5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Supply Chain Management (SCM)
Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi membuat dunia manufaktur menjadi semakin kompleks dengan berbagai tantangan baru dan semakin berat. Banyak produsen yang bergerak dibidang manufaktur mulai sadar untuk mengembangan proses produksinya sehingga lebih effisien dan murah. Hal ini di dasarkan untuk mengurangi biaya-biaya produksi yang mungkin masih terbuang secara cuma-cuma yang membuat harga dari produk yang mereka buat menjadi lebih mahal karena biaya produksinya lebih besar, sedangkan konsumen menginginkan barang dengan harga murah dan bagus. Sehingga perusahaan harus menyiapkan produk dengan cepat dan berkualitas. Penyediaan keingginan komsumen tidak hanya mengandalkan kemampuan pihak internal perusahaan saja melainkan bantuan dari pihak ketiga dalam penyaluran barang dengan cepat juga diperlukan. Aspek pihak ketiga ini bisa berperan dalam penyaluran produk jadi ataupun bahan baku untuk mendukung jalannya produksi. Dan pada tahun 1990 munculah sebuah konsep baru yang membantu perusahaan dalam penyediaan bahan baku atau pun sebagai penyalur produk ke pada konsumen dengan cepat dan berkualitas yang mulai dikenal dengan sebutan Supply Chain Management.
Menurut (Lambert & Cooper, 2000), Supply chain Management adalah integrasi kunci proses bisnis dari pengguna akhir melalui pemasok asli yang menyediakan produk, layanan,dan informasi yang ditambahkan nilai bagi pelanggan dan stakeholder lainya.
Menurut Hervani, Helms, and Sarkis (2005), mendefinisikan Supply chain Management adalah koordinasi dan pengelolaan yang kompleks jaringan aktivitas yang terlibat dalam mengantarkan produk jadi ke pengguna akhir yang di dalam proses nya meliputi : sumber bahan
mentah, pembuatan dan perakitan produk, penyimpanan, pemesanan, pendistribusian melalui berbagai saluran dan akhirnya sampai ke pelanggan.
Menurut Pujawan and Mahendrawathi (2010), Supply chain management merupakan jaringan-jaringan perusahaan yang secara bersama-sama bekerja untuk menciptakan dan menghantarkan produk sampai ke tangan pemakai akhir. Perusahaan-perusahaan tersebut termasuk supplier, pabrik, distributor, toko atau retailer serta perusahaan-perusahaan pendukung seperti perusahaan jasa logistik.
Menurut beberapa penjelasan mengenai Supply chain management diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan Supply chain management merupakan beberapa jaringan perusahaan yang saling berintegrasi satu sama lain untuk menciptakan produk dalam hal ini terdapat supplier yang menyediakan bahan baku kemudian di proses oleh perusahaan, dan melakukan pengiriman yang dilakukan oleh distributror kepada agen atupun langsung ketangan konsumen, dengan murah dan berkualitas.
Sumber : Pujawan and Mahendrawathi (2010)
Gambar 2.1 Aliran Supply Chain Management Dan 3 Aliran Data yang di Kelola
Supply chain management dapat diartikan sebagai sebuah jaringan organisasi yang menghubungkan hulu (Supplier) dan hilir (consumen) dari
sebuah perusahaan. Dalam supply chain ada beberapa pemain utama yang merupakan perusahaan-perusahaan yang mempunyai kepentingan yang sama yaitu:
Chain 1 : Supplier
Supplier merupakan penyedia bahan baku atau bahan awal yang menjadi penyetok atau penyuplai yang mengirim bahan baku yang akan dipakai oleh perusahaan .
Chain 1-2 : Sutpplier – manufacture
setelah barang dikirim kan oleh suppier kepada perusahaan maka selanjutnya perusahaan akan melakukan proses manufacture yang mengubah ataupun menambah nilai guna dari yang sebelumnya bahan baku ataupun bahan setengah jadi menjadi sebuah barang siap pakai. Didalam proses manufacture biasanya perusahaan melakukan pembuatan produk (Make a product), menyatukan produk (assembly) ataupun melakukan dua kegiatan tersebut.
Chain 1-2-3- : Supplier – manufacture - Distributor
Chain selanjutnya yakni distributor , barang yang sudah jadi yang sudah di kerjakan pada proses Manufacture selanjutnya akan disistribusikan dan tugas distribusi ini biasanya dilakukan oleh pihak distributor yang akan mengantarkan produk yang telah di proses kepada retailer ataupun ke gudang-gudang yang akan menyimpan produk yang telah selasai di proses.
Chain 1-2-3-4 : Supplier – manufacture - Distributor – Retailer
Retailer merupakan bagian dari chain yang bertugas untuk memasarkan produk yang telah di proses sebelumnya dan di antarkan oleh bagian distributor. Bagian retailer ini berhubungan langsung dengan consumen diamana retailer akan menawarkan kepada consumen produk yang telah dibuat oleh manufaktur.
Chain 1-2-3-4-5 : Supplier – manufacture - Distributor – Retailer – Consumen
Cosumen merupakan tujuan akhir dari proses supply chain dimana consumen pemakai dari produk yang sudah di proses. Consumen disini berperan sebagai pihak pemakai yang menjadi sasaran penjualan yang dilakukan oleh perusahaan dan retailer.
Dalam aliran supply chain dari Supplier – manufacture – Distributor – Retailer terjadi 3 perpindahan yakni Perpindahan Material, Financial dan Informasi. Perpindahan ini terjadi dari Hulu (Supplier) sampai ke Hilir (Consumen) dan begitu juga sebaliknya.
