• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUASA LISAN DALAM PEMBUATAN AKTA AUTENTIK NOTARIS (STUDI PUTUSAN NOMOR : 08/PDT.G/2016/ PN.Spt)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KUASA LISAN DALAM PEMBUATAN AKTA AUTENTIK NOTARIS (STUDI PUTUSAN NOMOR : 08/PDT.G/2016/ PN.Spt)"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

KUASA LISAN DALAM PEMBUATAN AKTA AUTENTIK NOTARIS (STUDI PUTUSAN NOMOR :

08/PDT.G/2016/ PN.Spt)

TESIS

Diajukan untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

MAYSARAH DINDA ARISA BR. PULUNGAN 177011223

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)

KUASA LISAN DALAM PEMBUATAN AKTA AUTENTIK NOTARIS (STUDI PUTUSAN NOMOR :

08/PDT.G/2016/ PN.Spt)

TESIS

Diajukan untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

MAYSARAH DINDA ARISA BR. PULUNGAN 177011223

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(3)
(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 09 September 2020

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum Anggota : 1. Dr. Tony, SH, MKn

2. Dr. Dedi Harianto, SH., MHum

3. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum 4. Dr. Edy Ikhsan, S.H., MA

(5)
(6)
(7)

ABSTRAK

Maysarah Dinda Arisa Br. Pulungan 1 Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum.**

Dr. Tony, SH, MKn.***

Dr. Dedi Harianto SH.,MHum.****

Pasal 1793 KUHPerdata menyatakan bahwa kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan suatu surat di bawah tangan, bahkan dengan sepucuk surat ataupun lisan. Namun, tidak semua perbuatan hukum bisa dikuasakan kepada orang lain secara lisan. Dalam putusan Mahkamah Agung nomor 08/Pdt.G/2016/PN.Spt, akta autentik nomor 20 tanggal 28 Oktober 2008 tentang “masuk dan keluar sebagai pesero serta perubahan anggaran peseroan CV.

Putra Jaya” yang dibuat berdasarkan kuasa lisan tersebut disangkal oleh pemberi kuasa dan kemudian dibatalkan oleh putusan Pengadilan Negeri Sampit.

Penelitian ini membahas mengenai penggunaan kuasa lisan dalam praktek pembuatan akta autentik oleh notaris, kewajiban notaris dalam pembuatan akta autentik yang menjamin hak para pihak berkaitan dengan penggunaan kuasa lisan dalam pembuatan akta autentik, serta tanggung jawab notaris atas pembatalan akta autentik yang dibuat berdasarkan kuaasa lisan dan disangkal oleh pemberi kuasa berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 08/Pdt.G/2016/PN.Spt.

Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif yang diperoleh melalui bahan- bahan pustaka. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis untuk memperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti.

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (Library Research) dengan alat pengumpulan data menggunakan studi dokumen dan wawancara. Analisis data dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa penggunaan kuasa lisan dalam pembuatan akta autentik diperbolehkan sebagaimana tertuang dalam Pasal 1793 KUHPerdata. Pada praktiknya, kuasa lisan dalam pembuatan akta autentik digunakan berdasarkan pertimbangan notaris dan hanya untuk perbuatan hukum tertentu yang dapat memberikan keuntungan bagi si pemberi kuasa. Prinsip kehati-hatian menjadi kewajiban bagi notaris sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a untuk bertindak seksama. Notaris berkewajiban mengantisipasi timbulnya resiko hukum dalam membuat akta autentik berdasarkan kuasa lisan untuk menjalankan kewenangannya berdasarkan prinsip kehati-hatian sesuai amanat undang-undang jabatan notaris. Tanggung jawab notaris dapat diminta berdasarkan kelalaian yang dibuat oleh notaris. Akta autentik yang dibatalkan ataupun batal demi hukum melalui suatu putusan pengadilan, notaris dapat dikenakan sanksi berupa ganti kerugian baik materil maupun immateril.

Kata Kunci: Kuasa Lisan, Notaris, Akta Autentik.

1) Mahasiswa Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara **) Pembimbing I

***) Pembimbing II ****) Pembimbing III

(8)
(9)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Hidayah dan Taufiknya pada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Shalawat beriring salam kita limpahkan keharibaan junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari alam kegelapan menuju alam ilmu pengetahuan.

Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dan melengkapi syarat- syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, adapun judul yang penulis angkat adalah : “KUASA LISAN DALAM PEMBUATAN AKTA AUTENTIK NOTARIS (STUDI PUTUSAN NOMOR : 08/PDT.G/2016/ PN.SPT)”.

Sebagai ungkapan syukur penulis dalam kesempatan ini ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan ini baik secara moril maupun materil, terutama kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N, M.Hum. selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(10)

4. Bapak Dr. Edy Ikhsan, S.H., MA. selaku Sekertaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku pembimbing utama yang telah meluangkan waktu dan memberi motivasi, bimbingan, dorongan, saran dan perhatian hingga selesai penulisan tesis ini.

6. Bapak Dr. Tony, SH, MKn. selaku pembimbing kedua yang telah meluangkan waktu dan memberi motivasi, bimbingan, dorongan, saran dan perhatian hingga selesai penulisan tesis ini.

7. Bapak Dr. Dedi Harianto, SH., MHum. selaku pembimbing ketiga yang telah meluangkan waktu dan memberi motivasi, bimbingan, dorongan, saran dan perhatian hingga selesai penulisan tesis ini.

8. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., C.N, M.Hum. selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktu, memberi kritik dan saran hingga selesai penulisan tesis ini.

9. Bapak Dr. Edy Ikhsan, S.H., MA. selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktu, memberi kritik dan saran hingga selesai penulisan tesis ini.

10. Seluruh Dosen Pengajar Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang ilmu hukum.

(11)
(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS DIRI

Nama : MAYSARAH DINDA ARISA BR. PULUNGAN

Tempat/Tanggal Lahir : Sei Meranti, 30 Mei 1995

Alamat : Jl. Gunung Martimbang II Kel. Rantau Laban, Kec. Rambutan, Tebing Tinggi

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status : Menikah II. IDENTITAS KELUARGA

Suami : Arif Budiman, ST

Anak : Al Ayyubi Atharrazka Adskhan Nama Ayah : Abdul Rahim Pulungan

Nama Ibu : Nurliana Br. Aritonang

Saudara Kandung : Kakak Devi Amelia Pulungan, Amd. Keb Abang Heru Putra Perdana Pulungan, SE Kakak Rizky Damayanti Pulungan, S. Farm III. PENDIDIKAN

SDN. 028 BAHTERA MAKMUR BAGAN BATU (2003-2009) SMPN 1 BAGAN SINEMBAH (2009-2011)

SMAN 1 BAGAN SINEMBAH (2011-2013)

SARJANA HUKUM DI FAKULTAS HUKUM UIN SUSKA RIAU (2013-2017)

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

PERSETUJUAN PUBLIKASI TESIS ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR ISTILAH ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penulisan ... 10

