• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SQUARE UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP FISIKA DAN MENGETAHUI PROFIL KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI LISAN SISWA SMP.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SQUARE UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP FISIKA DAN MENGETAHUI PROFIL KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI LISAN SISWA SMP."

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

vi DAFTAR ISI

halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Batasan Masalah... 8

D. Variabel Penelitian ... 9

E. Definisi Operasional ... 9

F. Tujuan Penelitian ... 10

G. Populasi dan Sampel Penelitian ... 11

BAB II MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK- PAIR-SQUARE, PENGUASAAN KONSEP FISIKA DAN KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI LISAN ... 12

A. Model Pembelajaran Kooperatif tipe Think-Pair-Square ... 12

B. Penguasaan Konsep Fisika ... 16

(2)

vii

D. Hubungan Model Pembelajaran Kooperatif dengan Penguasaan

Konsep dan Keterampilan Beromunikasi Lisan ... 22

E. Hasil Penelitian yang Relevan ... 26

BAB III METODE PENELITIAN ... 27

A. Metode Penelitian ... 27

B. Desain Penelitian ... 28

C. Prosedur Penelitian... 29

D. Teknik Pengumpulan Data ... 31

E. Teknik Analisis Instrumen Penelitian ... 33

F. Teknik Pengolahan Data ... 39

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 43

A. Pelaksanaan Penelitian ... 43

B. Keterlaksanaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square ... 44

C. Analisis dan Pembahasan Hasil Penelitian ... 49

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75

LAMPIRAN ... 77

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Banyak ahli mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan implementasi

kurikulum, tetapi banyak juga yang mengemukakan bahwa pembelajaran itu sendiri

merupakan kurikulum sebagai kegiatan. Sejak tahun 2006 kurikulum yang berlaku di

Indonesia adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, disingkat dengan KTSP.

Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dikemukakan oleh pusat

kurikulum Balitbang Depdiknas (2006: 377) yang menyatakan bahwa mata pelajaran

IPA di SMP bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:

1) Meningkatkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; 2) Mengembangkan pemahaman tentang berbagai macam gejala alam, konsep dan prinsip IPA yang bermanfaat; 3) Mengembangkan sikap positif dan kesadaran terhadap adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat; 4) Melakukan inkuiri ilmiah untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bersikap dan bertindak ilmiah; 5) Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan; 6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan keteraturannya, dan; 7) Meningkatkan pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya.

Berkaitan dengan mata pelajaran fisika yang tergabung dalam rumpun IPA,

KTSP menyatakan bahwa :

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga dapat membantu siswa untuk

(4)

memperoleh pemahaman yang mendalam tentang alam sekitar. (Depdiknas, 2006:377).

Sejalan dengan pernyataan diatas, Anita Lie (2007: 5) yang mengemukakan

teori, penelitian dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar membuktikan bahwa guru

dan dosen sudah harus mengubah paradigma pengajaran, pendidik perlu menyusun

dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar berdasarkan beberapa pokok pikiran,

yaitu:

1) Pengetahuan ditemukan, dibentuk dan dikembangkan oleh siswa; 2) Siswa membangun pengetahuan secara aktif; 3) Pengajar perlu berusaha mengembangkan kompetensi dan kemampuan siswa, dan 4) pendidik memerlukan interaksi pribadi di antara para siswa dan interaksi antara guru dan siswa.

Dari uraian di atas tampak bahwa penyelenggaraan pembelajaran fisika dalam

KTSP diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk melatih kemampuan

berpikir, penguasaan pengetahuan, konsep, prinsip fisika, dan keterampilan melalui

pengembangan kompetensi yang dimiliki siswa, berdasarkan fakta-fakta dari suatu

proses penemuan. Agar proses pembelajaran fisika dapat benar-benar berperan seperti

demikian, maka penerapan pembelajaran IPA-Fisika di kelas menuntut keterlibatan

siswa secara aktif dalam mengembangkan potensinya secara optimal. Namun,

kenyataan di lapangan siswa hanya menghafal konsep dan kurang mampu

menggunakan konsep tersebut jika menemukan masalah dalam kehidupan sehari-hari,

hal ini menyebabkan hasil belajar IPA-Fisika siswa masih rendah. Bahkan tidak

sedikit siswa yang kurang mampu mengkomunikasikan pengetahuan dan

pengalamannya dalam memperoleh pengajaran di sekolah, akibat kurang adanya

(5)

Rendahnya hasil belajar IPA-Fisika juga terjadi di salah satu SMP di

Kabupaten Bandung Barat. Hal ini sejalan dengan hasil studi pendahuluan

pembelajaran fisika di SMP tersebut. Studi pendahuluan ini dibuktikan dengan surat

keterangan telah melakukan studi pendahuluan nomor 421/654-SMP.3/2010 dan

dapat dilihat pada lampiran G.3. Dalam studi pendahuluan yang telah dilakukan,

teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah observasi kegiatan belajar

mengajar di dalam kelas, kuesioner, wawancara dengan guru mata pelajaran IPA dan

studi dokumentasi. instrumen studi pendahuluan dapat dilihat pada lampiran A.1.

Setelah dilakukan analisis terhadap data-data hasil studi pendahuluan tersebut

diperoleh informasi sebagai berikut:

1. Dari hasil observasi kegiatan belajar mengajar di dalam kelas diperoleh informasi

bahwa proses pembelajaran yang dilakukan di kelas lebih sering didominasi oleh

guru. Guru lebih menekankan pada penyampaian materi pembelajaran secara

utuh dengan sesekali melemparkan pertanyaan kepada siswa, namun hanya dua

orang siswa yang berani untuk menjawab pertanyaan guru, kebanyak siswa yang

lain hanya diam saja dan disela-sela guru menyampaikan materi guru memberi

kesempatan kepada siswa untuk bertanya, namun hanya ada satu orang siswa

yang bertanya, dan tidak terjadi diskusi sesama siswa. Berdasarkan data dan

analisis data hasil observasi kegiatan belajar mengajar di dalam kelas, peneliti

menyimpulkan bahwa metode pembelajaran yang digunakan guru adalah metode

ceramah, tanya jawab. Peneliti juga berpendapat bahwa pembelajaran kurang

(6)

dengan guru. Hasil observasi kegiatan belajar mengajar di dalam kelas dapat

dilihat pada lampiran A.2.a dan A.3.a.

