Diajukan kepada Program Studi Psikologi Islam Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Jurusan Psikologi dan Psikoterapi
Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta
untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Oleh : Evi Juaini NIM: 181141025
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM JURUSAN PSIKOLOGI DAN PSIKOTERAPI
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA TAHUN 2022
ii
TRIYONO, S.SOS., I., M.SI. DOSEN FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA
NOTA DINAS PEMBIMBING Hal : Skripsi Sdri. Evi Juaini
Kepada Yth
Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah
Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta Di Tempat
Assalamu‟alaikum Wr.Wb.
Setelah membaca, meneliti, mengoreksi dan mengadakan perbaikan seperlunya terhadap skripsi saudari :
Nama : Evi Juaini NIM : 18.11.41.025
Judul : Coping Religious Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lansia yang Tinggal Seorang Diri
Dengan ini kami menilai skripsi tersebut dapat disetujui dan diajukan pada Sidang Munaqosyah Program Studi Psikologi Islam Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta.
Wassalamu‟alaikum Wr.Wb.
iii
iv
HALAMAN PENGESAHAN
COPING RELIGIOUS KECEMASAN MENGHADAPI KEMATIAN PADA LANSIA YANG TINGGAL SEORANG DIRI
Disusun oleh:
Evi Juaini NIM. 18.11.4.1.025
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Dakwah
Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta Pada hari Jumat, 21 Oktober 2022
dan dinyatakan telah memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
1. Bapak dan ibuku tercinta, bapak Sumedi dan Ibu Partini. Terimakasih banyak atas doa yang tidak pernah berhenti dipanjatkan untuk peneliti.
Terimakasih atas cinta, perhatian, dukungan, perjuangan yang tidak akan pernah tergantikan dan selalu tertanam didalam hati. Semoga Allah selalu memberi cahaya kepadamu bapak dan ibu.
2. Kakakku Fitriana Sari, S.P. terimakasih atas perhatian, kasih sayang, perjuangan dan dukungan yang telah diberikan untuk membantu peneiti.
vi MOTTO
“Keberhasilan butuh waktu, hargai dan syukuri setiap prosesnya”
-Cut Mini-
“Jangan pernah lupa melibatkan Allah dalam setiap urusanmu, karena selama kamu berdo‟a kepada-Nya, Allah tidak akan mengecewakan impianmu”
“Man jadda wajada”
vii ABSTRAK
Evi Juaini, 181141025, Coping Religious Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lansia yang Tinggal Seorang Diri, Program Studi Psikologi Islam, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah, Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Tahun 2022.
Kemasan akan kematian menjadi salah problem psikologis yang dimiliki Lanjut usia (Lansia), termasuk pada lansia yang tinggal seorang diri. Kecemasan ini berkaitan dengan cara kematian terjadi termasuk rasa sakit atau siksaan yang mungkin menyertai. Penelitian ini betujuan untuk mengetahui faktor penyebab kecemasan menghadapi kematian dan bentuk coping religious yang digunakan oleh lansia yang tinggal seorang diri di kampung Bibis Kulon, Kelurahan Gilingan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dengan pendekatan fenomenologi. Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti meliputi tiga yaitu wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Informan dalam penelitian ini berjumlah lima orang, dengan pembagian tiga informan sebagai informan utama dan dua informan sebagai significant other. Teknik analisis data menggunakan analisis interaktif Milles dan Huberman berupa reduksi data, penyajian data, serta menarik kesimpulan dari hasil penelitian.
Hasil penelitian menunjukan bahwa kecemasan terhadap kematian pada lansia yang tinggal seorang diri yaitu usia, belum tercapainya tujuan hidup, kontrol diri, diagnosis penyakit, pengalaman berkaitan dengan kematian, dan ketakutan akan adanya balasan pasca kematian. Upaya yang dilakukan lansia yang tinggal seorang diri untuk mengurangi kecemasan akan kematian dilakukan melalui coping religious, berupa penyerahan diri kepada Allah, sholat, dzikir, berdo‟a, membaca Al-Quran, dan menghadiri pengajian. Melalui coping religious lansia yang tinggal seorang diri dapat bersikap lebih tenang ketika dihadapkan dengan kematian yang sewaktu-waktu datang, sebab lansia meyakini bahwa kematian merupakan takdir Allah yang tidak dapat dihindari.
Kata Kunci: Kecemasan Kematian, Coping Religious, Lansia.
viii ABSTRACT
Evi Juaini, 181141025, Coping Religious Lonely Elder Death Anxiety. Islamic Psychology Study Program, Faculty of Ushuludin and Da‟wah, Raden Mas Said State Islamic University Surakarta, 2022
Packaging of death is one of the psychological problems of the elderly, including the elderly who live alone. This anxiety is related to the cause of death including the pain or torment that may accompany it. This study aims to determine the factors that cause anxiety about death and the forms of religious coping used by the elderly who live alone in Bibis Kulon Village, Gilingan Village, Banjarsari District, Surakarta City.
The research method used in this study is a qualitative method, with a phenomenological approach. Data collection techniques carried out by researchers include three, namely interviews, observation, and documentation studies. Informants in this study amounted to five people, with the distribution of three informants as the main informants and two informants as significant other.
Data analysis techniques used interactive analysis by Milles and Huberman in the form of data reduction, data presentation, and drawing conclusions from the research results.
The results showed that anxiety about death in the elderly who lived alone was age, not having achieved life goals, self-control, disease diagnosis, experiences related to death, and fear of retribution after death. Efforts made by the elderly who live alone to reduce anxiety about death are carried out through religious coping, in the form of surrendering to Allah, praying, praying, reading the Koran, and attending recitations. Through religious coping, the elderly who live alone can be more calm when faced with death that can come at any time, because the elderly believe that death is God's destiny that cannot be avoided.
Keywords: Death Anxiety, Religious Coping, Elderly.
ix
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat, hidayah, dan inayat-Nya sehingga peneliti dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi yang berjudul “Coping Religious Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lansia yang Tinggal Seorang Diri” sebagai syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi.
Tidak lupa sholawat dan salam kepada baginda Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya yang insyaallah terus menuntun dan membimbing peneliti pada penelitian-penelitian berikutnya.
Selanjutnya, peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang turut andil dalam menyukseskan penelitian ini, yaitu:
1. Bapak Prof. Dr. Mudhofir, S.Ag., M.Pd., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta.
2. Bapak Dr. Islah, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta.
3. Ibu Dr. Retno Pangestuti, M.Psi., Psikolog, selaku Ketua Jurusan Psikologi dan Psikoterapi sekaligus selaku Penguji Utama yang telah memberikan masukan dan arahan dalam penyusunan skripsi.
4. Bapak Wakhid Musthofa, M.Psi., Psikolog, selaku Ketua Program Studi Psikologi Islam.
5. Bapak H. Zaenal Muttaqin, S.Ag., M.A., P.h.D., selaku Penguji 1 yang telah memberikan masukan dan arahan dalam penyusunan skripsi.
x
6. Bapak Triyono, S.Sos., I., M.Si., selaku Penguji 2 sekaligus dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, masukan, motivasi dalam penyusunan skripsi ini.
7. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta yang telah sabar dan gigih memberi pengetahuan dan wawasan.
8. Seluruh Staf Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta.
9. Seluruh Staf Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta.
10. Seluruh Staf UPT Perpustakaan Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta.
11. Sahabatku Ismi Islamia Iswari, Rizki Nur Amanda, Diva Ayu Santoso, Risma Famelia, Alna Aldila. Terimakasih atas kasih sayang, do‟a, dukungan, dan bantuan yang sudah diberikan sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian.
12. Andi Kurniawan, S.Kom. selaku orang berjasa yang telah bersedia meminjamkan laptopnya guna membantu peneliti menyelesaikan skripsinya.
13. Informan penelitian, yang telah meluangkan waktu dan berpartisipasi penuh dalam penyusunan skripsi.
14. Seluruh teman satu perjuangan program studi Psikologi Islam angkatan 2018 terlebih kelas Psikologi Islam A yang telah bersama selama kurang lebih empat tahun.
xi
Dan untuk semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Terimakasih atas semua bantuannya dalam menyusun skripsi ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan untuk keikhlasan yang telah diberikan. Aamiin ya rabbal „alamin.
