BAB II SEMBILAN GAMBARAN YESUS KRISTUS DI ASIA:
3.2 Biografi dan Karya-karya Joseph Ratzinger
Pada bagian ini penulis akan menguraikan riwayat hidup dan karya-karya Joseph Ratzinger. Ratzinger tumbuh dan berkembang pada masa Nazi (Nasionalisme-Sosialisme) yang dipimpin oleh Adolf Hitler menguasai Jerman.
Ratzinger pernah menjalankan wajib militer dan menyaksikan kekejaman Nazi terhadap masyarakat. Ratzinger juga melihat perjuangan Gereja Katolik dalam mempertahankan eksistensinya terhadap Nazi. Dalam peziarahan hidupnya, Ratzinger bertemu dan melakukan kontak dengan berbagai macam tokoh.
Pengalaman hidupnya dan pertemuan dengan berbagai macam tokoh membuat Ratzinger menjadi pribadi yang tegas dalam prinsip dan sangat akademis. Dengan pengalamannya ketika kecil, perjumpaan dengan berbagai tokoh, mengenyam pendidikan, serta menduduki posisi penting dalam Gereja Katolik, Ratzinger merumuskan berbagai macam pemikiran untuk teologi, secara khusus pada masa kepausannya, Ratzinger menulis tiga jilid buku mengenai Yesus Kristus.
Joseph Ratzinger lahir di Marktl am Inn, Bavaria, pada 16 April 1927.
Ratzinger memiliki dua saudara yaitu kakak perempuannya bernama Maria (1921) dan kakak laki-lakinya bernama Georg (1924). Ratzinger merupakan anak paling bungsu di dalam keluarga. Ayah Ratzinger yang bernama Joseph adalah seorang komisaris polisi (Gendarmerie-Kommisar) dan ibunya yang bernama Maria sebagai juru masak yang handal. Bagi Ratzinger, ayahnya berperan dalam
menumbuhkan pikiran kritis dan ibunya berperan dalam menanamkan kehangatan rasa religiusitas.2
Pada tahunn 1937, Ratzinger menjalani pendidikan di gymnasium yang terletak di pusat kota Traunstein. Pada tahun 1939, Ratzinger masuk seminari kecil di Traunstein. Kakak laki-laki Ratzinger sudah lebih dahulu masuk seminari.
Namun, pada tahun 1942 terjadi peperangan karena Hitler menginvasi Russia sehingga seluruh seminaris diminta untuk kembali pulang. Pada tahun 1943, saat berumur 16 tahun, Ratzinger menjalankan wajib militer. Ratzinger menghabiskan waktu dua tahun dalam dinas kemiliteran. Ratzinger tergabung dalam pasukan anti pesawat tempur (anti airfact corps) dan ditugaskan di Ludwigsfield dan Innsbruck.3
Setelah perang, Ratzinger masuk seminari di Freising, pusat gereja kuno di negara Jerman. Pada tahun 1947, Ratzinger menjalani studi pertamanya di Universitas Munchen. Pada tanggal 29 Juni 1951, Ratzinger bersama dengan kakaknya Georg dan Rupert Berger ditahbiskan menjadi imam oleh Kardinal Michael von Faulhaber di Muenchen. Pada tahun 1953, Ratzinger menyelesaikan studi doktoral dengan tema disertasi yaitu mengupas pemikiran Agustinus dan secara khusus judul disertasinya adalah Umat dan Rumah Allah dalam Doktrin Gereja Agustinus (Volk und Haus Gottes in Augustinus Lehre von der Kirche).
