commit to user
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Budaya Organisasi
a. Pengertian Budaya
Menurut Alisyahbana dalam (Supartono, 2004:31) budaya merupakan manifestasi dari cara berfikir, sehingga menurutnya pola kebudayaan itu sangat luas sebab semua tingkah laku dan perbuatan, mencakup di dalamnya perasaan karena perasaan juga merupakan maksud dari pikiran.
Kemudian Peruci dan Hamby dalam (Tampubolon, 2004:184) mendefisinisikan budaya adalah segala sesuatu yang dilakukan, dipikirkan, dan diciptakan oleh manusia dalam masyarakat, serta termasuk pengakumulasian sejarah dari objek-objek atau perbuatan yang dilakukan sepanjang waktu.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas maka dapat disimpulkan budaya adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran berupa pengetahuan, kepercayaan, kesenian, nilai-nilai, dan moral yang kemudian dilakukan dalam kehidupan baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat dimana segala hasil pemikiran tersebut didapatkan melalui interaksi manusia dengan manusia yang lain di dalam kehidupan bermasyarakat maupun interaksi manusia dengan alam.
b. Pengertian Organisasi
Sobirin (2007: 7) mendefinisikan organisasi sebagai unit sosial atau entitas yang didirikan oleh manusia dalam jangka waktu yang relatif lama,
commit to user
8 beranggotakan sekelompok manusia-manusia minimal dua orang, mempunyai kegiatan yang terkoordinir, teratur dan terstruktur, didirikan untuk mencapai tujuan tertentu mempunyai identitas diri yang membedakan satu entitas dengan entitas lainnya.
Dari pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa organisasi adalah suatu kelompok yang menghimpun anggota-anggota yang memiliki satu tujuan tertentu dan bekerja sama mencapai tujuan yang telah ditetapkan dimana dalam kelompok tersebut memiliki struktur yang memuat unit-unit kerja sebagai pengelompokan tugas-tugas atau pekerjaan sejenis dari yang mudah hingga yang terberat dimana setiap unit memiliki volume dan beban kerja yang harus diwujudkan guna mencapai tujuan organisasi. Dalam pencapaian tujuan tersebut dibutuhkan koordinasi dalam pelaksanaan kerjasama yang berdasarkan prosedur yang telah diatur secara formal.
c. Pengertian Budaya Organisasi
Sebagai sebuah konsep yang komprehensif yang mencakup keyakinan, ideologi, adat, norma, tradisi, pengetahuan, dan teknologi, budaya organisasi merupakan faktor penting yang memengaruhi perilaku organisasi dan anggotanya (Lee, 1999). Pengertian budaya organisasi mempunyai makna yang luas. Luthans (1998) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan norma – norma dan nilai – nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi. Menurut Robbins (2008) budaya organisasi sebagai nilai – nilai, prinsip – prinsip, tradisi, dan cara – cara bekerja yang dianut bersama oleh para anggota organisasi dan memengaruhi cara mereka bertindak.
Definisi budaya organisasi menurut Robbins (2008) disini menyiratkan tiga hal, pertama, budaya adalah persepsi, bukan sesuatu
commit to user
9 yang dapat disentuh atau dilihat secara fisik, namun para karyawan menerima dan memahami melalui apa yang mereka alami dalam organisasi. Kedua, bersifat deskriptif, yaitu berkenaan dengan bagaimana para anggota menerima dan mengartikan budaya tersebut, terlepas dari apakah mereka menyukainya atau tidak. Terakhir, meskipun para individu di dalam organisasi yang juga berbeda, mereka cenderung mengutarakan budaya organisasi dengan cara yang sama.
Robbins (2002) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan sebuah sistem pemaknaan bersama dibentuk oleh para warganya yang sekaligus menjadi pembeda dengan organisasi lainnya. Ada tujuh karakteristik yang diberikan Robbins dalam mendefinisikan budaya organisasi yaitu :
1) Inovasi dan keberanian mengambil resiko. 2) Perhatian terhadap detail.