D. Manfaat Penulisan ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 14

1. Kerangka Teori... 14

2. Kerangka Konsepsi ... 30

G. Metode Penelitian ... 32

1.Jenis dan Sifat Penelitian ... 32

2.Sumber Data ... 33

3.Teknik Pengumpulan Data ... 34

4.Alat Pengumpulan Data ... 35

5.Analisis Data ... 36

BAB II PENGGUNAAN KUASA LISAN DALAM PEMBUATAN AKTA AUTENTIK OLEH NOTARIS……….. 37

A. Kepastian Hukum Kuasa Lisan dalam Hukum di Indonesia 37

1. Pengertian Kuasa ... 37

2. Bentuk Kuasa ... 41

3. Kuasa Lisan dalam KUHPerdata ... 43

(14)

B. Pengertian, Bentuk dan Syarat Pembuatan Akta Autentik.. .. 46

1. Pengertian Akta Autentik ... 46

2. Bentuk-Bentuk Akta Autentik... 51

3. Syarat Pembuatan Akta Autentik ... 53

C. Pembuktian Dalam Hukum Acara Perdata ... 56

1. Pengertian Pembuktian Dalam Hukum Acara Perdata... .. 56

2. Prinsip – Prinsip Hukum Pembuktian ... 61

3. Jenis – Jenis Alat Bukti ... 63

4. Kekuatan Pembuktian Akta Autentik... 66

D. Penggunaan Kuasa Lisan dalam Pembuatan Akta Autentik Pada Praktek Kenotariatan Oleh Notaris ... 69

BAB III KEWAJIBAN NOTARIS YANG MENJAMIN HAK PARA PIHAK BERKAITAN DENGAN PENGGUNAAN KUASA LISAN DALAM PEMBUATAN AKTA AUTENTIK………. 79

A. Asas-asas Pelaksanaan Tugas dan Kewajiban Notaris dalam Pembuatan Akta Autentik ... 79

1. Asas-asas dalam Pembuatan Akta Autentik oleh Notaris ... 79

a. Asas Kepastian Hukum ... 79

b. Asas Persamaan ... 80

c. Asas Kepercayaan ... 81

d. Asas Kehati-hatian ... 83

e. Asas Profesionalitas ... 85

B. Pengaturan Kewajiban Notaris dalam Undang - Undang Jabatan Notaris ... 86

1. Kewajiban Notaris dalam Pembuatan Akta Autentik ... 86

2. Kewajiban Notaris Terkait dengan Penggunaan Kuasa Lisan dalam Pembuatan Akta Perubahan Anggaran Dasar CV (Commanditaire Vennotschaap) ... 91

(15)

BAB IV TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA NOTARIS YANG MENGGUNAKAN KUASA LISAN MELALUI PUTUSAN

PENGADILAN... 98

A. Studi Kasus Putusan Pengadilan No.08/Pdt.G/2016/PN.Spt 98

1. Kronologi Kasus………... 98

2. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Pengadilan No. 08/Pdt.G/2016/PN.Spt ... ….... 103

3. Analisis Terhadap Putusan Pengadilan No. 08/Pdt.G/2016/PN.Spt ... 107

B. Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Autentik Yang Dibatalkan Oleh Pengadilan ... . 113

1. Tanggung Jawab Notaris secara Perdata ... . 113

2. Tanggung Jawab Notaris secara Administrasi ... . 116

3. Tanggung Jawab Terhadap Kode Etik Profesi Notaris… 114

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………….………..… 117

A. Kesimpulan ... 117

B. Saran ... 118

DAFTAR PUSTAKA ... 123

(16)

DAFTAR ISTILAH

Willsverklaring Pernyataan kehendak pihak

wakil

Agreement Kesepakatan

Vertrouwen Kepercayaan pihak lawan

Lastgeving Pemberian kuasa

Pacta Sun Sevanda Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak

Volmacht Kuasa

Liability Tanggung jawab dalam hukum

Liability Based on Fault Pertanggungjawaban atas kesalahan

Consesnsual overeenkomst Perjanjian berdasarkan kesepakatan

Geschrift Surat

Partij akten Akta para pihak

Relaas akten Akta pejabat

Officium Nobile Profesi yang mulia

Uitwendige bewijskracht Kekuatan pembuktian lahiriah

Formele bewijskracht Kekuatan pembuktian formil

Materiele bewijskracht Kekuatan pembuktian materiil Uitvoerbaar bij voorraad Putusan serta merta

(17)

DAFTAR SINGKATAN

CV Commanditaire Vennotschaap

HIR Herzien Inlandsch Reglement

RBG Rechtreglement voor de Buitengewesten

KUHPer Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

UUJN Undang-Undang Jabatan Notaris

PN. SPT Pengadilan Negeri Sampit

UU Undang-Undang

PT Perseroan Terbatas

RUPS Rapat Umum Pemegang Saham

MARI Mahkamah Agung Republik Indonesia

MA Mahkamah Agung

PPAT Pejabat Pembuat Akta Tanah

PT. PLK Pengadilan Tinggi Palangkaraya

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seseorang yang secara langsung tidak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dalam lalu lintas hukum, dikarenakan terbatasnya waktu, jauhnya jarak, keadaan fisik, keadaan sosial ekonomi dan lainnya sangat membutuhkan orang lain untuk menyelenggarakan urusannya. Agar urusannya dapat berjalan dengan lancar, maka dibutuhkan orang lain untuk membantu melaksanakannya. Kondisi seperti ini di dalam hukum dikenal sebagai lembaga kuasa, dimana seseorang dapat mengalihkan kuasanya kepada orang lain yang disebut sebagai penerima kuasa, sedangkan si pemilik kuasa disebut sebagai pemberi kuasa.

Teori hukum yang mengakui secara penuh bentuk perwakilan langsung ialah berpangkal pada pemikiran bahwa si wakil memang menghendaki isi pernyataannya untuk dianggap benar oleh pihak lawan dan pihak lawan boleh percaya bahwa si wakil akan mentaati isi pernyataannya.

Pernyataan kehendak dari si wakil (willsverklaring) dan kepercayaan pihak lawan (vertrouwen) merupakan dasar dari perjanjian. Dengan demikian, dasar dari suatu perwakilan langsung adalah suatu perjanjian. Apabila si wakil menyatakan bahwa ia bertindak atas nama orang lain, maka si wakil menghendaki bukan dirinya yang akan terikat, tetapi orang lain yang diwakilinyalah yang terikat. Kehendak ini akan memiliki akibat hukum apabila pihak lawan boleh percaya bahwa si wakil akan menepati

(19)

pernyataannya sebab pihak lawan percaya ada hubungan hukum antara si wakil dan orang yang diwakili. Hubungan hukum ini dapat timbul karena undang-undang atau yang timbul karena suatu tindakan hukum seperti pemberian kuasa.2

Pengaturan tentang kuasa saat ini di Indonesia masih mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai produk hukum warisan dari pemerintah kolonial Belanda, berdasarkan asas konkordansi, dinyatakan berlaku sebagai hukum positif di Indonesia.3 Sebenarnya ketentuan ini mengatur tentang pemberian kuasa (lastgeving) yang terjemahan harfiahnya adalah pemberian beban perintah. Namun oleh sarjana hukum Indonesia diterjemahkan dengan kata pemberian kuasa.4

Kuasa adalah kewenangan yang diberikan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk melakukan tindakan hukum atas nama pemberi kuasa. Ciri kuasa adalah penerima kuasa menyebutkan suatu nama pemberi kuasa pada waktu melakukan tindakan hukum. Termasuk tindakan hukum di sini adalah tindakan menerima suatu pernyataan dari orang lain yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum tertentu. Dengan menyebut suatu nama pemberi kuasa, berakibat bahwa pemberi kuasa akan menjadi pihak dalam perjanjian dengan pihak lawan. Pemberi kuasa dapat

2Rachmad Setiawan, Hukum Perwakilan dan Kuasa : Suatu Perbandingan Hukum Indonesia dan Hukum Belanda Saat Ini, Tatanusa, Jakarta, 2005, h. 3.

