• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : BAKRIE AHMAD FA ADA NIM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : BAKRIE AHMAD FA ADA NIM"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

JASA KEUANGAN SYARIAH

(Studi atas Putusan Mahkamah Agung Nomor 735 K/Pdt.Sus-BPSK/2017) SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

BAKRIE AHMAD FA’ADA NIM 11140460000136

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H / 2020 M

(2)

KEWENANGAN MENGADILI PERKARA KEBERATAN ATAS PUTUSAN ARBITRASE BADAN PENYELESAIAN SENGKETA

KONSUMEN (BPSK) PADA SENGKETA KONSUMEN JASA KEUANGAN SYARIAH

(Studi atas Putusan Mahkamah Agung Nomor 735 K/Pdt.Sus-BPSK/2017) SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

Bakrie Ahmad Fa’ada NIM 11140460000136

Pembimbing:

Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.

NIP. 19670203 201411 1 001

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H / 2020 M

(3)

Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Pada Sengketa Konsumen Jasa Keuangan Syariah” (Studi atas Putusan Mahkamah Agung Nomor 735 K/Pdt.Sus-BPSK/2017) telah diujikan dalam sidang skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada Selasa, 24 Maret 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) pada Program Studi Hukum Ekonomi Syariah.

Ciputat, 4 Juni 2020 Mengesahkan

Dekan,

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., M.H.

NIP. 19760807 200312 1 001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH 1. Ketua

2. Sekretaris

3. Pembimbing

4. Penguji I

5. Penguji II :

:

:

:

:

A.M. Hasan Ali, M.A.

NIP. 19751201 200501 1 005 Dr. Abdurrauf, Lc., M.A.

NIP. 19731215 200501 1 002

Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.

NIP. 19670203 201411 1 001 Dr. Moch. Bukhori Muslim, M.A.

NIP. 19760626 200901 1 013 Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum.

NIP. 19650908 199503 1 001

(…..………...)

(…..………...)

(…..………...)

(…..………...)

(…..………...)

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Bakrie Ahmad Fa’ada

Tempat, tanggal lahir : Depok, 9 Oktober 1996

NIM : 11140460000136

Program Studi : Hukum Ekonomi Syariah

E-mail : babakriahmad@gmail.com

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata (S-1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 21 April 2020

Bakrie Ahmad Fa’ada

(5)

PERKARA KEBERATAN ATAS PUTUSAN ARBITRASE BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) PADA SENGKETA KONSUMEN JASA KEUANGAN SYARIAH (STUDI ATAS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 735 K/PDT.SUS-BPSK/2017). Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2020 M. 1x + 82 halaman.

Studi ini bertujuan untuk menjelaskan kewenangan mengadili perkara keberatan atas putusan arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam sengketa konsumen dalam bidang jasa keuangan syariah. Penelitian ini juga bertujuan untuk menguji kesesuaian Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 735 K/Pdt.Sus-BPSK/2017 terhadap peraturan perundang- undangan.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library research dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, buku-buku, dan jurnal jurnal ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa permohonan penyelesaian perkara sengketa ingkar janji (wanprestasi) di bidang jasa keuangan syariah yang diajukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah tidak tepat dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut berdasarkan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah yang menyatakan bahwa lembaga peradilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara sengketa di bidang ekonomi syariah adalah Pengadilan Agama. Kemudian hasil penelitian atas Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 735 K/Pdt.Sus- BPSK/2017 antara Andika Sagala melawan Bank Syariah Mandiri KCP Kampung Pajak, menunjukkan bahwa Judex Juris tidak sesuai peraturan perundang- undangan dalam memberikan pertimbangan hukum. Judex Juris berpendapat bahwa perkara wanprestasi yang sebelumnya diajukan ke BPSK tersebut merupakan kompetensi absolut Pengadilan Negeri. Berdasarkan peraturan perundang-undang seharusnya perkara a quo merupakan kewenangan absolut Pengadilan Agama.

Kata Kunci : Kewenangan Mengadili, Perkara Keberatan, Arbitrase BPSK, Jasa Keuangan Syariah

Pembimbing : Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.

Daftar Pustaka : Tahun 1982 sampai tahun 2018

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji serta syukur senantiasa dipanjatkan kepada Allah Swt. atas taufik dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini..

Salawat teriring salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Saw., kepada keluarganya, dan para pengikutnya

Peneliti menyadari, bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna, tentunya terdapat kekurangan didalamnya. Namun, besar harapan karya ilmiah ini kelak dapat menjadi ilmu yang bermanfaat bagi orang banyak.

Apresiasi mendalam peneliti sampaikan kepada semua pihak yang tanpa pamrih memberikan bantuan baik moril maupun materiil, doa, dukungan, motivasi, kritik dan saran yang sangat berarti. Oleh karena itu, dengan penuh rasa hormat, ucapan terimakasih ingin peneliti sampaikan kepada:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., M.H. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. AM. Hasan Ali, M.A. dan Dr. Abdurrauf, Lc., M.A. Ketua dan Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. dosen pembimbing skripsi.

Terima kasih atas kritik, saran, dan kesabaran dalam membimbing peneliti sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini.

4. Prof. Dr. M. Hatta Ali, S.H., M.H. Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia atas informasi dan data penelitian yang peneliti peroleh.

5. Pimpinan Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Kepala Urusan Perpustakan Fakultas Syariah dan Hukum atas fasilitas yang diberikan kepada peneliti sehingga dapat melaksanakan studi kepustakaan.

6. Bapak Muhammad Sholeh dan Ibu Dahwati, orang tua peneliti atas seluruh usaha yang tak kenal lelah dan penuh keikhlasan dalam mendidik peneliti sejak kecil hingga sampai kepada titik ini.

(7)

vii maupun di akhirat. Amin.

Besar harapan penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan Hukum Ekonomi Syariah dan memberikan kontribusi terhadap pelaksanaan perlindungan atas hak-hak konsumen di Indonesia

Jakarta, Januari 2020

Peneliti

(8)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ... 3

1. Identifikasi Masalah ... 3

2. Pembatasan Masalah ... 3

3. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

1. Tujuan Penelitian ... 4

2. Manfaat Penelitian ... 4

a. Manfaat Teoritis. ... 4

b. Manfaat Praktis ... 5

D. Metode Penelitian ... 5

1. Pendekatan Penelitian ... 5

2. Jenis Penelitian ... 5

3. Jenis Data ... 6

a. Bahan Hukum Primer ... 6

b. Bahan Hukum Sekunder ... 7

c. Bahan Hukum Tersier ... 7

4. Metode Pengumpulan Data ... 7

(9)

ix

E. Sistematika Pembahasan ... 9

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENYELESAIAN SENGKETA DALAM BIDANG JASA KEUANGAN SYARIAH 11 A. Kerangka Konseptual... 11