3) Berorientasi kepada hasil. 4) Berorientasi kepada manusia. 5) Berorientasi tim
6) Agresif 7) Stabil.
d. Fungsi Budaya Organisasi
Budaya organisasi sebagai pedoman untuk mengontrol perilaku anggota organisasi, pasti memiliki fungsi dan manfaat yang berguna bagi organisasi menurut Riani (2011). Fungsi budaya organisasi menurut Robbins (2002) adalah sebagai berikut:
1) Budaya organisasi merupakan sebuah pembeda, artinya budaya organisasi menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dengan yang lain.
commit to user
10 2) Budaya organisasi membawa rasa identitas bagi anggota – anggota
organisasi.
3) Budaya organisasi mempermudah timbulnya pertumbuhan komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual. 4) Budaya organisasi meningkatkan kemantapan sistem sosial. Sedangkan menurut Luthans (1998) budaya organisasi berfungsi:
1)
Memberi sence of identity kepada anggota organisasi untuk memahami visi, misi, dan menjadi bagian integral dari organisasi.2)
Menghasilkan dan meningkatkan komitmen terhadap misi organisasi.3)
Memberikan arah dan memperkuat stdanar perilaku untukmengendalikan perilaku organisasi agar melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang telah disepakati bersama.
e. Tipe Budaya Organisasi
Budaya organisasi yang dikonsep dengan menggunakan pendekatan nilai-nilai bersaing / Competing Values Approach (CVA) oleh Quinn dan McGrath dalam Park dan Kim (2009) . CVA menyediakan metode untuk membantu manajer-manajer dan organisasi, mereka menganalisis budaya mereka dan mengembangkan alat pengukuran yang dapat didanalkan dan valid, dan dengan demikian banyak digunakan sebagai kerangka kerja untuk mendiagnosa budaya organisasi. Competing Values Approach (CVA) menghasilkan empat jenis budaya: consensual culture, developmental culture, hierarchical culture, dan rational culture
1)
Consensual culture berfokus pada kepedulian terhadap karyawan, lalu nilai-nilai kerjasama tim, partisipasi, dan loyalitas. Dalam budaya ini, organisasi dapat menjadi tempat yang ramah untuk bekerja dimanacommit to user
11 karyawa banyak berbagi dari diri mereka sendiri dan para pemimpin dianggap mentor dan mungkin bahkan menjadi figur orangtua bagi karyawan.
2)
Rational culture menekankan hasil dan menyelesaikan pekerjaan. Orang-orang yang kompetitif dan berorientasi pada tujuan. Para pemimpin adalah penggerak, produsen, dan pesaing yang tangguh yang menuntut staf mereka. Organisasi yang diselenggarakan bersama oleh penekanan pada kemenangan (kesuksesan) dan meningkatkan pangsa pasar dan penetrasi.3)
Developmental culture dapat digambarkan sebagai tempat yang dinamis, kewirausahaan, dan kreatif untuk bekerja. Orang-orang didorong untuk mengambil risiko dan fokus pada inovasi, inisiatif individu dan kebebasan. Pemimpin dianggap inovator dan pengambil risiko. Selalu untuk melakukan percobaan dan inovasi adalah yang memegang dalam organisasi ini.4)
Hierarchical culture adalah tempat formal dan terstruktur untuk bekerja. Semua yang di lakukan di atur oleh prosedur yang ada. Para pemimpin mengorganisir dengan baik, mengkoordinator dan efisiensi. Aturan formal dan kebijakan sama-sama memegang organisasi. Kesuksesan dalam organisasi ini adalah penyampaian yang baik, penjadwalan yang lancar, dan menekan biaya.Competing Values Approach (CVA) oleh Quinn dan McGrath
dalam Gao Liang (2012)
1)
Consensual culture dibangun pada "hubungan manusia", "karyawan dan dukungan" , budaya Consensual berusaha sebanyak mungkin mendapatkan pendapat dan partisipasi dari sekelompok diversifikasi.commit to user
12 Sebuah organisasi dengan budaya konsensus berfokus pada harmonisasi internal, dengan dasar kekuasaan didistribusikan di antara semua anggota dan kinerja organisasi tergantung pada semangat karyawan itu sendiri, ikatan dan semangat tim. Pertukaran informasi dilakukan dengan melalui diskusi, partisipasi dan pembangunan pengambilan keputusan bersama. Anggota organisasi berinteraksi satu sama lain dengan ramah dan tim yang membantu meningkatkan semangat dan kepercayaan mengenai tugas organisasi. Akibatnya, budaya consensual cenderung mendukung anggota organisasi dan sering diamati dalam organisasi berukuran kecil dari bisnis keluarga. Dalam studi ini, definisi operasional budaya consensual sebagai sub-dimensi budaya organisasi adalah "budaya ditdanai dengan otorisasi dan partisipasi yang memadai oleh karyawan, dengan penekanan pada kerja tim dan konseling kolektif".
