• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS BANTUAN INTERNASIONAL PADA PROGRAM CRITICAL ECOSYSTEM PARTNERSHIP FUND (CEPF) DALAM PENGEMBANGAN DAN PERLINDUNGAN HUTAN KEMASYARATAN DI DESA KAHAYYA, KABUPATEN BULUKUMBA, PROVINSI SULAWESI SELATAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "EFEKTIVITAS BANTUAN INTERNASIONAL PADA PROGRAM CRITICAL ECOSYSTEM PARTNERSHIP FUND (CEPF) DALAM PENGEMBANGAN DAN PERLINDUNGAN HUTAN KEMASYARATAN DI DESA KAHAYYA, KABUPATEN BULUKUMBA, PROVINSI SULAWESI SELATAN."

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUTAN KEMASYARATAN DI DESA KAHAYYA, KABUPATEN BULUKUMBA, PROVINSI SULAWESI SELATAN.

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Prodi Ilmu Hubungan Internasional

Oleh:

ANDI PANGERAN NASSER 45 14 023 005

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR

2020

(2)
(3)

ABSTRAK

ANDI PANGERAN NASSER. 2021. Efektivitas Bantuan Internasional Pada Program Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) dalam Pengembangan dan Perlindungan Hutan Kemasyaratan di Desa Kahayya, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Skripsi. Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Bosowa. (Dibimbing oleh Zulkhair Burhan dan Muh. Asy’ari)

Semakin tingginya tingkat kerusakan lingkungan hidup, yang diakibatkan oleh maraknya aktivitas deforestasi dan degradasi hutan. Menjadikan pembangunan lingkungan hidup menjadi suatu hal penting dewasa ini. Sejak tahun 2015, CEPF telah meyalurkan bantuan untuk perlidungan keanekaragaman hayati di Kawasan Biogeografis Wallacea, termasuk melalui program perlindungan dan pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (Hkm) di Desa Kahayya. Namun, tak jarang ditemui program bantuan internasional yang gagal mencapai tujuan yang diharapkan. Sebab, Efektifitas bantuan sangatlah bergantung dari pola hubungan yang terjalin diantara pihak pendonor dan penerima donor. Penelitian ini berfokus menganalisis efektivitas bantuan pembangunan internasional melalui program CEPF dalam Pengembangan dan Perlindungan HKm di Desa Kahayya.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yang menganalisis menggunakan 6 (enam) prinsip efektivitas bantuan internasional dengan melalui enam prinsipp yang terdiri dari (1) kepemilikan negara atas program; (2) keselarasan antara pendanaan donor dan prioritas negara; (3) harmonisasi kegiatan donor (4) perhatian pada transparansi dan akuntabilitas; (5) penyediaan dana jangka panjang yang sudah bisa diprediksi sejak awal; dan (6) pelibatan lembaga/komunitas masyarakat sipil/lokal.

Penelitian menemukan bahwa pelaksanaan bantuan pembangunan internasional, melalui program pengembangan dan perlindungan hutan kemasyarakatan di Desa Kahayya, Kabupaten Bulukumba, berjalan cukup efektif.

Dari keenam prinsip yang digunakan, terdapat empat prinsip yang telah terpenuhi, yakni kepemilikan negara atas kebijakan, keselarasan program dengan prioritas negara, upaya harmonisasi program, dan perhatian atas transparasi dan akuntabiltas, kepastian dana jangka panjang. Meski demikian, masih terdapat satu prinsip yang belum berjalan secara maksimal, yakni dan keterlibatan masyarakat dalam program.

Kata Kunci: Efektifitas Bantuan Luar Negeri, Hutan Kemasyarakatan

(4)

ABSTRACT

ANDI PRINCE NASSER. 2021. The Effectiveness of International Assistance in the Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) Program in Community Forest Development and Protection in Kahayya Village, Bulukumba Regency, South Sulawesi Province. Thesis. Bosowa University International Relations Study Program (Supervised by Zulkhair Burhan and Muh. Asy'ari).

The higher the level of environmental damage, which is caused by rampant deforestation and forest degradation activities. Making environmental development an important thing today. Since 2015, CEPF has provided assistance for the protection of biodiversity in the Wallacea Biogeographic Area, including through the Community Forest protection and management program in Kahayya Village. However, it is not uncommon for international aid programs to fail to achieve the expected goals. This is because the effectiveness of aid really depends on the pattern of relationships that exist between donors and recipients of donors. This research focuses on analyzing the effectiveness of international development assistance through the CEPF program in the Development and Community Forest protection in Kahayya Village.

This research is a qualitative research, which analyzes using 6 (six) principles of the effectiveness of international assistance through six principles consisting of (1) state ownership of the program; (2) alignment between donor funding and country priorities; (3) harmonization of donor activities (4) attention to transparency and accountability; (5) predictable long-term provision of funds from the start; and (6) involving civil society / local institutions / communities.

The study found that the implementation of international development assistance, through the community forest development and protection program in Kahayya Village, Bulukumba District, was quite effective. Of the six principles used, there are four principles that have been fulfilled, namely state ownership of policies, alignment of programs with state priorities, efforts to harmonize programs, and attention to transparency and accountability, and certainty of long-term funds. However, there is still one principle that has not worked optimally, namely and community involvement in the program.

Keywords: Effectiveness of Foreign Assistance, Community Forestry

(5)

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia- Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Efektifitas Bantuan Internasional Pada Program Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) dalam perlindungan dan pengembangan HKm di Desa Kahayya, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan dengan baik.

Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW yang telah mengantarkan manusia dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang seperti saat ini. Skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orangtua penulis, Ayahanda tercinta Andi Natsir dan Ibunda tercinta Andi Asni dan Saudara/i tercinta tercinta Saya Andi Wira Nasser dan Andi Nabila Paraja Nasser.

Penyusunan skripsi ini juga dimaksudkan untuk memenuhi sebagian syarat-syarat guna mencapai gelar Sarjana pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bosowa.

Penulis menyadari bahwa selama proses penelitian, penulis mengalami begitu banyak kendala dan halangan hingga penulisan penelitian ini tidak dapat terselesaikan tanpa dukungan dari berbagai pihak baik moril maupun materil.

Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini hingga dapat dirampungkan terutama kepada:

(6)

1) Bapak Rektor Universitas Bosowa Prof. Dr. H.M. Saleh Pallu, M.Eng.

beserta jajarannya.

2) Bapak Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bosowa Arief Wicaksono, S.Ip., M.A. beserta jajarannya.

3) Bapak Ketua Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Zulkhair Burhan, S.Ip., M.A.

4) Bapak Zulkhair Burhan, S.Ip., M.A. sebagai Pembimbing I dan Bapak Muh.

Asy’ari, S.IP., MA sebagai Pembimbing II.

5) Seluruh Staff dan Dosen Prodi Ilmu Hubungan Internasional atas segala ilmu yang telah diberikan dari semester awal hingga akhir.

6) Bapak Hj. Latinro Latunrung selaku Anggota DPR RI KOMISI VII.

7) Keluarga Besar ku di Daerah yang selalu memberi dukungan.

8) Untuk sahabat – sahabat semasa SMA serta semua yang tidak bisa saya sebutkan namanya, terimakasih saya ucapkan atas dukungan semangat nya.

9) BEM FISIP - REMISI 14: Saudara tak sedarah dalam bingkai biru kuning saya yang selalu mendukung hingga titik darah penghabisan.

10) HIMAHI - Angkatan 14: Saudara seperjuangan dari awal semester hingga akhir semester.

11) Junior BEM FISIP dan HIMAHI Universitas Bosowa.

12) Senior, Juniar saya, Keluarga Besar BEM FISIP Universitas Bosowa (‘45) dan Keluarga Besar HIMAHI Universitas Bosowa yang telah mengajarkan

(7)

arti berproses, memberi dukungan, memberi bantuan hingga do’a untuk menjadi mahasiswa yang bisa lulus pada akhirnya.

13) Teman–teman KKN Angkatan – 49 Universitas Bosowa.

14) And the last, Ms. Hikma, my love, my future and side-by side fighting partner towards all the time. The bravest woman i’ve ever known.

-Terimakasih-

ANDI PANGERAN NASSER

penulis

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... Error! Bookmark not defined.