Untuk meraih gelar professor, Ratzinger menulis habilitasi mengenai Teologi
2 J. L. Allen, Cardinal Ratzinger: The Vatican Enforcer of the Faith (New York: Continuum, 2000), 1-10.
3
Bonaventura. Ratzinger menjadi profesor teologi di Kolose Freising. Ratzinger mengajar dogma dan teologi fundamental pada sekolah tinggi filsafat dan teologi di Freising sampai tahun 1959. Karirnya sebagai teolog dilanjutkan di Universitas Bonn dari tahun 1959 sampai dengan 1969.4
Pada tahun 1963, Ratzinger mengajar di Universitas Munster. Dari tahun 1966 sampai dengan tahun 1969, Ratzinger mengajar di Universitas Tubingen. Di Universitas Tubingen, karir Ratzinger berkembang pesat. Ratzinger menduduki posisi penting dalam dunia akademik secara khusus dalam bidang teologi.5
Pada tahun 1969, Ratzinger kembali ke Bavaria dan mengajar di Universitas Regensburg. Di Universitas Regensburg, Ratzinger pernah menjabat sebagai dekan dan wakil dekan. Ratzinger juga menjadi penasihat teologi bagi para uskup Jerman serta menjadi anggota komisi teologi internasional yang dibentuk setelah Konsili Vatikan II. Selama kurun waktu tersebut, Ratzinger memeroleh reputasi sebagai seorang yang cerdas dan cendekiawan yang rajin.
Ratzinger menjadi seorang teolog sekaligus akademisi hingga tahun 1977 ketika ia ditunjuk sebagai Uskup Agung Freising.6
Pada tanggal 24 Maret 1977, Ratzinger ditunjuk sebagai Uskup Agung Munchen dan Freising oleh Paus Paulus VI. Ratzinger memilih mottonya sebagai Uskup Agung yaitu Cooperatis Veritatis (Rekan kerja kebenaran). Pada tahun 1978, Paus Paulus VI mengangkat Ratzinger menjadi Kardinal dengan gelar
4 J. L. Allen, Cardinal Ratzinger, 43.
5 J. L. Allen, Cardinal Ratzinger, 49-50.
6
Kardinal-Imam Santa Maria Conlatrice al Tiburtino. Pada tahun 1980, Ratzinger ditunjuk oleh Paus Yohanes Paulus II sebagai relator, jabatan untuk sinode khusus untuk menangani awam.7
Pada tahun 1981, Ratzinger menjabat sebagai Prefek Kongregasi Ajaran Iman. Sebagai Prefek Kongregasi Ajaran Iman, Ratzinger mendapatkan kesempatan untuk berjumpa dengan banyak orang dan berhadapan dengan pendengar yang lebih luas serta didukung oleh otoritas Gereja di Roma. Sebagai prefek, Ratzinger memiliki kebiasaan yaitu dengan merancang publikasi dari dokumen-dokumen dalam format buku. Dengan cara tersebut, Ratzinger mampu mengukur ketegasan kebijakannya secara menyeluruh.8
Pada tanggal 19 April 2005, Ratzinger terpilih sebagai Paus ke-265 dan mengambil nama kepausannya yaitu Paus Benediktus XVI. Paus Benediktus XVI menjabat sebagai paus selama delapan (8) tahun. Terhitung sejak 28 Februari 2013, Paus Benediktus XVI mengundurkan diri karena alasan kesehatan. Dalam pernyataannya, Paus Benediktus XVI menyebutkan bahwa ia tidak lagi memiliki kekuatan untuk menjalankan tugas-tugas kepausan. Dengan keputusan ini, Paus Benediktus XVI menjadi paus ketiga dalam sejarah kepausan Gereja Katolik
7 John Tavis dan Cindy Wooden, “Cardinal Ratzinger, Guardian of Church Doctrine, Elected
265th Pope” (19 April 2005) , tersedia dari:
http://www.catholicnews.com/data/stories/cns/0502405.htm; diakses 14 November 2018.
8 Aidan Nichols, The Thought of Pope Benedict XVI: An Introduction to the Theology of Joseph
Roma yang mengundurkan diri setelah Paus Selestinus V dan Paus Gregorius XII.9
Sebagai paus, teolog, dan akademisi, Joseph Ratzinger menerbitkan berbagai karya. Karya Ratzinger yang terbit ketika selama menjadi dosen di beberapa universitas yaitu: Die christiche Bruderlichkeit, 1960 (Christian Botherhood, 1966), bersama Karl Rahner, Ratzinger membuat karya The Episcopate and Primacy (1962) dan Revelation and Tradition (1966), Being Christian (1965/1970), Introduction to Christiany (1968/1969), bersama Balthasar, Ratzinger menulis buku Two Say Why: Why I am still in the Church (1971), dan The Eschatology, Death, and Eternal Life (1977/1988). Karyanya yang terbit ketika menjadi Uskup Freising bersama K. Lehman yaitu Living with the Church (1977) dan The Eucharist: The Heart of Life (1978).10
Karya Ratzinger yang terbit ketika menjadi Prefek Kongregasi Ajaran Iman dari tahun 1981-2005 yaitu Daughter of Zion (1983), Seeking God`s Face (1982), The Feast of Faith (1986), Journey towards Easter (1987), Seek that which is above (1986), The Ratzinger Report (1985), Church, Ecumenism, and Politics (1987), Gospel, Catechis, Catechism: Sidelight on the Catechism of the Catholic Church (1997), Many Religions-One Covenant: Israel, the Church, and the World (1999), The Nature and Mission of Theology (1995), A New Song for the Lord: Faith in Christ and Liturgy Today (1997), Salt of the Earth: The Church
9 Libreria Editrice Vaticana, “Biography of His Holiness, Pope Benedict XVI” (2005), tersedia dari http://w2.vatican.va/content/benedict-xvi/en/biography/documents/hf_ben xvi_bio_20050419_short-biography.html; diakses 14 November 2018.
