serta membangun tujuan dan rencana yang mempengaruhi organisasi.

Sumber: Robbins & Coulter (2007: 36)

Gambar 2. 1 Managerial Level

2.2 Manajemen Operasional

Menejemen operasi merupakan ilmu yang dapat

diterapkan/diimplementasikan pada berbagai jenis bidang usaha seperti rumah sakit, perguruan tinggi, dan lain-lain karena setiap jenis bidang usaha menghasilkan barang atau jasa yang dalam prosesnya dilakukan secara efektif dan efisien. (Deitiana, 2011:2).

Sedangkan Heizer dan Render (2011: 38) berpendapat bahwa: “Operations management is the set of activities that creates value in the form of goods and services by transforming inputs into outputs”, yang artinya manajemen operasi adalah sebuah susunan aktivitas yang menciptakan nilai dalam bentuk barang dan jasa dengan mengubah proses input menjadi output.

Dapat disimpulkan oleh penulis bahwa pengertian menejemen operasi adalah sebuah ilmu yang mempelajari segala sesuatu sistem operasional perusahaan baik perusahaan manfaktur maupun jasa mulai dari pemasok sampai pada barang jadi dan dikirim kepada konsumen dengan efektif dan efisien. Dalam prakteknya sebagian

(4)

besar proses operasi dari perusahaan baik manufaktur maupun jasa tidak dipublikasikan kepada umum karena operasional suatu perusahaan merupakan jantung penggerak suatu perusahaan agar dapat hidup sehingga jika sampai terpublikasikan dan diketahui kompetitor, perusahaan tersebut akan sulit untuk bersaing dengan pesaing lain.

Deitiana menggambarkan operasi sebagai suatu sistem seperti gambar 2.1 yang ada di bawah ini. Gambar tersebut menjelaskan bahwa suatu operasi dimulai dengan adanya input, manajemen operasi, dan output. Dimana input bisa terdiri atas apa saja, meliputi manusia, material, modal, metode, mesin, dan sebagainya yang nantinya dapat diproses, kemudian memasuki proses transformasi, dan menjadi barang/jasa.

Sumber: Heizer (2004: 14) didalam Deitiana (2011: 4)

Gambar 2. 2 Operasi Sebagai Suatu Sistem

2.1.1 Fungsi Operasi dalam Organisasi

Aktifitas-aktifitas operasional mencakup berbagai fungsi dalam perusahaan. Menurut Deitiana (2011: 2), fungsi-fungsi yang mencakup operasional perusahaan adalah sebagai berikut:

(5)

Fungsi ini membuat adanya permintaan atau paling tidak mendapatkan pesanan untuk pembuatan barang dan jasa.

2. Fungsi produksi/operasi

Fungsi ini menghasilkan produk. 3. Fungsi keuangan/akuntansi

Fungsi ini memantau apakah perusahaan berjalan dengan baik, membayar seluruh tagihan dan mencari sumber dana.

Fungsi-fungsi diatas harus saling mendukung dan diorganisir dengan baik. Sebagai contoh: fungsi pemasaran tidak akan jalan jika tidak didukung oleh fungsi keuangan yang mengatur segala macam jenis keuangan untuk mendanai proses pemasaran yang dilakukan perusahaan.

2.3 Kualitas

Kualitas merupakan salah satu aspek terpenting yang harus diperhatikan oleh perusahaan dalam mencapai profitabilitas. Pengertian dari kualitas sendiri sebenarnya sangat luas sekali. Kualitas di definisikan berdasarkan sudut pandang dan perspektif yang berbeda dari setiap individu. Deitiana (2011:64) mengungkapkan bahwa kualitas adalah saat dimana suatu produk ataupun jasa memenuhi kriteria dan keinginan konsumen.

Joseph Juran (1988) dalam Yuri dan Nurcahyo (2013: 11) sendiri mengartikan kata ‘kualitas’ sebagai “fitness for purpose”. Ia mendefinisikan ini didasari oleh dasar kata ‘kualitas’ itu sendiri yaitu ‘memenuhi persyaratan’.

Sedangkan menurut Armand V. Feigenbaum (1991) dalam Yuri dan Nurcahyo (2013: 11) mejelaskan bahwa kualitas adalah “the total composite product and service characteristics of marketing, engineering, manufacture, and maintenance through which the product and service in use will meet the expectations of the customer”, yang artinya sebuah total gabungan karakteristik produk dan jasa dari pemasaran, teknik, manufaktur, dan pemeliharaan melalui produk dan jasa yang digunakan akan memenuhi harapan pelanggan.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi kualitas adalah suatu keadaan dimana suatu proses mulai dari awal sampai akhir produk/jasa tersebut diproses dan sampai pada konsumennya memenuhi persyaratan produksi yang ada dan sesuai dengan harapan konsumen.

(6)

Secara umum kualitas didefinisikan terhadap lima pendekatan utama menurut Gaspersz (2012: 1-2) yakni:

1. Transcendent quality adalah suatu kondisi ideal menuju keunggulan. 2. Product-based quality adalah suatu atribut produk yang memenuhi kualitas. 3. User-based quality adalah kesesuaian atau ketepatan dalam penggunaan

produk (barang dan/atau jasa).

4. Manufacturing-based quality adalah kesesuaian terhadap persyaratan-persyaratan standar.

5. Value-based quality adalah derajat keunggulan pada tingkat harga yang kompetitif.

Sehingga pernyataan Gaspersz terhadap kualitas tersebut sudah mewakili lima sudut pandang atau pendekatan kualitas yakni dari kualitas sudut pandang keadaan yang sukar untuk diukur atau bersifat abstrak dimana suatu kualitas diukur berdasarkan kondisi yang sedang berlangsung dan terdapat standar-standar untuk pencapaian kualitas. Yang kedua adalah suatu kualitas diukur menurut atribut-atribut dari produk itu sendiri seperti, bentuk kemasan, dan sebagainya. Hal tersebut yang menjadi tolok ukur suatu barang berkualitas atau tidak. Yang ketiga adalah mengenai bagaimana suatu barang digunakan atau kesesuaian penggunaan barang terkait dengan penggunanya. Yang keempat adalah terkait dengan kesesuaian proses produksi terhadap prosedur atau ketentuan-ketentuan dalam proses produksi. Yang terakhir adalah kesesuaian harga dengan nilai suatu barang atau jasa yang diberikan.

Kualitas juga merupakan bagian dari standar ISO yang harus dipenuhi. Sobana (2011:1) menjelaskan, kata ‘ISO’ berasal dari bahasa Yunani yang memiliki arti “sama”, kata tersebut diimplementasi kedalam berbagai macam alat pengukuran seperti isobar yang memiliki arti tekanan yang sama, isotherm yang memiliki arti suhu yang sama. Sehingga ISO menceritrakan standar kualitas yang sama dalam standar dunia. Berdasarkan Gaspersz (2012:12-20) dengan bukunya yang berjudul “Three-in-one ISO 9001, ISO 14001, OHSAS 18001”, terdapat delapan prinsip manajemen kualitas yang menjadi landasan penyusunan ISO 9001 yaitu:

1. Prinsip fokus pelanggan

Salah satu faktor pendukung keberlangsungan suatu perusahaan adalah pelanggan. Oleh karena itu perusahaan harus mengetaui apa yang menjadi kebutuhan dan ekspektasi pelanggan-pelanggannya baik sekarang maupun yang akan datang. Dengan fokus pada pelanggan, sama saja perusahaan

(7)

meningkatkan loyalitas dari konsumen yang berujung pada meningkatnya laba yang dihasilkan oleh perusahaan akibat pengulangan transaksi yang berkali-kali.