Wassalamu‟alaikum Wr. Wb.
Surakarta, 28 Oktober 2022
Penulis
Evi Juaini 181141025
xii DAFTAR ISI
NOTA DINAS PEMBIMBING ... ii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .. Error! Bookmark not defined. HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
MOTTO ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 9
BAB II LANDASAN TEORI ... 11
A. Tinjauan Pustaka ... 11
B. Telaah Pustaka ... 34
C. Kerangka Berfikir... 38
BAB III METODE PENELITIAN ... 41
A. Desain Penelitian ... 41
B. Lokasi Penelitian ... 42
C. Sumber Data Penelitian ... 42
D. Teknik Pengumpulan Data ... 43
E. Teknik Analisis Data ... 45
F. Kredibilitas Penelitian ... 46
G. Peran Peneliti ... 47
xiii
H. Etika Penelitian ... 47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 50
A. Setting Penelitian ... 50
B. Temuan Hasil Penelitian ... 52
C. Hasil Analisis Data ... 75
D. Pembahasan ... 84
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 90
A. Kesimpulan ... 90
B. Saran ... 90
DAFTAR PUSTAKA ... 92
LAMPIRAN ... 95
BIODATA PRIBADI ... 140
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka Teori ... 40
Gambar 2 Alur Penelitia... 51
Gambar 3 coding IU.1 ... 81
Gambar 4 Coding IU.2 ... 82
Gambar 5 Coding IU.3 ... 83
Gambar 6 Kerangka Hasil Penelitian ... 89
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Telaah Pustaka ... 36
Tabel 2. Identitas Informan ... 53
Tabel 3 Display Data Informan TS ... 59
Tabel 4 Display Data Informan M ... 66
Tabel 5 Display Data Informan S... 73
Tabel 6 Pedoman Wawancara ... 104
Tabel 7 Pedoman Observasi ... 106
Tabel 8 Hasi Wawancara IU.1 ... 113
Tabel 9 Hasi Wawancara IU.2 ... 119
Tabel 10 Hasi Wawancara IU.3 ... 124
Tabel 11 Hasi Wawancara SO.1 ... 128
Tabel 12 Hasil Wawancara SO.2 ... 131
Tabel 13 Hasil Observasi ... 133
Tabel 14 Reduksi Data ... 137
Tabel 15 Dokumentasi ... 139
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Informed Consent ... 95
Lampiran 2 Surat Persetujuan ... 96
Lampiran 3 Pedoman Wawawncara... 101
Lampiran 4 Pedoman Observasi ... 106
Lampiran 5 Hasil Wawancara ... 107
Lampiran 6 Hasil Observasi ... 131
Lampiran 7 Reduksi Data... 133
Lampiran 8 Studi Dokumentasi ... 137
1
Lanjut usia atau lansia merupakan tugas perkembangan akhir dalam siklus hidup manusia. Menjadi lansia adalah bagian dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Siklus kehidupan manusia diawali sejak dalam kandungan, bayi, balita, remaja, dewasa, sampai menjadi lanjut usia atau lansia (Yunita, 2017). Lansia adalah individu yang sudah berusia lebih dari 60 tahun (Hurlock, 1996). Menurut Direktorat Pengembangan Ketahanan Keluarga (dalam Pandji, 2013) mengklasifikasikan lansia menjadi lansia awal (45-54 tahun), pra lansia (55- 59 tahun), lansia usia 60 tahun ke atas.
Lansia mengalami beberapa perubahan, apabila lansia tidak bisa menerima serta menjalani perubahan ini dengan baik akan berdampak pada kesehatan fisik maupun mental lansia. Fatimah (2010) menyebutkan perubahan yang dialami lansia seperti: 1) perubahan fisik berupa penurunan fungsi fisik yang dapat mengakibatkan penurunan kesehatan pada lansia sehingga dapat menghambat aktivitas sehari-hari. 2) perubahan psikososial, perubahan ini membuat lansia menjadi lebih selektif dalam beraktivitas akibat isolasi sosial.
3) perubahan ekonomi, lansia yang sudah berusia 60 tahun keatas harus melakukan pensiun kerja dan menggantungkan hidupnya kepada orang lain.
Selain adanya perubahan-perubahan tersebut lansia juga mengalami problematika psikologis.
Pasmawati (2017) menyebutkan lansia memiliki ciri pada perubahan fisik dan psikologis tertentu, perubahan tersebut akan menentukan lansia dalam melakukan penyesuaian diri secara baik atau buruk. Akan tetapi lansia cenderung menuju dan membawa penyesuaian diri yang buruk daripada yang baik dan lebih kepada kesengsaraan daripada kebahagiaan. Itulah sebabnya mengapa usia lanjut lebih rentan dari usia madya. Menurut Constantindes (dalam Supriyono, 2015) proses menua (menjadi tua) adalah ciri dari lansia, yaitu suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita.
Sebagian lansia ada yang masih hidup bersama pasangan, hidup bersama keluarganya, dan sebagian hidup sendiri. Menurut Osei-Waree (2016) alasan lansia tinggal sendirian ada lima: 1) anak yang sedang merantau atau anak yang sudah memiliki keluarga sendiri. 2) pasangan yang sudah lebih dahulu meninggal dunia. 3) gagalnya hubungan pernikahan karena ketidakcocokan dengan pasangan yang menyebabkan perceraian. 4) tidak ingin membebani anak dengan mengganggu dan bergantung pada anak, dan 5) beberapa lansia mengalami pengabaian oleh keluarga maupun teman sebayanya.
Sebagian besar lansia tidak menginginkan tinggal seorang diri dan lebih bahagia apabila tinggal bersama keluarga (Sihab & Nuchayati, 2021). Hal ini juga penulis temukan setelah melakukan studi pendahuluan di Kampung Bibis Kulon, Kelurahan Gilingan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta.
Kampung ini memiliki populasi lansia sebanyak 72 orang, dengan perincian 38,88 % (28 orang) hidup bersama pasangan, 40,22% (29 orang) hidup bersama keluarga, dan 20,90 % (15 orang) tinggal sendirian. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan Juni 2022, tiga lansia di kampung Bibis Kulon, kelurahan Gilingan, Kecamatan Banjarsari, kota Surakarta tidak menginginkan untuk tinggal sendirian. Lansia T (60 tahun) menuturkankan bahwa tinggal bersama keluarga lebih merasa senang daripada harus tinggal sendirian, bersama dengan keluarga jadi ada teman untuk bercerita. S (71 tahun) menuturkan bahwa beliau saat ini tinggal sendirian karena ketiga anaknya tinggal bersama pasangannya. Menurut S, tinggal sendirian harus mepersiapkan segala sesuatunya juga sendirian.
Keberadaan orang lain di sekitar sagatlah membantu. S juga merasa ketika ia sedang sakit tidak ada yang membantunya bahkan sulit untuk berobat karena harus meminta pertolongan pada tetangga.
Adapun M (64 tahun) menyebut ia terpaksa tinggal sendiri sebab anak- anaknya sudah berumahtangga dan memiliki rumah sendiri. Ketika saudara atau anak tidak segera datang berkunjung maka perasaannya sangatlah sedih.
Subjek T, W, dan M karena tinggal sendirian juga takut dan cemas jika sewaktu-waktu kematian datang menghampiri. Meskipun mereka sadar bahwa di usia yang sudah lanjut, mati adalah sesuatu yang wajar atau sudah saatnya. Subjek merasa takut menghadapi kematian karena beberapa alasan, seperti tidak siap meninggalkan anaknya yang belum tuntas, tidak siap
meninggalkan pasangannya, serta merasa belum memiliki bekal yang cukup untuk untuk kehidupan selanjutnya.