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

LAMPIRAN GAMBAR... x

LAMPIRAN TABEL ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.LATAR BELAKANG ... 1

B.RUMUSAN MASALAH ... 9

C.TUJUAN PENELTIAN... 9

D.KEGUNAAN PENELITIAN ... 9

E.KERANGKA KONSEP ... 10

F. METODE PENELITIAN ... 12

G.RANCANGAN SISTEMATIKA PEMBAHASAN ... 13

BAB II TINJUAN PUSTAKA... 15

A.Bantuan Internasional ... 15

B.HUTAN KEMASYARATAKAN ... 21

BAB III GAMBARAN UMUM... 27

(9)

A.Profil Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) ... 27

1. Gambaran Umum Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) ... 27

2. Peran CEPF Terhadap Agenda Pembangunan Global ... 28

3. Peran CEPF di Indonesia ... 29

B.Profil Sulawesi Community Foundation (SCF) ... 33

1. Gambaran Umum Sulawesi Community Foundation (SCF) ... 33

2. Wilayah Kerja Sulawesi Community Foundation (SCF) ... 34

3. Gambaran Umum Desa Kahayaa ... 35

BAB IV PEMBAHASAN ... 38

A.Kepemilikan Kebijakan (Policy Ownership) ... 38

B.Keselarasan Antara Pendanaan Donor Dan Prioritas N egara ... 44

C.Harmonisasi Program ... 49

D.Perhatian Pada Transparansi Dan Akuntabilitas ... 53

E.Ketersediaan Dana Jangka Panjang ... 55

F. Pelibatan Lembaga/Komunitas Masyarakat Sipil/Lokal ... 57

BAB V PENUTUP ... 62

A.Kesimpulan ... 62

B.Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 68

(10)

LAMPIRAN GAMBAR

Gambar 1 Peta Desa Kahayya ... 36

Gambar 2 foto bersama narasumber ... 68

Gambar 3 foto di lokasi penelitian ... 68

Gambar 4 foto saat berdiskusi bersama narasumber ... 69

Gambar 5 foto saat melakukan wawancara ... 69

(11)

LAMPIRAN TABEL

Table 1 Rincian Kegiatan Program Strategis Pengembangan Pariwisata

Terintegrasi yang Inklusif di Kecamatan Kindang ... 41 Table 2 Sasaran Program Burung Indonesia di Desa Kahayya ... 46 Table 3 Hasil Analisis ... 47

(12)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Bantuan luar negeri merupakan satu instrumen ekonomi yang umum digunakan oleh negara yang terbilang mapan secara ekonomi atau lembaga bantuan internasional dengan tujuan membangun hubungan bilateral maupun multilateral yang lebih baik, dengan negara sedang berkembang, yang notabenenya masih menghadapi berbagai persoalan pembangunan, semisal pembangunan di badang pendidikan, kesehatan, kemanusiaan, dan yang paling muktahir ialah persoalan lingkungan hidup.

Pembangunan lingkungan hidup menjadi kian penting dewasa ini, dikarenakan semakin tingginya tingkat kerusakan lingkungan hidup, yang diakibatkan oleh maraknya aktivitas deforestasi dan degradasi hutan. Hal ini tentu berimplikasi pada peningkatan emisi gas rumah kaca, yang dalam jangka panjang dapat berdampak pada kesehatan manusia, keamanan pangan, ekonomi, menimbulkan bencana, spesies terancam punah dan kerusakan mutu lingkungan.

Mencegah degradasi hutan dan deforestasi merupakan tindakan penyelamatan lingkungan hidup dan kehidupan seluruh umat manusia. Hal itu dapat menjauhkan manusia dari dampak yang dapat timbulkan dari perubahan iklim. Dalam langkah mewujudkan ketahanan lingkungan hidup, sebuah inisiatif penyelamatan lahan kritis, berupaya bergerak memberi bantuan dana kepada

(13)

negara-negara berkembang dalam rangka mendukung pembangunan lingkungan hidup. Ialah Critical Ecosystem Partnership Fund atau disingkat CEPF adalah sebuah inisiatif Kemitraan untuk penyelamatan ekosistem kritis. Tujuan pembangunan yang ada pada program ini ialah membantu organisasi masyarakat sipil di negara-negara berkembang untuk melindungi keanekaragaman hayati dunia yang keberadaanya sedang terancam punah (CEPF, 2020).

CEPF mula-mulanya merupakan program pengembangan dari Conservation International (CI) yang berkolaborasi dengan Bank Dunia sejak tahun 2000 dan baru mulai menggelontorkan hibah pada tahun 2001. Kemitraan ini pun mulai berkembang bersama beberapa lembaga lainnya seperti, MacArthur Foundation, Global Environment Facility (GEF), Pemerintah Jepang, Badan Pembangunan Perancis, dan Uni Eropa.

Program CEPF diluncurkan untuk memberikan bantuan strategis, yang diberikan berupa dana hibah, kepada organisasi non-pemerintah dan sektor swasta lainnya untuk melindungi ekosistem vital terpilih di negara-negara anggota Bank Dunia yang telah meratifikasi konvensi Keanekaragaman Hayati.

Hal ini berangkat dari Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang digelar pada tahun 1992 mengenai Keanekaragaman Hayati (Group, 2007).

Indonesia merupakan salah satu negara anggota Bank Dunia yang telah meratifikasi konvensi keanekaragaman hayati, melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai

(14)

Kenekargaman Hayati). Sehingga Indonesia menjadi negara yang berkewajiban untuk menjaga dan melindungi lingkungan hidup, dan dalam konteks ini hutan dari upaya-upaya yang akan membahayakan lingkungan hidup itu sendiri, Seperti pembakaran hutan, penebangan liar, alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian, peternakan dan pembangunan (S., 2015)

Pemerintah Indonesia juga sudah menegaskan komitmen dan perhatiannya untuk mengatasi persoalan konservasi keragaman hayati, hal ini dapat dilihat dari berbagai upaya ratifikasi perjanjian internasional, seperti United Nations Forum on Forests (UNFF), Program Man and the Biosphere (MAB) UNESCO, Convention on Biological Diversity (CBD), dan the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Serta sejauh ini telah terdapat empat kawasan yang dijadikan sebagai wilayah konservasi di Indonesia yang ditetapkan di bawah perjanjian multilateral, salah satunya ialah kawasan Wallacea, yang berada di Nusa Tenggara dan Sulawesi.

Bahkan, Indonesia pun telah berkomitmen terhadap dua perjanjian regional yang secara signifikan mendukung konservasi keragaman hayati di Kawasan Konservasi Wallacea: Coral Triangle Initiative (CTI) (Indonesia, 2014).

Sebagai negara yang telah telah meratifikasi konvensi keanekaragaman hayati, Indonesia tentu telah menjadi sasaran implementasi dari program CEPF.

Indonesia menjalin kerjasama bersama CEPF sejak tahun 2015, tepatnya di Kawasan Biogeografis Wallacea, yang mencakup seluruh wilayah di Pulau Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Bermitra dengan Burung Indonesia yang

(15)

bertindak sebagai Regional Implementation Team (RIT) atau tim implementor dari kemitraan strategis yang berlangsung selama tahun ini, mulai dari tahun 2015 dan berakhir pada 2019 (Indonesia, Call for Letters of Inquiry No. 9 Investment in the wallacea Biodiversity hotspot request for proposals, 2016).

Sulawesi sebagai salah salah kawasan penting dan cukup besar di kawasan Wallacea, memiliki kenaekaragaman hayati yang tinggi, sebagai dampak dari sejarah pembentukannya yang terdiri dari empat lempeng yang berbeda.

Namun, sejumlah habitat satwa yang ada di dalamnya mulai terancam dan bahkan ada yang sudah kritis, akibat tingginya aktivitas perburuan dan perdagangan satwa liar (Chandra, 2016).

Pada tahun 2017, Burung Indonesia sebagai tim implementor dari program CEPF, menawarkan dukungan pembiayaaan dengan maksmial pengajuan USD 20,000, kepada organisasi masyarakat sipil (NGO) yang beroperasi di area prioritas di kawasan Wallacea untuk melakukan upaya pelestarian keanekaragaman hayati.

Penawaran tersebut kemudian disambut baik oleh pihak Sulawesi Community Foundation (SCF) selaku NGO yang telah melakukan pendampingan sejak tahun 2015 di wilayah Hutan Kemasyarakatan (Hkm) di Desa Kahayya, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini boleh dibilang sejalan dengan komitmen CEPF yang tertuang dalam Arahan Strategis dan Prioritas Investasi di kawasan Wallacea 2014-2019, yakni mendukung pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan yang dilakukan oleh masyarakat. Melalui, (1)

(16)

penerapan aturan tentang pemanfaatan sumberdaya alam, (2) pengembangan alternatif mata pencaharian sehingga tidak bergantung kepada praktek pengelolaan sumberdaya alam yang tidak berkelanjutan, dan memperluas jangakuan pasar bagi barang dan jasa yang dihasilkan oleh masyarakat setempat secara berkelanjutan, Serta (3) memberi usulan mengenai instrumen dan peraturan, serta kebijakan khusus yang dapat mengatasi hambatan terkait, melalui pengelolaan sumberdaya alam berbasis keterlibatan masyarakat yang efektif, baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional (Indonesia, 2014).

