• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN KERJASAMA INDONESIA DENGAN NEGARA ANGGOTA ASEAN DALAM PEMBERANTASAN TRAFFICKING IN PERSONS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PELAKSANAAN KERJASAMA INDONESIA DENGAN NEGARA ANGGOTA ASEAN DALAM PEMBERANTASAN TRAFFICKING IN PERSONS"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN KERJASAMA INDONESIA DENGAN NEGARA ANGGOTA ASEAN DALAM PEMBERANTASAN TRAFFICKING IN

PERSONS DITINJAU DARI

UN TRAFFICKING PROTOCOL TAHUN 2000 (STUDI KASUS MALAYSIA DAN SINGAPURA)

ARTIKEL

Oleh:

Reza Novandi 1210012111320

Program Kekhususan Hukum Internasional

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BUNG HATTA

PADANG 2015

(2)
(3)

PELAKSANAAN KERJASAMA INDONESIA DENGAN NEGARA ANGGOTA ASEAN DALAM PEMBERANTASAN TRAFFICKING IN

PERSONS DITINJAU DARI

UN TRAFFICKING PROTOCOL TAHUN 2000 (STUDI KASUS MALAYSIA DAN SINGAPURA)

Reza Novandi1 Narzif, SH., MH.2 Dwi Astuti Palupi, SH., MH.1 Prodi Ilmu Hukum1 Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta1

Prodi Ilmu Hukum2 Fakultas Hukum Universitas Andalas2 (Email: rznvnd@gmail.com)

ABSTRACT

Trafficking in persons is one kind of transnational crime that has a special attention in ASEAN. There are no legally binding instrument about overcome the trafficking in persons problem that has been agreed by ASEAN Member States. Consequently, operational mechanism among ASEAN Member States to overcome the trafficking in persons problem is more dominated by informal mechanism, because there are no legal based agreement between them. Based on UN Trafficking Protocol mandate, to establish and promote international cooperation in addition to prevent and combat trafficking in persons, protect and assist the trafficking in persons victims, ASEAN was developing ACTIP. In the process of establishing the ACTIP, ASEAN found some problem such as unable to achieving a consensus decission in ACTIP discussion. This research did by socio-legal methods, which is focusing its analyze by primary data and supported by secondary data. The conclusion from this research is the mechanism of ASEAN cooperation in overcome the trafficking problem is dominated by informal mechanism. There are no provision in the protocol that require the state party to establish the cooperation in formal form. However, in order to promote the cooperation, as well as providing a legal based in any international cooperations, ACTIP is becoming needed in ASEAN region.

Keyword: Trafficking in persons, ASEAN Cooperation, UN Trafficking Protocol Pendahuluan

Sejak dahulu di berbagai belahan dunia telah mengenal perdagangan manusia, yaitu dalam bentuk jual beli budak untuk dijadikan pekerja maupun budak seksual. Terlebih di belahan dunia penganut sistem feodal yang sangat kental dimana kekuasaan raja tidak terbatas, perbudakan ataupun perdagangan manusia sangat mudah ditemui. Pada masa itu kekuasaan raja digambarkan sebagai

sebagai kekuasaan yang agung dan mulia.

Sehingga banyak orang yang berharap kelurganya mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana. Tidak sedikit orang yang menyerahkan ataupun dipaksa menyerahkan putrinya untuk dijadikan selir raja baik dengan tujuan meningkatkan status keluarganya bagi masyarakat kecil,

(4)

maupun para bangsawan yang ingin menunjukkan kesetiaannya pada raja1.

Apa yang terjadi pada masa feodal tidaklah menunjukkan keberadaan perdagangan manusia seperti yang terjadi di era modern ini, namun apa yang dilakukan pada masa itu telah memberikan landasan bagi perkembangan perdagangan manusia yang ada pada masa-masa selanjutnya hingga kini2. Pengeksploitasian manusia untuk tujuan-tujuan perbudakan seksual maupun kerja paksa seperti yang dilakukan pada masa lalu, masih merupakan tujuan terbesar dalam tindakan perdagangan manusia pada saat ini.