2. Dari hasil penyebaran angket diperoleh informasi: pertama, 54,1% siswa

(responden) menyatakan bahwa pelajaran fisika banyak rumus. Kedua, 59,5%

siswa (responden) menyatakan bahwa ketika pembejaran fisika mereka jarang

bertanya. Ketiga, 51,4% siswa (responden) menyatakan bahwa ketika

pembejaran fisika mereka jarang berdiskusi. Keempat, 59,5% siswa (response)

menyatakan bahwa ketika pembejaran fisika mereka jarang mengemukakan

pendapat. Dan kelima, 67,6% siswa (responden) menyatakan bahwa cara

pembelajaran dikelas saat belajar fisika dengan metode ceramah. Berdasarkan

data dan analisis data hasil angket, peneliti menyimpulkan bahwa selama

pembelajaran kegiatan kooperatif siswa masih lemah dan keterampilan siswa

dalam berkomunikasi lisan masih kurang. Selain itu juga mayoritas siswa

menyatakan bahwa cara pembelajaran fisika yang sering dilakukan guru adalah

metode ceramah. Hasil angket dan analisisnya dapat dilihat pada lampiran A.2.b

dan A.3.b.

3. Dari hasil wawancara dengan guru diperoleh informasi bahwa hasil belajar siswa

untuk mata pelajaran IPA-Fisika masih masih rendah. Hal ini dibuktikan dengan

perolehan nilai rata-rata ulangan harian IPA-Fisika salah satu kelas sebesar 59,17

dan sebanyak 51,3% dari keseluruhan siswa kelas VII yang ada di sekolah

tersebut mendapatkan nilai ulangan harian IPA-Fisika di bawah KKM

(7)

dapat dilihat pada lampiran A.4). Selain itu juga, dari hasil wawancara ini

diperoleh informasi bahwa siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari

konsep-konsep fisika yang kebanyakan bersifat abstrak. Kendala guru untuk

melakukan eksperimen atau demonstrasi adalah karena keterbatasan alat, waktu,

biaya serta belum memiliki laboratorium sendiri. Berdasarkan data dan analisis

data hasil wawancara dan dokumen, peneliti menyimpulkan bahwa hasil belajar

siswa pada mata pelajaran IPA-Fisika di sekolah tersebut masih rendah. Peneliti

menduga salah satu penyebab rendahnya hasil belajar siswa adalah proses

pembelajaran yang belum tepat, dalam pembelajaran guru jarang melakukan

eksperimen atau demontrasi. Hasil analisis wawancara dan dokumen nilai

ulangan harian siswa dapat dilihat pada lampiran A.2.c., A.3.c, dan A.4.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, peneliti beranggapan bahwa hasil belajar

siswa rendah dan kegiatan kooperatif siswa lemah. Hal ini menjadi indikator

rendahnya penguasaan konsep fisika dan kurangnya keterampilan berkomunikasi

lisan siswa. rendahnya penguasaan konsep fisika dan kurangnya keterampilan

berkomunikasi lisan siswa diduga karena proses pembelajaran yang dilaksanaan

belum tepat. Kebanyakan metode yang digunakan guru dalam mengajar adalah

ceramah dan tanya jawab, sehingga pembelajaran kurang interaktif.

Mengacu pada data dan fakta hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan,

ada peluang untuk meneliti bagaimana meningkatkan penguasaan konsep fisika dan

profil keterampilan berkomunikasi lisan siswa. Salah satu alternatif yang diharapkan

(8)

siswa adalah dengan menerapkan model pembelajaran yang memberikan ruang gerak

yang cukup bagi siswa untuk mengembangkan segala potensi serta keterampilan yang

ada dalam dirinya.

Saat ini telah banyak dikembangkan model pembelajaran yang

mengakomodasi keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran serta pengembangan

kemampuan berpikir dan keterampilan siswa, salah satunya yaitu model pembelajaran

kooperatif tipe Think-Pair-Square.

Model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square merupakan salah satu

teknik yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja sendiri serta

bekerja sama dengan orang lain. Dalam model pembelaran kooperatif tipe

Think-Pair-Square, guru membagi kelompok secara heterogen yang beranggotakan empat

orang dan menentukan pasangan diskusi, pemberian tugas yang sama kepada setiap

siswa, siswa mengerjakan tugas secara individu (fase think), siswa berdiskusi dengan

pasangan dalam kelompoknya (fase pair), selanjutnya kedua pasangan berdiskusi

dalam satu kelompok (fase square) (Lie, 2007: 58). Dalam tahapan

Think-Pair-Square, siswa akan lebih banyak berdiskusi, baik pada saat berpasangan, dalam

kelompok berempat, maupun dalam diskusi kelas, sehingga akan lebih banyak ide

yang dikeluarkan siswa dan akan lebih mudah untuk merekontruksi pengetahuannya.

Dari setiap tahapan pada model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square,

diharapkan penguasaan konsep fisika siswa meningkat menjadi lebih baik dan siswa

terdorong untuk aktif dalam diskusi dan pemecahan masalah secara bersama,

(9)

proses pembelajaran memberikan peluang kepada siswa agar mau mengemukakan

dan membahas suatu pandangan serta memiliki motivasi yang tinggi karena dorongan

dan dukungan rekan sebaya.

Berdasarkan paparan di atas, maka penelitian ini diberi judul: “Penerapan

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square Untuk Meningkatkan

Penguasaan Konsep Fisika dan Mengetahui Profil Keterampilan Berkomunikasi

Lisan Siswa SMP”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya,

permasalahan pada penelitian ini adalah “Bagaimana penerapan model pembelajaran

kooperatif tipe Think-Pair-Square dapat meningkatkan penguasaan konsep fisika dan

mengetahui profil keterampilan berkomunikasi lisan siswa?”. Agar penelitian lebih

terarah, maka permasalahan diatas dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai

berikut:

1. Bagaimana peningkatan penguasaan kosep fisika siswa setelah mengikuti

pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe

Think-Pair-Square?

2. Bagaimana profil keterampilan berkomunikasi lisan siswa setelah mengikuti

pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe

Think-Pair-Square?

3. Bagaimana efektivitas pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dalam

(10)

C. Batasan Masalah

Untuk memfokuskan masalah yang akan di kaji, dalam penelitian ini dibatasi

pada permasalahan:

1. Peningkatan penguasaan konsep yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

kemampuan kognitif menurut taksonomi Bloom yang hanya meliputi hafalan

(C1), pemahaman (C2), aplikasi (C3), dan analisis (C4). Untuk mengetahui

peningkatan penguasaan konsep yang terjadi dilihat dari gain ternormalisasi hasil

pretest dan posttest tiap pertemuan.

2. Profil keterampilan berkomunikasi lisan yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah prosentase keterampilan siswa dalam mengajukan pertanyaan,

menyampaikan pendapat, menanggapi pendapat dan menyampaikan hasil diskusi

kelompok dalam setiap pertemuan.

3. Efektivitas pembelajaran dalam penelitian ini adalah efektivitas pembelajaran

kooperatif tipe Think-Pair-Square dalam meningkatan penguasaan konsep fisika

siswa. Efektivitas pembelajaran ditunjukkan oleh skor rata-rata gain yang

dinormalisasi hasil pretest dan posttest setiap pertemuan dengan kategori

minimal sedang.