HKm Desa Kahayya merupakan kawasan perhutanan yang terletak di Area Kenakeragaman Hayati atau Key Biodiversity Area (KBA) Karaeng – Lompobattang. Satu dari 7 KBA yang ada di wilayah Sulawesi Selatan, habitat bagi tikus Lompobattang, yang merupakan satwa endemik dan hanya bisa ditemukan di kawasan Gunung Lompobattang, Kabupaten Gowa, Jeneponto, Bantaeng dan Bulukumba. Selain itu, Di KBA Lompobattang terdapat pula berbagai satwa mendapat prioritas perlindungan seperti babi rusa, anoa, monyet, dan hitam Sulawesi, serta rusa timur, satwa-satwa endemik yang hanya ditemukan di dataran tinggi dan rendah di wilayah Sulawesi bagian selatan (Chandra, 2016).

Melalui pendanaan CEPF, Sulawesi Community Foundation (SCF) menjalankan program berfokus pada pengembangan dan perlindungan hutan kemasyarakatan yang dikelola oleh kelompok tani hutan (KTH) di Desa Kahayya, guna melestarikan ekosistem dan memberikan kontribusi ekonomi pada petani

(17)

dengan melibatkan stakeholder multi pihak, dari pemerintah tingkat desa, Kabupaten, dan pihak KPH sebagai pengelola hutan di tingkat tapak (Mulyadi, 2019).

Keterlibatan berbagai stakeholder merupakan hal yang sangat vital dalam program ini. Dimana sebagian besar misi CEPF sangat berharap pada dukungan dari arah kebijakan pemerintah desa dan Rencana Kerja Umum Dan Rencana Kerja Tahunan (RKU-RKT) 4 kelompok HKM Desa Kahayya. Sementara itu, di tingkat kabupaten program ini pun berupaya bersinergi dengan Kelompok Pengelola Hutan (KPH) Jeneberang II melalui Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Pendek (RPHJPd) tahun 2019, dan Pemerintah Kabupaten Bulukumba pada Roadmap Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) berkelanjutan periode 2016 – 2021. Adapun indikator keberhasilan dalam program ini ialah:

1) Terjalinnya komitmen tertulis dalam Rencana Kerja Umum Dan Rencana Kerja Tahunan (RKU-RKT) dari keempat KTH di Desa Kahayya untuk mendukung perlindungan keanekaragaman hayati di KBA Karaeng- Lompobattang, dengan persentase keberhasilan minimal 80 %.

2) Terjalinnya dukungan tertulis dalam arah kebijakan pembangunan desa dan para pihak yang mendukung perlindungan tapak di areal Hkm Desa Kahayya, dengan persentase keberhasilan minimal 60 %.

3) Warga Desa Kahayya mengalami peningkatan penghidupan dari pengelolaan agroforestri, dengan persentase keberhasilan minimal 40 %.

(18)

4) Adanya rumusan rencangan ekowisata dan disepakati di tingkat desa diadopsi oleh pemerintah Kabupaten. dengan persentase keberhasilan minimal 20 %.

Efektifitas program ini sangat menitikberatkan pada taraf peningkatan kapasitas lembaga dan jaringan; mobilisasi sumber daya untuk kegiatan-kegiatan yang berkelanjutan; serta pembuatan kebijakan, peraturan maupun norma yang mengindahkan pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan (Indonesia, 2014).

Namun, tak jarang ditemui gagalnya sebuah program bantuan internasional mencapai capaian dan sasarannya. Semisal program REDD+ di kalimantan Timur.

Proyek yang telah menghabiskan bantuan internasional sebanyak 30 juta dollar Australia ini, ternyata tak dapat mengubah wajah Indonesia sebagai negara dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia, hanya mampu mengembalikan hutan seluas 1000 hektar di Kalimantan, padahal target awal ialah sebanyak 50.000 hektar capaian reforestasi hutan (Milne, 2012). Kegalalan ini, tentunya telah merusak kepercayaan dunia internasional terhadap komitmen indonesia dalam memerangi deforestasi. Kegalalan juga tentunya dapat memberi dampak buruk bagi masa depan program, masyarakat setepat dan masa depan lingkungan hidup.

Efektif atau tidaknya suatu bantuan internasional sangatlah bergantung dari oleh beberapa faktor bagaimana hubungan yang terjalin diantara pihak pendonor dan penerima donor. Peneltian terdahulu telah merumuskan empat hal faktor-Faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas skema bantuan

(19)

pembangunan internasional pada program prthutanan, yakni Model Program yang Dibutuhkan Masyarakat, Dukungan Aktif Pemerintah, Partisipasi Aktif Masyarakat, dan Visi Mitra Lokal/NGO (Burhan, 2016). Sementara, Wickremasinghe dan kawan-kawan, merumuskan enam indikator yang menjadi prasayarat bantuan internasional dapat berjalan secara efektif, yakni (1) kepemilikan negara atas program; (2) keselarasan antara pendanaan donor dan prioritas negara; (3) harmonisasi kegiatan donor (untuk menghindari duplikasi dan fragmentasi upaya); (4) perhatian pada transparansi dan akuntabilitas; (5) penyediaan dana jangka panjang yang sudah bisa diprediksi sejak awal; dan (6) pelibatan lembaga/komunitas masyarakat sipil/lokal (Deepthi Wickremasinghe, 2018).

Kedua penelitian di atas, secara eksplisit menjelaskan besarnya keseimbangan peran di antara pendonor dan penerima donor guna mencapai efektifitas bantuan internasional. Sebab, skema pembangunan melalui bantuan internasional juga merupakan persoalan politik internasional, dimana sudut kepentingan masing-masing pihak-pihak yang terlibat (baik penerima maupun pendonor) merupakan persoalan yang sejatinya hadir dalam persoalan ini.

Dari hal-hal yang dipaparkan di atas, maka penulis mengangkat penelitian yang penelitian yang berjudul: Efektivitas Bantuan Internasional Pada Program Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) dalam Pengembangan dan Perlindungan Hutan Kemasyaratan di Desa Kahayya, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan.

(20)

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah pada penilitian ini ialah Apakah bantuan pembangunan internasional melalui program CEPF dalam Pengembangan dan Perlindungan Hutan Kemasyaratan di Desa Kahayya, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan telah terlaksana dengan efektif?

C. TUJUAN PENELTIAN

Adapun tujuan yang dirumuskan dalam penelitian ini ialah untuk menganalisis dan mengetahui efektivitas bantuan pembangunan internasional melalui program CEPF dalam Pengembangan dan Perlindungan Hutan Kemasyaratan di Desa Kahayya, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan.

D. KEGUNAAN PENELITIAN

Adapun kegunaan dari penelitian ini sebagai berikut:

1) Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan dan bahan pemikiran tentang konsep pengukuran efektifitas bantuan internasional, khususnya bantuan internasional di bidang lingkungan hidup.

2) Secara praktis, diharapkan dapat menjadi masukan bagi lembaga donor, Organisasi Masyarakat Sipil (NGO), Pemerintah, dan berbagai pihak terkait dalam menerapkan bantuan pembangunan internasional.

3) Manfaat metodologis, hasil dari penelitian ini diharapkan memberi nilai tambah yang selanjutnya dapat dikombinasikan dengan penelitian-

(21)

penelitianilmiah lainnya, khususnya yang mengkaji tentang efektifitas bantuan pembangunan internasional.

E. KERANGKA KONSEP

Sebuah penelitian, sejatinya menggunakan serangkaian konsep yang menjadi acuan yang dapat gunakan sebagai titik bersandarnya gagasan dalam penelitan. Dalam peneltian ini akan diaraikan beberapa konsep yang menjadi kerangka dasar yang digunakan ialah bantuan pembangunan Internasional, yang merupakan salah satu instrumen ekonomi yang umum digunakan oleh negara yang terbilang mapan secara ekonomi atau lembaga bantuan internasional dengan tujuan untuk membangun hubungan bilateral maupun multilateral yang lebih baik, dengan negara sedang berkembang, yang notabenenya masih mengalami persoalan pembangunan.

Dalam buku Robert Gilpin yang berjudul “The Political Economy of International Relations” menyebutkan bantuan luar negeri dalam arti sempit yaitu bantuan luar negeri diartikan sebagai sejumlah dana yang diberikan oleh negara relatif maju atau kaya kepada negara yang secara ekonomi lebih miskin Sedangkan dalam pengertian yang luas, dijelaskan bahwa bantuan luar negeri sebagai transfer uang, sumber daya teknologi, ataupun keterampilan teknis dari negara donor ke negara penerima donor (Mahardika, 2017).

Efektif atau tidaknya bantuan internasional merupakan fokus yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini. Dalam mengukur efektifitas bantuan internasional, peneliti menggunakan konsep pengukuran bantuan

(22)

internsional yang dirumuskan oleh oleh Wickremasinghe dan kawan-kawan, yang terdiri dari:

1) Kepemilikan negara atas program

Pada konsep ini, hubungan antara pendonor dan penerima dalam penyelenggaraan program dapat ditinjau berdasarakan seberapa besar keseimbangan wewanang dan pengambilan keputusan.