2)
Rational culture "mengejar efisiensi", "mengejar objektivitas" dan "berorientasi kerja", budaya rational mengandung nilai-nilai inti seperti efisiensi, produktivitas dan profitabilitas. Karena sebuah organisasi dengan budaya rational mencari efisiensi ilmiah dan percaya bahwa satu-satunya cara untuk memperbaiki lingkungan melalui pilihan-pilihan rational yang dibuat oleh manusia, membuat analisis efektivitas biaya, menggunakan tujuan spesifik dan penilaian pribadi / keputusan untuk memaksimalkan kinerja organisasi. Budaya rational organisasi memiliki kualitas berorientasi pada tujuan yang khas dan terkontrol terutama di organisasi komersial dan kelompok-kelompok kepentingan. Dalam studi ini, definisi operasional budaya rational sebagai sub-dimensi budaya organisasi adalah "budaya lembaga/organisasi yang telah berpusat pada kekuasaan dan mampu mengintegrasikancommit to user
13 berbagai inisiatif, dengan nilai-nilai inti yang efisiensi, efektivitas, tujuan, dan penekanan pada pengembangan kompetensi.”
3)
Developmental culture "menciptakan masa depan" dan "idealisme", budaya perkembangan dimaksudkan untuk mencari inovasi, pengalaman dan pertumbuhan. Organisasi dengan budaya perkembangan sebagian besar terdiri dari anggota yang berjuang untuk mencapai cita-cita mereka sendiri. Sementara kinerja organisasi tergantung pada dukungan dan sumber daya yang diperoleh dari eksternal, inovasi dan reformasi adalah pendekatan utama untuk memperluas sumber daya organisasi dan memperoleh dukungan dari dunia luar, maka budaya ini berorientasi pada inovasi, utuk perbaikan budaya. Dalam studi ini, definisi operational budaya perkembangan sebagai sub-dimensi budaya organisasi adalah "sebuah budaya yang memfasilitasi pembagian kekuasaan organisasi dengan penekanan pada kompetisi eksternal, pertumbuhan, serta organisasi karismatik kepemimpinan dan pengembangan inovatif"..4)
Hierarchical culture dibangun pada "sesuai dengan peraturan", "kontrol hierarchical" dan "mencari stabilitas", budaya hierarchical berfokus pada kekuatan terpusat serta pemeliharaan sistem internal. Peraturan resmi dan prosedur administratif adalah apa yang menghasilkan perilaku anggota organisasi. Karena kontrol hierarchical melibatkan nilai-nilai khas seperti stabilitas, pengendalian, prediktabilitas, koordinasi dan kewajiban. Dalam studi ini, definisi operasional budaya hierarchical sebagai sub-dimensi budaya organisasi adalah "budaya yang telah terpusat kekuasaan dancommit to user
14 penekanan pada proses integrasi internal, dengan perilaku organisasi dikendalikan dengan cara hirarki, stabilitas dan hukum / peraturan. 2. Kepuasan Kerja
a. Pengertian Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja (job satisfaction) berkaitan dengan sikap positif dan kepercayaan terhadap beberapa aspek pekerjaan atau profesi Organ dalam Elci et al. (2007). Ardana, et al. (2012) Kepuasan kerja didefinisikan sebagai suatu cara pdanang seseorang terhadap pekerjaannya, pdanangan tersebut dapat bersifat positif maupun negatif. Menurut Kreitner dan Kinicki, (2004) menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan respon afektif atau emosional dari sebuah pekerjaan. Elci et al. (2007). kepuasan kerja adalah sebuah status emosional positif yang berasal dari penilaian seorang pegawai terhadap situasi kerja yang mereka alami. Dari pernyataan tersebut perasaan yang dialami oleh karyawan positif maupun negatif dapat memberikan efek pada kepuasaan maupun ketidak puasan karyawan.