B. Kepastian Hukum ... 12

C. Asas Hukum ... 12

1. Asas Tingkatan Hierarki (Lex Superior Derogat Legi Inferiori) ... 13

2. Asas Khusus Mengesampingkan yang Umum (Lex Specialis Derogat Legi Generalis) ... 13

3. Asas yang Baru Mengesampingkan yang Lama (Lex Posterior Derogat Legi Priori) ... 14

D. Konsumen ... 14

1. Pengertian Konsumen ... 14

2. Jenis-Jenis Konsumen ... 14

3. Hak-Hak Konsumen ... 15

4. Konsumen di Bidang Jasa Keuangan Syariah ... 15

E. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Arbitrase di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ... 16

1. Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ... 16

2. Tata Cara Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Arbitrase di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ... 18

3. Keberatan atas Putusan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ... 22

F. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ... 23

(10)

x

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH DALAM BIDANG JASA KEUANGAN DAN KAITANNYA DENGAN KEWENANGAN MENGADILI ... 26 A. Duduk Perkara pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 735 K/Pdt.Sus-BPSK/2017 ... 26 1. Amar Putusan Arbitrase BPSK Pemerintah Kabupaten Batu Bara Nomor 712/Arbitrase/BPSK-BB/IV/2016 ... 27 2. Ratio Decidendi atau Pertimbangan Hakim pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 735 K/Pdt.Sus-BPSK/2017 ... 29 B. Kewenangan Pengadilan Negeri ... 30 C. Kewenangan Pengadilan Agama ... 31

BAB IV KEWENANGAN MENGADILI PERKARA KEBERATAN ATAS PUTUSAN ARBITRASE BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) PADA SENGKETA KONSUMEN JASA KEUANGAN SYARIAH ... 33 A. Kewenangan Mengadili Perkara Keberatan atas Putusan Arbitrase Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) pada Sengketa Konsumen Jasa Keuangan Syariah ... 33 1. Asas Tingkatan Hierarki (Lex Superior Derogat Legi Inferiori) ... 36 2. Asas Khusus Mengesampingkan yang Umum (Lex Specialis Derogat Legi Generalis) ... 38 3. Asas yang Baru Mengesampingkan yang Lama (Lex Posterior Derogat Legi Priori) ... 41 B. Kesesuaian Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 735 K/Pdt.Sus-BPSK/2017 terhadap Peraturan Perundang- Undangan ... 43

1. Kedudukan Konsumen ... 44

(11)

xi

Kabupaten Batu Bara dalam Perkara A Quo ... 52

4. Kesesuaian Perkara A Quo terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ... 57

5. Penyelesaian Sengketa Perkara A Quo dan Kaitannya dengan Fiqh Muamalah ... 59

BAB V PENUTUP ... 66

A. Kesimpulan ... 66

B. Rekomendasi ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68

(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

F. Latar Belakang Masalah

Salah satu hak konsumen yang harus dilindungi adalah hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut sebagaimana disebut pada Pasal 4 huruf (e) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Untuk itu, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengamanatkan untuk membentuk sebuah lembaga alternatif penyelesaian sengketa konsumen, yakni Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Berdasarkan Pasal 52 huruf (a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tugas dan wewenang BPSK adalah melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Putusan majelis BPSK berdasarkan Pasal 54 ayat (3) bersifat final dan mengikat, namun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen membuka peluang bagi para pihak baik konsumen maupun pelaku usaha yang merasa keberatan terhadap putusan majelis BPSK mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri sebagaimana diatur pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Menurut Susanti, BPSK mengalami beberapa kendala dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Diantaranya terdapat beberapa inkonsistensi pada pasal-pasal dalam undang-undang tersebut, adanya pertentangan antara pasal yang satu dengan yang lainnya, maupun adanya konflik horizontal dengan produk perundang-undangan lainnya.1 Konflik horizontal sebagaimana dimaksud Susanti, salah satunya terjadi antara Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan Undang-Undang Nomor

1 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara serta Kendala Implementasinya, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 210.

(13)

3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yakni dalam hal kompetensi absolut pada perkara keberatan atas putusan arbitrase BPSK di bidang jasa keuangan syariah.

Berdasarkan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, lembaga peradilan yang berwenang mengadili sengketa di bidang ekonomi syariah adalah Pengadilan Agama. Sementara Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur bahwa Pengadilan Negeri adalah lembaga peradilan yang berwenang dalam mengadili perkara keberatan atas putusan arbitrase BPSK.

Seperti pada perkara sengketa konsumen jasa keuangan syariah antara Andika Sagala (Pemohon Kasasi) selaku nasabah dengan PT Bank Syariah Mandiri Tbk, KCP Kampung Pajak (Termohon Kasasi) yang telah diputus dan telah berkekuatan hukum tetap serta teregister sebagai Putusan Mahkamah Agung Nomor 735 K/Pdt.Sus-BPSK/2017. Perkara ini merupakan lanjutan dari penyelesaian sengketa konsumen melalui cara arbitrase yang telah diputus BPSK Kabupaten Batu Bara dengan nomor 712/Arbitrase/BPSK- BB/IV/2016. Hal yang menjadi sorotan peneliti pada putusan Mahkamah Agung tersebut adalah pertimbangan hakim yang mana menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Rantauprapat nomor 196/Pdt.Sus-BPSK/2016/PN Rap.

Atas pertimbangan itu, berarti hakim Mahkamah Agung telah berpendapat bahwa lembaga peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa tersebut adalah Pengadilan Negeri.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai kompentensi absolut perkara keberatan atas putusan arbitrase BPSK pada sengketa konsumen jasa keuangan syariah, agar penyelesaian sengketa konsumen jasa keuangan syariah lebih efektif kedepannya dan masyarakat mengetahui tata cara yang benar dalam mengajukan keberatan atas putusan BPSK. Untuk itu peneliti akan melakukan penelitian dengan judul “KEWENANGAN MENGADILI PERKARA

KEBERATAN ATAS PUTUSAN ARBITRASE BADAN

(14)

3

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) PADA PERKARA SENGKETA KONSUMEN JASA KEUANGAN SYARIAH (STUDI ATAS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 735 K/PDT.SUS- BPSK/2017)”.

G. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat peneliti identifikasi beberapa masalah, yaitu sebagai berikut:

a. Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam menyelesaikan sengketa konsumen jasa keuangan syariah;

b. Tata cara penyelesaian sengketa konsumen jasa keuangan syariah di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK);

c. Tata cara pengajuan keberatan atas putusan BPSK dalam perkara sengketa jasa keuangan syariah;

d. Kompetensi absolut perkara keberatan atas putusan arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam sengketa konsumen bidang jasa keuangan syariah;

e. Kesesuaian Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 735 K/Pdt.Sus-BPSK/2017 terhadap Peraturan Perundang-Undangan.