Saat ini hampir semua negara di dunia bersentuhan dengan perdagangan manusia, baik sebagai negara asal, negara transit, maupun sebagai negara tujuan untuk korban perdagangan manusia3. Semakin mudahnya melintasi batas-batas negara pada era globalisasi ini juga merupakan salah satu faktor yang membuat perdagangan manusia kian marak4. Cara yang ditempuh oleh masyarakat internasional untuk mencegah,

1 Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 1

2 Ibid., hlm. 2

3 United Nations Office on Drugs and Crime, Human Trafficking,

https://www.unodc.org/unodc/en/human- trafficking/what-is-human-trafficking.html, diakses tanggal 15 Oktober 2014.

4 Farhana, op.cit., hlm. 4

memberantas, atau memerangi kejahatan transnasional dan terorganisasi termasuk kejahatan trafficking in persons adalah dengan melakukan kerjasama dengan negara lain baik secara bilateral maupun multilateral5.

Perhatian masyarakat internasional terhadap kejahatan transnasional terorganisir maupun kejahatan perdagangan manusia saat ini terbukti dengan disepakatinya United Nations Convention Against Transnational Crime pada tahun 2000 di Palermo, Italia yang salah satu protokolnya adalah Protocol to Prevent, Suppres, and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children (UN Trafficking Protocol).

Tujuan dibentuknya Konvensi tersebut adalah untuk memajukan kerjasama dalam rangka mencegah dan memerangi secara efektif kejahatan tersebut6. Untuk itu diperlukan harmonisasi dalam hukum nasional masing-masing negara pihak, tanpa mengabaikan prinsip kedaulatan dan keutuhan wilayah negara7.

Kerjasama internasional dalam lingkup organisasi internasional regional yang cukup menjadi perhatian saat ini adalah Association of Southeast Asian

5 Iman Santoso, Hukum Pidana

Internasional, Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2013, hlm. 111

6 United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, Article 1

7 Iman Santoso, op.cit., hlm. 112-113

(5)

Nations (ASEAN) yang merupakan organisasi internasional regional di kawasan asia tenggara. ASEAN akan berintegrasi total antar negara-negara anggotanya dalam ASEAN Community pada akhir 2015 mendatang. Salah satu dampak negatif dari keterbukaan di lingkup regional tersebut yaitu dalam hal penanggulangan perdagangan manusia.

Dengan semakin mudahnya masyarakat negara-negara anggota ASEAN melintasi batas-batas negaranya kepada negara anggota lainnya, dapat membuat kejahatan perdagangan manusia semakin rentan terjadi diantara sesama negara anggota ASEAN.

Dalam United States Department of State’s 2014 Trafficking in Persons Report, dilakukan penggolongan bagi negara- negara yang memberikan pengaturan yang memadai dalam pemberantasan dan perlindungan korban perdagangan manusia. Dalam hal ini, negara-negara ASEAN sama sekali tidak ada yang tergolong sebagai negara Tier 1. Pada Tier 2 terdapat lima negara ASEAN yaitu Brunei, Indonesia, Filipina, Singapura, dan Vietnam yang dinilai telah memberikan upaya yang signifikan dalam pemberantasan perdagangan manusia.

Selain lima negara tersebut yaitu Myanmar, Kamboja, dan Laos berada pada Tier 2 Watch list, bahkan Malaysia dan

Thailand merupakan negara Tier 38. Hal tersebut sangat memprihatinkan mengingat negara-negara ASEAN akan menyongsong ASEAN Community pada akhir tahun 2015 mendatang.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merumuskan beberapa permasalahan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimanakah mekanisme kerjasama antara Indonesia dengan Negara- negara anggota ASEAN dalam pemberantasan trafficking in persons?

2. Bagaimanakah pelaksanaan kerjasama antara Indonesia dengan Negara- negara anggota ASEAN dalam pemberantasan trafficking in persons jika ditinjau dari ketentuan pada UN Trafficking Protocol?

3. Apakah yang menjadi tantangan dan hambatan pada kerjasama antara Indonesia dengan Negara-negara

anggota ASEAN dalam

pemberantasan trafficking in persons?

8 United State Department of State, 2014 Trafficking in Persons Report,

www.state.gov/documents/organization/226844.p df, diakses tanggal 15 Oktober 2014, Hlm. 58

(6)

Metode Penelitian

Penelitian hukum ini adalah penelitian hukum yuridis sosiologis atau socio-legal research yang menekankan penelitian pada langkah-langkah penelitian data primer9. Penelitian yuridis sosiologis menitik beratkan penelitian dalam mengkaji data primer dengan didukung oleh data sekunder10. Berdasarkan sifatnya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang merupakan penelitian untuk melukiskan tentang sesuatu hal didaerah tertentu dan pada saat tertentu11.

Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia khususnya Direktorat Politik Keamanan ASEAN dan Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia, serta Badan

9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke-13, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011, hlm. 14

10 Ibid., hlm. 53

11 Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta, 2013, hlm.

47

Resort Kriminal Kepolisian Republik Indonesia. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi dokumen, yaitu dengan mempelajari bahan-bahan kepustakaan atau literatur-literatur yang berkaitan dengan objek yang diteliti.

Dalam penelitian ini studi dokumen dilakukan pada dilakukan pada Perpustakaan Universitas Bung Hatta, Perpustakaan Ali Alatas Kementerian Luar Negeri, Perpustakaan Mochtar Kusumaatmadja Universitas Padjadjaran, Perpustakaan Universitas Andalas, Buku- buku Pribadi, dan Internet.

Dalam penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif, yaitu berupa uraian terhadap data yang terkumpul tidak berupa angka-angka.

Dalam analisis ini landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan.

(7)

Pembahasan

A. Kerjasama ASEAN dalam Pemberantasan Trafficking in Persons

Isu mengenai trafficking in persons telah masuk dalam agenda ASEAN dan negara-negara anggotanya sejak sejak awal 1990-an, dimana laporan yang pertama kali dilaporkan dan diangkat di kawasan ASEAN yaitu mengenai kasus wanita dan anak-anak perempuan yang dipindahkan baik di dalam wilayah negara maupun melintasi batas-batas negara dengan tujuan untuk eksploitasi seksual dan pernikahan paksa12. Negara-negara anggota ASEAN sepakat bahwa sebagai kejahatan yang serius, trafficking berhak diprioritaskan dan membutuhkan penanganan khusus dari negara-negara anggota ASEAN berupa koordinasi dan kolaborasi secara efektif yang melintasi batas-batas negara dalam

12 Association of Southeast Asian Nations, Progress Report on Criminal Justice Responses to Trafficking in Persons in the ASEAN Region, Jakarta:

ASEAN, 2011, hlm. 1

upaya memberantas trafficking in persons di kawasan Asia Tenggara13.

Perdagangan manusia semakin dianggap penting di ASEAN dengan disetujuinya ASEAN Vision 2020 pada informal ASEAN Summit kedua pada tahun 1997. ASEAN Vision 2020 merupakan dasar atas rencana aksi dan deklarasi- deklarasi mengenai penanggulangan trafficking berikutnya di kawasan Asia Tenggara14.

Setelah disetujuinya ASEAN Vision 2020, pada tahun 1997 negara-negara anggota ASEAN juga menyetujui ASEAN Declaration on Transnational Crime.

Dalam deklarasi tersebut juga para anggota ASEAN sepakat untuk mengadakan ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime (AMMTC) sekurang- kurangnya satu kali dalam dua tahun15.

13 Ibid.

14 Ranyta Yusran, Trafficking in Women and Children and an Observation to ASEAN Counter-Trafficking Efforts, hlm. 19-20, Makalah, disampaikan pada: 8th Asian Law Institute Conference: Law in Sustainable Asia, 26-27 Mei 2011, Kyushu, Jepang

15 Lihat ASEAN Declaration on Transnational Crime 1997

(8)

Pada pertemuan AMMTC yang kedua di tahun 1999, AMMTC membentuk ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crime. Dalam Plan of Action ini dibentuk Senior Officials Meeting on Transnational Crime (SOMTC) untuk mengimplementasikan kebijakan dan rencana-rencana yang disetujui oleh AMMTC dan melaporkannya kepada AMMTC16.

Pada tahun 2004 negara-negara anggota ASEAN menyetujui ASEAN Declaration Against Trafficking in Persons, Particularly Women and Children / 2004 Anti-Trafficking Declaration.

Walaupun deklarasi tersebut bukan merupakan instrumen yang legally binding, namun deklarasi tersebut merupakan deklarasi ASEAN pertama yang ditujukan secara spesifik kepada isu perdagangan manusia, terutama wanita dan anak-anak17. Meskipun Anti-Trafficking Declaration memiliki kelebihan dalam pendekatannya

16 ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crime, Section D (a) 4

17 Ranyta Yusran, op.cit., hlm. 21

yang berorientasi kepada perlindungan korban, deklarasi tersebut belum mengamanatkan negara anggota ASEAN untuk melakukan tindakan pencegahan terhadap pemulangan korban trafficking yang rentan untuk menjadi korban kembali setibanya di negara asal18, deklarasi tersebut lebih memfokuskan kepada ketentuan-ketentuan mengenai pemulangan korban ke negara asal korban19.