D. Variabel Penelitian

Variabel yang akan diteliti meliputi dua variabel, yaitu:

1. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penerapan pembelajaran kooperatif

(11)

2. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah penguasaan konsep fisika dan

keterampilan berkomunikasi lisan.

E. Definisi operasional

1. Model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square merupakan model

pembelajaran yang menggunakan kelompok-kelompok kecil beranggotakan 4

orang yang dalam proses pembelajarannya dilakukan melalui 4 fase, yaitu fase

pemberian masalah, fase Think (berpikir), fase Pair (berbagi berpasangan), dan

fase Square (berempat) (Lie, 2007:58). Keterlaksanaan pembelajaran kooperatif

tipe Think-Pair-Square akan diukur dengan menggunakan lembar observasi

terhadap kegiatan guru dan siswa selama proses pembelajaran dilaksanakan.

2. Penguasaan konsep dimaksudkan sebagai tingkatan dimana seorang siswa tidak

sekedar mengetahui konsep-konsep fisika, melainkan benar-benar memahaminya

dengan baik, yang ditunjukkan oleh kemampuannya dalam menyelesaikan

berbagai persoalan, baik yang terkait dengan konsep itu sendiri maupun

penerapannya dalam situasi baru. Penguasaan konsep yang dimaksud adalah

kemampuan kognitif menurut taksonomi Bloom (Munaf, 2001: 68) yang dibatasi

pada aspek hafalan (C1), pemahaman (C2), aplikasi (C3), dan analisis (C4).

Penguasaan konsep akan diukur dengan pretest dan posttest setiap pertemuan.

3. Keterampilan berkomunikasi lisan yang dimaksud dalam penelitiann ini adalah

kemampuan siswa dalam mengungkapkan satu gagasan, ide atau konsep fisika

(12)

pendapat dan melakukan presentasi. Keterampilan berkomunikasi lisan akan

diukur dengan menggunakan lembar observasi yang memuat indikator-indikator.

4. Efektivitas pembelajaran yang dimaksud adalah efektivitas pembelajaran

kooperatif tipe Think-Pair-Square dalam meningkatan penguasaan konsep fisika

siswa. Efektivitas ditunjukkan oleh skor rata-rata gain yang dinormalisasi hasil

pretest dan posttest setiap pertemuan.

F. Tujuan penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya maka tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe

Think-Pair-Square dapat meningkatkan penguasaan konsep fisika dan mengetahui

profil keterampilan berkomunikasi lisan siswa. Jika dijabarkan, maka tujuan

penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui peningkatan penguasaan kosep fisika siswa setelah mengikuti

pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe

Think-Pair-Square?

2. Untuk mengetahui profil keterampilan berkomunikasi lisan siswa setelah

mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif

tipe Think-Pair-Square?

3. Untuk mengetahui efektivitas pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square

(13)

G. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII di sebuah SMP

yang berada di Kabupaten Bandung Barat tahun pelajaran 2010/2011, sedangkan

sampelnya adalah sejumlah siswa di salah satu kelas dari keseluruhan populasi.

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik purposive

sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Arikunto,

2006: 139-140). Adapun pertimbangan yang dimaksud berkaitan dengan keterbatasan

peneliti yang tidak bisa melakukan sampling secara acak di sekolah tempat penelitian,

karena pihak sekolah tidak mengizinkan formasi kelas yang telah terbentuk

(14)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dikemukakan secara berurutan hasil penelitian yang diperoleh dari penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square pada konsep kalor.

A. Pelaksanaan Penelitian

Dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini, sampel diberi perlakuan (treatment) yaitu berupa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square guna meningkatkan penguasaan konsep fisika siswa. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dilakukan dalam tiga pertemuan. Untuk mengetahui peningkatan penguasaan konsep fisika siswa, maka pada setiap pertemuan dilakukan pengambilan data. Untuk mengetahui peningkatan penguasaan konsep fisika siswa dilakukan tes pilihan ganda berupa tes objektif sebelum diberikan perlakuan (pretest) dan sesudah diberikan perlakuan (posttest).

Dalam penelitian ini dari tiap pertemuan dibantu oleh sembilan orang observer. Empat observer yang bertindak untuk mengobservasi relevansi aktivitas siswa dan aktivitas guru dengan fase-fase dalam model kooperatif tipe Think-Pair-Square. Observasi relevansi aktivitas siswa dan guru ini dilakukan berkaitan dengan keterlaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square di setiap pertemuan. Sedangkan lima observer lainnya yang bertindak untuk mengobservasi keterampilan berkomunikasi lisan siswa selama diberikan perlakuan disetiap pertemuan.

(15)

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil lokasi penelitian di salah satu SMP yang berada di Kabupaten Bandung Barat, dengan mengambil populasi seluruh siswa kelas VII SMP tersebut, dan sampelnya adalah sejumlah siswa di salah satu kelas dari keseluruhan populasi. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square yang dilakukan sebanyak tiga kali pertemuan. Ketiga pertemuan ini disesuaikan dengan jadwal pelajaran fisika di kelas, yaitu dilakukan dalam dua minggu karena sampel penelitian yaitu sebanyak dua kali setiap minggu. Pertemuan pertama dilaksanakan pada hari Senin tanggal 22 November 2010 membahas tentang kalor dan pengaruh kalor terhadap perubahan suhu suatu zat, pertemuan kedua dilaksanakan pada hari Senin tanggal 29 November 2010 pada pertemuan kedua ini membahas tentang peran kalor terhadap perubahan wujud zat, dan pertemuan ketiga dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 30 November 2010 membahas tentang perpindaha kalor. Kegiatan penelitian ini dibuktikan dengan surat keterangan telah melaksanakan penelitian Nomor 421/723-SMP.3/2010 dan dapat dilihat pada lampiran G.7. Adapun perangkat pembelajaran untuk ketiga pertemuan yaitu RPP, skenario pembelajaran, soal test, format observasi keterampilan komunikasi lisan siswa, dan format keterlaksanaan model pembelajaran dapat dilihat pada lampiran B.1, lampiran B.2, lampiran B.3, lampiran D.1.b., lampiran D.2.b, lampiran D.3.b, lampiran D.4, dan lampiran D.5.

(16)

siswa dan aktivitas guru, yaitu persentase relevansi aktivitas guru dan siswa selama kegiatan pembelajaran.

Relevansi aktivitas guru dan siswa menggambarkan seberapa jauh guru dan siswa telah menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square. Format observasi selengkapnya dapat dilihat pada lampiran D.5.a dan lampiran D.5.b.

1. Keterlaksanaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square pada Pertemuan I

(17)

Keterlaksanaan kegiatan pembelajaran pada pertemuna I tidak sepenuhnya tercapai, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya penggunaan waktu yang kurang efisien, materi ajar pada pertemuan I ini cukup banyak, guru dan murid masih belum terbiasa dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dalam pembelajaran. Hal tersebut menjadi catatan perbaikan pada pertemuan berikutnya.

2. Keterlaksanaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square pada Pertemuan II

(18)

sehingga persentase rata-rata aktivitas guru dan siswa yang diperoleh menunjukkan keterlaksanaan model pembelajaran yang diterapkan.

Keterlaksanaan kegiatan pembelajaran pada pertemuna II masih belum sepenuhnya tercapai, walaupun pada kegiatan pendahuluan sudah terlaksana 100%, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya penggunaan waktu yang masih kurang efisien, walaupun materi ajar pada pertemuan II terbilang tidak terlalu banyak, akan tetapi pada saat pelaksanaannya guru masih belum bisa melaksanakan tahapan dari model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dengan sistematis Hal tersebut menjadi catatan perbaikan pada pembelajaran berikutnya.

3. Keterlaksanaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square pada Pertemuan III

(19)

Adapun rekapitulasi mengenai persentase relevansi aktivitas guru dan siswa dalam melaksanakan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square tiap pertemuannya ditunjukkan pada tabel 4.1 dan tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.1

Persentase Keterlaksanaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square oleh Guru

Aktivitas Tahap

Pembelajaran Tahapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square Prosentase Keterlaksanaan pada Pertemuan I (%) II (%) III (%) Guru

Pendahuluan Penyajian Masalah 85,7 100 100

Inti

Think 66,7 66,7 100

Pair 100 100 100

Square 100 100 100

Diskusi 66,7 100 100

Penutup Evaluasi 66,7 66,7 100

Rata-rata 80,9 88,9 100

Tabel 4.2

Persentase Keterlaksanaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square oleh Siswa

Aktivitas Tahap

Pembelajaran Tahapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square Prosentase Keterlaksanaan pada Pertemuan I (%) II (%) III (%) Siswa

Pendahuluan Penyajian Masalah 78,6 100 100 Inti

Think 80 60 100

Pair 100 100 100

Square 100 100 100

Diskusi 66,7 100 100

Penutup Evaluasi 66,7 66,7 100

Rata-rata 82 87,8 100

(20)

Gambar 4.1

Diagram Keterlaksanaan Model setiap Pertemuan C. Analisis dan Pembahasan Hasil Penelitian

Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa hasil temuan. Temuan yang diperoleh yaitu skor pretest dan posttest untuk diolah dan dianalisis untuk mengetahui peningkatan penguasaan konsep fisika siswa, data observasi keterampilan berkomunikasi lisan siswa untuk diolah dan dianalisis untuk mengetahui profil keterampilan berkomunikasi lisan siswa. Pembahasan terperinci mengenai hasil penelitian yang diperoleh saat pembelajaran pada setiap pertemuan adalah sebagai berikut.

1. Peningkatan Penguasaan Konsep Fisika Siswa setiap Pertemuan

Untuk mengetahui peningkatan penguasaan konsep fisika siswa saat pembelajaran pada setiap pertemuan digunakan data hasil pretest-posttest.

Persentase Keterlaksanaan Model setiap Pertemuan

P

er

se

n

ta

se

K

et

er

la

k

sa

n

aa

n

80,9 82

88,9 87,8

(21)

Pembahasan terperinci mengenai peningkatan penguasaan konsep fisika siswa saat pembelajaran pada setiap pertemuan adalah sebagai berikut.

a. Peningkatan Penguasaan Konsep Fisika Siswa pada Pertemuan I

Untuk mengetahui peningkatan penguasaan konsep siswa sebelum dan sesudah diterapkannya model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dalam pembelajaran, maka skor pretest dan posttest yang telah diperoleh kemudian diolah dan dianalisis. Perhitungan selengkapnya mengenai data preetest dan posttest pertemuan I dapat dilihat pada lampiran E.2.

Berdasarkan perhitungan skor pretest dan posttest saat pembelajaran pada pertemuan I secara garis besar diperoleh skor minimum (Xmin), skor maksimum (Xmaks), nilai skor rata-rata ( ), gain dan gain ternormalisasi <g> seperti ditunjukkan tabel 4.3:

Tabel 4.3

Rekapitulasi Skor Tes Penguasaan Konsep Fisika Siswa pada Pertemuan I

Tes Xideal Xmin Xmaks Gain <g> Kategori

Pretest 10 1,67 7,50 4.33

2,18 0,37 Sedang posttest 10 3,33 10,00 6.50

(22)

Gambar 4.2

Diagram Peningkatan Penguasaan Konsep Fisika Siswa pada Pertemuan I Berdasarkan Tabel 4.3 dan Gambar 4.2 di atas, terlihat bahwa skor rata-rata posttest siswa lebih besar daripada skor rata-rata-rata-rata pretest-nya. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan hasil tes penguasaan konsep fisika siswa setelah treatment yang berupa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square diberikan. Hal tersebut diindikasikan dari adanya peningkatan hasil tes penguasaan konsep fisika siswa yang meningkat. Adapun peningkatan penguasaan konsep fisika siswa pada pertemuan I ini ditunjukkan oleh gain ternormalisasi yang besarnya 0,37 dengan kategori sedang. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran E.2.

Selanjutnya, peneliti juga meninjau profil peningkatan tiap jenjang kognitif yang menjadi aspek penguasaan konsep dalam penelitian ini. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa penguasaan konsep fisika dalam penelitian ini merupakan kemampuan kognitif siswa dalam mengingat (C1), memahami (C2),

4,33

6,50

R

at

a-ra

ta

S

k

o

(23)

mengaplikasikan (C3), dan menganalisis (C4) konsep-konsep fisika dalam pokok bahasan kalor. Namun sebelum meninjau profil peningkatan keempat jenjang kognitif tersebut, peneliti jelaskan terlebih dahulu distribusi aspek kognitif dalam tes penguasaan konsep fisika pada pertemuan I ini, yaitu satu soal untuk jenjang kognitif C1, enam soal untuk jenjang kognitif C2, dua soal untuk jenjang kognitif C3, dan tiga soal untuk jenjang kognitif C4.

