BAB II SEMBILAN GAMBARAN YESUS KRISTUS DI ASIA:
3.4 Gagasan Kristologi Joseph Ratzinger
3.4.3 Yesus Kristus sebagai Kunci Memahami Kitab Suci dan Tradisi
Muncul pertanyaan ketika memahami Logos yang dalam Alkitab disebut sebagai pribadi: seperti apa pribadi yang dimaksud ini? Nilai apa yang bisa diperoleh dari pribadi ini? Apa hubungan utamanya? Apa rencana dan tujuan pribadi ini? Untuk Ratzinger, kepenuhan identitas Sabda Allah yang diucapkan dalam konteks iman Gereja, di antara umat Allah, adalah pribadi Yesus Kristus.
Yesus Kristus muncul dari tradisi Kitab Suci dan merupakan puncak dari pewahyuan Kitab Suci sehingga Ia adalah kunci untuk penafsiran Kitab Suci.
Yesus Kristus harus didekati dari Kitab Suci dan tradisi. Apa yang telah disampaikan dengan iman sejak zaman Abraham sampai Yohanes Pembaptis diorientasikan pada kedatangan Yesus Kristus. Melalui kedatangan Yesus Kristus, tradisi Gereja memiliki alasan untuk dipahami dan disesuaikan makna identitasnya dan bagaimana ia mencapai perjanjian baru dan abadi antara Allah dan manusia.70
Upaya memahami sosok Yesus sejak awal penuh dengan kesulitan. Injil menawarkan semacam paradoks ketika berbicara menyangkut hubungan Yesus dengan tradisi dan penggenapan Kitab-kitab Ibrani. Ratzinger menggunakan pendapat Ernst Käsemann untuk menjelaskan paradoks ini: untuk penafsir modern, Yesus semacam atau seorang revolusioner liberal atau seorang tradisionalis yang saleh. Bagian-bagian Injil memberi dukungan untuk kesimpulan
70
ini. Di satu sisi, ada peringatan yang Yesus berikan bahwa jika ada orang yang menyimpang jauh dari tuntutan hukum Taurat, seseorang itu “tidak akan disebut di dalam Kerajaan Sorga” (Mat 5:19). Namun, Yesus menghormati Hukum Taurat ketika Ia mengingatkan orang-orang Farisi bahwa Sabat “dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk hari Sabat” (Mrk 2:27). Yesus Kristus tidak memilih di antara pandangan-pandangan ini, tetapi membiarkan ketegangan yang terjadi berbicara untuk seluruh kebenaran identitas-Nya. Ratzinger menunjukkan bahwa Yesus taat pada tradisi. Lalu, untuk apa Yesus taat?71
Untuk Ratzinger, identitas dasar Yesus bukanlah sebagai pengikut tradisi atau sebagai seorang revolusioner. Dia pada dasarnya bukan seorang revolusioner liberal, juga bukan seorang tradisionalis yang saleh. Sebaliknya, identitas Yesus yang paling mendasar adalah sebagai Putera Bapa. Karena Bapa adalah pembuat perjanjian, manusia dapat melihat di dalam Putera pemenuhan perjanjian baik dari sisi ilahi maupun manusia. Yesus menegaskan hubungan perjanjian di masa lalu dan selalu kritis terhadap berbagai hal. Yesus Kristus kritis agar perjanjian dapat dipenuhi oleh seluruh umat Allah di masa depan. Penggenapan perjanjian ini menarik manusia ke dalam Putera Allah yang merupakan inti dari identitas Yesus Kristus.72
71 Joseph Ratzinger, Principles of Catholic Theology: Building Stones for a Fundamental Theology (San Francisco: Ignatius Press, 1987), 95; Christoper S. Collin, The Word Made Love, 98-99.
72
Lebih dari sekadar pertanyaan filsafat, realitas pribadi ilahi yang masuk ke dalam sejarah manusia merupakan pertanyaan tentang memasuki sebuah kisah.