10
at the End of the Millenium (1997), The Spirit of Liturgy (2000), God is Near Us (2003), On The Way To Jesus Christ (2004).11
Karya Ratzinger yang terbit saat dan setelah menjadi paus yaitu: Jesus of Nazareth: From the Baptism in the Jordan to the Transfiguration (2007), Jesus of Nazareth: Holy Week: From the Entrance into Jerusalem to the Resurrection (2007), Jesus of Nazareth: The Infancy Narratives (2012), Church Father: From Clement of Rome to Agustine (2008), Light of the World: The Pope, The Church, and the Signs of the Times (2010), Europe Today and Tommorow (2007), bersama Jurgen Habermas, menulis buku The Dialectics of Secularization (2005), Value in a Time of Upheaval (2005), Holy Women (2011), Christianity and The Crisis of Cultures (2006), Copendium of the Catechism of the Catholic Church (2006), The Joy of Knowing Christ (2009), Faith and The Future (2009), Liberare La Liberta: Fede e Politicanel Terzo Millennio (Membebaskan Kebebasan: Iman dan Politik pada Millennium III, 2018). Surat Apostolik yaitu Sacramentum Caritatis (2007), Verbum Domini (2010), dan ensiklik yaitu Deus Caritas Est (2006), Spe Salvi (2007), dan Caritas in Veritate (2009).12
11 Aidan Nichols, The Thought of Pope Benedict XVI, 171-205.
12
3.3 Latar Belakang Gagasan Teologi-Kristologi Joseph Ratzinger
Sebelum menjadi paus, Ratzinger merupakan seorang akademisi dan teolog yang banyak menulis baik dalam bentuk buku maupun artikel. Dalam melahirkan buku-buku dan artikelnya, Ratzinger dipengaruhi banyak hal seperti tokoh-tokoh dan situasi sosial-historis yang terjadi. Dalam mendeskripsikan teologi-kristologinya, Ratzinger juga dipengaruhi oleh banyak hal. Pada bagian berikut, akan dipaparkan tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikiran Ratzinger dan situasi sosial-historis.
3.3.1 Tokoh-tokoh yang Mempengaruhi
Pertama, pengaruh Agustinus untuk Ratzinger berawal ketika Ratzinger menulis disertasi yang berjudul People of God and House of God in Agustine`s Doctrine of the Church. Perkenalan dengan Agustinus tidak lepas dari peran Romano Guardini. Romano Guardini menampilkan keyakinan bahwa teologi abad ke-20 terbukti sebagai abad Gereja (Century of the Church). Guardini memerlihatkan bahwa gagasan tentang Gereja bangkit kembali baik dalam segala kedalaman maupun dalam keluasannya. Ratzinger tertarik mengeksplorasi tulisan-tulisan Agustinus untuk memeroleh wawasan yang mendalam perihal sifat dasar
komunitas kristiani. Ratzinger tertarik dengan pemikiran Agustinus yang menyatakan bahwa Gereja serentak umat dan rumah Allah.13
Pemikiran Agustinus tentang Gereja sebagai umat dan rumah Allah berperan dalam mengembangkan gagasan Ratzinger mengenai ekklesiologi.