2) Keselarasan antara pendanaan donor dan prioritas negara;

Pada konsep ini, efektifitas program bantuan internasional dapat ditinjau berdasarkan seberapa besar perhatian pendonor terhadap prioritas pembangunan pemerintah setempat.

3) Harmonisasi kegiatan donor

Untuk menghindari duplikasi dan fragmentasi upaya, harmonisasi antar progam pemerintah dan program bantuan internasional merupakan hal yang penting untuk ditinjau.

4) Perhatian pada transparansi dan akuntabilitas

Transparansi dan akuntabiltas merupakan prayarat paling umum dalam meninjau keseimbangan sebuah program. Tanpa keduanya hubungan diantara pendonor dan penerima bukan sebuah hubungan kerjasama yang sehat dan bertanggung jawab.

5) Penyediaan dana jangka panjang yang sudah bisa diprediksi sejak awal:

Kepastian masa depan program merupakan hal penting dimiliki oleh masyarakat setempat dalam menjalankan program. Oleh karena itu,

(23)

keberadaan dana jangka panjang menjadi hal yang penting ditinjau dalam program bantuan internasional.

6) Pelibatan lembaga/komunitas masyarakat sipil/lokal/.

Partisipasi aktif masyarakat tentulah sangat menentukan keberhasilan program bantuan internasional, sebab masyarakat adalah subjek dalam pembangunan.

Konsep ini berkembang dari sebuah studi kualitatif tiga negara, yakni India, Nigeria, dan Ethiopia yang diterbitkan pada bulan Agustus 2018, yang mengeksplorasi enam prinsip efektivitas bantuan di bidang kesehatan masyarakat. (Deepthi Wickremasinghe, 2018). Ini adalah salah satu dari sedikit studi yang telah melihat persoalan efektifitas bantuan internasional dari perspektif negara penerima, sebuah cara pandang yang sering langka dalam diskusi tentang bantuan internasional.

F. METODE PENELITIAN 1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan oleh penulis adalah Kualitatif, yaitu menggambarkan tentang efektitas bantuan internasional dalam pengembangan dan perlindungan Hutan Kemasyarakatan di Desa Kahayya, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan.

2. Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan sumber data berupa laporan-laporan dan juga terbitan Jurnal sebagai sumber primer dan

(24)

sekunder. Sumber sekunder akan diperoleh melalui surat kabar atau media massa elektronik/Internet.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian data akan dikumpulkan melalui studi pustaka. Teknik Studi Pustaka adalah cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis terutama arsip-arsip, termasuk pula buku, jurnal, maupun dokumen yang berisi pendapat, laporan, maupun teori yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

4. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini penulis akan mengganalisis data menggunakan teknik analisis kualitatif dengan mengkorelasikan atau menghubungkan sumber data-data yang diperoleh dengan unit analisis mealui konsep atau pendekatan yang penulis gunakan.

G. RANCANGAN SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Hasil penelitian dan analisis data yang dilakukan akan disusun kedalam karya tulis ilmiah (Skripsi) dengan rancangan sistematika sebagai berikut :

I. Bab Pertama, yaitu pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka konseptual, metode penelitian dan, sistematika pembahasan.

II. Bab Kedua, yaitu tinjauan pustaka yang berisi mengenai penelusuran kepustakaan dan literatur mengenai konsep Bantuan Internasional

(25)

terutama yang berhubungan dengan pengukuran efektifitas bantuan internasional, dan Konsep Hutan Kemasyarakatan.

III. Bab Ketiga, yaitu gambaran umum mengenai objek penelitian, yakni pembahasan tentang Latar Belakang Program Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) dalam Pengembangan dan Perlindungan Hutan Kemasyarakatan di Desa Kahayya, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan.

IV. Bab Keempat, yaitu analisis pembahasan hasil penelitian mengenai Efektifitas bantuan internasional dalam pengembangan dan perlindungan Hutan Kemasyarakatan di Desa Kahayya, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan.

V. Bab Kelima, yaitu penutup yang berisi kesimpulan dan saran mengenai objek penelitian.

(26)

BAB II

TINJUAN PUSTAKA A. Bantuan Internasional

1. Pengertian Bantuan Internasional

Bantuan luar negeri atau bantuan pembangunan Internasional merupakan salah satu instrumen ekonomi yang umum digunakan oleh negara yang terbilang mapan secara ekonomi atau lembaga bantuan internasional dengan tujuan untuk membangun hubungan bilateral maupun multilateral yang lebih baik, dengan negara sedang berkembang, yang notabenenya masih menghadapi berbagai persoalan pembangunan.

Bantuan pembangunan Internasional adalah sebuah skema yang telah lama berlangsung, yakni sejak berakhirnya Perang Dunia II. Sebagian besar bantuan ini berupa barang dan jasa, atau bantuan dana hibah. Tujuannya pun sangat bergantung dari capaian pembangunan yang dirumuskan oleh pihak pendonor (John Degnbol, 2003).

Bantuan pembangunan Internasional atau bantuan luar negeri merupakan salah satu bentuk instrumen kebijakan pemerintah di bidang hubungan luar negeri. Secara umum, bantuan luar negeri adalah bantuan yang diberikan dari negara pendonor kepada negara penerimabaik dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, serta kemanusiaan. Pengertian bantuan luar negeri dapat dilihat dengan pengertian secara sempit dan secara luas.

(27)

Dalam buku Robert Gilpin yang berjudul “The Political Economy of International Relations” menyebutkan bantuan luar negeri dalam arti sempit yaitu bantuan luar negeri diartikan sebagai sejumlah dana yang diberikan oleh negara relatif maju atau kaya kepada negara yang secara ekonomi lebih miskin Sedangkan dalam pengertian yang luas, dijelaskan bahwa bantuan luar negeri sebagai transfer uang, sumber daya teknologi, ataupun keterampilan teknis dari negara donor ke negara penerima donor (Mahardika, 2017).

2. Pengukuran Efektifitas Bantuan Internasional

Bantuan luar selanjutnya menjadi isu yang cukup krusial, lantaran Isu lantaran munculnya banyak laporan tentang berbagai usaha bantuan luar negeri dalam upaya pembangunan yang menuai kegagalan, terutama di walayah Afrika dan Asia Selatan. Sehingga dalam perkembangannya, isu terkait pengukuran terhadap efektititas bantuan internasional (Aid Effectiveness) menjadi isu yang cukup penting.

Salah satu organisasi yang berkomitmen menangani masalah bantuan internasional adalah Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), yang pada tahun 2005, OECD menginisiasi pertemuan Paris Declaration on Aid Effectiveness. Pertemuan yang kemudian melahirkan lima prinsip pengukuran efektifitas bantuan internasional (aid effectiveness), yakni, Kepemilikan Kebijakan (Policy Ownership), Keselarasan Lokal (Local Alignment), Harmonisasi (Harmonization), dan Pengelolaan Berbasis Hasil Pembangunan

(28)

(Managing For Results), Pertanggungjawaban Bersama (Mutual Accountability) (OECD, 2020).

1) Kepemilikan Kebijakan (Policy Ownership), yang mengharuskan bagi negara berkembang untuk memiliki kebijakan dan strategi pembangunannya sendiri, serta mengelola usaha pembangunan mereka di lapangan.

2) Keselarasan Lokal (Local Alignment), yang mengharapkan bagi para pendonor untuk memberikan bantuan yang sesuai dengan persoalan dan kebijakan yang telah dirumuskan di negara penerima donor atau negara berkembang, dan bahkan jika memungkinkan, bantuan harus selalu memprioritaskan komunitas atau institusi lokal dalam pengelolaan bantuan tersebut.

3) Harmonisasi (Harmonization), yang mewajibkan bagi pihak pendonor untuk melakukan koordinasi dalam memberi bantuan kepada negara berkembang yang menjadi penerima donor tersebut, agar bantuan tersebut tidak tumpang tindih, bahkan malah menyusahkan atau memperumit pemerintah negara penerima bantuan.

4) Pengelolaan Berbasis Hasil Pembangunan (Managing For Results), yang mewajibkan semua pihak yang berpartisipasi dalam bantuan untuk mengutamakan dan memperhatikan hasil dari bantuan tersebut, tidak hanya sekedar penyaluran teknis, melainkan mengembangkan metode, alat dan mekanisme untuk mengetahui apakah bantuan tersebut benar-benar memiliki hasil yang positif bagi kehidupan masyarakat penerima.

(29)

5) Pertanggungjawaban Bersama (Mutual Accountability), para donor dan negara berkembang harus mempertanggungjawabkan penggunaan dana dan pelaksanaan bantuan secara transparan satu sama lain, kepada masyarakat, serat parlemen, mengenai dampak dan hasil dari bantuan tersebut.