2. Pembatasan Masalah

Karena luasnya masalah yang dapat diidentifikasi pada latar belakang masalah, perlu untuk membatasi masalah agar penelitian ini dapat menjawab permasalahan yang ada. Maka dari itu, masalah dibatasi hanya pada kompetensi absolut dalam perkara keberatan atas putusan arbitrase BPSK perkara sengketa konsumen jasa keuangan syariah.

Pembatasan masalah selanjutnya adalah mengenai kesesuaian Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 735 K/Pdt.Sus-BPSK/2017 terhadap peraturan perundang-undangan.

(15)

3. Perumusan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan, peneliti merumuskan masalah penelitan kepada kompetensi absolut perkara keberatan atas putusan arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di bidang Jasa Keuangan Syariah. Perumusan tersebut kemudian peneliti rinci dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana kompetensi absolut perkara keberatan atas putusan arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam sengketa konsumen bidang jasa keuangan syariah?

b. Apakah Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 735 K/Pdt.Sus-BPSK/2017 telah sesuai dengan Peraturan Perundang- Undangan?

H. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

a. Untuk menjelaskan kompentensi absolut perkara keberatan atas putusan arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam sengketa konsumen bidang jasa keuangan syariah;

b. Untuk menguji kesesuaian Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 735 K/Pdt.Sus-BPSK/2017 terhadap peraturan perundang-undangan.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan secara teoritis bagi pengembangan pengetahuan hukum ekonomi syariah terutama hukum perlindungan konsumen jasa keuangan syariah.

(16)

5

Penelitian ini juga dapat menjadi jawaban atas sedikitnya penelitian yang membahas penyelesaian sengketa konsumen jasa keuangan syariah, juga dapat menjadi rujukan bagi peneliti-peneliti berikutnya.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan secara praktis bagi mahasiswa fakultas hukum, akademisi, dan para praktisi hukum, serta masyarakat pada umumnya tentang tata cara penyelesaian sengketa konsumen jasa keuangan syariah. Agar dikemudian hari penyelesaian sengketa konsumen jasa keuangan syariah lebih efektif, memberikan kepastian hukum, dan rasa keadilan bagi masyarakat yang bersengketa.

I. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan untuk penelitian hukum ini adalah pendekatan yuridis normatif, yakni dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur- literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

Jenis penelitian hukum normatif ini adalah sinkronisasi hukum yang dimulai dengan menginventarisir peraturan-peraturan terkait permasalahan penelitian kemudian dilakukan sinkronisasi secara vertikal maupun horizontal. Sementara pendekatan masalah yang digunakan pada penelitian ini ada 2 (dua), yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan studi kasus (case study approach), dalam hal ini kasus yang diteliti adalah Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 735 K/Pdt.Sus-BPSK/2017.

2. Jenis Penelitian

(17)

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, yakni penelitian yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis atas data penelitian menggunakan teori-teori hukum. Penelitian kualitatif menurut Soerjono Soekanto akan menghasilkan uraian hasil penelitian yang bersifat deskriptif analitis. 2

3. Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah data sekunder, yang terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, yaitu peraturan-peraturan terkait penyelesaian sengketa konsumen jasa keuangan syariah, diantaranya :

1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;

2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;

3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;

4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;

5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan;

6) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;

7) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah;

8) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan;

2 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1982), h. 250.

(18)

7

9) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan;

10) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;

11) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 735 K/Pdt.Sus-BPSK/2017.

12) Fatwa DSN-MUI Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah;

13) Fatwa DSN-MUI Nomor 111/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Jual Beli Murabahah.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang- undang, hasil-hasil penelitian atau pendapat pakar hukum serta buku- buku hukum termasuk penelitian-penelitian hukum yang relevan dengan isu hukum yang diteliti.3

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia.4

4. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data di atas, peneliti melakukan studi kepustakaan (library research), yaitu membaca, mencermati, dan mempelajari dokumen seperti Undang-Undang, Peraturan-Peraturan,

3 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 155.

4 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,… h. 155.

(19)

Putusan-Putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, laporan- laporan penelitian, artikel-artikel, dan buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti dari Arsip Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Metode Pengolahan Data

Setelah data diporeh, kemudian dilakukan pengolahan dengan cara sebagai berikut:5

a. Pemeriksaan data (editing), yaitu mengoreksi apakah data yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar, dan sudah sesuai/relevan dengan masalah.

b. Penandaan data (coding), yaitu memberi catatan atau tanda yang menyatakan jenis sumber data atau urutan rumusan masalah.

c. Rekonstruksi data (reconstructing), yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan, logis sehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan.

d. Sistematisasi data (sistematizing), yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah.

6. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh, diolah, dan dianalisis dengan menggunakan model analisis hermeneutik, yakni dengan melakukan interpretasi teks berupa aturan Perundang-Undangan, putusan hakim, fakta hukum, dan peristiwa hukum yang dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi. 6

7. Teknik Penulisan

5 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004), h. 126.

6 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, (Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 45.

(20)

9

Teknik penulisan yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum 2017”.

E. Sistematika Pembahasan

Skripsi ini akan disusun dalam beberapa bab dengan tujuan untuk mempermudah penelitian dan memperjelas pembacaannya. Adapun sistematika pembahasan penelitian ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisi pengantar untuk memahami garis besar dari seluruh pembahasan. Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, identifikasi, pembatasan , dan rumusan masalah, serta tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENYELESAIAN

SENGKETA DALAM BIDANG JASA KEUANGAN

SYARIAH

Pembahasan pada bab ini mencakup, kerangka teori dan konseptual, tinjauan kajian terdahulu, pengertian konsumen beserta pembagiannya. Kemudian dijabarkan pulan mengenai jasa keuangan Syariah yang meliputi Lembaga Keuangan Bank Syariah dan Non Bank. Setelah itu mengenai konsumen Lembaga Keuangan Syariah, dan perlindungan konsumen jasa keuangan Syariah beserta penyelesaian sengketanya.

BAB III : PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DAN KAITANNYA DENGAN KEWENANGAN MENGADILI DALAM BIDANG JASA KEUANGAN SYARIAH

Pada bab ini dijelaskan mengenai arbitrase dalam Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang meliputi pembahasan tentang profil dan kewenangan BPSK, tata cara

(21)

penyelesaian sengketa konsumen melalui cara arbitrase di BPSK, dan Keberatan atas putusan arbitrase BPSK. Sub bab berikutnya digambarkan mengenai duduk perkara pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 735 K/Pdt.Sus- BPSK/2017. Terakhir, berisi penjelasan terkait kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama.

BAB IV : KEWENANGAN MENGADILI PERKARA KEBERATAN ATAS PUTUSAN ARBITRASE BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) DALAM SENGKETA KONSUMEN JASA KEUANGAN SYARIAH

Membahas tentang kewenangan mengadili perkara keberatan atas Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam sengketa konsumen jasa keuangan syariah dan analisis kesesuaian Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 735 K/Pdt.Sus-BPSK/2017 terhadap peraturan perundang-undangan.