Merasa kesepian, tidak punya teman bercerita, tidak ada yang membantu saat keadaan darurat, perasaan sedih, dan takut atau cemas menghadapi kematian berdasarkan studi pendahuluan tersebut, merupakan problem psikologis umum lansia. Hal ini sesuai dengan pendapat Pasmawati, (2017) bahwa lansia akan memiliki problem psikologis, seperti rasa kesepian, rasa ketidakberdayaan serta merasa kurang mendapat perhatian. Annisa & Ifdil, (2016) mengatakan problem atau masalah psikologis yang dialami lansia adalah perasaan cemas, masalah psikologis ini merupakan kondisi penurunan yang turut dipengaruhi oleh kesehatan fisik dengan persoalan mental. Salah satu bentuk problem psikologis kecemasan yang dialami lansia adalah kecemasan menghadapi kematian. Seperti pendapat Akbar (2014) problematika yang dihadapi oleh lansia sangat khas, selain mengalami penurunan fisik para lansia juga menghadapi masalah psikologis yaitu munculnya kecemasan dalam menghadapi kematian. Hal yang sama diungkapkan oleh Naftali et al. (2017) bahwa orang-orang lanjut usia atau para lansia menghadapi masalah psikologis, yaitu kecemasan dalam menghadapi kematian.
Kematian merupakan peristiwa keluarnya ruh dari dalam jasad manusia.
Dalam kehidupan sehari-hari kematian adalah hal yang tidak bisa dihidari.
Kematian dapat terjadi pada setiap golongan usia. Terlebih pada lansia, semakin bertambahnya usia maka semakin menyadari bahwa akan
menghadapi kematian yang tidak tau kapan akan terjadi. Dalam Al-Quran kematian disebutkan dalam Quran Surah An-Nisa‟ ayat 78.
Artinya: Di mana pun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kukuh. Jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan, “ini dari sisi Allah”, dan jika mereka ditimpa suatu keburukan mereka mengatakan, “ini dari engkau (Muhammad)”. Katakanlah, “sesungguhnya (datang) dari sisi Allah”. Maka mengapa orang-orang itu (orang-orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (sedikit pun)? (Q.S An-Nisa’: 78)
Tafsir Al-Misbah surat An-Nisa‟ ayat 78 dijelaskan bahwa di manapun individu berada jika sudah ajalnya maka kematian akan datang, meskipun individu menjauhi peperangan maupun berada disebuah banteng yang kokoh.
Apabila individu mendapatkan sesuatu yang menyenangkan, yaitu sesuatu yang menggembirakan akan berkata “ini dari sisi Allah”. Dan apabila individu ditimpa suatu bencana atau kesulitan, yaitu sesuatu yang tidak menyenangkan maka menyalahkan Nabi sallallahu „alaihi wa sallam, dan berkata “ini dari sisi engkau, wahai Muhammad. Engkau penyebabnya karena kehadiranmu dan perintah-perintahmu yang tidak bijaksana atau karena kesialan yang menyertaimu” kemudian Allah memerintahkan Rasul untuk menjawab, “semuanya bersumber dari sisi Allah dan atas izin-Nya”. Lalu mengapa individu-individu yang mengeluarkan kata-kata tersebut nyaris tidak memahami apa yang Rasul sampaikan kepada mereka (M. Quraish, 2016).
Dalam pandangan Psikologi Islam kematian berarti berpisahnya roh dengan tubuh. Kematian adalah upaya untuk menyucikan diri dan merupakan tahap yang akan dilalui untuk menuju kehidupan selanjutnya. Kehidupan setelah di dunia merupakan kehidupan yang abadi (Arqi, 2018). Ketakutan serta kekhawatiran menghadapi kematian ini disebut sebagai kecemasan terhadap kematian atau death anxiety. Langs (dalam Yuliana, 2015) menyatakan death anxiety adalah keadaan individu yang menunjukan rasa ketidaknyamanan secara terus menerus serta memikirkan tentang proses kematian dan apa yang akan terjadi setelah kematian nantinya.
Terdapat sebuah kasus di mana ada sepasang lansia yang ingin mati bersama dengan cara disuntik mati. Pasangan lansia ini ingin melakukannya karena tidak ingin salah satu dari mereka ditinggal mati terlebih dahulu karena takut kesepian. Selain itu kondisi fisik yang mengalami penurunan juga menjadi alasannya, bahkan ketiga anak pasangan lansia ini rela kedua orangtuanya disuntik mati dengan alasan tidak sanggup untuk merawat jika salah satu dari mereka sudah mati. Pasangan ini juga sudah berencana untuk bunuh diri dengan membungkus kepala masing-masing menggunakan plastik setelah meminum obat sampai overdosis (Firmansyah, 2014). Hal ini menunjukan bahwa seringkali individu tidak dapat mengelola diri sendiri dalam menghadapi sebuah kematian karena ketakutan serta kekhawatiran terhadap kematian diri sendiri. Seperti pada kasus di atas di mana sepasang lansia merasa tidak nyaman jika harus hidup sendirian tanpa adanya satu sama lain. Pasangan ini juga merasa tidak tau apa yang akan mereka hadapi
dan apakah bisa melangsungkan hidup tanpa pasangannya. Kecemasan menghadapi kematian dapat disebabkan oleh kematian pasangan, kematian anak, kematian keluarga, kematian teman sebaya serta keadaan fisik dan kesehatan.
Penyebab kecemasan terhadap kematian setiap lansia tentu saja berbeda.
Begitupula dengan cara yang digunakan setiap individu untuk mengatasi kecemasan terhadap kematian tersebut. Cara yang digunakan untuk mengatasi kecemasan terhadap kematian memiliki dampak positif maupun negatif, oleh sebab itu dibutuhkan strategi-strategi coping yang baik. Strategi coping menurut White (dalam Sussman dan Steinmetz, 2013) adalah suatu upaya atau usaha adaptasi individu terhadap keadaan yang relatif sulit dan tidak menyenangkan. Terdapat beberapa strategi coping yang dapat digunakan untuk mengatasi kecemasan terhadap kematian.
Menurut Hoelterhoff & Chung (2013) strategi coping kecemasan kematian seperti meningkatkan self efficacy, yaitu kepercayaan atau keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk menghasilkan sesuatu yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Strategi lain yang dapat dilakukan adalah coping religious, yaitu mengatasi situasi permasalahan dengan berpegang pada ajaran agama atau keyakinan setiap individu (Bandura & Wessels, 1994). Menurut Pargament (1997) coping religious adalah cara atau upaya memahami serta mengatasi sumber-sumber masalah dalam hidup dengan melakukan berbagai cara untuk mempererat hubungan individu dengan Tuhan. Coping religious cenderung digunakan pada keadaan individu
menginginkan sesuatu yang tidak bisa didapat dari manusia, serta merasa dirinya tidak mampu lagi menghadapi kenyataan. Beberapa penelitian yang yang telah dilakukan terkait dengan strategi coping religious mendapatkan hasil bahwa coping religiuos adalah yang paling sering digunakan untuk mengatasi beberapa sejumlah keadaan negatif sepeti kehilangan atau kematian orang terdekat, kecelakaan, kemiskinan serta kecemasan. McMahon dan Biggs (dalam Angganantyo, 2014) dalam penelitiannya membuktikan keefektifan coping religious ditunjukan bahwa orang dengan tingkat religiusitas dan spiritual tinggi serta menggunakan coping religious dalam kehidupannya, cenderung lebih merasa tenang dan tidak mudah mengalami kecemasan.
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah peneliti lakukan terdapat lansia yang tidak mengalami death anxiety meskipun tinggal seorang diri di Kampung Bibis Kulon, Kelurahan Gilingan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta. Mereka sadar bahwa kematian adalah sesuatu yang wajar atau sudah saatnya di usia lansia. Salah satu faktor yang membuat lansia tersebut tidak mengalami death anxiety berkaitan dengan aspek religiusitas, yaitu tingginya religiusitas di lingkungan sekitar lansia serta kesadaran bahwa kematian adalah kehendak oleh Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti faktor-faktor penyebab dan bentuk coping religious yang dilakukan. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti mengambil judul “Coping Religious Kecemasan Menghadapi Kematian Pada Lansia yang Tinggal Seorang Diri”
B. Rumusan Masalah
Secara spesifik, rumusan masalah tentang gambaran coping religious kecemasan dalam menghadapi kematian pada lansia yang tinggal seorang diri berkaitan dengan:
1. Apa faktor-faktor yang menjadi penyebab kecemasan menghadapi kematian pada lansia yang tinggal seorang diri?
2. Bagaimana bentuk coping religious kecemasan menghadapi kematian pada lansia yang tinggal seorang diri?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1. Mengetahui apa saja faktor-fakor yang menjadi penyebab kecemasan menghadapi kematian pada lansia yang tinggal seorang diri.