2. Prinsip kepemimpinan

Setiap tujuan, aturan, maupun kebijakan dibutuhkan seorang yang mampu untuk memberikan arah pada organisasi agar tidak melenceng dari hal yang ditetapkan. Dengan adanya arahan yang baik dari seorang pemimpin didalam sebuah organisasi, maka orang-orang akan memahami dan termotivasi menuju sasaran dan tujuan organisasi, sebuah komunikasi juga akan terjaga dari atasan ke bawahan atau sebaliknya sehingga dapat meminimumkan tingkat kesalahan dalam organisasi. Dengan adanya kepemimpinan didalam suatu perusahaan jelas kualitas perusahaan tersebut cenderung akan meningkat, pihak yang diuntungkan karenanya tidak hanya dari sisi perusahaan tetapi juga para stakeholders atau semua pihak yang berkepentingan terhadap organisasi tersebut. Para stakeholders akan melihat suatu kualitas perusahaan tidak hanya dari sisi produk tetapi juga dari sisi manajemen perusahaan.

3. Prinsip keterlibatan orang-orang

Semua orang baik yang berada pada tingkat atas maupun tingkat bawah merupakan bagian penting dari suatu perusahaan. Tanpa adanya keterlibatan orang-orang suatu perusahaan tidak akan dapat berjalan. Dengan adanya keterlibatan orang-orang didalam organisasi, mereka dapat mengkomunikasikan apa yang menjadi permasalahan yang mereka ketemukan dilapangan yang menghambat kinerja mereka, berbagi masalah-masalah dan isu yang sedang berkembang sehingga perusahaan mendapatkan masukan serta referensi dari mereka yang dapat meningkatkan kualitas kinerja suatu perusahaan.

4. Prinsip pendekatan proses

Untuk mendapatkan suatu hasil dengan cara yang lebih efisien, maka segala aktivitas maupun sumberdaya yang berkaitan dengan hasil yang diinginkan harus dikelola sebagai suatu proses, artinya dalam setiap tindakan bertahap tersebut didefinisikan sebagai integrasi sekuensial atau satu persatu yang telah diorganisir dari orang, material, metode, mesin, dan peralatan sehingga lebih efisien. Suatu proses tersebut yang akan

(8)

mengkonverai input yang ada melalui sejumlah langkah sekuensial tersebut. Dengan melakukan pendekatan proses ini maka perusahaan akan mengeluarkan biaya produksi yang cenderung akan lebih rendah karena segala sesuatunya sudah terproses dan menggunakan sumber daya yang efektif.

5. Prinsip pendekatan sistem terhadap manajemen

Dengan melakukan pendekatan sistem terhadap manajemen seperti pengidentifikasian, pemahaman, dan pengelolaan dari setiap proses-proses akan memberikan kontribusi pada efektivitas dan efisiensi pada organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya. Kontribusi tersebut seperti intergrasi dan kesesuaian dari proses yang akan dilakukan serta memberikan kepercayaan kepada stakeholders akan efektivitas dan efisiensi dari manajemen perusahaan.

6. Prinsip peningkatan terus-menerus

Salah satu prinsip yang harus ditekankan kepada setiap aspek perusahaan adalah peningkatan terus menerus baik kinerja, kualitas, efektivitas maupun efisiensi dalam suatu organisasi. Peningkatan terus menerus merupakan proses yang membutuhkan biaya yang besar karena dalam prakteknya harus melakukan identifikasi dan selalu memperbaiki baik kinerja maupun kualitas yang ada sehingga mampu menggapai kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. Dengan adanya peningkatan kualitas akibat proses peningkatan yang terus menerus maka akan meingkatkan keunggulan perusahaan dari segala aspek seperti kinerja maupun kualitas. 7. Prinsip pendekatan faktual dalam pembuatan keputusan

Semua jenis keputusan yang dibuat tidak dapat ditentukan begitu saja tanpa adanya analisa terlebih dahulu. Sebuah keputusan yang efektif adalah keputusan yang dibuat berlandaskan pada analisa data dan informasi untuk menghilangkan akar penyebab masalah sehingga masalah kualitas dapat terselesaikan secara efektif dan efisien. Manfaat dari menerapkan pendekatan faktual sebelum mengambil sebuah keputusan seperti keakuratan keputusan yang akan diambil karena berdasarkan informasi yang berdasrkan kenyataan yang ada, selain itu jika kedepannya terdapat perubahan keputusan atau sebagainya, segala sesuatunya dapat dipertanggung jawabkan.

(9)

8. Prinsip hubungan pemasok yang saling menguntungkan

Perusahaan dan pemasok memiliki hubungan saling ketergantungan antara satu dengan yang lainnya. Perusahaan harus mampu melakukan hubungan yang baik dengan pemasok dan menciptakan hubungan yang saling menguntungkan untuk dapat meningkatkan kemampuan bersama dalam menciptakan nilai tambah. Dalam prinsip kedelapan ini lebih ditekankan kepada hubungan timbal balik yang mengarap pada win-win solution yang dimana jika salah satu pihak merasa disenangkan oleh pihak yang lain, maka secara naluri, pihak yang merasa disenangkan akan memberikan hal yang terbaik kepada pihak yang menyenangkannya.

2.3.1 Dimensi Kualitas

Didalam bukunya, Hidayat (2007: 4) mengutip sebuah dimensi kualitas dari Garvin. Terdapat 9 dimensi kualitas, yaitu:

1. Performance

Merupakan kinerja dari produk tiu sendiri, bagaimana produk tersebut memiliki kesesuaian dengan fungsi utama dari produk itu sendiri.

2. Features

Merupakan karakteristik tambahan, seperti fasilitas atau kemampuan dari produk tersebut yang membedakannyadari produk yang lain.

3. Conformance

Merupakan kesesuaian produk tersebut dengan standar-standar, spesifikasi, operasi dari prosedur yang ada/ditetapkan.

4. Reliability

Merupakan keandalan dari suatu produk tersebut seperti suatu barang diandalkan karena kemungkinan rusak yang rendah maupun suatu barang tersebut memiliki kemampuan kerja yang baik.

5. Durability

Mengenai daya tahan dari suatu produk dan umur dari suatu produk. Apakah suatu produk tersebut cepat rusak atau tidak.

6. Service

Merupakan pelayanan yang diberikan atas masalah-masalah yang timbul dari produk tersebut. Hal ini mencakup ketersediaan komponen-komponen yang diperlukan oleh produk tersebut.

(10)

7. Response

Merupakan hubungan antara produsen dengan konsumen. 8. Aesthetics

Mengenai aspek-aspek psikologi dari suatu produk seperti keindahan dan daya tarik dari produk tersebut.

9. Reputation

Kinerja yang telah tercapai dari kesuksesan yang diraih atas kepuasan konsumen, maupun citra suatu merek.

Sedangkan untuk dimensi kualitas pada industri jasa berdasarkan Garvin (1996) dalam Yuri dan Nurcahyo (2013: 21) adalah sebagai berikut:

1. Communication

Merupakan sejauh mana hubungan antara pemberi jasa dengan penerima jasa, termasuk didalamnya umpan balik antar pihak tersebut.

2. Credibility

Merupakan kepercayaan yang diberikan pihak penerima jasa terhadap pemberi jasa tersebut.

3. Security

Merupakan rasa keamanan, rasa bebas dari bahaya maupun resiko terhadap jasa yang diberikan oleh pemberi jasa.

