• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

2.1 KAJIAN PUSTAKA 2.1.1 Keterikatan Kerja

Keterikatan kerja menarik bagi para praktisi dan peneliti akademik, karena keterikatan kerja menampilkan aspek yang penting dari sikap kerja yaitu sejauh mana karyawan berenergi dan berkeinginan untuk memberikan usaha terbaiknya dan fokus terhadap pekerjaannya (Kahn, 1990). Macey et al., (2009) mengungkapkan definisi yang hampir sama, keterikatan kerja mengacu pada energi yang fokus diarahkan pada tujuan organisasi. Karyawan yang merasa terikat memiliki kesadaran dalam konteks bisnis dan bekerja dengan koleganya untuk meningkatkan kinerja dalam pekerjaan untuk keuntungan organisasi.

Karyawan yang memiliki sikap positif terhadap pekerjaannya akan meningkatkan kinerja dan memberikan keuntungan pada organisasi. Keterikatan kerja disarakan bermanfaat baik untuk individu maupun organisasi seperti yang diharapkan untuk mempengaruhi bagaimana tiap individu mengerjakan pekerjaannya masing – masing dan memenuhi tugas pekerjaan mereka (Demerouti dan Bakker, 2012).

Keterikatan kerja adalah kerja yang positif yang berhubungan dengan pemenuhan psikologis yang dikarakteristikkan oleh semangat (vigor), dedikasi (dedication), dan rasa senang (absorption) (Shaufeli, Baker, dan Van Rhenen, 2009). Semangat diartikan sebagai tingginya tingkat energi dan kegembiraan ketika sedang bekerja. Semangat

(2)

merupakan tingkat energi dan resiliensi (kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan) yang tinggi adanya kemauan untuk investasi tenaga, presistensi, dan tidak mudah lelah (Schaufeli dan Baker, 2003). Dedikasi dikarakteristikkan dengan sangat terlibatnya karyawan dalam satu pekerjaan dan merasakan sebuah arti dan antusiasme. Aspek dedikasi ditandai oleh suatu perasaan yang penuh makna, antusias, inspirasi, kebanggan, dan menantang dalam pekerjaan (Schaufeli dan Bakker, 2003). Rasa senang merupakan sebuah perasaan ketika sangat berkonsentrasi dan nyaman dalam satu pekerjaan. Dapat disimpulkan karyawan yang merasa sibuk memiliki tingkat energi yang tinggi dan sangat berantusias terlibat dalam pekerjaan mereka. Terlebih lagi, mereka sering terbenam dalam pekerjaanya sampai waktu berlalu (May, Gibson, dan Harter, 2004). Individu yang terlibat dengan pekerjaannya sangatlah berkoneksi secara fisik, kognitif, dan emosial dengan tugas kerja mereka (Kahn, 1990). Mereka sangat penuh berenergi dan merasakan rasa arti, antusiasme, dan tantangan (Bakker, 2011).

Schaufeli (dalam Bakker dan Demerouti, 2011) ada beberapa faktor yang mempengaruhi keterikatan kerja:

a) Job Demands

Merupakan aspek fisik, sosial, maupun organisasi dari pekerjaan yang membutuhkan usaha terus menerus baik secara fisik maupun psikologis demi mencapai dan mempertahankannya.

(3)

b) Job Resources

Merujuk pada aspek fisik, sosial, maupun organisasional dari pekerjaan yang memungkinkan individu untuk mengurangi tuntutan pekerjaan dan biaya psikologis maupun fisiologis yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut.

c) Salience of Job Resources

Faktor ini merujuk pada seberapa penting atau bergunanya sumber daya pekerjaan yang dimiliki oleh individu.

d) Personal Resources

Merujuk pada karakteristik yang dimiliki oleh karyawan seperti kepribadian, sifat, usia, dan lainnya. Personal resources merupakan aspek diri pada umumnya dihubungkan dengan kegembiraan dan perasaan bahwa diri mampu memanipulasi, mengontrol dan memberikan dampak pada lingkungan sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Beberapa tipikal personal resources adalah: self efficacy, organizational based self esteem, optimism, dan personality.