3Pieter E Latumeten, “Reposisi Pemberian Kuasa dalam Konsep Volmacht dan Lastgeving Berdasarkan Cita Hukum Pancasila”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, No. 1, 2017, h.3.

4 Rachmad Setiawan, Op.cit, h. 6.

(20)

langsung menuntut pemenuhan perjanjian pada pihak lawan dan begitu pula sebaliknya.5

Kuasa secara umum tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam Bab Ke-16 (enambelas), Buku III KUHPerdata tentang Perikatan, Pasal 1792-1819. Sedangkan aturan khususnya diatur dan tunduk pada ketentuan hukum acara yang digariskan HIR (Herzien Inlandsch Reglement) dan RBG (Rechtreglement voor de Buitengewesten). Untuk memahami arti dari pengertian kuasa secara umum dapat dirujuk di dalam KUHPerdata, istilah lastgeving yang dimaksud dalam Pasal 1792 KUHPerdata, diterjemahkan

dengan istilah pemberian kuasa oleh R Subekti dan R Tjitrosudibio, yaitu:

“Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”.6

Kata persetujuan menunjukkan pemberian kuasa menganut konsep sebagai perjanjian, dimana ketentuan syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan asas-asas hukum yang fundamental, yaitu asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda7, berlaku bagi perjanjian pemberian kuasa. Kata untuk dan atas nama ditafsirkan bahwa dalam perjanjian pemberian kuasa, selalu melahirkan perwakilan, yang

5 Ibid, h. 21.

6Pieter E Latumeten, Loc.cit.

7M. Muhtarom, “Asas-asas Hukum Perjanjian : Suatu Landasan dalam Pembuatan Kontrak”, SUHUF, Vol. 26, Mei 2014, h. 51, Asas Pacta Sund Servanda atau disebut juga sebagai asas kepastian hukum, berkaitan dengan akibat perjanjian atau perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.

(21)

membawa akibat bahwa ketentuan lastgeving berlaku bagi pemberian kuasa yang melahirkan perwakilan (volmacht). Pemberian kuasa dan perwakilan mempunyai 2 (dua) pengertian yang berbeda dalam tiap hubungan hukum.

Menurut Achmad Ichsan:

Ada 3 (tiga) keadaan hukum berkaitan dengan hubungan hukum pemberian kuasa dan kewenangan mewakili, yaitu :

1. pemberian kuasa disertai kewenangan mewakili, yang melahirkan perwakilan berdasarkan perjanjian (lastgeving dan volmacht);

2. pemberian kuasa tanpa disertai kewenangan mewakili, tidak melahirkan perwakilan (lastgeving) dan;

3. kewenangan mewakili tanpa pemberian kuasa (volmacht).8

Pengertian pemberian kuasa sebagaimana diuraikan di atas, adapun maksud dari menyelenggarakan suatu urusan adalah melakukan sesuatu perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang mempunyai akibat hukum. Orang yang telah diberikan kuasa melakukan perbuatan hukum tersebut atas nama orang yang memberikan kuasa atau juga dikatakan bahwa ia mewakili si pemberi kuasa. Dengan kata lain bahwa apa yang dilakukan itu adalah tanggungan si pemberi kuasa dan segala hak serta kewajiban yang timbul dari perbuatan yang dilakukannya itu menjadi hak dan kewajiban orang yang memberi kuasa.9

Pemberian kuasa (lastgeving) yang terdapat dalam Pasal 1792 KUHPerdata tersebut mengandung unsur:

1. Persetujuan;

2. Memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan;

3. Atas nama pemberi kuasa.

8Achmad Ichsan, Hukum Perdata, Pembimbing Masa, Jakarta, 1969, h. 224.

9

(22)

Unsur persetujuan harus memenuhi syarat-syarat persetujuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.10

Unsur memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan harus sesuai dengan yang telah disetujui oleh para pihak baik yang dirumuskan secara umum maupun dinyatakan dengan kata-kata yang tegas.

Kemudian mengenai unsur atas nama pemberi kuasa, ini berarti bahwa penerima kuasa diberi wewenang untuk mewakili pemberi kuasa.

Akibatnya tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa merupakan tindakan hukum dari pemberi kuasa.11

Kuasa dapat diberikan kepada penerima kuasa berdasarkan Pasal 1793 KUHPerdata, bahwa : “Kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan suatu surat di bawah tangan, bahkan dengan sepucuk surat ataupun lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa”.

Pemberian kuasa sebagaimana disebutkan menunjukkan bahwa kuasa dapat dibuat dan diterima dalam berbagai macam bentuk, dalam

11Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, h. 69 .

(23)

bentuk akta resmi, seperti akta notaris, akta yang dilegalisasi oleh kepaniteraan pengadilan, akta yang dibuat oleh pejabat pamong dan sebagainya, tapi bisa juga berbentuk surat di bawah tangan, surat biasa dan bahkan boleh juga berbentuk kuasa lisan. Menurut Salim HS : “apabila dilihat dari cara terjadinya, perjanjian pemberian kuasa dibedakan menjadi enam macam, yaitu akta umum, surat di bawah tangan, lisan, diam-diam, cuma-cuma , kata khusus, dan umum”.12 Berdasarkan bentuk kuasa seperti dijelaskan tersebut, kuasa lisan dapat diterima sebagai bentuk pemberian kuasa. Pemberian kuasa secara lisan adalah suatu kuasa yang dilakukan secara lisan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa.13

Membuat suatu kuasa pada dasarnya tidak terikat dengan suatu bentuk tertentu. Setiap pihak mempunyai kebebasan dalam membuat kuasa tertulis ataupun lisan. Kuasa yang dibuat secara lisan tetaplah sah apabila telah memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata juga mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya sesuai dengan pasal 1338 KUHPerdata.

Namun, berdasarkan ketentuan 1792 KUHPerdata menyebutkan tentang pengertian pemberian kuasa bahwa secara umum menyelenggarakan suatu urusan dimaksudkan untuk mengurus saja, akan tetapi melakukan perbuatan hukum seperti memindahtangankan, pembebanan, perubahan suatu anggaran dasar harus dilakukan dengan pemberian kuasa secara tegas menyebutkan perbuatan itu.14

12M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, h. 307.

13Ibid., h. 67.