2. Mengetahui bagaiamana bentuk coping religious kecemasan menghadapi kematian pada lansia yang tinggal seorang diri.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoristis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan, dan informasi yang bermanfaat untuk pengembangan ilmu dalam bidang psikologi Islam, utamanya tentang coping religious kecemasan menghadapi kematian dengan subjek lansia yang tinggal seorang diri.
2. Manfaat Praktis a. Bagi Lansia
Secara praktis, dengan diketahui faktor-fakor yang menjadi penyebab kecemasan menghadapi kematian, lansia yang tinggal seorang diri lebih mampu memahami diri dengan baik termasuk problem psikologis yang akan dihadapi, berikut mengetahui cara mengatasi kecemasan tersebut denga melakukan coping religious.
b. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi dan dapat dikembangkan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan coping religious
11 BAB II
LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka
1. Kecemasan Menghadapi Kematian
a. Pengertian Kecemasan Terhadap Kematian
Gail W. Stuart mengartikan Kecemasan (anxiety) sebagai perasaan khawatir yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya (Annisa & Ifdil, 2016).
Menurut Mujib (2017) kecemasan adalah sesuatu yang tidak jelas dan merupakan gejala dari kepribadian “was-was”. Menurut Hartono, (2012) kecemasan adalah suatu keadaan emosi yang tidak menyenangkan dan juga merupakan pengalaman yang samar-samar disertai dengan perasaan yang tidak berdaya serta tidak menentu.
Markam & Slamet I.S (2008) menyebutkan gangguan cemas spesifik terdiri dari gangguan cemas umum, gangguan panik, fobia sederhana dan fobia sosial, serta gangguan obsesif kompulsif (obsessive compulsive disorder/OCD). Menurut kajian Psikologi Islam kecemasan di dalam Al-Quran dielaskan sebagai perasaan takut.
Hal ini dijelaskan oleh Abdul Hasyim dalam (Cahyandari, 2019) bahwa khassyah atau takut disebutkan sebanyak 39 kali di dalam Al- Quran. Perasaan takut ini lebih diartikan sebagai takut kepada Allah SWT, takut mendapatkan siksa dan takut tidak mendapatkan ridha- Nya.
Dalam Al-Quran perasaan takut atau kecemasan dijelaskan dalam Quran Surat Al-Baqarah ayat 155.
Artinya: Dan kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, keaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.
Dan sampaikanah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.
(Q.S Al-Baqarah:155)
Dijelaskan bahwa setiap individu pasti akan diuji dengan ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Hal ini berarti setiap individu pasti akan merasakan cemas. Menurut Tilich (dalam Akbar, 2014) salah satu bentuk kecemasan adalah anxiety of fate and death yaitu kecemasan terhadap nasib dan kematian. Setiap orang tentu akan mengalami sebuah kematian.
Kematian dijelaskan dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 185.
Artinya: Setiap yang bernyawa akan merasakan mati, dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu.
Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya. (Q.S Ali Imran:185) Dalam pandangan Psikologi Islam kematian berarti berpisahnya roh dengan tubuh. Kematian adalah upaya untuk menyucikan diri dan merupakan tahap yang akan dilalui untuk menuju kehidupan
selanjutnya. Kehidupan setelah di dunia merupakan kehidupan yang abadi. Hal ini berarti terdapat konsep kekelan nafs atau jiwa, setelah kehidupan di dunia nafs yang berpisah dengan tubuh akan mencapai kemuliaan karena pada hakikatnya nafs memiliki sifat kemuliaan.
Dengan kematian, nafs yang berpisah dengan tubuh akan kembali ke alam yang abadi (Arqi, 2018).
Menurut Rice (dalam Merizka et al., 2019), kecemasan terhadap kematian adalah sebuah ketakutan abnormal yang sangat besar dan diiringi dengan perasaan cemas dan takut akan kematian atau rasa takut akan sesuatu yang terjadi dalam diri seseorang sehingga berdampak pada kesehatan mental individu yang mengalaminya.
Ermawati & Shanty, (2017) menyatakan bahwa kecemasan menghadapi kematian berkaitan dengan datangnya kematian itu sendiri dan dapat pula berkaitan dengan caranya kematian serta rasa sakit atau siksaan yang mungkin menyertai datangnya kematian.
Kecemasan menghadapi kematian merupakan salah satu bagian dari gangguan kecemasan berupa gangguan panik. Menurut Markam &
Slamet I.S (2008) simtom sasaran pada gangguan panik antara lain adalah pengalaman subjektif bahwa individu akan mati, mendapat serangan jantung, dan perangsangan sisem autonnomik (detak jantung menjadi cepat, napas cpat, dan tremor).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan terhadap kematian adalah keadaan emosional berupa perasaan cemas dan takut terhadap kematian dan proses kematian.
b. Teori Kecemasan Terhadap Kematian
Kastenbaum (2000) dalam bukunya yang berjudul The Psychology Of Death menyebutkan ada empat teori klasik mengenai kecemasan terhadap kematian, yaitu:
1) Never Say Die (Jangan Berputus Asa)
Teori ini dikemukakan oleh Sigmund Freud, dikatakan bahwa apabila individu mengalami kecemasan ketika memikirkan kematiannya bukan berarti kematian yang menjadi penyebab kecemasannya. Tetapi ketika individu merasa takut terhadap kematian, alam bawah sadarnya mengirimkan sinyal bahwa ada sesuatu yang salah dengan dirinya dan hal ini memerlukan terapi.
2) We Cannot Help But Fear Death (Kita Tidak Bisa Tidak Takut Mati)
Teori ini dikemukakan oleh Ernest Becker (Kastenbaum, 2000), dijelaskan bahwa kecemasan telah mengakar dalam kesadaran dan keseharian manusia. Apabila kecemasan terhadap kematian dinilai negatif maka individu akan fokus terhadap dirinya sendiri yang menyebabkan berkurangnya tenaga serta perhatian
terhadap aktivitas kelompok. Jika kecemasan terhadap kematian dinilai positif maka individu akan fokus terhadap perkembangannya. Individu akan menyadari tentang mortalitasnya dan mengakui kecemasaanya. Individu akan menilai kematian sebagai manusia yang tercerahkan dan mencapai aktualisasi diri.
3) Welcome Dread Death (Selamat Datang Kematian Yang Menakutkan)
Religiusitas berpengaruh besar dalam aspek kehidupan manusia.
Perasaan dan tingkah laku dipengaruhi oleh religiusitas. Ketika individu mengalami kecemasan terhadap kematian religiusitas dapat menguatkan atau bahkkan melemahkan. Individu dengan ilmu keagamaan yang kuat akan lebih bisa menerima sebuah kematian bahkan akan mempersiapkan kematian itu.
4) Learn Not To Fear Too Much (Belajarlah Untuk Tidak Terlalu Takut)
Dalam teori ini dijelaskan bahwa kecemasan terhadap kematian adalah bagian dari perkembangan manusia. Kecemasan terhadap kematian bukanlah karena alam bawah sadar yang mempengaruhi individu.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat empat teori mengenai kecemasan terhadap kematian, yaitu jangan putus asa (never say die), kita tidak bisa tidak takut mati (we
cannot help but fear death), selamat datang kematian yang menakutkan (welcome dread death), dan belajarlah untuk tidak terlalu takut (learn to fear too much).
c. Faktor-faktor Kecemasan Terhadap Kematian Terdapat lima faktor yang mempengaruhi kecemasan terhadap
kematian Henderson (dalam Ghufron, 2021) :
1. Faktor Usia, semakin bertambahnya usia seseorang maka semakin dekat pula orang itu dengan kematian. Kalangan lanjut usia biasanya tingkat kecemasan terhadap kematian lebih tinggi dibandingkan kalangan remaja maupun dewasa.
2. Integritas Ego, integritas ego adalah perasaan penuh pada individu ketika mampu menemukan tujuan hidupnya.
Lingkungan tempat tinggal akan mempengaruhi tingkat kecemasan terhadap kematian. Hal ini menunjukan bahwa lansia yang tinggal di lingkungan yang rawan konflik cenderung tingkat kecemasannya tinggi.