Setelah dilakukan analisis data untuk tiap aspek kognitif dalam pertemuan I diperoleh hasil seperti pada tabel 4.4 berikut:

Tabel 4.4

Profil Peningkatan Prestasi Belajar setiap Jenjang Kognitif pada Pertemuan I

Jenjang Pretest Posttest <g> Kategori

Pengetahuan (C1) 0,11 0,69 0,66 Sedang Pemahaman (C2) 3,19 4.44 0,45 Sedang Penerapan (C3) 0,44 0,94 0,32 Sedang

Analisis (C4) 1,47 1,72 0,16 Rendah

(24)

Gambar 4.3

Diagram Peningkatan setiap Jenjang Kognitif pada Pertemuan I Berdasarkan Gambar 4.3 di atas, terlihat bahwa setiap jenjang kognitif mengalami peningkatan. Jenjang kognitif C1 (ingatan) mengalami peningkatan sebesar 0,66 atau 66% dan jenjang ini termasuk pada kategori sedang. Sementara itu, jenjang kognitif C2 (pemahaman) mengalami peningkatan sebesar 0,45 atau 45% dan jenjang ini termasuk pada kategori sedang. Untuk C3 (aplikasi) mengalami peningkatan sebesar 0,32 atau 32% dan jenjang ini termasuk pada kategori sedang. Sedangkan untuk jenjang kognitif C4 (analisis) mengalami peningkatan sebesar 0,16 atau 16% dan jenjang ini termasuk pada kategori rendah. Perhitungan selengkapnya mengenai profil peningkatan setiap jenjang kognitif pada pertemuan I dapat dilihat pada lampiran E.3.a.

0,11 0,69

3,19 4,44

0,44 0,94

1,47 1,72

Profil Peningkatan setiap Jenjang Kognitif padaPertemuan I

Jenjang Kognitif

R

a

ta

-r

a

ta

S

k

o

(25)

b. Peningkatan Penguasaan Konsep Fisika Siswa pada Pertemuan II

Untuk mengetahui peningkatan penguasaan konsep siswa sebelum dan sesudah diterapkannya model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dalam pembelajaran, maka skor pretest dan posttest yang telah diperoleh kemudian diolah dan dianalisis. Perhitungan selengkapnya mengenai data pretest dan posttest pertemuan II dapat dilihat pada lampiran E.2

Berdasarkan perhitungan skor pretest dan posttest saat pembelajaran pada pertemuan II secara garis besar diperoleh skor minimum (Xmin), skor maksimum (Xmaks), nilai rata-rata ( ), gain dan gain ternormalisasi <g> seperti ditunjukkan tabel 4.5:

Tabel 4.5

Rekapitulasi Skor Tes Penguasaan Konsep Fisika Siswa pada Pertemuan II

Tes Xideal Xmin Xmaks Gain <g> Kategori

Preetest 10 1,67 7,50 4,79

2,85 0,55 Sedang posttest 10 5,83 10,00 7,64

(26)

Gambar 4.4

Diagram Peningkatan Penguasaan Konsep Fisika Siswa pada Pertemuan II Seperti halnya pada pertemuan I, pada pertemuan II pun skor rata-rata posttest siswa lebih besar daripada skor rata-rata pretest-nya (dapat dilihat pada Tabel 4.5 dan Gambar 4.4). Pada pertemuan II ini skor rata-rata pretest siswa sebesar 4,79 dan posttest-nya sebesar 7,64. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan hasil tes penguasaan konsep fisika siswa setelah treatment yang berupa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square diberikan. Sedangkan adanya peningkatan hasil tes penguasaan konsep fisika siswa mengindikasikan telah terjadi peningkatan penguasaan konsep fisika siswa. Adapun besarnya peningkatan penguasaan konsep fisika siswa pada pertemuan II ini ditunjukkan oleh gain ternormalisasi yang besarnya 0,55 dengan kategori sedang. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran E.2.

Seperti pada pertemuan I, peneliti juga meninjau profil peningkatan tiap jenjang kognitif yang menjadi aspek penguasaan konsep. Namun sebelumnya

4,79

7,64

R

at

ai

ra

ta

S

k

o

(27)

peneliti memaparkan terlebih dahulu distribusi aspek kognitif dalam tes penguasaan konsep fisika pada pertemuan II ini, yaitu tiga soal untuk jenjang kognitif C1, limasoal untuk jenjang kognitif C2, dua soal untuk jenjang kognitif C3, dan dua soal untuk jenjang kognitif C4.

Setelah dilakukan analisis data untuk tiap aspek kognitif dalam pertemuan II diperoleh hasil seperti pada tabel 4.6 berikut:

Tabel 4.6

Profil Peningkatan Prestasi Belajar setiap Jenjang Kognitif pada Pertemuan II

Jenjang Pretest Posttest <g> Kategori

Pengetahuan (C1) 2,17 2,64 0,57 Sedang Pemahaman (C2) 2,44 3,78 0,52 Sedang Penerapan (C3) 0,53 1,31 0,51 Sedang

Analisis (C4) 0,61 1,44 0,60 Sedang

Apabila Tabel 4.6 di atas disajikan ke dalam bentuk diagram, maka diperoleh hasil seperti gambar berikut:

2,17 2,64

9 2,44

3,78

0,53 1,31

0,61 1,44

Profil Peningkatan setiap Jenjang Kognitif pada Pertemuan II

Jenjang Kognitif

R

a

ta

-r

a

ta

S

k

o

(28)

Gambar 4.5

Diagram Peningkatan setiap Jenjang Kognitif pada Pertemuan II Berdasarkan Gambar 4.5 di atas, terlihat bahwa setiap jenjang kognitif mengalami peningkatan. Jenjang kognitif C1 (ingatan) mengalami peningkatan sebesar 0,57 atau 57% dan jenjang ini termasuk pada kategori sedang. Sementara itu, jenjang kognitif C2 (pemahaman) mengalami peningkatan sebesar 0,52 atau 52% dan jenjang ini termasuk pada kategori sedang. Untuk C3 (aplikasi) mengalami peningkatan sebesar 0,51 atau 51% dan jenjang ini termasuk pada kategori sedang. Sedangkan untuk jenjang kognitif C4 (analisis) mengalami peningkatan sebesar 0,60 atau 60% dan jenjang ini termasuk pada kategori sedang. Perhitungan selengkapnya mengenai profil peningkatan setiap jenjang kognitif pada pertemuan II dapat dilihat pada lampiran E.3.b

c. Peningkatan Penguasaan Konsep Fisika Siswa pada Pertemuan III Untuk mengetahui peningkatan penguasaan konsep siswa sebelum dan sesudah diterapkannya model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square dalam pembelajaran, maka skor pretest dan posttest yang telah diperoleh kemudian diolah dan dianalisis. Perhitungan selengkapnya mengenai data pretest dan posttest pertemuan III dapat dilihat pada lampiran E.2.