14Rumelda Silalahi, Kekuatan Jual Beli Tanah melalui Seorang Kuasa, Jurnal Rectum, Volume I, Nomor 2, Juli 2019, h. 195.

(24)

Kuasa lisan harus benar-benar diperhatikan apabila digunakan dalam perbuatan hukum yang dapat memberikan kerugian besar pada para pihak saat terjadi sengketa. Tidak semua perbuatan hukum bisa dikuasakan kepada orang lain secara lisan. Sebagai ilustrasi, mengadopsi anak, merumuskan wasiat/testamen, mengubah akta autentik semisal akta Commanditaire Venootschap (selanjutnya disingkat CV) yang perbuatan

hukum tersebut harus dinyatakan tegas dalam bentuk akta. Pemberian kuasa dengan akta autentik merupakan kuasa yang dibuat oleh dan/atau di hadapan pejabat umum yang berwenang (notaris) dan kuasa seperti ini memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.15

Putusan Mahkamah Agung nomor 08/Pdt.G/2016/PN.Spt, dalam kasus perbuatan melawan hukum yang terjadi di Pengadilan Negeri Sampit oleh BMM (Penggugat) terhadap MS (Tergugat I) dan Notaris Joni (Tergugat II). Pada mulanya telah didirikan CV. Putra Jaya tahun 1995 di bidang penjualan alat-alat berat dengan pesero pengurus adalah AM dan pesero komanditer adalah MS (Tergugat I) dan BMM (Penggugat). Pada tahun 2008, MS (Tergugat I) datang sebagai penghadap kepada Notaris Joni, MS menyampaikan bahwa telah terjadi perubahan pesero pada CV.

Putra Jaya dengan perubahan MS (Tergugat I) keluar sebagai pesero, dan sebagai gantinya masuklah MM (dalam kasus ini MM merupakan ayah kandung dari MS) sebagai pesero komanditer baru sehingga pesero komanditer menjadi BMM (Penggugat) dan MM (pada saat perkara

15Emeralda Karissa Moyambo, Tanggung Jawab Notaris dalam Pembuatan Akta Otentik Berdasarkan Kuasa Lisan Terhadap Masyarakat, Jurnal Pendidikan, Social dan Keagamaan, Vol. 17 No. 21, Agustus 2019, h. 116.

(25)

berlangsung MM telah meninggal dunia terlebih dahulu tahun 2012).

Dalam hal ini MS (Tergugat I) datang sebagai penghadap seorang diri kepada Notaris Joni, menurut keterangan MS bahwa ia bertindak untuk dirinya sendiri dan selaku kuasa yang disampaikan secara lisan saja oleh pesero lainnya, yaitu BMM (Penggugat), AM dan (alm) MM.

Perubahan pesero tersebut akhirnya dibuatkan dalam Akta Notaris Joni, Notaris di Kota Sampit, Kalimantan Tengah dengan akta Nomor 20 tanggal 28 Oktober 2008 tentang “masuk dan keluar sebagai pesero serta perubahan anggaran peseroan CV. Putra Jaya”. Bahwa menurut Notaris Joni, Tergugat I yang menyatakan telah mendapat kuasa lisan dari semua pesero juga membawa salinan akta pendirian CV. Putra Jaya yang sebelumnya, sehingga meyakinkan Notaris Joni atas kebenarannya.

Keterangan Penggugat menyatakan bahwa ia telah tinggal di Jakarta dan ia memang masih sebagai pesero dalam CV. Putra Jaya, tetapi ia tidak mengetahui bahwa telah terjadi perubahan kepengurusan pesero yang perubahan tersebut ia dengar dari adiknya FEM, setelah diselidiki oleh FEM ternyata memang ada akta perubahan tersebut yang dibuat oleh Notaris Joni, dan disebutkan Penggugat ada memberikan kuasa secara lisan kepada Tergugat I, maka seharusnya Notaris menanyakan langsung kepada pemberi kuasa tentang kebenaran kuasa lisan tersebut. Penggugat juga tidak pernah sekalipun memberi kuasa baik secara tertulis apalagi secara lisan untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana dinyatakan dalam akta Tergugat II tersebut. Oleh karena ketiadaan kuasa, Penggugat menyatakan

(26)

pernyataan dan/atau kesepakatan yang mengatasnamakan Penggugat adalah tidak benar dan cacat hukum.

Kesaksian lain yang diungkap oleh AM selaku pesero pengurus bahwa ternyata ia hanyalah sebagai karyawan biasa saja dan tidak mengetahui tujuan ia diangkat sebagai Direktur. Kemudian AM telah keluar dari pesero sejak tahun 1999, namun perubahan kepengurusan baru dibuat di tahun 2008, dan pengurusan itu di bawah Notaris Y dan ia hanya tanda tangan saja, tetapi bukan Notaris Joni. Terhadap akta Notaris Joni yang mencantumkan namanya, ia baru mengetahui setelah bermasalah dan tidak pernah hadir serta memberikan kuasa kepada siapapun seperti yang disebut dalam akta.

Gugatan dimulai dari ranah Pengadilan Negeri, hakim Pengadilan Negeri mengabulkan gugatan penggugat dan menyatakan batal demi hukum Akta No. 20 tanggal 28 Oktober 2008 tentang “masuk dan keluar sebagai pesero serta perubahan anggaran dasar perseroan CV. Putra Jaya”, karena cacat hukum dan/atau melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau melanggar peraturan hukum tentang syarat sahnya perjanjian, serta menghukum Notaris Joni untuk mencoret/menarik/

menghapus akta tersebut dari minuta/daftar buku/register yang dipergunakan untuk itu. Kemudian Notaris Joni mengajukan permohonan banding, adapun putusan hakim Pengadilan Tinggi ialah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Sampit No. 08/Pdt.G/2016/PN.Spt, setelahnya Notaris Joni mengajukan permohonan kasasi, namun permohonan tersebut

(27)

oleh hakim Mahkamah Agung dinyatakan ditolak. Oleh karena itu, dari uraian latar belakang di atas, penting untuk diteliti dan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini dengan judul “Kuasa Lisan dalam Pembuatan Akta Autentik Notaris (Studi Putusan No. 08/Pdt.G/2016/PN. Spt)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah penggunaan kuasa lisan dalam praktek pembuatan akta

autentik oleh Notaris ?

2. Bagaimanakah kewajiban Notaris dalam pembuatan akta autentik yang menjamin hak para pihak berkaitan dengan penggunaan kuasa lisan dalam pembuatan akta autentik ?

3. Bagaimanakah tanggung jawab Notaris atas pembatalan akta Notaris dengan menggunakan kuasa lisan dalam akta autentik yang disangkal oleh pemberi kuasa berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No.

08/Pdt.G/2016/PN.Spt?

C. Tujuan Penelitian

Tulisan ini dibuat untuk menjawab permasalahan yang menjadi objek penelitian, maka sesuai permasalahan di atas, adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis penggunaan kuasa lisan dalam praktek pembuatan akta autentik oleh Notaris.

(28)

2. Untuk menganalisis kewajiban Notaris dalam pembuatan akta autentik yang menjamin hak para pihak berkaitan dengan penggunaan kuasa lisan dalam pembuatan akta autentik.