3. Kontrol Diri, yang dimaksud kontrol diri adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan dirinya dengan permasalahan- permasalahan yang berasal dari luar maupun dari dalam diri orang tersebut. Seseorang yang tidak memiliki kemampuan kontrol diri cenderung memiliki tingkat kecemasan yang tinggi, khususnya kecemasan yang berkaitan dengan kematian.
4. Personal Sense of Fulfillment atau pemenuhan pribadi merupakan tingkat dimana individu merasa puas dengan kehidupannya. Kepuasan diri tersebut dapat mempengaruhi tinggi rendahnya kecemasan terhadap kematian.
5. Religiusitas, keadaan dalam diri seseorang yang mendorongnya dalam menjalankan agamanya. Seseorang yang memiliki tingkat religiusitas tinggi cenderung memiliki tingkat kecemasan yang rendah.
Selanjutnya Lehto & Stein (2009) mengkategorikan faktor penyebab kecemasan terhadap kematian dalam tiga kelompok besar, yaitu:
1. Stressful environment atau lingkungan stress, kecemasan terhadap kematian disebabkan oleh kondisi lingkungan individu tinggal.
2. Diagnosis penyakit yang parah atau mematikan, individu yang telah didiagnosis memiliki penyakit yang parah atau dapat mengakibatkan kematian memiliki tingkat kecemasan yang tinggi. Hal ini dikarenakan individu telah mengetahui kematiannya dan belum siap untuk meninggalkan keluarganya.
3. Pengalaman dengan kematian, individu yang memiliki pengalaman terhadap kematian seperti kematian orang tua, anak, serta kerabat memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan individu yang belum memiliki pengalaman seperti itu.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab kecemasan terhadap kematian pada individu, yaitu faktor usia, integritas ego, kontrol diri, personal sense of fulfillment, religiusitas, stressfull environtmen, diagnosis penyakit yang parah atau mematikan dan pengalaman dengan kematian.
2. Coping Religious
a. Pengertian Coping Religious
Kematian merupakan salah satu dari banyak penyebab munculnya kecemasan. Strategi coping dapat dilakukan oleh individu untuk mengatasi atau mengurangi kecemasan. Menurut Stuart, (2016) coping adalah segala upaya yang dilakukan untuk mengelola stress baik secara konstruktif maupun destruktif. Selanjutnya menurut Matsumoto (dalam Reza, 2015) coping adalah proses pengelolaan dalam keadaan sulit yang meliputi cara untuk mengatasi kecemasan baik internal maupun eksternal dengan usaha yang paling berguna.
Menurut Aldwin coping merupakan penggunaan strategi untuk menangani masalah actual berupa emosi negatif (Reza, 2015).
Pengertian religiusitas adalah satu sistem kompleks dari keyakinan, kepercayaan, serta sikap-sikap dan upacara-upacara yang menghubungkan individu dengan satu keberadaan atau sesuatu yang
bersifat ketuhanan. Religiusitas adalah suatu kesatuan unsur-unsur yang komperehensif, yang menjadikan seseorang disebut sebagai orang beragama, dan bukan hanya mengaku mempunyai agama.
Religiuitas meliputi pengetahuan agama, keyakinan agama, pengamalan ritual agama, pengamalan agama, perilaku agama, dan sikap sosial keagamaan (Fitriani, 2016). Menurut Pargament (1997) coping religious adalah cara atau upaya memahami serta mengatasi sumber-sumber masalah dalam hidup dengan melakukan berbagai cara untuk mempererat hubungan individu dengan Tuhan. Coping religious cenderung digunakan pada keadaan individu menginginkan sesuatu yang tidak bisa didapat dari manusia, serta merasa dirinya tidak mampu lagi menghadapi kenyataan. Angganantyo, (2014) berpendapat bahwa coping religious adalah strategi coping dengan memasukkan pemahaman akan kekuatan yang besar dalam hidup, dimana kekuatan tersebut dikaitkan dengan ketuhanan.
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa coping religious adalah cara atau upaya yang dilakukan untuk memahami dan mengatasi suatu masalah berdasarkan keyakinan dan ajaran agama.
b. Aspek-Aspek Coping Religious
Pargament (1997) berpendapat bahwa terdapat dua aspek dalam coping religious, yaitu aspek positif dan aspek negatif.
Utami, (2012) mendeskripsikan aspek-aspek coping religious oleh Pargament menjadi lebih relevan kedalam agama islam. Aspek positif meliputi:
1. Benevolent religious reappraisal (penilaian ulang agama yang baik hati), menggambarkan kembali sumber masalah melalui agama secara baik dan menguntungkan. Menganggap apa yang didapatkan saat ini adalah balasan Allah atas amal baik yang telah individu lakukan. Individu dapat mengambil hikmah atas cobaan yang dialami. Ketika harapan tidak tercapai, individu tetap berpikir bahwa Allah memberikan yang terbaik untuknya.
2. Collaborative religious coping (kolaborasi koping keagamaan) dalam menyelesaikan masalah. Ketika menghadapi masalah individu mampu berusaha, berdoa, dan merasa mendapatkan bimbingan dari Allah. Mereka merasa ditemani Allah saat menghadapi masalah.
3. Seeking spiritual support (mencari dukungan rohani), mencari kenyamanan dan keamanan melalui cinta dan kasih sayang Allah. Ketika mengalami musibah individu menganggap hal tersebut sebagai ujian karena Allah menyayanginya. Individu berusaha ikhlas dan berusaha mengingat Allah untuk menghilangkan perasaan takutnya.
4. Religious purification (pemurnian keagamaan), melakukan pembersihan spiritual melalui amalan religius, seperti memohon
ampun kepada Allah dan mengakui dosa-dosa yang telah diperbuat. Melakukan amal kebaikan untuk mengurangi dosa.
5. Spiritual connection (hubungan rohani), mencari rasa keterhubungan dengan kekuatan transenden. Individu menganggap bahwa segala sesuatu yang dialami sudah menjadi kehendak Allah. Dengan melihat ciptaan Allah, mereka semakin yakin bahwa Allah benar-benar ada, dan merasa doanya dikabulkan oleh Allah.
6. Sekking support from clergy or members (mencari dukungan dari pemimpin agama atau para anggotanya), mencari kenyamanan dan keamanan melalui cinta dan kasih sayang saudara seiman dan alim ulama. Ketika menghadapi cobaan individu mencari dukungan spiritual dari ustad.
7. Religious helping (bantuan agama), meningkatkan dukungan spiritual dan kenyamanan pada sesama, seperti mendoakan teman agar mereka mendapat kekuatan Allah untuk mengatasi masalahnya.
8. Religious for giving (agama untuk memberi), mencari pertolongan agama untuk menghilngkan setiap kemarahan, rasa sakit, dan ketakutan yang berkaitan dengan sakit hati. Untuk mengurangi rasa marah dan takut berusaha meminta petolongan Allah. Dengan mengingat Allah individu mudah menerima dengan ikhlas kejadian yang tidak menyenangkan.
Selanjutnya aspek negatif meliputi:
1. Punishing god reappraisal (menghukum penilaian Tuhan), menggambarkan kembali sumber masalah seagai sebuah hukuman dari Allah atas dosa-dosa yang telah diperbuat oleh individu.
2. Demonic reappraisal (pemikiran jahat), menggambarkan permasalahan sebagai tindakan yang dilakukan oleh kekuatan jahat.
3. Reappraisal of god is powers (penilaian terhadap Tuhan adalah kekuatan), menggambarkan kekuatan Allah untuk mempengaruhi situasi buruk. Individu meminta kepada Allah agar supaya membalas orang yang pernah menyakitinya.
4. Self-directing religious coping (mengarahkan pengaturan keagamaan kepada diri sendiri), mencari cara melalui inisiatif sendiri dibandingkan meminta bantuan pada Tuhan. Individu berusaha mengatasi masalah sendiri tanpa memohon bantuan Allah dan percaya bahwa bisa mengatasi tanpa bantuan Allah.
5. Spiritual discontent (ketidakpuasan rohani), ekspresi kecemasan dan tidak puas terhadap Tuhan. Individu merasa kecewa karena tidak diperhatikan oleh Allah.
