BAB IV KRISTOLOGI MICHAEL AMALADOSS DAN JOSEPH
4.3 Enam Model Teologi Kontekstual Stephen B. Bevans
4.3.6 Model Budaya Tandingan
16
Diagram Model Budaya Tandingan
Nama lain : Model perjumpaan, model keterlibatan, model profetis, model kontras, model konvensional
Landasan Kitab Suci : Tradisi kenabian, gagasan Yohanes tentang “dunia”, dan Tradisi Rm 12:2, 1Kor 1:23, 1Ptr 1:1, Tertulianus, Surat
Diogenetus, tradisi monastik, tradisi Anabaptis, Dorothy Day
Pewahyuan : Narasi dan cerita, “fakta” Yesus Kristus Kitab Suci, Tradisi : “petunjuk” tentang makna sejarah, paripurna,
walaupun pemahaman manusia tentangnya tidak lengkap, dapat dipahami secara lebih utuh melalui pemahaman tentang kebudayaan-kebudayaan lain Konteks : Secara radikal bersifat ambigu dan berlawanan dengan
Injil, tidak setara dengan Kitab Suci/Tradisi
Metode : Komitmen terhadap narasi Kristen sebagai petunjuk kepada sejarah, menggunakan narasi itu sebagai lensa untuk menafsir, mengkritik dan menantang konteks Analogi : Tanah harus disiangi dan dipupuk agar benih dapat
ditanam
Tokoh : “Relevansi yang menantang” (Hogg), “Pemenuhan subversif” (Kraemer)
Penilaian : - Positif: keterlibatan yang teguh dalam konteks dan kesetiaan terhadap Injil, relevan untuk konteks Barat - Negatif: ada bahaya menjadi anti-budaya; bahaya menjadi sektarianisme, cenderung bersifat
monokultural, bahaya eksklusivisme
4.4 Kristologi Michael Amaladoss dan Joseph Ratzinger dalam Terang Model-Model Teologi Kontekstual Stephen B. Bevans
Sejumlah besar buku dan teologi telah menggunakan istilah model dalam metode pendekatan terhadap satu pembahasan teologis tertentu. Pada tahun 1976, Peter Schineller menerbitkan sebuah tulisan yang mengedepankan empat model sistematis di bidang kristologi dan ekklesiologi. Pasca Konsili Vatikan II, Avery Dulles menulis karya yang berjudul Model-Model Gereja yang memberi perhatian pada kekuatan menggunakan model untuk memilah persoalan-persoalan di bidang teologi. Tidak ada satu model pun mampu menangkap realitas yang sedang dibicarakan tetapi setiap model dapat membantu seseorang untuk masuk ke dalam misteri realitas itu melalui jalan penalaran. Dalam bagian ini, penulis seturut analisis Bevans akan menyajikan bagaimana model-model yang diuraikan Bevans digunakan sebagai deskripsi atas berbagai pilihan yang tersedia untuk kristologi Amaladoss dan Ratzinger yang tentunya memiliki komitmen untuk berteologi dalam bingkai konteks budaya, sejarah, dan sosial tertentu.17
Berdasarkan model-model yang ditawarkan Bevans, penulis akan menggolongkan model kristologi Amaladoss dan Ratzinger. Menurut penulis, teori Bevans tidak ingin memberikan penilaian apakah suatu teologi-kristologi yang satu itu lebih baik, benar, dan tepat dari pada teologi-kristologi yang lain tetapi teori Bevans ingin mengukur sejauh mana konteks diperhatikan, dan tetap berpegang teguh pada Kitab Suci dan tradisi dalam menyusun suatu risalah
17
teologi-kristologi. Pada bagian berikut, penulis menggunakan model-model teologi kontekstual Bevans untuk menganalisa model apakah yang mendekati teologi-kristologi Amaladoss dan Ratzinger.18
4.4.1 Kristologi Michael Amalados: Sebuah Model Antropologis
Menurut Bevans, model antropologi sangat menekankan pegalaman manusia. Pengalaman manusia yang dibatasi namun juga serentak terpenuhi dalam kebudayaan, perubahan sosial, lingkungan geografis dan historis dipandang sebagai kriteria penilaian yang mendasar menyangkut apakah satu pengungkapan kontekstual tertentu dikatakan sejati atau tidak. Allah menyatakan kehadiran-Nya dalam seluruh pengalaman manusia. Untuk Bevans, teologi memperhatikan dan mendengarkan situasi untuk menyatakan kehadiran Allah yang tersembunyi dalam struktur-struktur biasa.19
Dalam analisis Bevans, model antropologis memberi perhatian khusus pada jati diri budaya yang otentik. Manusia dapat menemukan Allah dalam budaya. Kitab Suci merupakan produk pengalaman religius yang dibentuk secara sosial dan doktri dibentuk oleh berbagai kebudayaan dan kepentingan sosial-politik. Untuk Bevans, model antropologis bersandar pada suatu keyakinan akan kebaikan ciptaan. Untuk itu, sikap dasar seorang praktisi model antropologis