3. Untuk menganalisis tanggung jawab Notaris atas pembatalan akta Notaris Joni dengan menggunakan kuasa lisan dalam akta autentik yang disangkal oleh pemberi kuasa berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 08/Pdt.G/2016/PN.Spt.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara teoretis kepada disiplin ilmu hukum yang diterapkan oleh aparat penegak hukum maupun praktis kepada para praktisi hukum. Adapun manfaat dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Penelitian ini dapat memberi masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di dunia kenotariatan khususnya mengenai penggunaan kuasa lisan dalam pembuatan akta-akta autentik.

b. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan atau sumber informasi ilmiah dan bahan perbandingan bagi rekan – rekan penulis lain yang ingin mengadakan penelitian berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

(29)

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapakan bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Menjadi masukan bagi para praktisi hukum dan instansi-instansi pemerintah, khususnya diharapkan bagi para Notaris yang harus berhati-hati dan teliti dalam membuat akta autentik.

b. Menyempurnakan peraturan perundang-undangan terkait penggunaan kuasa lisan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi serta penelusuran yang dilakukan di Kepustakaan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, diketahui belum ada penelitian yang membicarakan masalah tentang Kuasa Lisan dalam Pembuatan Akta Autentik Notaris (Studi Putusan No. 08/Pdt.G/2016/PN. Spt). Oleh karena itu penelitian ini baik dari segi objek permasalahan daan substansi adalah asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan ilmiah.

Adapun penelitian terdahulu pernah melakukan penelitian yang mirip, namun secara substansi pokok permasalahan yang dibahas berbeda dengan penelitian ini. Penelitian tersebut adalah :

1. I Dewa Made Mahardika Putra, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, dengan judul “Analisis Hukum Atas Akta Notaris Berdasarkan Kuasa Lisan yang Dinyatakan Batal Demi Hukum (Studi

(30)

Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sampit Nomor Register : 08/Pdt.G/2016/PN.Spt)”. Adapun permasalahan yang dibahas adalah:

a. Bagaimana pengaturan mengenai tanggung jawab Notaris terhadap akta Notaris dengan kuasa lisan ?

b. Bagaimana konsekuensi hukum atas akta Notaris yang dibuat berdasarkan kuasa lisan ?

2. Catherine Anggriaani, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dengan judul “Tanggung Jawab Notaris dalam Pembuatan Akta Berdasarkan Kuasa Lisan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sampit Nomor : 08/Pdt.G/2016/PN.Spt)”. Adapun permasalahan yang dibahas adalah:

a. Bagaimana taanggung jawab Notaris terhadap akta yang dibuat berdasarkan kuasa lisan ?

b. Apa saaja unsur-usur perbuatan melawan hukum yang timbul atas ketiadaan pemberian kuasa ?

c. Bagaimana sikap yang dapat dilaakukan oleh Notaris atas penggunaan kuasa lisan oleh penghadap ?

3. Eva Shofwatul Uyun, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dengan judul “Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta Cacat Hukum yang Dibuat Berdasarkan Kuasa Lisan yang Tidak Memenuhi Syarat Sahnya Perjanjian (Tinjauan Atas Putusan Mahkamah Agung Nomor 1117/K/PDT/2017)”, adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah:

(31)

a. Bagaimana akibat hukum dari pembatalan akta Notaris cacat hukum yang dibuat berdasarkan kuasa lisan yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian ?

b. Bagaimana pertanggungjawaban Notaris terhadap akta cacat hukum yang dibuat berdasarkan kuasa lisan yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian yang dibatalkan oleh Pengadilan yang terdaapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1117/K/Pdt/2017 ?

Dengan demikian dapat dikatakan penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.

F. Kerangka Teori 1. Kerangka Teori

Penelitian hukum harus berpijak pada teori hukum, karena teori hukum adalah “seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual (Conceptual System) aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan”.16 Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai landasan filsofisnya yang tertinggi. Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.17

16HR Otje Salman, Teori Hukum, Refika Aditama, Jakarta, 2002, h.60.

17

(32)

Menurut Bernard Arief Sidharta yang dikutip oleh Hasim Purba, bahwa :

“Teori hukum diartikan sebagai ilmu atau disiplin hukum yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun praktisnya dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridisnya dalam kenyataan kemasyarakatan”.18

Teori harus mengungkapkan suatu tesis atau argumentasi tentang fenomena tertentu yang dapat menerangkan bentuk substansi atau eksistensinya, dan suatu teori harus konsisten tentang apa yang diketahui tentang dunia sosial oleh partisipan dan ahli lainnya, minimal harus ada aturan-aturan penerjemah yang dapat menghubungkan teori dengan ilmu bahkan pengetahuan lain, sedangkan kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan pegangan teoritis.19

Kerangka teori dapat diartikan sebagai “kerangka pemikiran atau butir- butir pendapat, mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan (problem), yang menjadi bahan perbandingan, pegangan yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal dalam penelitian ini”.20

Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lain atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah sarana ringkas

18Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, CV. Cahaya Ilmu, Medan, 2006, h. 98.

19M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, h. 80.

20Ibid, h. 253.

(33)

untuk berpikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.21 Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui. Kerangka teori adalah penentuan tujuan dan arah penelitian dalam memilih konsep-konsep yang tepat guna pembentukan hipotesa- hipotesanya.22

Keberadaan teori dalam ilmu pengetahuan sangat penting karena teori merupakan konsep yang akan menjawab suatu masalah. Teori oleh kebanyakan ahli dianggap sebagai sarana yang memberi raangkuman bagaimana memahami suatu masalah dalam setiap bidang ilmu pengetahuan.23

Sugiono berpendapat bahwa “fungsi dari kerangka teori selaras dengan apa yang digunakan yaitu bahwa teori-teori yang relevan dapat digunakan untuk menjelaskan variabel yang akan diteliti, setara sebagai dasar untuk memberikan terhadap masalah yang diajukan”.24 Karena itu, teori dan kerangka teori memiliki kegunaan paling sedikit mencakup hal- hal sebagai berikut:

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;

21Nurul Qamar dan Farah Syah Rezah, Ilmu dan Teknik Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, CV. Social Politic Genius, Makassar, 2020, h. 37.

22M. Solly Lubis, Op.cit, h. 91.

23Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, h. 113.

24

(34)

b. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan definisi-definisi;

c. Teori biasanya merupakan suatu yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti;

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang;

e. Teori memberikan petunjuk pada kekurangan-kekurangan pengetahuan peneliti.25

Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini sebagai pisau analisis dalam menjawab permasalahan dalam penlelitian ini adalah menggunakan teori kewenangan, kewajiban hukum dan tanggung jawab hukum.

a. Teori Kewenangan

Teori kewenangan (authority theory) merupakan teori yang mengkaji dan menganalisis tentang kekuasaan dari organ pemerintah untuk melakukan kewenangannya, baik dalam lapangan hukum publik maupun hukum privat. Namun menurut Ferrazi, “kewenangan sebagai hak untuk menjalankan satu atau lebih fungsi manajemen, yang meliputi pengaturan (regulasi dan standarisasi), pengurusan (administrasi), dan pengawasan (supervisi) atau suatu urusan tertentu”.26 Unsur – unsur yang tercantum dalam teori kewenangan:

1) adanya kekuasaan;

2) adanya organ pemerintah; dan

25Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, h. 121.

26Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi dan Tesis, Rajawali Pres, Jakarta, 2013, h. 185.

(35)

3) sifat hubungan hukumnya.27

Menurut H.D Stoud, “kewenangan adalah aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik di dalam lapangan hukum publik”. Secara garis besarnya, kewenangan dan wewenang memiliki pengertian yang berbeda.

Kewenangan adalah apa yang disebutkan kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu onderdell (bagian) tertentu kewenangan. Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintah, Indrioharjo menyajikan pengertian wewenang, “wewenang dalam arti yuridis adalah suatu kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat hukum”.28

Kekuasaan dan kewenangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berasal dari kata “wewenang”, memiliki arti hak dan kekuasaan untuk bertindak, kewenangan, kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.29

Kata kewenangan berasal dari kata dasar wewenang yang diartikan sebagai hal berwenang, hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu. Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal,

27Ibid.

28Ibid, h. 183.

29

(36)

kekuasaan berasal dari kekuasaan legislate (diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif administratif. Kewenangan yang biasanya terdiri dari beberapa wewenang adalah kekuasaan terhadap segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan.30

Istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering kali ditemukan.

Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah (the rule and the ruled).31

Wewenang harus dibedakan dengan kekuasaan dan hak. Tidak semua kekuasaan adalah kewenangan, namun semua kewenangan adalah kekuasaan. Kewenangan adalah kekuasaan yang diformalkan dalam peraturan perundang-undangan, sedangkan kekuasaan tidak hanya diberikan oleh hukum, namun dapat juga karena politik, ekonomi, kedudukan sosial dan sebagainya. Begitupun kewenangan dan hak harus dibedakan, dimana kewenangan merupakan kekuasaan untuk bertindak dalam ranah hukum publik, adapun hak adalah kekuasaan untuk bertindak dalam ranah hukum privat. Philipus M. Hadjon, berpendapat bahwa “dalam

30 Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, h.

78.

31 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, h. 35-36.

(37)

Hukum Tata Negara wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht)”. Wewenang sekurang-kurangnya terdiri atas tiga komponen, yaitu pengaruh untuk mengendalikan perilaku subyek hukum, dasar hukum untuk memastikan wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya dan konformitas hukum mengandung makna adanya standard wewenang, yaitu standard umum dan standard khusus.32

Kewenangan tidak hanya diartikan sebagai hak untuk melakukan praktik kekuasaan. Namun kewenangan juga diartikan untuk menerapkan dan menegakkan hukum, ketaatan yang pasti, perintah, memutuskan, pengawasan, yurisdiksi, atau kekuasaan. Pada umumnya, kewenangan diartikan sebagai kekuasaan, kekuasaan merupakan kemampuan dari orang atau golongan untuk menguasai orang lain atau golongan lain berdasarkan kewibawaan, kewenangan kharisma atau kekuatan fisik.33

Kewenangan secara teoretis yang bersumber dari peraturan perundang-undangan diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat, yaitu :

1) Kewenangan atribusi, Indroharto mengatakan bahwa “pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintah yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Disini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru”.34

2) Kewenangan delegasi. Delegasi selalu dituntut adanya dasar hukum karena bila pemberi delegasi ingin menarik kembali wewenang

32Syofyan Hadi dan Tommy Michael, Principles of Defense (Rechtmatigheid) In Decision Standing of State Administration, Jurnal Cita Hukum Vol. 5 No. 2, ISSN: 2356-1440, Faculty of Sharia and Law UIN, Jakarta, Desember 2017, h. 390-391.

33 Salim H.S dan Erlies Septiana Nurbani, Op.cit, h. 185.

34 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h.

(38)

yang telah didelegasikannya, maka harus dengan peraturan perundang-undangan yang sama. Wewenang yang diperoleh dari delegasi itu dapat pula disubdelegasikan kepada subdelegatoris.

Untuk subdelegatoris ini berlaku sama dengan ketentuan delegasi.

Wewenang yang diperoleh dari atribusi dan delegasi dapat dimandatkan kepada orang atau pegawai-pegawai bawahan bilamana organ atau pejabat yang secara resmi memperoleh wewenang itu tidak mampu melaksanakan sendiri wewenang tersebut. Menurut Heinrich Triepel, “pendelegasian dalam pengertian hukum publik dimaksudkan tindakan hukum pemangku suatu wewenang kenegaraan”.35

3) Mandat merupakan pemberian wewenang oleh organ pemerintahan kepada organ lain untuk mengambil keputusan atas namanya.

Mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan.

Pelimpahan ini bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama pejabat tata usaha negara yang memberi mandat. Tanggung jawab tidak berpindah ke mandataris, melainkan tanggungjawab tetap berada ditangan pemberi mandat, hal ini dapat dilihat dari kata atas nama. Dengan demikian, semua akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya keputusan yang dikeluarkan oleh mandataris adalah tanggung jawab si pemberi mandat.36

Stroink dan Steenbeek sebagaimana dikutip oleh Ridwan, mengemukakan pandangan yang berbeda, sebagai berikut :

“Bahwa hanya ada 2 (dua) cara untuk memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain, jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi)”. 37

Mandat tidak membicarakan mengenai penyerahan wewenang atau pelimbahan wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan

35Heinrich Triepel, dalam Sodjuangon Situmorang, Model Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota, Disertasi, PPS Fisip UI, Jakarta, 2002, h. 104.

36 Salim HS, dan Erlies Septiana Nurbani, Op.cit, h. 196

37Ridwan HR, Op.cit, h. 74-75.

(39)

wewenang apapun (dalam arti yuridis formal), yang ada hanyalah hubungan internal.38

Teori kewenangan akan digunakan untuk menganalisis dasar kewenangan yang melahirkan kekuasaan ataupun kuasa harus ditemukan dalam suatu undang-undang. Dengan demikian di dalamnya terdapat suatu legitimasi yang demokratis. Wewenang itu memberikan dasar hukum untuk bertindak dan mengambil keputusan tertentu berdasarkan wewenang yang diberikan atau melekat padanya berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Dari sini, atribusi dan delegasi kewenangan harus didasarkan undang-undang formal, setidak-tidaknya apabila keputusan itu meletakan kewajiban-kewajiban pada seseorang. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kewenangan itu haruslah jelas diatur secara jelas dan ditetapkan dalam peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

b. Teori Kewajiban Hukum

Konsep delik terkait erat dengan konsep kewajiban hukum (legal duty). Konsep kewajiban awalnya adalah suatu konsep moral yang spesifik

dan merupakan pengertian norma moral dalam hubungannya dengan individu yang tindakannya diperintahkan atau dilarang. Konsep kewajiban (obligation or duty) di sini adalah dalam makna hukum positif yang harus dibedakan dengan konsep kewajiban dalam bahasa Jerman Pflicht yang

38 Ibid.

(40)

oleh etika Kantian dijadikan sebagai konsep nilai moral absolut, yaitu bahwa setiap orang harus memenuhi kewajibannya.39

