BAB II SEMBILAN GAMBARAN YESUS KRISTUS DI ASIA:
2.2 Biografi dan Karya-karya Michael Amaladoss
Pada bagian ini penulis akan menguraikan riwayat hidup dan karya-karya Michael Amaladoss. Pengalaman hidup Amaladoss membentuknya menjadi pribadi yang terbuka kepada siapa saja dan ingin membangun harmoni di tengah
dunia yang plural. Dengan pengalamannya ketika kecil, perjumpaan dengan berbagai tokoh, serta mengenyam pendidikan spritualitas, seni musik, filsafat, teologi, Amaladoss merumuskan berbagai macam pemikiran untuk teologi yang sesuai cita rasa Asia terutama kristologi yang kontekstual untuk Asia.
Michael Amaladoss lahir pada 8 Desember 1936 di Dindigul, Tamil Nadu, India Selatan. Ayah dan ibu Amaladoss merupakan guru. Walaupun seorang Katolik yang saleh, Amaladoss dibesarkan dalam lingkungan masyarakat yang mayoritas beragama Hindu. Amaladoss mengakui bahwa ia lebih mengenal banyak kebiasaan Hindu daripada agama Kristen. Kebiasaan Amaladoss hidup dalam lingkungan masyarakat Hindu membuatnya terbuka kepada siapa saja dan menghormati mereka yang berbeda.1
Amaladoss menjalani pendidikan di sekolah Jesuit yang berada di Tiruchirapalli, Tamil Nadu. Ketika berada di sekolah ini, kebiasaan Ekaristi harian, doa malam bersama, berdevosi kepada Maria, dan perayaan sakramen lainnya menjadi pola hidupnya. Di sisi lain, siswa-siswa yang mengenyam pendidikan di sekolah ini mayoritas beragama Hindu.2
Amaladoss mengenal Serikat Yesus saat ia mengenyam pendidikan di sekolah ini. Amaladoss melihat bahwa para Jesuit yang berada di komunitas sekolahnya berasal dari berbagai daerah tetapi mayoritas berasal dari Perancis.
Amaladoss menilai bahwa hidup para Jesuit begitu bahagia dan harmonis walaupun mereka berasal dari berbagai macam daerah. Melihat pola hidup Jesuit
1 Michael Amaladoss, “My Pilgrimage in Mission”, dalam International Bulletin of Missionary Research, (New Haven: OMSC, SAGE Publications, Januari 2007) Vol. 31, No. 1, 21.
2
yang demikian, Amaladoss tertarik menjadi anggota Serikat Yesus dan memutuskan masuk novisiat Jesuit pada 17 Juni 1953. Selama di Novisiat, Amaladoss menerima bimbingan dari Pastor Ignatius Hirudayam. Pastor Ignatius Hirudayam sangat menaruh perhatian pada kebudayaan India dan Amaladoss dibimbing oleh Pastor Hirudayam untuk lebih mengembangkan kebudayaan India ke depan.3
Pada tahun 1958-1961, Amaladoss menjalani studi tentang spiritualitas dan literatur-literatur dari tokoh-tokoh seperti Thomas Aquinas, Jacques Maritain, Entienne Gilson, Christopher Dawson, dan lain-lain. Selain itu, Amaladoss juga banyak mempelajari banyak mengenai filsafat, kesenian, dan musik India. Pada tahun 1961-1963, Amaladoss menjalani pendidikan musik, secara khusus Amaladoss mendalami bidang vokal di Chennai. Secara umum, lagu-lagu yang diajarkan di sekolah tersebut adalah lagu yang bernuansa Hindu.4
Pada tahun 1965-1969, Amaladoss menjalani pendidikan filsafat di Kurseong, Himalayas. Pada tahun-tahun ini, terjadi Konsili Vatikan II yang memiliki banyak dampak terhadap pola pendidikan calon imam seperti bahasa pengantar belajar tidak lagi menggunakan bahasa Latin tetapi menggunakan bahasa Inggris dan bahasa lokal. Konsili Vatikan II memantik sebuah era baru dalam berdialog dengan agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan lain.5 Amaladoss juga menjalani studi tentang spiritualitas India dan menerbitkan artikel
3 Michael Amaladoss, “My Pilgrimage in Mission”, 21.
4 Michael Amaladoss, “My Pilgrimage in Mission”, 21.
5
pertamanya dalam bahasa Inggris dengan tema yaitu studi komparatif antara India dengan spiritualitas Ignasian dan spiritualitas Gandhian.6
Amaladoss memperoleh gelar master dalam bidang liturgi dan gelar doktor dalam bidang teologi sakramen di Universitas Katolik Paris (Catholic University of Paris). Pada tahun 1976-1979, Amaladoss mengajar teologi di Seminari St.