Ratzinger melihat konsep Gereja dari Agustinus bergantung pada a priori atau sebuah asumsi. Konsep Gereja dari Agustinus yang bergantung pada a priori bersumber dari filsafatnya dan dari teologi Romawi Afrika Utara. Ratzinger menggunakan konsep ekklesiologis Agustinus secara dogmatis untuk menghadapi aliran Donatis dan secara apologetis untuk menghadapi kebudayaan kafir di Romawi Barat.14
Ratzinger menyimpulkan pemikiran Agustinus perihal Gereja yaitu bahwa Agustinus menggunakan kata ‘umat Allah’ dalam tiga tingkatan pertama.
Pertama, kata ‘umat Allah’ mengacu pada bangsa Israel sebagai bangsa dalam pengertian umum tetapi memiliki panggilan khusus terhadap tanda kedatangan Umat Allah yang benar yaitu Gereja Rohani. Kedua, Umat Allah sebagai sarana imaji-karakter untuk memasuki realitas yang otentik. Keseluruhan realitas hanya bisa ditangkap melalui, dengan gambaran, dan analogi-analogi. Ketiga, Agustinus menganggap umat Allah sebagai kerajaan Gereja Katolik yang secara penuh pantas disandingkan dengan pasangan eskatologis-surgawinya.15
13 Aidan Nichols, The Thought of Pope Benedict XVI, 17.
14 Aidan Nichols, The Thought of Pope Benedict XVI, 19.
15
Kedua, Ratzinger memiliki ketertarikan dengan filsafat dan teologi sejarah. Ketertarikan Ratzinger pada filsafat dan teologi membawanya untuk mendalami pemikiran Bonaventura (1217/1221-1274) tentang kisah penciptaan yang tertulis di dalam biblis yang termuat dalam karya Bonaventura yaitu Collationes in Hexaemeron. Karya Collationes in Hexaemeron Bonaventura merupakan tanggapan atas ajaran Joachim tentang korektif (a corrective interpretation). Ajaran Joachim dikoreksi berdasarkan tradisi atau penafsiran gerejani.16
Ratzinger memakai elemen-elemen Kristosentrisitas Bonaventura dalam penjelasan tentang Kristus. Bonaventura menekankan kristosentrisitas sebagai titik untuk menjadikan Kristus sebagai pusat dari segala pusat bahkan untuk semua ilmu. Menurut Bonaventura, Kristus adalah pusat dalam penyaliban-Nya.
Pernyataan ini ditegaskan Ratzinger bahwa “Dengan Salib-Nya, dia membuka pusat yang hilang dari lingkaran dunia, dengan itu ia memberi dimensi dan makna sejati bagi setiap gerakan baik kehidupan setiap pribadi maupun sejarah manusia secara keseluruhan”. 17 Bagi Ratzinger, teologi yang benar selalu disusun berdasarkan pengalaman para kudus.18
Ketiga, Romano Guardini (1885-1968) merupakan seorang teolog modern yang lahir di Italia dan besar di Jerman. Guardini banyak menghasilkan
16 J. Ratzinger, The Theology of History in St. Bonaventure (Illinois: Fransiscan Herald Press, 1989), 51.
17 “With his Cross he has uncovered the lost centre of the world`s circle, thus giving their true dimensions and meaning to the movement both of individual lives and of human history as a whole”. [Lihat J. Ratzinger, The Theology of History in St. Bonaventure, 146.]
18
gagasan. Guardini menulis tentang Gereja dan kebudayaan supaya Gereja terbuka pada kebudayaan modern. Guardini berperan dalam pembaharuan liturgi di Jerman. Reformasi liturgi dimulai dengan gerakan untuk membawa liturgi yang semula berpusat di biara-biara Benediktin menuju paroki-paroki. Guardini mendorong agar terjadi penghargaan yang lebih besar terhadap Injil secara khusus untuk para awam.19
Pemikiran Guardini tentang liturgi, ekklesiologi, dan konsep Allah memiliki sumbangan besar untuk Ratzinger. Dalam introduksi buku The Lord, Ratzinger mengatakan bahwa liturgi merupakan tempat umat beriman untuk berjumpa dengan Kristus yang hidup. Ratzinger memiliki pandangan yang sama dengan Guardini yang mengatakan bahwa hanya Gereja Katolik yang dapat memberikan makna objektif dari konsep Allah. Menurut Ratzinger, jika seorang pribadi hanya alat Allah, maka dia dapat mengatakan bahwa Allah adalah alat untuk dirinya sendiri. Melihat akan adanya pendapat demikian maka dibutuhkan sebuah acuan yaitu Gereja Katolik.20
Keempat, Hans Urs van Balthasar (1905-1988) adalah seorang teolog berkebangsaan Swiss. Karya besar Balthasar adalah trilogi yang memuat estetika, kristologi, dan meditasi Trinitas. Pemikiran Balthasar yang terkemuka berkenaan dengan kodrat dan rahmat, dan kristologi. Balthasar menyetujui model dua cerita tentang rahmat dan kodrat yang dipikirkan oleh para teolog terdahulu. Rahmat dipandang sebagai suatu yang ditambahkan oleh Allah pada kodrat tetapi hal