Konsep kewajiban hukum juga merupakan pasangan dari konsep norma hukum, bahkan pada awal karyanya Kelsen menyebutkan norma hukum sebagai kewajiban hukum karena dalam setiap norma selalu menimbulkan kewajiban hukum tertentu. Namun hubungannya lebih kompleks karena norma hukum memiliki struktur yang lebih complicated dibanding norma moral. Norma hukum tidak menunjukkan pada perbuatan satu individu seperti norma moral. Norma hukum setidaknya menunjuk pada perbuatan dua individu, yaitu pelaku atau yang mungkin melakukan delik atau deliquent dan individu yang harus melaksanakan sanksi. Jika sanksi dikenakan terhadap individu lain selain deliquent, maka norma hukum menunjuk pada tiga individu. Konsep kewajiban hukum sebagaimana biasa digunakan dalam ilmu hukum dan sebagaimana didefinisikan oleh Austin menunjuk hanya pada individu yang dikenakan sanksi dalam hal melakukan delik. Maka memiliki kewajiban hukum berarti kondisi sebagai subyek suatu delik, atau deliquent.40

Kewajiban hukum tidak harus berarti semata-mata berpotensi dikenai sanksi, sebab yang dapat dikenai sanksi tidak semata-mata deliquent, tetapi juga yang memiliki hubungan hukum dengan deliquent.

Maka eksistensi kewajiban hukum adalah semata-mata validitas suatu

39 Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Setjen &

Kepaniteraan MK-RI, Jakarta, 2006, h. 55.

40 Ibid, h. 56.

(41)

norma hukum yang membuat sanksi tergantung kepada tindakan sebaliknya dari kewajiban hukum. Kewajiban hukum tidak berarti tanpa norma hukum.

Kewajiban hukum adalah kewajiban untuk tidak melakukan delik, atau kewajiban subyek untuk mematuhi norma hukum.41

Definisi kewajiban hukum sebagaimana diuraikan tersebut, maka norma hukum yang mewajibkan subyek untuk tidak melakukan delik dengan memberikan sanksi jika dilakukan, tidak membebankan kewajiban hukum eksekusi sanksi atau aplikasi sanksi itu sendiri. Hakim dapat diwajibkan secara hukum mengeksekusi sanksi hanya jika terdapat norma lebih lanjut yang memberikan sanksi terhadap tidak adanya eksekusi atas sanksi pertama. Jadi tidak diharuskan oleh norma yang mengatur delik dan sanksi itu sendiri. Maka harus ada dua norma yang berbeda, pertama menyatakan bahwa suatu organ harus mengeksekusi suatu sanksi terhadap subyek, dan kedua yang menyatakan bahwa organ lain harus mengeksekusi sanksi terhadap organ pertama jika sanksi pertama tidak dieksekusi.42

Konsep kewajiban hukum juga mengimplikasikan suatu keharusan.

Bahwa seseorang diharuskan secara hukum atas tindakan tertentu berarti bahwa suatu organ harus mengaplikasikan suatu sanksi kepadanya jika bertindak sebaliknya. Tetapi konsep kewajiban hukum berbeda dengan kewajiban moral berdasarkan fakta bahwa kewajiban hukum bukan merupakan tuntutan norma yang harus dipenuhi. Kewajiban hukum adalah

41 Ibid.

42

(42)

perbuatan dengan mana jika dilakukan berarti menghindari delik, yaitu kebalikan dari perbuatan yang membentuk suatu kondisi adanya sanksi.43

Kewajiban hukum atas keharusan dilakukan, maka keharusan ini merupakan keharusan sanksi. Pernyataan ini mempresuposisilam norma hukum terbagi menjadi dua norma yang terpisah atau dua pernyataan keharusan. Yang pertama adalah keharusan yang mengakibatkan individu tertentu menyesuaikan tindakannya, yang kedua adalah keharusan yang mengakibatkan individu lain harus mengeksekusi suatu sanksi dalam kasus norma pertama dilanggar.44

Teori kewajiban hukum akan digunakan untuk menganalisa kewajiban notaris dalam pembuatan akta dikaitkan dengan Pasal 16 huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris, yaitu untuk bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Sesuai dengan teori kewajiban hukum ini, konsep kewajiban hukum mengimplikasikan adanya suatu keharusan yang harus dilakukan notaris dalam menjalankan jabatannya. Bahwa seseorang dalam hal ini notaris diharuskan secara hukum atas tindakan tertentu berarti bahwa suatu organ harus mengaplikasikan suatu sanksi kepadanya jika bertindak sebaliknya.

43 Ibid, h. 57.

44 Ibid, h. 58.

(43)

c. Teori Tanggung Jawab Hukum

Suatu konsep terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggungjawab hukum (liability). Seseorang dikatakan secara hukum bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan.

Normalnya, dalam kasus sanksi dikenakan terhadap deliquent adalah karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut harus bertanggungjawab.

Dalam kasus ini subyek responsibility dan subyek kewajiban hukum adalah sama. Menurut teori tradisional, terdapat dua macam pertanggungjawaban yang dibedakan, yaitu pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault) dan pertanggungjawaban mutlak (absolut responsibility).45

Prinsip pemberian sanksi terhadap tindakan individu hanya karena akibat perbuatan tersebut telah direncanakan dan dengan maksud yang salah tidak sepenuhnya diterima dalam hukum modern. Individu secara hukum bertanggungjawab tidak hanya jika secara obyektif harmful effect dilakukan secara terlarang, tetapi juga jika akibat perbuatan tersebut telah dimaksudkan walaupun tanpa niat yang salah, atau jika akibat tersebut terjadi tanpa adanya maksud atau direncanakan oleh individu pelaku.

Namun sanksinya mungkin berbeda dalam kasus yang berbeda-beda.46

Suatu sikap mental deliquent tersebut, atau disebut mensrea, adalah suatu elemen delik. Elemen ini disebut dengan terma kesalahan (fault)

45 Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, Op. cit, h. 61.

46

(44)

(dalam arti lebih luas disebut dolus atau culpa). Ketika sanksi diberikan hanya terhadap delik dengan kualifikasi psikologis inilah disebut dengan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault atau culpability). Dalam hukum modern juga dikenal bentuk lain dari kesalahan

yang dilakukan tanpa maksud atau perencanaan, yaitu kealpaan (negligance). Kealpaan adalah suatu delik omisi, dan pertanggungjawaban

terhadap kealpaan lebih merupakan pertanggungjawaban absolut dari pada culpability.47

Permasalahan ketiga dalam penulisan ini akan menggunakan teori tanggung jawab oleh Hans Kelsen. Menurut Hans Kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab menyatakan bahwa: “seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu aatau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subyek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan.48 Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan bahwa:

“Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum disebut kekhilafan (negligence), dan kekhilafan biasanya dipandang sebagai suatu jenis lain dari kesalahan (culpa), walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan”.

Tanggung jawab dalam kamus hukum dapat diistilahkan sebagai liability dan responsibility, istilah liability menunjuk pada

47 Ibid, h. 63.

48Hans Kelsen, sebagaimana diterjemahkan oleh Sunardi, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif, Media Indonesia, Jakarta, 2007, h. 81.