Paulus Tiruchirapalli, Tamil Nadu dan Institusi Teologi Vidyajyoti (Vidyajyoti College of Theology), Delhi. Pada 1973-1977, Amaladoss menjadi editor Vidyajyoti Journal of Theological Reflection.7
Pada 1983-1995, Amaladoss menjadi asisten superior Jendral Serikat Yesus dengan tugas khusus untuk penginjilan, dialog, inkulturasi, dan ekumenisme. Pada 1999, Amaladoss menjadi Rektor Kolose Loyola (Loyola College) untuk dialog dan budaya di Chennai. Setelah itu, Amaladoss menjadi seorang konsultan untuk komisi dewan dan wakil presiden dari Asosiasi Internasional untuk studi misi. Amaladoss juga pernah menjadi dosen di Institut Pastoral Asia Timur (East Asian Pastoral Institute [EAPI]) di Manila, Filipina. Di EAPI, Amaladoss mengembangkan ketertarikannya dalam perjumpaan dengan orang-orang di Asia untuk teologi yang sesuai konteks Asia.8
Sebagai teolog, Michael Amaladoss menerbitkan berbagai karya. Karya-karya Amaladoss terdapat dalam berbagai tulisan baik yang berbentuk buku maupun artikel-artikel yang dimuat dalam berbagai jurnal ilmiah. Karya-karya
6 Michael Amaladoss, “My Pilgrimage in Mission”, 24.
7 Michael Amaladoss, “Faith Meets Faith: Living with Cross-Cultural Experiences,” dalam Yearbook of Contextual Theologies (Aachen: MWI, 1998), 16.
8
Amaladoss yang pernah ditulis dalam bentuk buku berjumlah sekitar 24 dan artikel berjumlah sekitar 340. Tulisan-tulisan Amaladoss berkaitan dengan misi dan dialog, teologi agama-agama, pembebasan, inkulturasi, spiritualitas kristen India, dan metodologi dalam teologi, sakramen-sakramen, dan kristologi.
Beberapa karya yang ditulis Amaladoss yaitu Making All Things New: Dialogue, Pluralism, and Evangelization in Asia (1990), A Call to Community: The Caste System and Christian Responsibility (1994), Life in Freedom: Liberation, Theologies from Asia (1997), Beyond Inculturation: Can the Many Be One?
(1998), Making Harmony: Living in a Pluralist World (2003), The Dancing Cosmos: A Way to Harmony (2003), The Asian Jesus (2005), Beyond Dialogue-Pilgrims to the Absolute (2008), The Challenges of Fundamentalism (2009), dan Quest for God – Doing Theology in India (2013). Selain tulisan, Amaladoss juga menciptakan banyak lagu. Amaladoss menciptakan sekitar 150 lagu untuk devosi dan musik klasik untuk tarian India (Bharathantyam).9
2.3 Latar Belakang Gagasan Kristologi Michael Amaladoss
Dalam menghasilkan gagasan kristologi, Michael Amaladoss dilatarbelakangi oleh pelbagai macam hal, seperti perjumpaan dengan berbagai macam tokoh dan situasi zaman saat itu. Hal-hal ini sedikit banyak mempengaruhi ide, visi, dan semangat Michael Amaladoss dalam teologi-kristologinya
9
kemudian. Pada bagian ini, penulis akan memaparkan tokoh-tokoh dan konteks zaman yang melatarbelakangi pemikiran Amaladoss.
2.3.1 Tokoh-tokoh yang Mempengaruhi Pemikiran Michael Amaladoss
Tokoh awal yang memantik Amaladoss untuk mencintai kebudayaan India baik musik, filsafat, maupun spiritualitas adalah Pastor Ignatius Hirudayam.