6. Interpersonal religious discontent (ketidakpuasan agama antar pribadi), ekspresi kecemasan dan ketidakpuasan terhadap alim ulama maupun saudara seiman. Individu merasa tidak puas dengan saran ustad dalam mengatasi masalahnya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa aspek coping religious ada dua, yaitu coping religious positif dan coping religious negatif. Coping religious positif merefleksikan hubungan yang aman dengan Tuhan. Sedangkan coping religious negatif merefleksikan hubungan yang kurang aman dengan Tuhan
c. Bentuk Coping Religious
Pargament (1997) membedakan Coping Religious menjadi tiga bentuk, antara lain self-directing, defering, dan collaborative.
1. Self-Directing
Merupakan metode coping religious dengan cara berfokus pada diri sendiri daripada menggantungkannya kepada Tuhan.
Akan tetapi bukan berarti melupakan Tuhan hanya saja konotasinya berbeda. Misalnya individu merasa bahwa dapat mengatasi permasalahannya sendiri tanpa meminta bantuan Tuhan.
2. Deferring
Metode coping religious dengan cara menyerahkan semuanya kepada Tuhan secara pasif. Meyakini bahwa Allah SWT akan
memberikan solusi terbaik untuknya. Misalnya individu akan pasrah dan sabar dalam menghadapi kondisi yang buruk.
3. Collaborative
Merupakan gabungan dari metode self-directing dan deferring.
Metode ini dilakukan dengan cara individu dan Tuhan menjadi partner. Individu berusaha menangani permasalahan dengan cara meminta bantuan kepada Tuhan. Misalnya indivdu melaksanakan ritual keagamaan yang bisa menumbuhkan ketenangan, seperti sholat, membaca Al-Quran, dzikir, berdo‟a, puasa, dan lain-lain.
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa coping religious merupakan metode dengan pencampuran agama melalui sholat, membaca Al-Quran, dzikir, berdo‟a, puasa, serta meyakini bahwa Allaah akan memberikan solusi yang terbaik.
3. Lansia
a. Pengertian Lansia
Lansia atau lanjut usia adalah tahapan terakhir dalam rentang hidup manusia. Lansia adalah tahapan terakhir dalam perkembangan manusia yang tidak dapat dihindari oleh siapapun dan ditandai dengan adanya perubahan-perubahan (Maryam & Ekasari, 2012). Menurut Derokterat Pengembangan Ketahanan Keluarga BKKBN (dalam Pandji, 2013), mengkategorikan lansia sebagai berikut: 1) Lansia awal
yaitu kelompok lansia yang baru memasuki lansia berusia 45-54 tahun. Pra lansia berusia 55-59 tahun. Dan 3) Lansia yang berusia 60 tahun keatas yang menurut UU No.23 tahun 1998 lansia ditetapkan mulai usia tersebut.
Sudirman, (2011) menyebutkan bahwa masa lansia ditandai dengan adanya proses penuaan. Proses penuaan merupakan proses biologis yang terus menerus terjadi pada setiap individu dan berakhir pada usia lanjut. Proses penuaan dapat dilihat dari beberapa pendekatan seperti pendekatan biologis dan pendekatan kronologis. Pendekatan biologis dilihat berdasarkan keadaan biologis atau fisiknya. Pendekatan kronologis diihat berdasarkan usia individu. Namun seringkali terjadi perpaduan antara kedua pendekatan ini, individu yang dengan usia kronologis masih muda namun kondisi fisiknya sudah tua dan sebaliknya individu yang berdasarkan usia kronologisnya sudah tua
namun memiliki keadaan fisik yang masih bugar (Sudirman, 2011).
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa lansia adalah tahapan terakhir dari perkembangan manusia yang sudah pasti akan dialami oleh setiap individu yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan dan terjadi berdasarkan proses penuaan. Proses penuaan dapat dilihat berdasakan pendekatan biologis dan kronologis.
Lansia dikategorikan menjadi lansia awal (45-54 tahun), pra lansia (55-59 tahun) dan lansia 60 tahun keatas.
b. Batasan Usia Lansia
Menurut Derokterat Pengembangan Ketahanan Keluarga BKKBN (dalam Pandji, 2013), mengkategorikan lansia sebagai beriut:
1. Lansia awal yaitu kelompok lansia yang baru memasuki lansia dengan rentang usia 45-54 tahun.
2. Pra lansia dengan rentang usia 55-59 tahun
3. Lansia 60 tahun keatas yang menurut UU No.23 tahun 1998 lansia ditetapkan mulai usia tersebut.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa individu dapat disebut lansia ketika sudah berusia 60 tahun keatas.
c. Karakteristik Lansia
Purnama & Hikmawati, (2009) menyebutkan beberapa karakteristik yang dimiliki lansia, antara lain:
1. Jenis kelamin, lansia yang berjenis kelamin perempuan biasanya lebih dominan dibandingkan dengan lansia laki-laki.
Hal ini menunjukan harapan hidup yang paling tinggi adalah perempuan
2. Usia, lansia yang memiliki usia 70 tahun keatas mengalami penurunan dalam kemampuan untuk pemenuhan aktivitas keseharian.
3. Pendidikan, lansia yang pada dasarnya memiliki pendidikan yang tinggi lebih mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari- harinya.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa lansia memiliki karakteristik harapan hidup perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Pada usia 70 tahun keatas akan mengalami penurunan kemampuan untuk beraktivitas. Lansia yang memilki pendidikan tinggi lebih mampu memenuhi kebutuhannya.
d. Perubahan-Perubahan Pada Lansia
Fatimah, (2010) menyebutkan bahwa pada proses menua terjadi beberapa perubahan pada lansia. Perubahan tersebut sebagai berikut:
1. Perubahan Fisik
Perubahan fisik adalah perubahan yang paling terlihat oleh orang lain. Perubahan fisik sebagian besar terjadi ke arah yang lebih buruk. Proses dan kecepatan perubahan pada setiap individu berbeda (Fatimah, 2010).
a) Perubahan Sel
Berkurangnya sel dan jaringan dalam tubuh mengakibatkan sistem organ menjadi tidak efisien.
Kemampuan sel untuk memperbarui diri sendiri juga berkurang. Akibatnya lansia menjadi pendek karena terjadi pengurangan lebar bahu, pelebaran lingkar dada
dan perut. Kulit juga menjadi lebih tipis dan terlihat berkeriput.
b) Perubahan Jantung
Fungsi jantung adalah mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Perubahan kasdiovaskuler terjadi pada struktur jantung. Akibatnya terjadi penurunan elastisitas dinding aorta, katup jantung menebal dan kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun 1 % sehingga volume dan kontraksinya menurun. Perubahan mengakibatkan hilangnya elastisitas pembuluh darah, efektivitas pembuluh darah prefier berkurang, tekanan darah rendah akibat dari duduk ke berdiri.
c) Perubahan Sistem Pernafasan
Perubahan sistem pernafasan seperti peningkatan diameter anteriposterior dada, kivosis akibat kolpas asteoporotic vertebra, penurunan mobilitas dan klasifikasi kartilago kosta, penurunan efisiensin otot pernafsan, hilangnya recoil paru membuat kapasitas vital paru menurun. Pada lansia bernafas menjadi lebih sulit akibat dari cara pemanfaatan tenaga yang tidak normal, sehingga lansia membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membentuk tarikan pernafasan dan gerakan jantung yang normal.
d) Perubahan Kulit
Pada lanisa terjadi perubahan pada fungsi kulit dimana epidermis dan dermis menipis, berkurangnya serat elastisitas dan kolagen menjadi kaku. Penurunan suplai darah karena hilangnya kapiler kulit sehingga kulit menjadi keruput, menggelembir dan hilang kekenyalannya. Penurunan aktivitas kelenjar sebasea membuat kulit menjadi kering dan iritasi. Penurunan kelenjar kringat juga menyebabkan kulit mudah terasa gatal.
e) Perubahan Sistem Reproduksi
Pada saat menopause terjadi penurunan produksi esterogen dan progesteron oleh ovarium. Perubahan pada lansia laki- laki adalah penurunan kadar androgen serta ukuran penis dan testis mengecil. Pada lansia perempuan perubahan yang terjadi adalah ukurang vagina mengecil, dinding vagina mengecil, hilangnya elastisitas vagina, penurunan sekresi membuat vagina terasa kering, gatal dan penurunan keasaman vagina.