4. Knowing the Customer

Pemahaman pemberi jasa terhadap kebutuhan dan harapan pemakai jasa serta memberikan perhatian secara individual dan sejauh mana mengenal pelanggan tersebut.

5. Tangibles

Pemberian pelayanan kepada pelanggan harus dapat diukur atau terdapat standar-standarnya.

6. Reliability

Konsistensi kerja pemberi jasa dan kemampuan pemberi jasa dalam memenuhi janji kepada para penerima jasa.

7. Responsiveness

Merupakan sejauh mana tanggapan pemberi jasa terhadap kebutuhan dan harapan penerima jasa. Hal ini diukur berdasarkan ketepatan waktu pelayanan, kecepatan dalam memberikan jawaban atas masalah yang diberikan, serta kecepatan pemberi jasa menghubungi kembali pelanggan.

(11)

8. Competence

Segala hal yang berhubungan dengan kemampuan atau keterampilan yang dibutuhkan oleh pemberi jasa dalam memberikan jasanya kepada penerima jasa.

9. Access

Kemudahan pemberi jasa dihubungi ataupun ditemui oleh penerima jasa, hal ini termasuk didalamnya kemudahan dalam menjangkau lokasi untuk menggapai fasilitas jasa maupun dalam akses telpon, e-mail, fax, dan sebagainya.

10. Courtesy

Kesopanan, respek, perhatian, dan keramahaan para karyawan pemberi jasa pada penerima jasa dan hubungan secara personalnya.

2.3.2 Dampak dari Kualitas

Kualitas dari suatu perusahaan memiliki peranan yang sangat penting terutama di era globalisasi seperti sekarang ini yang menuntut adanya persaingan. Berikut adalah implikasi dari kualitas menurut Heizer dan Render (2011:223):

1. Company reputation

Kulitas akan menempel pada suatu perusahaan baik itu baik ataupun buruk. Dari persepsi masyarakat mengenai kualitas suatu perusahaan akan mencerminkan gambaran bagaimana produk dari perusahaan tersebut, kinerja karyawan, dan hubungan dengan pemasok. Dengan perusahaan yang sudah memiliki image yang baik di mata masyarakat maka kepercayaan dan loyalitas dari konsumen akan meningkat yang berakhir pada peningkatan laba dari perusahaan.

2. Product liability

Produk dengan kualitas yang tinggi dapat berarti memiliki standar yang tinggi. Dengan memiliki standar yang tinggi maka kemungkinan suatu produk tersebut membahayakan konsumen akan kecil. Jika suatu produk memiliki kualitas yang rendah, maka besar kemungkinan produk tersebut akan membahayakan penggunanya dan akan berakhir pada tuntutan kepada pihak perusahaan sehingga perusahaan harus menanggung kerugian atas apa yang terjadi. Dari sudut pandang hukum, perusahaan

(12)

yang tidak memenuhi standar kualitas yang baik akan dikenakan sanksi yang akan merugikan pihak perusahaan sendiri.

3. Global implications

Dampak dari kemajuan teknologi mengakibatkan peningkatan kualitas secara internasional, itulah yang terjadi pada standar kualitas pada zaman sekarang, sudah mengacu pada standarisasi internasional. Bagi perusahaan yang ingin go international tentunya harus memenuhi kriteria-kriteria yang menjadi standar internasional baik dari desain, kualitas, maupun harga.

2.3.3 Sistem Manajemen Kualitas

Definisi dari Standar ISO 9000 untuk sistem manajemen kualitas (quality management system) adalah: “struktur organisasi, tanggung jawab, prosedur-prosedur, proses-proses, dan sumber-sumber daya untuk penerapan manajemen kualitas” (Gaspersz, 2012: 1). Jadi, sistem manajemen kualitas ini berfokus pada konsistensi dari setiap proses kerja yang ada untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan pasar.

Dalam menciptakan sebuah sistem manajemen yang berkualitas dibutuhkan sebuat tahapan-tahapan proses yang harus dilakukan, hal tersebut dikenal sebagai PDCA (Plan-Do-Check-Act). Berdasarkan buku yang dikarang oleh Gaspersz (2012:35), PDCA dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Rencanakan (Plan)

Merupakan sebuah proses untuk merencanakan suatu sistem manajemen kualitas. Dalam melakukan sebuah perencanaan, harus mengandung konsep SMART (Specific, Measurable, Achievable, Result-Oriented, Timely) yang artinya ketika menetapkan tujuan-tujuan kualitas harus ditetapkan secara spesifik dan bukan bersifat umum, dapat diukur, dapat dicapai, berorientasi pada pencapaian hasil, dan memiliki tolok ukur waktu untuk mencapai tujuan tersebut.

2. Laksanakan (Do)

Setelah menentukan perencanaan dari sebuah sistem, langkah berikutnya adalah menerapkan dan mengoperasikan sistem manajemen kualitas tersebut dengan mengelola lingkunga lingkungan kerja yang diperlukan untuk mencapai kesesuaian terhadap persyaratan produk, menciptakan struktur manajemen, menetapkan tanggung jawab dengan kewenangan

(13)

yang memadai yang artinya bahwa manajemen puncak harus menjamin bahwa tanggung jawab dan wewenang didefinisikan dan dikomunikasikan dalam organisasi.

3. Periksa (Check)

Berikutnya adalah melakukan pemeriksaan pada proses sistem manajemen kualitas dengan melakukan pemantauan dan pengukuran. Pengukuran yang dilakukan seperti terhadap kepuasan pelanggan dengan melakukan survei atas kepuasan pelanggan, opini, persepsi pelanggan dan sebagainya yang mencakup segala masukan terhadap kualitas menurut pandangan konsumen. Hal yang diperiksa tidak hanya sebatas terhadap kualitas yang ada, tetapi juga kepada identifikasi penyebab ketidaksesuaian terhadap perencanaan yang direncanakan untuk mengambil tindakan korektif. 4. Bertindak (Act)

Yang terakhir adalah melakukan tindakan perbaikan atas segala ketidak sesuaian yang ada dan melakukan tindakan korektif untuk memperbaiki atau meningkatkan sistem manajemen kualitas secara terus menerus untuk mencegah pengulangan kembali tindakan ketidaksesuaian tersebut. Tindakan perbaikan tersebut seperti melakukan peninjauan ulang terhadap sistem manajemen kualitas.

Sumber: (Heizer dan Render, 2011: 277) Gambar 2. 3 Alur PDCA

2.4 Biaya Kualitas

Selalu terdapat harga yang harus dibayar oleh setiap kesalahan atau kegagalan, begitu juga pada prinsip dari kualitas, ada harga yang harus dibayar oleh

(14)

setiap kesalahan atau kegagalan diseluruh aspek operasional perusahaan. Biaya kualitas menurut Heizer dan Render (2011: 224) adalah “cost of doing things wrong-that is, the price of nonconformance”, yang artinya biaya dari melakukan tindakan yang salah, itulah biaya atas ketidaknyamanan. Kesalahan atau kegagalan tersebut dapat meliputi dari proses input sampai pada delivery kepada konsumen. Dengan kata lain, biaya atas kualitas dapat terjadi pada berbagai aspek operasional perusahaan.

Deitiana (2011:65) mengemukakan bahwa terdapat empat kategori biaya kualitas yang disebut cost of quality, yakni:

1. Prevention cost

Biaya yang terkait dengan pengurangan komponen atau jasa yang rusak atau segala biaya yang dikeluarkan untuk mencegah kegagalan baik internal maupun eksternal terjadi untuk memperkecil kemungkinan kegagalan dan biaya yang akan muncul akibat kegagalan tersebut. Contoh:

1. Biaya pelatihan untuk karyawan-karyawan dalam meningkatkan pengetahuan serta kemampuan dalam mengoperasikan mesin yang ada di pabrik.