Dalam pendekatan Ratzinger, identitas Yesus sebagai Putera Bapa terungkap dari identifikasi diri-Nya dengan Sabda. Dalam bab pembukaan jilid pertama Jesus of Nazareth, dalam uraiannya tentang baptisan di sungai Yordan, Yesus ditampilkan sebagai Putera Bapa yang terkasih. Pada permulaan pelayanan publik dan penolakan terhadap godaan setan di padang pasir, Yesus memerlihatkan hubungan-Nya dengan Bapa sebagai pusat identitas-Nya. Komunikasi dengan Bapa-Nya di kayu salib merupakan ciri utama identitas Yesus sebagai Putera Bapa. Identitas ini dibuka dan diperluas kepada para pengikut-Nya ketika Yesus mengajar mereka untuk berdoa. Identitas Yesus sebagai Putera juga menandai identitas inti dari Gereja sebagai Putera-putera Bapa.73
Pernyataan Yesus sebagai Putera tidak hanya terlihat dalam Alkitab (misalnya, Bapa dan Aku adalah satu) tetapi ditemukan seluruh narasi pribadi Yesus. Kita melihat bahwa inti dari kepribadian Yesus sebagai Putera Bapa terlihat dari ketaatan-Nya. Ketaatan Yesus terlihat jelas saat Ia menghadapi penderitaan dan kematian. Dalam buku Principle of Theology Catholic seperti yang dijelaskan dalam buku Introduction to Christianity, Ratzinger mengacu pada pengamatan dari salah satu sumber penafsiran Alkitab yaitu Heinrich Schlier.
Justru karena identitas Yesus sebagai Putera Bapa, ada cara untuk memahami hubungan dari inkarnasi dan salib, dan apa yang diungkapkan Allah melalui dua
73
cara pandang inti iman Kristen. Sabda saja tidak cukup mengkomunikasikan dua bentuk pewahyuan: dari inkarnasi ke salib. Relasi yang melekat dan aspek sentral dari status Putera sebagai cinta membawa makna dari dua peristiwa ini dalam kehidupan Yesus Kristus sebagai Putera. Siapa Yesus dan apa yang Dia capai menyatu ketika Yesus dilihat terutama dari identitasnya sebagai Putera. Ratzinger menyatakan bahwa dalam Surat kepada Orang-orang Ibrani inkarnasi diartikan sebagai suatu peristiwa yang secara mendasar merupakan dialog (sabda-peristiwa) dalam tindakan doa antara Allah Bapa dan Puetra Allah (Ibr 10: 5) dan inkarnasi dilihat sebagai persembaan di kayu salib oleh Juruselamat. Dialog Bapa dan Putera, dan dialog dalam Roh berlanjut sampai ke Kalvari. Status putera Yesus dari inkarnasi ke salib adalah dasar bagi ungkapan sempurna kasih Allah bagi manusia dan manusia untuk Allah.74
Pemahaman tentang Logos melalui proses penelusuran historis dan teologis dalam tradisi Kristen, melalui berbagai tahapan makna: dari ratio ke verbum dan ke penelusuran verbum yang dikomunikasikan sebagai prosōpon (person/pribadi), merupakan ciri utama dari Putera (filius). Dalam permenungan Ratzinger tentang pribadi Yesus tampaknya, meskipun tidak mengecualikan pentingnya cara-cara kristologi lainnya, Putera Bapa mengambil tempat istimewa di antara banyak gelar dan cara pemahaman Yesus. Ratzinger mencatat bahwa pertanyaan-pertanyaan tentang identitas Yesus muncul ketika orang banyak bertanya-tanya tentang pesan-Nya di dalam Injil, ketika mereka menuntut untuk
74
mengetahui dari mana Ia mendapatkan wewenang untuk berbicara seperti yang dilakukan-Nya.75
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Ratzinger melihat kembali gelar Yesus sebagai Putera. Apa yang Yesus katakan kepada dunia, perkataan-Nya mengalir langsung dari Bapa-perkataan-Nya. Menentang pendapat Harnack bahwa Yesus hanya berbicara tentang Bapa, Ratzinger menjawab bahwa Yesus hanya dapat berbicara tentang Bapa karena Ia adalah Putera, yang mengalami persekutuan dengan Bapa. Dimensi kristologi hadir dalam semua yang dikatakan dan dilakukan Yesus. Definisi kristologi identitas Yesus sebagai Putera bukanlah tambahan tetapi mengalir langsung dari identitas Bapa.76