Menurut Luthans (1998) Kepuasan kerja karyawan merupakan hasil persepsi karyawan tentang bagaimana pekerjaan mereka dapat memberikan sesuatu yang dianggap penting. Dengan kata lain kepuasan kerja dalam pekerjaan adalah kepuasan kerja yang di nikmati dalam pekerjaannya setelah memperoleh hasil kerja yang di targetkan.
Dengan kata lain, kepuasan kerja tidak hanya mencakup tingkat individu terhadap perasaan dan kepuasan dengan kegiatan pekerjaan saat ini, prestasi dan tanggung jawab, tetapi juga tingkat kepuasan individu dengan semua aspek terkait dengan pekerjaan saat ini, tetapi mereka yang tidak secara langsung berhubungan dengan pekerjaannya Chang dan Chang, (2007).
commit to user
15 b. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kepuasan Kerja
Luthans (1998) terdapat 5 faktor yang memengaruhi kepuasan kerja yaitu:
1) Pekerjaan yang dilakukan
Jenis pekerjaan yang dilakukan dapat merupakan sumber kepuasan. 2) Gaji
Gaji dan upah yang diterima karyawan dianggap sebagai refleksi cara pdanang manajer mengenai kontribusi karyawan terhadap organisasi. 3) Promosi
Kesempatan untuk lebih berkembang di organisasi dapat menjadi sumber kepuasan kerja.
4) Supervisor
Kemampuan supervisor untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan moral dapat meningkatkan kepuasan kerja.
5) Rekan sekerja
Rekan sekerja dapat memberikan bantuan secara teknis dan dukungan secara sosial akan meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Menurut As’ad (2001) faktor-faktor kepuasan kerja antara lain:
1) Faktor Psikologis
Merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan yang merupakan minat, ketentraman dalam bekerja, sikap terhadap kerja, bakat dan keterampilan.
2) Faktor Sosial
Merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik antara sesama karyawan, dengan atasannya, maupun karyawan berbeda jenis pekerjaannya.
commit to user
16 3) Faktor Fisik
Merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi karyawan, umur, dan sebagainya.
4) Faktor Finansial
Merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial, berbagai macam tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi.
Robbins (2001) Sedangkan faktor dari pribadi karyawan yang berpengaruh adalah sikap kebutuhan-kebutuhan yang dimilikinya, nilai-nilai yang di anut, sifat kepribadian, dan pengalaman pada masa lalu. Karyawan yang memiliki kepuasan kerja tinggi akan memiliki kinerja yang baik, sehingga berdampak langsung pada produktivitas kerja yang tinggi. Locke (dalam Judge, 1993) menunjukkan adanya hubungan yang positif antara kepuasan kerja dengan produktivitas kerja.
c. Pengaruh Kepuasan Kerja
Luthans (1998) mengemukakan bahwa kepuasan kerja berpengaruh terhadap berbagai hal, yaitu:
1) Produktivitas
Karyawan yang tingkat kepuasan kerja tinggi, produktivitasnya akan meningkat, walaupun hasilnya tidak langsung.
2) Keinginan untuk pindah kerja
Jika karyawan tidak puas dengan pekerjaannya, maka besar keinginan mereka untuk pindah atau keluar dalam pekerjaannya. Walaupun
commit to user
17 demikian tingkat kepuasan kerja yang tinggi tidak menjamin karyawan yang bekerja di organisasi tersebut tidak ingin meninggalkan pekerjaannya.
3) Tingkat Absen
Ketika tingkat kepuasan kerja karyawan tinggi maka tingkat ketidak hadiran rendah. Sebaliknya, ketika kepuasan rendah maka tingkat ketidakhadiran karyawan tinggi.
4) Faktor lain
Karyawan yang tingkat kepuasannya tinggi akan mempunyai kesehatan fisik dan mental yang lebih baik, lebih cepat untuk mempelajari tugas-tugas, tidak banyak kesalahan yang di buat, tidak banyak keluhan. Selain itu karyawan akan menunjukkan perilaku dan aktivitas yang lebih baik, misalnya membantu rekan, membantu pelanggan, dan lebih mudah bekerja sama.
Menurut Robbins (2001) terdapat 4 respon karyawan ketika mereka merasa tidak puas dengan pekerjaannya, yaitu:
1) Keluar
Perilaku yang mengarah untuk meninggalkan organisasi. 2) Suara
Dengan aktif dan konstruktif mencoba memperbaiki kondisi. Mencakup saran perbaikan, membahas masalah-masalah dengan atasan dan beberapa bentuk kegiatan serikat buruh.