Bersamaan dengan disetujuinya Anti-Trafficking Declaration, negara- negara anggota ASEAN juga menyetujui terbentuknya Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters among Like Minded ASEAN Member Countries (ASEAN MLAT). Hingga saat ini ASEAN MLAT telah diratifikasi oleh kesepuluh negara anggota ASEAN. ASEAN MLAT memberikan ketentuan mengenai dasar kerjasama internasional antar negara- negara anggota ASEAN untuk dapat meminta dan memberikan bantuan satu dengan yang lainnya dalam

18 Ibid., hlm. 22

19 Ibid., hlm. 21-22

(9)

mengumpulkan bukti-bukti terkait penyelidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana termasuk trafficking in persons20.

ASEAN MLAT merupakan instrumen ASEAN pertama yang sifatnya legally binding dalam kerjasama di bidang penyelidikan dan penuntutan terhadap pelaku trafficking21. Namun sejak berlakunya ASEAN MLAT, walaupun tingkat kejahatan transnasional yang dilaporkan di kawasan Asia Tenggara kian meningkat, permintaan bantuan hukum timbal balik di antara negara-negara anggota ASEAN cenderung sedikit termasuk jumlah permintaan bantuan hukum dalam kejahatan trafficking22.

Pada pertemuan SOMTC yang ketujuh di Laos pada tahun 2007, didirikanlah SOMTC Working Group on Trafficking in Persons (WG on TIP).

20 Association of Southeast Asian Nations, Progress Report..., op.cit., hlm. 2

21 Ranyta Yusran, loc.cit.

22 Gerard Smith, The Criminal Justice Response to Human Trafficking: a Recent

Developments in the Greater Mekong Sub-Region, Strategic Information Response Network (SIREN), 2010, hlm. 13, dalam Ranyta Yusran, loc.cit.

SOMTC WG on TIP menyelesaikan ASEAN Practitioner Guidelines on Criminal Justice Responses to Trafficking in Persons pada 25 Juni 2007 yang kemudian disahkan pada pertemuan SOMTC pada tanggal 27 Juni 200723.

Diselesaikannya Practitioner Guidelines oleh SOMTC WG on TIP masih belum dapat memberikan mekanisme kerjasama yang mengikat dalam pemberantasan trafficking in persons di regional ASEAN. Negara- negara anggota ASEAN cenderung lebih banyak melakukan kerjasama secara informal antara satu negara dengan negara lainnya dengan mengandalkan diskresi dari masing-masing aparat penegak hukumnya24.

Dalam mewujudkan suatu konvensi di tingkat regional ASEAN, pada

23 Association of Southeast Asian Nations, ASEAN Responses to Trafficking in Persons:

Supplement and Update (2007): Ending Impunity for Traffickers and Securing Justice for Victims, Jakarta: ASEAN, 2008, Hlm. 2

24 Wawancara dengan Bapak Lalu Muhammad Iqbal, Wakil Direktur, Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia, Direktorat Jenderal Protokol Konsuler, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta, 11 Desember 2014

(10)

pertemuan SOMTC WG on TIP yang kedua direkomendasikan untuk mengadakan pertemuan pertama Experts’

Meeting untuk mempelajari kemungkinan dikembangkannya ASEAN Convention on Trafficking in Persons (ACTIP) yang diadakan di Manila pada 15 Juli 201125. Mengingat tidak seluruh perwakilan dari negara anggota ASEAN menghadiri pertemuan tersebut, maka tidak ada keputusan mengenai disetujui atau tidaknya ACTIP untuk dikembangkan26.