2.1.2 Otonomi

Otonomi merujuk pada sejauh mana karyawan memiliki kekuasaan untuk mengatur aktivitas kerjanya secara mandiri (Runhaar et al., 2013). Otonomi memperhatikan kebebasan penentuan kekuasaan dan keleluasaan dengan hormat untuk tujuan kerja, mengatur prioritas, membentuk elemen

(4)

tugas, dan mementukan permintaan dan kecepatan dimana tugas akan dilakukan (Kwakman, 2003).

Perusahaan yang menawarkan otonomi pada karyawannya menyadari bahwa implikasi dari perubahan kerja ini akan jauh melampaui rancangan kerja (Randalls, 2002). Semakin otonomi diberikan pada karyawan dalam melakukan pekerjaannya, semakin besar kesempatan mereka untuk menunjukkan perilaku extra role seperti OCB (Runhaar et al., 2013). Pekerjaan yang memberikan karyawan wewenang untuk mengambil keputusan akan menambah tanggung jawab, cenderung meningkatkan perasaan dipercaya dan dihargai.

Liu, Wang, Zhang dan Lee (2011) percaya bahwa otonomi yang kuat dapat membuat karyawan akan merasa memiliki pilihan lebih dan kemauan dalam menyelesaikan pekerjaannya dan mengintepretasikan bahwa pekerjaan mereka lebih memotivasi secara intrinsik. Otonomi kerja merupakan suatu bentuk dari pemberdayaan struktural yang didasarkan pada faktor desain kerja yang diidentifikasikan dalam penelitian karakteristik kerja.

Otonomi merupakan pengetahuan yang merefleksikan orientasi seorang individu pada peran kerja di tingkat individu dan mungkin lebih akurat dinamai otonomi yang dirasakan. Seorang karyawan mungkin bekerja pada pekerjaan yang didesain dengan otonomi kerja yang tinggi dan mungkin merasakan rendahnya otonomi karena menantang tenggat waktu

(5)

untuk menyelesaikan tugas kerja yang sulit atau kontrol hasil melalui sistem penilaian kerja (Balkin et al., 2015).

Otonomi telah dikonsepkan oleh Thomas dan Velthouse (1990) sebagai salah satu dari empat dimensi pemberdayaan psikologis, yang juga termasuk arti (cocok antara tujuan kerja individu dan nilai pribadi), kompetensi (kepercayaan individu mengenai kapabilitasnya untuk menyelesaikan pekerjaan), dan juga dampak (tingkat dimana individu bisa memberikan dampak pada hasil kerja yang signifikan). Otonomi juga merupakan bagian dari model karakteristik kerja (job characteristic model) yang dikemukakan oleh Hackman dan Oldham (1975).

2.1.3 Leader Member Exchange

Teori leader member exchange (LMX) dibentuk dari teori pertukaran sosial (social exchange theory) (Blau, 1964). Teori leader member exchange berasumsi bahwa pengawas memiliki hubungan yang unik dengan setiap karyawannya dimana dinegosiasikan dari waktu ke waktu sebagai hasil dari harapan peran dan pemenuhan antara pemimpin dan karyawannya (Graen dan Uhl-Bien, 1995). Hubungan yang kualitasnya bagus dikaterogikan dengan pertukaran hubungan timbal baik yang menguntungkan antara pemimpin dan karyawannya (Blau, 1964). Hubungan tersebut diasosiasikan dengan banyaknya hasil kinerja yang positif, komitmen yang lebih, dan lebih tingginya rasa saling menyukai (Ilies et al., 2007).