3) Kesetiaan
Pasif tetapi optimis menunggu membaiknya kondisi. Mencakup berbicara dalam pembelaan oragnisasi dalam menghadapi kritik luar dan mempercayai organisasi dan manajemen untuk melakukan hal yang tepat.
commit to user
18 4) Pengabaian
Secara pasif membiarkan kondisi memburuk, termasuk absensi atau keterlambatan kerja yang kronis, kurangnya upaya memperbaiki dan tingkat kesalahan kerja yang meningkat.
3. Turnover intention
a. Pengertian Turnover intention
Mathis dan Jackson (2001) mendefinisikan turnover sebagai suatu proses dimana tenaga kerja meninggalkan organisasi dan harus ada yang menggantikannya. Munchunsky (1993) mendefinisikan intensi sebagai niat seseorang untuk melakukan perilaku tertentu. Niat untuk melakukan prilaku itu berkaitan erat dengan keyakinan tentang suatu hal, sikap terhadap hal tersebut, dan prilaku itu sendiri sebagai wujud nyata dari niat. Fishbein dan Ajzen (1975) mendefiniskan intensi (intention) sebagai niat yang ada dari individu untuk melakukan sesuatu hal. Intensi merupakan prediktor yang terbaik untuk terjadinya perilaku, dan intensi juga merupakan fungsi dari keyakinan seseorang yang sudah pasti dan kemudian dikaitkan dengan prilakunya. Ancok (dalam Partini dan Amirzal, 2007) mengatakan pada dasarnya intensi berkaitan erat dengan pengetahuan sesorang terhadap suatu hal, dan sikap (attitude) pada hal tersebut, dan perilaku itu sendiri sebagai perwujudan nyata dari intensinya.
Turnover intentions (intensi keluar) adalah kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti bekerja dari pekerjaannya (Zeffane, 1994). Menurut Bluedorn dalam Grant et al. (2001) turnover intention adalah kecenderungan sikap atau tingkat dimana seorang karyawan memiliki kemungkinan untuk meninggalkan organisasi atau mengundurkan diri secara sukarela dari pekerjaanya. Menurut Tett dan Meyer, (1993)
commit to user
19 Turnover intention merupakan langkah kognitif akhir dalam proses pengambilan keputusan di mana karyawan secara kuat mempertimbangkan untuk berhenti dan mecari pekerjaan alternatif. Lebih lanjut dijelaskan Mobley, Horner dan Hollingsworth, (1978) dalam Grant et al. (2001) keinginan untuk pindah dapat dijadikan gejala awal terjadinya turnover dalam sebuah perusahaan. Intensi keluar (turnover intensions) juga dapat diartikan sebagai pergerakan tenaga kerja keluar dari organisasi. Turnover dapat berupa pengunduran diri, perpindahan keluar unit organisasi, pemberhentian atau kematian anggota organisasi.
Robbins (1996), menjelaskan bahwa turnover dapat terjadi secara sukarela (voluntary turnover) maupun secara tidak sukarela (involuntary turnover). Voluntary turnover atau quit merupakan keputusan karyawan untuk meninggalkan organisasi secara sukarela yang disebabkan oleh faktor seberapa menarik pekerjaan yang ada saat ini, dan tersedianya alternatif pekerjaan lain. Sebaliknya, involuntary turnover atau pemecatan menggambarkan keputusan pemberi kerja (employer) untuk menghentikan hubungan kerja dan bersifat uncontrollable bagi karyawan yang mengalaminya.
Mbah dan Ikemefuna (2012) juga menjelaskan bahwa karyawan yang tidak mempunyai keahlian pada umumnya akan memiliki turnover intention yang tinggi. Hal ini di karenakan karyawan tersebut tidak memiliki status kontrak yang tepat dan sebagai konsekuensinya mereka tidak menikmati pekerjaan. Akibatnya mereka keluar dari pekerjaan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan tepat untuk dirinya.
