• Tidak ada hasil yang ditemukan

YESUS KRISTUS HADIR DALAM SETIAP KONTEKS:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "YESUS KRISTUS HADIR DALAM SETIAP KONTEKS:"

Copied!
208
0
0

Teks penuh

(1)

TEO

YESUS KRISTUS HADIR DALAM SETIAP KONTEKS:

Analisa Kristologi Michael Amaladoss dan Joseph Ratzinger dalam Terang Model-model Teologi Kontekstual

Stephen B. Bevans

TESIS

Oleh:

ALB IRAWAN DWIATMAJA NIM: 176312001

PROGRAM STUDI MAGISTER FILSAFAT KEILAHIAN FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2021

(2)

YESUS KRISTUS HADIR DALAM SETIAP KONTEKS:

Analisa Kristologi Michael Amaladoss dan Joseph Ratzinger dalam Terang Model-model Teologi Kontekstual

Stephen B. Bevans

TESIS

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Magister Filsafat Keilahian

Oleh:

ALB IRAWAN DWIATMAJA NIM: 176312001

PROGRAM STUDI MAGISTER FILSAFAT KEILAHIAN FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2021

(3)
(4)

“IA [ALLAH] MEMBUAT SEGALA SESUATU INDAH PADA WAKTUNYA”

(Pengkhotbah, 3:11)

PERSEMBAHAN

untuk Bapakku FB. Suparwoko Supa dan (alm.) Mamakku Kristina Komisah, yang rela berkorban untuk bekerja sangat

keras di masa tua demi masa depanku

(5)
(6)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Alb Irawan Dwiatmaja Nomor Mahasiswa : 176312001

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

YESUS KRISTUS HADIR DALAM SETIAP KONTEKS: Analisa Kristologi Michael Amaladoss dan Joseph Ratzinger dalam Terang Model-Model Teologi Kontekstual Stephen B. Bevans

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Atas kemajuan teknologi informasi, saya tidak berkeberatan jika nama, tanda tangan, gambar atau image yang ada di dalam karya ilmiah saya terindeks oleh mesin pencari (search engine), misalnya google.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 18 Juni 2021

Yang menyatakan

(Alb Irawan Dwiatmaja)

(7)

KATA PENGANTAR

Betapa agung dan mulia kasih Allah yang menyertai penulis selama pembuatan tesis ini. Kasih-Nya telah memberi penerangan, semangat dan dorongan untuk dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini disusun dalam rangka penyelesaian program Magister Filsafat Keilahian pada Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Judul tesis ini ialah YESUS KRISTUS HADIR DALAM SETIAP KONTEKS: Analisa Kristologi Michael Amaladoss dan Joseph Ratzinger dalam Terang Model-Model Teologi Kontekstual Stephen B. Bevans.

Semenjak memulai perkuliahan di kampus ini, penulis sangat terkesan dengan kekhasannya dalam berteologi: berteologi secara kontekstual. Sebelumnya, penulis lebih tekstual dalam studi teologi juga filsafat. Tak berlebihan bila penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada segenap dosen yang menghantar penulis dengan cakrawala baru yaitu teologi kontekstual. Pengalaman ini sungguh berharga dan mengoyakkan keterkungkungan pola pikir penulis untuk lebih terbuka terhadap konteks sembari mengkritisinya.

Pengenalan akan Yesus Kristus yang merupakan pusat iman Katolik menghantar penulis pada pertanyaan Yesus kepada Petrus, “Menurut kamu, siapakah Aku ini?”.

Untuk menjawab pertanyaan ini, sudah banyak usaha dilakukan teolog bahkan Gereja sudah menetapkan dengan tegas siapa Yesus Kristus untuk kita. Beranjak dari pertanyaan dan pengalaman, penulis ingin mengeksplorasi tentang Yesus Kristus menurut Michael Amaladoss dan Joseph Ratzinger. Untuk penulis, dua teolog tersebut mewakili dua kutub dunia yaitu teolog dari Asia dan teolog dari Eropa dan tentunya

(8)

teolog yang mengedepankan konteks dalam berteologi-kristologi. Dalam tesis ini, penulis menganalisa pemikiran Amaladoss dan Ratzinger dalam terang model-model teologi kontekstual Stephen B. Bevans.

Proses penulisan tesis ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis dengan tulus hati mengucapkan terima kasih kepada: Pertama, para dosen pembimbing Romo A. Bagus Laksana, SJ., S.S., P.hD. dan Romo Dr. YB. Prasetyantha, MSF –juga almarhum Romo Dr. M. Purwatma, Pr yang sempat menjadi pembimbing- yang dengan penuh kesetiaan dan sukacita mendampingi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Kedua, kepada Bapakku FB. Suparwoko Supa dan Mamakku alm. Kristina Komisah beserta keluarga yang selalu mendukung dan mendoakan penulis. Ketiga, bagi siapa saja yang dengan penuh kegembiraan membantu penulis menyelesaikan tulisan ini: para sahabat angkatan 2017, petugas sekretariat Pascasarjana Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, petugas perpustakaan Kolese St. Ignatius Kotabaru, dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Semoga tulisan ini dapat menjadi sarana yang baik untuk mendapatkan pemahaman akan Yesus Kristus yang kita imani. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan. Dengan penuh kerendahan hati, penulis terbuka menerima saran dan kritik.

Yogyakarta, 18 Juni 2021 Penulis,

Alb Irawan Dwiatmaja

(9)

ABSTRAK

Yesus Kristus tetap sama, kemarin, hari ini dan untuk selama-lamanya tetapi manusia yang berubah mau tidak mau memikirkan Dia secara lain (bdk. Ibr 13:8).

Penghayatan iman Kristen terhadap Yesus Kristus terus mengalami perubahan sejalan dengan konteks kekristenan itu berada. Perubahan menuntut siapa saja baik Gereja, teolog, bahkan umat untuk mengonseptualkan dan membahasakan Yesus Kristus secara baru supaya Yesus Kristus dapat diwartakan sampai kepada manusia yang berbeda- beda. Michael Amaladoss dan Joseph Ratzinger menyumbangkan pemikiran bagaimana Yesus Kristus dapat dipahami oleh umat sesuai konteks mereka hidup. Mereka menjelaskan siapa Yesus Kristus dengan menggunakan pendekatan metodologis yang berbeda.

Amaladoss, seorang teolog dari Asia khusunya India, mendeskripsikan Yesus dengan menggunakan gambaran dan simbol yang ada di Asia. Melalui gambaran dan simbol, Amaladoss ingin menampilkan inklusivitas Yesus yang hadir bagi semua orang dalam seluruh aspek kehidupan orang Asia. Amaladoss merefleksikan bahwa Yesus yang sesuai dengan konteks Asia harus berdialog dengan realitas Asia yaitu kemiskinan, pluralitas budaya, dan pluralitas agama. Amaladoss merangkum bahwa ada sembilan gambaran Yesus yang sesuai untuk konteks Asia. Sembilan gambaran Yesus menurut Amaladoss adalah Yesus sebagai orang bijaksana (Sage), Yesus sebagai jalan (The Way), Yesus sebagai guru (Guru), Yesus sebagai satyagrahi, Yesus sebagai avatar, Yesus sebagai hamba, Yesus sebagai yang berbelarasa (Compasisionate), Yesus sebagai penari (Dancer), dan Yesus sebagai peziarah (Pilgrim). Gambaran Yesus yang semacam ini memungkinkan Yesus merasuk dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat Asia.

Ratzinger yang merupakan seorang paus, akademisi, dan teolog, tidak ingin menggambarkan Yesus Kristus dalam bentuk antroposentrisme yang terjadi dalam teologi Katolik abad kedua puluh. Kristologi Ratzinger bersifat “dialogis” karena bentuknya mengikuti sabda Allah dan tanggapan manusia sepanjang sejarah.

Refleksinya tentang misteri Yesus berfokus sebagai orang yang melihat Allah dari muka ke muka dalam doa, dan Yesus merupakan orang yang sungguh dapat menyatakannya.

Ratzinger menegaskan bahwa penafsiran ilmiah harus mengakui bahwa pendekatan hermeneutika iman yang dikembangkan dengan baik sesuai dengan teks dapat digabungkan dengan pendekatan hermeneutika historis-kritis. Ratzinger menolak upaya penafsiran yang terlepas dari sejarah dan hanya menggunakan Injil sebagai sarana menuju pemahaman spiritual. Iman yang mengabaikan sejarah akan berubah menjadi Gnostisisme. Yesus Kristus muncul dari tradisi Kitab Suci dan merupakan puncak dari pewahyuan Kitab Suci sehingga Ia adalah kunci untuk penafsiran Kitab Suci. Yesus Kristus harus didekati dari Kitab Suci dan tradisi.