(6)

Leader member exchange juga dianggap sebagai tipe kepemimpinan yang penting untuk pengawas karena mereka berinteraksi dengan karyawan lebih sering daripada pemimpin yang lebih tinggi jabatannya (Lord dan Brown, 2004). Teori LMX menjelaskan kualitas hubungan dinilai oleh manajer dan subordinat yang sama. Menurut Graen dan Uhl-Bien (1995) terdapat tiga domain menjadi dasar dalam membangun hubungan pada LMX yaitu respect, trust dan obligation. Hubungan antar atasan dan bawahan tidak dapat terbentuk tanpa adanya saling menghormati (respect) terhadap kemampuan orang lain, tanpa adanya rasa percaya (trust), dan tidak memperkirakan bahwa pengaruh kewajiban (obligation) akan berkembang menjadi suatu hubungan kerja. LMX tidak hanya melihat perilaku atasan saja tetapi juga menekankan pada kualitas hubungan antara atasan dan bawahan.

Robbins dan Judge (2008) mengemukakan bahwa para pemimpin menciptakan in group member dan out group member. Para pemimpin memperlakukan bawahannya dengan cara yang berbeda dengan tingkat derajat berbeda. In group member akan memperoleh penilaian kinerja tinggi, turnover intention rendah, dan kepuasan terhadap atasan lebih besar, sedangkan out group member akan memperoleh penilaian rendah dan sedikit penghargaan dari pemimpin serta memiliki hubungan yang didasarkan pada interaksi otoritas formal dengan pemimpin. Ivancevich et al., (2006) mengatakan bahwa LMX adalah pendekatan yang mengenali tidak adanya konsisten perilaku atasan kepada seluruh bawahannya.

(7)

Kualitas hubungan yang bagus dikarakteristikkan dengan tingginya frekuensi saling memberi informasi, tingginya kepercayaan, menghargai, kesukaan, dukungan yang mendalam, interaksi tinggi, saling mempengaruhi, dan berbagai penghargaan. Kualitas hubungan yang buruk dikarakteristikkan dengan rendahnya tingkat kepercayaan, hubungan yang formal, dampak satu arah (dari manajer ke karyawan), dukungan yang terbatas, kecilnya level interaksi, dan sedikitnya penghargaan (Bauer dan Green, 1996).

Liden dan Maslyn (1998) membagi leader member exchange menjadi empat dimensi yaitu :

1) Contribution menjelaskan mengenai suatu persepsi jumlah, arah, dan kualitas aktivitas yang berorientasi kerja dari anggota LMX untuk mencapai tujuan yang menguntungkan (eksplisit atau implisit). Tingkat kontribusi berpengaruh dalam hal jumlah, kesulitan, dan pentingnya tugas yang diberikan dan diterima oleh anggota, karena menunjukkan kepercayaan pemimpin terhadap kemampuan dan kemauan anggota untuk mengerjakan dan menyelesaikan dengan baik tugas yang susah dan penting.

2) Loyalty mengacu pada ekspresi dari dukungan yang umum diberikan untuk tercapainya tujuan dan sesuai dengan karakter personal dari anggota lain pada hubungan LMX. Hal ini terutama berkaitan dengan sejauh mana para pemimpin dan anggota LMX melindungi satu sama lainnya dari masalah yang berada di luar lingkungan mereka. Loyalitas

(8)

yang kuat diwujudkan dengan perilaku sensitif, waspada, dan bijaksana saat berinteraksi dengan dunia luar lingkungan mereka.

3) Affect mengacu pada hubungan timbal balik anggota yang saling menguntungkan yang mempunyai dasar utama pada ketertarikan interpersonal dibanding sekedar bekerja atau nilai professional. Afeksi tersebut dapat diwujudkan dalam keinginan untuk dan atau terjadinya hubungan yang memiliki komponen secara pribadi yang menguntungkan dan membuahkan hasil, misalkan persahabatan.

4) Professional respect yang mengacu pada derajat persepsi anggota lain dalam membangun reputasi di dalam atau di luar organisasi.