Dalam jati diri Yesus sebagai Putera Bapa, terdapat ketegangan lebih lanjut dan ketegangan itu telah ada sepanjang tradisi teologi Kristen. Ketegangan terjadi pada teologi yang dibangun dari inkarnasi dan salib. Ratzinger mengakui bahwa tidak ada sintesis yang bisa menyelesaikan dua ketegangan ini. Sebaliknya, dua ketegangan itu harus tetap ada sebagai polaritas yang saling memperbaiki satu sama lain dan dengan saling melengkapi satu sama lain. Untuk Ratzinger, tugas teolog adalah mempertahankan polaritas ini dalam ketegangan satu sama lain. Dia mencatat tugas yang dilakukan oleh teolog dengan membawa dialog antara Allah para filsuf dan Allah alkitab dan dalam menyandingkan kategori ada (being) dan bertindak (doing). Karena dengan melihat sosok Yesus Kristus sebagai Logos
75 Joseph Ratzinger, Jesus of Nazareth: From the Baptism, 1-8.
76
yang menjadi daging, dalam teologi yang didasarkan pada inkarnasi, sebagaimana tradisi Yunani mengembangkannya, Sabda dipandang sebagai sesuatu yang menyatukan semua yang ada. Dengan peristiwa yang terjadi di kayu salib, Sabda dikomunikasikan bukan hanya sebagai sesuatu yang bermakna atau kejelasan atau bahkan hubungan sederhana, tetapi sebagai cinta itu sendiri: pemberian pribadi yang utuh untuk orang lain.77
Ketika melihat sosok Yesus Kristus, Ratzinger melihat bahwa jika Dia dipegang sebagai Sabda yang melalui-Nya segala sesuatu terjadi, jika Ia ada karena diri-Nya sendiri, Ia ada dan terlihat sebagai yang melakukan, sebagai yang keluar dari diri-Nya. Upaya yang dilakukan Ratzinger tersebut untuk menjaga polaritas inkarnasi dan salib dalam ketegangan satu sama lain. Ratzinger menilai bahwa teologi Kristen melihat kedua cara pikir itu saling menjauh satu sama lain.78
Dalam Konsili Vatikan II, teologi Kristen memiliki kecenderungan terlalu mudah untuk memisahkan teologi inkarnasi dan salib. Ratzinger mengingatkan terhadap gagasan yang terlalu maju tentang inkarnasi. Ratzinger menekankan perlunya salib dalam sejarah keselamatan, yang merupakan suatu tindakan kasih Allah yang tertinggi (actio divina amare), bukan hanya usaha sendiri (laborare).
Ratzinger mendesak Konsili untuk menjaga ketegangan antara inkarnasi dan salib agar tetap hidup, mempertahankan bahwa kristologi yang utuh dengan menjaga
77 Joseph Ratzinger, Introduction to Christianity, 168.
78
polaritas inkarnasi dan salib dalam dialog satu sama lain. Menurut Ratzinger ketegangan sangat penting jika Gereja ingin setia pada satu narasi Kristen yang diberikan dalam Kitab Suci. Di mata Ratzinger, tetap setia pada ketegangan juga memberikan landasan bagi pemaknaan antropologi yang lebih mendalam dan memberikan landasan bagi harapan yang lebih dalam dari sekadar optimisme tentang masa depan yang dilandasi ideologi tentang kemajuan (progress) manusia di era modern.79
Ratzinger berpendapat bahwa salib mengajak kita untuk mempertimbangkan kembali siapa Allah yang telah membiarkan diri-Nya dalam penghinaan dan kekalahan. Ratzinger menjelaskan bahwa dalam wajah Kristus yang disalibkan kita melihat Allah dan kita melihat kemahakuasaan sejati, bukan mitos kemahakuasaan. Di dalam Dia, kemahakuasaan sejati berarti mencintai hingga penderitaan yang mendalam untuk kita. Salib membuat jelas siapa Allah sebenarnya dan seperti apa cinta-Nya. Namun, mata kita tertutup ketika kita memandang Kristus yang tersalib. Melihat Yesus Kristus yang tersalib, kita sepertinya bukan melihat Allah melainkan melihat korban yang telah kalah.