Ratzinger kuatir akan gejala-gejala sinkretisme, sedangkan Amaladoss menyongsong perjumpaan berkelanjutan antar penganut agama-agama Asia yang turut menjernihkan dan memperkaya iman kristiani. Kalau Ratzinger memutlakkan rumusan iman tertentu, Gereja-Gereja Asia merasa perlu mencari rumusan-rumusan baru agar Yesus Kristus dilihat, diakui dan diimani sebagai “jalan, kebenaran dan kehidupan” oleh orang Asia masa kini tanpa perlu terasingkan dari sejarah, kebudayaan atau rasa keagamaannya sebagai orang Asia. Sentralitas Yesus Kristus yang ditekankan oleh

(10)

Ratzinger sebagai jantung-nadi manusia serta kebudayaannya, mendorong Amaladoss untuk menampilkan wajah Yesus Kristus sebagai orang Asia, dan mengembangkan teologi-kristologi yang memajukan kehidupan dan cinta kasih, keadilan dan kebebasan.

(11)

ABSTRACT

Jesus Christ remains the same yesterday, today and forever but changed humans can not help but think of Him differently (cf. Heb 13:8). The appreciation of the Christian faith in Jesus Christ continues to change in line with the context in which Christianity is located. Change requires everyone, both the Church, theologians, and even the people to conceptualize and discuss Jesus Christ in a new way so that Jesus Christ can be preached to different people. Michael Amaladoss and Joseph Ratzinger contribute ideas on how Jesus Christ can be understood by people according to the context in which they live. They explain who Jesus Christ is using different methodological approaches.

Amaladoss, a theologian from Asia, especially India, describe Jesus using images and symbols found in Asia. Through images and symbols, Amaladoss wants to show the inclusiveness of Jesus who is present for all people in all aspects of Asian life.

Amaladoss reflects that Jesus, which fits the Asian context, must have a dialogue with Asian realities, namely poverty, cultural plurality, and religious plurality. Amaladoss summarizes that there are nine images of Jesus that are appropriate for the Asian context. The nine images of Jesus according to Amaladoss are Jesus as Sage, Jesus as the Way, Jesus as Guru, Jesus as Satyagrahi, Jesus as Avatar, Jesus as Servant, Jesus as Compassionate, Jesus as a Dancer, and Jesus as Pilgrim. This kind of image of Jesus allows Jesus to permeate all aspects of Asian society.

Ratzinger, a pope, academic, and theologian, does not want to portray Jesus Christ in the form of anthropocentrism that occurs in twentieth-century Catholic theology. Ratzinger’s Christology is “dialogical” because its form follows the word of God and human responses throughout history. His reflection on the mystery of Jesus focuses on the man who saw God face to face in prayer, and Jesus was the one who could truly reveal it. Ratzinger asserts that scientific interpretation must recognize that a hermeneutic approach to faith that is well developed according to the text can be combined with a historical-critical hermeneutic approach. Ratzinger rejects attempts at interpretation independent of history and only uses the Bible as a means to spiritual understanding. A faith that ignores history will turn into Gnosticism. Jesus Christ emerged from the tradition of Scripture and is the culmination of the revelation of Scripture so He is the key to the interpretation of Scripture. Jesus Christ must be approached from Scripture and tradition.

Ratzinger is worried about the symptoms of syncretism, while Amaladoss welcomes continuous encounters between adherents of Asian religions that help to clarify and enrich the Christian faith. If Ratzinger absolutes a certain formulation of faith, the Asian Churches feel the need to find new formulas so that Jesus Christ is seen, recognized and believed as “the way, the truth and the life” by contemporary Asians without being alienated from history, culture or religious sense as Asian. The centrality of Jesus Christ, which Ratzinger emphasizes as the heart and soul of man and his culture, encouraged Amaladoss to present the face of Jesus Christ as an Asian, and to develop christologies that promote life and love, justice and freedom.

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN COVER ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... vi

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

KATA PENGANTAR... viii

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN... xvi

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penulisan... 10

1.4 Hipotesis ... 11

1.5 Metodologi Penulisan ... 13

1.6 Sistematika Penulisan ... 14

BAB II SEMBILAN GAMBARAN YESUS KRISTUS DI ASIA: KRISTOLOGI MICHAEL AMALADOSS ... 16

2.1 Pengantar ... 16

2.2 Biografi dan Karya-karya Michael Amaladoss ... 16

2.3 Latar Belakang Gagasan Kristologi Michael Amaladoss ... 20

2.3.1 Tokoh-tokoh yang Mempengaruhi Pemikiran Michael Amaladoss ... 21

2.3.2 Konteks Sosial-Historis ... 26

2.4 Gambaran Yesus dalam Sejarah Kristianitas ... 29

2.5 Gagasan Kristologi Michael Amaladoss... 46

2.5.1 Yesus sebagai Orang Bijaksana (Sage) ... 46

2.5.2 Yesus sebagai Jalan (The Way) ... 55

2.5.3 Yesus sebagai Guru ... 57

2.5.4 Yesus sebagai Satyagrahi ... 59

2.5.5 Yesus sebagai Avatar ... 61

2.5.6 Yesus sebagai Hamba ... 63

2.5.7 Yesus sebagai Yang Berbelarasa (Compassionate) ... 64

2.5.8 Yesus sebagai Penari (The Dancer) ... 67

2.5.9 Yesus sebagai Peziarah (The Pilgrim) ... 69

2.6 Kesimpulan ... 75

(13)

BAB III YESUS KRISTUS SEBAGAI PUSAT IMAN: KRISTOLOGI

JOSEPH RATZINGER ... 78

3.1 Pengantar ... 78

3.2 Biografi dan Karya-karya Joseph Ratzinger ... 79

3.3 Latar Belakang Gagasan Teologi-Kristologi Joseph Ratzinger ... 85

3.3.1 Tokoh-tokoh yang Mempengaruhi ... 85

3.3.2 Konteks Sosial-Historis ... 89

3.4 Gagasan Kristologi Joseph Ratzinger ... 90

3.4.1 Yesus Kristus sebagai Pemenuhan Wahyu Allah ... 91

3.4.2 Yesus Kristus Menyatukan Iman dan Sejarah ... 102

3.4.3 Yesus Kristus sebagai Kunci Memahami Kitab Suci dan Tradisi ... 116

3.5 Kesimpulan ... 124

BAB IV KRISTOLOGI MICHAEL AMALADOSS DAN JOSEPH RATZINGER DALAM TERANG MODEL-MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL STEPHEN B. BEVANS ... 128

4.1 Pengantar ... 128

4.2 Model-model Teologi Kontekstual: Interaksi Injil dan Konteks ... 128

4.2.1 Teologi Kontekstual sebagai Imperatif Teologis ... 129

4.2.2 Pengertian Model ... 131

4.2.3 Peta Model-model Teologi Kontekstual Stephen B. Bevans ... 132

4.3 Enam Model Teologi Kontekstual Stephen B. Bevans ... 134

4.3.1 Model Terjemahan ... 135

4.3.2 Model Antropologis ... 136

4.3.3 Model Praksis ... 137

4.3.4 Model Sintesis ... 139

4.3.5 Model Transendental ... 138

4.3.6 Model Budaya Tandingan ... 140

4.4 Kristologi Michael Amaladoss dan Kristologi Joseph Ratzinger dalam Terang Model-model Teologi Kontekstual Stephen B. Bevans ... 141

4.4.1 Kristologi Michael Amaladoss: Sebuah Model Antropologis ... 142

4.4.2 Kristologi Joseph Ratzinger: Sebuah Model Budaya Tandingan ... 149

4.5 Kesimpulan ... 156

BAB V PENUTUP: YESUS KRISTUS HADIR DALAM SETIAP KONTEKS ... 162

5.1 Pengantar ... 162

5.2 Pergumulan Teologi-Kristologi ... 162

5.2.1 Kontekstualisasi Yesus Kristus di Asia ... 163

5.2.2 Dua Pendekatan Merefleksikan Yesus Kristus: Historis-Kritis dan Hermeneutika Iman ... 169

5.3 Paradigma Baru dalam Teologi-Kristologi Kontekstual: Yesus Kristus Hadir dalam Setiap Konteks ... 174

5.3.1 Yesus Kristus sebagai Pusat Iman Kristen ... 174

5.3.2 Kehadiran Yesus Kristus selalu Baru ... 176

(14)

5.3.3 Konteks sebagai Tempat Kehadiran Yesus Kristus ... 177 5.4 Pilihan Metodologis dalam Berkristologi ... 179 5.5 Relevensi Teologi-Kristologi Michael Amaladoss dan Joseph Ratzinger

untuk Indonesia ... 181 5.6 Usulan Pastoral: Pentingnya Pneumatologi dalam Membangun

Kristologi di Indonesia ... 184 DAFTAR PUSTAKA ... 188

(15)

DAFTAR SINGKATAN

1Kor : Surat Pertama Paulus kepada Jemaat di Korintus CT : Cathechesi Tradendae

DI : Dominus Iesus

DS : Denzinger Schönmetzer (Enchiridion Symbolorum) DV : Dei Verbum

EA : Ecclesia in Asia

Ef : Surat Paulus kepada Jemaat di Efesus Gal : Surat Paulus kepada Jemaat di Galatia GS : Gaudium et Spes

Kel : Keluaran LG : Lumen Gentium Luk : Injil Lukas Mat : Injil Matius Mrk : Injil Markus

Rom : Surat Paulus kepada Jemaat di Roma SS : Spe Salvi

SVD : Societas Verbum Domini (Serikat Sabda Allah) Ul : Ulangan

Yes : Yesaya Yoh : Injil Yohanes

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kekristenan menyebar ke seluruh penjuru dunia dan bertemu dengan kebudayaan lokal, agama lain, serta konteks zaman yang terus berkembang.