BAB V : PENUTUP

Bab penutup ini terdiri dari kesimpulan dan rekomendasi.

(22)

11 BAB II

PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENYELESAIAN SENGKETA DALAM BIDANG JASA KEUANGAN SYARIAH

A. Kerangka Konseptual

Sebelum masuk kepada penjabaran kajian kepustakaan teoritis, terlebih dahulu penulis akan mendeskripsikan dan merumuskan istilah-istilah kunci terkait dengan penelitian ini agar tidak terjadi kerancuan pemahamanan terhadap istilah-istilah tersebut. Adapun istilah-istilah kunci yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Kewenangan Mengadili

Kewenangan mengadili yang dimaksud disini adalah kewenangan absolut, yakni wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama maupun dalam lingkungan peradilan lain.1

2. Perkara Keberatan atas Putusan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

Perkara keberatan atas Putusan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan perkara yang diajukan baik oleh konsumen atau pelaku usaha kepada badan pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut. Adapun alasan permohonan keberatannya adalah ketidakpuasan salah satu pihak dalam proses penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase di BPSK.

Ketidakpuasaan dalam hal ini sebagaimana dimaksud pada Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

3. Sengketa Konsumen

1 R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), h. 6.

(23)

Sengketa konsumen yang dimaksud disini adalah sengketa antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan Syariah (PUJKS) dengan konsumen/nasabah yang menuntut ganti rugi atas pelanggaran hak-haknya akibat jasa yang disediakan.

4. Jasa Keuangan Syariah

Jasa keuangan syariah disini adalah, layanan jasa keuangan berdasarkan prinsip-prinsip syariah yang diberikan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan Syariah, yakni meliputi perbankan syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, saham syariah, dan lain sebagainya.

B. Kepastian Hukum

Hukum bertugas menciptakan kepastianhukum karena bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum terutama untuk noma hukum tertulis.

Menurut Fence M. Wantu, hukum tanpa nilai kepastian hukum akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang.2

Menurut Van Apeldoorn, kepastian hukum dapat diartikan hal yang dapat ditentukan oleh hukum dalam hal-hal yang konkret”3. Kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiable terhadap tindakan sewenang- wenang yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.

C. Asas Hukum

Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum merupakan jantungnya peraturan hukum, karena asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, bahwa peraturan-peraturan hukum itu

2 Fence M. Wantu, “Antinomi dalam Penegakan Hukum”, Jurnal Berkala Mimbar Hukum, Vol. 19, No. 3, (2007), h. 388.

3 Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pardnya Paramita, 1990), h.24-25.

(24)

13

pada akhirnya dapat dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Disamping itu asas hukum layak disebut sebagai alasan lahirnya peraturan hukum, atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Melalui adanya asas hukum, maka hukum bukanlah sekedar kumpulan peraturan-peraturan, karena itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis.4 Terdapat beberapa asas hukum yang sering digunakan dalam teori hukum, diantaranya yaitu:

1. Asas Tingkatan Hirarkie (Lex Superior Derogat Legi Inferiori)

Suatu perundang-undangan isinya tidak boleh bertentangan dengan isi perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatan atau derajatnya.5

2. Asas Khusus Mengesampingkan yang Umum (Lex Specialis Derogat Legi Generalis)

Suatu perundang-undangan yang khusus lebih diutamakan daripada perundang-undangan yang umum. Artinya, suatu ketentuan yang bersifat mengatur secara umum dapat dikesampingkan oleh ketentuan yang lebih khusus mengatur hal yang sama.6 Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas ini, yaitu:

a. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut.

b. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan- ketentuan lex generalis (undang-udang dengan undang-undang).

c. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang- Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.7

4 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), h. 89.

5 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1986, Cet. Pertama), h. 33.

6 Dudu Duswara Mahmudin, Pengantar Ilmu Hukum: Sebuah Sketsa, (Bandung: Refika, 2003), h.70.

7 Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, (Yogyakarta: FH UII Press, 2004), h. 56.

(25)

3. Asas yang Baru Mengesampingkan yang Lama (Lex Posterior Derogat Legi Priori)

Asas ini dikemukakan oleh Modestinus atas dua peraturan yang berada dalam urutan yang sama tetapi tanggal pengundangannya berbeda.

Adagium Lex posterior derogat legi priori memiliki arti undang-undang yang terkemudian menyisihkan undang-undang terdahulu.8 Hartono Hadisoeprapto mengartikan asas tersebut dengan pengertian bahwa undang-undang baru itu merubah/meniadakan undang-undang lama yang mengatur materi yang sama.9 Lebih lanjut, apabila pada undang-undang baru tidak secara jelas-jelas dituangkan ketentuan yang mencabut undang- undang lama tersebut, yang diberlakukan adalah undang-undang baru.

D. Konsumen

1. Pengertian Konsumen

Anderson dan Krumpt menyatakan kesulitannya merumuskan definisi konsumen, namun para ahli hukum pada umumnya bersepakat bahwa arti konsumen adalah pengguna terakhir benda dan/atau jasa (uiteindiljke gebruiker ven goede ren en diensten) yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha (ondernemer). Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai, pemakai terakhir dari benda dan jasa;

(uiteindelijke gebruiker van goederen en diensten). Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dengan konsumen pemakai terakhir. 10

2. Jenis-Jenis Konsumen

8 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum: Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana, 2017), h.259.

9 Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia: Edisi 4. (Yogyakarta:

Liberty, 2001), h. 26.

10 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 15-16.

(26)

15

Berdasarkan dari beberapa pengertian konsumen yang telah dikemukakan di atas, maka konsumen dapat dibedakan kepada tiga batasan, yaitu :

a. Konsumen komersial (commercial consumer), adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk memproduksi barang dan/atau jasa lain dengan tujuan mendapatkan keuntungan.

b. Konsumen antara (intermediate consumer), adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk diperdagangkan kembali dengan tujuan mencari keuntungan.

c. Konsumen akhir (ultimate consumer/ end user), adalah setiap orang yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan kehidupan pribadi, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lainnya dan tidak untuk diperdagangkan kembali dan/atau untuk mencari keuntungan kembali. 11

3. Hak-Hak Konsumen

Perlindungan hukum bagi konsumen adalah dengan melindungi hak-hak konsumen. Secara garis besar, hak-hak konsumen dapat dibagi ke dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu:12

a. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan;

b. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga wajar; dan c. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalah

yang dihadapi.

4. Konsumen di Bidang Jasa Keuangan Syariah

Bank Syariah sebagai pemberi jasa, memiliki konsumen jasa yang disebut sebagai nasabah. Menurut Kasmir dan Galih et al., yang dimaksud

11 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, … h. 17-18.