Hanya dalam kontemplasi Logos yang diwahyukan sebagai pribadi Yesus, kita dihadapkan pada tantangan untuk melihat kemanusiaan dan keilahian dalam terang baru. Secara khusus, melalui hubungan Yesus sebagai Putera Bapa, kita
79
melihat apa yang menjadi kekuatan pendorong yang bekerja dalam hidup-Nya yaitu cinta.80
Manusia dapat dipimpin melampaui kematian menuju kehidupan kekal hanya dalam persekutuan dengan Yesus Kristus yang bangkit dan dengan Yesus yang telah mempersatukan dirinya dengan umat manusia dalam segala hal, dalam hidup, penderitaan, dan maut. Umat yang masuk dalam persatuan dengan Kristus menjadi anggota Tubuh Kristus dan Kristus sebagai kepalanya. Gereja dapat berpartisipasi dalam identitas Kristus sebagai Putera Bapa.81
Kebangkitan Yesus Kristus memungkinkan persatuan kita dengan-Nya dan dengan Bapa. Dalam memberikan penafsiran tentang narasi kebangkitan dari Injil Yohanes, Ratzinger menemukan dasar pemahaman Gereja pada ketaatan Yesus Kristus dengan Bapa. Ratzinger mencatat jawaban yang membingungkan dari Yesus ketika Ia menampakkan diri kepada Maria Magdalena yang, setelah mengenali Yesus, berusaha untuk memegang-Nya. Sebaliknya, ketika Yesus menolaknya dan mengatakan kepadanya untuk tidak memegang-Nya sampai Ia bertemu Bapa (Yoh. 20:17), Yesus menginginkan bentuk hubungan dengan-Nya dalam kebangkitan-Nya. Hal ini ditegaskan dalam penampakan kepada Tomas.
Tomas diundang untuk mendekati Yesus untuk dapat menyentuh luka-luka-Nya dan menjadi percaya. Ratzinger menjelaskan bahwa Yesus menunjukkan
80 Paus Benediktus XVI, “Visit to the Pontifical Roman Major Seminary in Honor of the Memorial of Our Lady of Trust,” Rome, February 12, 2010, tersedia dari Visit to the Roman Major Seminary on the Feast of Our Lady of Trust (February 12, 2010) | BENEDICT XVI (vatican.va)., diakses pada tanggal 04 Maret 2021.
81
luka kepada Thomas bukan untuk membuatnya melupakan Salib, tetapi untuk membuat salib tidak terlupakan. Sebagai akibat dari Yesus menunjukkan luka-luka kepada Thomas, Gereja juga mengalami persekutuan dengan Bapa. Yesus menjadi pribadi yang dimuliakan di sisi Bapa dan Ia menjadi milik semua orang.82
Dalam kisah perjalanan para murid ke Emaus, unsur liturgi muncul dan menunjukkan bahwa perjumpaan dengan Yesus Kristus yang bangkit merupakan dasar sejati kehidupan seluruh Gereja. Mengikuti liturgi yang ditetapkan, Yesus Kristus diakui dan pengakuan ini disempurnakan hanya dalam persekutuan Ekaristi. Peristiwa Yesus naik ke surga memiliki pesan tersirat misi Gereja yaitu untuk dapat bertemu dengan Allah hanya melalui sabda dan sakramen. Ia memanggil kita untuk melakukan perjalanan lebih jauh.83
3.5 Kesimpulan
Karya teologis Ratzinger untuk memahami Yesus Kristus dalam Kitab Suci memerlihatkan penerimaannya atas penemuan-penemuan dari metode historis-kritis. Karena wahyu Allah terikat sangat erat dengan sejarah, Ratzinger menegaskan bahwa kita harus mempelajari konteks-konteks historis dan bentuk-bentuk literer yang di dalamnya wahyu Allah dinyatakan kepada kita supaya kita mampu menangkap maknanya dan mengambil makna itu bagi diri kita sendiri.