Pastor Ignatius Hirudayam mengajari berbagai hal mengenai kebudayaan India sehingga membuat Amaladoss semakin mencintai kebudayaan India. Kecintaan Amaladoss yang mendalam terhadap kebudayaan India membuatnya ingin lebih lagi mencari tahu tentang kebudayaan India.10
Pada saat menjalani proses pendidikan filsafat di Kurseong, Himalayas tahun 1967, Amaladoss melakukan peziarahan selama satu bulan bersama dengan dua teman Jesuitnya. Mereka melakukan peziarahan ke tempat-tempat suci Hindu dan Buddha di India Utara yaitu Rishikesh, Haridwar, Mathura, Brindavan, Varanasi, Bodh Gaya, dan Sarnath. Untuk beberapa saat, mereka tinggal di kuil Hindu. Mereka mengikuti semua pola hidup yang ada, secara khusus Amaladoss tertarik dengan ajaran sannyasa (penyangkalan diri) Hindu. Ajaran tentang sannyasa Hindu membuat Amaladoss tertarik untuk mempelajarinya lebih jauh.
Amaladoss bertemu dengan sannyasi (orang yang mempraktekkan penyangkalan diri) Hindu yang hidup dalam keheningan selama dua tahun, yang membedah
10
kitab sucinya, dan yang selalu melakukan meditasi di Mathura. Dengan pengalaman perjumpaan dengan sannyasi Hindu, Amaladoss menilai bahwa di dalam diri sannyasi Hindu terdapat jiwa yang dilingkupi kegembiraan dan pancaran wajah yang cerah. Pengalaman ini membuat Amaladoss menyimpulkan bahwa Allah hadir pada setiap orang dari agama apapun.11
Dalam peziarahannya, Amaladoss mengunjungi pemimpin Kristen Ashram yaitu Murray Rogers, seorang Anglikan. Kunjungan terhadap Murray Rogers membawa Amaladoss menjalin komunikasi dengan tokoh Kristen-Hindu yaitu Raimundo Panikkar dan Abhisitakananda. Ketika mengikuti seminar di Mumbai (sebelumnya Bombai) pada tahun 1968, Amaladoss bertemu dengan Raimundo Panikkar dan Abhisitakananda.12 Secara khusus, Abhisitakananda memiliki pengaruh banyak untuk kehidupan Amaladoss. Swami Abhisiktananda13 (dikenal juga dengan Henri Le Saux, 1910-1973) adalah seorang Benediktin Perancis yang mengembangkan dan memiliki ketertarikan terhadap religiusitas India dan mistisisme. Pada tahun 1948, Abhisiktananda datang ke India dan mendirikan Saccidananda Ashram di Shantivanam bersama dengan Jules Monchanin. Antara tahun 1952 sampai 1958, Abhisiktananda mengadakan retret dengan Arunachala yang merupakan seorang Hindu ashram dan hidup sebagai seorang petapa di sebuah gua. Di tempat tersebut, Abhisiktananda juga bertemu
11 Michael Amaladoss, “My Pilgrimage in Mission”, 22.
12 Michael Amaladoss, “My Pilgrimage in Mission”, 22.
13 Nama Abhisiktananda berarti ‘Yang Diurapi’ (Bliss of the Anointed). [Lihat Vijaya Joje Babu Valle, Becoming Indian: Towards in Indian Contextual Ecclesiology (Leuven: Katholieke
dengan Guru Sri Ramana Marashi, seorang Hindu heremit yang memiliki pengaruh besar bagi hidupnya. Pada tahun 1968, Abhisiktananda meninggalkan Shantivanam dan pergi ke Himalaya untuk tinggal di sebuah pertapaan hingga ia wafat pada tahun 1973.14
Abhisiktananda mengambil spiritualitas Hindu dan mengembangkannya untuk teologi Kristen India.15 Abhisiktananda meyakini bahwa spiritualitas Hindu akan membawa manusia untuk menemukan kembali dirinya yaitu ‘hati yang terdalam’ (cave of heart).16 Refleksi Abhisiktananda tentang spiritualitas Hindu dan teologi Kristen memiliki dua pengertian:
Benih tersebut telah ditabur oleh Roh Kudus di tanah India dengan cara yang tersembunyi atau tidak diketahui dan bagi kita untuk mengungkap Kristus yang tersembunyi dan membuatnya dikenal dan, kedua, tanah India adalah subur secara rohani.17
Abhisiktananda memadukan Kristianitas melalui pengalaman dan interpretasinya tentang adivasis (non-dualitas).18 Abhisiktananda percaya bahwa misi setiap kristianitas adalah mewujudkan Kristus yang tersembunyi, yang mendiami hati manusia, dan akan berhasil melalui cara hidup monastik.