12 Abdul Halim Barkatullah, “Urgensi Perlindungan Hak-hak Konsumen dalam Transaksi di E-Commerce”, Jurnal Hukum, Vol. 14, No. 2, (2017), h. 256.

(27)

dengan nasabah merupakan konsumen yang membeli atau menggunakan produk yang dijual atau ditawarkan oleh bank.Pasal 1 angka 17, Pasal 1 angka 18, dan Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah juga memberikan pengertian tentang nasabah, yaitu pihak yang menggunakan jasa Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah yang kemudian dibagi sebagai berikut :

a. Nasabah Penyimpan, adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk Simpanan berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan.

b. Nasabah Investor, adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk Investasi berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan.

c. Nasabah Penerima, Fasilitas adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan Prinsip Syariah. 13

E. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Arbitrase di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 1 ayat (5) Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 06/M-DAG/PER/2/2017 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang dimaksud Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang selanjutnya disingkat adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen.

1. Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

Tugas dan wewenang BPSK diatur pada Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jo. Surat

13 Koeswara dan Muslimah, “Analisis Besarnya Pengaruh Kinerja Pelayanan (Service Performance) Frontliner dan Kepuasaan Nasabah Terhadap Loyalitas Nasabah Prioritas PT BCA, Tbk. Cabang Permata Buana dengan Pendekatan Metode Regresi Linear Multiple”, Jurnal Pasti, Vol. 8, No. 1, (2016), h. 3.

(28)

17

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu:

a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, mediasi, dan arbitrase;

b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

d. Melaporkan kepada penyidik umum jika terjadi pelanggaran Undang- Undang Perlindungan Konsumen (UUPK);

e. Menerima pengaduan tertulis maupun tidak dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;

g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang diduga mengetahui pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK);

i. Meminta bantuan kepada penyidik untuk menghadirkan saksi, saksi ahli, atau setiap orang pada butir g dan butir h yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK);

j. Mendapatkan, meneliti danlatau menilai surat, dokumen, atau bukti lain guna penyelidikan danlatau pemeriksaan;

k. Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian di pihak konsumen;

l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK).

(29)

2. Tata Cara Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Arbitrase di Badan Penyelasaian Sengketa Konsumen (BPSK)

Sengketa konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dimulai pada saat konsumen menggugat pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memenuhi ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), (3), dan ayat (4), baik melalui BPSK atau Badan Peradilan di tempak kedudukan konsumen. Permohonan penyelesaian sengketa konsumen di BPSK, berdasarkan Pasal 16 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dibuat secara tertulis dan memuat informasi sebagai berikut:

a. Nama dan alamat lengkap konsumen, ahli waris atau kuasanya disertai bukti diri;

b. Nama dan alamat lengkap pelaku usaha;

c. Barang atau jasa yang diadukan;

d. Bukti perolehan (bon, faktur, kwitansi, dan dokumen bukti lain);

e. Keterangan tempat, waktu, dan tanggal diperoleh barang atau jasa tersebut;

f. Saksi yang mengetahui barang atau jasa tersebut diperoleh;

g. Foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan jasa, jika ada.

Permohonan penyelesaian sengketa konsumen yang dibuat secara tertulis kemudian diterima oleh Sekretariat BPSK yang dalam hal ini bertugas sebagai Panitera berdasarkan Pasal 19 Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. Kemudian konsumen diberikan tanda terima dan berkas permohonan tersebut dibubuhi tanggal dan nomor registrasi.

Setelah berkas-berkas permohonan dilengkapi dan disertai bukti- bukti yang cukup, data pengaduan tersebut diajukan oleh sekretariat kepada Ketua BPSK, selanjutnya Ketua BPSK membuat surat panggilan kepada Pemohon dan Termohon. Ketua BPSK juga harus membentuk majelis dan menunjuk panitera, hal ini harus dilakukan sebelum sidang

(30)

19

pertama. Bagi pengaduan yang tidak lengkap, pengaduan tersebut dikembalikan kepada pengadu untuk dilengkapi. 14

Ketua BPSK memanggil pelaku usaha selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari sejak permohonan penyelesaian sengketa diterima secara benar dan lengkap sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 Kepmenperindag Nomor 350 Tahun 2001. Surat panggilan tersebut dicantumkan secara jelas mengenai hari, tanggal, jam dan tempat persidangan serta kewajiban pelaku usaha untuk memberikan surat jawaban terhadap penyelesaian sengketa konsumen dan disampaikan pada hari sidang pertama.

Sebelum persidangan ada suatu tahap yang dinamakan prasidang.

Prasidang ini tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen maupun Kepmenperindag Nomor 350 Tahun 2001. Pemanggilan awal yang dilakukan kepada pelaku usaha ialah pemanggilan kepada para pihak yang bersengketa untuk menghadiri prasidang. Pra sidang ini merupakan suatu tahap untuk mempertemukan para pihak bersengketa untuk menentukan cara penyelesaian sengketa yang akan digunakan dan penunjukkan majelis. 15

Namun ada kendala dalam pemanggilan pelaku usaha tersebut, karena pelaku usaha belum tentu dapat memenuhi panggilan, bahkan bisa saja tidak bersedia untuk menyelesaiakan sengketanya melalui BPSK. Atas hal tersebut, Ketua BPSK mempunyai kebijakan tersendiri dalam hal mencari cara untuk tetap melanjutkan proses sengketa konsumen yang diajukan oleh pihak konsumen. Karena jika tidak, maka sidang arbitrase tidak dapat berjalan, karena pada dasarnya pihak pelaku usaha akan merasa tidak memiliki kewajiban untuk menjalankan penyelesaian sengketa konsumen secara arbitrase dan asas kepastian hukum dalam

14 Faisal Riza dan Rachmad Abduh, “Penyelesaian Sengketa secara Arbitrase untuk Melindungi Konsumen Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen”, Jurnal EduTech, Vol.

4, No. 1. (Maret, 2018), h. 33.

15 Faisal Riza dan Rachmad Abduh, “Penyelesaian Sengketa secara Arbitrase”, … h. 34.

(31)

Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak akan terwujud.16 Kebijakan Ketua BPSK tersebut, tentunya mempunyai dasar hukum, yaitu Pasal 43 ayat (1) Kepmenperindag Nomor 350 Tahun 2001 yang menyatakan “Ketentuan teknis dalam beracara persidangan yang belum cukup diatur dalam Keputusan ini diatur lebih lanjut oleh Ketua BPSK”.

