• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tokoh-tokoh yang Mempengaruhi Pemikiran Michael Amaladoss

Dalam dokumen YESUS KRISTUS HADIR DALAM SETIAP KONTEKS: (Halaman 36-41)

BAB II SEMBILAN GAMBARAN YESUS KRISTUS DI ASIA:

2.3 Latar Belakang Gagasan Kristologi Michael Amaladoss

2.3.1 Tokoh-tokoh yang Mempengaruhi Pemikiran Michael Amaladoss

Tokoh awal yang memantik Amaladoss untuk mencintai kebudayaan India baik musik, filsafat, maupun spiritualitas adalah Pastor Ignatius Hirudayam.

Pastor Ignatius Hirudayam mengajari berbagai hal mengenai kebudayaan India sehingga membuat Amaladoss semakin mencintai kebudayaan India. Kecintaan Amaladoss yang mendalam terhadap kebudayaan India membuatnya ingin lebih lagi mencari tahu tentang kebudayaan India.10

Pada saat menjalani proses pendidikan filsafat di Kurseong, Himalayas tahun 1967, Amaladoss melakukan peziarahan selama satu bulan bersama dengan dua teman Jesuitnya. Mereka melakukan peziarahan ke tempat-tempat suci Hindu dan Buddha di India Utara yaitu Rishikesh, Haridwar, Mathura, Brindavan, Varanasi, Bodh Gaya, dan Sarnath. Untuk beberapa saat, mereka tinggal di kuil Hindu. Mereka mengikuti semua pola hidup yang ada, secara khusus Amaladoss tertarik dengan ajaran sannyasa (penyangkalan diri) Hindu. Ajaran tentang sannyasa Hindu membuat Amaladoss tertarik untuk mempelajarinya lebih jauh.

Amaladoss bertemu dengan sannyasi (orang yang mempraktekkan penyangkalan diri) Hindu yang hidup dalam keheningan selama dua tahun, yang membedah

10

kitab sucinya, dan yang selalu melakukan meditasi di Mathura. Dengan pengalaman perjumpaan dengan sannyasi Hindu, Amaladoss menilai bahwa di dalam diri sannyasi Hindu terdapat jiwa yang dilingkupi kegembiraan dan pancaran wajah yang cerah. Pengalaman ini membuat Amaladoss menyimpulkan bahwa Allah hadir pada setiap orang dari agama apapun.11

Dalam peziarahannya, Amaladoss mengunjungi pemimpin Kristen Ashram yaitu Murray Rogers, seorang Anglikan. Kunjungan terhadap Murray Rogers membawa Amaladoss menjalin komunikasi dengan tokoh Kristen-Hindu yaitu Raimundo Panikkar dan Abhisitakananda. Ketika mengikuti seminar di Mumbai (sebelumnya Bombai) pada tahun 1968, Amaladoss bertemu dengan Raimundo Panikkar dan Abhisitakananda.12 Secara khusus, Abhisitakananda memiliki pengaruh banyak untuk kehidupan Amaladoss. Swami Abhisiktananda13 (dikenal juga dengan Henri Le Saux, 1910-1973) adalah seorang Benediktin Perancis yang mengembangkan dan memiliki ketertarikan terhadap religiusitas India dan mistisisme. Pada tahun 1948, Abhisiktananda datang ke India dan mendirikan Saccidananda Ashram di Shantivanam bersama dengan Jules Monchanin. Antara tahun 1952 sampai 1958, Abhisiktananda mengadakan retret dengan Arunachala yang merupakan seorang Hindu ashram dan hidup sebagai seorang petapa di sebuah gua. Di tempat tersebut, Abhisiktananda juga bertemu

11 Michael Amaladoss, “My Pilgrimage in Mission”, 22.

12 Michael Amaladoss, “My Pilgrimage in Mission”, 22.

13 Nama Abhisiktananda berarti ‘Yang Diurapi’ (Bliss of the Anointed). [Lihat Vijaya Joje Babu Valle, Becoming Indian: Towards in Indian Contextual Ecclesiology (Leuven: Katholieke

dengan Guru Sri Ramana Marashi, seorang Hindu heremit yang memiliki pengaruh besar bagi hidupnya. Pada tahun 1968, Abhisiktananda meninggalkan Shantivanam dan pergi ke Himalaya untuk tinggal di sebuah pertapaan hingga ia wafat pada tahun 1973.14