Pengalaman Abhisiktananda muncul dari pengalaman adivasis-nya. Bagi Abhisiktananda, pengalaman adivasis adalah sebuah pengolahan agar dapat
14 Abhisiktananda, The Secret of Arunachala (Delhi:ISCPK, 1979), 1-5.
15 Abbé Jules Monchanin and Dom Henri Le Saux, A Benedictine Ashram (Douglas: Times Press, 1964).
16 Abhisiktananda, Hindu-Christian Meeting Point (Delhi: ISCPK, 1969), 31.
17 “The seed is already sown by the Holy Spirit in the Indian soil in a hidden or unknown way and it is for us to unveil the hidden Christ and make him known and, secondly, Indian soil is spiritually fertile.” [Lihat James Stuart (ed.), Swami Abhisiktananda: His Life Told Through His Letters (ISCPK, 1995), 25.]
18 Judson B. Trapnell, “Two Models of Christian Dialogue with Hinduism (I),” Vidyajyoti 60
menemukan kembali penyatuan dari realisasi Kristen dengan Allah Tritunggal;
untuk menemukan hubungan timbal-balik dan persekutuan cinta.19
Abhisitakananda membuat Amaladoss mengerti tentang adivasis (nondualitas) dalam spiritualitas dan teologi India. Peristiwa ini membuat Amaladoss mulai mengagumi filsafat, spiritualitas, kebudayaan Hindu.
Amaladoss menyatakan bahwa filsafat, spiritualitas, dan kebudayaan Hindu bukan hanya digunakan sebagai instrumen untuk memberitakan Injil melainkan sebagai sarana untuk bertemu dengan Allah.20
Pada saat menjalani studi doktoral tahun 1969-1971, tema disertasi Amaladoss berfokus pada inkulturasi dengan judul tesisnya “Bisakah Sakramen Diubah? Elemen-elemen yang Variabel dan Tidak Variabel dalam Ritus Sakramen-sakramen”.21 Amaladoss mencoba mengembangkan kriteria-kriteria apa yang saja yang dapat digunakan dalam proses inkulturasi. Secara khusus, Amaladoss memberi perhatian pada proses inkulturasi di India yaitu bagaimana ritus-ritus yang ada di India untuk sakramen-sakramen, apakah harus ditinggalkan atau harus diubah. Dalam penelitiannya, Amaladoss mengakomodasi ilmu-ilmu sosial seperti antropologi, semiotika, dan hermeneutika dalam proses inkulturasi.
Pemikiran filsuf dan teolog seperti Claude Levi Strauss, Paul Ricoeur, dan Karl Rahner berpengaruh dalam menyusun disertasi dan usaha Amaladoss membangun teologi yang kontekstual. Amaladoss ingin supaya teologi menjadi kontekstual di
19 Abhisiktananda, Hindu-Christian Meeting Point, 92.
20 Michael Amaladoss, “My Pilgrimage in Mission”, 22.
21 Judul asli disertasi Amaladoss ialah “Do Sacraments Change? Variable and Invariable
Asia secara khusus di India dengan tidak melupakan tiga hal penting yaitu dialog dengan kemiskinan, pluralitas kebudayaan, dan pluralitas agama.22
Usai menyelesaikan studi doktoralnya, Amaladoss mengajar di Seminari St. Paulus Tiruchirapalli, Tamil Nadu, India Selatan. Di sana, Amaladoss bersama Dom Bede Griffiths23 mendirikan sebuah komunitas yang bertujuan untuk melakukan dialog. Komunitas ini mengadakan banyak dialog komparatif dalam bidang teologi yaitu antara Hindu dan Kristiani, dan juga sesekali melakukan dialog dengan Islam. Komunitas dialog ini saling membagi pengalaman dan terkadang mereka melakukan doa bersama. Pada saat menjadi dosen di Vidyajyoti College of Theology India dan menjadi editor Vidyajyoti Journal of Theology, Amaladoss memiliki kolega yaitu Jacques Dupuis24 yang merupakan gurunya