Proses persidangan 1 (pertama) berdasarkan Pasal 26 ayat (3) Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dilaksanakan selambat-lambatnya pada hari kerja ke-7 (tujuh) terhitung sejak diterimanya permohonan penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK. Menurut Pasal 34 ayat (1) Pasal 26 ayat (3) Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, pada hari persidangan 1 (pertama) Ketua Majelis wajib mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa dan bilamana tidak tercapai perdamaian, maka persidangan dimulai dengan membacakan isi gugatan konsumen dan surat jawaban pelaku usaha. Kesempatan yang sama harus diberikan baik kepada konsumen maupun pelaku usaha untuk menjelaskan hal-hal yang dipersengketakan, sebagaiamana diamanatkan pada Pasal 34 ayat (3) Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Konsumen diberikan kesempatan untuk mencabut gugatannya sebelum pelaku usaha memberikan jawabannya di Persidangan I (pertama). Adapun untuk mencabut gugatannya, dilakukan dengan cara konsumen membuat surat pernyataan pencabutan gugatan, sebagaimana diatur pada Pasal 35 ayat (1) Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Jika gugatan

16 Faisal Riza dan Rachmad Abduh, “Penyelesaian Sengketa secara Arbitrase”, … h.35.

(32)

21

tersebut dicabut, berdasarkan Pasal 35 ayat (2) Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, mewajibkan majelis untuk mengumumkan bahwa gugatan telah dicabut oleh konsumen. Kemudian, apabila dalam proses penyelesaian sengketa konsumen terjadi perdamaian antara konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, maka Pasal 35 ayat (3) Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen mewajibkan majelis untuk membuat putusan dalam bentuk penetapan perdamaian.

Apabila pelaku usaha atau konsumen tidak hadir pada hari persidangan I (pertama), maka menurut Pasal 36 ayat (1) Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen majelis memberikan kesempatan terakhir kepada konsumen dan pelaku usaha untuk hadir pada persidangan II (kedua) dengan membawa alat bukti yang diperlukan.

Berdasarkan Pasal 36 ayat (2) Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Persidangan II (kedua) dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu 5 hari kerja terhitung sejak hari persidangan I (pertama). Apabila pada persidangan II (kedua) konsumen tidak hadir, maka berdasarkan Pasal 36 ayat (3) Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen gugatannya gugur demi hukum.

Sebaliknya, jika pelaku usaha yang tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan tanpa kehadiran pelaku usaha (putusan verstek), sebagaimana diatur pada Pasal 36 ayat (3) Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan

(33)

Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Pembuktian dalam proses penyelesaian sengketa konsumen menurut Pasal 22 Kepmenperindag Nomor 350 Tahun 2001 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Sehingga pembuktian tidak dibebankan kepada konsumen selaku penggugat.Berbeda halnya apabila konsumen menggugat pelaku usaha ke pengadilan umum, maka pembuktian dibebankan kepada konsumen.

3. Keberatan atas Putusan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

Berdasarkan ketentuan Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pada prinsipnya keputusan majelis BPSK bersifat final and binding (final dan mengikat). Berarti dengan adanya putusan yang final dan mengikat, tidak diperlukan lagi upaya hukum lanjutan dan para pihak harus tunduk dan melaksanakan putusan yang bersifat final tersebut.

Namun, Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengajukan keberatan atas putusan BPSK. Keberatan harus diajukan oleh para pihak kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.

Apabila para pihak tidak mengajukan keberatan pada batas waktu tersebut, berdasarkan Pasal 56 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka para pihak dianggap menerima putusan BPSK dan harus dimintakan penetepan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan sebagaimana diatur pada Pasal 57 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan terhadap putusan BPSK paling lambat 21 (dua puluh satu) hari

(34)

23

sejak diterimanya keberatan, aturan ini berdasarkan Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Menurut Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, terbuka peluang untuk para pihak yang tidak menerima putusan atas keberatan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri untuk dibawa ke upaya hukum lanjutan. Pihak yang tidak menerima putusan tersebut, menurut Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya putusan Pengadilan Negeri. Dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonan kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan atas perkara tersebut, sebagaimana diatur pada Pasal 58 ayat (3) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Kasasi di Mahkamah Agung Republik Indonesia merupakan upaya hukum terakhir yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam perkara sengketa konsumen. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan kesempatan lagi kepada para pihak untuk mengajukan upaya hukum luar biasa, yaitu Peninjauan Kembali (PK). Putusan Kasasi pada perkara sengketa konsumen bersifat final dan mengikat, sehingga para pihak harus menerima dan melaksanakan putusan kasasi tersebut.

F. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

Skripsi berjudul “Kewenangan Peradilan Agama Menyelesaikan Sengketa Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Syariah (Analisis Yuridis Terhadap Peraturan Perundang-undangan dan Putusan Pengadilan tentang Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Syariah)” oleh M. Azhar Rizki Dalimunthe, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016. Penelitian tersebut berfokus pada kewenangan absolut Pengadilan Agama dalam mengadili sengketa konsumen dalam ekonomi syariah serta

(35)

praktik peradilan pada sengketa konsumen ekonomi syariah di lembaga peradilan. Dalam menggali temuannya peneliti tersebut menggunakan 2 (dua) pendekatan penelitian hukum, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Berdasarkan telaah undang- undang dan putusan-putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap yang terkait serta dianalisis dengan asas prefensi dalam hukum, peneliti tersebut menemukan bahwa Pengadilan Agama adalah lembaga peradilan yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa konsumen dalam bidang ekonomi syariah. Terdapat beberapa perbedaan dari penelitian yang akan peneliti lakukan, yaitu pada skripsi tersebut hanya pada sengketa konsumen ekonomi syariah yang diselesaikan melalui jalur pengadilan (litigasi), sementara peneliti ingin melakukan penelitian yang terfokus pada sengketa konsumen jasa keuangan syariah di luar pengadilan (non-litigasi), yaitu pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan kewenangan Pengadilan Negeri dalam membatalkan putusannya.

Jurnal berjudul “Dualisme Penyelesaian Sengketa Konsumen di Sektor Jasa Keuangan” oleh Andryawan, dimuat di Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol. 1, No. 2, Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Jakarta, 2017. Fokus dari penelitian tersebut adalah untuk menyelidiki ketidakpastian hukum terhadap lembaga Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) yang berwenang menyelesaikan sengketa konsumen di sektor jasa keuangan. Penelitian tersebut menemukan bahwa, terdapat ketidakpastian hukum yang timbul akibat adanya peraturan yang tidak secara tegas mengatur LAPS mana yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa konsumen di sektor jasa keuangan. Sehingga, timbul akibat hukum bahwa konsumen tetap dapat memilih menyelesaikan sengketanya dengan pelaku usaha di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maupun di LAPS yang telah diatur pada POJK Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan.