Rumusan ajaran kekristenan tertentu dianggap baku dan tak tergantikan. Namun, kesadaran akan adanya pluralitas, agama lain, dan konteks zaman yang terus berkembang sebagai jalan keselamatan semakin meluas dan mendalam. Melihat realita demikian, perlu suatu kesadaran akan konteks rumusan dan ajaran baku tersebut sehingga tetap terbuka terhadap dialog, kerjasama, dan mau berubah.1

Kehadiran kekristenan di seluruh dunia yang bersinggungan dengan budaya lokal, agama lain, dan konteks zaman yang terus berkembang menuntut sebuah refleksi tentang siapa Yesus Kristus. Kristologi merupakan refleksi tentang makna Yesus Kristus yang dihasilkan dalam dialog terus-menerus antara afirmasi Kristen dengan pandangan-pandangan budaya, agama lain, dan konteks zaman yang terus berkembang. Setiap kristologi memiliki konteksnya yang khas.

Marinus de Jonge mengatakan bahwa reaksi terhadap Yesus Kristus selalu

1 Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual, (judul asli: Models of Contextual

(17)

memuat proses ganda.2 Pertama, umat yang mengalami hidup secara langsung dengan Yesus Kristus akan mencoba mengintepretasikan Yesus dalam terang pengalaman dan keprihatinan mereka. Interpretasi mereka terhadap Yesus dipengaruhi oleh kepribadian, situasi sosial dan kultural mereka. Kedua, Yesus yang diintepretasikan memiliki peran sentral sehingga apa yang dikatakan dan dikerjakan Yesus perlu diperhitungkan. Refleksi kristologi kontekstual selalu memperhatikan relasi dialogal antara komunikasi iman (ekklesial) dan sejarah kebudayaan setempat (kultural). Komunikasi iman dan sejarah kebudayaan setempat bersifat relasional dan dinamis. Penghayatan iman Gereja dalam kebudayaan konkret sungguh-sungguh merupakan penghayatan Injil, kabar gembira yang menyelamatkan.3

Usaha-usaha untuk merefleksikan mengenai Yesus sudah banyak dilakukan dari berbagai macam pendekatan. Dari sekian pendekatan untuk merefleksikan tentang Yesus Kristus, penulis memilih dua tokoh yaitu Michael Amaladoss dan Joseph Ratzinger dalam merumuskan siapa Yesus Kristus. Alasan penulis memilih Amaladoss dan Ratzinger karena mereka merefleksikan Yesus Kristus berangkat dari konteks Asia dan Eropa. Amaladoss dan Ratzinger tidak menafikan konteks yang mempengaruhi lahirnya pemikiran bagaiamana Yesus Kristus.

2 Marinus de Jonge, Christology in Context: The Earliest Christian Response to Jesus (Philadelphia: Westminster John Knox Press, 1988), 15-21.

3 Martien E. Brinkman, The Non-Western Jesus: Jesus as Bodhisattva, Avatara, Guru, Prophet, Ancestor or Healer?, (judul asli: De niet-Westerse Jezus: Jezus als bodhisattva, avatara, goeroe, prodeet, voorouder of genezer?), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Henry and Lucy

(18)

Refleksi kristologi Michael Amaladoss muncul berkenaan dengan pandangannya tentang keselamatan dengan orang-orang yang tidak Kristen.

Sebagai seorang Kristen, Amaladoss menyetujui ajaran Gereja bahwa keselamatan hanya terjadi di dalam dan melalui Yesus Kristus. Namun, sebagai orang India yang hidup bersama dengan orang yang mayoritas beragama Hindu, Amaladoss mempertanyakan bagaimana keselamatan bisa sampai pada orang yang beragama lain? Jika kita membantu orang Hindu untuk bertumbuh dalam iman mereka, apakah kita tidak melawan misi kita untuk mewartakan Yesus Kristus adalah penyelamat mereka?4 Menurut Amaladoss, pengalaman sebagai orang Kristen Asia yang hidup bersama dengan pemeluk agama lain seharusnya membawa kita untuk merefleksikan apa yang menjadi rencana tersebut serta di mana tempat Yesus di tengah agama-agama lain.5

Dalam The Significance of Jesus in the Context of Religious Pluralism in India, Asosiasi Teolog India menyatakan bahwa bagi orang Kristen, Yesus Kristus adalah simbol Allah yang sempurna yang membawa kepenuhan kepada semua orang di dunia melalui sabda dan karya, tanda-tanda dan mukjizat. Namun, keunikan Yesus ini tidak seharusnya menggantikan simbol-simbol dalam agama lain. Pernyataan para teolog India tentang Yesus yang demikian merupakan usaha

4 Michael Amaladoss, “The Pluralism of Religions and The Significance of Christ”, dalam East Asian Pastoral Review, No, 3&4, 1989, 276.

5 Michael Amaladoss, “The Image of Jesus in The Church in Asia”, dalam East Asia Pastoral

(19)

mereka untuk merefleksikan misteri Kristus secara baru dalam konteks multi agama.6

Para teolog India ingin mempertanyakan klaim bahwa teologi Barat sebagai yang independen dari semua konteks sehingga berlaku universal. Setiap pernyataan dibuat dalam konteks tertentu. Fakta bahwa konteks itu secara eksplisit tidak tampak bukan menjadikan konteks itu tidak ada. Refleksi teologi kontekstual berasal dari bawah, dari pengalaman, dan mempertanyakan rumusan iman tradisional sehingga dari dialog tersebut muncul rumusan baru.7

Pada umumnya, teolog India mengafirmasi bahwa semua keselamatan berasal dari Allah, dalam dan melalui Kristus. Menurut Amaladoss, iman kristiani tidak boleh diingkari dan harus diafirmasi tetapi permasalahannya di India ialah bahwa pernyataan semua keselamatan berasal dari Allah, dalam, dan melalui Yesus Kristus berhadapan dengan afirmasi lain yang mengatakan bahwa agama lain merupakan fasilitator keselamatan atau perjumpaan yang ilahi dengan manusia. Kebanyakan teologi India setuju bahwa penganut agama lain diselamatkan dalam dan melalui agama mereka.8

Melihat permasalahan demikian, Amaladoss mengalami suatu kegelisahan mengenai bagaimana merefleksikan Yesus Kristus yang sesuai dengan konteks India dan tidak terlepas dari Kitab Suci serta tradisi Gereja. Dari kegelisahannya, Amaladoss dalam tulisan-tulisannya dan terutama dalam karyanya The Asian

6 Michael Amaladoss, “The Mystery of Christ and Other Religions: An Indian Perspective”, dalam Vidyajyoti: Journal of Theological Reflection, Mei 1999, 327.

7 Michael Amaladoss, “The Mistery of Christ and Other Religions: An Indian Perspective”, 327.

8

(20)

Jesus mencoba menjawab masalah-masalah dan kebutuhan-kebutuhan siapa Yesus Kristus bagi orang-orang Kristen di Asia secara khusus di India. Dalam karyanya The Asian Jesus, Amaladoss menjelaskan wajah-wajah Yesus Kristus dalam pandangan Asia yang menolong masyarakat Asia secara khusus India untuk memahami iman mereka. Amaladoss menyadari bahwa untuk memahami Yesus yang hidup ribuan tahun lalu tidak dapat dipahami dengan begitu mudah.

Amaladoss menggunakan konteks Asia dengan menempatkan Yesus di dalam suatu lingkungan sosial, politis, dan keagamaan orang Kristen di Asia. Amaladoss mengadopsi Yesus Kristus dalam konteksnya supaya semakin mudah dipahami dan diimani. Amaladoss menyadari bahwa mereka berada dalam suatu kurun waktu hermeneutis yang baru sehingga Yesus Kristus direfleksikan secara lebih mendalam sesuai dengan konteks hidup mereka.9

Sementara Ratzinger menulis dan menerbitkan berbagai tulisan yang berbicara tentang Yesus Kristus. Dalam pendahuluan bukunya jilid pertama yang berjudul Yesus dari Nazaret, Ratzinger menyatakan bahwa berbagai tulisan yang ditulisnya tidak dimaksudkan sebagai ajaran resmi Gereja namun sebagai kesaksian atas pencarian pribadinya. Melalui tulisan-tulisannya, Ratzinger ingin menandaskan bahwa pentingnya aktualisasi refleksi kristologi zaman ini. Dengan

9 Michael Amaladoss, Walking Together: the Pratice of Inter-religious Dialogue (India: Gujarat

(21)

cara ini, Ratzinger terus mencoba menghadirkan pandangan kekatolikan di dalam dunia yang telah menjadi sekuler.10

Ratzinger menulis berbagai buku yang membahas tentang Yesus Kristus karena merasa prihatin akan kian melebarnya jurang antara Yesus historis dan Kristus keparcayaan. Ratzinger menuding penyebab terjadinya pemisahan ialah penggunaan metode historis kritis. Menurut Ratzinger, penggunaan metode historis kritis dalam tafsir Kitab Suci telah menghadirkan banyak gambaran tentang Yesus, yang sering saling bertentangan. Banyak orang bingung menghadapi demikian banyak potret Yesus yang direkonstruksikan oleh metode historis kritis. Ratzinger mengatakan bahwa situasi ini terasa dramatis bagi iman karena menjadi kurang tegaslah titik acuan khasnya: persahabatan mesra dengan Yesus, padanya segala sesuatu bergantung, berada dalam bahaya merengkuh udara tipis.11

Ratzinger tidak menafikan isu-isu iman dunia modern seperti persoalan sekularisme, relativisme, pluralisme, dan fundamentalisme. Dalam merefleksikan Yesus Kristus, Ratzinger mencoba untuk tetap setia pada tradisi dan ajaran iman.