22 Michael Amaladoss, “My Pilgrimage in Mission”, 22.
23 Dom Bede Griffiths (juga dikenal dengan Swami Dayananda, 1906-1993) adalah seorang Benediktin Brintania Raya. Ia tertarik dengan religiusitas India ketika di Oxford. Ia tertarik untuk menjadi Benediktin India dan bersama Alapatt yang merupakan Benediktin Perancis memutuskan pergi ke India. Mereka mendirikan sebuah komunitas monastik di Kengeri dekat Bangalore. Pada waktu kunjungan ke Shantivavam pada tahun 1956 dan 1957, Griffiths bertemu dengan Francis Mahieu dan membantu mereka untuk bertemu dengan Kurisumala Ashram di Kerala pada tahun 1958. Sepuluh tahun kemudian, Griffiths meninggalkan Kurisumala Ashram dan mengambil alih Shantivavam pada tahun 1968 ketika Abhishitakananda meninggal. Bede Griffiths adalah seorang guru (acharya) pada Shantivanam selama 25 tahun sampai ia wafat pada 1993. Di bawah arahan dan kepemimpinannya, ashram menjadi salah satu pusat inkulturasi yang terkemuka di India, secara khusus bagian Barat dan untuk Agama-agama Semitik. Griffiths ingin memadukan teologi kristiani dengan Advaitic. Michael Barnes memberi nama untuk pemikiran Griffiths tentang inkulturasi dan dialog di India dengan sebutan ‘kemanusiaan Bede yang ramah’ (Bede’s gentle humanity). Menurut Barnes, Bede merupakan orang yang memberikan perhatian mendalam dan penuh untuk kemanusiaan, bahkan Bede lebih dicintai, dihormati, dan dikenal sebagai seorang Hindu. [Lihat Vijaya Joje Babu Valle, Becoming Indian, 66; bdk. Michael Barnes, “From Ashrams to Dalits: The Four Seasons of Inculturation,” The Way 41 (2001), 65-66.]
24 Jacques Dupuis (1923-2004) adalah imam Jesuit dari Belgia dan seorang teolog yang mengajar di Vidyajyoti College of Theology, India. Dupuis banyak berbicara mengenai teologi agama-agama dan dikenal sebagai tokoh yang mendalami tentang pluralitas. Ketertarikannya terhadap teologi agama-agama dan pluralitas membuat Dupuis menuliskan dalam sebuah buku yang berjudul Toward a Christian Theology of Religious. Dalam tulisannya, Dupuis berfokus melihat relasi antara kekristenan dan agama-agama lain. Dupuis merefleksikan tantangan-tantangan yang dialami oleh agama lain dalam perspektif kristen. Pemikiran Dupuis tentang pluralisme teologi
agama-dulu dan Samuel Rayan25. Amaladoss dan rekan-rekanya banyak melakukan diskusi mengenai inkulturasi dan dialog.26
2.3.2 Konteks Sosial-Historis
Amaladoss merupakan teolog zaman modern yang sangat menaruh perhatian kepada teologi di Asia. Amaladoss menginginkan teologi Asia harus sesuai dengan cita rasa Asia. Menurut Amaladoss, selama ini teologi Asia hanya sekedar menerjemahkan teologi Barat. Amaladoss mengakui bahwa kekristenan lebih berkembang ke Barat daripada ke Asia. Kekristenan datang ke Asia pada
agama melampaui sebuah inklusivisme. Saat berbicara tentang pluralisme teologi agama-agama, Dupuis menggunakan pendekatan Trinitas yang mengungkapkan hubungan antara Bapa dengan Putera dan Putera dengan Roh Kudus. Dupuis meyakini bahwa penegasan identitas Kristen adalah kesesuaian dengan pengakuan identitas agama lain. Dalam agama-agama lain diungkapkan sebuah misteri dengan bahasa berbeda. Selain itu, Dupuis juga menerbitkan berbagai tulisannya seperti The Christian Faith, Jesus-Christ at the Encounter of World Religions, Who Do You Say I Am?