Peneliti menemukan beberapa perbedaan dari penelitian tersebut dengan

(36)

25

penelitian yang akan peneliti garap. Pertama, objek penelitian tersebut adalah penyelesaian sengketa konsumen di sektor jasa keuangan konvensional, sementara peneliti akan melakukan penelitian terhadap penyelesaian sengketa konsumen di sektor jasa keuangan syariah. Kedua, penelitian tersebut hanya sebatas pada LAPS yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa konsumen di sektor jasa keuangan, sementara peneliti akan melakukan penelitian terhadap lembaga peradilan yang berwenang dalam membatalkan putusan arbitrase BPSK dalam perkara sengketa konsumen di sektor jasa keuangan syariah.

Jurnal berjudul “Analisis Yuridis Upaya Keberatan terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Kaitannya dengan Perlindungan Konsumen” oleh Gabriel Siallagan. Efektivitas upaya keberatan terhadap putusan BPSK yang ditinjau secara hukum adalah fokus dari penelitian tersebut. Penelitian tersebut menemukan bahwa diperbolehkannya upaya keberatan terhadap putusan BPSK membuat penyelesaian sengketa konsumen di BPSK menjadi tidak efektif. Kemudian, ditemukan bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan kepastian hukum status putusan BPSK, sehingga yang seharusnya putusannya bersifat final dan mengikat ternyata dapat diajukan upaya keberatan kepada Pengadilan Negeri. Perbedaan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah penelitian terfokus pada efektifitas upaya keberatan atas putusan BPSK perkara sengketa konsumen secara umum, sementara penelitian yang akan peneliti garap fokusnya adalah kewenangan lembaga peradilan yang berwenang melalukan pembatalan putusan BPSK perkara sengketa konsumen jasa keuangan syariah.

Berdasarkan kajian terhadap studi terdahulu yang peneliti lakukan, dapat peneliti simpulkan bahwa penelitian yang akan peneliti lakukan adalah penelitian yang baru. Karena belum terdapat penelitian yang membahas secara khusus tentang kompentensi absolut pada perkara keberatan atas putusan arbitrase BPSK di bidang jasa keuangan syariah.

(37)

26 BAB III

PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH DALAM BIDANG JASA KEUANGAN DAN KAITANNYA DENGAN

KEWENANGAN MENGADILI

D. Duduk Perkara pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 735 K/Pdt.Sus-BPSK/2017

Telah dilakukan perjanjian antara Andika Sagala (selanjutnya disebut sebagai “Pemohon”) dengan PT Bank Syariah Mandiri Tbk, KCP Kampung Pajak (selanjutnya disebut sebagai “Termohon”) dengan akad Al- Murabahah.Nomor 111 tanggal 12 April 2013 untuk pembiyaan pembelian TBS Kelapa Sawit dan pengambilalihan piutang pengembalian pembiayaan dari Bank BRI dan Bank Sumut. Selanjutnya Termohon menyetujui pembiayaan yang diajukan, sebagaimana tertuang dalam Surat Penegasan Persetujuan Pembiayaan (SP3) Nomor 15/213-3/537, tanggal 10 April 2013.

Termohon memberikan pembiayaan kepada Pemohon sebesar Rp 500.000.000,00 dengan Margin sebesar Rp 182.592.191,14 yang diangsur selama 60 bulan (5 tahun), jumlah yang harus diangsur per bulan oleh Pemohon sebesar Rp 11.376,537,05, sehingga jumlah yang harus diangsur sebesar Rp 682.592.191,14. Pemohon menjaminkan sebidang tanah miliknya berikut bangunan yang berdiri diatasnya seluas 119/250 M2 yang terletak di Desa/Kelurahan Marbau, Kecamatan Marbau, Labuhan Batu Utara, Sumatera Utara dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Andika Sagala dengan Nomor 188 Desa/Kelurahan Marbau. Pemohon juga menjaminkan sebidang tanah pertapakan rumah seluas 5.974 M2 yang terletak di Desa/Kelurahan Marbau, Kecamatan Marbau, Labuhan Batu Utara, Sumatera Utara atas nama Kamaluddin Sagala dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 285 Desa/Kelurahan Marbau.

Seiring berjalannya waktu, ternyata Pemohon tidak memenuhi kewajibannya kepada Termohon sebagaima ketentuan yang terdapat dalam Akad Pembiayaan Al-Murabahah Nomor 111 yang telah disepakati para

(38)

27

pihak. Pihak Termohon mengklaim bahwa, atas penunggakan pembayaran kewajiban oleh Pemohon, pihak Termohon telah memberikan peringatan kepada Pemohon untuk segera melakukan pembayaran. Namun, Pemohon sama sekali tidak menunjukkan adanya itikad baik untuk memenuhi kewajibannya tersebut.

Merasa bahwa jaminan yang dijaminkan oleh Pemohon kepada Termohon secara tiba-tiba dilelang oleh Termohon, akhirnya Pemohon mengajukan permohonan penyelesaian sengketa melalui jalur Arbitrase di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Pemerintah Kabupaten Batu Bara dengan register perkara Nomor 712/Arbitrase/BPSK-BB/IV/2016.

3. Amar Putusan Arbitrase BPSK Pemerintah Kabupaten Batu Bara Nomor 712/Arbitrase/BPSK-BB/IV/2016

Setelah melalui beberapa kali persidangan arbitrase di BPSK Pemerintah Kabupaten Batu Bara tanpa kehadiran sama sekali pihak Termohon selama proses sengketa, akhirnya hakim arbiter yang bertugas memeriksa perkara tersebut menjatuhkan putusan verstek dengan amar putusan sebagai berikut:

Mengabulkan permohonan Konsumen seluruhnya dan menyatakan ada kerugian di pihak Konsumen, Pelaku Usaha juga tidak pernah menghadiri persidangan yang secara patut dipanggil Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kabupaten Batu Bara, Pelaku Usaha juga tidak pernah memberikan dokumen salinan/fotokopi perjanjian yang mengikat diri antara Konsumen dengan Pelaku Usaha seperti:

Perjanjian Kredit, Polis Asuransi, dan Akta Pembelian Hak Tanggungan maupun yang lainnya walaupun telah diminta oleh Konsumen kepada Pelaku Usaha. Tindakan tersebut merupakan kesengajaan Pelaku Usaha dan merupakan perbuatan melawan hukum serta bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Perjanjian Kredit yang telah dibuat dan ditandatangani bersama antara Konsumen dengan Pelaku Usaha batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, padahal Konsumen telah

(39)

beritikad baik dalam melakukan/melaksanakan kewajibannya sebagai Konsumen dari Pelaku Usaha yaitu dengan membayarkan/setor angsuran setiap bulannya kepada Pelaku Usaha. Berdasarkan hal itu, Pelaku Usaha telah melakukan pelelangan dengan cara Lelang Eksekusi Hak Tanggungan di muka umum atas agunan yang menjadi jaminan Konsumen kepada Pelaku Usaha dengan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan di muka umum.