2.2 Green Supply Chain Management (GSCM)
Green supply chain management merupakan sebuah sistem yang mengintegrasikan proses bisnis dalam sebuah perusahaan dengan mitra pemasok dan jalur distribusi perusahaan dengan memperhatikan dampak lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan yang dilakukan. Dalam GSCM lingkungan menjadi sebuah hal yang diperhatikan guna menjaga kelestarian lingkungan dan juga memenuhi standarisasi pengolahan limbah yang ditimbulkan akibat dari proses produksi.
Dalam setiap kegiatan dalam perusahaan dapat menimbulkan yang namanya limbah baik berupa polusi udara dari mesin-mesin produksi atupun limbah buangan yang di timbulkan dari proses produksi. Maka karena itulah perlu dilakukan pengontrolan dan management yang baik dalam pengolahannya sehingga tidak membahayakan lingkungan sekitar. Dalam penerapannya sendiri GSCM juga membantu perusahaan dalam mengukur kinerja dan juga memaksimalkan produksi perusahaan.
Menurut Vachon and Klassen (2008), ketika suatu perusahaan berusaha untuk mencapai keberlanjutan dalam aspek lingkungan, maka managemen dari perusahaan harus memeperluas usaha mereka untuk meningkatkan lingkungan sepanjang berjalannya supply chain. Sabri and Beamon (2000)
menyatakan semua faktor yang mempengaruhi dalam sebuah rantai akan diperpanjang ke rantai lainnya. Maksudnya ialah sebuah aspek dalam sebuah rantai pasok saling mempengaruhi satu sama lain, sehingga bila dalam sebuah rantai terjadi perubahan maka akan mempengaruhi perkerjaan lainnya yang masih terhubung dalam satu rantai.
Dari beberapa pendapat yang ada maka dapat di simpulkan bahwa dalam green supply chain management penilaian proses internal perusahaan harus di gabungkan dengan proses eksternal perusahaan yang melibatkan Supplier, distributor dan costumer. Green Supply Chain Management dapat dinyatakan sebagai pembelian, proses manufacture pengelolaan material distribusi dan pemasaran serta reverse logistic yang ramah lingkungan (Linton, Klassen, & Jayaraman, 2007), yang artinya dalam Green supply chain management sangat memperhatikan pengelolaan yang ramah lingkungan demi mendukung lingkungan yang baik.dalam internal perusahaan sendiri terdapat 4 bagian yang menjadi sorotan utama dalam green supply chain management yakni :
a. Perancangan yang ramah lingkungan (Green design)
Perancangan yang ramah lingkungan disini maksudnya yakni dalam perancangan prodok atau jasa yang ditawarkan perusahaan harus mendorong kesadaran lingkungan. Ruang lingkup dari green design mencakup pengelolaan resiko lingkungan yang ditimbulkan, keamanan produk, kesehatan dan keamanan dalam pekerjaan, pencegahan pencemaran lingkungan (polusi), konservasi sumber daya dan pengelolaan limbah yang dihasilkan dari proses produksi (Srivastava, 2008).
b. Proses manufacture yang ramah lingkungan (Green Manufacture) Proses manufacture yang ramah lingkungan yakni proses manufacture yang proses peancangan dan pengerjaannya memperhitungkan dampak negative yang ditimbulkan terhadap lingkungan.
c. Pengelolaan limbah
Pengelolaan limbah bertujuan utuk mengurangi dampak berbahaya yang ditimbulkan dari limbah yang dihasilkan perusahaan agar tidak merusak ekosistem yang ada atupun tidak menimbulkan dampak yan buruk bari lingkungan. Pengelolaan limbah mencakup kegiatan pengurangan sumber daya, pencegahan polusi, dan pembuangan limbah (Srivastava & Srivastava, 2006).
d. Reverse logistik
Reverse logistic atau logistik pengembalian merupakan salah satu usaha untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan yang ditimbulkan dari bahan produksi cacat yang terlanjur dipasarkan. Pada reverse logistic barang yang ditarik akan didaur ulang sehingga mengurangi limbah yang dihasilkan.
Green supply chain management memiliki beberapa manfaat seperti yang disebutkan Salam (2008) :
a. Peningkatan ekonomi melalui peningkatan efisiensi b. Keuntungan berkompetisi melalui inovasi
c. Meningkatkan kualitas produk
d. Memelihara konsistensi terhadap lingkungan e. Meningkatkan citra perusahaan
f. Konservasi alam g. Pengurangan limbah h. Penghematan biaya
i. Mengurangi jumlah zat-zat atau bahan berbahaya bagi lingkungan.
Dalam green supply chain management ada empat dimensi yang perlu dipertimbangkan dalam praktiknya (Masudin, 2017)
a. Green Procurement
Green Procurement adalah sebuah sistem pengadaan ramah lingkungan dimana dalam aktivitasnya melibatkan pengurangan, penggunaan kembali, dan daur ulang bahan sebagai solusi peningkatan lingkungan, ekonomis, dan konservatif untuk memperoleh produk dan layanan yang meminimmalkan dampak terhadap lingkungan. Green procurenment mencakup :
1. Pemilihan supplier 2. Kegiatan daur ulang b. Green manufacturing
Green manufacturing merupakan aktifitas produksi yang menggunakan input yang memiliki dampak rendah dan efisien terhadap lingkungan serta menghasilkan sedikit limbah atau polusi.
Green manufacturing dapat menurunkan biaya bahan baku, efisiensi produksi, biaya produksi, biaya K3 dan dampak lingkungan yang ditimbulkan.
c. Green distribution
Green distribution merupakan kegiatan yang tediri dari green packaging dan green logistics. green packaging meliputi pemakaian bahan yang ramah lingkungan, penghematan kemasan, standarisasi kemasan, minimalisir penggunaan bahan dan waktu daur ulang kemasan. green logistics mencakup pengiriman barang langsung ke pengguna, penggunaan bahan bakar alternative dan pendistribusian produk dalam jumlah besar.
d. Reverse logistic
Reverse logistic merupakan proses pengambilan kembali produk dari konsumen atau distributor karena adanya kecacatan atau habis masa berlakunya dengan tujuan untuk meningkatkan nilai atau pembuangan yang tepat.