Introduction to Christology, dan Toward a Christian Theology of Religious.[Lihat Nicholas Lossky, Dictionary of the Ecumenical Movement (Geneva: WCC Publication, 1991), 1033; bdk.
Veli-Matti Karkkainen, An Introduction to the Theology of Religions (Illinios: InterVasity Press, 2003), 205-215.]
25 Samuel Rayan adalah profesor emeritus di Institusi Teologi Jesuit Vidyajyoti di Delhi. Rayan pernah menjabat sebagai dekan di institusi tersebut. Rayan merupakan tokoh penting dalam Asosiasi Ekumenis Teolog-teolog Dunia Ketiga (Ecumenical Association of Third World Theologians [EATWOT]) dan juga merupakan anggota dari Komisi Iman dan Tatanan Dewan Gereja-gereja Dunia (Faith and Order Commision of the World Council of Churches) dari tahun 1968-1982. Rayan juga merupakan ketua pertama dari Sekolah Ekumenis Teologi (Ecumenical School of Theology) di Bangalore (1988-1990). Rayan merupakan salah satu pencetus teologi pembebasan. Dalam pemikirannya, Rayan meyakini bahwa manusia yang berada dalam satu komunitas adalah objek kasih Allah. Teologi Rayan muncul dari pengalaman hidup, pengalaman konteks hidupnya, dan janjinya kepada Yesus. Menurut Rayan, teologi adalah sebuah peringatan dari Allah. Menurut Rayan, misi kristiani ialah berpusat pada kehidupan manusia secara khusus memerhatikan kaum miskin dan tertindas. Rayan menulis beberapa karya, diantaranya Bretah of Fire. The Holy Spirit: Heart of the Gospel dan The Anger of God. [Lihat Samuel Rayan, Decolonization of Theology, Jnanadeepa, July 1998, Vol.1, No. 2, 140-141; bdk. Vijaya Joje Babu Valle, Becoming Indian, 119-120.]
26
zaman modern melalui kolonialisme. Mereka membawa liturgi, katekese, teologi, dan organisasi kegerejaan.27
Perjuangan Amaladoss dalam usaha kontekstualisasi teologi sudah mulai terbentuk sejak ia kecil. Lingkungan Amaladoss hidup dan bertumbuh pada umumnya beragama Hindu bahkan Amaladoss lebih mengenal kebiasaan-kebiasaan Hindu daripada Kristiani. Situasi demikian membuat Amaladoss menjadi pribadi yang terbuka dan menghormati perbedaan. Pertemuan dengan sannyasis Hindu membuat Amaladoss semakin mengagumi filsafat, spiritualitas, kebudayaan Hindu. Pada saat menjalani studi filsafat, terjadi Konsili Vatikan II sehingga hal ini membawa angin segar untuk Gereja Katolik. Peristiwa Konsili Vatikan II untuk Amaladoss sangat bermakna karena Konsili Vatikan II memantik sebuah era baru dalam berdialog dengan agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan lain yang sebelumnya tidak pernah dilakukan.28
Usai menyelesaikan studi doktoralnya, Amaladoss mengemban banyak tanggung jawab. Amaladoss menjadi dosen di India, Chennai, dan Filipina, yang membuatnya banyak melakukan diskusi tentang inkulturasi dan dialog.
Amaladoss juga memprakarsai banyak hal seperti mendirikan pusat teologi untuk Jesuit yang mengakomodir penggunaan bahasa lokal dan melakukan interaksi langsung dengan konteks yang ada (live-in) di beberapa tempat yang berbeda untuk merasakan situasi yang terjadi. Amaladoss menawarkan suatu refleksi teologi berdasarkan kitab suci dari agama-agama lain untuk bisa digunakan dalam