18 Bdk. Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual, 261.
19
adalah kiblat yang terpusat pada ciptaan sehingga titik tolak model antropologi adalah kebudayaan.20
Untuk Bevans, model antropologis menggunakan kebijaksanaan dari dialog antaragama dan darinya sebuah teologi yang peka pada budaya dirumuskan. Kekuatan model antropologis berasal dari kenyataan bahwa ia melihat realitas manusia. Model antropologis menyatakan bahwa pewahyuan itu tidak merupakan sebuah pewartaan tetapi hasil dari suatu perjumpaan dengan Allah dalam pegalaman hidup. Pemahaman model antropologis tentang Kitab Suci dan tradisi sebagai serangkaian teologi-teologi lokal jauh lebih sejalan dengan ilmu pengetahuan kontemporer.21
Bevans mengatakan bahwa model antropologis melihat agama Kristen dalam satu terang yang baru dan segar. Model antropologis menekankan bahwa menjadi seorang Kristen ialah menjadi manusia yang sesungguhnya. Model antropologis menekankan modelnya yang berangkat dari tempat umat berada dengan berbagai persoalan dan kepentingan nyata umat.22
Dalam The Asian Jesus, Amaladoss berbicara mengenai Yesus Kristus untuk orang Asia dengan mengidentifikasi secara eksplisit dalam gambaran yang dekat dengan berbagai elemen yang ada di sekitar masyarakat Asia. Dalam The Asian Jesus, Amaladoss berbicara tentang bagaimana harus memahami Yesus di
20 Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual, 100-103
21 Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual, 104-106.
22
Asia. Dalam bukunya, Amaladoss mengeksplorasi beragam gambar tentang Yesus Kristus dalam konteks Asia khususnya Yesus Kristus konteks India dalam berbagai peristiwa yakni mulai dari lahir, hidup, berkhotbah, dan meninggal di Asia. Menurut Amaladoss, Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus Kristus harus menyentuh dan mewujud dalam konteks Asia yang dicirikan dengan kemiskinan, pluralitas agama, dan pluralitas budaya.23
Dalam awal bukunya, Amaladoss menulis bahwa Yesus Kristus berasal dari Asia: lahir, besar, hidup, mengajar, dan wafat di Asia. Dalam era modern, Yesus dibawa ke Asia oleh para misionaris Barat (Euro-Amerika) dan menjadi tampak sebagai seorang Barat. Gambaran Yesus yang Barat mendapat reaksi yang tidak baik ketika diperkenalkan di Asia. Gambaran-gambaran Yesus yang dibawa oleh para misionaris tidak mampu memberi jawaban bagi konteks Asia yang meniliki ciri kemiskinan, pluralitas budaya, dan pluralitas agama.24
Dalam meneguhkan pendapatnya sesuai konteks Asia, Amaladoss mendeskripsikan Yesus dengan gambaran yang direfleksikan berdasarkan sejarah Kristianitas yang dijelaskan secara detail dalam Perjanjian Baru, Injil, dan tradisi Gereja. Setiap gambaran Yesus Asia selalu dilatarbelakangi oleh gambaran Kitab Suci: Injil dan tradisi Gereja dan tentunya pandangan agama-agama yang ada di Asia. Amaladoss merefleksikan bahwa Yesus yang sesuai dengan konteks Asia harus berdialog dengan realitas Asia yaitu kemiskinan, pluralitas budaya, dan