2.3 Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja merupakan salah satu tolak ukur apakah sebuah perusahan sudah bekerja dengan baik atau belum. Dalam pengukuran kinerja terdapat dua tipe yakni pertama, pengukuran kinerja tradisional yang mana pengukuran kinerja yang hanya melihan bagaimana kondisi keunangan perusahaan. Kedua, pengukuran kinerja yang terintegrasi merupakan pengukuran kinerja yang melihat secara keseluruhan tidak hanya melihat secara financial saja yang diperlukan untuk melihat kinerja Perusahaan dan menentukan evaluasi untuk mentukan langkah selanjutnya yang akan di ambil.
Berikut ini merupakan beberapa pengertian dari Pengukuran kinerja menurut beberapa ahli.
Pengukuran kinerja merupakan mekanisme perbaikan secara periodik terhadap keefektifan tenaga kerja dalam melaksanakan kegiatan operasional perusahaan berdasarkan standar yang telah ditetapkan terlebih dahulu agar berhasil dalam menerapkan strategi perusahaan dan memperbaiki dalam pengambilan keputusan (Kumentas, 2013).
Menurut youngblood dan Collins dalam Elrod, Murray, and Bande (2013) sistem pengukuran kinerja berfungsi sebagai alat yang berguna untuk membantu para manger memantau aspek dari bisnis yang mereka jalankan, seperti produktuvitas dan kinerja.
Menurut Mintje (2013) menyebutkan ada beberapa elemen pokok dalam pengukuran kinerja yaitu :
a. perencanaan dan penetapan tujuan b. pengembangan ukuran yang relevan c. pelaporan formal dan hasil
d. penggunaan informasi
Sistem pengukuran kinerja yang baik ialah ukuran kinerja yang menyediakan informasi yang berguna bagi perusahaan sehingga membantu dalam mengontrol, mengelola, merencanakan dan melaksanakan aktivitas-aktivitas dalam perusahaan. Dengan adanya pengukuran kinerja diharapkan dapat membantu
perusahaan dalam meningkatkan produktivitas dari perusahaan sehingga dapat bersaing dan berkembang menjadi lebih baik lagi. Sistem pengukuran kinerja memiliki beberapa manfaat antara lain (Saputra & Fithri, 2012):
1. memberikan dasar untuk memahami sistem 2. mempengaruhi prilaku sistem
3. memberikan informasi mengenai hasil kerja sistem kepada setiap unit yang terlibat secara langsung dalam peusahaan.
Sistem pengukuran kinerja dapat dikelompokkan kedalam tiga kelompok yakni:
1. kelompok pertama “Fully Integrated”
2. kelompok kedua “Balanced”
3. kelompok ketiga “Mostly Financial”
2.4 PDCA (Plan, Do, Check, and Action)
Penerapan PDCA diperkenalkan oleh Dr. W. Edwards Deming, seorang pakar kualitas ternama berkebangsaan Amerika serikat. Pedekatan Deming juga biasa disebut siklus deming (Deming Cyecle/deming Wheel) karena penemunya bernama Deming. Pada pendekatan PDCA umumnya digunakan untuk mengetes dan mengimplementasikan perubahan-perubahan untuk memperbaiki kinerja produk, proses atau suatu sistem dimasa yang akan datang (UTOMO, 2018).
PDCA merupakan singkatan yang berasal dari bahasa inggris yakni “Plan, Do, Check, Act” atau dalam bahasa Indonesia “rencana, kerjakan, cek, tindak lanjuti”. PDCA merupakan suatu proses pemecahan masalah dengan menggunakan empat langkah iterates yang pada umum nya digunakan dalam pengendalian kualitas. PDCA pertama kali dikemukakan oleh Walter Shewhart sehingga dikenal dengan nama “Siklus Shewhart”. Namun lebih dikenal dengan sebutan “Siklus Deming” karena Deming adalah orang yang mempopulerkan siklus ini dan memperluas penerapannya(Andikri & Mardiani, 2019). Belakangan Deming memodifikasi PDCA menjadi PDSA (Plan, Do, Study, Act) untuk menggambarkan rekomendasinya. Dengan nama apapun
PDCA merupakan sebuah alat yang bermanfaat untuk melakukan perbaikan secara terus menerus tanpa berhenti (Poerwanto, 2014).
Sumber : (Andikri & Mardiani, 2019)
Gambar 2.2 Siklus PDCA
Berikut merupkan penjelasan dari setiap siklus yang ada pada pendekatan PDCA atau Plan, Do, Check, and Action :
a. Plan (Perencanaan)
Pada tahap plan ini merupakan tahap perencanaan dimana ditahap ini dilakukan penyusunan perencanaan yang akan dilakuan dalam penelitian. Perancanaan dilakukan untuk mengidentifikasi sasaran dan proses dengan mencari tau hal-hal apa saja yang kurang sesuai (permasalahan) atau hal yang ingin diteliti. Dalam tahan perencaanaan ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain : Menentukan masalah, mengidentifikasi permasalahan (akar dari permasalahan), menentukan sasaran yang ingin dicapai, dan mencari dan memilih penyelesaian yang sesuai (UTOMO, 2018).
b. Do (Kerjakan)
Pada proses DO artinya melakukan perencanan proses yang telah ditetapkan sebelumnya. Ukuran-ukuran ataupun tindakan yang dilakukan pada proses ini telahditetapkan pada tahap sebelumnya yakni tahap Plan.