Beberapa tahun setelah paris declaration sejumlah pihak berpendat bahwa bantuan internasional seharusnya dapat menghasilkan dampak yang lebih baik. Paris declaration diakui telah berhasil membangun upaya agar pembangunan dapat berlangsung secara efektif. Namun, pada tahun 2008, pemangku kepentingan berupaya untuk merumuskan ulang konsep pengukuran efektifitas bantuan internasioanal, dengan lebih memperhatikan kepentingan dari berbagai pihak yang bekerja pada bidang bantuan dan pembangunan.

Termasuk mempertimbangkan dari kondisi dan situasi yang dihadapi oleh negara penerima donor. Sehingga pada tahun 2008, terselengaranya konferensi bantuan internasional yang bertajuk Accra Agenda for Action (AAA), yang mendesain ulang konsep pengukuran efektifitas bantuan internasional, dengan mengusulkan empat prinsip (OECD, 2007), sebagai berikut:

1) Kepemilikan Negara

Negara penerima bantuan diharapkan memiliki lebih banyak suara atas proses pembangunan, melalui partisipasi yang lebih luas dalam perumusan kebijakan pembangunan, kepemimpinan (melalui koordinasi) yang lebih kuat, dan sebisa mungkin program bantuan internasional lebih banyak menggunakan cara kerja yang digunakan oleh negara penerima.

(30)

2) Kemitraan inklusif

Pada prinsip ini, seluruh pihak, pemerintah, donor, yayasan, kelompok non pemerintah, masyarakat sipil, termasuk Komite Bantuan Pembangunan OECD diharapkan berpartisiasi penuh terhadap penyaluran dan penyelenggaran program bantuan.

3) Memberikan hasil

Pada prinsip ini, pengukuran efektifitas bantuan diharap berfokus pada pada pengukuran dampak secara nyata dan terukur.

4) Pengembangan kapasitas

Prinsip ini memfokuskan perhatianya pada upaya bantuan pembangunan dalam mendorong kemampuan negara penerima untuk mengelola masa depan mereka sendiri.

Pada tahun 2011, konsep pengukuran bantuan internasional kembali memperoleh perhatian dunia. Pada forum ini transparasi dan akuntabilitas dalam proses kemitraan menjadi isu yang berupaya untuk dibahas secara mendalam, guna mewujudkan bantuan internasional yang efektif. Sehingga dibentuklah konferensi bantuan intenasional yang bertajuk Busan Partnership for Effective Cooperation, yang secara khusus menyoroti serangkaian prinsip (OECD, 2011), yakni:

(31)

1) Keselarasan terhadap prioritas pembangunan

Pada prinsip ini, bantuan pembangunagan diharapkan dapat memiliki keterkaitan dengan agenda pembangunan yang dimiliki oleh negara penerima donor.

2) Berfokus pada Hasil dan Dampak Berkelanjutan

Penyaluran bantuan internasional diharapkan dapat memberi dampak yang berkelanjutan, serta dapat mendorong pembuatan kebijakan pembangunan di negara penerima bantuan.

3) Mendorong Kemitraan Berkelanjutan

Penyelenggaran bantuan pembangunan diharapkan berorientasi pada partisipasi penuh semua aktor, serta mengakui keragaman dan saling melengkapi fungsi mereka satu sama lain.

4) Transparansi dan Akuntabilitas Bersama

Pada prinsip ini proses kemitraan pembangunan dituntut untuk senatiasa mengedepankan transparansi dan bertanggung jawab kepada semua pihak, termasuk masyarakat setempat.

Bentuk-bentuk skema pengukuran bantuan pembangunan internasional yang telah dirumuskan di tiga forum tersebut, kemudian mendorong Wickremasinghe dan kawan-kawan untuk merumuskan konsep pengukuran yang mengacu pada beberapa konsep yang sudah ada. Melalui studi kualitatif tiga negara, yakni India, Nigeria, dan Ethiopia yang diterbitkan pada bulan Agustus 2018, Wickremasinghe dan kawan-kawan mengeksplorasi enam prinsip

(32)

efektivitas bantuan, yakni (1) kepemilikan negara atas program; (2) keselarasan antara pendanaan donor dan prioritas negara; (3) harmonisasi kegiatan donor (untuk menghindari duplikasi dan fragmentasi upaya); (4) perhatian pada transparansi dan akuntabilitas; (5) penyediaan dana jangka panjang yang sudah bisa diprediksi sejak awal; dan (6) pelibatan lembaga/komunitas masyarakat sipil/lokal (Deepthi Wickremasinghe, 2018). Konsep merupakan satu dari sedikit studi yang telah melihat persoalan efektifitas bantuan internasional dari perspektif negara penerima, sebuah cara pandang yang sering langka dalam diskusi tentang bantuan internasional.

B. HUTAN KEMASYARATAKAN 1. Pengertian Hutan Kemasyarakatan

Di Indonesia sendiri, salah satu bentuk dari paradigma pembangunan berkelanjutan di bidang kehutanan, ialah peralihan prinsip dari forest to state menjadi forest to people. Dalam prinsip ini, ini pembangunan kehutanan adalah dapat dikatakan berhasil jika dapat mewujudkan kelestarian hutan sebagai sistem penyangga hidup manusia dan nagara, menguatkan ekonomi rakyat, mendukung perekonomian negara bagi kesejahteraan rakyat, serta meningkatkan keterliabatan masyarakat dalam usaha pembangunan kehutanan.

Salah satu upaya pokok pembangunan kehutanan ialah memberikan kesempatan bagi manusia-manusia di dalam atau di sekitar hutan untuk ikut serta mengelola dan terlibat dalam pembangunan kehutanan melalui

(33)

perhutanan sosial, terutama bagi mereka yang berada di dalam kawasan hutan sosial yang berupa kegiatan Hutan Kemasyarakatan (HKm).

Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara yang ditujukan untuk memberdayakan masyarakat yang tinggal diskitar kawasan hutan.

Pemberdayaan masyarakat sekitar adalah upaya untuk mendongkrak kemampuan dan kemandirian masyarakat agar dapat memperoleh manfaat sumber daya hutan secara berkualitas dan adil melalui pengembangan kapasitas, keterampilan, dan aksesibiltas dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat (Permenhut, 2014).

HKm ditujukan atau bisa dimanfaatkan oleh masyarakat petani di sekitar kawasan hutan, yang memiliki ketergantungan pada kawasan hutan tersebut dengan sistem pendekatan areal kelola/hamparan kelola. Dalam hal ini, HKm memberikan kepastian hukum atas status lahan kelola bagi masyarakat yang membutuhkannya. HKm juga bertujuan agar hutan lestari, masyarakat sejahtera.

Makna hutan lestari, adalah melalui pola-pola pengelolaan di lahan HKm, diharapkan dapat tetap menjaga kelestarian hutan dan meningkatkan pembaikan fungsi hutan. Dalam HKm, kelompok tani diharuskan menanam tanaman dengan sistem MPTS (Multi Purpose Trees Species). Manfaat penerapan sistem tanam yang multi-guna seperti ini diharapkan dapat dinikmati oleh masyarakat sehingga meningkatkan kesejahteraan hidup mereka melalui keanekaragaman hasil dari tanaman yang ditanam di lahan HKm.

(34)

HKm tidak bisa mengubah status dan fungsi kawasan. Pola penguasaan lahan dalam HKm bukan berarti memiliki dan mensertifikatkan lahan menjadi hak milik. Sistem penguasaan yang diizinkan adalah mengelola kawasan hutan negara dengan segala pemanfaatannya. Penguasaan lahan dalam HKm tidak dapat diperjualbelikan, tidak bisa dipindah tangankan dan tidak bisa digunakan.

Hal ini untuk mencegah lahan HKm jatuh kepada orang-orang yang tidak tepat.

Pada kasus pengalihan penguasaan lahan antar sesama anggota di dalam kelompok dan/atau keluarga (anak dan saudara kandung), dapat dilakukan, dengan terlebih dahulu melalui musyawarah dan persetujuan kelompok (Nurka Cahyaningsih, 2006).

2. Prinsip dan Tujuan Hutan Kemasyarakatan

Dalam Peraturan Menteri Kehutanan No P.88/Menhut-II/2014, Pasal 2 menyatakan bahwa prinsi-prinsip dari Hkm yaitu:

a. Tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan.

b. Pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dapat dilakukan dari hasil kegiatan penanaman.

c. Mempertimbangkan keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya.

d. Menumbuhkembangkan keanekaragaman komoditas dan jasa.

e. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan.

f. Memerankan masyarakat sebagai pelaku utama.

g. Adanya kepastian hukum.

(35)

h. Transparansi dan akuntabilitas publik.

i. Partisipatif dalam pengambilan keputusan.

Sedangkan maksud dari diadakannya Hkm adalah untuk pengembangan kapasitas dan pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat.

Sementara itu, HKm bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup.