f) Perubahan Kandung Kemih (Genitounaria)
Penurunan kapasitas pada kandung kemih membuat lansia tidak dapat sepenuhnya mengkosongkan kandung kemihnya. Terjadi pembesaran kelenjar prostat pada lansia
laki-laki yang menyebabkan retensi urin yaitu rasa ingin buang air kecil berlebih namun urin yang dikeluarkan hanya sedikit. Pada lansia perempuan terjadi penurunan tonus otot parineal sehingga mengakibatkan inkontinensia stres atau kebocoran urin ketika mengalami batuk, tertawa, mengangkat barang dan berolahraga.
g) Perubahan Sistem Pencernaan (Gastrointestinal)
Pada saluran gastrointestinal atau sistem pencernaan lansia mengalami keterlambatan pengosongan esophagus karena otot sfingter gastroesofagus gagal relaksasi. Motilitas gaster juga mengalami penurunan sehingga terjadi keterlambatan pengosongan lambung. Pada usus halus absorbsi zak gizi juga berkurang.
h) Perubahan Tulang
Pada lansia terjadi perubahan osteoporotic tulang punggung, fleksi lutut, fleksi pinggul dan kifosis sehingga menjadi lebih pendek. Perubahan ini juga menyebabkan berkurangnya keseimbangan serta fungsi organ. Kekuatan pada otot melemah dan ukurannya mengecil.
i) Perubahan Persarafan
Pada lansia terjadi pengurangan sel saraf akibat dari kerusakan dan tidak dapat diganti. Perubahan sistem saraf pada otak mengakibatkan penurunan daya ingat,
pemecahan masalah, penerimaan dan pemrosesan informasi.
j) Perubahan Sensorik
Pada lansia perubahan sesorik terjadi akibat penurunan persepsi sensoris pada setiap indra. Pada indera penglihatan sel tengah lensa tidak mengalami pembaruan sehingga menjadi kuning, padat, kaku dan berkabut.
Flleksibelitas lensa menurun sehingga titik dekat fokus berpindah lebih jauh. Kemampuan lansia dalam membedakan warna juga berkurang. pada sistem pendengaran, kemampuan mendengarkan nada dengan frekuensi tinggi pada lansia berkurang. Sensitifitas indra peraba pada lansia berkurang karena kulit semakin kering dan tebal.
2. Perubahan Psikososial
Perubahan psikososial adalah perubahan pada kehidupan, sering kali perubahan ini diukur dengan identitas dan produktivitas individu dengan perananya dalam pekerjaan (Fatimah, 2010). Menurut Santrock (2012) perubahan psikosisal digambarkan dalam teori aktivitas atau activity theory menyebutkan bahwa semakin banyak akivitas yang dilakukan oleh lansia maka semakin puas lansia dengan kehidupannya. Pada aktivitasnya lansia akan lebih selektif
dalam memilih lingkungannya karena merasa sedih akibat isolasi social dari lingkungannya, sehingga melakukan kegiatan dengan teman ataupun keluarga yang telah dikenalnya, serta berusaha menjadi semakin dekat dengan merka daripada harus menjalin relasi baru dengan orang lain.
Teori selanjutnya adalah selectivity theory menyebutkan bahwa sebagian besar lansia mengalami isolasi sosial dari lingkungannya (Santrock, 2012).
3. Perubahan Ekonomi
Pada umumnya individu akan melakukan pensiun kerja pada usia 60 tahun. Lansia yang sudah berusia 60 tahun keatas tentu saja harus melakukan pensiun kerja, hal ini membuat para lansia kehilangan pekerjaan dan tidak memiliki pemasukan.
Individu yang semula bisa mencukupi kehidupannya sekarang harus menggantungkan hidupnya pada orang lain (Fatimah, 2010).
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa lansia akan mengalami perubahan-perubahan seperti perubahan fisik, perubahan psikososial dan perubahan ekonomi. Perubahan fisik meliputi penurunan fungsi sel jaringan, fungsi jantung, fungsi pernafasan, fungsi kulit, fungsi sistem reproduksi, fungsi kandung kemih, fungsi sistem pencernaan, fungsi tulang, fungsi pernafasan serta fungsi sensorik.
e. Lansia Tinggal Sendiri
Lansia yang tinggal sendiri adalah lansia yang hidup hanya seorang diri di sebuah tempat tinggal dimana anak atau kerabatnya tinggal di tempat lain. Menurut Osei-Waree (2016) alasan lansia tinggal sendirian ada lima, alasan pertama anak yang sedang merantau atau anak yang sudah memiliki keluarga sendiri. Kedua, pasangan yang sudah lebih dahulu meninggal dunia. Ketiga, gagalnya hubungan pernikahan karena ketidakcocokan dengan pasangan yang menyebabkan perceraian. Keempat, tidak ingin membebani anak dengan mengganggu dan bergantung pada anak. Kelima, beberapa lansia mengalami pengabaian oleh keluarga maupun teman sebayanya.
Lansia yang hidup sendiri lebih mungkin dibandingkan lansia yang menjadi miskin bersama pasangannya (Administration on Aging, dalam Papalia & Feldman, 2014).
Lansia yang tinggal sendirian cenderung akan merasa kesepian dengan ketidakmampuan dan penarikan dari lingkungannya (Papalia
& Feldman, 2014). Kesepian adalah kondisi emosional yang membuat seseorang merasa jauh atau terasing dari lingkungannya. Kesepian pada lansia merupakan keadaan di mana lanjut usia merasa sendirian, terisolasi, merasa tidak memiliki satu orang pun yang dapat membantunya ketika dibutuhkan serta merasa tidak ada waktu untuk berhubungan dengan lingkungannya baik dengan keluarga maupun tetanga tempat tinggalnya (Santrock, 2012). Kesepian akan sangat
dirasakan oleh lansia yang hidup sendirian, tanpa anak, kesehatan rendah, dan sebagainya. Kesepian pada lansia menimbulkan masalah psikologis yang lebih dominan dibandingkan masalah fisik (Sudirman, 2011). Dapat ditarik kesimpulan bahwa lansia yang tinggal sendiri adalah lansia yang hidup disebuah tempat tinggal tanpa ditemani siapapun dengan alasan anak sedang merantau atau sudah memiliki keluarga, pasangan yang sudah lebih dahulu meninggal dunia, gagalnya hubungan pernikahan, tidak ingin membebani anak serta mengalami pengabaian yang dapat membuat lansia merasa kesepian dan merasa cemas.
B. Telaah Pustaka
Dalam penelitian ini, disajikan beberapa penelitian terdahulu untuk memperkaya referensi dan sebagai bukti bahwa skripsi yang dibahas terjamin keasliannya.
No Nama Peneliti, Tahun, Judul
Penelitian
Metode Hasil Penelitian
1. Salsabila Yurizqi, (2022), “Hubungan Antara Coping Religiusitas Dengan Kecemasan
Narapidana Menjelang Masa Bebas Di Lembaga
Permasyarakatan Kelas II A Kabupaten Banyuwangi”.
Kuantitatif, analisis korelatif
Terdapat hubungan negatif antara coping religiusitas dengan kecemasan para narapidana, hal ini menunjukan semakin tinggi tingkat religiusitas akan semakin rendah tingkat kecemasan dan begitu pula sebaliknya semakin rendah tingkat religiusitas semakin tinggi tingkat kecemasan
2. Reza, (2016),
“Implementasi Coping
mixed methods
Pasien gagal ginjal kronik rentan mengalami gangguan aspek fisik-
Religiusitas Dalam Mengatasi Gangguan Fisik-Psikis-Spiritual Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik”
psikologis-soal-spiritual yang bersumber dari gangguan psikologis dan fisik. Untuk mengatasi setiap aspek yang dialami coping religious menjadi cara yang digunakan.
3. Juniarly, (2012),
“Peran Koping
Religius Dan
Kesejahteraan
Subjektif Terhadap Stress Pada Anggota Bintara Polisi Di Polres Kebumen”
kuantitatif, analisis korelasi parsial
Terdapat korelasi negatif yang sangat signifikan antara coping religious dengan stress setelah kesejahterahan subjektif terkontrol.