2. Biaya program peningkatan kualitas seperti melakukan perbaikan terus menerus pada setiap bagian produksi.

2. Appraisal cost

Biaya yang dikaitkan dengan proses evaluasi produk, proses, komponen dan jasa. Contoh:

1. biaya atas percobaan-percobaan yang dilakukan seperti uji coba terhadap material-material untuk mengetahui apakah kualitas dari material tersebut memenuhi standar atau tidak sebelum digunakan untuk produksi masal. 2. Biaya yang keluar terhadap proses uji coba yang berlangsung seperti listrik

dan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mendukung proses uji coba. 3. Dan biaya atas pengujian untuk mempertahankan kualitas yang ada. 3. Internal failure

Biaya yang diakibatkan proses produksi yang menyebabkan kerusakan sebelum dikirim ke konsumen. Jika selama proses produksi berlangsung dan tidak ditemukan masalah, maka biaya ini tidak akan muncul. Contoh:

1. Rework atas perbaikan atau kesalahan yang terjadi selama proses produksi berlangsung agar sesuai dengan standar dan prosedur.

(15)

2. Scrap yang adalah biaya yang hilang akibat produksi yang gagal.

3. Serta downtime yang adalah waktu yang terbuang atas produksi yang cacat.

4. External failure

Biaya yang terjadi setelah pengiriman produk ke konsumen. Jika tidak ada keluhan ataupun kesalahan atas produksi dari konsumen, maka biaya ini tidak akan muncul. Contoh:

1. Garansi yang muncul dari claim konsumen untuk perbaikan atau penggantian produk yang cacat dalam waktu tertentu,.

2. Retur atas barang yang rusak oleh konsumen sehingga perusahaan harus menanggung kerugian atas barang yang rusak tersebut.

2.5 Sistem

Didalam sebuah proses manufaktur, tentunya terdapat manusia dan mesin yang saling berinteraksi untuk menjalankan ataupun menghasilkan suatu proses. Hubungan antar manusia dengan mesin ini menciptakan suatu sistem yang saling berkaitan yang bertujuan untuk saling mendukung. Blanchard dan Fabrycky (2012: 17) menjelaskan bahwa “systems are composed of components, attributes, and relationships” yang artinya, sistem terdiri atas komponen, sifat, dan hubungan. Jika ditelaah lebih dalam, dapat dikatakan bahwa sistem adalah gabungan atas subsistem yang memiliki komponen, sifat, dan saling berhubungan membentuk suatu sinergi/kegiatan. Ketiga elemen dari sistem tersebut dijabarkan sebagai berikut oleh Blanchard dan Fabrycky (2012: 17):

1. Komponen

Komponen merupakan bagian dalam sistem. Merupakan bagian-bagian yang terdapat dalam suatu sistem tersebut yang saling berinteraksi menciptakan suatu sinergi.

2. Atribut/sifat

Merupakan karakteristik, konfigurasi, kualitas, tenaga, dan masalah atas komponen dan sistem yang ada secara keseluruhan.

3. Hubungan

Merupakan keterkaitan antara komponen-komponen yang ada atas atribut yang ada sehingga komponen-komponen tersebut beroperasi

(16)

bersama-sama secara efektif dalam memberikan kontribusi bagi tujuan atau sasaran dari suatu sistem.

2.6 Total Quality Control

Chiarini dalam jurnalnya yang berjudul “Japanesse Total Quality Control, TQM, Deming's System of Profound Knowledge, BPR, Lean and Six Sigma: Comparison and Discussion” menjelaskan bahwa total quality control merupakan sebuah sistem yang sudah dari zaman dulu dilakukan yang mengacu kepada penelitian statistik. Charini mengutip sebuah definisi tentang total quality control dari Feigenbaum (1961, p6) yang adalah seorang yang mengembangkan total quality control menjelaskan “A network of the management/control and procedure that is required to produce and deliver a product with a specific quality standard”, yang artinya sebuah jaringan manajemen/kontrol dan prosedur yang diperlukan untuk memproduksi dan mengirimkan produk dengan standar kualitas tertentu. Jaringan dalam definisi diatas menggambarkan keseluruhan proses manajemen yang terdapat dalam suatu sistem perusahaan. Jadi total quality control merupakan sebuah kontrol secara menyeluruh yang dilakukan atas prosedur-prosedur yang ada mulai dari proses awal produksi sampai pada pengiriman produk (baik barang dan jasa) tersebut untuk mencapai standar kualitas tertentu.

Blanchard dan Fabrycky (2012: 337) menjelaskan bahwa setiap kontrol sistem terdapat empat elemen dasar. Elemen-elemen tersebut adalah:

1. Suatu kondisi atau objek yang akan diamati untuk dikendalikan.

2. Alat atau metode pendeteksi untuk mengukur suatu objek atau kondisi yang akan diamati.

3. Alat pengontrol yang akan membandingkan kinerja yang terjadi dengan kinerja yang sudah direncanakan.

4. Sebuah alat/metode yang akan mengubah sistem atau objek yang berada pada luar kendali kedalam suatu kendali.

(17)

Sumber: Blanchard dan Fabrycky (2012: 338)

Gambar 2. 4 Control System Elements And Relationship 2.7 Zero Defects

Baik total quality control maupun zero defects bertujuan utnuk meminimalisir kesalahan yang terjadi sampai pada nol kesalahan. Yuri dan Nurcahyo (2013: 18-19) berpendapat bahwa zero defects berfokus pada ekspektasi manajemen dan hubungan antara manusia dan menekankan pada filosofi, motivasi, dan awareness serta memanfaatkan usulan spesifik dan teknis problem-solving.

Dari penjelasan mengenai zero defects diatas, dapat disimpulkan bahwa zero defects merupakan sebuah pendekatan dengan melakukan program-program yang ditetapkan oleh manajemen dalam fokusnya terhadap motivasi terhadap manusia (dalam hal ini karyawan-karyawan) untuk mencegah mereka melakukan kesalahan.

2.8 Total Quality Management

Manajemen kualitas total merupakan salah satu prinsip, disiplin, pendekatan kualitas yang banyak diterapkan untuk mencapai kualitas yang baik dari segala aspek perusahaan. Definisi manajemen kualitas total menurut Render dan Heizer (2011: 226) adalah “management of an entire organization so that it excels in all aspects of products and services that are important to the customer”, yang artinya pengelolaan seluruh organisasi sehingga mencapai keunggulan dalam semua aspek produk dan jasa yang penting bagi pelanggan.

Dalam pencapaian manajemen kualitas total, dibutuhkan tujuh konsep yang harus diterapkan perusahaan (Heizer dan Render, 2011: 226). Ketujuh konsep tersebut adalah:

(18)

1. Continuous improvement

Untuk mencapai manajemen kualitas total dibutuhkan proses perbaikan terus menerus yang tanpa henti meliputi manusia, peralatan, supplier, bahan baku, dan prosedur. Hal tersebut dilakukan dengan prinsip PDCA (Plan-Do-Check-Act). 2. Six sigma

Merupakan suatu pendekatan untuk meningkatkan level sigma suatu organisasi/perusahaan dengan menghemat waktu yang tidak dibutuhkan (waste), melakukan perbaikan kualitas, dan meminimalisir biaya. Pendekatan ini dilakukan dengan salah satu dari dua metode, yakni DMAIC (Define-Measure-Analyze-Improve-Control) dan DMADV (Define-Measure-Analyze-Design-Verify). 3. Employee empowerment

Dengan melakukan perluasan atau memperbesar pekerjaan karyawan dalam hal berbicara, berfikir, bertindak, mengambil keputusan terkait dengan pekerjaannya sehingga tanggung jawab dan wewenang yang ada, menjadi lebih kecil dan pekerjaan yang ada menjadi lebih singkat dan lebih cepat selesai.