Turnover atau perpindahan kerja adalah ketidakpuasan yang diungkapkan melalui prilaku yang mengarah pada meninggalkan organisasi (Robbins, 2008). Riani dan Betty (2005) mendefiniskan
commit to user
20 turnover sebagai perpindahan karyawan dari perusahaan yang sekarang. Perpindahan karyawan atau turnover ini berkaitan dengan jumlah karyawan yang meninggalkan atau keluar dari perusahaan pada periode tertentu (Wijayawati dan Jaka, 2004). Menurut Sunarso (dalam Partini dan Amrizal, 2007) Turnover merupakan perpisahan antara perusahaan dengan karyawan. Turnover merupakan perpisahan seseorang karyawan dimana mereka selam ini bekerja dan karean suatu hal maka karyawan tersebut berhenti dari sauatu perusahaan.
b. Efek Turnover intention
Partini dan Amirzal (2007) menyatakan bahwa turnover intention pada karyawan memberikan dampak terhadap produktivitas kerja, dampak dari turnover intention yaitu:
1) Dampak positif
Turnover intention berdampak positif karena:
a. Terjadinya pembaharuan dalam perusahaan, turnover intention membuka peluang baru bagi pengurangan biaya dengan meniadakan atau menggabungkan beberapa jabatan, termasuk jabatan yang kosong dan melakukan restrukturisasi perusahaan.
b. Berkurangnya konflik, turnover intention akan menjadi jalan terakhir untuk penyelesaian sebuh permasalahan atau konflik yang ada didalam organisasi.
c. Bertambahnya keyakinan diri, turnover intention dapat menghasilkan kepercayaan diri yang tinggi pada karyawan apabila karyawan yang berusaha mencari pekerjaan di tempat lain dan bahkan karyawan berhasil memiliki tawaran pekerjaan di perusahaan lain.
commit to user
21 2) Dampak negatif
Turnover intention berdampak negatif karena:
a. Biaya seleksi dan penempatan, konsekuensi dari turnover intention mengeluarkan biaya seleksi lagi untuk mengisi kekosongan posisi di organisasi dan biaya yang di butuhkan untuk melakukan tahap-tahap dalam seleksi tidak lah sedikit.
b. Biaya pelatihan dan pengembangan, setelah proses seleksi tahap selanjutnya adalah perusahaan memberi pelatihan bagi karyawan baru agar karyawan mencapai performa yang baik dalam pekerjaan dan juga beradaptasi.
c. Permasalahan prestasi karyawan, turnover intention menjadi negatif bagi perusahan jika karyawan yang keluar adalah karyawan yang memiliki prestasi yang baik dan menduduki jabatan penting di perusahaan.
Menurut Mbah dan Ikemefuna (2012) Turnover intention juga diklasifikasikan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah ketika karyawan meninggalkan tugas mereka dan mengambil peran dalam organisasi dalam arti kata karyawan yang jabatannya meningkat atau naik jabatan. Dalam dalam faktor internal hal ini bisa membawa dua perasaan yang berbeda yaitu perasaan positif dan negatif. Perasaan postifi jika posisi baru membawa peningkatan moral. Perasaan negatif jika posisi baru tersebut mengganggu hubungan. Faktor eksternal keterkaitan dengan pekerjaan di luar organisasi lain dengan hal-hal yang lebih menggiyurkan.
c. Faktor-faktor Turnover intention
Faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya turnover intention cukup kompleks dan saling berkaitan satu sama lain. Menurut Mobley (1986), ada tiga
commit to user
22 faktor utama yang menyebabkan terjadinya turnover intention pada sebuah organisasi, yaitu:
1) Faktor ekonomi, keadaan ekonomi dapat disusun dalam suatu daftar indeks dengan berbagai cara yang mencakup tingkat pengangguran, tingkat lowongan kerja, produksi nasional bruto, neraca pegadangan dan tingkat inflansi.
2) Faktor organisasi, tingkat turnover intention lebih sering terjadi pada kelompok kerja di tingkat yang lebih tinggi. Selain itu faktor rutinitas tugas, kurangnya pertimbangan dari pimpinan, banyaknya sentralisasi, kurangnya kesamaan dan kurangnya komunikasi sangat berpengaruh dan berkaitan erat terhadap turnover intention karyawan.