82 Joseph Ratzinger, Dogma and Preaching: Applying Christian Doctrine to Daily Life (San Francisco: Ignatius Press, 2011), 302-303.
83
Metode studi historis penting dan berguna untuk membantu kita memahami Yesus Kristus sebagaimana yang tertulis dalam teks-teks Kitab Suci dan apa maksud teks-teks yang tertulis itu bagi pendengarnya yang semula. Metode historis-kritis merupakan sarana yang diperlukan, yang memberikan struktur bagi iman Kristen.84
Meskipun menggunakan metode historis-kritis, Ratzinger juga termasuk salah seorang yang mengritik keras penyalahgunaan terhadap metode tersebut.
Ratzinger mau memurnikan metode historis kritis sehingga itu dapat menjalankan fungsinya yang semestinya dalam mencari kebenaran. Kritiknya menunjukkan bahwa Ratzinger tahu betul tentang sejarah panjang penafsiran Kitab Suci yang ilmiah dan tentang sejarah yang lebih luas dari gagasan-gagasan sejak reformasi.85
Ratzinger melihat bahwa kesalahan paling utama dari metode historis-kritis adalah menjauhkan Yesus Kristus sebagaimana tertulis pada Kitab Suci dari habitat aslinya dalam Gereja. Iman Gerejalah yang memberikan relevansi berkelanjutan, kesatuan, dan sifat sebagai ucapan wahyu kepada Yesus Kristus sebagaimana tertuang dalam Kitab Suci. Metode historis-kritis ini tentu saja dapat membantu kita memahami konteks dari peristiwa-peristiwa dan gagasan-gagasan tentang Yesus Kristus dalam Kitab Suci dan apa maksud kata-kata dalam Kitab Suci itu bagi pendengar aslinya. Namun, tanpa mengacu pada makna yang dimiliki teks-teks ini dalam kehidupan Gereja dan liturgi, Kitab Suci menjadi
84 Joseph Ratzinger, Yesus dari Nazareth, xvi; Joseph Ratzinger, Behold the Pierced One (San Fransisco: Ignatius Press, 1986), 43-44
85
semacam huruf mati, sebuah peninggalan dari budaya eksotik yang telah lama mati.86
Untuk memahami Yesus Kristus, Ratzinger mengusulkan sebuah metode yaitu metode hermeneutika iman. Hermeneutika iman yang diusulkan Ratzinger lebih sebagai sikap spiritual daripada sebagai sistem penafsiran. Hal ini mungkin paling baik digambarkan sebagai semacam mendengarkan dengan penuh kasih dan hormat, suatu pencarian suara Allah yang hidup yang dalam kasih-Nya berbicara kepada manusia dalam kata-kata manusia teks-teks Kitab Suci. Untuk membantu mendengarkan ini, Ratzinger menggunakan sarana-sarana penting ilmu eksegese modern bersama metode-metode penafsiran kuno dan persektif-perspektif yang diambil dari tradisi-tradisi liturgis, dogmatis, dan homiletik Gereja.87
Yesus Kristus sebagai kepenuhan wahyu Allah merupakan pusat dari semua sejarah manusia. Mengikuti narasi sejarah keselamatan melalui kebangkitan Yesus Kristus memungkinkan untuk melihat kembali urutan penciptaan, urutan sejarah dan menafsirkan kembali semuanya melalui lensa kristologi. Istilah Logos mulai memiliki lapisan makna yang berbeda. Logos yang melaluinya segala sesuatu terjadi bukan hanya prinsip nalar, tetapi lebih
86 Scott W. Hann, Teologi Alkitabiah Paus Benediktus XVI (judul asli: Covenant and Communion:
The Biblical Theology of Pope Benedict XVI), diterjemahkan oleh A.S Hadiwiyata (Jakarta: Fidei Press, 2011), 29.