4. Benchmarking

Merupakan suatu cara dalam memilih dan menerapkan suatu standar baik kinerja maupun proses yang terbaik sebagai patokan untuk diterapkan oleh perusahaan. Dalam melakukan benchmark terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan, yaitu:

1. Menentukan apa yang akan menjadi patokan.

2. Membentuk tim yang akan mengurusi benchmark tersebut. 3. Mengidentifikasi rekan kerja dalam target benchmark. 4. Mengumpulkan dan menganalisa benchmarking information.

5. Mengambil tindakan untuk mencocokan atau melebihi patokan tersebut. 5. Just-in-time (JIT)

Just-in-time merupakan sebuah konsep sistem yang didesain untuk memproduksi dan menyampaikan suatu produk baik barang maupun jasa tepat pada saat produk tersebut dibutuhkan. Hal ini ditujukan untuk menghemat waktu serta biaya yang akan timbul jika tidak dilakukannya konsep just-in-time, serta ditujukan untuk meningkatkan kualitas akibat dihilangkannya waktu serta biaya potensial.

(19)

6. Taguchi concept

Merupakan konsep yang terlahir karena adanya filosofi bahwa suatu masalah kualitas disebabkan oleh adanya jeleknya material dan proses yang ada. Genichi Taguchi membuat tiga konsep dalam taguchi concept yaitu:

1. Quality robust

Dimana produk dibangun/dibuat secara konsisten untuk memenuhi kebutuhan pelanggan meskipun dalam kondisi yang merugikan dalam proses produksi. 2. Quality loss function

Sebuah fungsi matematika yang mengidentifikasi semua biaya yang berhubungan dengan suatu kualitas yang buruk dan fungsi ini menunjukan bagaimana suatu kenaikan biaya dapat terjadi ketika suatu produk menjauhi apa yang pelanggan inginkan.

3. Target-oriented quality

Sebuah filosofi dari peningkatan kualitas terus menerus untuk membawa produk kepada apa yang dinginkan konsumen.

7. Knowledge of TQM tools

Untuk memberdayakan serta meningkatkan karyawan dan perusahaan dalam melaksanakan manajemen kualitas total, setiap bagian dari perusahaan harus dilatih dalam menggunakan teknik/alat dari manajemen kualitas total. Alat-alat dalam manajemen kualitas total tersebut dikenal dengan nama the sevent tools of TQM yang adalah:

1. Tools for generating ideas

Digunakan untuk menghasilkan ide-ide atas data yang ada. Terdiri atas check sheets, scatter diagram, dan cause-and-effect/ihikawa/fishbone diagrams. 2. Tools for organizing the data

Digunakan untuk mengorganisir/merapikan data-data yang ada sehingga lebih sistematis dalam mengidentifikasi masalah-masalah yang ada dikedepannya. Terdiri atas pareto chart, dan flow chart.

3. Tools for identifying problems

Digunakan untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang ada. Terdiri atas histogram, dan statistical process control (SPC).

(20)

2.8.1 Standard Operating Procedures (SOP)

“SOP adalah pedoman yang berisi prosedur-prosedur operasional standar yang ada di dalam suatu organisasi yang digunakan untuk memastikan bahwa setiap keputusan, langkah-langkah, atau tindakan, dan penggunaan fasilitas pemrosesan yang dilaksanakan oleh orang-orang di dalam suatu organisasi, telah berjalan secara efektif, konsisten, standar, dan sistematis” Tambunan (2008: 3).

Lebih lanjut Yuri dan Nurcahyo (2013: 134) menjelaskan bahwa Standard Operating Procedures adalah sebuah prosedur atas tata kerja yang ada didalam sebuah sistem secara tertulis.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Standard Operatiing Procedures adalah suatu pedoman prosedur tertulis didalam suatu organisasi yang mengatur segala sesuatu yang ada maupun tatacara menjadi sistematis dan sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Standar-standar ini umumnya dibuat berdasarkan diagram alir yang ada karena diagram alir menggambarkan proses-proses alur porduksi yang ada pada setiap bagian ataupun sistem sehingga segala sesuatunya menjadi teratur dan sesuai dengan aturan yang ada. Lebih lanjut Yuri dan Nurcahyo (2013: 134) menjelaskan bahwa standard operating procedure ini tidak hanya memuat alur-alur proses saja, tetapi juga termasuk didalamnya spesifikasi-spesifikasi setiap proses yang dikerjakan seperti masalah jam, bagaimana cara mengoperasikan suatu alat, apa yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum memulai suatu proses. Disamping memuat atas aturan-aturan serta prosedur wajib, standard operating procedure juga memuat aturan-aturan kontingensi/hal-hal ketidakpastian seperti apa yang harus dilakukan jika terjadi kebakaran. SOP yang bagus adalah SOP yang dirinci sedetail-detailnya dengan gambar atau foto.

Berikut ini adalah tujuh kriteria umum (The Seven Criterias of Manual) yang harus dipenuhi dalam membuat SOP menurut Tambunan (2008: 109):

1. Khas atau spesifik (Specific)

Setiap perusahaan pasti memiliki SOP yang berbeda. Walaupun perusahaan tersebut bergerak dibidang yang sama, jumlah karyawan yang sama, pasti terdapat perbedaan seperti budaya organisasi, susunan organisasi, dan sebagainya. Jika ingin menggunakan SOP dari perusahaan lain, maka harus di adaptasikan, bukan di adopsi.

(21)

Suatu SOP yang baik harus lengkap secara vertical (untuk prosedur tertentu) maupun secara horizontal (untuk semua prosedur). Prosedur yang belum lengkap tidak boleh untuk diterapkan terlebih dahulu karena akan mengakibatkan ketidakefektifan aturan yang ada.

3. Jelas dan mudah dipahami (Understandable)

Jelas dan mudah dipahami merupakan syarat yang mutlak dalam sebuah SOP. SOP yang tidak dipahami secara jelas oleh para pembacanya akan menimbulkan sebuah ambiguity dan ketidakefektifan.

4. Layak-Terap (Applicable)

Walaupun sebuah SOP sudah memenuhi tiga kriteria sebelumnya, tetap ada kemungkinan bahwa SOP tersebut tidak dalam diterapkan karena adanya ketidaksesuaian budaya maupun ada atau tidaknya dukungan dari pihak manajemen yang ada.

5. Layak-Kontrol (Controllable)

Kriteria layak kontrol ini ada untuk mendukung kriteria layak-terap. Tanpa sebuah kontrol, SOP bukanlah sebuah SOP, SOP tidak akan efektif. SOP ada untuk meningkatkan kontrol terhadap seluruh kegiatan-kegiatan yang ada dalam organisasi.

6. Layak-Audit (Auditable)

Kriteria keenam ini sangat terkait dengan kriteria kelima, audit digunakan untuk meninjau ulang kembali serta untuk mengevaluasi prosesdur-prosedur yang ada seiring dengan dilakukannya kontrol. Audit tidak hanya bersifat eksternal dan internal, tetapi juga operasional maupun audit investigative yang dilakukan oleh pihak internal dan eksternal.