(29)

Tabel 4.7

Rekapitulasi Skor Tes Penguasaan Konsep Fisika Siswa pada Pertemuan III

Tes Xideal Xmin Xmaks Gain <g> Kategori

Pretest 10 0.83 7,50 3,87

3,31 0,56 Sedang posttest 10 5.00 10,00 7,18

Bila skor rata-rata pretest dan posttest siswa disajikan dalam bentuk diagram batang, maka akan terlihat rerata peningkatan penguasaan konsep siswa yang diperoleh pada pertemuan III seperti Gambar 4.6 berikut:

Gambar 4.6

Diagram Peningkatan Penguasaan Konsep Fisika Siswa pada Pertemuan III Sama halnya dengan pertemuan I dan II, pada pertemuan III pun skor rata-rata posttest siswa lebih besar daripada skor rata-rata-rata-rata pretest-nya (dapat dilihat pada Tabel 4.7 dan Gambar 4.6). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan hasil tes penguasaan konsep fisika siswa setelah treatment yang berupa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square diberikan. Sedangkan peningkatan hasil tes penguasaan konsep fisika siswa mengindikasikan peningkatan penguasaan konsep fisika siswa. Adapun besarnya

3,87

R

at

a-ra

ta

S

k

o

r

(30)

peningkatan penguasaan konsep fisika siswa ditunjukkan oleh gain ternormalisasi yang besarnya 0,56 dengan kategori sedang. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran E.2.

Seperti pada pertemuan I dan II, peneliti juga meninjau profil peningkatan tiap jenjang kognitif yang menjadi aspek penguasaan konsep. Distribusi aspek kognitif dalam tes penguasaan konsep fisika pada pertemuan III ini, yaitu empat soal untuk jenjang kognitif C1, empat soal untuk jenjang kognitif C2, tiga soal untuk jenjang kognitif C3, dan satu soal untuk jenjang kognitif C4.

[image:30.595.112.514.238.632.2]

Setelah dilakukan analisis data untuk tiap aspek kognitif dalam pertemuan III diperoleh hasil seperti pada tabel 4.8 berikut:

Tabel 4.8

Profil Peningkatan Prestasi Belajar setiap Jenjang Kognitif

Jenjang Pretest Posttest <g> Kategori

Pengetahuan (C1) 1,44 2,86 0,55 Sedang Pemahaman (C2) 1,94 2,92 0,47 Sedang Penerapan (C3) 0,89 1,86 0,68 Sedang

Analisis (C4) 0,36 0,97 0,96 Tinggi

(31)
[image:31.595.117.512.113.626.2]

Gambar 4.7

Diagram Peningkatan setiap Jenjang Kognitif pada Pertemuan III Berdasarkan Gambar 4.7 di atas, terlihat bahwa tiap jenjang kognitif mengalami peningkatan. Jenjang kognitif C1 (ingatan) mengalami peningkatan sebesar 0,55 atau 55% dan jenjang ini termasuk pada kategori sedang. Sementara itu, jenjang kognitif C2 (pemahaman) mengalami peningkatan sebesar 0,47 atau 47% dan jenjang ini termasuk pada kategori sedang. Untuk C3 (aplikasi) mengalami peningkatan sebesar 0,68 atau 68% dan jenjang ini termasuk pada kategori sedang. Sedangkan untuk jenjang kognitif C4 (analisis) mengalami peningkatan sebesar 0,96 atau 96% dan jenjang ini termasuk pada kategori tinggi. Perhitungan selengkapnya mengenai profil peningkatan tiap jenjang kognitif pada pertemuan III dapat dilihat pada lampiran E.3.c.

2. Profil Keterampilan Berkomunikasi Lisan Siswa setiap Pertemuan

Untuk mengetahui profil keterampilan berkomunikasi lisan siswa saat pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square diterapkan pada setiap pertemuan

1,44 2,86

1,94 2,92

0,89 1,86

0,36 0,97

Profil Peningkatan setiap Jenjang Kognitif pada Pertemuan III

Jenjang Kognitif

R

a

ta

-r

a

ta

S

k

o

(32)

digunakan data hasil observasi keterampilan berkomunikasi lisan siswa. Keterampilan berkomunikasi lisan siswa yang dinilai meliputi keterampilan mengajukan pertanyaan (A), keterampilan menyampaikan pendapat (B), keterampilan menanggapi pendapat (C), dan keterampilan menyampaikan hasil diskusi kelompok (D). Pembahasan terperinci mengenai peningkatan keterampilan berkomunikasi lisan siswa pada setiap pertemuannya adalah sebagai berikut. a. Profil Keterampilan Berkomunikasi Lisan Siswa pada Pertemuan I

Pertemuan I dilaksanakan pada hari Senin tanggal 22 November 2010, materi yang dipelajari mengenai kalor dan pengaruh kalor terhadap perubahan suhu suatu zat. Data yang diperoleh dari observer kemudian diolah untuk mendapatkan prosentase nilai rata-rata yang kemudian ditafsirkan berdasarkan kriteria pada tabel 3.8. untuk perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran E.4.a.

[image:32.595.114.514.249.682.2]

Berikut ini disajikan tabel rekapitulasi data hasil observasi setelah dikonsversi ke dalam bentuk persentase dan telah ditafsirkan berdasarkan kriteria:

Tabel 4.9

Rekapitulasi Keterampilan Berkomunikasi Lisan Siswa pada Pertemuan I

Hasil Indikator Keterampilan Berkomunikasi Lisan

A B C D

Σ Skor Total 62 58 59 54

Jumlah Siswa 34 30 30 18

Σ Skor Ideal 144 144 144 144

Persentase (%) 43,03 40,28 40,97 37,50

Kategori Rendah Rendah Rendah Rendah

(33)

diperoleh data untuk masing-masing indikator keterampilan berkomunikasi lisan siswa pada pertemuan I.

(34)

sudah tepat, tetapi masih kurang jelas dalam penyampainnya. Untuk indikator D (menyampaikan hasil diskusi kelompok) termasuk ke dalam kategori rendah dengan P sebesar 37,50%. Sementara untuk banyaknya siswa yang menyampaikan hasil diskusi kelompok ada 18 siswa (50%). Pada indikator D rata-rata siswa saat menyampaikan hasil diskusi kelompok pemaparannya sesuai dan sudah tepat dengan materi yang dibahas tetapi kurang jelas dalam penyampaiannya.

[image:34.595.113.507.248.623.2]

Untuk lebih jelasnya persentase keterampilan berkomunikasi lisan siswa pada pertemuan pertama dapat dilihat pada diagram 4.8 berikut:

Gambar 4.8

Diagaram Keterampilan Berkomunikasi Lisan Siswa pada Pertemuan I b. Profil Keterampilan Berkomunikasi Lisan Siswa pada Pertemuan II

Pertemuan II dilaksanakan pada hari Senin tanggal 29 November 2010, materi yang dipelajari mengenai peran kalor terhadap perubahan wujud zat. Data yang diperoleh dari observer kemudian diolah untuk mendapatkan persentase nilai

43,03%

40,28%

P

er

se

n

ta

se

40,93%

(35)

rata-rata yang kemudian ditafsirkan berdasarkan kriteria pada tabel 3.8. untuk perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran E.4.b.