3) Faktor individu, dalam faktor individu terbagi 3 faktor lagi yaitu. Pertama faktor demografik individu meliputi usia, masa kerja, jenis kelamin, pendidikan, dan status perkawinan. Kedua faktor pribadi meliputi kepribadiaan, minat, bakat, dan kemampuan. Ketiga faktor terpadu meliputi kepuasan kerja, aspirasi dan harapan atas karir, keikatan pada organisasi, tekanan jiwa, harapan pada pekerjaan lain.
B. PENELITIAN TERDAHULU
Dalam penelitian Park dan Kim (2009) yang dilakukan di rumah sakit Korea dengan unit analisis perawat menemukan bahwa budaya organisasi yaitu consensual culture, rational culture, developmental culture dan hierarchical culture menunjukkan pengaruh yang berbeda pada kepuasan kerja dan turnover intention dan kepuasan kerja berhubungan negtif pada turnover intention.
Daulatram (2003) penelitiannya yang dilakukan di Amerika Serikat dengan sampel pemasaran profesional menemukan perbedaan pengaruh tipe budaya organisasi pada kepuasan kerja. Clan dan adhocracy culture berhubungan positif
commit to user
23 pada kepuasan kerja, market dan hierarchy culture berhubungan negatif pada kepuasan kerja.
Mansor et al. (2014) penelitian yang dilakukan di Kalng Valley dengan sampel auditor yang berjumlah 299 menemukan budaya organisasi memiliki hubungan negatif yang signifikan pada turnover intention. Kepuasan kerja berhubungan negatif pada turnover intention dan temuan lainnya kepuasan kerja memediasi penuh hubungan budaya organisasi pada turnover intention.
Ramesh et al. (2012) dalam penelitiannya yang dilakukan restaurant cepat saji di Malaysia menemukan bahwa ketika budaya organisasi yang dirasa tinggi turnover intention akan rendah.
Goss-Turner (2010) dalam penelitiannya menemukan bahwa turnover intention di pengaruhi oleh komitment kepuasan kerja dan budaya yang ada di perusahaan.
C. PERUMUSAN HIPOTESIS
Budaya organisasi, kepuasan kerja, dan turnover intention
Dalam studi ini, sebuah model konseptual yang menggabungkan budaya, kepuasan kerja, dan turnover intention didasarkan pada kerangka yang diterapkan dalam studi sebelumnya mengenai penyebab dan dampak kepuasan kerja dan faktor – faktor yang memengaruhi turnover karyawan. Dalam analisis mereka terhadap literatur tentang kepuasan kerja dan turnover karyawan, Lambert et al. Dalam Park dan Kim (2009) menyarankan bahwa penting untuk mengeksplorasi kunci anteseden kepuasan kerja serta mengidentifikasi efek dari kepuasan kerja (misalnya turnover intention). Juga, perlu mengembangkan model yang komprehensif untuk perilaku manusia yang mempertimbangkan dampak langsung dan tidak langsung. Gregory et al. Dalam Park dan Kim (2009) juga menemukan bahwa banyak penelitian sebelumnya mengusulkan multidimensi linear pergantian karyawan yang menggabungkan determinan (misalnya pekerjaan terkait dan
commit to user
24 lingkungan kerja), intervensi sikap (misalnya kepuasan kerja dan komitmen organisasi), niat perilaku (misalnya niat untuk tinggal/pergi), dan berkorelasi (misalnya karakteristik personal). Selain itu, faktor penentu sering menunjukkan efek langsung pada sikap dan efek tidak langsung terhadap turnover intention melalui sikap.
Park dan Kim (2009) mengemukakan bahwa berbagai jenis budaya menunjukkan efek langsung yang berbeda pada kepuasan kerja dan turnover intention. Di antara berbagai jenis kebudayaan, beberapa penelitian mendukung bahwa budaya yang lebih positif (misalnya budaya consensual) muncul untuk meningkatkan kepuasan, dan menurunkan niat turnover. Untuk pekerjaan contoh, Kepuasan karyawan akan membaik dalam sebuah organisasi di mana budaya menyediakan peluang dalam pengambilan keputusan partisipatif dan terus berkembang, dan memfasilitasi hubungan dengan rekan-rekan mereka, dokter, dan manajemen (Apker et al. dan Neuhauser dalam
Park dan Kim (2009).