Dalam konsep Do kita harus menghindari penundaan pekerjaan, karena hal ini dapat membuat waktu terbuang percuma dan mengakibatkan pekerjaan semakin menjadi banyak. Implementasinya dalam proses atau tahap ini kita akan melaksanakan rencana yang telah disusun dan memantau proses pelaksaannya dalam skala kecil yang mengacu pada penerapan dan pelaksanaan aktivitas yang telah direncanakan (UTOMO, 2018).
c. Check (Evaluasi)
Pada tahap evaluasi dilakukan beberapa kegiatan pengevaluasian terhadap sasaran dan proses, serta melaporkan apa hasil yang didapatkan.
Mengecek kembali apa saja yang sudah kita kerjakan apakah sudah sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan sebelumnya ataukah masih kurang.
Dalam pengecekan ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu : mementau dan mengevaluasi proses dan hasil terhadap sasaran dan spesifikasi. Teknik yang digunakan pada tahap check ini merupakan observasi dan survey.
Apabila menemukan kelemahan – kelemahan maka disusun rencana untuk perbaikan yang akan dilakukan selanjutnya. Jika gagal, maka akan dicari langkah lain namun jika berhasil akan dijadikan rutinitas. Hal ini mengacu sesuai dengan rencana peningkatan dan perbaikan yang diinginkan.
d. Action (Tindak Lanjut)
Dalam tahap action ini merupakan tindak lanjut dari hasil evaluasi yang telah dilakukan. Dalam tahap action ini akan memberikan masukan- masukan atau tindakan yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kesalahan- kesalahan yang mungkin terjadi sebelumnya, agar didapatkan hasil yang lebih baik. Pada tahapan action akan dilakukan evaluasi total terhadap hasil, sasaran dan proses untuk menindak lanjuti dengan perbaikan-perbaikan jika ternyata masih terdapat kekurangan atau belum sempurna maka segera melakukan tidakan action untuk memperbaiki.
2.4.1 Penggunaan PDCA GSCM
Sumber : (Hervani et al., 2005)
Gambar 2.3 Penggunaan PDCA dalam Penelitian GSCM Menurut Hervani
Dari gambar 3 diatas dapat diketahui bahwa Aref hervani dan lainnya menggunakan pendekatan PDCA dalam penelitian mengenai GSCM dan mengelompokan kegiatan yang mereka lakukan sesuai urutan pendekatan PDCA. Pada bagian Plan hervani melakukan pemiihan indikator yang berhubungan dengan lingkungan. Pemilihan indikator ini bertujuan untuk menjadi bahan perencanaan kegiatan apa saja yang akan dilakukan dari indikator yang telah ditetapkan sebagai sasaran ataupun tujun yang ingin dicapai. Dalam tahapan plan ini juga selain pemilihan indikator lingkung terebih dahulu kita harus mengetahui indikator apa saja yang
kiranya diperlukan sehingga dapat menunjang kegatan selanjutnya yakni Do (Pengerjaan).
Tahapan selanjutnya yaitu Do (Kerjakan), dalam tahaan ini hervani menbaginya kedalam empat kegiatan yang pertama pengumpulan data.
Pengumpulan data dilakukan untuk menunjang kebutuhan dalam penelitian agar dapat berjalan sesuai dengan keinginan dan data yang diperlukan terpenuhi semuanya. Kedua analisa dan konfersi data (pengolahan data) dikegiatan kedua ini data yang sudah didapatkan akan dianalisa dan diolah sesuai dengan keinginan. Ketiga pengumpulan informasi yang didapatkan dari analisa dan perhitungan data yang telah dilakukan apa sudah sesuai dengan keinginan yang ingin dicapai ataukah belum jika belum akan dilakukan perhitungan ulang ataupun pengumpulan data ulang. Dan kegiatan keempat pelaporan dari data yang telah didapatkan. Pelaporan ini bertujuan untuk mengetahui apakah data dan hasil yang diperoleh sudah sesuai ataukah belum sehingga nantinya pada tahapan selanjutnya tidak mengalami hambatan karna kendala hasil perhitungan yang kurang sesuai atau kurang memuaskan.
Dan terakhir tahapan Check dan Action digabung, hal ini bertujuan untuk memudahkan pengecekan akhir danpengambilan keptusanyang dilakukan sehingga dua tahapan ini digabungkan. Ditahapan terakhir ini hervani melakukan reviewing and improving dari GSCM yang artinya ditahapan ini lah dilakukan review ulang mengenai penelitian dan dilihat apakah penelitian yang dilakukan sudah sesuai dan sesuai dengan rencana.
Sedangkan improving GSCM yang dimaksud ialah penambahan saran- saran ataupun masukan mengenai perbaikan mengenai GSCM yang ada dan ini menjadi sebuah kegiatan untuk nantinya sebagai masukan yang diberikan untuk mendapatkan peningkatan dari kinerja dalam siklus selanjutnya dari PDCA.
2.4.2 Sistematika Pada Pendekatan PDCA
Menurut Ritajeng, Bahauddin, and Ferdinant (2015) dalam penelitiannya yang berjudul “Perancangan Model Pengukuran Kinerja Green Supply Chain Management Berdasarkan Green SCOR Dengan Pendekatan PDCA Pada Perusahaan Baja Hilir” pada setiap tahapan dalam pendekatan PDCA memiliki beberapa langkah-langkah yang harus diperhatikan. Berikut merupakan langkah-langkah dalam penggunaan pendekatan PDCA dalam mengukur kinerja GSCM :
1. Plan (Perencanaan)
Perencanaann pada tahap ini yaitu meletakkan sasaran dan proses yang dibutuhkan untuk memberikan hasil yang sesuai dengan spesifikasi pada pemilihan indikator GSCM berikut langkah-langkah nya :
a. Membentuk aliran Green supply chain management dengan lima aktivitas atribut performansi pada SCOR.
b. Menentukan produk yang akan diamati.
c. Melakukan tinjauan pustaka mengenai indikator GSCM.
d. Menentukan indikato-indikator GSCM pada model Green SCOR yang telah disesuaikan dengan kondisi perusahaan.