Ratzinger menulis ketiga jilid bukunya dalam situasi yang penuh ketegangan. Hal

10 Joseph Ratzinger, Yesus dari Nazareth: Dari Pembaptisan di Sungai Yordan sampai Perubahan Rupa, (judul asli: Jesus of Nazareth: From the Baptism in the Jordan to the Transfiguration), diterjemahkan oleh B.S. Mardiatmadja (Jakarta: Gramedia, 2008), xxiii.

11

(22)

itu terlihat dalam usaha Ratzinger menampilkan Injil sebagai sumber unggul untuk mengetahui dan mengenal Yesus.12

Selain berargumentasi dari perspektif konsekuensi metode ini bagi iman, Ratzinger juga membuat penelitian ilmiah. Metode historis kritis berorientasi pada masa lampau, menyelisik makna kata dan peristiwa pada waktu yang lalu.13 Namun, dengan orientasi seperti ini, metode ini tidak memiliki kecukupan di dalam dirinya untuk membedah teks yang merupakan teks iman. Iman hidup dan dihidupi di dalam setiap konteks. Iman bukan hanya orientasi ke masa lalu, melainkan selalu juga berarti kesekarangan. Orientasi pada masa lampau tanpa memerhatikan keseluruhan maksud dari teks sebagaimana dilihat dan dialami sekarang, merupakan satu bentuk pengkhianatan terhadap teks Kitab Suci.14

Ratzinger menilai bahwa klaim keabsahan historis-objektif tidak dapat dipertahankan secara konsisten. Bagaimanapun, para ahli Kitab Suci yang menggunakan metode historis kritis terlepas dari minat dan kepentingan mereka sendiri. Ratzinger berkata bahwa berbagai gambaran Yesus historis yang disajikan metode historis kritis jauh lebih serupa dengan potret foto tentang para pengarangnya beserta gagasan-gagasan yang mereka punyai.15

Sebagai tawaran yang melampui metode historis kritis, Ratzinger mempromosikan hermeneutika iman. Metode ini memerhatikan keseluruhan

12 Kongregasi untuk Ajaran Iman, Dominus Iesus (Pernyataan tentang “Yesus Tuhan”), diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2001), no. 4.

Pengutipan selanjutnya disingkat DI dan diikuti nomor artikel yang dirujuk.

13 Joseph Ratzinger, Yesus dari Nazareth, xvi.

14 Joseph Ratzinger, Yesus dari Nazareth, xvi.

15 Paul Budi Kleden (ed.), Joseph Ratzinger-Yesus dari Nazaret: Pelbagai Tanggapan (Maumere:

(23)

makna dari Kitab Suci yang dipakai sebagai terang untuk membaca dan menafsir masing-masing teks. Dengan menggunakan hermeneutika iman, Ratzinger membuat kristologinya berdasarkan sumber historis yang paling dekat yaitu injil.

Dengan menggunakan hermeneutika iman, Ratzinger bukan tidak lagi menggunakan metode historis-kritis dalam membangun kristologinya tetapi menambahkan hermeneutika iman supaya usaha dalam mengkonstruksi kristologinya lebih komprehensif. Dalam berbagai karyanya, Ratzinger memaparkan elemen-elemen penting hidup Yesus Kristus dari peristiwa kabar kelahiran-Nya hingga peristiwa kebangkitan-Nya. Tema-tema yang dibicarakan Ratzinger bukan sekedar suatu biografi melainkan sebagai suatu teologi. Bertolak dari teks Injil, Ratzinger menjelajah khazanah para bapa Gereja, Perjanjian Lama, hingga dasar keberagaman manusia dalam kosmos.16

1.2 Rumusan Masalah

Yesus Kristus memiliki peran sentral untuk umat Kristen. Melihat peran sentral Yesus Kristus, Michael Amaladoss dan Joseph Ratzinger berusaha merefleksikan Yesus Kristus yang sesuai dengan konteks. Amaladoss mengkonstruksi teologi-kristologi dengan melihat realitas India. Amaladoss berpendapat bahwa umat Kristen India membutuhkan jawaban baru yang sesuai dengan kondisi India mengenai Yesus Kristus. Selama ini umat Kristen India

16

(24)

lebih berupaya untuk menyesuaikan keadaan mereka agar sesuai dengan rumusan yang ada. Amaladoss mengatakan bahwa kita seharusnya melihat Yesus dalam konteks sejarah yang baru dan mencari cara yang memadai untuk berbicara tentang Yesus dengan tetap menghargai agama orang lain. Untuk mendapatkan jawaban baru, Amaladoss menyatakan bahwa kita harus memerhatikan tiga konteks yaitu pluralisme agama yang dibalut dengan sejarah, pluralitas budaya, dan kemiskinan.17 Relasi keselamatan antara Allah dan umat manusia diletakkan dalam konteks budaya dan sejarah.18

Sementara Ratzinger melihat terjadinya jurang pemisah antara Yesus historis dan Kristus kepercayaan dalam konteks zaman ini. Ratzinger ingin mengembalikan gambaran yang sejati tentang Yesus Kristus seperti yang terdapat di dalam Kitab Suci. Usaha untuk mengembalikan gambaran sejati Yesus Kristus, Ratzinger menulis berbagai tulisan. Ratzinger memberikan gambaran Yesus yang kaya, memikat, menyeluruh, dan mendorong umat Kristen untuk berhadapan muka dengan sosok sentral iman Kristiani yaitu Yesus Kristus.19

Berdasarkan konteks demikian, ada tiga pertanyaan yang ingin penulis jawab dalam tesis ini. Ketiga pertanyaan itu, penulis rumuskan sebagai berikut.

Pertama, kristologi macam apa yang dibangun oleh Michael Amaladoss dan Joseph Ratzinger? Dalam menganalisa pendapat Amaladoss dan Ratzinger, penulis menggunakan kerangka teori dari Stephen B. Bevans. Gagasan Stephen B.

17 Michael Amaladoss, “Who Do You Say That I Am?, Speaking of Jesus in India Today”, East Asian Pastoral Review, No. 34, 1997, 218.

18 Michael Amaladoss, “The Pluralism of Religions and The Significance of Christ”, 279.

19

(25)

Bevans tentang interaksi Injil dan konteks memberikan kerangka dalam menyelisik relasi teologi dengan kenakeragaman konteks. Bagi Bevans, semua orang Kristiani ditantang untuk berani berteologi dari konteks. Dalam kontekstualisasi, orang akan berhadapan dengan konteks kebudayaan dan agama yang tradisional di satu pihak, tetapi di pihak lain bergumul juga dengan konteks modernisasi yang menyebabkan perubahan nilai, khususnya segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat manusia. Maka, pertanyaan kedua adalah bagaimana teologi-kristologi Amaladoss dan Ratzinger dalam terang gagasan Stephen B. Bevans? Ketiga, bagaimana sintesa pemikiran kristologi Michael Amalados dan Joseph Ratzinger dalam memahami Yesus Kristus dari sudut pandang Stephen B. Bevans?