7. Layak-Ubah (Changeable)

SOP memang disusun berdasarkan kebutuhan saat ini, tetapi juga harus memperhitungkan kebutuhan masa depan suatu organisasi setidaknya untuk tiga sampai lima tahun kedepan, sehingga tidak perlu untuk dilakukan revisi secara terus menerus. Perubahan akan terus ada, dan tidak ada satupun perusahaan yang mampu memprediksi perubahan tersebut secara 100%. Oleh karena itu, SOP yang disusun harus efektif dan memperhitungkan kemungkinan terjadi perubahan berdasarkan rencana jangka panjang.

(22)

2.9 Flowchart (Diagram Alir)

Berdasarkan buku yang berjudul “all about six sigma” yang dikarang oleh Brussee (2006: 60), “a process flow diagram shows the relationships among the steps in a process or the components in a system, with arrows connecting all of the elements and showing the sequence of activities”, yang artinya adalah proses diagram alir menunjukan hubungan antara langkah-langkah atau komponen dalam suatu sistem dengan tanda panah yang menghubungkan setiap elemen-elemen yang ada dan menunjukan urutan dari suatu aktifitas.

Sedangkan Hidayat (2007: 301) menjelaskan, diagram flow adalah gambaran atau ilustrasi yang mempresentasikan urutan (sequence) dari langkah-langkah proses. Sehingga diagram alir merupakan diagram yang merepresentasikan urutan dari setiap aktivitas-aktivitas mulai dari awal proses sampai dengan akhir proses yang dilakukan. Diagram ini dapat membantu para pembaca untuk dengan cepat mengidentifikasi proses-proses yang terjadi sehingga dapat dipahami dengan lebih mudah sehingga sumber-sumber kecacatan dapat diidentifikasi dengan lebih mudah.

Menurut Hidayat (2009: 300), ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada diagram alir:

1. Menyusun diagram flow berdasarkan langkah-langkah dan pentahapan proses aktual.

2. Menyusun diagram flow harus diawali dengan langkah proses awal yang sudah benar.

3. Permasalahan yang ada dalam proses sudah terpecahkan dan tersolusi dengan baik. (Perlu diperhatikan bahwa setiap ketidakakurasian akan berdampak buruk pada proses selanjutnya).

(23)

Sumber: http://www.mindtools.com/pages/article/newTMC_97.htm Gambar 2. 5 Diagram Alir

Tabel 2. 1 Simbol Diagram Alir

Simbol Penjelasan

Elongated circles, which signify the start or end of a process, yang artinya menunjukan awal dan akhir dari suatu proses.

Rectangles, which show instructions or actions, yang artinya menunjukan instruksi atau tindakan dari suatu proses.

Diamond, which show decisions that must be made, menunjukan keputusan yang harus diambil.

(24)

2.10 Check Sheet

Yuri dan Nurcahyo (2013: 63) mendefinisikan check sheet sebagai alat yang digunakan untuk mengumpulkan data serta informasi dari sebuah proses yang terjadi menjadi lebih sistematis, mudah, dan teratur. Check sheet merupakan sebuah lembaran kertas kerja yang dicetak sedemikan rupa sehingga mudah untuk digunakan dan dianalisa. Shahin, Arabzad dan Gorbani (2010) dalam jurnalnya yang berjudul “Proposing an Integrated Framework of Seven Basic and New Quality Management Tools and Techniques: A roadmap” mengatakan bahwa check sheet ini digunakan untuk memastikan bahwa solusi yang diberikan adalah efektif. Yuri dan Nurcahyo (2013: 63) mengungkapkan, terdapat empat macam check sheet, yaitu:

1. Defective item check sheet

Merupakan jenis lembar kerja pertama yang digunakan untuk mengidentifikasi jenis masalah atau cacat yang terjadi didalam proses. Lembar cek ini memiliki daftar cacat atau masalah yang mungkin terjadi dalam proses tersebut.

2. Defective location cheeck sheet

Merupakan jenis lembar kerja kedua yang digunakan untuk mengidentifikasi lokasi cacat pada produk.

3. Defective cause check sheet

Merupakan jenis lembar kerja ketiga yang digunakan untuk mencoba mengidentifikasi penyebab masalah atau cacat. Terdapat lebih dari satu variabel yang dipantau saat mengumpulkan data untuk jenis lembar cek ini.

4. Checkup confirmation check sheet

Merupakan jenis lembar kerja terakhir yang digunakan untuk memeastikan bahwa prosedur-prosedur yang ada sudah dilakukan dengan tepat dan benar. Lembar cek ini biasanya terdiri atas daftar-daftar aturan, prosedur, serta tugas yang ada.

(25)

Sumber: Heizer & Render (2011: 232)

Gambar 2. 6 Check Sheet

2.10.1 Critical to Quality (CTQ)

Terdapat sejumlah cara untuk mengukur suatu kualitas secara kritis, salah satunya dengan menggunakan critical to quality, dimana critical to quality adalah matriks yang membandingkan pengamatan proses terhadap persyaratan dari suatu proses tersebut (Pyzdek, 2009:170). Sehingga critical-to-quality merupakan suatu cara untuk mengetahui apakah suatu proses melenceng dari aturan seharusnya atau tidak. Hal ini diperlukan agar masalah-masalah dalam kualitas dapat teridentifikasi dengan baik berdasarkan perspektif konsumen seperti keterlambatan pengiriman maupun hal lainnya yang berhubungan dengan kepuasan pelanggan.

Berikut adalah langkah-langkah menggunakan tool CTQ (www.sixsigmaindonesia.com):

1. Identifikasi kebutuhan penting.

Pada tahap awal ini adalah melakukan identifikasi kebutuhan utama atau sesuatu yang penting yang harus dimiliki oleh suatu produk atau suatu proses. Untuk mengetahui kebutuhan utama ini, dapat ditempuh dengan berbagai cara seperti dengan melakukan observasi langsung maupun melalui kuesioner.

2. Identifikasi quality drivers.

Tahap berikutnya adalah identifikasi spesifikasi kualitas yang dibutuhkan untuk mencapai kebutuhan yang penting pada tahap pertama. Ini adalah faktor yang ditujukan kepada konsumen agar

(26)

konsumen berfikir bahwa produk yang ditawarkan adalah produk yang berkualitas tinggi.

3. Identifikasi requirement dari performansi.

Tahap terakhir ini adalah mengidentifikasi minimum requirement dari setiap quality drivers yang ditentukan pada tahap sebelumnya. Requirement inilah yang nantinya akan diukur sehingga dapat menghasilkan produk yang berkualitas.

Sumber: http://sixsigmaindonesia.com/ctq-tree/ Gambar 2. 7 Critical-To-Quality

2.12 Histogram

Histogram adalah alat ketiga yang terdapat dalam the seven tools of total quality management. Menurut Yuri dan Nurcahoyo (2013: 65), histogram merupakan suatu alat statistik yang digunakan untuk memberikan suatu gambaran tentang suatu proses operasi pada satu waktu. Diagram ini ditujukan untuk mengetahui penyebaran atau variasi suatu proses dalam bentuk grafis. Hasil dari grafis ini kemudian dianalisa secara deskriptif seperti nilai tertinggi, terendah, rata-rata, modus, dan sebagainya.