23 Bdk. Michael Amaladoss, The Asian Jesus, 1.
24
pluralitas agama. Amaladoss merangkum bahwa ada sembilan gambaran Yesus yang sesuai untuk konteks Asia.25
Amaladoss mengambil sembilan gambaran Yesus dari kebiasaan, pengalaman personal atau komunal, kebudayaan, kepercayaan, dan situasi sosial secara umum yang terjadi di Asia. Sebagai contoh, penulis mengambil satu gagasan kristologi Amaladoss untuk melihat bagaimana ia menyusun teologi-kristologinya. Dalam gambaran pertamanya tentang Yesus, Amaladoss menggambarkan Yesus sebagai orang bijaksana (Sage). Gambaran Amaladoss tentang Yesus sebagai orang bijaksana diambil dari nilai-nilai kebijaksanaan yang terdapat dalam kebudayaan Asia seperti pepatah, cerita-cerita, perumpamaan-perumpamaan, dan pandangan filosofis dalam suatu budaya tertentu. Dari semua penjelasan itu, Amaladoss menyimpulkan bahwa Yesus Kristus sebagai orang yang bijksana. Gambaran demikian diteguhkan dengan sabda-sabda Kitab Suci seperti dalam Luk 11:49-50, Mat 23:34-45, Luk 10:25-37, Mat 7:28-29.
Amaladoss juga memerlihatkan cara-cara untuk menjadi bijaksana seperti Yesus melalui sabda-sabda Kitab Suci yaitu Mat 7:28-29, Mat 5-7, Mat 21:12-15, Luk 7:36-38, Mat 5:3-10.26
Dalam analisis penulis, secara umum metode yang digunakan untuk menggambarkan Yesus dalam The Asian Jesus dalam gambaran tentang Yesus sebagai orang bijaksana di atas, Amaladoss berangkat dari pengalaman masa kini
25 Bdk. Michael Amaladoss, The Asian Jesus, 2.
26
konteks Asia yaitu kebudayaan Asia, lokasi sosial Asia, dan perubahan sosial yang terjadi di Asia. Menurut penulis, Amaladoss melihat konteks Asia sebagai kebudayaan autentik dan khas yang tidak dimiliki bangsa mana pun terutama konteks di Barat. Amaladoss menilai konteks Asia menjadi sumber untuk teologi.27
Menurut penulis, dalam menggambarkan Yesus, Amaladoss tidak serta merta mengagungkan konteks Asia melainkan ia melihat sembilan gambaran Yesus Kristus dari sisi Kitab Suci. Seturut teori Bevans, penulis dapat mengatakan bahwa Amaladoss tidak mendekati Kitab Suci sebagai suatu pewartaan partikular atau seperangkat doktrin yang dibungkus atau diberi busana dalam pernak-pernik kebudayaan tetapi ia memahami bahwa Kitab Suci merupakan produk pengalaman-pengalaman religius yang dibentuk secara sosial dan kultural, yang muncul dari kehidupan bangsa Ibrani dan jemaat Kristen tertentu. Seturut refleksi ilmiah Bevans, penulis bisa berkata bahwa Amaladoss tidak melihat rumusan-rumusan doktrinal menyangkut tradisi sebagai kata-kata yang secara langsung diilhami dari surga, tetapi memandang doktrin sebagai yang pada segala waktu selalu dibentuk oleh berbagai kebudayaan dan kepentingan sosio-politik Eropa Barat sehingga Kitab Suci dan tradisi Kristen dapat berfungsi sebagai peta atau penunjuk untuk mendalami Yesus Kristus dalam konteks aktual Asia.28