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan tesis ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, penulis ingin menganalisa pilihan metodologis gagasan kristologi Michael Amaladoss dan Joseph Ratzinger. Kedua, penulis ingin menyandingkan gagasan kristologi Michael Amaladoss dan Joseph Ratzinger dalam perspektif model-model teologi kontekstual Stephen B. Bevans. Ketiga, untuk memenuhi persyaratan akademis demi meraih gelar Magister (S-2) pada Program Studi Magister Filsafat Keilahian, Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

(26)

1.4 Hipotesis

Gereja harus terus-menerus menggumuli kesetiaannya kepada Yesus Kristus selaku pokok pemahaman imannya. Penghayatan iman Kristen terhadap Yesus Kristus terus mengalami perubahan sejalan dengan konteks kekristenan itu berada. Perubahan yang terjadi itu menuntut Gereja untuk mengonseptualkan dan membahasakan Yesus Kristus secara baru supaya Yesus Kristus dapat diwartakan sampai kepada manusia yang berbeda-beda.20

Michael Amaladoss dan Joseph Ratzinger merupakan dua orang teolog yang mencoba untuk menelaah teologis-kristologi yang sesuai dengan konteks pada zaman ini dalam mengimani Yesus Kristus. Sebagai teolog Asia, Amaladoss memperjuangkan agar Yesus Kristus yang adalah orang Asia dikenal sebagai Yesus dari Asia, bukan Yesus dari Barat. Menurut Amaladoss, selama ini teologi- kristologi Asia hanya sekedar menerjemahkan teologi Barat. Amaladoss berjuang agar Yesus Kristus dan Gereja-Nya mengakar dalam realitas konkret Asia dan teologi di Asia tidak menjadi teologi yang diterjemahkan dari teologi Barat tetapi teologi yang hidup dan mengakar di Asia. Amaladoss menegaskan bahwa gambaran Yesus yang otentik dan relevan bagi dunia Asia hanya dapat ditemukan apabila Gereja Asia kembali kepada Yesus dan menemukan-Nya dalam realitas

20 C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran tentang Yesus Kristus pada

(27)

Asia yaitu kemiskinan yang mematahkan harapan, religiositas yang beraneka rupa, dan keanekaragaman budaya Asia.21

Sementara itu, Ratzinger mengatakan bahwa dewasa ini, kita hidup di saat yang memberikan ancaman bahaya, tetapi sekaligus memberikan ruang kemungkinan dan peluang bagi manusia dan dunia. Hal itu berarti situasi dewasa ini menuntut tanggung jawab dari manusia yang di satu sisi dapat meningkatkan daya bagi kehidupan dan di sisi lain memiliki daya merusak. Kenyataan ini membuat Gereja Eropa mengalami krisis ketika pertanyaan akan kebenaran yang diwartakan agama mulai digugat. Landasan filosofis Kristen dipandang problematis di era pascametafisika ini sebab dasar historisnya dipertanyakan oleh metode historis modern. Kekristenan ditempatkan sebagai masa lalu sehingga realitas Ilahi dan iman tidak akan bisa dikenali jika orang meninggalkan realitas metafisika, sesuatu yang mengatasi segala hal yang fisik.22 Berbagai tulisan Ratzinger merupakan usahanya untuk menghadirkan pandangan kekatolikan tentang Yesus Kristus berdasarkan Kitab Suci di dalam dunia yang telah menjadi sekuler.23

Dalam menganalisa pendapat Amaladoss dan Ratzinger, penulis menggunakan kerangka teori dari Stephen B. Bevans tentang interaksi Injil dan konteks sebagai pisau analisa. Penulis menggunakan kerangka teori Stephen B.

Bevans dalam menganalisa pemikiran Amaladoss dan Ratzinger karena Bevans

21 Michael Amaladoss, Walking Together: the Practice of Inter-religious Dialogue (India: Gujarat Sahitya Prakash, 1992), 32.

22 Joseph Ratzinger, “Europe in The Crisis of Cultures”, dalam Communio: International Catholic Review, 32, 2005, 351-356.

23

(28)

membuat enam (6) model teologi kontekstual yang mengakomodir interaksi antara Injil dengan konteks. Model yang ditawarkan oleh Bevans dapat digunakan sebagai sarana untuk membantu dalam memahami Yesus Kristus berdasarkan pandangan Amaladoss dan Ratzinger. Bevans ingin mengajak kita untuk memahami iman Kristen yang dipandang dari segi suatu konteks tertentu dan tidak terlepas dari sumber utama yaitu Kitab Suci. Bevans menawarkan enam model yang berbeda dalam memahami teologi kontekstual. Keenam model itu yaitu Model Terjemahan (The Translation Model), Model Antropologis (The Antropological Model), Model Praksis (The Praxis Model), Model Sintesis (The Synthetic Model), Model Transendental (The Transendental Model), dan Model Budaya Tandingan (The Countercultural Model).24

1.5 Metodologi Penulisan

Dalam proses penyusunan tesis ini, penulis menggunakan metode analisa teks. Analisa teks merupakan salah satu metodologi dalam lingkup kajian penelitian kualitatif yang menitikberatkan pada analisis atau interpretasi bahan tertulis berdasarkan konteksnya. Bahan bisa berupa catatan yang terpublikasikan, dan lain sebagainya.25 Sumber utama yang digunakan penulis adalah tulisan Michael Amalados dalam The Asian Jesus dan buku-buku yang ditulis oleh

24 Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual, 3-4.

25 Stefan Titscher & dkk, Metode Analisis Teks & Wacana (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009),

(29)

Michael Amaladoss yang relevan dengan tema tesis. Sedangkan untuk Joseph Ratzinger, sumber utama yang digunakan penulis adalah buku-buku yang ditulis oleh Joseph Ratzinger: Jesus of Nazareth, Introduction to Christianity, dan buku- buku yang relevan dengan tema tesis. Sumber pendukung lainnya adalah buku- buku dan artikel-artikel yang berbicara tentang Kristologi dalam pandangan Michael Amaladoss dan Joseph Ratzinger, baik dalam bentuk media cetak maupun dalam bentuk media elektronik.

Metode penulisan yang digunakan adalah metode analisa teks. Setelah memahami pemikiran kristologi dalam pandangan Michael Amaladoss dan Joseph Ratzinger, penulis akan menyajikan ide dan gagasan tersebut seturut sumber- sumber yang diperoleh. Setelah kedua pemikiran ini dianalisa, penulis akan menyandingkan dengan menggunakan pemikiran Stephen B. Bevans.

1.6 Sistematika Penulisan

Secara garis besar, penulisan tesis ini akan dirumuskan dalam sistematika penulisan yang diatur dalam beberapa bab. Bab I merupakan pendahuluan yang memaparkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, hipotesa, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II dibagi dalam dua bagian besar. Pertama, siapa itu Michael Amaladoss. Pada bagian ini penulis akan menguraikan riwayat hidup Amaladoss dan karya-karyanya. Kedua, bagaimana gagasan kristologi Amaladoss.

(30)

Bab III dibagi alam dua bagian besar. Pertama, siapa itu Joseph Ratzinger.

Pada bagian ini penulis akan menguraikan riwayat hidup Ratzinger dan karya- karyanya. Kedua, bagaimana latar belakang pemikiran teologi kristologi dan gagasan kristologi Ratzinger.

Pada bab IV, penulis akan menjelaskan kristologi Amaladoss dan Ratzinger dalam terang model teologi kontekstual Stephen B. Bevans. Kerangka teori Bevans akan penulis gunakan untuk membaca teks dari Michael Amaladoss dan Joseph Ratzinger dalam kaitannya dengan gagasan mengenai kristologi.

Kemudian, penulis akan membandingkan pemikiran kristologi dari Michael Amaladoss dengan Joseph Ratzinger dalam terang teori Stephen B. Bevans.

Bab V merupakan bagian penutup. Pada bagian ini penulis akan menjelaskan kesimpulan hasil penyandingan pemikiran kedua tokoh tentang konsep kristologi dalam terang model teologi kontekstual Stephen B. Bevans dan catatan akhir yang berisi rekomendasi atau usulan-usulan bagi penelitian selanjutnya dalam kajian mengenai kristologi.

(31)

BAB II

SEMBILAN GAMBARAN YESUS KRISTUS DI ASIA:

KRISTOLOGI MICHAEL AMALADOSS

2.1 Pengantar

Michael Amaladoss memperjuangkan supaya teologi-kristologi Asia sesuai dengan konteks Asia. Dengan segala kemampuannya, Amaladoss melakukan banyak penelitian dan gebrakan untuk teologi Asia. Amaladoss memberi catatan bahwa teologi-kristologi di Asia selama ini bercorak Barat (Euro-Amerika). Amaladoss meinginkan teologi-kristologi Asia sesuai cita rasa Asia. Secara khusus, Amaladoss menginginkan agar Yesus yang adalah orang Asia sesuai dengan gambaran konteks Asia. Sebelum masuk ke pokok tersebut, terlebih dahulu akan dipaparkan sekilas pandang tentang Michael Amaladoss beserta karya dan latar belakang pemikiran teologi-kristologinya.

2.2 Biografi dan Karya-karya Michael Amaladoss

Pada bagian ini penulis akan menguraikan riwayat hidup dan karya-karya Michael Amaladoss. Pengalaman hidup Amaladoss membentuknya menjadi pribadi yang terbuka kepada siapa saja dan ingin membangun harmoni di tengah

(32)

dunia yang plural. Dengan pengalamannya ketika kecil, perjumpaan dengan berbagai tokoh, serta mengenyam pendidikan spritualitas, seni musik, filsafat, teologi, Amaladoss merumuskan berbagai macam pemikiran untuk teologi yang sesuai cita rasa Asia terutama kristologi yang kontekstual untuk Asia.