Adapun manfaat dari hutan kemasyarakatan dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu bagi masyarakat, pemerintah, dan bagi hutan itu sendiri (Cahyaningsih, 2006:8). Dengan uraian sebagai berikut:

a. Manfaat HKm untuk masyarakat, meliputi:

1) Memberi izin kelola HKm, guna memberi kepastian hak akses bagi mereka yang turut mengelola kawasan hutan. Masyarakat atau kelompok tani HKm menjadi pasti untuk berinvestasi dalam kawasan hutan melalui reboisasi swadaya mereka.

2) Menjadikan sumber mata pencarian dengan memanfaatkan hasil dari kawasan hutan. Keanekaragaman tanaman yang diwajibkan dalam

(36)

kegiatan HKm menjadikan kalender musim panen petani menjadi padat dan dapat menutupi kebutuhan sehari-hari rumah tangga petani HKm.

3) Menjadikan kegiatan pengelolaan HKm yang juga menjaga sumber- sumber mata air dengan prinsip lindung, berdampak pada terjaganya ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan rumah tangga dan kebutuhan pertanian lainnya.

4) Adanya jalinan hubungan yang dialogis dan harmonis dengan pemerintah dan pihak terkait lainnya. Diskusi-diskusi dan komunikasi yang dibangun dan dilakukan melalui kegiatan HKm telah menghasilkan komunikasi yang baik dan harmonis antar para pihak, yang dulu merupakan sesuatu hal yang jarang ditemukan.

5) Adanya peningkatan pendapatan non tunai (berbentuk barang) dalam bentuk pangan dan papan.

b. Manfaat HKm untuk pemerintah, meliputi:

1) Kegiatan HKm memberikan sumbangan tidak langsung oleh masyarakat kepada pemerintah, melalui rehabilitasi yang dilakukan secara swadaya dan swadana.

2) Adanya peningkatan pendapatan pemerintah daerah untuk pembangunan hutan lestari masyarakat sejahtera.

3) Kegiatan teknis di lahan HKm, yang mewajibkan kelompok melakukan penerapan pengolahan lahan berwawasan konservasi (menerapkan

(37)

terasiring, guludan, dll), dan melakukan penanaman melalui sistem MPTS, membawa pembaikan pada fungsi hutan.

4) Kegiatan HKm berdampak kepada pengamanan hutan (menurunkan penebangan liar (illegal logging), kebakaran hutan, dan perambahan hutan). Kegiatan pengamanan hutan tersebut, tercantum dan merupakan bagian dari program kerja masing-masing kelompok HKm.

5) Terlaksananya tertib hukum di lahan HKm (berdasarkan aturan dan mekanisme kerja kelompok).

c. Manfaat HKm terhadap fungsi hutan dan restorasi habitat, meliputi:

1) Terbentuknya keaneka-ragaman tanaman.

2) Terjaganya fungsi ekologis dan hidro-orologis, melalui pola tanam campuran dan teknis konservasi lahan yang diterapkan.

3) Terjaganya blok perlindungan yang dikelola oleh kelompok pemegang izin HKm, yang diatur melalui aturan main kelompok.

4) Kegiatan HKm juga menjaga kekayaan alam flora dan fauna yang telah ada sebelumnya, beserta habitatnya.

(38)

BAB III

GAMBARAN UMUM A. Profil Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF)

1. Gambaran Umum Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF)

Critical Ecosystem Partnership Fund atau disingkat CEPF adalah sebuah inisiatif Kemitraan untuk penyelamatan ekosistem kritis. Tujuan pembangunan yang ada pada program ini ialah membantu organisasi masyarakat sipil di negara- negara berkembang untuk melindungi keanekaragaman hayati dunia yang keberadaanya sedang terancam punah (CEPF, 2020).

CEPF mula-mulanya merupakan program pengembangan dari Conservation International (CI) yang berkolaborasi dengan Bank Dunia sejak tahun 2000 dan baru mulai menggelontorkan hibah pada tahun 2001. Kemitraan ini pun mulai berkembang bersama beberapa lembaga lainnya seperti, MacArthur Foundation, Global Environment Facility (GEF), Pemerintah Jepang, Badan Pembangunan Perancis, dan Uni Eropa.

Program CEPF diluncurkan untuk memberikan bantuan strategis, yang diberikan berupa dana hibah, kepada organisasi non-pemerintah dan sektor swasta lainnya untuk melindungi ekosistem vital terpilih di negara-negara anggota Bank Dunia yang telah meratifikasi konvensi Keanekaragaman Hayati.

Hal ini berangkat dari Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang digelar pada tahun 1992 mengenai Keanekaragaman Hayati (Group, 2007).

(39)

2. Peran CEPF Terhadap Agenda Pembangunan Global

Sejak mulai memberikan hibah pada tahun 2001, CEPF melalui penerima hibah telah memberikan kontribusi yang signifikan untuk menjaga hotspot keanekaragaman hayati, mengembangkan mata pencaharian berkelanjutan bagi masyarakat lokal, dan memperkuat kepemimpinan konservasi lokal. Dengan data sebagai berikut:

1) CEPF telah meyalurkan bantuan senilai 242 juta dollar Amerika kepada seluruh penerima hibah;

2) CEPF telah menjangkau sebanyak 2,408 penerima hibah, yang tersebar di 98 negara dan wilayah;

3) CEPF secara nyata telah mendukung upaya perlindungan terhadap 882 spesies yang terancam punah.

4) Melalui penerimah hibah, CEPF telah juga telah berkontribusi pada penciptaan 15,3 juta hektar kawasan lindung.

5) CEPF telah memberi tunjangan tunai kepada 58.000 orang lebih dan 137.000 orang lebih pelatihan untuk meningkatkan nutrisi, memperluas produksi pertanian, dan mencapai peningkatan lainnya.

Beberapa capaian tersebut kemudian menghasilkan kontribusi yang berharga untuk pencapaian tujuan pembangunan internasional terkait lingkungan, kemiskinan, dan pembangunan berkelanjutan. Dimana melalui penerima bantuan, CEPF telah banyak mendorong pemerintah setempat untuk

(40)

memenuhi komitmen terhdap perjanjian internasional, seperti Konvensi Keanekaragaman Hayati, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB, Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), dan Konvensi PBB untuk Memerangi Desertifikasi (UNCCD) ).

3. Peran CEPF di Indonesia

Di Indonesia, CEPF telah berkomitmen untuk menjaga dan mengembangkan ekosisten di kawasan Wallacea, sejak tahun 2013. Wilayah Wallacea meliputi pulau-pulau Indonesia di timur Bali dan di barat Papua (Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara). CEPF memilih Wallacea karena keanekaragaman hayati dan sumber daya alamnya yang kaya terancam oleh konversi, eksploitasi berlebihan dan spesies invasif.

Pada sasaran ini, CEPF menyalurkan sebanyak bantuan hibah sebanyak 5 juta Dollar Amerika atau sebanyak 50 miliar Rupiah, selama lima tahun, yang diberikan kepada organisasi masyarakat sipil untuk erlibat dalam kegiatan konservasi. Dengan menunjuk Burung Indonesia, sebagai koordinator pelaksana.

Pada tahun 2017, Burung Indonesia sebagai koordinator implementor dari program CEPF, menawarkan dukungan pembiayaaan dengan maksmial pengajuan USD 20,000, kepada organisasi masyarakat sipil (NGO) yang beroperasi di area prioritas di kawasan Wallacea untuk melakukan upaya pelestarian keanekaragaman hayati. Penawaran tersebut kemudian disambut baik oleh pihak Sulawesi Community Foundation (SCF) selaku NGO yang telah melakukan pendampingan sejak tahun 2015 di wilayah Hutan Kemasyarakatan

(41)

(Hkm) di Desa Kahayya, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini boleh dibilang sejalan dengan komitmen CEPF yang tertuang dalam Arahan Strategis dan Prioritas Investasi di kawasan Wallacea 2014-2019, yakni mendukung pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan yang dilakukan oleh masyarakat. Melalui, (1) penerapan aturan tentang pemanfaatan sumberdaya alam, (2) pengembangan alternatif mata pencaharian sehingga tidak bergantung kepada praktek pengelolaan sumberdaya alam yang tidak berkelanjutan, dan memperluas jangakuan pasar bagi barang dan jasa yang dihasilkan oleh masyarakat setempat secara berkelanjutan, Serta (3) memberi usulan mengenai instrumen dan peraturan, serta kebijakan khusus yang dapat mengatasi hambatan terkait, melalui pengelolaan sumberdaya alam berbasis keterlibatan masyarakat yang efektif, baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional (Indonesia, 2014).