27 Bdk. Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual, 98-100.
28
Dengan menggunakan pemikiran Bevans, penulis dapat menyatakan bahwa Amaladoss lebih condong melihat teologi-kristologi yang terpusat pada ciptaan daripada teologi penebusan. Kecondongan ke arah teologi yang terpusat pada ciptaan dapat dilihat dari pernyataannya tentang keselamatan yaitu bagaimana keselamatan bisa sampai pada orang yang beragama lain. Teologi yang terpusat pada ciptaan memandang pengalaman manusia dan kebudayaan sebagai tempat pewahyuan Allah melalui Yesus Kristus.
Penulis dapat mengatakan bahwa tempat pewahyuan Allah melalui Yesus Kristus untuk konteks Asia terjadi dalam setiap pengalaman dan kebudayaan Asia. Penulis juga dapat menyatakan bahwa kristologi Amaladoss bersandar pada suatu keyakinan akan kebaikan ciptaan.29 Hal ini dapat kita lihat dari pernyataan Asosiasi Teolog India yang menyatakan bahwa bagi orang Kristen, Yesus Kristus adalah simbol Allah yang sempurna yang membawa kepenuhan kepada semua orang di dunia melalui sabda dan karya, tanda-tanda dan mukjizat. Namun, keunikan Yesus ini tidak seharusnya menggantikan simbol-simbol dalam agama lain. Teolog India mengafirmasi bahwa semua keselamatan berasal dari Allah, dalam dan melalui Kristus. Iman kristiani tidak boleh diingkari dan harus diafirmasi tetapi permasalahannya di India ialah bahwa pernyataan semua keselamatan berasal dari Allah, dalam, dan melalui Yesus Kristus berhadapan
29
dengan afirmasi lain yang mengatakan bahwa agama lain merupakan fasilitator keselamatan atau perjumpaan yang ilahi dengan manusia.30
Melihat penjelasan di atas, penulis dapat mengatakan bahwa secara umum Amaladoss menyusun teolog-kristologinya mendekati model antropologis yang ditawarkan oleh Bevans. Amaladoss sangat menekankan konteks Asia yang multikultural, multi religius, dan kemiskinan dalam menjelaskan kedudukan Yesus untuk orang Asia. Dalam kesimpulannya, Amaladoss menyatakan bahwa keselamatan di dalam Kristus menjangkau orang-orang dengan cara yang berbeda.
Orang-orang Kristen memanfaatkannya melalui hubungan iman yang langsung dan sadar dalam Yesus Kristus, tergerak sebagaimana adanya oleh Roh Kudus.
Tidak ada upaya untuk menyamakan tokoh-tokoh simbolis dalam budaya dan agama-agama yang ada dengan Yesus Kristus atau menganggap mereka sebagai mediasi paralel. Kita harus mengakui pluralisme dari mediasi (yang berpartisipasi, tetapi nyata) dalam kehidupan dan sejarah masyarakat dan kelompok. Mengakui pluralisme sama sekali tidak berarti penolakan atas keunikan sumber atau penegasan iman kita yang menghubungkan keselamatan semua orang dengan apa yang telah dilakukan Allah dalam Yesus Kristus.31
Seturut deskripsi Amaladoss, penulis dapat menyimpulkan bahwa umat Kristiani dipanggil untuk memberitakan dan bersaksi tentang Yesus Kristus, bukan kepada kristologi, dan berdasarkan konteks ke-Asia-an kita. Kita