2.1.4 Organizational Citizenship Behavior

Organizational Citizenship Behaviour (OCB) menjadi sangat popular di psikologi dan manajemen, dan juga difokuskan oleh banyak cendikiawan. Organizational citizenship behaviour mengacu pada perilaku fleksibel individu yang tidak langsung diakui oleh sistem penghargan formal dan mengombinasikan fungsi efisiensi dan efektivitas di organisasi (Podsakoff et al., 2000). Menurut Robbins (2001) organizational citizenship behaviour sebagai perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif.

Menurut Podsakoff et al., (2000) organizational citizenship behaviour bisa berbentuk seperti kesetiaan, membantu yang lain, dan kesukarelaan organisasional dan organisasi beruntung karyawan yang ingin berkontribusi

(9)

usaha mereka dan kemampuan mereka pada organisasi meskipun itu tidak dibutuhkan secara resmi. Dideskripsikan oleh Organ et al. (2006), organizational citizenship behaviour adalah perilaku diskresioner individu yang secara tidak langsung diakui dengan sistem penghargaan, namun dalam keseluruhan mempromosikan keefektifan dan fungsi organisasi. Organ (2006) mengklasifikasikan lima dimensi OCB, yaitu:

1. Altruisme: mengambil insiatif untuk membantu anggota organisasi menyelesaikan masalah

2. Sifat berhati – hati: selain harus tunduk dengan peraturan organisasi, melalui persyaratan minimum melalui kerja keras.

3. Sportivitas: mematuhi regulasi organisasi, mentolerir situasi yang tidak sempurna tanpa mengeluh.

4. Kesopanan: untuk menghindari masalah kerja, mengingatkan dan menginformasikan pada rekan kerja sebelumnya.

5. Civic virtue: perhatian dan proaktif ketika berpartisipasi dalam aktivitas organisasi.

William dan Anderson (1991) menyarankan pembagian OCB menjadi OCB terhadap organisasi (OCBO) dan OCB terhadap individu (OCBI). Organizational citizenship behaviour individu meliputi perilaku yang tidak ditunjukkan langsung terhadap individu, sedangkan Organizational citizenship behaviour organizational lebih berhubungan pada mematuhi standar tinggi untuk kehadiran, ketepatan waktu, pengawetan sumber daya organisasi, dan waktu (Organ, 2006). Organizational citizenship behaviour

(10)

individu berhubungaan dengan kepentingan khusus individu dalam sebuah organisasi. (Decoster et al., 2014). Kerangka kategori target fokus OCB menurut Williams dan Anderson (1991) didasarkan pada teori yang dibangun oleh Organ (2006) mengenai dimensi dari OCB. Kategori OCBO meliputi conscientiousness, sportsmanship dan civic virtue. Kategori OCBI meliputi altruisme dan courtesy.

Berdasarkan beberapa teori yang telah disebutkan, maka bisa disimpulkan bahwa organizational citizenship behavior merupakan sebuah perilaku karyawan yang tidak mengharapkan suatu penghargaan dari perusahaan dan dilakukan secara sukarela.

2.2. PERUMUSAN HIPOTESIS

2.2.1. Hubungan antara Keterikatan kerja dengan Organizational Citizenship Behavior

Mendorong keterikatan kerja karyawan merupakan aset yang penting untuk organisasi. Sejalan dengan perspektif ini, banyak peneliti telah mencoba untuk mengidentifikasi anteseden dari keterikatan kerja (Caesens dan Stinglhamber, 2014). William dan Anderson (1991) menunjukkan hubungan positif antara keterikatan kerja dan kinerja in role (misal aktivitas formal dan tugas yang termasuk dalam deskripsi pekerjaan) dan juga kinerja extra role (misalnya aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan yang melebihi persyaratan yang disebutkan dalam deskripsi pekerjaan).

(11)

Meskipun keterikatan kerja dan OCB berhubungan dekat satu sama lain, namun kedua variabel ini memiliki konsep yang berbeda (Scaufeli dan Bakker, 2004). William dan Anderson (1991) Menyatakan bahwa OCB bisa dibagi menjadi dua dimensi, yaitu OCBI dan OCBO. OCBI adalah perilaku yang ditujukkan pada individual (karyawan) dan OCBO adalah perilaku yang bermanfaat untuk organisasi.