Abhisiktananda mengambil spiritualitas Hindu dan mengembangkannya untuk teologi Kristen India.15 Abhisiktananda meyakini bahwa spiritualitas Hindu akan membawa manusia untuk menemukan kembali dirinya yaitu ‘hati yang terdalam’ (cave of heart).16 Refleksi Abhisiktananda tentang spiritualitas Hindu dan teologi Kristen memiliki dua pengertian:

Benih tersebut telah ditabur oleh Roh Kudus di tanah India dengan cara yang tersembunyi atau tidak diketahui dan bagi kita untuk mengungkap Kristus yang tersembunyi dan membuatnya dikenal dan, kedua, tanah India adalah subur secara rohani.17

Abhisiktananda memadukan Kristianitas melalui pengalaman dan interpretasinya tentang adivasis (non-dualitas).18 Abhisiktananda percaya bahwa misi setiap kristianitas adalah mewujudkan Kristus yang tersembunyi, yang mendiami hati manusia, dan akan berhasil melalui cara hidup monastik.

Pengalaman Abhisiktananda muncul dari pengalaman adivasis-nya. Bagi Abhisiktananda, pengalaman adivasis adalah sebuah pengolahan agar dapat

14 Abhisiktananda, The Secret of Arunachala (Delhi:ISCPK, 1979), 1-5.

15 Abbé Jules Monchanin and Dom Henri Le Saux, A Benedictine Ashram (Douglas: Times Press, 1964).

16 Abhisiktananda, Hindu-Christian Meeting Point (Delhi: ISCPK, 1969), 31.

17 “The seed is already sown by the Holy Spirit in the Indian soil in a hidden or unknown way and it is for us to unveil the hidden Christ and make him known and, secondly, Indian soil is spiritually fertile.” [Lihat James Stuart (ed.), Swami Abhisiktananda: His Life Told Through His Letters (ISCPK, 1995), 25.]

18 Judson B. Trapnell, “Two Models of Christian Dialogue with Hinduism (I),” Vidyajyoti 60

menemukan kembali penyatuan dari realisasi Kristen dengan Allah Tritunggal;

untuk menemukan hubungan timbal-balik dan persekutuan cinta.19

Abhisitakananda membuat Amaladoss mengerti tentang adivasis (nondualitas) dalam spiritualitas dan teologi India. Peristiwa ini membuat Amaladoss mulai mengagumi filsafat, spiritualitas, kebudayaan Hindu.

Amaladoss menyatakan bahwa filsafat, spiritualitas, dan kebudayaan Hindu bukan hanya digunakan sebagai instrumen untuk memberitakan Injil melainkan sebagai sarana untuk bertemu dengan Allah.20

Pada saat menjalani studi doktoral tahun 1969-1971, tema disertasi Amaladoss berfokus pada inkulturasi dengan judul tesisnya “Bisakah Sakramen Diubah? Elemen-elemen yang Variabel dan Tidak Variabel dalam Ritus Sakramen-sakramen”.21 Amaladoss mencoba mengembangkan kriteria-kriteria apa yang saja yang dapat digunakan dalam proses inkulturasi. Secara khusus, Amaladoss memberi perhatian pada proses inkulturasi di India yaitu bagaimana ritus-ritus yang ada di India untuk sakramen-sakramen, apakah harus ditinggalkan atau harus diubah. Dalam penelitiannya, Amaladoss mengakomodasi ilmu-ilmu sosial seperti antropologi, semiotika, dan hermeneutika dalam proses inkulturasi.