30 Bdk. Michael Amaladoss, “The Mistery of Christ and Other Religions: An Indian Perspective”, 327.
31
diharapkan untuk berbagi pengalaman, bukan untuk mengulangi credo. Kita diundang untuk mengenali, menghormati, dan menerima pengalaman Allah yang kaya yang dimiliki orang lain dalam agama mereka sebelum berbicara dengan mereka tentang pengalaman kita sendiri tentang Allah dalam Yesus Kristus.32
4.4.2 Kristologi Joseph Ratzinger: Sebuah Model Budaya Tandingan
Menurut Ratzinger, Yesus Kristus merupakan dasar bagi seluruh pengalaman Kristen dan untuk setiap aspek refleksi teologis dalam tradisi Kristiani. Teologi-kristologi Ratzinger tidak ingin menggambarkan Yesus Kristus dalam bentuk antroposentrisme yang terjadi dalam teologi Katolik abad kedua puluh. Kristologi Ratzinger sebagai “dialogis” karena bentuknya mengikuti Sabda Allah dan tanggapan manusia sepanjang sejarah. Dialog antara Allah dan manusia membentuk narasinya sendiri sepanjang sejarah keselamatan. Pribadi Yesus Kristus merupakan kesempurnaan dan kepenuhan dialog, baik sebagai Allah yang berbicara kepada manusia maupun manusia yang menanggapi Allah.
Refleksi Ratzinger tentang misteri Yesus berfokus sebagai orang yang melihat Allah dari muka ke muka dalam doa, dan Yesus merupakan orang yang sungguh dapat menyatakannya: “Tidak seorang pun yang pernah melihat Allah;
tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dia-lah yang menyatakan-Nya” (Yoh. 1:18). Ratzinger melihat Yesus sebagai nabi terakhir,
32
orang yang melampaui Musa, nabi terbesar dari Perjanjian Lama. Musa berbicara kepada Allah ‘dari wajah ke wajah’ sebagai seorang teman (Kel. 33:11 dan Ul.
34:10). Musa masuk ke dalam awan tempat Allah hadir, tetapi Ia tidak bisa melihat wajah Allah. Allah tersembunyi di celah batu dan Musa hanya melihat punggung Allah (Kel. 33: 20-33). Yesus melihat Bapa dari wajah ke wajah, karena Ia adalah yang paling dekat dengan Bapa, Ia dapat membuat Bapa dikenal secara pasti.
Untuk penulis, cara Ratzinger merefleksikan Yesus Kristus demikian dekat dengan pemikiran Bevans yang menyatakan bahwa Ratzinger menimba sumber yang kaya dari Kitab Suci dan tradisi. Dari Kitab Suci, model ini merujuk pada literatur kenabian yang sarat budaya tandingan dari Perjanjian Lama dan dunia Perjanjian Baru. Ratzinger memerlihatkan sosok Yesus yang ia maksud sudah diwahyukan dalam Perjanjilan Lama sebagaimana digambarkan dalam peristiwa Musa melihat Allah dari muka ke muka. Pemikiran ini menunjuk bahwa bagi Ratzinger mengakui bahwa Injil mewakili suatu cara pandang atas dunia yang mencakup segala sesuatu yang berbeda dan membedakan Injil secara mendasar dari pengalaman manusia tentang dunia dan kebudayaan yang merupakan ciptaan manusia.33
Ratzinger memahami bahwa karena sosok Yesus itu historis, Ia dengan tepat didekati dengan metode analisis kritis. Namun, pendekatan
33
kritis yang terpisah dari pendekatan hermenutika iman tidak cukup untuk mengetahui sepenuhnya tentang Yesus Kristus. Dalam mengembangkan teologi dan penafsiran Alkitab, Ratzinger menegaskan bahwa penafsiran ilmiah harus mengakui bahwa pendekatan hermeneutika iman yang dikembangkan dengan baik sesuai dengan teks dapat digabungkan dengan pendekatan hermeneutika historis-kritis.