Mekanisme yang mendasari hubungan antara keterikatan kerja dan OCB bisa dijelaskan menggunakan teori pertukaran sosial (social exchange theory), berdasarkan interaksi hubungan timbal balik antara beberapa orang yang ada, beberapa orang cenderung membalas kebaikan yang mereka dapatkan dari orang lain.

Hal ini diartikan, ketika guru yang merasa terikat menunjukkan perilaku yang bermanfaat pada koleganya atau kepada organisasi, perilaku ini akan dibalas dengan diingat dan perilaku bermanfaat dari orang lain (Runhaar et al., 2013). Penelitian sebelumnya didukung dengan ditemukannya hubungan timbal balik antara keterikatan kerja dan OCB (Babcock – Roberson dan Strickland, 2010). Mengacu dari beberapa penelitian terdahulu, penelitian ini mengasumsikan pengaruh positif antara keterikatan kerja dengan OCB (Runhaar et al., 2013). Sejalan dengan saran dari William dan Anderson (1991), penelitian ini akan meneliti pengaruh keterikatan kerja pada OCBI dan OCBO. Berdasarkan uraian yang telah disebutkan maka dapat dirumuskan hipotesis pertama yaitu:

(12)

H1: Keterikatan kerja berpengaruh positif pada organizational citizenship behavior individu.

H2: Keterikatan kerja berpengaruh positif pada organizational citizenship behavior organization.

2.2.2. Hubungan Keterikatan Kerja dengan Organizational Citizenship Behavior Individu yang Dimoderasi oleh Otonomi

Organizational Citizenship Behavior menjadi sangat penting. Organizational Citizenship Behavior seperti membantu kolega lain yang memiliki beban kerja yang lebih, mengajarkan sesuatu pada karyawan baru dalam organisasi, atau menyarankan untuk meningkatkan suatu yang berhubungan dengan mendidik (Belogolovsky dan Somech, 2010). Kegiatan tersebut penting karena menjadi sumber daya tambahan untuk sekolah (Runhaaret al., 2013).

Organizational Citizenship Behavior memiliki level yang berbeda, yaitu OCB yang ditunjukkan pada individual dan OCB yang ditunjukkan pada organisasi secara keseluruhan. Somech dan Drach – Zahavy (2004) mengajukan bahwa anteseden dari dua tipe OCB ini mungkin ada pada level yang berbeda juga.

Penelitian Mischel (1997) menemukan bahwa pekerjaan yang dikarakteristikkan dengan otonomi yang tinggi membentuk pembatas yang sedikit pada perilaku karyawan dan pekerjaan yang dikarakteristikkan dengan otonomi yang rendah mengizinkan perilaku karyawan untuk memenuhi

(13)

kebutuhannya. Otonomi meningkatkan motivasi karyawan untuk menambahkan usaha pada kinerja mereka. Otonomi memberikan guru kesempatan lebih untuk menunjukkan extra role behavior dibandingkan jika guru merasa terkekang dan merasakan sedikit kebebasan untuk membantu guru lain (Runhaar et al., 2013). Semakin besar otonomi yang dimiliki, semakin besar pula kesempatan untuk menunjukkan OCB.

Runhaar et al., (2013) beranggapan karena otonomi berhubungan dengan tugas individu, maka otonomi akan menjadi moderasi hubungan antara keterikatan kerja dengan perilaku membantu yang langsung ditunjukkan pada kolega kerjanya (OCBI). Berdasarkan uraian yang telah disebutkan maka dapat dirumuskan hipotesis pertama yaitu:

H3: Otonomi memoderasi pengaruh keterikatan kerja pada Organizational Citizenship Behavior Individual.