(27)

Sumber: Heizer & Render (2011: 232)

Gambar 2. 8 Histogram

2.13 Scatter Diagram

Alat berikutnya dalam the seven tools of quality adalah scatter diagram. Yuri dan Nurcahyo (2013: 66) menjelaskan bahwa diagram ini digunakan untuk mengetahui relasi atau hubungan/korelasi antara dua variabel, yakni variabel bebas (independent) dan variabel terikat (dependent) yang dianggap mungkin. Dari diagram ini nantinya dapat diketahui apakah hubungan tersebut bernilai positif atau negatif. Dimana jika butir-butir dalam diagram memiliki kecenderungan ke arah kanan atas berarti variabel-variabel tersebut memiliki sifat hubungan yang positif yang artinya bila variabel bebas tersebut naik, maka variabel terikat akan turun dan bila butir-butir dalam diagram tersebut memiliki kecenderungan ke arah kanan bawah berarti variabel-variabel tersebut memiliki sifat hubungan yang negatif yang artinya bila variabel bebas tersebut naik, maka variabel terikat juga akan naik.

(28)

Sumber: Heizer & Render (2011: 232) Gambar 2. 9 Scatter Diagram

2.14 Statistical Process Control (SPC)

Salah satu alat yang penting dalam six sigma adalah SPC. Berdasarkan Hidayat (2007: 301-302), terdapat beberapa dasar pertimbangan sehingga alat ini dikatakan penting, yakni:

1. Untuk penetapan perilaku proses yang sudah ada dalam formulasi pentahapan program/proyek pengembangan dan peningkatan.

2. Mendiagnosis aktivitas pekerjaan sebelum program/proyek pengembangan dan peningkatan berlangsung. Tujuannya adalah untuk mengeliminir perilaku proses yang terjadi di luar kendali (out-of-control). Pengertian perilaku proses di luar kendali dibagi menjadi dua tipe, yaitu:

1. Adverse effect; strategi untuk menghadapi perilaku proses tersebut dengan mengeliminasi penyebabnya;

2. Beneficial effect; strategi untuk menghadapi perilaku proses tersebut dengan mempertahankan stabilitas peningkatan kinerja proses.

3. Memonitor proses atas kompleksitas program/proyek pengembangan dan peningkatan:

1. Menjaga/mempertahankan nilai pencapaian (gains).

2. Pemanfaatan basis perhitungan dan pengukuran kapabilitas proses dan index tolok ukur kinerja proses (Cps dan Cpks).

(29)

Memonitor SPC dapat dilakukan dengan menggunakan diagram kontrol. Menurut Heizer dan Render (2011: 252), tujuan dari SPC ini adalah “to help distinguish between natural variations and variations due to assignable causes”, yang artinya untuk membantu membedakan variasi karena faktor alamiah/normal (terkontrol) dan variasi karena penyebab khusus (tidak terkontrol).

Lebih lanjut Yuri dan Nurcahyo (2013:43-44) menjelaskan bahwa terdapat dua jenis variasi, yakni:

1. Variasi terkontrol.

Variasi terkontrol merupakan variasi yang dapat dihilangkan atau dikurangi dengan cara melakukan perbaikan-perbaikan. Sifat dari variasi ini cenderung stabil, konsisten, dan terjadi secara alamiah. Contoh dari penyebab variasi ini adalah human error.

2. Variasi tidak terkontrol.

Sedangkan variasi tidak terkontrol merupakan variasi yang bersifat tidak stabil, tidak konsisten dan umumnya terjadi karena faktor alam dan lingkungan yang menyebabkan ketidaknormalan suatu sistem. Contoh dari penyebab variasi ini adalah kelembapan udara, hujan, dan lain-lain.

Yuri dan Nurcahyo (2013: 45-48) menjelaskan bahwa terdapat dua jenis diagram kendali berdasarkan pada jenis datanya, yakni:

1. Diagram kendali atribut

Diagam jenis ini digunakan ketika ingin diketahu apakah persyaratan atas kualitas suatu produk/barang tersebut diterima atau ditolak.

2. Diagram kendali variabel

Diagram jenis ini digunakan ketika ingin diketahui sejauh mana proses produksi sudah sesuai dengan standar desai proses yang ada. Hal ini seperti berat barang, panjang, waktu, temperatur, volt, tensil, daya tahan barang, atau karakteristik produk lainnya. Diagram jenis ini dibagi menjadi dua jenis diagram, yaitu diagram X dan diagram R dimana diagram X digunakan untuk menganalisis berapa penyimpangan rata-rata sampel dari datanya, sedangkan diagram R digunakan untuk menganalisa kisaran atau range subkelompok data.

(30)

Lebih lanjut Hidayat (2007:304) menjelaskan atribut dari diagram kontrol menjadi empat jenis yang digunakan bergantung pada situasi dan kondisi tertentu. Pembagian jenis diagram kontrol tersebut dipaparkan dalam tabel berikut ini:

Tabel 2. 2 Jenis Diagram Kontrol

Diagram Kontrol Atribut Non-conformities Unit non-conforming

Ukuran sampel konstan Diagram np Diagram c

Ukuran sampel

bervariasi

Diagram p Diagram u

Sumber: Hidayat (2007: 304)

Dimana, non-conformities merupakan bentuk dari kesalahan-kesalahan seperti lekukan, tergores yang mengakibatkan kerusakan atau kecacatan pada suatu barang. Sedangkan unit non-conforming merupakan unit/barang yang memiliki satu atau lebih ketidaksesuaian.

Lebih lanjut Andrejiová dan Kimáková (2012) dalam jurnalnya yang berjudul “The Open Sources Software “R” in the Statistical Quality Control” menjelaskan bahwa setiap diagram tersebut baik diagram np, p, c, maupun u memiliki batasan dalam kalkulasi diagram kontrolnya, yaitu Upper Control Limit (UCL) dan Lower Control Limit (LCL).

Pyzdek (2009: 224-232) menjelaskan lebih dalam mengenai masing-masing diagram, yakni:

1. Diagram p (proportion defective).

“p charts are statistical tools used to evaluate the proportion defective, or proportion nonconforming, produced by a process”, yang artinya diagram p adalah alat statistik yang digunakan untuk melakukan evaluasi proporsi dari suatu kecacatan atau adanya proporsi ketidaksesuaian dari suatu proses.

Formulasinya adalah: Garis tengah:

(31)

Batas kontrol bawah (LCL):

2. Diagram np (count of defective).

“np charts are statistical tools used to evaluate the count of defectives, or count of items nonconforming, produced by a process”, yang artinya diagram np adalah alat statistik yang digunakan untuk melakukan evaluasi jumlah dari barang cacat atau jumlah barang yang tidak sesuai dari suatu proses. Formulasinya adalah:

Garis tengah:

Batas kontrol atas (UCL):

Batas kontrol bawah (LCL):

Dimana,

3. Diagram u (average occurrences).

“u charts are statistical tools used to evaluate the average number of occurrences-per-unit produced by a process”, yang artinya diagram u adalah alat statistik yang digunakan untuk melakukan evaluasi rata-rata jumlah kejadian per-unit yang diproduksi oleh suatu proses.

Formulasinya adalah: Garis tengah:

(32)

Batas kontrol bawah (LCL):

4. Diagram c (count of occurences).

“c charts are statistical tools used to evaluate the number of occurrences-per-unit produced by a process”, yang artinya diagram c adalah alat statistik yang digunakan untuk melakukan evaluasi jumlah kejadian per-unit yang diproduksi oleh suatu proses.

Formulasinya adalah: Garis tengah:

Batas kontrol atas (UCL):

Batas kontrol bawah (LCL):

Langkah-langkah dalam membuat diagram kontrol ini adalah:

1. Menentukan batas atas (UCL) dan batas bawah (LCL) untuk setiap jenis diagram yang akan digunakan dengan formulasi diatas. Kedua perhitungan ini yang akan menjadi batasan apakah sebuah produksi dinilai berada didalam atau diluar pada batas kontrol.