Dalam analisis penulis, upaya Ratzinger memahami Yesus Kristus dengan dua pendekatan yaitu historis-kritis dan hermeneutika iman ingin menunjukkan bahwa satu pendekatan yang popular pada zaman ini yaitu historis-kritis tidak memadai untuk menelisik Yesus Kristus. Pendekatan ini hanya akan menampilkan Yesus Kristus dari sisi manusiawi saja. Yesus Kristus bukan saja sosok yang menyejarah namun juga sosok yang menjadi utama dalam kehidupan iman Kristiani dan Gereja. Dengan menambahkan pendekatan hermeneutika iman, Ratzinger ingin menunjukkan fungsi kritis yang diperankan hermeneutikan iman berhadapan dengan konteks manusiawi. Hal ini senada dengan pendapat Bevans yang menyatakan bahwa konteks manusiawi merupakan sesuatu yang harus diganti oleh konteks yang berciri murni religius seperti yang ditampilkan oleh sejumlah orang Kristen.34
Menurut Ratzinger, Alkitab tidak dapat dipahami di luar keseluruhan metodologis hermeneutik iman dan hermeneutik historis-kritis yang dapat
34
menimbulkan tegangan. Mereka secara bersama membentuk satu perspektif otentik tentang sifat dan substansi dari wahyu dalam Kitab Suci dan tradisi.
Hermeneutika iman Ratzinger ini menggambarkan penafsiran yang berasal dari Gereja seperti diuraikan dalam Dei Verbum 12.
Penggambaran Ratzinger tentang Yesus dari Injil menarik, tetapi juga memberikan batu sandungan bagi dunia kontemporer yang terbiasa dengan pola pikir objektivitas sebagai kerangka berpikir dalam konteks pluralistik agama.
Klaim Yesus yang mengidentifikasikan diri-Nya sebagai Allah menjadi batu sandungan untuk dunia kontemporer yang semakin menekankan pluralisme agama. Ratzinger lebih menampilkan gambaran yang lebih pribadi dan bahkan intim tentang wahyu Allah di dalam Kristus. Jika klaim itu lebih umum dan lebih bercorak filsafat, kesulitan ini akan hilang. Namun, Ratzinger mengambil pendekatan naratif terhadap teologi, sehingga ada kebutuhan untuk mengikuti polanya dengan membaca teliti dari satu kisah yang diceritakan.35
Ratzinger menolak upaya penafsiran yang terlepas dari sejarah dan hanya menggunakan Injil sebagai sarana menuju pemahaman spiritual. Misalnya, Ratzinger menolak apa yang disebut teori Injil Yohanes sebagai puisi Yesus yang terlepas dari realitas sejarah. Iman yang mengabaikan sejarah akan berubah menjadi Gnostisisme. Ia menjadi daging, inkarnasi. Menurut Ratzinger, apabila
35
Yesus bukan Sabda Kekal yang turun dari atas dan menjadi daging dalam sejarah, maka tidak ada makna spiritual di dalam diri-Nya.
Hal ini senada dengan pendapat Bevans bahwa dalam pencarian Yesus Kristus kebudayaan tidak terlalu dianggap. Namun, satu hal yang perlu dicatat bahwa kenyataannya bahwa pewahyuan ditawarkan kepada manusia dalam satu bentuk budaya dan sejarah tertentu atau dapat dikatakan bahwa tak ada Injil yang bebas budaya. Ketika Injil hendak dikomunikasikan secara memadai dan autentik, hal itu harus dilakukan dengan memerhatikan secara seksama semua segi konteks yang di dalamnya Injil dimaklumkan. Dalam analisis Bevans, kontekstualisasi yang benar memberikan keutamaan yang sepatutnya disandang Injil, dayanya untuk menerobos setiap kebudayaan dan berbicara dalam setiap kebudayaan dalam bahasa dan simbolnya sendiri. Konteks manusiawi tidak pernah memadai dan menjadi dasar yang kuat untuk penerimaan secara autentik atas kebenaran Kristen karena Injil menggugat suatu kebudayaan termasuk kebudayaan saat Injil pada mulanya menjelma.36
Dengan menggunakan pendekatan Bapa Gereja terhadap kristologi, Ratzinger mengoreksi tradisi neoskolastik yang cenderung memisahkan pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat keselamatan dari landasan filsafat doktrin kristologi, termasuk sifat dan cara persatuan hipostatis, pengetahuan dan kehendak Kristus, dll. Ratzinger muncul sebagai tokoh dalam teologi
36
konsili yang berusaha untuk menghubungkan kembali masalah kristologi dengan yang soteriologi dan menyatukan kembali refleksi teologi tentang Yesus Kristus dengan konteks Kitab Suci. Yesus Kristus yang sungguh Allah dan sungguh manusia yang mendamaikan kemanusiaan dan keilahian dalam sengsara dan kematian-Nya di kayu salib telah menyatukan unsur kemanusiaan dan keilahian dalam diri-Nya sendiri dalam inkarnasi. Identitas dan karya-Nya adalah satu. Cara pikir Ratzinger tersebut memerlihatkan hal yang sama seperti yang dipikirkan Bevans bahwa dari tradisi, kita dapat membangun wawasan tentang Yesus Kristus dari pandangan berbagai tokoh seperti Tertulianus, praktik hidup monastik, dan masih banyak lagi.