Michael Amaladoss lahir pada 8 Desember 1936 di Dindigul, Tamil Nadu, India Selatan. Ayah dan ibu Amaladoss merupakan guru. Walaupun seorang Katolik yang saleh, Amaladoss dibesarkan dalam lingkungan masyarakat yang mayoritas beragama Hindu. Amaladoss mengakui bahwa ia lebih mengenal banyak kebiasaan Hindu daripada agama Kristen. Kebiasaan Amaladoss hidup dalam lingkungan masyarakat Hindu membuatnya terbuka kepada siapa saja dan menghormati mereka yang berbeda.1

Amaladoss menjalani pendidikan di sekolah Jesuit yang berada di Tiruchirapalli, Tamil Nadu. Ketika berada di sekolah ini, kebiasaan Ekaristi harian, doa malam bersama, berdevosi kepada Maria, dan perayaan sakramen lainnya menjadi pola hidupnya. Di sisi lain, siswa-siswa yang mengenyam pendidikan di sekolah ini mayoritas beragama Hindu.2

Amaladoss mengenal Serikat Yesus saat ia mengenyam pendidikan di sekolah ini. Amaladoss melihat bahwa para Jesuit yang berada di komunitas sekolahnya berasal dari berbagai daerah tetapi mayoritas berasal dari Perancis.

Amaladoss menilai bahwa hidup para Jesuit begitu bahagia dan harmonis walaupun mereka berasal dari berbagai macam daerah. Melihat pola hidup Jesuit

1 Michael Amaladoss, “My Pilgrimage in Mission”, dalam International Bulletin of Missionary Research, (New Haven: OMSC, SAGE Publications, Januari 2007) Vol. 31, No. 1, 21.

2

(33)

yang demikian, Amaladoss tertarik menjadi anggota Serikat Yesus dan memutuskan masuk novisiat Jesuit pada 17 Juni 1953. Selama di Novisiat, Amaladoss menerima bimbingan dari Pastor Ignatius Hirudayam. Pastor Ignatius Hirudayam sangat menaruh perhatian pada kebudayaan India dan Amaladoss dibimbing oleh Pastor Hirudayam untuk lebih mengembangkan kebudayaan India ke depan.3

Pada tahun 1958-1961, Amaladoss menjalani studi tentang spiritualitas dan literatur-literatur dari tokoh-tokoh seperti Thomas Aquinas, Jacques Maritain, Entienne Gilson, Christopher Dawson, dan lain-lain. Selain itu, Amaladoss juga banyak mempelajari banyak mengenai filsafat, kesenian, dan musik India. Pada tahun 1961-1963, Amaladoss menjalani pendidikan musik, secara khusus Amaladoss mendalami bidang vokal di Chennai. Secara umum, lagu-lagu yang diajarkan di sekolah tersebut adalah lagu yang bernuansa Hindu.4

Pada tahun 1965-1969, Amaladoss menjalani pendidikan filsafat di Kurseong, Himalayas. Pada tahun-tahun ini, terjadi Konsili Vatikan II yang memiliki banyak dampak terhadap pola pendidikan calon imam seperti bahasa pengantar belajar tidak lagi menggunakan bahasa Latin tetapi menggunakan bahasa Inggris dan bahasa lokal. Konsili Vatikan II memantik sebuah era baru dalam berdialog dengan agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan lain.5 Amaladoss juga menjalani studi tentang spiritualitas India dan menerbitkan artikel

3 Michael Amaladoss, “My Pilgrimage in Mission”, 21.

4 Michael Amaladoss, “My Pilgrimage in Mission”, 21.

5

(34)

pertamanya dalam bahasa Inggris dengan tema yaitu studi komparatif antara India dengan spiritualitas Ignasian dan spiritualitas Gandhian.6

Amaladoss memperoleh gelar master dalam bidang liturgi dan gelar doktor dalam bidang teologi sakramen di Universitas Katolik Paris (Catholic University of Paris). Pada tahun 1976-1979, Amaladoss mengajar teologi di Seminari St.

Paulus Tiruchirapalli, Tamil Nadu dan Institusi Teologi Vidyajyoti (Vidyajyoti College of Theology), Delhi. Pada 1973-1977, Amaladoss menjadi editor Vidyajyoti Journal of Theological Reflection.7

Pada 1983-1995, Amaladoss menjadi asisten superior Jendral Serikat Yesus dengan tugas khusus untuk penginjilan, dialog, inkulturasi, dan ekumenisme. Pada 1999, Amaladoss menjadi Rektor Kolose Loyola (Loyola College) untuk dialog dan budaya di Chennai. Setelah itu, Amaladoss menjadi seorang konsultan untuk komisi dewan dan wakil presiden dari Asosiasi Internasional untuk studi misi. Amaladoss juga pernah menjadi dosen di Institut Pastoral Asia Timur (East Asian Pastoral Institute [EAPI]) di Manila, Filipina. Di EAPI, Amaladoss mengembangkan ketertarikannya dalam perjumpaan dengan orang-orang di Asia untuk teologi yang sesuai konteks Asia.8

Sebagai teolog, Michael Amaladoss menerbitkan berbagai karya. Karya- karya Amaladoss terdapat dalam berbagai tulisan baik yang berbentuk buku maupun artikel-artikel yang dimuat dalam berbagai jurnal ilmiah. Karya-karya

6 Michael Amaladoss, “My Pilgrimage in Mission”, 24.

7 Michael Amaladoss, “Faith Meets Faith: Living with Cross-Cultural Experiences,” dalam Yearbook of Contextual Theologies (Aachen: MWI, 1998), 16.

8

(35)

Amaladoss yang pernah ditulis dalam bentuk buku berjumlah sekitar 24 dan artikel berjumlah sekitar 340. Tulisan-tulisan Amaladoss berkaitan dengan misi dan dialog, teologi agama-agama, pembebasan, inkulturasi, spiritualitas kristen India, dan metodologi dalam teologi, sakramen-sakramen, dan kristologi.

Beberapa karya yang ditulis Amaladoss yaitu Making All Things New: Dialogue, Pluralism, and Evangelization in Asia (1990), A Call to Community: The Caste System and Christian Responsibility (1994), Life in Freedom: Liberation, Theologies from Asia (1997), Beyond Inculturation: Can the Many Be One?

(1998), Making Harmony: Living in a Pluralist World (2003), The Dancing Cosmos: A Way to Harmony (2003), The Asian Jesus (2005), Beyond Dialogue- Pilgrims to the Absolute (2008), The Challenges of Fundamentalism (2009), dan Quest for God – Doing Theology in India (2013). Selain tulisan, Amaladoss juga menciptakan banyak lagu. Amaladoss menciptakan sekitar 150 lagu untuk devosi dan musik klasik untuk tarian India (Bharathantyam).9

2.3 Latar Belakang Gagasan Kristologi Michael Amaladoss

Dalam menghasilkan gagasan kristologi, Michael Amaladoss dilatarbelakangi oleh pelbagai macam hal, seperti perjumpaan dengan berbagai macam tokoh dan situasi zaman saat itu. Hal-hal ini sedikit banyak mempengaruhi ide, visi, dan semangat Michael Amaladoss dalam teologi-kristologinya

9

(36)

kemudian. Pada bagian ini, penulis akan memaparkan tokoh-tokoh dan konteks zaman yang melatarbelakangi pemikiran Amaladoss.

2.3.1 Tokoh-tokoh yang Mempengaruhi Pemikiran Michael Amaladoss

Tokoh awal yang memantik Amaladoss untuk mencintai kebudayaan India baik musik, filsafat, maupun spiritualitas adalah Pastor Ignatius Hirudayam.

Pastor Ignatius Hirudayam mengajari berbagai hal mengenai kebudayaan India sehingga membuat Amaladoss semakin mencintai kebudayaan India. Kecintaan Amaladoss yang mendalam terhadap kebudayaan India membuatnya ingin lebih lagi mencari tahu tentang kebudayaan India.10

Pada saat menjalani proses pendidikan filsafat di Kurseong, Himalayas tahun 1967, Amaladoss melakukan peziarahan selama satu bulan bersama dengan dua teman Jesuitnya. Mereka melakukan peziarahan ke tempat-tempat suci Hindu dan Buddha di India Utara yaitu Rishikesh, Haridwar, Mathura, Brindavan, Varanasi, Bodh Gaya, dan Sarnath. Untuk beberapa saat, mereka tinggal di kuil Hindu. Mereka mengikuti semua pola hidup yang ada, secara khusus Amaladoss tertarik dengan ajaran sannyasa (penyangkalan diri) Hindu. Ajaran tentang sannyasa Hindu membuat Amaladoss tertarik untuk mempelajarinya lebih jauh.