Lelang yang telah dilakukan Pelaku Usaha dengan cara melalui Perantara Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dinyatakan batal demi hukum, dengan agunan yang menjadi jaminan Konsumen kepada Pelaku Usaha, berupa:

a. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 188 Desa/Kelurahan Merbau, berupa sebidang tanah dan bangunan seluas 119/250 M2 (seratus sembilan belas meter persegi/dua ratus lima puluh meter persegi), yang terletak di Provinsi Sumatera Utara, Kabupaten/Kotamadya Labuhan Batu Utara, Kecamatan Marbau, Desa/Kelurahan Marbau dengan Nama Pemegang Hak Milik tertulis/terdaftar atas nama Andika Sagala;

b. Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 285 Desa/Kelurahan Merbau, berupa sebidang tanah pertapakan rumah seluas 5.974 M2 (lima ribu sembilan ratus tujuh puluh empat meter persegi), yang terletak di Provinsi Sumatera Utara, Kabupaten/Kotamadya Labuhan Batu Utara, Kecamatan Marbau, Desa/Kelurahan Marbau, dengan Nama Pemegang Hak Milik tertulis/terdaftar atas nama Kamaluddin Sagala;

c. Serta surat-surat lainnya yang menjadi agunan/jaminan Konsumen/Andika Sagala kepada Pelaku Usaha/PT Bank Syariah Mandiri (Bank BSM) Kantor Cabang Pembantu/KCP Kampung Pajak;

Pelaku Usaha dihukum untuk membatalkan Lelang yang telah dilakukan Pelaku Usaha atas agunan yang menjadi jaminan Konsumen kepada Pelaku Usaha yaitu guna untuk pembayaran kembali atas fasilitas pinjaman kredit modal kerja yang telah diberikan oleh Pelaku Usaha kepada Konsumen dengan cara Lelang Eksekusi Hak Tanggungan di muka

(40)

29

umum secara melalui Perantara Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), menghapus biaya denda tunggakan serta suku bunga tunggakan yang menjadi akibat keterlambatan pembayaran angsuran setiap per-bulannya seperti denda pinalty, denda bunga berjalan dan denda tunggakan bunga maupun lainnya yang bertentangan dengan peraturan, dan Pelaku Usaha juga dihukum untuk membayar uang denda sebesar Rp1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap harinya, apabila Pelaku Usaha lalai atau tidak mau mematuhi keputusan pada butir 9 (sembilan), 10 (sepuluh) dan 11 (sebelas) tersebut di atas, terhitung sejak keputusan ini berkekuatan hukum tetap (in kracht).

4. Ratio Decidendi atau Pertimbangan Hakim pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 735 K/Pdt.Sus-BPSK/2017

Terhadap keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi, Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut berpendapat bahwa keberatan-keberatan yang disampaikan oleh pemohon keberatan merupakan pengulangan terhadap hal-hal yang telah dipertimbangkan oleh Judex Facti, sehingga harus ditolak. BPSK tidak berwenang dalam mengadili perkara ini karena menurut Majelis Hakim, pendapat Judex Facti yang mengatakan bahwa perkara tersebut merupakan perkara perdata murni dan bukan perkara sengketa konsumen adalah tepat. Lagipula yang diperiksa oleh BPSK pada perkara ini adalah pokok perjanjian kredit antara Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi dengan akad al-Murabahah dengan jaminan berupa 2 bidang tanah yang telah diikat oleh Hak Tanggungan. Dalam perjalanannya Pemohon Kasasi tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk melunasi hutang kepada Termohon Kasasi. Sehingga, Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara tersebut adalah perkara wanprestasi yang merupakan kewenangan absolut dari Pengadilan Negeri. Maka dari itu, Pengadilan Negeri telah tepat dalam menerapkan hukum.

(41)

Amar Putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung Perkara Nomor 735 K/Pdt.Sus-BPSK/2017

1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Andika Sagala 2. Memperbaiki amar Putusan Pengadilan Negeri Rantauprapat

Nomor 196/Pdt.Sus-BPSK/2016/PN Rap., tanggal 23 Januari 2017 sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:

I. Dalam Eksepsi:

- Menolak Eksepsi Termohon Keberatan Seluruhnya;

II. Dalam Pokok Perkara:

1. Mengabulkan permohonan keberatan dari Pemohon Keberatan untuk sebagian;

2. Menyatakan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kabupaten Batu Bara tidak berwenang memeriksa dan mengadili acara arbitrase perkara pengaduan (gugatan) konsumen atas nama Andika Sagala;

3. Menyatakan Putusan BPSK Kabupaten Batu Bara Nomor 712/Arbitrase/BPSK-BB/IV/2016 tanggal 30 September 2016 tidak mempunyai kekuatan hukum;

4. Menghukum Pemohon Kasasi/Termohon Keberatan untuk membayar biara perkara pada tingkat kasasi yang ditetapkan sebesar Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)

E. Kewenangan Pengadilan Negeri

Pengadilan Negeri, menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, merupakan Pengadilan Tingkat Pertama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana atau perdata bagi masyarakat pencari keadilan pada umumnya, kecuali undang-undang menentikan lain (dalam hal ini undang-undang memberikan kompetensi penyelesaian lain di luar Pengadilan Negeri walaupun perkara tersebut termasuk pidana maupun perdata). Berdasarkan Pasal 50 Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Pengadilan Negeri berkedudukan

pada setiap ibu kota kabupaten atau kota. Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana/perdata yang dilakukan di daerah hukumnya sesuai dengan tugas pokok Badan Peradilan Umum dalam hal menerima, memeriksa, mengadili perkara baik pidana maupun perdata.

Kedudukan Pengadilan Negeri, berdasarkan Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum,

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Ketentuan perincian daftar kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan kewenangan lain

(2) Dalam hal tindak pidana lalu lintas dilakukan Perusahaan Angkutan Umum, selain pidana yang dijatuhkan terhadap pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

Kami tidak melakukan review atas laporan keuangan Anak perusahaan yang dikonsolidasi, PT Citra Pembina Pengangkutan Industries dan Anak perusahaan, dengan kepemilikan 98%, yang

Pada kesempatan P5 2015 ini, diharapkan para mahasiswa baru dapat menanamkan nilai-nilai serta kepahaman peran dan fungsi mahasiswa sehingga timbul pribadi-pribadi

Petunjuk teknis disusun dengan tujuan agar dapat dijadikan sebagai petunjuk bagi pemangku kepentingan dalam melaksanakan seleksi, pengajuan, penyaluran, penyelenggaraan,

Melakukan evaluasi dan analisis terhadap seluruh aktivitas yang berjalan secara periodik/berkala sebagai dasar pelaksanaan tindakan preventif (pencegahan) sehingga mengurangi

Puji dan Syukur penulis panjatkan pada kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Analisis Fungsi

Yaitu pada design circuit untuk dapat diterapkan, simulasi akan dijalankan sesuai program arduino yang diinginkan, dan setelah mendapatkan hasil yang baik dengan