87 Joseph Ratzinger, Eschatology: Death and Eternal Life (judul asli: Eschatologie, Tod un ewiges Leben), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Michael Waldstein (Washington D.C: The
dipersonalisasikan dalam sosok Yesus Kristus, yang ditunjukkan paling sempurna sebagai cinta dalam menyerahkan hidup-Nya dengan bebas di kayu salib karena cinta yang taat kepada Bapa-Nya dan demi dunia.
Cinta relasional dan dialogis menjadi lensa yang tepat untuk memahami semua sejarah dan bahkan menjadi dirinya sendiri. Untuk Ratzinger, Yesus Kristus merupakan pusat dari Gereja. Gereja merupakan tempat berkumpul untuk mendengarkan Sabda Allah dan juga bagaimana tanggapan terhadap Sabda Allah itu. Gereja belajar bagaimana melakukan ini sesuai dengan pribadi Yesus Kristus yang merupakan Sabda yang diucapkan dari Allah kepada umat manusia dan juga tanggapan sempurna umat manusia kepada Allah. Dengan berkumpul bersama dalam ibadah, dalam mendengarkan Sabda yang menjadi daging dalam Ekaristi, umat dimotivasi oleh transformasi kristologi untuk mulai mewartakan sabda kasih yang sama kepada dunia.88
88 Joseph Ratzinger, Called to Communion: Understanding the Church Today (San Francisco:
BAB IV
KRISTOLOGI MICHAEL AMALADOSS DAN
JOSEPH RATZINGER DALAM TERANG MODEL-MODEL TEOLOGI KONTEKSTUAL STEPHEN B. BEVANS
4.1 Pengantar
Untuk menganalisa kristologi Amaladoss dan Ratzinger, penulis menggunakan kerangka teori dari Stephen B. Bevans tentang interaksi Injil dan konteks sebagai pisau analisa. Penulis menggunakan kerangka teori Stephen B.
Bevans dalam menganalisa pemikiran Amaladoss dan Ratzinger karena Bevans membuat enam (6) model teologi kontekstual yang mengakomodir interaksi antara Injil dengan konteks. Model yang ditawarkan oleh Bevans dapat digunakan sebagai sarana untuk membantu dalam memahami Yesus Kristus berdasarkan pandangan Amaladoss dan Ratzinger. Bevans ingin mengajak kita untuk memahami iman Kristen yang dipandang dari segi suatu konteks tertentu dan tidak terlepas dari sumber utama yaitu Kitab Suci, tradisi, dan ajaran Gereja.
4.2 Model-Model Teologi Kontekstual: Interaksi Injil dan Konteks
Stephen B. Bevans merupakan seorang teolog modern dan seorang imam Gereja Katolik dari Serikat Sabda Allah (SVD) Amerika. Sumbangan dari Bevans untuk teologi ialah bagaimana ia menjelaskan pemahamannya dalam berteologi
secara kontekstual. Berteologi kontekstual merupakan tugas dan tanggungjawab semua orang beriman Kristiani. Menurut Bevans, semua orang Kristiani ditantang untuk berani berteologi dari konteks. Dalam kontekstualisasi, orang akan berhadapan dengan konteks kebudayaan dan agama yang tradisional di satu pihak, tetapi di pihak lain bergumul juga dengan konteks modernisasi yang menyebabkan perubahan nilai, khususnya segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat manusia. Teologi kontekstual bukan lagi menjadi suatu pilihan yang bersifat fakultatif melainkan suatu imperatif teologi.1
4.2.1 Teologi Kontekstual sebagai Imperatif Teologis
Teologi merupakan sebuah refleksi dalam iman yang berangkat dari dua sumber teologi (loci theologici) yaitu Kitab Suci dan tradisi. Kitab Suci dan tradisi tidak pernah berubah, berada di atas kebudayaan dan ungkapan yang dikondisikan secara historis. Teologi dikatakan kontekstual saat ada pengakuan akan keabsahan tempat berteologi (locus theologicus) yang lain yaitu pengalaman manusia sekarang ini. Teologi disebut kontekstual apabila mengindahkan kebudayaan, sejarah, bentuk-bentuk pemikiran kontemporer, dan lain-lain, bersama dengan Kitab Suci dan tradisi.2
Penambahan konteks sebagai sumber berteologi tradisional ialah karena revolusi dalam cara berpikir dan memahami dunia yang dicirikan sebagai kembali
1 Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual, 1-2.