4. Angganantyo, (2014), dengan judul “Coping Religius Pada Karyawan Muslim Sitinjau Dari Tipe Kepribadian”
Kuantitatif Adanya perbedaan dalam penggunaan jenis coping religius namun tidak signifikan karena nilai Xhitung> Xtabel dimana Xhitung sebesar 11,68 dan Xtabel sebesar 12,59. Terlebih nilai signifikansi dari hasil analisis sebesar 0,06 (P
> 0,05). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan namun tidak bermakna.
5. Karim & Yoenanto, (2021), “Dukungan Sosial dan Religiusitas Terhadap Kecemasan Yang Tinggal Sendiri Selama Masa Pandemi Civid-19”.
Kuantitatif Dukungan social dan religiusitas berpengaruh signifikan terhadap kecemasan masyarakat yang tinggal sendiri pada masa pandemi covid-19.
6. Semenova &
Stadtlander, (2016),
“Death Anxiety, Depression, and Coping in Family Caregivers”.
Kuantitatif Terdapat hubungan yang signifikan antara kecemasan kematian, depresi dengan coping dalam pengasuh keluarga
7. Noviyanti, (2019),
“Strategi Coping Pada Lansia di Panti Jompo Tresna Werdha Palembang”.
Kualitatif Deskriptif
Pada penelitian ini bentuk strategi coping yang digunakan adalah problem focused coping dengan memilih diam dan tidak membuat masalah semakin besar.
Emotion focused problem dengan melakukan aktivitas keseharian yang positif. Religious focused coping denganmendekatkan diri
kepada Allah SWT berupa berdoa, sholat, serta mendengarkan ceramah yang diadakan di panti jompo.
8. Adriani, (2019),
“Religious Coping
Pada Lansia:
Pengaruhnya
Terhadap Kesehatan Mental”
Kuantitatif Religious coping secara umum mempengaruhi kesehatan mental, semakin tinggi coping religious maka semakin tinggi kesehatan mental.
9. Andriani, Lukitasari, dan Hasbalah, (2019),
“Strategi Koping Lansia Dengan Tempat Tinggal di Ulee Kareng Banda Aceh”
Kuantitatif, deskriptif komparatif
Terdapat hubungan strategi problem focused coping dan emotional focused coping, dan tidak ada hubungan strategi religious coping dengan lansia yang tinggal di rumah dan dipanti.
10. Nurhayati, (2012),
“Dukungan Sosial dan Strategi Coping Para Lansia
Kuantitatif Terdapat hubungan positif antara dukungan social dengan problem focused coping, artinya semakin tinggi dukungan sosial semakin tinggi lansia melakukannya.
Terdapat hubungan negative antara dukungan sosial dengan emotion focused coping, artinya semakin tinggi dukungan social akan semakin rendah penggunaan emotion focused coping.
Tabel 1. Telaah Pustaka
Penelitian sebelumnya menjelaskan terdapat hubungan antara coping religiusitas dengan kecemasan para narapidana, hal ini menunjukan semakin tinggi tingkat religiusitas akan semakin rendah tingkat kecemasan dan begitu pula sebaliknya semakin rendah tingkat religiusitas semakin tinggi tingkat kecemasan (Salsabila Yurizqi, 2022). Coping religious dapat digunakan untuk mengatasi gangguan aspek fisik-psikologis-soal-spiritual pada pasien
gagal ginjal kronik (Reza, 2016). Coping religious terdapat hubungan yang signifikan dengan stress, hal ini menujukan semakin tinggi coping religiusitas semakin rendah tingkat stress setelah kesejahteraan subjektif terkontrol (Juniarly, 2012). Adanya perbedaan dalam penggunaan jenis coping religius namun tidak signifikan karena nilai Xhitung> Xtabel dimana Xhitung sebesar 11,68 dan Xtabel sebesar 12,59. Terlebih nilai signifikansi dari hasil analisis sebesar 0,06 (P > 0,05), hal ini menunjukkan adanya perbedaan namun tidak bermakna (Angganantyo, 2014). Individu yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga baik secara fisik dan psikis mengalami kecemasan yang tinggi.
Strategi coping yang digunakan adalah problem focused coping (PFC) dan emotion focused coping (EFC) (Rahayu, 2013). Dukungan social dan religiusitas berpengaruh signifikan terhadap kecemasan masyarakat yang tinggal sendiri pada masa pandemi covid-19 (Karim & Yoenanto, 2021).
Terdapat hubungan yang signifikan antara kecemasan kematian, depresi dengan coping dalam pengasuh keluarga (Semenova & Stadtlander, 2016). Bentuk strategi coping yang digunakan oleh lansia di Panti Jompo Tresna Werdha Palembang adalah problem focused coping dengan memilih diam dan tidak membuat masalah semakin besar. Emotion focused problem dengan melakukan aktivitas keseharian yang positif. Religious focused coping denganmendekatkan diri kepada Allah SWT berupa berdoa, sholat, serta mendengarkan ceramah yang diadakan di panti jompo (Noviyanti, 2019).
Religious coping secara umum mempengaruhi kesehatan mental, semakin tinggi coping religious maka semakin tinggi kesehatan mental pada lansia
(Adriani, 2019). Terdapat hubungan strategi problem focused coping dan emotional focused coping, dan tidak ada hubungan strategi religious coping dengan lansia yang tinggal di rumah dan dipanti (Andriani et al., 2019).
Terdapat hubungan positif antara dukungan social dengan problem focused coping, artinya semakin tinggi dukungan sosial semakin tinggi lansia melakukannya. Terdapat hubungan negative antara dukungan sosial dengan emotion focused coping, artinya semakin tinggi dukungan social akan semakin rendah penggunaan emotion focused coping (Nurhayati, 2012).
Berdasarkan ulasan oleh beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, penelitian ini memeiliki beberapa hal yang mengandung kebaruan. Pertama, penelitian terdahulu secara khusus belum mendalami kecemasan menghadapi kematian dengan subjek lansia yang tinggal seorang diri. Kedua, penelitian terdahulu belum menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Ketiga, lokasi penelitian terjangkau oleh peneliti sehingga diharapkan akan mempermudah dan penelitian berjalan lancar, serta belum pernah ada penelitian tentang coping religious kecemasan menghadapi kematian pada lansia di Kampung Bibis Kulon, Keluruhan Gilingan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta.
C. Kerangka Berfikir
Lansia adalah tahapan terakhir dalam siklus kehidupan manusia, selain tinggal bersama keluarga dan tinggal bersama pasangan tidak sedikit lansia yang tinggal seorang diri. Lansia yang tinggal sendiri cenderung
merasakan kecemasan terhadap kematian. Faktor yang menjadi penyebab kecemasan terhadap kematian, yaitu faktor usia, integritas ego, kontrol diri, personal sense of fulfillment, religiusitas, stressfull environtmen, diagnosis penyakit yang parah atau mematikan dan pengalaman dengan kematian.
Penyebab kecemasan terhadap kematian setiap individu tentu saja berbeda.
Begitupula dengan cara yang digunakan setiap individu untuk mengatasi kecemasan terhadap kematian tersebut. Cara yang digunakan untuk mengatasi kecemasan terhadap kematian memiliki dampak positif maupun negatif, oleh sebab itu dibutuhkan strategi-strategi coping yang baik. Salah satu strategi coping yang dapat dilakukan adalah coping religius. Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa bentuk coping religious adalah self- directing, defering, dan collaborative.
Gambar 1 Kerangka Teori Lansia
Tinggal Bersama Keluarga
Tinggal Bersama Pasangan Tinggal
Seorang Diri
Psikologi s
Fisik
1. Usia
2. Integritas ego 3. Kontrol diri
4. Personal sense of fulfillment 5. Religiusitas
6. Stressfull environtmen
7. Diagnosis penyakit mematikan 8. Pengalaman dengan kematian
1. Self-Directing 2. Deferring 3. Collaborative Problematika
Salah satu bentuk problematika psikologis
Kecemasan Menghadapi Kematian Faktor Penyebab
Bentuk Coping Religious