2. Do (Pengerjaan)
Pada tahap pengerjaan dilakukan pengumpulan data yang diperlukan, mengkonfersi data, menaksirkan informasi dan melaporkan serta mengkomunikasikan data. Berikut langkah-langkah pada tahapan pengerjaan (Do)
a. Menentukan target pencapaian dari setiap indikator GSCM. Target yang digunakan merupakan target dari perusahaan.
b. Melakukan perhitungan normalisasi atau penyamaan parameter untuk setiap indikator kinerja, sehingga hasil normalisasi dapat digunakan untuk membandingkan target pencapaian setiap indikator.
c. Membuat pembobotan tingkat kepentingan menggunakan ANP, namun pada penelitian ini pembootan menggunakan metode AHP agar lebih memperjelas hierarki dari tiap indikator.
d. Melakukan penyebaran kuisioner perbandingan berpasangan sesuai dengan indikator yang ditetapkan.
e. Melakukan perhitungan bobot dari setiap indikator.
f. Mengkombinasikan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan metode OMAX untuk mengukur kinerja perusahaan.
g. Menghitung indeks produktivitas, dengan cara memasukkan setiap kriteria yang ada kedalam matriks performansi.
3. Check (Evaluasi)
Tahap check merupakan tahap yang kegiatannya memantau dan mengvaluasi proses dan hasil terhadap sarasan dan spesifikasi serta melaporkan hasil yang didapatkan.
4. Action (tindak lanjut)
Action atau tindak lanjut, pada tahap ini dilakukan perbaikan akhir sebelum diimplementasikan. Berikut langkah-langkah dalam tahap tindak lanjut :
a. meninjau kembali seluruh langkah-langkah dan memodifikasi proses untuk memperbaikinya sebelum implementasi.
b. Merancang usulan perbaikan dengan membuat tabel 5W+1H
2.5 Supply chain Operation Reference (SCOR)
SCOR merupakan salah satu metode pengukuran kinerja yang bisa digunakan untuk mengevaluasi supply chain. SCOR mengukur aktivitas perusahaan dari hulu sampai kehilir secara Secara keseluruhan, model scor pada dasarnya menggabungkan tiga elemen utama dalam manajemen yakni : business process reengineering, benchmarking, dan process measurement kedalam lima kerangka utama dalam supply chain. Ketiga elemen tersebut memiliki fungsi sebagai berikut (Pujawan & Mahendrawathi, 2010) :
1. Business process reengineering
pada hakekatnya menangkap proses kompeks yang terjadi saat ini dan mendefinisikan proses yang akan datang.
2. Benchmarking
Kegiatan untuk mendapatkan data kinerja operasional dari perusahaan sejenis. Target internal kemudian ditentukan berdasarkan kinerja best in class yang di peroleh.
3. process measurement
Berfungsi untuk mengukur, mengendalikan dan memperbaiki proses- proses supply chain.
SCOR membagi proses-proses dalam supply chain menjadi 5 proses utama yaitu : Plan, Source, Make, Deliver dan Retrun seperti yang di tunjukan dalam gambar berikut :
Sumber : Pujawan and Mahendrawathi (2010)
Gambar 2.4 SCOR
Berikut penjelasan mengenai gambar 2.4 diatas 1. Plan
Merupakaan tahap perencanaan untuk menyeimbangkan permintaan dan pasokan sebagai tindakan untuk memenuhi kebutuhan pengadaan, produksi, dan pengiriman. Pada tahap plan meliputi proses penafsiran kebutuhan, perencanaan da pengendalian produksi, perencanaan material, perencanaan kapasitas dan melakukan penyesuaian Supply chain Plan dengan financial plan.
2. Source
Merupakan pengadaaan atau pembelian barang/jasa untuk memenuhi permintaan dalam perusahaan yang menunjang proses produksi.
Dalam proses pembelian meliputi jadwal kapan supplier mengirim barang dan diterima, pengecekan, dan memeberikan otoritas pembayaran barang dari supplier, memilih supplier dan melakukan evaluasi kepada supplier.
3. Make
Merupakan sebuah proses pembuatan bahan baku menjadi produk yang diinginkan oleh konsumen. Proses make ini bertujuan untuk memenuhi target ataupun memenuhi pesanan yang diterima perusahaan.
Dalam proses make meliputi berapa jumlah produk yang akan diproduksi, jadwal produksi, serta target produksi.
4. Deliver
Merupakan proses pemenuhan kebutuhan permintaan pasar, baik berupa barang ataupun jasa yang ditawarkan oleh perusahaan. Proses ini meliputi order management, transportasi dan distribusi.
5. Return
Merupakan proses pengembalian atau penerimaan kembali produk dengan berbagai alasan ( cacat, kadaluarsa atau ha lainnya yang tidak sesuai denga penawaan yang diberikan). Proses ini meliabatkan segala proses pengembalian baik itu dari distributor kepada perusahaan lagi ataupun dari
perusahaan kepada supplier dikarena kan barang tidak sesuai dengan kontrak atau terdapat kecacatan.