Selain mewujudkan ACTIP sebagai payung hukum dalam upaya membangun kerjasama pemberantasan trafficking in persons di ASEAN, mekanisme lain yang telah didirikan oleh negara-negara anggota ASEAN adalah melalui Heads of Specialist Trafficking Units (HSU). HSU didirikan berdasarkan mandat dari ASEAN Anti- Trafficking Declaration, UNTOC, serta UN Trafficking Protocol27. HSU telah

25 ASEAN Secretariat, ASEAN’s Efforts in Combating Trafficking in Persons via AMMTC and SOMTC, Information Paper, 2012, hlm. 1-2

26 Ibid.

27 Ibid., hlm. 2

beroperasi sejak 2004 dan melibatkan seluruh negara anggota ASEAN, yang merupakan bentuk komitmen negara- negara anggota ASEAN dalam mengembangkan kerjasama dalam memerangi trafficking28. Sejak tahun 2007, HSU menyediakan laporan perkembangan kepada SOMTC, dan SOMTC diundang disetiap pertemuan HSU29.

B. Mekanisme Kerjasama Indonesia dengan Malaysia dalam Pemberantasan Trafficking in Persons

Kondisi geografis negara Indonesia yang berbatasan langsung dengan Malaysia, membuat korban trafficking dari Indonesia sangat rentan diselundupkan ke Malaysia. Berdasarkan hasil penelitian dari para pejabat kepolisian di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) yang

28 United Nations Office on Drugs and Crime, 2009 ASEAN Workshop on International Legal Cooperation in Trafficking in Persons Cases, https://www.unodc.org/unodc/en/human- trafficking/2009/asean-workshop-on-international- legal -cooperation-in-trafficking-in-persons- cases.html, diakses tanggal 23 Januari 2015

29 Ibid.

(11)

disampaikan pada Focus Group Discussion mengenai Kerjasama Polri dalam Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdimensi Transnational Organized Crime, tindak pidana perdagangan manusia yang terjadi di daerah-daerah perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia berada pada tingkat yang sangat memprihatinkan30. Setidaknya terdapat 67 pelabuhan ilegal di sepanjang Provinsi Riau dan Kepulauan Riau yang digunakan pelaku kejahatan trafficking untuk mengirimkan korban- korban trafficking dari Indonesia ke Malaysia31.

Hingga saat ini kerjasama antara negara Indonesia dan Malaysia lebih di dominasi oleh kerjasama yang berbentuk informal antara police-to-police dan kerjasama operasional lain antar masing- masing penegak hukum32. Kerjasama

30 Irdayanti, “Kejasama Indonesia- Malaysia dalam Menangani Kejahatan

Transnasional”, Jurnal Transnasional, Vol. 5, No. 1, 2013, hlm. 920

31 Ibid.

32 Wawancara dengan Ibu Lidya Nuriyana, Penyidik Pembantu, Sub Direktorat III, Direktorat

informal antara Indonesia dan Malaysia dilakukan mengingat hingga saat ini belum terdapat instrumen hukum yang mengikat untuk mengatur kerjasama bilateral dalam memberantas trafficking in persons diantara negara-negara anggota ASEAN.

Dengan belum adanya payung hukum yang melandasi kerjasama dalam bidang trafficking in persons antara Indonesia dengan Malaysia, maka mekanisme kerjasama diantara keduanya masih menggunakan mekanisme yang disepakati di tingkat ASEAN. Di tingkat ASEAN setidaknya terdapat beberapa mekanisme kerjasama yang disepakati baik dalam Practitioner Guidelines, maupun melalui HSU. Melalui Practitioner Guidelines maupun HSU, mekanisme yang diamanatkan adalah melalui pertukaran informasi dan bantuan secara teknis antar penegak hukum negara-negara anggota ASEAN, maupun melalui INTERPOL dan ASEANAPOL.

Tindak Pidana Umum, Unit Trafficking in Persons, Bareskrim Polri, Jakarta, 10 Desember 2014

(12)

C. Mekanisme Kerjasama Indonesia dengan Singapura dalam Pemberantasan Trafficking in Persons

Singapura telah meratifikasi UNTOC pada tahun 2007 dan ASEAN MLAT pada tahun 2005, namun hingga saat ini Singapura belum menyetujui UN Trafficking Protocol dan Singapura sempat tidak mendukung adanya perundingan dan negosiasi pengembangan ACTIP di regional ASEAN33. Berbeda dengan pertemuan formal seperti perundingan ACTIP, dalam berbagai forum informal seperti workshop dan pertemuan- pertemuan untuk berbagi pengalaman serta best practices, Singapura justru sering hadir34.