Program ini berfokus pada pengelolaan dan perlindungan hutan kemasyarakatan yang dikelola oleh kelompok tani hutan agar dapat memberikan layanan ekosistem dan memberikan kontribusi ekonomi pada petani dengan melibatkan stakeholder multi pihak, dari pemerintah tingkat desa, Kabupaten, dan pihak KPH sebagai pengelola hutan di tingkat tapak. Dalam implentasi SCF program ini bertajuk “Pengelolaan dan Perlindungan KBA KARAENGLOMPOBATTANG melalui Internalisasi kebijakan dan penguatan kapasitas Parah Pihak (Desa, HKM, Pemda dan KPH)” berlokasi di Desa Kahayya, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan.

(42)

Program ini melakukan pendataan pada kelompok tani hutan dengan menggali informasi terkait pemanfaatan lahan berdasarkan komoditi yang mereka kembangkan. Saat ini kelompok tani hutan dan petani lainnya di Desa Kahayya mengembangkan komoditi kopi sebagai tanaman utama. Sebagai desa yang posisinya berada di dataran tertinggi Kabupaten Bulukumba sekitar 1.200 Mdpl, desa Kahayya merupakan desa yang memberikan layanan ekosistem utamanya sumber air baku untuk Kabupaten Bulukumba secara umum.

Melalui tanaman kopi, masyarakat desa Kahayya utamanya kelompok tani hutan yang telah memperoleh izin pengelolaan Hkm (hutan kemasyarakatan) secara tidak langsung akan menanam beragam jenis tanaman tegakan sebagai pohon pelindung untuk kopi. Sehingga fasilitasi penyediaan rumah bibit kopi menjadi aktivitas penting dalam mendorong masyarakat desa Kahayya dalam memberi kontribusi untuk pengelolaan dan perlindungan tapak di sekitar wilayah pegunungan Lompobattang.

Di awal proyek, tim program melakukan sosialisasi proyek kepada para stakeholder di tingkat kabupaten, desa dan KPH, dan kelompok tani tentunya, untuk meraih dukungan program sehingga dapat terjalin kerja sama yang aktif antara multi pihak. Dengan demikian fasilitasi yang akan dikerjakan kemudian dapat dengan mudah bersinergi dengan pengampu kebijakan di level desa, Kabupaten, dan KPH. Bagi pihak pemerintah desa, program pengelolaan dan perlindungan tapak merupakan program yang berkesesuaian dengan arah kebijakan desa untuk memberikan layanan ekosistem yang baik bagi wilayah

(43)

sekitarnya dan Bulukumba secara umum. Baik melalui pendekatan ekowisata maupun produk hasil hutan alam seperti Kopi dan Madu.

Pada tingkat Kabupaten, pengelolaan dan perlindungan tapak juga bersinergi dengan Roadmap pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan di mana Desa Kahayya juga merupakan wilayah intervensi untuk daerah hulu.

Sementara bagi pihak KPH, sebagai kesatuan pengelolaan hutan di tingkat tapak merupakan lembaga yang baru terbentuk setelah dimekarkan dari KPH Jeneberang model yang meliputi 7 kabupaten. Sehingga sinergitas program menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan secara bersama-sama dalam mendorong pengelolaan dan perlindungan kawasan yang lebih baik.

Secara umum visi utama dari proyek ini adalah mendorong masyarakat dalam upaya pengelolaan dan perlindungan kawasan Karaeng-Lompobattang, dan Desa Kahayya secara khusus, yang didukung oleh kebijakan dari level desa, Kabupaten, hingga KPH, utamanya melalu peningkatan pengelolaan tanaman Kopi dan pengelolaan ekowisata. Dengan demikian selain menjaga kelestarian lingkungan, kontribusi ekonomi bagi masyarakat sekitar juga dapat dinikmati.

Sehingga program ini juga memberikan peluang untuk mengampanyekan produk kopi Kahayya sebagai kopi perhutanan sosial yang merupakan salah satu praktik baik dalam mengelola hutan.

(44)

B. Profil Sulawesi Community Foundation (SCF)

1. Gambaran Umum Sulawesi Community Foundation (SCF)

SCF (Sulawesi Community Foundation) adalah lembaga swadaya berbasis masyarakat (LSM) yang bekerja lebih banyak pada isu-isu lingkungan.

SCF memiliki fokus utama untuk mendorong masyarakat lokal di seluruh Sulawesi. Kerja SCF memperkuat hak–hak masyarakat dan akses pada pengelolaan sumber daya alam. SCF mengadvokasi kebijakan-kebijakan yang dapat memperkuat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan dan memperluas jangkauan hutan kemasyarakatan (termasuk hutan desa dan hutan adat).

Pada awal pendiriannya tahun 2006, Wilayah kerja SCF meliputi Wilayah Kepulauan Sulawesi, yang secara administrative terbagi dalam 6 propinsi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo dan Sulawesi Utara). Pada Rapat Forum Jaringan Sulawesi tahun 2015, wilayah kerja Sulawesi Community Foundation ditetapkan meliputi seluruh wilayah Indonesia khususnya Indonesia bagian Timur.

Adapun visi yang dibangun oleh SCF ialah “Masyarakat Sulawesi Mandiri dan Sejaterah dalam Pengurusan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan”.

Sementara misi yang dibangun oleh SCF ialah

1) Memperkuat kapasitas dan tata kelola Sulawesi Community Foundation untuk kemandirian keberlanjutan organisasi.

(45)

2) Mengembangkan kapasitas para pihak dalam pewujudan kelestarian dan kesejahteraan masyarakat.

3) Meningkatkan hak-hak dasar, keadilan gender dan masyarakat marginal dalam pengelolaan Sumber daya alam berkelanjutan.

4) Mendukung usaha pengembangan usaha komunitas.

5) Meningkatkan kerjasama dan kolaborasi strategis dengan multi pihak yang berbasis pada Sumber daya alam berkelanjutan khususnya isu perubahan iklim, redd+ dan energy terbarukan.

2. Wilayah Kerja Sulawesi Community Foundation (SCF)

Wilayah kerja Wilayah kerja SCF meliputi seluruh kepulauan Sulawesi yang secara administratif terbagi dalam 6 propinsi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo dan Sulawesi Utara).

Dalam menjalankan mandatnya wilayah kerja SCF dibagi berdasarkan administrasi pemerintah propinsi, pada masing masing wilayah propinsi SCF memiliki mitra Strategis yang tergabung dalam jaringan atau forum.

Pulau Sulawesi dipilih karena pulau ini memiliki kekayaan potensi sumber daya alam, yang apabila dikelola secara baik akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat yang mendiaminya. Namun, ironisnya, menurut berbagai catatan yang menegaskan bahwa Hutan Sulawesi mengalami kerusakan rata-rata 270.171 ha/tahun selama kurun waktu 1985-1997. Sehingga salah satu solusi terbaik atas problem tersebut adalah memberi ruang akses yang memadai pada masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam (PSDA) secara adil dan lestari.

(46)

Dalam upaya mewujudkan SCF berupaya untuk membangun komitmen di antara semua pihak, baik masyarakat, pemerintah, pengusaha, LSM, media massa maupun perguruan tinggi. Hal tersebut kemudian mendorong SCF untuk merumuskan tiga strategi utama, yakni:

1) Penggalangan dan Pengelolaan Dana;

2) Fasilitasi dan Memperkuat Networking; dan 3) Dukungan Pendanaan Hibah.

3. Gambaran Umum Desa Kahayaa

Desa Kahayya merupakan desa Pemekaran dari Desa Kindang Kecamatan Kindang yang baru diresmikan pada bulan Juni tahun 2012. Sebagai desa pemekaraan, desa Kahayya masih dililit berbagai persoalan mendasar diantaranya adalah sarana transportasi/aksesibilitas menuju desa Tersebut.

Seluruh wilayah Desa Kahayya dahulunya berada dalam kawasan hutan lindung. Masyarakat mengklaim bahwa lahan garapanya adalah milik nenek moyang sejak zaman belanda dan kerajaan Sultan Alauddin. Lahan garapan tersebut diwariskan secara turun temurun hingga saat ini. Sedangkan masyarakat baru mulai membayar pajak (PBB) di Tahun 1991.

Awal mula proses envlace terjadi pada tahun 1996, dimana dilakukan pengukuran untuk proses enclave di Desa Kahayaa. Total luasan yang telah di enclave di desa tersebut berdasarakan data kehutanan seluas 241 ha. Menurut keterangan kepala Desa Kahayya Abdul Rahman bahwa kurang lebih luasan yang

(47)

di-enclave untuk pemukiman saat itu seluas 14.68 ha dan sisanya adalah untuk lahan pertanian, peternakan, perkebunan serta sarana prasana Desa.

Gambar 1 Peta Desa Kahayya

Hasil enclave yang dilakukan tahun 1996 tersebut tidak semuanya mengcover wilayah desa. Sedangkan sebagian besar lahan pertanian masyarakat masih bertatus hutan Negara, hal serupa juga dikemukakan Kepala Desa Kahayya ABD RAHMAN.