SCOR memiliki tiga hirarki proses mulai dari yang umum hingga detail, tiga level tersebut yakni (Pujawan & Mahendrawathi, 2010):
a. level 1
level tertinggi yang memeberikan devinisi umum terbagi dalam 5 proses (plan, sourece, make, deliver dan return)
b. level 2
level menengah dimana supply chain perusahaan dikonfirmasikan berdasarkan proses inti yang ada taupun yang diinginkan perusahaan yang terbagi dalambeberapa dimensi yaitu : reliability, responsiveness, flexibility, cost dan assets.
c. level 3
level ketiga yang mengandung definisi elemen proses, input, output, metric masing-masing elemen serta relevansinya.
2.6 Key Performa Indicator (KPI)
Key Performa Indicator (KPI) adalah sebuah nilai yang mengukur seberapa efektif sebuah perusahaan dalam mencapai tujuan utama nya. KPI digunakan untuk menilai kondisi perusahaan serta tindakan apa yang diperlukan untuk menyikpi sebuah kondisi tertentu. Perusahaan memakai KPI sebagai tolak ukur dalam mengevaluasi keberhasilan yang sudah di capai oleh perusahaan.
Dalam perhitungan KPI pada penelitian ini digunakan sebagai criteria yang ingin dicapai dari perusahaan sebagai bahan perhitungan bobot dari AHP. Dalam KPI terdapat 4 kriteria dasar yang harus dipenuhi suatu organisasi dalam pengimplementasian KPI kedalam aktivitas oprasional (Setiawan, 2018) :
a. kolaborasi antara karyawan, tim, supplier dan pelanggan b. desentralisasi dari level management sampai level oprasional c. integrasi atau keterkaitan antara ukuran, laporan dan tindakan
d. Hubungan KPI dan strategi
Dalam merancang KPI dibutuhkan suatu proses yang saling terkait, baik itu dari lingkungan organisasi maupun dari pihak luar (Supplier, dan pelanggan).
2.7 Analitical hierarchy Process (AHP )
Analitical hierarchy Process (AHP ) merupakan salah satu metode pemilihan keputusan dengan menjadikan beberapa kriteria dalam sebuah hiearaki atau tingkatan. Dari hierarchi yang didapatkan dipakai sebagai pembanding dari setiap criteria yang ingin di cari tingkat kepentingannya.
Analitical hierarchy Process (AHP ) sering dipakai dalam pengambian keputusan yang mempertimbangkan beberapa faktor (Kriteria) sebagai pertimbangan dalam megambil keputusan. Dalam pengambilan keputusan ini diharapkan mendapatkan pilihan terbaik sesuai dengan yang di inginkan oleh perusahaan.
Menurut Fatmawati (2010), AHP merupakan salah satu teknik/metode pengambilan keputusan multikriteria, dimana factor kuantitatif dan faktor kualitatif dikombinasikan sehingga dapat dilakukan pengurutan prioritas, kedudukan, dan evaluasi terhadap alternatif-alternatif.
Hierarki adalah suatu representasi dari permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level faktor, kriteria, sub kriteria dan seterusnya kebawah ingga level terakhir yaitu alternatif. Dengan adanya hierarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan kedalam kelompok-kelompok yang kemudian dapat disusun menjadi sebuah bentuk hierarki sehingga masalah akan terlihat terstruktur dan sistemastis (Saaty, 1993).
2.7.1 Langkah-langkah perhitungan AHP
Berikut merupakan langkah-langkah dalam perhitungan AHP : 1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan
Pada langkah pertama ini dilakukan pendefinisian masalah yang akan dipecahakan beserta menentukan/mencari solusi yang dirasa bisa
mengatasi permasalahan yang ada. Penyelesaian masalah ini yang nantinya akan menjadi tujuan utama yang akan dicapai.
2. Membuat struktur hieraki yang diawali dengan tujuan yang ingin dicapai dilanjutkan dengan kriteria dan sub-kriteria
Pada penentuan hierarki elemen-elemen yang ada disusun menurut tingkatannya mulai dari level 1 yakni tujuan utama sampai kepada level ke- n alternatif yang digunakan. Berikut merupakan gambaran singkat mengenai struktur hierarki pada ahp.
(Sumber : idtesis.com)
Gambar 2.5 Struktur AHP
3. Membuat matriks Perbandingan berpasanan
Pada tahap pembuatan matriks perbandingan berpasangan dilakukan perbandingan nilai atau tingkat kepentingan dari setiap elemen yang ada pada setiap levelnya. Perbandingan berpasangan menggunakan skala perbandingan dengan nilai 1 sampaia 9 (Saaty, 1993). Berikut skala perbandingan berpasangan yang digunakan :
Tabel 2.1 Skala Perbandingan Angka Definisi Penelasan
1 sama penting Kedua elemen sama penting
3
sedikit lebih penting
elemen (A) sedikit lebih penting dibanding dengan elemen (B)
5 lebih penting elemen (A) lebih penting dibanding dengan elemen(B)
7 sangat lebih
elemen (A) sangat lebih penting dibanding dengan elemen(B)
9 mutlak lebih
elemen (A) mutlak lebih penting dibanding dengan elemen(B)
2,4,6,8
ragu-ragu antara 2 nilai
digunakan jika terdapat keraguan untuk memberikan nilai dari angka baik itu antara 1 dan 3 atau lainnya Pada perbandingan berpasangan data yang didapatkan berupa matris perbandingan berpasangan yang nantinya akan dipakai dalam perhitungan bobot dari setiap elemen.berikut merupakan contoh tabel matriks perbandingan berpasangan :
Tabel 2.2 contoh tabel matriks perbandingan berpasangan Elemen 1 Elemen 2 Elemen 3 Elemen 4 Elemen 5
Elemen 1 X11 X21 X31 X41 X51
Elemen 2 X12 X22 X32 X42 X52
Elemen 3 X13 X23 X33 X43 X53
Elemen 4 X14 X24 X34 X44 X54
Elemen 5 X15 X25 X35 X45 X55
Setelah diketahui nilai dari perbandingan setiap elemen maka akan dilakukan perhitungan bobot dari setiap elemen,dimulai dari elemen yang memiliki hirarki paling tinggi sampai terendah.