Untuk Ratzinger, kepenuhan identitas Sabda Allah yang diucapkan dalam konteks iman Gereja, di antara umat Allah, adalah pribadi Yesus Kristus. Yesus Kristus muncul dari tradisi Kitab Suci dan merupakan puncak dari pewahyuan Kitab Suci sehingga Ia adalah kunci untuk penafsiran Kitab Suci. Yesus Kristus harus didekati dari Kitab Suci dan tradisi. Apa yang telah disampaikan dengan iman sejak zaman Abraham sampai Yohanes Pembaptis diorientasikan pada kedatangan Yesus Kristus. Melalui kedatangan Yesus Kristus, tradisi Gereja memiliki alasan untuk dipahami dan disesuaikan makna identitasnya dan bagaimana ia mencapai perjanjian baru dan abadi antara Allah dan manusia.
Upaya memahami sosok Yesus sejak awal penuh dengan kesulitan. Injil menawarkan semacam paradoks ketika berbicara menyangkut hubungan Yesus dengan tradisi dan penggenapan Kitab-kitab Ibrani. Ratzinger menggunakan
pendapat Ernst Käsemann untuk menjelaskan paradoks ini: untuk penafsir modern, Yesus semacam atau seorang revolusioner liberal atau seorang tradisionalis yang saleh. Bagian-bagian Injil memberi dukungan untuk kesimpulan ini. Di satu sisi, ada peringatan yang Yesus berikan bahwa jika ada orang yang menyimpang jauh dari tuntutan hukum Taurat, seseorang itu “tidak akan disebut di dalam Kerajaan Sorga” (Mat 5:19). Namun, Yesus menghormati hukum Taurat ketika Ia mengingatkan orang-orang Farisi bahwa Sabat “dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk hari Sabat” (Mrk 2:27). Yesus Kristus tidak memilih di antara pandangan-pandangan ini, tetapi membiarkan ketegangan yang terjadi berbicara untuk seluruh kebenaran identitas-Nya. Untuk penulis, Ratzinger menyatakan bahwa Injil mewakili suatu cara pandang atas dunia yang mencakup segala sesuatu yang berbeda dan membedakan Injil secara mendasar dari pengalaman manusia tentang dunia dan kebudayaan yang merupakan ciptaan manusia.37
Seturut deskripsi Ratzinger, penulis dapat menyimpulkan bahwa cara Ratzinger dalam merefleksikan Yesus Kristus dalam terang model-model teologi kontekstual Stephen B. Bevans mendekati model budaya tandingan. Model budaya tandingan secara sangat sangat serius mengindahkan konteks (pengalaman, kebudayaan, lokasi sosial, dan perubahan sosial). Hal ini dapat kita lihat dari uraian kristologi Ratzinger yang selalu mengunakan Kitab Suci sebagai
37
dasar refleksi dan yang juga tidak kalah penting penggunaan konteks terlebih konteks pemikiran filsafat Yunani abad keempat.
Model budaya tandingan mengakui bahwa manusia dan segala
Model budaya tandingan mengakui bahwa manusia dan segala