Berdasarkan administrasinya, Desa Kahayya yang terdiri atas 3 Dusun yaitu dusun Tabuakkang, Dusun Gamaccaya dan Dusun Kahayya sebagai ibu kota Desa berada pada ketinggian 700 - 1.800 mdpl. Akses menuju desa kahaya dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan Roda 2 dan berjalan kaki dengan waktu tempuh kurang lebih 2 jam dari batas desa.

(48)

Jumlah penduduk desa Kahayya 1.245 Jiwa atau 314 KK yang tersebar di dusun Gamaccayya 348 jiwa (81KK), dusun Tabuakkang 501 Jiwa (130 KK) dan dusun Kahayya 396 Jiwa (103 KK) yang menempati luas wilayah desa 1.468 Ha

Sarana dan Prasarana pendidikan adalah sekolah SATAP (SD 350 dan SMP 40) Kahayya, jumlah siswa yang bersekolah di sekolah SATAP tersebut sebanyak 146 Orang yang terbagi atas tingkat SD sebanyak 101 orang dan tingkat SMP sebanyak 36 Orang. Jumlah tenaga pengajar yang tersedia sebanyak 10 orang Sarana Kesehatan yang ada berupa poskesdes dan 3 unit posyandu dengan jumlah tenaga kesehatan yang tersedia hanya 1 orang dukun bayi.

Mata pencaharian utama penduduk desa Kahayya adalah di sektor pertanian dengan komoditas utama berupa cengkeh, kopi, tembakau dan jagung.

Untuk lokasi bercocok tanam sebagian masyarakat menggarap lahan kawasan hutan yang terdapat di sekitar wilayah desa. Hal ini terjadi karena desa kahayya yang pada awalnya dusun adalah lokasi yang di enclave dari kawasan hutan lompobattang, sehingga wilayah desa tersebut hampir keseluruhannya berbatasan dengan hutan.

(49)

BAB IV PEMBAHASAN A. Kepemilikan Kebijakan (Policy Ownership)

Kepemilikan sebuah negara atas kebijakan pembangunannya menjadi sebuah prinsip penting tersendiri dalam efektivitas bantuan luar negeri. Prinsip ini menjelaskan bentuk kemandirian dari negara penerima bantuan dengan menunjukkan kemampuannya untuk menentukan sendiri strategi dan arah pembangunan sesuai kepentingan dan kebutuhannya. Program Pengembangan Dan Pengelolaan Kawasan Hutan Kemasyarakatan (Hkm) di Desa Kahayya merupakan program yang berorientasi pada perlindungan lingkungan hidup dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di kawasan hutan.

Secara nasional gagasan mengenai perlindungan hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan hutan telah digambarkan oleh pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan. Regulasi ini merpukan salah satu bentuk kebijakan yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia terhadap gagasan tersebut, melalui penyaluran hak akses kepada masyarakat, melalui skema perhutanan sosial, untuk memanfaatkan hasil hutan sekaligus mengatur hal yang berkenaan terhadap perlindungan hutan.

Konsep Perhutanan Sosial, terdiri dari 5 (lima) bentuk pengelolaan, yaitu Skema Hutan Desa (HD) hutan negara yang hak pengelolaannya diberikan

(50)

kepada lembaga desa untuk kesejahteraan desa. Hutan Kemasyarakatan (HKm), yaitu hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Hutan Tanaman Rakyat (HTR/IPHPS), adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalm rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.

Hutan Adat (HA), dimana hutan ini adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hutan adat. Skema terakhir adalah Kemitraan Kehutanan, dimana adanya kerjasama antara masyarakat setempat dengan pengelola hutan.

Lima bentuk skema perhutanan sosial secara garis besar mengatur mengenai bentuk-bentuk pemberian akses pemanfaatan hasil hutan kepada masyarakat. Dalam skema HKm, kelompok petani hutan (KTH), koperasi dan atau masyarakat diberikan hak pengusahaan hutan baik untuk tujuan produksi maupun perlindungan hutan selama 35 tahun dan bisa diperpanjang. Dan pada skema HKm, terdapat 2 jenis perizinan HKm, yakni Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakan (IUPHKm) berupa pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Kemasyarakatan (IUPHHK- HKm) berupa pemanfaatan hasil hutan kayu.

Di Kabupaten Bulukumba, terdapat luas areal hutan sebesar 2.265 Hektare (Ha) yang ditetapkan sebagai areal kerja HKm, yang diterbitkan melalui SK.363/Menhut-II/2011. Luas areal tersebut, secara keseluruhan mendapatkan

(51)

izin kelola dalam bentuk IUPHKm, sehingga hanya memberi akses pemanfaatan hasil untuk tanaman non-kayu.

Kebijakan ini tidak hanya sebagai prosedur legal bagi masyarakat dalam mengelola hutan. Namun, juga mengatur terkait pengembangan kapasitas kelompok masyarakat dalam mengelola hutan pasca terbitnya IUPHKm. Untuk itu, proses pendampingan dalam hal pembibitan, pemberantasan hama, pengelolaan hasil Hutan dan akses pasar terhadap produk hasil hutan, merupakan tanggung jawab pemerintah, agar masyarakat mampu menerapkan pengelolaan hutan yang maksimal demi keberlanjutan, serta menjaga kelestarian hutan.

Sementara untuk kebijakan pemerintah di level lokal, dapat tinjau melalui keberadaan Roadmap Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) Berkelanjutan Kabupaten Bulukumba tahun 2016-2021. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sulawesi Community Foundation (SCF), sebagai berikut:

“Jadi, Hutan Kahayya itu masuk dalam kawasan strategis perlindungan lingkungan hidup di sektor hulu. Dan secara regulasi itu sudah ditetapkan dalam roadmap. Nah, dalam roadmap itu ada serangkaian program yang dibuat untuk pembangunan lingkungan hidup di Kabupaten Bulukumba,”

(Mulyadi, Anggota Knowledge Management dan Capacity Building Sulawesi Community Foundation. Wawancara 23 Januari 2021) Regulasi ini merupakan panduan yang menjelaskan mengenai strategi dan arah pembangunan lingkungan hidup di Kabupaten Bulukumba. Dalam roadmap tersebut, kawasan HKm di Desa Kahayya, Kecamatan Kindang, ditetapkan sebagai daerah strategis perlindungan lingkungan hidup di sektor hulu. Sehingga

(52)

untuk mewujudkan hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Bulukumba menetapka program strategis yang bertajuk: ‘Pengembangan Pariwisata Terintegrasi yang Inklusif di Kecamatan Kindang’, dengan rincian sebagai berikut:

Table 1 Rincian Kegiatan Program Strategis Pengembangan Pariwisata Terintegrasi yang Inklusif di Kecamatan Kindang

No Bidang Kegiatan Pelaksana

1 SDM dan Kelembagaan

Survey Baseline dan Identifikasi Kelompok Rentan dan potensial Rentan

Bappeda, SCF- kemitraan Internalisasi rencana

pengembangan ekowisata pada tingkat tapak kedalam

perencanaan desa dan Kabupaten

Pemdes, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, BLDH, SCF- Kemitraan

Workshop sosialisai arah pengembangan pariwsata terintegrasi yang inklusif

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Pelatihan pengelolaan kelembangaan dan keuangan kelompok HKM, Koperasi, Kelompok rentan, dan BUMDes

Bpmdes, Dishutbun, Dinas Perindustrian dan Koperasi Pelatihan penguatan perencanaan

desa

BPMdes Pelatihan-pelatihan pengelolaan

usaha untuk Kelompok HKm, Koperasi, kelompok rentan dan BUMDes

Dinas Perindustrian dan Koperasi, Dishutbun Pendampingan Teknis Pengelolaan

HKM, Koperasi dan Bumdes

Dinas Perindustrian dan Koperasi, Dishutbun, SCF - Kemitraan Pelatihan -pelatihan kepada rumah

tangga, kelompok HKm, Kelompok rentan, dan BUMDes dalam menyokong pengembangan ekowisata. Baik pelatihan standar pelayanan, pengemasan produk, pemasaran produk, hingga media

Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata, Dinas Perindustrian dan Koperasi

Referensi

Dokumen terkait

KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi

Klastering pada tingkat gampong dilakukan oleh Pokja, berdasarkan ke empat indikator klastering untuk menunjukkan indikasi awal lingkungan beresiko pada desa

Dengan demikian perkembangan bahasa (-bahasa) itu akan menjadi terarah. Pemakainya akan berusaha mempertahankan kedudukan dan fungsi bahasa yang telah disepakatinya dengan,

Perluasan jaringan akses merupakan wewenang dari Direktorat Komunikasi dan Sistem Informasi (DKSI) dan dapat dilakukan oleh user dengan.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia- Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengaruh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan, rahmat dan karunia nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul

Dari uraian di atas maka terlihat keseimbangan benda akibat gaya horizontal tidak hanya ditinjau pada arah gaya-gaya horizontal, tetapi juga gaya-gaya lain yang menyebabkan

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengaruh Kompensasi