4. Melakukan perbandingan berpasangan
Pada langkah ke empat dilakukan perbandingan berpasangandari setiap elemen yang ada disetiap levelnya hal ini bertujuan untuk mengtahui apakah pengaruh antara elemen satu dengan elemen lainnya yang masih saling berhubungan dalam satu level.
5. Pengecekan konsistensi dan menghitung nilai eigen
Salah satu pembeda metode AHP dengan metode lainnya yakni pada metode ahp tidak memiliki syarat konsistensi mutlak. Hal ini dkarenakan pada inputan metode ini memakai presepsi manusia yang memiliki keterbatasan dalam menyatakan presepsinya terutama jika terdapat banyak pilihan. Didasarkan keadaan inilah maka terkanang persepsi yang didapatkan tidak konsisten sehingga perlu dilakukan perhitungan konsistensi, untuk melihat apakah data yang diperoleh sudah konsisten apa belum.
CI = (λmaks - n ) / (n - 1)
Ket : CI = Indeks Konsistensi Λmaks = Eigen Maksimum n = Ordo Matriks
Tabel 2.3 Tabel Konsistensi Rasio
RI 0,00 0.58 0.90 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49 1.51 1.48 1.56 1.57 1.59
N 1,2 3 4 5 6 7 8 9 10 10 11 12 13 14 15
(Sumber : Saaty (1993))
𝐶𝑅 = 𝐶𝐼 𝑅𝐼
Ket : CR = konsistensi Rasio CI = konsistensi indeks RI = Random Index
Pengukuran konsistensi bertujuan untuk melihat ketidak konsistensian respon yang diberikan oleh responden. Dimana jika nilai CR (consistency Ratio) harus ≤ 0,1 (Saaty, 1993).
6. Mengulangi langkah 3,4,dan 5
Pengulangan dari tahap ke 3, 4 dan 5 bertujuan untuk mengetahui nilai bobot dari semua elemen yang ada, dan melihat apakah keseluruhan data yang dikumpulkan sudah konsisten atau belum.
7. Menghitung bobot Global
Perhitungan bobot global dilakukan dengan cara mengalikan bobot dari kriteria dengan sub-kriteria nya yang kemudian akan dikalikan kembali dengan bobot alternatis sehingga di dapatkan hasil akhir bobot global dari keseluruhan.
8. Menentukan urutan skala prioritas
Pada taham terakhir dilakukan perangkingan atau penentuan skala prioritas. Pada metode AHP penentuan ranking diurutkan sesuai dengan besar bobot globalnya dari yang terbesar sebagai ranking 1 sampai rangking terakhir dengan nilai bobot terendah.
2.8 OMAX
2.8.1 Gambaran Umum Omax
Objective Matrix (OMAX) merupakan sebuah sistem pengukuran produktivitas parsial yang dikembangkan untuk memantau produktivitas dari setiap bagain atau divisi dalam perushaan sesuai dengan criteria dari setiap dari divisi tersebut. Metode OMAX dikembangkan oleh James L. Riggs, PE., yang merupakan seorang professor Departement Of Industrial Engineering Oregon state University pada tahun 1980an di amerika serikat. Dalam OMAX diharapkan semua bagian dalam perusahaan turut membantu dalam menilai, memperbaiki dan mempertahankan dikarenakan sistem ini lengsung berada dibawah kendali bagian unit proses industry. Konsep dari OMAX ini ialah dengan menggabungkan beberapa kriteria dalam
sebuah matriks, yang masing-masing indikator kinerja memiliki bobot sesuai dengan tingkat kepentingannya terhadap tujuan utama dalam peningkatan produktivitas perusahaan secara menyeluruh. Keunggulan model OMAX dalam pengukuran produktivitas perusahaan antara lain:
relatif sederhana dan mudah dipahami, mudah dilaksanakan dan tidak memerlukan keahlian khusus, datanya mudah diperoleh, lebih fleksibel, tergantung pada masalah yang dihadapi Agustina and Riana (2011).
2.8.2 Tahapan dalam perhitungan OMAX
OMAX atau Objective matrix merupaan format multi dimensi yang mampu menggabungkan beberapa komponen yang ada dalam suatu organisasai atau perusahaan dan mempresentasikannya dalam sebuah pengukurn kinerja. Berikut merupakan struktur dari OMAX dapat dilihat pada gambar 6.
Gambar 2.6 Struktur OMAX
Berikut merupakan penejalasan dari struktur OMAX diatas : 1. Kriteria
Kriteria merupakan kriteria nilai yang menunjukan karateristik dari setiap aktifitas yang menunjukan nilai produktivitas yang ditetapkan
dalam bentuk rasio, seperti unit/bln, ton/bln dan sebagainya. Nilai tersebut menunjukan performa dari suatu objek tertertu yang akan diukur.
2. Performance
Performance atau nilai pencapaian merupakan pengukuran dari kinerja setiap periode secara real atau kondisi actual di lapangan.
3. Realistic performance objective
Realistic performance objective merupakan tujuan relistik dari pencapaian yang diinginkan. Pada bagaian ini diisi untuk setiap kriteria brapa indicatornya.
4. Score
Score merupakan nilai pencapaian yang dibagi dalam 11 level dari 0- 10 dengan nilai 0 merupakan nilai terjelek sedangkan nilai 10 yang terbaik.