19 J. L. Allen, Cardinal Ratzinger, 38.
20
tersebut belum mencukupi. Balthasar berpendapat bahwa manusia ambil bagian dalam landasan bersama dengan Allah tetapi tetap ada jarak dan lebih digerogoti oleh dosa. Pertanyaan selanjutnya untuk Balthasar dan Ratzinger yaitu persoalan seberapa baik kemanusiaan. Balthasar dan Ratzinger menjawab bahwa tanpa kesetiaan pada pewahyuan, kemanusiaan ditakdirkan akan menuju kekeliruan.21
Perihal kristologi, Baltahasar berpendapat bahwa untuk memahami Yesus dapat melalui Injil Yohanes. Yesus hanya dapat dipahami setelah peristiwa kebangkitan dan bukan saat Yesus berkarya. Balthasar mengkritik para teolog pembebasan yang memanfaatkan rekonstruksi dari para ilmuwan tentang Yesus historis dan bukan Kristus imani. Balthasar meramalkan bahwa usaha akademisi untuk mencari tingkatan definitif dalam kehidupan Yesus hitoris akan membuat terputusnya dengan iman kristen. Menurut Balthasar, kita harus memilih Kristus atau tidak sama sekali.22
3.3.2 Konteks Sosial-Historis
Joseph Ratzinger mengawali hidup dan bertumbuh di daerah Bavaria.
Pada saat Ratzinger lahir, daerah Bavaria dipimpin oleh Partai Katolik Bavarian People`s Party (BVP). Organisasi BVP memerintah sampai partai politik dihapus oleh pemerintah Nasionalisme-Sosialis (Nazi) pada tahun 1933. Ratzinger tumbuh
21 J. L. Allen, Cardinal Ratzinger, 40-41.
22
dalam kerangka sekular yang dibentuk oleh Adolf Hitler. Hitler berusaha membuat revolusi dalam masyarakat Jerman.23
Hitler memiliki cita-cita untuk menghapus pola marxisme dan partikularisme. Dalam perjalanan waktu, dukungan terhadap Nazi mulai berkurang dan mencapai titik puncak saat terjadi tekanan terhadap Gereja-gereja (Kirchenkampf) terutama terhadap Gereja Protestan. Tekanan terhadap Gereja-gereja menyebabkan terjadinya konflik terbuka pada awal musim gugur 1934.
Gereja Protestan di Jerman diambil alih dan dikendalikan oleh pemerintahan Nazi.24
Ratzinger cukup tertekan dengan berita korban yang menyebutkan kematian para prajurit dan beberapa di antaranya kakak kelasnya di sekolah.
Ratzinger terdaftar sebagai kaum muda Hitler (the Hitler Youth). Ratzinger tidak menjadi anggota aktif dan tidak tertarik untuk meneruskannya. Ratzinger meneruskan minatnya pada kesusasteraan, memainkan Mozart, dan bergabung dengan perjalanan keluarga ke Salzburg.25
3.4 Gagasan Kristologi Joseph Ratzinger
Joseph Ratzinger menilai bahwa kristologi memiliki peran dan posisi penting dalam teologi Kristen yakni sebagai sumber dan sekaligus dasar bagi
23 Aidan Nichols, The Thought of Pope Benedict XVI, 7.
24 Aidan Nichols, The Thought of Pope Benedict XVI, 8.
25
teologi. Karya penyelamatan Allah terjadi dalam Yesus Kristus dan terjadi bagi Gereja dalam persekutuan umat Allah. Joseph Ratzinger prihatin dengan gejala yang menunjukkan kecenderungan yang tidak jarang membentuk gambaran Yesus Kristus yang kurang utuh. Ratzinger mengingatkan untuk kembali melihat perdebatan kristologis pada abad-abad kristianitas yaitu mulai dari identitas Yesus sebagai Allah-manusia, ke-Anak-Allah-an-Nya, hingga menyangkut Teotokos.