[image:35.595.112.511.232.613.2]

Berikut ini disajikan tabel rekapitulasi data hasil observasi setelah dikonsversi ke dalam bentuk persentase dan telah ditafsirkan berdasarkan kriteria:

Tabel 4.10

Rekapitulasi Keterampilan Berkomunikasi Lisan Siswa pada Pertemuan II

Hasil Indikator Keterampilan Berkomunikasi Lisan

A B C D

Σ Skor Total 79 86 85 103

Jumlah Siswa 36 36 36 36

Σ Skor Ideal 144 144 144 144

Persentase (%) 54,86 59,72 59,03 71,53

Kategori Rendah Sedang Sedang Sedang

(36)

menyampaikan pendapatnya sebagian kecil sudah tepat, tetapi masih kurang jelas dalam penyampainnya. Keterampilan berkomunikasi lisan siswa untuk indikator C (menggapi pendapat) termasuk ke dalam kategori sedang dengan P sebesar 59,03%. Pada indikator C seluruh siswa (100%) yang menanggapi pendapat selama pembelajaran berlangsung. Jika kita bandingkan persentase P lebih kecil dibandingkan dengan persentase siswa yang menanggapi pendapat. Hal ini terjadi karena rata-rata siswa saat menanggapi pendapat sebagian kecil tanggapannya sudah tepat, tetapi masih kurang jelas dalam penyampainnya. Untuk indikator D (menyampaikan hasil diskusi kelompok) termasuk ke dalam kategori sedang dengan P sebesar 71,53%. Sementara untuk banyaknya siswa yang menyampaikan hasil diskusi kelompok seluruh siswa (100%). Pada indikator D rata-rata siswa saat menyampaikan hasil diskusi kelompok pemaparannya sesuai dan sudah tepat dengan materi yang dibahas tetapi kurang jelas dalam penyampaiannya.

(37)
[image:37.595.118.508.104.620.2]

Gambar 4.9

Diagram Keterampilan Berkomunikasi Lisan Siswa pada Pertemuan II c. Profil Keterampilan Berkomunikasi Lisan Siswa pada Pertemuan III

Pertemuan kedua dilaksanakan pada hari Senin tanggal 30 November 2010, materi yang dipelajari mengenai perpindahan kalor. Data yang diperoleh dari observer kemudian diolah untuk mendapatkan persentase nilai rata-rata yang kemudian ditafsirkan berdasarkan kriteria pada tabel 3.8. untuk perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran E.4.c.

Berikut ini disajikan tabel rekapitulasi data hasil observasi setelah dikonsversi ke dalam bentuk persentase dan telah ditafsirkan berdasarkan kriteria:

Tabel 4.11

Rekapitulasi Keterampilan Berkomunikasi Lisan Siswa pada Pertemuan III

Hasil Indikator Keterampilan Berkomunikasi Lisan

A B C D

Σ Skor Total 108 101 103 122

Jumlah Siswa 36 36 36 36

Σ Skor Ideal 144 144 144 144

54,86%

59,72%

P

er

se

n

ta

se

59.03%

(38)

Persentase (%) 75,00 70,14 71,53 84,72

Kategori Tinggi Sedang Sedang Tinggi

(39)

hasil diskusi kelompok) termasuk ke dalam kategori sedang dengan P sebesar 84,72%. Sementara untuk banyaknya siswa yang menyampaikan hasil diskusi kelompok seluruh siswa (100%). Pada indikator D rata-rata siswa saat menyampaikan hasil diskusi kelompok pemaparannya sesuai dan sudah tepat dengan materi yang dibahas tetapi kurang jelas dalam penyampaiannya.

Untuk lebih jelasnya persentase keterampilan berkomunikasi lisan siswa pada pertemuan III dapat dilihat pada diagram 4.10 berikut:

Gambar 4.10

Diagram Keterampilan Berkomunikasi Lisan Siswa pada Pertemuan III 3. Efektivitas Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square setiap

Pertemuan

Di atas telah dipaparkan bahwa terdapat peningkatan penguasaan konsep fisika siswa di setiap pertemuan setelah diterapkannya model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square. Namun hal ini tidak serta-merta menunjukkan

75%

70,14%

P

er

se

n

ta

se

71,53%

[image:39.595.114.510.247.640.2]
(40)

bahwa pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square efektif dalam meningkatkan penguasaan konsep fisika siswa. Sebagaimana dijelaskan pada batasan masalah, bahwa pembelajaran dalam penelitian ini dikatakan efektif apabila skor rata-rata gain yang dinormalisasi berada dalam kategori minimal sedang.

Berikut akan diuraikan efektivitas pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square.

a. Efektivitas Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square pada Pertemuan I

Efektivitas Pembelajaran untuk setiap pertemuan dihitung dengan menggunakan skor rata-rata gain yang dinormalisasi <g> berdasarkan hasil pretest-posttest untuk setiap pertemuanya. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran E.2. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai <g> untuk pertemuan I sebesar 0,37. Menurut interpretasi dari Hake (1998), nilai tersebut termasuk ke dalam kategori sedang.

b. Efektivitas Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square pada Pertemuan II

(41)

Adapun menurut interpretasi Hake (1998), nilai 0,55 ini termasuk ke dalam kategori sedang, sama dengan kategori efektivitas pada pertemuan I.

c. Efektivitas Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Square pada Pertemuan III

Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai <g> untuk pertemuan III sebesar 0,56, jauh lebih besar jika dibandingkan dengan pertemuan I, namun tidak jika dibandingkan dengan pertemuan II sebesar 0,55. Efektivitas pembelajaran untuk pertemuan III masih tergolong ke dalam kategori sedang, sama pada pertemuan I dan II.

[image:41.595.113.512.251.631.2]

Berikut rekapitulasi efektivitas pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square pada setiap pertemuan.

Tabel 4.12

Rekapitulasi Efektivitas Pembelajaran pada setiap Pertemuan

Pertemuan Efektivitas Pembelajaran

I 0,37

II 0,55

III 0,56

(42)

Gambar 4.11

Diaram Efektivitas Model Pembelajaran setiap Pertemuan 0,37

0,55

G

ai

n

T

er

n

o

rm

al

is

as

i

[image:42.595.117.508.112.644.2]
(43)

72 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, analisis data, dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, secara umum dapat dikemukakan kesimpulan yang diperoleh dan saran yang dikemukakan berikut ini.

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di sebuah SMP Negeri yang berada di Kabupaten Bandung Barat terhadap sejumlah siswa kelas VII mengenai penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Terjadi peningkatan penguasaan konsep fisika siswa di setiap pertemuannya setelah diterapkann model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square. Adapun secara berturut-turut peningkatan berada pada kategori sedang dengan rata-rata gain yang dinormalisasi setiap pertemuannnya sebesar 0,37 untuk pertemuan I, 0,55 untuk pertemuan II, dan 0,56 untuk pertemuan III.