2. Menentukan p-bar yang akan menjadi titik tengah dari keseluruhan kontrol produksi dengan rumus:

3. Melakukan perhitungan kapabilitas proses/kemampuan proses dengan rumus:

(33)

4. Melakukan perbandingan hasil perhitungan kapabilitas dengan perhitungan UCL dan LCL.

5. Apabila produksi berada didalam batas kontrol UCL dan LCL, maka produksi tersebut dinilai masih baik.

6. Apabila produksi berada diluar batas kontrol UCL dan LCL, maka produksi tersebut dinilai tidak baik dan perlu dilakukannya evaluasi serta pengecekan.

Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Control_chart

Gambar 2. 10 Control Chart

Evans dan Rupa (2012) dalam jurnalnya yang berjudul “Critical Success Factors for Implementing Statistical Process Control in the Software Industry” menjelaskan bahwa terdapat beberapa masalah yang menghambat implementasi dari SPC ini sehingga kurang efektif untuk dijalankan, yakni:

1. Kurangnya komitmen dan keterlibatan dari top management.

2. Kurangnya pelatihan dan edukasi dalam hal statistical process control. 3. Gagal/salah melakukan interpretasi diagram kontrol dan dalam

pengambilan keputusan.

4. Kurangnya pengetahuan mengenai karakteritik produk dan parameter/acuan suatu proses.

(34)

5. Sistem pengukuran yang tidak benar dan tidak sesuai dengan tempat kerja.

6. Kurangnya pemahaman kebutuhan pelanggan.

2.15 Diagram Pareto

Heizer dan Render (2011: 233) mengatakan bahwa diagram pareto adalah “are a method of organizing errors, problems, or defects to help focus on problem-solving efforts”, yang artinya adalah metode ngeorganisasian kesalahan, masalah, atau cacat untuk membantu fokus pada upaya pemecahan masalah. Diagram pareto diciptakan oleh Vilfredo Pareto pada abad ke 19 dan dipopulerkan oleh Joseph M. Juran ketika ia menyimpulkan sistematika dari Pareto adalah 80% masalah perusahaan yang ada disebabkan oleh 20% masalah yang ada.

Ahmed dan Ahmad (2011) dalam jurnalnya yang berjudul “An Application of Pareto Analysis and Cause-and-Effect Diagram (CED) for Minimizing Rejection of Raw Materials in Lamp Production Process” menjelaskan bahwa dengan bantuan dari diagram pareto segala jenis cacat pada daerah-daerah yang kritis dapat diprioritaskan untuk dituntaskan terlebih dahulu.

Sedangkan menurut Hidayat (2007: 299-300), mengatakan bahwa diagram pareto adalah teknik grafis sederhana yang menggambarkan relativitas dari tingkat-tingkat penting atau tidaknya berbagai permasalahan yang membedakan antara ‘vital flow’ dan ‘trivial many’, yang terfokus pada isu-isu pengembangan dan peningkatan kualitas maksimal berserta relevansinya.

Sehingga definisi dari diagram pareto adalah sebuah diagram yang membagi jenis-jenis masalah yang ada didalam suatu perusahaan dan dibentuk kedalam histogram untuk mengetahui penyebab masalah utamanya. Secara umum pareto membagi persentase masalah yang ada menjadi dua bagian yakni 20% dan 80% dimana 80% masalah yang ada disebabkan oleh 20% masalah yang ada.

Berikut adalah langkah-langkah membuat diagram pareto menurut Hidayat (2007: 300):

1. Pemilihan konsistensi yang akan diranking dan diukur (misalnya frekuensi, biaya, dan lain-lain);

2. Menyusun daftar-daftar elemen dari kiri ke kanan di atas aksis garis horizontal sebagai ukuran order;

(35)

3. Mengatur kesesuaian skala vertical pada bagian kiri dan di atas klasifikasinya;

4. Mengatur skala 0-100% di bagian kanan dan menarik garis tengah yang lebih tinggi dari garis yang tinggi, dan menggesernya pada posisi di atas basis kumulatif yang ditarik dari kiri ke kanan.

Sumber: http://lorien.ncl.ac.uk/ming/spc/spc5.htm Gambar 2. 11 Diagram Pareto

2.16 Diagram Cause-and-Effect (Fishbone)

Menurut Hidayat (2007: 301), “diagram cause-and-effect atau yang lebih dikenal dengan istilah diagram fishbone atau diagram Ishikawa digunakan untuk melihat hubungan sebab dan akibat uang ditinjau dari akar penyebab dan akar permasalahan dalam aktivitas kerja”.

Sedangkan menurut Brussee (2006:53), diagram cause-and-effect adalah diagram yang membantu mengidentifikasi variable-variabel yang menjadi penyebab suatu masalah sehingga hubungan antara permasalahan-permasalahan dapat diketahui sampai pada bagian kritisnya.

Sehingga diagram cause-and-effect dapat disimpulkan diagram yang membantu mengidentifikasi penyebab dari suatu masalah dari variabel-variabel yang ada sehingga dapet dengan mudah diketahui akar dari penyebab suatu masalah dengan bagian kepala sebagai masalah dan tulang ikan sebagai penyebab dari suatu masalah.

Berdasarkan Brussee (2006:54), terdapat enam kategori yang pada umumnya menjadi variabel yang mempengaruhi permasalahan yang ada. Enam kategori

(36)

tersebut dikenal sebagai 5M dan 1 E adalah measurements, materials, men, methods, machines, dan environtment.

Sumber: Brussee, 2006: 55

(37)

2.17 Kerangka Pemikiran

Sumber: Penulis, 2013

Gambar 2. 13 Kerangka Pikir

Kualitas Manajemen Kualitas

Zero Defects Quality Control Manajemen

Operasional

Flowchart Check Sheet Histogram

Scatter Diagram Statistical Process Control

Pareto Diagram

Fishbone Diagram

Gambar

Gambar 2. 2 Operasi Sebagai Suatu Sistem
Gambar 2. 3 Alur PDCA
Gambar 2. 4 Control System Elements And Relationship  2.7 Zero Defects
Tabel 2. 1 Simbol Diagram Alir
+7

Referensi

Dokumen terkait

Biaya produksi merupakan biaya yang terjadi untuk mengolah bahan baku menjadi produk jadi yang siap untuk dijual (Mulyadi 2000:14). Yang di maksud dengan kontrol efisiensi

yang dilakukan oleh setiap satuan kerja dalam suatu proses pembuatan suatu mesin atau alat mulai dari bahan baku hingga barang–barang jadi. Routing sheet meliputi

Masukan kontrol proses saat ini (current process control) yang merupakan deskripsi dari kontrol untuk mencegah kemungkinan sesuatu yang menyebabkan mode kegagalan dilihat

Jadi, jika prosedur pada contoh terakhir dilakukan terhadap matriks yang tidak dapat dibalik, maka pada suatu saat dalam perhitungan, satu baris bilangan nol akan

Berdasarkan pemaparan diatas jadi harga pokok produksi adalah serangkaian biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi berupa biaya bahan baku, biaya tenaga kerja

yang berarti bahwa harga pokok produksi merupakan total biaya yang terdiri dari biaya tenaga kerja langsung, bahan baku langsung dan biaya overhead produksi yang dihitung mulai

Positioner dalam suatu unit control valve memiliki fungsi yaitu untuk memastikan posisi yang benar sesuai input sinyal kontrol untuk mengirimkan permintaan membuka atau

MRP memberikan peningkatan efisiensi karena jumlah persediaan, waktu produksi,dan waktu pengiriman barang dapat direncanakan dengan lebih baik, karena ada keterpaduan