5. Weight
Weight (bobot) merupakan tingkat kepentingan pada stiap kriteria jika kriteria tersebut dianggap penting maka memiliki nilai bobot yang lebih besar, dengan total bobot 100%.
6. Value
Value (nilai) merupakan merupakan nilai dari setiap kriteria yang didapatkan dengan cara mengalikan weight (bobot) dengan nilai (Score) pada setiap kriteria.
Pada Omax terdapat 3 bagian pokok seperti pada gambar 6 berikut penjelasannya :
1. Bagian A (Defining)
Defining merupakan bagian paling atas yang menentukan faktor- faktor yang mempengaruhi kinerja baris kedua (Performance) merupakan hasil pencapaian kinerja perusahaan pada masing-masing indikator.
2. Bagian B (Quantyfing)
Merupakan pembagian level pencapaian dari kinerja mulai dari level tertinggi 10 hinga level terendah 0.
3. Bagian C (Monitoring)
Bagian monitoring merupakan bagian yang berfungsi sebagai monitoring dari analisis yang akan dilakukan menyangkut score yang diperoleh, weight, dan value untuk masing-masing indikator.
2.8.3 Scoring sistem
Scoring sistem merupakan sebuah tindakanyang dilakukan untuk mengetahui nilai pencapaian terhadap target yang telah ditetapkan untuk setiap indicator kerja. Sebelum melakukan scoring terlebih dahulu kita haru stau macam-macam skor yang digunakan pada penilaian KPI, berikut skor pada KPI :
1. small is better
merupakan dari kualitas yang meliputi pengukuran dimana jika nilai yang didapatkan semakin rendah (nilainya mendekati nol) maka kualitasnya akan lebih baik
2. large is better
merupakan karateristik dari kualitas yang meliputi pengukuran dimana jika nilai yang didapatkan semakin besar maka akan semakin baik.
3. nominal is better
merupakan karateristik dari kualitas dimana nilai pengukuran sudah dtetapkan, sehingga semin mendekati nilai tersebut semakin bagus.
2.8.4 Trafic light sistem (TLS)
TLS termasuk dalam penilaian OMAX, yang berhubungan dengan scoring sistem yang digunakan sebagai tanda score yang diperoleh dari sebuah indikator kinerja apakah memerlukan perubahan ataukah tidak.
Indikator kinerja dalam TLS dilambangkan dalam 3 warna berbeda yakni merah, kuning dan hijau. Warna merah digunakan untuk menandai
indikator yang score nya berada dibawah standar dengan perolehan score ) sampai 3. Warna kuning dipakai untuk menendakan score dari indikator yang belum mencapai target tetapi sudah mendekati dari target dengan score 4 sampai 7. Sedangkan warna hijau digunakan untuk melambangkan pencapaian dari indikator telah sesuai target ataupun melebihi target dengan rentang score antara 8 sampai 10 (Sari et al., 2018).
2.9 Penelitian Terdahulu
(Saputra & Fithri, 2012) pada penelitian nya yang berjudul “ Perancangan model pengukuran kinerja green supply chain pulp dan kertas” meneliti mengenai pengukuran kinerja di PT. RAPP dengan menggabungkan pengukuran kinerja downstream (berkaitan dengan pemasok) dengan pengukuran kinerja upstream opration (berkaitan dengan pengiriman dan distribusi yang ramah lingkungan). Saputra dan fitri menggabungkan kedua pengukuran kinerja ini menggunakan model Green supply chain management.
Dalam model green supply chain yang digunakan memakai metode SCOR yang mengidentifiikasi KPI sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan, yang kemudian dilakukan pembobotan menggunakan AHP guna mengetahui tingkat kepentingan dari setiap KPI yang ada.
Fortuna, Suamtri, and Yuniarti (2014) pada penelitian nya yang berjudul “Perancangan system pengukuran kinerja aktivitas greem supply chain management (GSCM)” studi kasus KUD BATU. Dalam penelitian ini bertujuan mengetahui sejauh mana kinerja supply chain management yang diterapkan di KUD BATU. Penelitian ini menggunakan metode OMAX dan traffic light untuk mengukur kinerja green supply dimana dari 44 KPI diketahui terdapat 16 KPI yang termasuk merah.
(Natalia & Astuario, 2015) pada penelitian nya yang berjudul
“Penerapan model Green SCOR untuk pengukuran kinerja green supply chain” meganalisa dari penerapan model SCOR pada pengukuran kinerja
Green supply chain di industry manufacture. Dalam penelitian ini menggunakan model Green SCOR untuk mengidentifikasi factor green yang ada guna menyusun KPI yang nantiya akan dihitung menggunakan metode AHP. Penggunaan metode AHP berguna untuk menentukan bobot tingkat kepentingan dari KPI yang telah disusun. Dari hasil pembobotan menggunakan AHP selanjutnya akan dilakukan analisis guna mengetahui nilai kinerja green yang telah dijalankan oleh perusahaan. Hasil yang didapatkan dari pengukuran kinerja dalam penelitian ini yakni ada 7 buah KPI yang masih memiliki nilai kurang dari 60% yang disebabkan oleh perusahaan masih menggunakan metode-metode umum dalam pengolahan limbah.
(Setiawan, 2018) pada penelitian nya yang berjudul “Perancangan Sistem Pengukuran Kinerja Green Supply Chain Dengan Metode Green SCOR Berbasis AHP dan OMAX (Studi Kasus: Cv. Cool Clean). Mengukur mengenai kinerja dari Cv. Cool Clean menggunakan model Green SCOR yang dalam pembobotan KPI yang dilakukan menggunakan metode AHP dan OMAX sebagai tolak ukur akhir untuk melihat seberapa jauh kinerja yang sudah dilakukan oleh CV. Cool Clean dalam menukung green manufacturing yang ada.