Amaladoss bertemu dengan sannyasi (orang yang mempraktekkan penyangkalan diri) Hindu yang hidup dalam keheningan selama dua tahun, yang membedah

10

(37)

kitab sucinya, dan yang selalu melakukan meditasi di Mathura. Dengan pengalaman perjumpaan dengan sannyasi Hindu, Amaladoss menilai bahwa di dalam diri sannyasi Hindu terdapat jiwa yang dilingkupi kegembiraan dan pancaran wajah yang cerah. Pengalaman ini membuat Amaladoss menyimpulkan bahwa Allah hadir pada setiap orang dari agama apapun.11

Dalam peziarahannya, Amaladoss mengunjungi pemimpin Kristen Ashram yaitu Murray Rogers, seorang Anglikan. Kunjungan terhadap Murray Rogers membawa Amaladoss menjalin komunikasi dengan tokoh Kristen-Hindu yaitu Raimundo Panikkar dan Abhisitakananda. Ketika mengikuti seminar di Mumbai (sebelumnya Bombai) pada tahun 1968, Amaladoss bertemu dengan Raimundo Panikkar dan Abhisitakananda.12 Secara khusus, Abhisitakananda memiliki pengaruh banyak untuk kehidupan Amaladoss. Swami Abhisiktananda13 (dikenal juga dengan Henri Le Saux, 1910-1973) adalah seorang Benediktin Perancis yang mengembangkan dan memiliki ketertarikan terhadap religiusitas India dan mistisisme. Pada tahun 1948, Abhisiktananda datang ke India dan mendirikan Saccidananda Ashram di Shantivanam bersama dengan Jules Monchanin. Antara tahun 1952 sampai 1958, Abhisiktananda mengadakan retret dengan Arunachala yang merupakan seorang Hindu ashram dan hidup sebagai seorang petapa di sebuah gua. Di tempat tersebut, Abhisiktananda juga bertemu

11 Michael Amaladoss, “My Pilgrimage in Mission”, 22.

12 Michael Amaladoss, “My Pilgrimage in Mission”, 22.

13 Nama Abhisiktananda berarti ‘Yang Diurapi’ (Bliss of the Anointed). [Lihat Vijaya Joje Babu Valle, Becoming Indian: Towards in Indian Contextual Ecclesiology (Leuven: Katholieke

(38)

dengan Guru Sri Ramana Marashi, seorang Hindu heremit yang memiliki pengaruh besar bagi hidupnya. Pada tahun 1968, Abhisiktananda meninggalkan Shantivanam dan pergi ke Himalaya untuk tinggal di sebuah pertapaan hingga ia wafat pada tahun 1973.14

Abhisiktananda mengambil spiritualitas Hindu dan mengembangkannya untuk teologi Kristen India.15 Abhisiktananda meyakini bahwa spiritualitas Hindu akan membawa manusia untuk menemukan kembali dirinya yaitu ‘hati yang terdalam’ (cave of heart).16 Refleksi Abhisiktananda tentang spiritualitas Hindu dan teologi Kristen memiliki dua pengertian:

Benih tersebut telah ditabur oleh Roh Kudus di tanah India dengan cara yang tersembunyi atau tidak diketahui dan bagi kita untuk mengungkap Kristus yang tersembunyi dan membuatnya dikenal dan, kedua, tanah India adalah subur secara rohani.17

Abhisiktananda memadukan Kristianitas melalui pengalaman dan interpretasinya tentang adivasis (non-dualitas).18 Abhisiktananda percaya bahwa misi setiap kristianitas adalah mewujudkan Kristus yang tersembunyi, yang mendiami hati manusia, dan akan berhasil melalui cara hidup monastik.

Pengalaman Abhisiktananda muncul dari pengalaman adivasis-nya. Bagi Abhisiktananda, pengalaman adivasis adalah sebuah pengolahan agar dapat

14 Abhisiktananda, The Secret of Arunachala (Delhi:ISCPK, 1979), 1-5.

15 Abbé Jules Monchanin and Dom Henri Le Saux, A Benedictine Ashram (Douglas: Times Press, 1964).

16 Abhisiktananda, Hindu-Christian Meeting Point (Delhi: ISCPK, 1969), 31.

17 “The seed is already sown by the Holy Spirit in the Indian soil in a hidden or unknown way and it is for us to unveil the hidden Christ and make him known and, secondly, Indian soil is spiritually fertile.” [Lihat James Stuart (ed.), Swami Abhisiktananda: His Life Told Through His Letters (ISCPK, 1995), 25.]

18 Judson B. Trapnell, “Two Models of Christian Dialogue with Hinduism (I),” Vidyajyoti 60

(39)

menemukan kembali penyatuan dari realisasi Kristen dengan Allah Tritunggal;

untuk menemukan hubungan timbal-balik dan persekutuan cinta.19

Abhisitakananda membuat Amaladoss mengerti tentang adivasis (nondualitas) dalam spiritualitas dan teologi India. Peristiwa ini membuat Amaladoss mulai mengagumi filsafat, spiritualitas, kebudayaan Hindu.

Amaladoss menyatakan bahwa filsafat, spiritualitas, dan kebudayaan Hindu bukan hanya digunakan sebagai instrumen untuk memberitakan Injil melainkan sebagai sarana untuk bertemu dengan Allah.20

Pada saat menjalani studi doktoral tahun 1969-1971, tema disertasi Amaladoss berfokus pada inkulturasi dengan judul tesisnya “Bisakah Sakramen Diubah? Elemen-elemen yang Variabel dan Tidak Variabel dalam Ritus Sakramen-sakramen”.21 Amaladoss mencoba mengembangkan kriteria-kriteria apa yang saja yang dapat digunakan dalam proses inkulturasi. Secara khusus, Amaladoss memberi perhatian pada proses inkulturasi di India yaitu bagaimana ritus-ritus yang ada di India untuk sakramen-sakramen, apakah harus ditinggalkan atau harus diubah. Dalam penelitiannya, Amaladoss mengakomodasi ilmu-ilmu sosial seperti antropologi, semiotika, dan hermeneutika dalam proses inkulturasi.

Pemikiran filsuf dan teolog seperti Claude Levi Strauss, Paul Ricoeur, dan Karl Rahner berpengaruh dalam menyusun disertasi dan usaha Amaladoss membangun teologi yang kontekstual. Amaladoss ingin supaya teologi menjadi kontekstual di

19 Abhisiktananda, Hindu-Christian Meeting Point, 92.

20 Michael Amaladoss, “My Pilgrimage in Mission”, 22.

21 Judul asli disertasi Amaladoss ialah “Do Sacraments Change? Variable and Invariable

(40)

Asia secara khusus di India dengan tidak melupakan tiga hal penting yaitu dialog dengan kemiskinan, pluralitas kebudayaan, dan pluralitas agama.22

Usai menyelesaikan studi doktoralnya, Amaladoss mengajar di Seminari St. Paulus Tiruchirapalli, Tamil Nadu, India Selatan. Di sana, Amaladoss bersama Dom Bede Griffiths23 mendirikan sebuah komunitas yang bertujuan untuk melakukan dialog. Komunitas ini mengadakan banyak dialog komparatif dalam bidang teologi yaitu antara Hindu dan Kristiani, dan juga sesekali melakukan dialog dengan Islam. Komunitas dialog ini saling membagi pengalaman dan terkadang mereka melakukan doa bersama. Pada saat menjadi dosen di Vidyajyoti College of Theology India dan menjadi editor Vidyajyoti Journal of Theology, Amaladoss memiliki kolega yaitu Jacques Dupuis24 yang merupakan gurunya

22 Michael Amaladoss, “My Pilgrimage in Mission”, 22.

23 Dom Bede Griffiths (juga dikenal dengan Swami Dayananda, 1906-1993) adalah seorang Benediktin Brintania Raya. Ia tertarik dengan religiusitas India ketika di Oxford. Ia tertarik untuk menjadi Benediktin India dan bersama Alapatt yang merupakan Benediktin Perancis memutuskan pergi ke India. Mereka mendirikan sebuah komunitas monastik di Kengeri dekat Bangalore. Pada waktu kunjungan ke Shantivavam pada tahun 1956 dan 1957, Griffiths bertemu dengan Francis Mahieu dan membantu mereka untuk bertemu dengan Kurisumala Ashram di Kerala pada tahun 1958. Sepuluh tahun kemudian, Griffiths meninggalkan Kurisumala Ashram dan mengambil alih Shantivavam pada tahun 1968 ketika Abhishitakananda meninggal. Bede Griffiths adalah seorang guru (acharya) pada Shantivanam selama 25 tahun sampai ia wafat pada 1993. Di bawah arahan dan kepemimpinannya, ashram menjadi salah satu pusat inkulturasi yang terkemuka di India, secara khusus bagian Barat dan untuk Agama-agama Semitik. Griffiths ingin memadukan teologi kristiani dengan Advaitic. Michael Barnes memberi nama untuk pemikiran Griffiths tentang inkulturasi dan dialog di India dengan sebutan ‘kemanusiaan Bede yang ramah’ (Bede’s gentle humanity). Menurut Barnes, Bede merupakan orang yang memberikan perhatian mendalam dan penuh untuk kemanusiaan, bahkan Bede lebih dicintai, dihormati, dan dikenal sebagai seorang Hindu. [Lihat Vijaya Joje Babu Valle, Becoming Indian, 66; bdk. Michael Barnes, “From Ashrams to Dalits: The Four Seasons of Inculturation,” The Way 41 (2001), 65-66.]