Perumusan yang tidak hati-hati hanya akan membawa pada perdebatan persoalan yang sebenarnya sudah selesai. Bagi Ratzinger, rumusan iman akan Yesus Kristus secara khusus sudah final pada konsili-konsili ekumenis awal. Pemahaman kristologi haruslah utuh dan tak terpilah-pilah.26
3.4.1 Yesus Kristus sebagai Pemenuhan Wahyu Allah
Pemahaman Ratzinger tentang pewahyuan tidak statis, abstrak namun dinamis. Karakteristik wahyu berkembang dalam sejarah sehingga menjadi dialogis dan stukturnya berbentuk naratif. Puncak dari wahyu Allah yang berlangsung dalam sejarah merupakan jalan masuk ke dalam narasi tentang sosok Yesus Kristus. Yesus Kristus merupakan dialog, pertemuan antara Allah dan manusia. Ratzinger melihat Yesus Kristus sebagai kepenuhan wahyu Allah sehingga Ratzinger mendefenisikan kristologi dengan kata menjadi (to be).
Menurut Ratzinger, definisi kristologi menjadi (to be) menjadi kunci hermeneutis
26
bagi keseluruhan teologi. Yesus Kristus merupakan dasar bagi seluruh pengalaman Kristen dan untuk setiap aspek refleksi teologis dalam tradisi Kristiani.27
Teologi Ratzinger tidak ingin menggambarkan Yesus Kristus dalam bentuk antroposentrisme yang terjadi dalam teologi Katolik abad kedua puluh, yang mencoba memahami misteri Kristen dalam pandangan egosentris Cartesian.
Sebaliknya, Ratzinger menekankan sentralitas dari hermeneutika Kristiani tentang sejarah keselamatan. Manusia dapat dipahami dengan benar dalam terang Yesus Kristus dan bukan sebaliknya.28
Menurut Ratzinger, sentralitas Yesus Kristus menjadi jelas justru karena sifat dialogis dari seluruh teologinya. Ratzinger menjelaskan bahwa kristologi adalah subjek dan fondasi baru dari semua teologi. Menurut Ratzinger, tidak hanya Allah berbicara kepada umat manusia melalui Yesus Kristus, tetapi umat manusia sekarang dapat masuk ke dalam subjektivitas baru yang berkenaan dengan Allah. Ratzinger melihat pengalaman Paulus sebagai paradigma dari subjektivitas baru ini dengan pernyataan tentang identitas barunya: “Aku hidup, bukan lagi aku, tetapi Kristus hidup di dalam aku” (Gal 2:20). Hal ini bukan
27 Emery de Gaál Gyulai, The Theology of Pope Benedict XVI: The Christocentric Shift (New York: Palgrave Macmillan, 2010), 300-301; Christoper S. Collin, The Word Made Love: The Dialogal Theology of Joseph Ratzinger/Benedict XVI (Collegeville, Minnesota: Liturgical Press, 2013), 77.
28 Emery de Gaál Gyulai, The Theology of Pope Benedict XVI, 300; Christoper S. Collin, The
hanya pengalaman Paulus tetapi pengalaman mendasar dari semua orang Kristen.29
Penginjil Yohanes menjelaskan sabda Yesus kepada murid-murid-Nya:
“Jika sebutir gandum tidak jatuh ke tanah dan mati, itu tetap tinggal sebutir gandum; tetapi jika ia mati, ia menghasilkan banyak buah (Yoh 12:24).” Para murid akan datang untuk melihat teladan sempurna dari orang yang mati dan menghasilkan banyak buah dan bagaimana mereka dapat melakukan hal yang sama dalam kehidupan mereka sendiri dan meniru-Nya. Buah baru di antara umat beriman berasal dari persatuan dengan Yesus Kristus sehingga masuk ke dalam subjektivitas baru yaitu Yesus Kristus. Hal ini yang diperlukan dari diri manusia lama untuk menjadi hidup kembali sebagai ‘Aku’ yang baru di dalam Kristus.30
Dari seluruh sejarah keselamatan yang memuncak dalam kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus, metode refleksi teologi Ratzinger melihat kembali seluruh narasi dengan kembali mempelajari sejarah keselamatan. Kita dapat mengatakan bahwa pendekatan kristologi ini sebagai ‘dialogis’ karena bentuknya mengikuti sabda Allah dan tanggapan manusia sepanjang sejarah.