Indonesia dengan Singapura pernah menandatangani perjanjian ekstradisi pada 27 April 2007 di Istana Tapak Siring, Bali.

Namun perjanjian tersebut tidak disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik

33 ASEAN Secretariat, loc.cit.

34 Wawancara dengan Bapak Lalu Muhammad Iqbal, Jakarta 11 Desember 2014

Indonesia (DPR-RI) dikarenakan Singapura menggandengkan kesepakatan ekstradisi tersebut dengan perjanjian pertahanan35. Dalam perjanjian pertahanan, Singapura meminta Indonesia menyediakan zona latihan perang untuk mereka, sehingga DPR-RI menolak untuk meratifikasi paket kesepakatan tersebut36.

Dengan perjanjian ekstradisi yang juga gagal disepakati oleh kedua belah pihak, maka hingga saat ini belum ada satu pun kesepakatan yang mengikat diantara kedua negara dalam upaya pemberantasan trafficking in persons. Untuk itu, mekanisme kerjasama antara Indonesia dengan Singapura dilakukan secara informal yaitu dalam bentuk kerjasama operasional antar para penegak hukum.

Dalam Practitioner Guidelines disebutkan bahwa jika tidak terdapat perjanjian ekstradisi, maka alternatif lain yaitu dengan menerapkan ketentuan-ketentuan

35 Viva News, “Menhan RI: Jangan Tukar Perjanjian Ekstradisi dengan Pertahanan”, http://m.news.viva.co.id/news/read/438209- menhan-ri--jangan-tukar-perjanjian-ekstradisi- dengan-pertahanan, diakses pada 24 Januari 2015

36 Ibid.

(13)

dalam UNTOC, atau berdasarkan instrumen internasional lain, baik pada tingkat regional, bilateral, maupun kasus per kasus37. Practitioner Guidelines juga menegaskan bahwa jaringan kerja para penegak hukum merupakan komponen yang sangat penting dalam upaya penanggulangan trafficking di kawasan, sehingga kolaborasi antara para penegak hukum melalui mekanisme HSU harus dipertahankan38.

D. Pelaksanaan Kerjasama antara Indonesia dengan Negara-negara Anggota ASEAN dalam Pemberantasan Trafficking in Persons Jika Ditinjau dari Ketentuan pada UN Trafficking Protocol

Protokol mengamanatkan agar para negara pihak melakukan dan memperkuat kerjasama dengan negara lain dalam menanggulangi kejahatan trafficking.

37 ASEAN Practitioner Guidelines on Criminal Justice Responses to Trafficking in Persons, Part Two, C, Point 2

38 Ibid., Part Two,E, Point 1 and 2

Dalam lingkup kerjasama antara Indonesia dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya, hingga saat ini belum ada ketentuan mengikat yang mengatur tentang kerjasama secara formil dalam penanganan kasus trafficking in persons. Namun terkait kerjasama yang dilakukan antara Indonesia dengan negara anggota ASEAN lainnya selama ini, protokol tidak mengharuskan adanya kerjasama yang bersifat legally binding, dan tidak satupun ketentuan dalam protokol yang mengamanatkan para negara pihak untuk melakukan kerjasama baik bilateral maupun multilateral dalam bentuk formil39. Protokol hanya mengamanatkan setiap negara pihak untuk melakukan kerjasama termasuk kerjasama operasional dan teknis antara para penegak hukum, petugas imigrasi, dan lain sebagainya dalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana trafficking in persons, serta memberikan bantuan dan

39 Wawancara dengan Bapak Lalu Muhammad Iqbal, Jakarta, 11 Desember 2014

(14)

perlindungan terhadap para korban trafficking in persons40.

Kerjasama antara Indonesia dan negara anggota ASEAN lain yang telah dibangun dapat menjadi pemacu untuk terbentuknya kerjasama yang lebih serius dan lebih formal. Untuk itu protokol juga menyebutkan bahwa selain kerjasama yang telah terbangun antara negara-negara pihak, diamanatkan pula bagi masing- masing negara untuk memperkuat kerjasamanya41. Upaya negara Indonesia dengan negara anggota ASEAN lainnya untuk terus berupaya melakukan kerjasama dalam penanggulangan trafficking dapat dilihat sebagai suatu upaya penguatan kerjasama antar negara sebagaimana diamanatkan oleh protokol.