(45)

pertanggungjawaban hukum yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subjek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik. Teori tanggung jawab lebih menekankan pada makna tanggung jawab yang lahir dari ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga teori tanggung jawab lebih dimaknai dalam arti liability, sebagai suatu konsep yang terkait dengan kewajiban hukum seseorang yang bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan tertentu bahwa dia dapat dikenakan sanksi dalam kasus perbuatannya bertentangan dengan hukum.49

Penyelenggaraan dalam suatu negara dan pemerintahan, pertanggungjawaban itu melekat pada jabatan yang juga telah dilekati dengan kewenangan, dalam perspektif hukum publik, adanya kewenangan inilah yang memunculkan adanya pertanggungjawaban, sejalan dengan prinsip umum tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban.50

Menurut Abdul Kadir Muhammad teori tanggung jawab dalam perbuatan melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori, yaitu:

1) Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja (intertional tort liability), tergugat harus sudah melakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat atau mengetahui bahwa apa yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan kerugian.

2) Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan karena kelalaian (negligence tort lilability), didasarkan pada konsep kesalahan (concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah bercampur baur (interminglend).

49Busyra Azheri, Corporate Social Responsibility dari Voluntary menjadi Mandatory, Raja Grafindo Press, Jakarta, 2011, h. 54.

50

(46)

3) Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa mempersoalkan kesalahan (stirck liability), didasarkan pada perbuatannya baik secara sengaja maupun tidak sengaja.51 Fungsi teori tanggung jawab dalam penulisan tesis ini adalah tanggung jawab akibat kurang hati-hatinya Notaris X yang menggunakan kuasa lisan dalam pembuatan akta autentik yang disangkal oleh pemberi kuasa dan akta tersebut dibatalkan melalui putusan pengadilan, notaris dalam melaksanakan kewajibannya harus bertindak seksama sebab akta yang dibatalkan tersebut dapat merugikan para pihak dan hal ini menjadi tanggung jawab notaris sebagai akibat dari perbuatannya.

2. Kerangka Konsepsi

Konsepsi merupakan suatu kata yang menyatakan abstrak yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional. Menurut Soerjono Soekanto, “kerangka konsepsi pada hakikatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkret dari kerangka teori yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian”.52

Penelitian dalam tesis ini diperlukan beberapa pengertian tentang konsep-konsep guna menghindari kesalahpahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini. Beberapa konsep dasar perlu di definisikan dalam rangka

51Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, 2010, h.

336

52Soerjono Soekanto, Op.cit, h. 122.

(47)

menyamakan persepsi agar dapat dibatasi ruang lingkup variabel dan dapat diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan. Oleh karena itu untuk menjawaab permasalahan dalam penelitian ini harus dibuat beberapa definisi konsep dasar sebagai acuan agar penelitian ini sesuai dengan yang diharapkan, yaitu:

a. Kuasa adalah “suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya untuk dan atas namanya, menyelenggarakan suatu urusan”.53

b. Kuasa Lisan adalah “suatu kuasa yang dilakukan secara lisan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa”.54

c. Akta Autentik adalah “suatu tulisan yang di dalam bentuknya ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau di hadapaan pejabat umum yang berkuasa untuk di tempat dimana akta itu dibuat”.55

d. Notaris adalah “pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semua sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain”.56

53Pasal 1792 KUHPerdata

54 M. Yahya Harahap, loc.cit.

55Herlien Budiono, loc.cit.

56Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

(48)

G. Metode Penelitian

Metode adalah “proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah”. Penelitian adalah :

“usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan dengan suatu metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis serta sempurna terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau menjawab permasalahannya. Penelitian hukum merupakan penemuan kembali secara teliti dan cermat bahan hukum atau data hukum untuk memecahkan permasalahan hukum”.57

Rangkaian kegiatan penelitian dinilai dari pengumpulan data sampai pada analisa data dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah sebagai berikut:

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum normatif yaitu:

“penelitian hukum yang menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan-bahan pustaka dengan meneliti sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian, meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, teori hukum, buku-buku, peraturan perundang-undangan yang bersifat ilmiah serta dapat menganalisa permasalahan yang di bahas”.58

Penelitian yuridis normatif atau penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis dalam buku maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (litigation).59 Penelitian hukum normatif meneliti hukum dari perspektif internal dengan objek penelitiannya adalah

57Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta, 1997, h.16.

58Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitiaan Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2008, h. 25-26.

59Bismar Nasution, Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah FH USU, 18 Februari 2003, h.1.

(49)

norma hukum. Penelitian hukum normatif berfungsi untuk memberi argumentasi yuridis ketika terjadi kekosongan, kekaburan, dan konflik norma.60

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah:

“penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dilakukan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh dan akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan dalam menyimpulkan suatu solusi sebagai jawaban dari permasalahan tersebut”.61

2. Sumber Data

Sehubungan dengan penelitian yakni penelitian hukum normatif maka sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai literatur dan bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.62

a. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum atau dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang berupa bahan pustaka yang berisikan peraturan perundang-undangan yang terdiri dari:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

2) Undang – Undang No. 2 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang - Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris.

3) Putusan Mahkamah Agung 08/Pdt.G /2016/PN. Spt

60Ibid, h. 12.

61Ibid.

62Mukti Fajar Nur Dewata, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2015, h. 34.

Referensi

Dokumen terkait

Penyelesaian hukum terhadap pelanggaran notaris dalam pembuatan akta autentik adalah melalui Pengawasan Notaris yang dilakukan oleh Menteri dengan dibantu oleh

Praktek pembuatan akta Notaris yang sering memasukkan klausula kuasa mutlak, merupakan kuasa yang sah apabila tidak bertentangan dengan ketentuan Intruksi Menteri Dalam

Berdasarkan penjelasan pasal tersebut menjadi terang kewenangan pembuatan akta autentik salah satunya melekat pada jabatan Notaris, namun pada faktanya dalam

Dengan demikian, dapatlah diketahui bahwa dalam hal tanggung jawab notaris pengganti dalam pembuatan akta bila terdapat kesalahan atau kelalaian dapat dikenakan sanksi

Apa Kendala Yang Dihadapi PPAT Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Pada Kantor Notaris/PPAT Muhammad Yus.. Untuk Mengetahui Tanggung Jawab PPAT Dalam Pembuatan

Terkait dengan kewenangan notaris dalam pembuatan akta sebagaimana dalam putusan pengadilan mahkamah agung No 3124 K/ Pdt/ 2013, melalui putusannya, hakim menyatakan batal dan

Praktek pembuatan akta Notaris yang sering memasukkan klausula kuasa mutlak, merupakan kuasa yang sah apabila tidak bertentangan dengan ketentuan Intruksi Menteri Dalam

Berdasarkan Putusan Nomor 336 PK/Pdt/2017 PN Tng menyatakan bahwa Akta Jual Beli Hak Guna Bangunan Nomor 86 yang dibuat oleh PPAT dinyatakan batal demi hukum karena Akta Kuasa Menjual