(44)

3. Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square efektif dalam meningkatkan penguasaan konsep fisika siswa di setiap pertemuan. Adapun efektivitas pembelajaran untuk pertemuan I, pertemuan II, dan pertemuan III berturut-turut berada pada kategori sedang yaitu 0,37, 0,55, dan 0,56.

Jika ditinjau profil peningkatan setiap jenjang kognitif yang menjadi aspek penguasaan konsep untuk setiap pertemuan. Pada pertemuan I terjadi peningkatan untuk jenjang kognitif dalam mengingat (C1) sebesar 0,66, memahami (C2) sebesar 0,45, dan mengaplikasikan (C3) sebesar 0,32 dengan peningkatan berturut-turut berada pada kategori sedang. Pada pertemuan II terjadi peningkatan untuk jenjang kognitif dalam mengingat (C1) sebesar 0,57, memahami (C2) sebesar 0,52, mengaplikasikan (C3) sebesar 0,51, dan menganalisis (C4) sebesar 0,60 dengan peningkatan berturut-turut berada pada kategori sedang. Untuk pertemuan III peningkatan untuk jenjang kognitif dalam mengingat (C1) sebesar 0,55, memahami (C2) sebesar 0,47, mengaplikasikan (C3) sebesar 0,68 dengan peningkatan berturut-turut berada pada kategori sedang, sedangkan peningkatan untuk jenjang menganalisis (C4) sebesar 0,96 dengan kategori tinggi.

B. Saran

Berdasarkan hasil temuan penelitian, berikut ini peneliti ajukan beberapa saran, diantaranya:

(45)

berturut-turut berada pada kategori sedang, sedangkan untuk keterampilan berkomunikasi lisan siswa untuk setiap pertemuan berturut-turut berada pada kategori rendah, sedang, dan tinggi. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan terhadap penelitian yang telah dilakukan ini, sehingga diperoleh hasil yang diharapkan dalam usaha meningkatkan penguasaan konsep fisika dan keterampilan berkomunikasi lisan siswa SMP.

2. Penelitian ini hanya meninjau pengaruh penerapan model pembelajaran pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square terhadap empat jenjang kognitif dan empat indikator keterampilan berkomunikasi. Oleh karena itu perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai penerapan model pembelajaran pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square untuk meningkatkan jenjang kognitif dan indikator keterampilan berkomunikasi yang lainnya, sehingga dapat dilihat konsistensi pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Square terhadap penguasaan konsep fisika dan keterampilan berkomunikasi lisan siswa SMP.

(46)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2005, 19 September). Pembelajaran Fisika Belum Optimal. Republika [Online],1halaman.Tersedia:http://www.fisikanet.lipi.go.id/utamacgi?artikel &1174823769&20.[10 April 2010]

Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta

Arikunto, Suharsimi. (2008). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara.

Dahar, Ratna Wilis. (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga Dahar, Ratna Wilis. (1996). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga

Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Hake, R. R. (1998).Interactive Engagement Methods In Introductory Mechanics Courses.Departement of Physics, Indiana University, Bloomingtoon.[Online].Tersedia:http://www.physics.indiana.edu/~sdi/IEM-2b.pdf. [7 Agustus 2010].

Kanginan, M. (2006). IPA Fisika untuk SMP Kelas VII. Jakarta: Erlangga

Koes, S. (2003). Strategi Pembelajaran Fisika. Malang: Universitas Negeri Malang.

Lie, Anita (2007). Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo.

Limba, Anastasja. (2004). Pengembangan Model Pembelajaran Inkuiri untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains, Penguasaan Konsep, dan

(47)

Semangat Berkreativitas Siswa SLTP pada Konsep Perpindahan Kalor. Tesis: Tidak diterbitkan

Mulyadiana, T.S. 2000. Kemampuan Bekomunikasi Siswa Madrasah Aliyah melalui Pembelajaran Kooperatif pada Konsep Sistem Reproduksi Manusia. Tesis: Tidak diterbitkan

Munaf, S. (2001). Evaluasi Pendidikan Fisika. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Panggabean, Luhut P. (1996). Penelitian Pendidikan. Bandung: Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI.

Sagala, Syaiful (2009). Konsep dan Makna Pembelajaran Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar. Bandung: Alfabeta Sanjaya, Wina. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses

Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Slavin, Robert E. (2008). Cooperative Learning (Teori Riset dan Praktik). Bandung: Nusamedia.

Syaodih, Nana. (2009) Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosdakarya. Tim Penyusun Universitas Pendidikan Indonesia. (2009). Pedoman Penulisan

karya Ilmiah. Bandung: Universitas pendidikan Indonesia.

Gambar

Tabel 4.2  Persentase Keterlaksanaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
Gambar 4.1 Diagram Keterlaksanaan Model setiap Pertemuan
Tabel 4.3 Rekapitulasi Skor Tes Penguasaan Konsep Fisika Siswa pada Pertemuan I
Gambar 4.2 Diagram Peningkatan Penguasaan Konsep Fisika Siswa pada Pertemuan I
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pusat Pengembangan Minat dan Bakat pemuda Tanjung Morawa atau lebih sering kita kenal dengan nama Gelanggang Remaja, merupakan suatu wadah yang memungkinkan

Terhadap permohonan hak atas tanah yang telah terlanjur diajukan kepada Menteri Dalam Negeri sedang berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.6 Tahun.

Hasil penelitian responden dengan status gizi normal yang tidak memiliki gangguan tidur yaitu sebanyak 36 orang (67,9%) sedangkan yang memiliki masalah gangguan tidur

Seperti halnya dengan pelimpahan wewenang tentang pemberian hak atas tanah yang hinbgga kini berlaku, maka dalam Peraturan ini pelimpahan wewenang pemberian hak atas tanah yang

Bahwa pemberian Hak Guna Bangunan yang timbul/berasal dari Undang-Undang No.3 Prp tahun 1960 dan Peraturan Presidium Kabinet Republik Indonesia No.5/Prk/1965

Polychaeta pada kawasan mangrove muara sungai kali Lamong-pulau Galang memiliki komposisi spesies yang berbeda di setiap stasiun dan kedalaman substrat..

Begitu juga dengan sifat-sifat yang telah disepakati atau kesesuaian produk untuk aplikasi tertentu tidak dapat disimpulkan dari data yang ada dalam Lembaran Data Keselamatan

Dengan ini memberitahukan bahwa setelah diadakan Penetapan oleh Pejabat Pengadaan barang/jasa Dinas Perikanan Kabupaten Pesawaran maka diberitahukan Pemenang Pengadaan Langsung.