Pemikiran filsuf dan teolog seperti Claude Levi Strauss, Paul Ricoeur, dan Karl Rahner berpengaruh dalam menyusun disertasi dan usaha Amaladoss membangun teologi yang kontekstual. Amaladoss ingin supaya teologi menjadi kontekstual di

19 Abhisiktananda, Hindu-Christian Meeting Point, 92.

20 Michael Amaladoss, “My Pilgrimage in Mission”, 22.

21 Judul asli disertasi Amaladoss ialah “Do Sacraments Change? Variable and Invariable

Asia secara khusus di India dengan tidak melupakan tiga hal penting yaitu dialog dengan kemiskinan, pluralitas kebudayaan, dan pluralitas agama.22

Usai menyelesaikan studi doktoralnya, Amaladoss mengajar di Seminari St. Paulus Tiruchirapalli, Tamil Nadu, India Selatan. Di sana, Amaladoss bersama Dom Bede Griffiths23 mendirikan sebuah komunitas yang bertujuan untuk melakukan dialog. Komunitas ini mengadakan banyak dialog komparatif dalam bidang teologi yaitu antara Hindu dan Kristiani, dan juga sesekali melakukan dialog dengan Islam. Komunitas dialog ini saling membagi pengalaman dan terkadang mereka melakukan doa bersama. Pada saat menjadi dosen di Vidyajyoti College of Theology India dan menjadi editor Vidyajyoti Journal of Theology, Amaladoss memiliki kolega yaitu Jacques Dupuis24 yang merupakan gurunya

22 Michael Amaladoss, “My Pilgrimage in Mission”, 22.

23 Dom Bede Griffiths (juga dikenal dengan Swami Dayananda, 1906-1993) adalah seorang Benediktin Brintania Raya. Ia tertarik dengan religiusitas India ketika di Oxford. Ia tertarik untuk menjadi Benediktin India dan bersama Alapatt yang merupakan Benediktin Perancis memutuskan pergi ke India. Mereka mendirikan sebuah komunitas monastik di Kengeri dekat Bangalore. Pada waktu kunjungan ke Shantivavam pada tahun 1956 dan 1957, Griffiths bertemu dengan Francis Mahieu dan membantu mereka untuk bertemu dengan Kurisumala Ashram di Kerala pada tahun 1958. Sepuluh tahun kemudian, Griffiths meninggalkan Kurisumala Ashram dan mengambil alih Shantivavam pada tahun 1968 ketika Abhishitakananda meninggal. Bede Griffiths adalah seorang guru (acharya) pada Shantivanam selama 25 tahun sampai ia wafat pada 1993. Di bawah arahan dan kepemimpinannya, ashram menjadi salah satu pusat inkulturasi yang terkemuka di India, secara khusus bagian Barat dan untuk Agama-agama Semitik. Griffiths ingin memadukan teologi kristiani dengan Advaitic. Michael Barnes memberi nama untuk pemikiran Griffiths tentang inkulturasi dan dialog di India dengan sebutan ‘kemanusiaan Bede yang ramah’ (Bede’s gentle humanity). Menurut Barnes, Bede merupakan orang yang memberikan perhatian mendalam dan penuh untuk kemanusiaan, bahkan Bede lebih dicintai, dihormati, dan dikenal sebagai seorang Hindu. [Lihat Vijaya Joje Babu Valle, Becoming Indian, 66; bdk. Michael Barnes, “From Ashrams to Dalits: The Four Seasons of Inculturation,” The Way 41 (2001), 65-66.]

24 Jacques Dupuis (1923-2004) adalah imam Jesuit dari Belgia dan seorang teolog yang mengajar di Vidyajyoti College of Theology, India. Dupuis banyak berbicara mengenai teologi agama-agama dan dikenal sebagai tokoh yang mendalami tentang pluralitas. Ketertarikannya terhadap teologi agama-agama dan pluralitas membuat Dupuis menuliskan dalam sebuah buku yang berjudul Toward a Christian Theology of Religious. Dalam tulisannya, Dupuis berfokus melihat relasi antara kekristenan dan agama-agama lain. Dupuis merefleksikan tantangan-tantangan yang dialami oleh agama lain dalam perspektif kristen. Pemikiran Dupuis tentang pluralisme teologi

agama-dulu dan Samuel Rayan25. Amaladoss dan rekan-rekanya banyak melakukan diskusi mengenai inkulturasi dan dialog.26

Dalam dokumen YESUS KRISTUS HADIR DALAM SETIAP KONTEKS: (Halaman 36-41)