Gifford et al. dalam Park dan Kim (2009) juga menemukan bahwa budaya hubungan manusia yang menekankan kerja sama tim, kepercayaan, moral, kepemimpinan, dan sering menggunakan istilah-istilah seperti "kekeluargan" secara positif berhubungan dengan kepuasan kerja karyawan perusahaan.Menurut Meterko, Mohr dan Young (2004) Mulcahy dan Betts (2005). Membangun budaya organisasi yang konstruktif dapat meningkatkan kepuasan karyawan dan menciptakan lingkungan kerja yang positif di mana anggota memiliki interaksi positif, pendekatan dengan cara yang dapat membantu mereka untuk mencapai high-order kepuasan pribadi dan memenuhi tujuan organisasi.Hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut:
H1. Kepuasan kerja akan lebih tinggi dengan budaya consensual, diikuti oleh rational, developmental dan hierarchical.
commit to user
25 Selanjutnya, budaya memiliki hubungan negatif yang signifikan secara statistik dengan turnover intention. Mengupayakan untuk meningkatkan kepuasan kerja dan retensi karyawan unit Neonatal di Australia, Mulcahy dan Betts dalam Park dan Kim (2009) mengamati bahwa transformasi menuju budaya pembinaan, membangun hubungan tim baru, dan mengembangkan kepemimpinan manajer untuk mendukung keberhasilan karyawan dalam kepuasan staf dan mengurangi turnover intention.
Boyle et al. dalam Park dan Kim (2009) menyatakan bahwa manajer yang berkarakteristik kekuasaan, komunikasi instrumental, otonomi dan kohesi kelompok secara langsung terkait dengan turnover intention. Demikian juga, Leveck dan Jones dalam Park dan Kim (2009) menemukan bahwa gaya manajemen, kohesi kelompok dipengaruhi oleh karyawan dan kualitas pelayanan. Dalam sebuah studi mengenai hubungan berbagai jenis budaya organisasi dan efektivitas organisasi di rumah sakit umum Korea, Jo et al. dalam Park dan Kim (2009) mengamati bahwa budaya developmental memiliki asosiasi positif dengan kepuasan kerja karyawan, diikuti oleh budaya consensual , sedangkan efek budaya hierarchical lemah dan negatif. Hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut.
H2. Turnover intention karyawan akan rendah dengan budaya consensual, diikuti oleh budaya rational, developmental dan budaya hierarchical.
Dinamika mengenai pengaruh langsung kepuasan kerja terhadap turnover telah dibuktikan dalam literatur. Menurut Hellman dalam Park dan Kim (2009) peningkatan ketidakpuasan pada karyawan menghasilkan kesempatan yang lebih tinggi pada karyawan untuk mempertimbangkan bekerja ditempat lain.
Szigeti et al. dalam Park dan Kim (2009) mencatat bahwa kepuasan kerja dan kendala kinerja secara keseluruhan adalah satu-satunya variabel untuk
commit to user
26 membuat kontribusi yang signifikan terhadap prediksi niat turnover. Hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut:
H3. Kepuasan kerja berhubungan negatif dengan turnover intention.
D. KERANGKA KONSEPTUAL
Kerangka penelitian adalah suatu model konseptual tentang bagaimana teori-teori berhubungan dengan beberapa faktor yang akan diidentifikasi sebagai suatu permasalahan, Sekaran (2003). Kerangka pemikiran menunjukkan beberapa variabel yang berbeda yang digunakan dan menggambarkan tentang bagaimana hubungan antar variabel tersebut.
H1 H3
H2
Sumber: Park dan Kim (2009)
Gambar III.1 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa penelitian ini akan menguji hubungan tipe – tipe budaya organisasi, yang di dalam penelitian ini tipe budaya organisasi di kategorikan menjadi empat tipe budaya organisasi yaitu budaya organisasi consensual, budaya organisasi rational, budaya organisasi developmental, dan yang terakhir budaya organisasi hierarchical. Budaya Organisasi Consensual, Rational, Developmental, Hierarchical KEPUASAN KERJA TURNOVER INTENTION
commit to user
27 Keempat tipe budaya organisasi tersebut berpengaruh pada kepuasan kerja karyawan sebagai variabel anteseden, hal itu akan berhubungan dengan kepuasan kerja dan juga penelitian ini mengemukakan bahwa berbagai jenis budaya berpengaruh efek langsung yang berbeda pada kepuasan kerja dan turnover intention.