Mekanisme yang masih dipertahankan di ASEAN dalam upaya pemberantasan trafficking in persons adalah melalui HSU. Meski tujuan mekanisme kerjasama melalui HSU

40 Ibid.

41 Lihat Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children

relevan dengan ketentuan-ketentuan di dalam protokol secara garis besar, namun belum sepenuhnya ketentuan dalam protokol tersebut diimplementasikan dalam kerjasama antara Indonesia dengan negara- negara anggota ASEAN.

E. Tantangan dan Hambatan pada Kerjasama antara Indonesia dengan Negara-negara Anggota ASEAN dalam Pemberantasan Trafficking in Persons

Dalam kerjasama antara Indonesia dengan negara-negara anggota ASEAN, masalah utama yang terjadi adalah tidak adanya kerjasama dalam bentuk formil yang spesifik menangani penanggulangan trafficking in persons. Tidak adanya kerjasama dalam bentuk yang formil ini disebabkan oleh tidak adanya payung hukum yang mengatur kerjasama dalam pemberantasan trafficking baik di tingkat regional ASEAN maupun perjanjian bilateral antara Indonesia dengan negara anggota ASEAN. Sehingga kerjasama

(15)

yang dilakukan selalu bersifat informal dan berdasarkan kasus per kasus dengan mengandalkan kerjasama dan diskresi antara para penegak hukum di negara masing-masing.

Kerjasama dalam bentuk informal tentunya tidak dapat memberikan suatu kepastian hukum. Tidak adanya kepastian hukum dalam penanggulangan perdagangan manusia antara Indonesia dengan negara anggota ASEAN lainnya justru dapat menyulitkan para penegak hukum untuk melindungi WNI korban perdagangan manusia yang berada di negara lain, dan akan merugikan banyak pihak terutama para korban trafficking.

Kurangnya komitmen negara anggota lain dalam pemberantasan trafficking in persons juga menjadi tantangan dan hambatan tersendiri dalam mewujudkan kerjasama yang efektif antara Indonesia dengan negara anggota ASEAN lain, terutama negara yang secara geografis bersebelahan dengan Indonesia seperti Singapura dan Malaysia.

Dalam upaya pengembangan ACTIP di regional ASEAN, juga dihambat oleh kurangnya komitmen negara anggotanya. Singapura dan Brunei sering tidak menghadiri pertemuan untuk menegosiasi dan mendiskusikan pengembangan ACTIP. Bahkan, pada awalnya negara Singapura tidak menyetujui akan adanya rencana pengembangan ACTIP sebagai instrumen yang legally binding dalam penanggulangan trafficking di ASEAN42. Tindakan yang tidak kooperatif serta kurangnya komitmen dari negara-negara anggota tersebutlah yang justru menghambat dan memperlambat rampungnya pengaturan yang mengikat dalam penanggulangan trafficking di ASEAN, mengingat prinsip pengambilan keputusan dalam mekanisme ASEAN adalah berdasarkan konsultasi dan konsensus, bukan berdasarkan suara terbanyak43.

42 ASEAN Secretariat, loc.cit.

43 Lihat ASEAN Charter, Article 20 (1)

(16)

Kesimpulan

Kerjasama antara Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN lebih didominasi oleh kerjasama yang bersifat informal, dikarenakan hingga saat ini belum terdapat instrumen yang mengikat dalam mengatur pemberantasan trafficking in persons antara Indonesia dengan negara anggota ASEAN lainnya baik secara bilateral maupun multilateral. Meskipun demikian, tidak satupun ketentuan di dalam UN Trafficking Protocol maupun UNTOC yang mengharuskan para negara pihak untuk bekerjasama satu dengan yang lainnya dalam bentuk formal dan mengikat untuk mencegah dan memberantas trafficking in persons, serta memberikan perlindungan dan bantuan terhadap para korban trafficking in persons.

Kurangnya komitmen dari beberapa negara anggota ASEAN menjadi hambatan dalam mewujudkan kerjasama yang bersifat lebih formal antara negara Indonesia dengan negara anggota ASEAN lainnya. kerjasama yang bersifat informal

tidak dapat memberikan kepastian hukum, karena hanya didasarkan oleh kepercayaan dan diskresi dari masing-masing penegak hukum, sehingga justru dapat menyulitkan dalam upaya pencegahan dan perlindungan terhadap korban trafficking in persons.