Dialog antara Allah dan manusia membentuk narasinya sendiri sepanjang sejarah keselamatan. Pribadi Kristus merupakan kesempurnaan dan kepenuhan dialog ini,
29 Joseph Ratzinger, The Nature and Mission of Theology: Essays to Orient Theology in Today’s Debates (San Francisco: Ignatius Press, 1995), 50-51.
30
baik sebagai Allah yang berbicara kepada manusia maupun manusia yang menanggapi Allah.31
Untuk menelaah historisitas Yesus Kristus, Ratzinger mendekatinya dengan yang ia sebut hermeneutika iman. Dalam kata pengantar volume kedua buku Jesus of Nazareth, Ratzinger menyatakan bahwa dia tidak berusaha untuk menulis kristologi. Sebaliknya, ia mengatakan bahwa maksudnya yaitu membuat risalah teologi tentang misteri kehidupan Yesus. Ratzinger membandingkan tulisannya dengan risalah Santo Thomas Aquinas, dengan penekanan yang terletak dalam konteks historis dan spiritual yang berbeda dari Aquinas. Ratzinger juga memiliki tujuan batin yang berbeda yang menentukan struktur teks dalam cara penting. Ratzinger lebih menitikberatkan isinya mengenai meditasi tentang misteri kehidupan Kristus, atau lebih mengarah pada bentuk kristologi Alkitab.32
Bukan sebuah kebetulan Ratzinger menyatakan karya-karyanya sebagai pencarian pribadinya terhadap wajah Yesus. Sejak awal, Ratzinger memperkenalkan dua dasar kristologinya. Refleksinya tentang misteri Yesus berfokus sebagai orang yang melihat Allah dari muka ke muka dalam doa, dan Yesus merupakan orang yang sungguh dapat menyatakannya: “Tidak seorang pun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dia-lah yang menyatakan-Nya” (Yoh. 1:18). Ratzinger melihat Yesus sebagai nabi terakhir, orang yang melampaui Musa, nabi terbesar dari Perjanjian
31 Christoper S. Collin, The Word Made Love, 78-79.
32 Joseph Ratzinger, Jesus of Nazareth, Holy Week: From the Entrance into Jerusalem to the
Lama. Musa berbicara kepada Allah ‘dari wajah ke wajah’ sebagai seorang teman (Kel. 33:11 dan Ul. 34:10). Musa masuk ke dalam awan tempat Allah hadir, tetapi Ia tidak bisa melihat wajah Allah. Allah tersembunyi di celah batu dan Musa hanya melihat punggung Allah (Kel. 33: 20-33). Yesus melihat Bapa dari wajah ke wajah, karena Ia adalah yang paling dekat dengan Bapa, Ia dapat membuat Bapa dikenal secara pasti.33
Menurut Ratzinger, untuk memahami Yesus dalam Perjanjian Baru, kita harus melihat relasi-Nya dengan Bapa dari wajah ke wajah. Semua yang diberitahukan kepada kita tentang sabda, perbuatan, penderitaan, dan kemuliaan-Nya dalam relasinya dengan Bapa. Ratzinger menyatakan bahwa doa Yesus merupakan hal yang penting untuk pemahaman kita tentang siapa Dia. Penjelasan dalam Injil tentang Yesus yang berdoa sendirian dengan Bapa-Nya merupakan bagian fundamental untuk pemahaman kita tentang Dia.34
Ratzinger memahami bahwa karena sosok Yesus itu historis, Ia dengan tepat didekati dengan metode analisis kritis. Namun, pendekatan
Ratzinger memahami bahwa karena sosok Yesus itu historis, Ia dengan tepat didekati dengan metode analisis kritis. Namun, pendekatan