2
ke subyek yang mencuat pada permulaan zaman modern. Teologi klasik memahami teologi sebagai sesuatu yang bersifat objektif sedangkan teologi kontekstual mengerti teologi sebagai sesuatu yang subyektif. Istilah subyektif tidak bermaksud menunjuk pada sesuatu yang bersifat relatif atau privat tetapi kenyataan bahwa pribadi manusia dan masyarakat manusia, betapapun terikat secara kultural dan historis merupakan sumber kenyataan dan bukan merupakan obyektivitas yang disangka bebas-nilai dan bebas-budaya yang sudah ada di luar sana dan kini menyata.3
Berikut gambar di bawah melukiskan peran sentral pengalaman atau konteks di dalam setiap upaya berteologi.4
Teologi Kontekstual5
Pengalaman masa lampau Pengalaman masa sekarang
Yang terekam dalam Kitab Suci; - pengalaman personal/komunal disimpan, dibelah dalam tradisi - kebudayaan
- lokasi sosial - perubahan sosial
Karena upaya kontekstualisasi itu berarti melepaskan cara berteologi tradisional, maka ia merupakan sesuatu yang baru. Namun pada saat yang sama, kontekstualisasi itu terbilang sangat tradisional. Sementara kita dapat mengatakan bahwa berteologi dengan mengindahkan kebudayaan dan perubahan sosial berpisah dari cara berteologi tradisional atau klasik, namun setiap telaah tentang
3 Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual, 2-3.
4 Stephen B. Bevans, Model-model Teologi Kontekstual, 8-9.
5
sejarah teologi menyingkapkan bahwa setiap teologi yang autentik telah berakar sangat mendalam pada sebuah konteks tertentu, baik secara tersirat maupun secara nyata. Mengutip pendapat Douglas, Bevans menyatakan bahwa kontekstualisasi merupakan sine qua non bagi semua pemikiran teologis yang sejati dan memang selalu demikianlah adanya.6
4.2.2 Pengertian Model
Bevans berpendapat bahwa ada banyak pengertian tentang kata model dalam pemikiran kontemporer. Dalam bukunya Model-Model Wahyu, Avery Dulles menerangkan bahwa sebuah model adalah sebuah kasus yang dirancang secara agak sederhana dan artifisial yang dirasa bermanfaat dan memberi terang untuk menghadapi berbagai kenyataan yang lebih majemuk dan beraneka ragam.
Teramat pentinglah untuk memahami bahwa model-model merupakan konstruksi.
Model-model bukanlah cerminan dari realitas di luar sana. Model-model adalah tipe ideal baik posisi-posisi teoritis yang dirancang secara logis maupun abastraksi yang dibentuk dari posisi-posisi konkret. Sebagai konstruksi atau tipe ideal, model-model ini harus digubris secara sungguh-sungguh tetapi tidak secara harfiah. Tidak ada satu pun yang bisa menjadi sebuah model di dalam kehidupan
Model-model bukanlah cerminan dari realitas di luar sana. Model-model adalah tipe ideal baik posisi-posisi teoritis yang dirancang secara logis maupun abastraksi yang dibentuk dari posisi-posisi konkret. Sebagai konstruksi atau tipe ideal, model-model ini harus digubris secara sungguh-sungguh tetapi tidak secara harfiah. Tidak ada satu pun yang bisa menjadi sebuah model di dalam kehidupan