Daftar Pustaka A. Buku

Association of Southeast Asian Nations, ASEAN Responses to Trafficking in Persons: Supplement and Update (2007): Ending Impunity for Traffickers and Securing Justice for Victims, Jakarta: ASEAN, 2008.

__________________________________, Progress Report on Criminal Justice Responses to Trafficking in Persons in the ASEAN Region, Jakarta: ASEAN, 2011.

Association of Southeast Asian Nations Secretariat, ASEAN’s Efforts in Combating Trafficking in Persons via AMMTC and SOMTC, Information Paper, 2012.

Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Gerard Smith, The Criminal Justice Response to Human Trafficking: a Recent Developments in the Greater Mekong Sub-Region, Strategic Information Response Network (SIREN), 2010.

(17)

Iman Santoso, Hukum Pidana Internasional, Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2013.

Irdayanti, “Kejasama Indonesia-Malaysia dalam Menangani Kejahatan Transnasional”, Jurnal Transnasional, Vol. 5, No. 1, 2013.

Ranyta Yusran, “Trafficking in Women and Children and an Observation to ASEAN Counter-Trafficking Efforts”. Makalah disampaikan pada 8th Asian Law Institute Conference: Law in Sustainable Asia, Kyushu, Jepang, 26-27 Mei 2011.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke-13, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.

Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Bandung:

Alfabeta, 2013.

B. Peraturan Perundang-undangan

ASEAN Charter.

ASEAN Declaration 1967.

ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crime.

ASEAN Practitioner Guidelines on Criminal Justice Responses to Trafficking in Persons.

Protocol to Prevent, Suppress, and Punish Trafficking in Persons, Especially

Women and Children,

Supplementing the United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime 2000.

United Nations Convention Against Transnational Organized Crime 2000.

C. Sumber Lain

United Nations Office on Drugs and Crime, “Human Trafficking”, https://www.unodc.org/unodc/en/h uman-trafficking/what-is-human- trafficking.html, diakses tanggal 15 Oktober 2014.

United Nations Office on Drugs and Crime, “2009 ASEAN Workshop on International Legal Cooperation in Trafficking in Persons Cases”, https://www.unodc.org/unodc/en/h uman-trafficking/2009/asean- workshop-on-international-legal- cooperation-in-trafficking-in-

persons-cases.html, diakses tanggal 23 Januari 2015.

United State Department of State, “2014 Trafficking in Persons Report”, www.state.gov/documents/organiza tion/226844.pdf, diakses tanggal 15 Oktober 2014.

Viva News, “Menhan RI: Jangan Tukar Perjanjian Ekstradisi dengan Pertahanan”,

http://m.news.viva.co.id/news/read/

438209-menhan-ri-jangan-tukar- perjanjian-ekstradisi-dengan-

pertahanan, diakses tanggal 24 Januari 2015.

Referensi

Dokumen terkait

Termasuk sebab penyimpangan dalam penafsiran al- Qur’an dan patut diperhatikan adalah ‘meletakkan ucapan atau ketetapan bukan pada tempatnya.’ Banyak sekali ketetapan yang benar

Mengenai wewenang yang harus dipunyai oleh Notaris sebagai pejabat umum untuk membuat suatu akta otentik, seorang Notaris hanya boleh menjalankan di daerah atau wilayah

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengaruh pemberian berbagai konsentrasi ekstrak etanol biji mahoni terhadap penghambatan pertumbuhan Escherichia coli

The characteristic of flash flood by initially defining it as a rapid flooding of low-lying areas, rivers and streams that are caused by the intense rainfall also occur when

Sediaan yang telah dimasukan ke dalam botol dievaluasi organoleptis Sediaan yang telah dimasukan ke dalam botol dievaluasi organoleptis dengan memperhatikan bentuk, warna, bau,

Penciptaan karya seni rupa ini mengacu pada site specific installation dengan menerapkan mengadaptasi akar tiruan hingga gelembung yang bisa kembang-kempis pada subjek realitas

aquifolium ini mengindikasikan bahwa perairan Ekas sangat cocok untuk dilakukan budidaya rumput laut baik dari segi kondisi lingkungan kimia, fisika dan biologi maupun

Fasal 7(1) dan 7(2) di dalam perlembagaan ini berkenaan korum dan penangguhan Mesyuarat Agung Tahunan terpakai untuk Mesyuarat Agung Khas, tetapi dengan syarat jika korum