24 Jacques Dupuis (1923-2004) adalah imam Jesuit dari Belgia dan seorang teolog yang mengajar di Vidyajyoti College of Theology, India. Dupuis banyak berbicara mengenai teologi agama-agama dan dikenal sebagai tokoh yang mendalami tentang pluralitas. Ketertarikannya terhadap teologi agama-agama dan pluralitas membuat Dupuis menuliskan dalam sebuah buku yang berjudul Toward a Christian Theology of Religious. Dalam tulisannya, Dupuis berfokus melihat relasi antara kekristenan dan agama-agama lain. Dupuis merefleksikan tantangan-tantangan yang dialami oleh agama lain dalam perspektif kristen. Pemikiran Dupuis tentang pluralisme teologi agama-

(41)

dulu dan Samuel Rayan25. Amaladoss dan rekan-rekanya banyak melakukan diskusi mengenai inkulturasi dan dialog.26

2.3.2 Konteks Sosial-Historis

Amaladoss merupakan teolog zaman modern yang sangat menaruh perhatian kepada teologi di Asia. Amaladoss menginginkan teologi Asia harus sesuai dengan cita rasa Asia. Menurut Amaladoss, selama ini teologi Asia hanya sekedar menerjemahkan teologi Barat. Amaladoss mengakui bahwa kekristenan lebih berkembang ke Barat daripada ke Asia. Kekristenan datang ke Asia pada

agama melampaui sebuah inklusivisme. Saat berbicara tentang pluralisme teologi agama-agama, Dupuis menggunakan pendekatan Trinitas yang mengungkapkan hubungan antara Bapa dengan Putera dan Putera dengan Roh Kudus. Dupuis meyakini bahwa penegasan identitas Kristen adalah kesesuaian dengan pengakuan identitas agama lain. Dalam agama-agama lain diungkapkan sebuah misteri dengan bahasa berbeda. Selain itu, Dupuis juga menerbitkan berbagai tulisannya seperti The Christian Faith, Jesus-Christ at the Encounter of World Religions, Who Do You Say I Am?

Introduction to Christology, dan Toward a Christian Theology of Religious.[Lihat Nicholas Lossky, Dictionary of the Ecumenical Movement (Geneva: WCC Publication, 1991), 1033; bdk.

Veli-Matti Karkkainen, An Introduction to the Theology of Religions (Illinios: InterVasity Press, 2003), 205-215.]

25 Samuel Rayan adalah profesor emeritus di Institusi Teologi Jesuit Vidyajyoti di Delhi. Rayan pernah menjabat sebagai dekan di institusi tersebut. Rayan merupakan tokoh penting dalam Asosiasi Ekumenis Teolog-teolog Dunia Ketiga (Ecumenical Association of Third World Theologians [EATWOT]) dan juga merupakan anggota dari Komisi Iman dan Tatanan Dewan Gereja-gereja Dunia (Faith and Order Commision of the World Council of Churches) dari tahun 1968-1982. Rayan juga merupakan ketua pertama dari Sekolah Ekumenis Teologi (Ecumenical School of Theology) di Bangalore (1988-1990). Rayan merupakan salah satu pencetus teologi pembebasan. Dalam pemikirannya, Rayan meyakini bahwa manusia yang berada dalam satu komunitas adalah objek kasih Allah. Teologi Rayan muncul dari pengalaman hidup, pengalaman konteks hidupnya, dan janjinya kepada Yesus. Menurut Rayan, teologi adalah sebuah peringatan dari Allah. Menurut Rayan, misi kristiani ialah berpusat pada kehidupan manusia secara khusus memerhatikan kaum miskin dan tertindas. Rayan menulis beberapa karya, diantaranya Bretah of Fire. The Holy Spirit: Heart of the Gospel dan The Anger of God. [Lihat Samuel Rayan, Decolonization of Theology, Jnanadeepa, July 1998, Vol.1, No. 2, 140-141; bdk. Vijaya Joje Babu Valle, Becoming Indian, 119-120.]

26

(42)

zaman modern melalui kolonialisme. Mereka membawa liturgi, katekese, teologi, dan organisasi kegerejaan.27

Perjuangan Amaladoss dalam usaha kontekstualisasi teologi sudah mulai terbentuk sejak ia kecil. Lingkungan Amaladoss hidup dan bertumbuh pada umumnya beragama Hindu bahkan Amaladoss lebih mengenal kebiasaan- kebiasaan Hindu daripada Kristiani. Situasi demikian membuat Amaladoss menjadi pribadi yang terbuka dan menghormati perbedaan. Pertemuan dengan sannyasis Hindu membuat Amaladoss semakin mengagumi filsafat, spiritualitas, kebudayaan Hindu. Pada saat menjalani studi filsafat, terjadi Konsili Vatikan II sehingga hal ini membawa angin segar untuk Gereja Katolik. Peristiwa Konsili Vatikan II untuk Amaladoss sangat bermakna karena Konsili Vatikan II memantik sebuah era baru dalam berdialog dengan agama-agama dan kebudayaan- kebudayaan lain yang sebelumnya tidak pernah dilakukan.28

Usai menyelesaikan studi doktoralnya, Amaladoss mengemban banyak tanggung jawab. Amaladoss menjadi dosen di India, Chennai, dan Filipina, yang membuatnya banyak melakukan diskusi tentang inkulturasi dan dialog.

Amaladoss juga memprakarsai banyak hal seperti mendirikan pusat teologi untuk Jesuit yang mengakomodir penggunaan bahasa lokal dan melakukan interaksi langsung dengan konteks yang ada (live-in) di beberapa tempat yang berbeda untuk merasakan situasi yang terjadi. Amaladoss menawarkan suatu refleksi teologi berdasarkan kitab suci dari agama-agama lain untuk bisa digunakan dalam

27 Michael Amaladoss, The Asian Jesus (New York: Maryknoll Orbis Books, 2006), 1.

28

(43)

liturgi Katolik. Amaladoss mengembangkan sebuah spiritualitas Kristen India dan sadhana (metode untuk berdoa), mengembangkan teologi India, dan bagaimana menyesuaikan gerak-gerik dan simbol-simbol India ke dalam Ekaristi yang bernuansa Ritus Romawi. Pada kongres misi Asia di Manila tahun 1979, Amaladoss membagikan pemikiran dan pengalamannya dalam usaha kontekstualisasi teologi untuk beberapa negara Asia secara khusus Asia Tenggara.29

Pada tahun 1983, Amaladoss mendapat tugas sebagai asisten superior Jendral Serikat Yesus di Roma. Selama bertugas di Roma, Amaladoss menaruh perhatian kepada misiologi. Amaladoss membagikan artikel pertamanya berkaitan dengan dialog yaitu Faith Meets Faith pada Kongres Asosiasi Misi Katolik Amerika di Baltimore. Artikel Faith Meets Faith Amaladoss mendapat banyak kritikan tetapi kritikan tersebut menjadi penyemangatnya untuk mengembangkan lagi pemikirannya tentang misi dan dialog.30

Amaladoss memprakarsai dalam pendirian sebuah lembaga teologi Asia (India) di Roma dan mengadakan banyak pertemuan. Selama berada di Roma, Amaladoss tetap berkomunikasi dengan India dan Asia dengan melakukan kunjungan ke Asosiasi Teolog India dan Konferensi Uskup Se-Asia. Usaha Amaladoss dalam mengkontekstualisasi teologi mendapat banyak kritik dari berbagai pihak. Amaladoss lebih ingin disebut sebagai seorang misiolog

29 Michael Amaladoss, “My Pilgrimage in Mission”, 22.

30

Gambar

Diagram Model Terjemahan  Nama lain  : Akomodasi; adaptasi
Diagram Model Antropologis  Nama lain  : Indigenasi, Model Etnografis
Diagram Model Praksis
Diagram Model Sintesis  Nama lain  : Model dialogal, model analogal
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis dibantu oleh berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung sehingga pada kesempatan ini penulis menyampaikan

Buat semua pihak yang secara langsung atau tidak langsung mendukung penulis maupun yang tidak mendukung penulis dalam menyelesaikan studi dan skripsi.. Akhir

Oleh karena itu, terkait dengan tradisi yang ada di Indonesia secara umum dan melihat bahwa ada beberapa tradisi Jawa yang dilakukan oleh GKJ Pondok Gede, maka penulis mencoba

Akan tetapi, penulis melihat bahwa melihat narasi ini secara utuh sebagai satu kesatuan layak diperhitungkan karena narasi ini telah menjadi ingatan dalam tradisi Israel sebagai

Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa visi cosmotheandric Raimundo Panikkar membantu penulis membuat analisis dimana teori tersebut secara langsung dapat

Dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis dibantu oleh berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung sehingga pada kesempatan ini penulis menyampaikan

Dari observasi yang penulis lakukan yaitu melihat secara langsung saat penyiar membawakan acara Numpang Nampang, penulis melihat bahwa sang penyiar sudah menerapkan perannya dengan baik

Melihat dan mengamati secara langsung kehadiran dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan budaya, seni atau tradisi lokal yang memiliki nilai dakwah kultural di Desa Tajau Pecah..