2.2.3. Hubungan Keterikatan kerja dengan Organizational Citizenship Behavior Organization yang Dimoderasi oleh Leader Member Exchange

Runhaar et al., (2013) mempertimbangkan mengenai efek moderasi dari leader member exchange pada hubungan antara keterikatan kerja dengan OCB yang diperoleh dari Teori Aktivasi Perilaku.

Teori LMX berdasarkan asumsi bahwa kepemimpinan yang efektif berasal dari hubungan yang matang antara pemimpin dan pengikut (Runhaar et al., 2013). Hubungan matang dapat dikarakteristikkan dengan adanya rasa saling percaya, saling mempengaruhi, dan saling menghargai, sehingga

(14)

pemimpin dan pengikut mampu mengembangkan kewajiban bersama. Sebagai perumpamaan, pemimpin dapat mengandalkan pengikutnya untuk memberikan pemimpin bantuan jika dibutuhkan, atau memberikan pemimpin umpan balik yang membangun. Karyawan juga dapat mengandalkan dukungan pemimpinnya dan dorongannya ketika diperlukan atau mengenai investasi karir.

Penelitian yang dilakukan oleh Runhaar et al., (2013) dengan melihat bahwa seorang pemimpin merupakan perwakilan dari sebuah organisasi, dapat menjelaskan bahwa LMX akan lebih berhubungan dengan perilaku membantu yang sangat bermanfaat untuk keseluruhan organisasi (OCBO). Berdasarkan uraian yang telah disebutkan maka dapat dirumuskan hipotesis pertama yaitu:

H4: Leader Member Exchange memoderasi pengaruh keterikatan kerja pada Organizational Citzenship Behavior Organization.

2.3. KERANGKA KONSEPTUAL

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara beberapa konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2002). Pada penelitian ini, hubungan variabel digambarkan pada gambar II.1.

(15)

Sumber : Runhaar et al., ( 2013)

Gambar II.1 : Kerangka Konseptual

Dalam kerangka konseptual itu, keterikatan kerja menjadi variabel independen dan variable dependennya adalah OCBI dan OCBO. Variabel otonomi dan LMX menjadi variabel moderator. Otonomi memoderasi pengaruh keterikatan kerja pada OCBI dan leader member exchange memoderasi pengaruh keterikatan kerja pada OCBO.

OTONOMI OCBI KETERIKATAN KERJA OCBO LEADER MEMBER EXCHANGE

Referensi

Dokumen terkait

Anggaran dapat digunakan sebagai alat untuk memotivasi manajer dan stafnya agar dapat bekerja secara ekonomis, efektif, dan efisien dalam mencapai target dan

H1: Literasi Keuangan berpengaruh terhadap Kinerja Perusahaan Berdasarkan grand theory pada penelitian ini yaitu RBV menyatakan bahwa suatu perusahaan dapat mencapai

Untuk mempermudah penulis dalam penelitian dimunculkan kerangka berfikir menjelaskan permodalan, kualitas aktiva produktif, kemandirian dan pertumbuhan, liquiditas,

Karakteristik yang dipakai dalam penelitian ini adalah ukuran perusahaan (size), profitabilitas, profil perusahaan, ukuran dewan komisaris, leverage, kepemilikan luar

Kemudian hal tersebut pun berpengaruh terhadap sikap pengguna dalam menggunakan suatu sistem, yang artinya pengguna akan bersikap dan bertindak positif jika merasa

Kepuasan pelanggan dapat didefinisikan sebagai respon efektif terhadap pengalaman melakukan konsumsi yang spesifik atau suatu evaluasi kesesuaian atau ketidaksesuaian yang

Ross et al., (2009:327) menjelaskan bahwa untuk mengetahui nilai dari sebuah obligasi pada saat titik waktu tertentu, investor perlu mengetahui jumlah periode

Mereka menemukan bahwa perusahaan milik keluarga yang pajak kurang agresif sebagai pemilik keluarga bersedia untuk melupakan manfaat pajak untuk menghindari