27 Michael Amaladoss, The Asian Jesus (New York: Maryknoll Orbis Books, 2006), 1.
28
liturgi Katolik. Amaladoss mengembangkan sebuah spiritualitas Kristen India dan sadhana (metode untuk berdoa), mengembangkan teologi India, dan bagaimana menyesuaikan gerak-gerik dan simbol-simbol India ke dalam Ekaristi yang bernuansa Ritus Romawi. Pada kongres misi Asia di Manila tahun 1979, Amaladoss membagikan pemikiran dan pengalamannya dalam usaha kontekstualisasi teologi untuk beberapa negara Asia secara khusus Asia Tenggara.29
Pada tahun 1983, Amaladoss mendapat tugas sebagai asisten superior Jendral Serikat Yesus di Roma. Selama bertugas di Roma, Amaladoss menaruh perhatian kepada misiologi. Amaladoss membagikan artikel pertamanya berkaitan dengan dialog yaitu Faith Meets Faith pada Kongres Asosiasi Misi Katolik Amerika di Baltimore. Artikel Faith Meets Faith Amaladoss mendapat banyak kritikan tetapi kritikan tersebut menjadi penyemangatnya untuk mengembangkan lagi pemikirannya tentang misi dan dialog.30
Amaladoss memprakarsai dalam pendirian sebuah lembaga teologi Asia (India) di Roma dan mengadakan banyak pertemuan. Selama berada di Roma, Amaladoss tetap berkomunikasi dengan India dan Asia dengan melakukan kunjungan ke Asosiasi Teolog India dan Konferensi Uskup Se-Asia. Usaha Amaladoss dalam mengkontekstualisasi teologi mendapat banyak kritik dari berbagai pihak. Amaladoss lebih ingin disebut sebagai seorang misiolog
29 Michael Amaladoss, “My Pilgrimage in Mission”, 22.
30
melainkan sebagai seorang teolog India yang tertarik mengkaji misi dan dialog, inkulturasi, dan teologi pembebasan.31
2.4 Gambaran Yesus Kristus dalam Sejarah Kristianitas
Sebagai teolog Asia, Amaladoss memperjuangkan agar Yesus Kristus yang adalah orang Asia dikenal sebagai Yesus dari Asia, bukan Yesus dari Barat.
Amaladoss berjuang agar Kristus dan Gereja-Nya mengakar dalam realitas konkret Asia serta teologi di Asia tidak menjadi teologi yang diterjemahkan dari teologi Barat tetapi teologi yang hidup dan mengakar di Asia. Amaladoss terlibat dalam dialog antar agama. Hal ini menyadarkan Amaladoss untuk menjadi seorang Kristen yang terbuka kepada agama lain. Menurut Amaladoss, untuk menjadi orang Kristen berarti kita harus siap untuk mewartakan Yesus kepada semua orang dengan cara berdialog. Selain berdialog, Amaladoss mengajak semua orang Kristen untuk membangun hidup harmoni di tengah dunia yang plural. Amaladoss mendorong para teolog Asia untuk memahami realitas ini dengan mengintegrasikan sikap positif terhadap agama-agama lain. Di Asia, masyarakat hidup dalam suku dan budaya yang berbeda sehingga semua orang diundang dan ditantang untuk bergerak keluar dari budaya dan ideologi mereka untuk menyambut dan merangkul yang lain.32
31 Michael Amaladoss, “My Pilgrimage in Mission”, 24.
32 Michael Amaladoss, Walking Together: the Practice of Inter-religious Dialogue (India: Gujarat
Amaladoss menyatakan bahwa Yesus lahir, hidup, mengajar, dan wafat di Asia. Dalam era modern, Yesus dibawa ke Asia oleh para misionaris Barat (Euro-Amerika) dan menjadi nampak sebagai seorang Barat. Gerakan misi para misionaris yang membonceng penjajah Portugis pada abad ke-16 memberi pengaruh positif dan negatif. Di satu pihak, mereka inilah yang memperkenalkan kristianitas untuk pertama kali kepada bangsa-bangsa di Asia. Dalam gejolak reformasi, mereka membawa Gereja Barat (Euro-Amerika) dengan liturgi, katekese, teologi, dan organisasi gerejawi ke daerah misi.33
Tidak dipungkiri bahwa kekristenan lebih berkembang ke Barat daripada ke Asia. Gambaran Yesus yang Barat mendapat reaksi yang yang negatif ketika diperkenalkan di Asia. Gambaran-gambaran Yesus yang dibawa oleh para misionaris tidak mampu memberi jawaban bagi konteks Asia yang memiliki ciri kemiskinan, pluralitas budaya, dan pluralitas agama.34
Dalam sinode para Uskup Se-Asia (1998), para uskup se-Asia menyadari
Dalam sinode para Uskup Se-Asia (1998), para uskup se-Asia menyadari