Cokro Wibowo, 2014
PENGARUH MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TGT DAN PEER TEACHING DALAM
Abstrak
Tujun penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh model Cooperative Learning tipe TGT dan model Peer Teaching terhadap kecerdasan emosional siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan desain Randomized The Static Group Pretest-Postest Design. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa SMP Negeri 1 Minas Kabupaten Siak Riau tahun pelajaran 2013/2014 sebanyak 55 orang. Sampel dalam penelitian ini terdiri dari 2 rombel kelas VII yang diundi dari 5 rombel kelas VII, dan teknik pengambilan sampelnya menggunakan Cluster Random Sampling. Data kecerdasan emosional dikumpulkan dengan angket kecerdasan emosional yang berbentuk skala likert. Data dianalisis menggunakan uji statistik parametrik yaitu uji kesamaan dua rata-rata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) penerapan model Cooperative Learning tipe TGT memberikan pengaruh terhadap pengembangan kecerdasan emosional siswa; (2) penerapan model Peer Teaching memberikan pengaruh terhadap pengembangan kecerdasan emosional siswa; (3) penerapan model Cooperative Learning tipe TGT memberikan pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan model Peer Teaching
Cokro Wibowo, 2014
PENGARUH MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TGT DAN PEER TEACHING DALAM of Students emotional quotient
Cokro Wibowo*, Prof. Dr. Adang Suherman, M.A.** dan Dr. Berliana, M.Pd.**
Abstrak
The purpose of this research was to find out the effect of Cooperative Learning model type Teams Games Tournament (TGT) and Peer Teaching model to the development of students emotional quotient in junior high school level. This research employed experimental model in form of Randomized The Static Pretest-Postest Design. The samples of the research were 55 students of SMP N 1 Minas, Siak regency, Riau in academic year of 2013/2014. The consisted of two classes of seventh grade which chosen randomly from five classes. The samples were chosen by using cluster random sampling. The data of students emotional quotient were collected by using questionnair in form of likert scale. They were analyzed by using parametric statistical test which dealing with two mean scores similarity. The research findings showed that (1) the implementation of Cooperative Learning type TGT affect students emotional quotient development; (2) the implementation of Peer Teaching model also affect students emotional quotient development; (3) the implementation of Cooperative Learning type TGT gave better effect than that of Peer Teaching model.
Cokro Wibowo, 2014
PENGARUH MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TGT DAN PEER TEACHING
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Olahraga
Oleh
COKRO WIBOWO 1202640
PASCASARJANA PENDIDIKAN OLAHRAGA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
Cokro Wibowo, 2014
PENGARUH MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TGT DAN PEER TEACHING
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “pengaruh model cooperative learning tipe TGT dan peer teaching dalam permainan bola besar terhadap
pengembangan kecerdasan emosional siswa“ beserta seluruh isinya benar-benar karya
saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan cara-cara yang tidak sesuai
dengan etika keilmuan. Dengan adanya pernyataan ini saya siap menanggung
resiko atau sanksi apapun apabila di kemudian hari ditemukan adanya
pelanggaran atau klaim terhadap keaslian tesis saya.
Bandung, Juli 2014 Yang membuat pernyataan,
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sekolah adalah lingkungan pendidikan setelah keluarga yang dikenal peserta
didik dan merupakan lembaga pendidikan formal, di mana peserta didik melakukan
proses belajar untuk bekal kehidupannya. Dengan demikian sekolah memiliki
peranan penting dalam perkembangan peserta didik yaitu mengupayakan terjadinya
perubahan perilaku peserta didik yang mencakup perilaku kognitif, afektif,
psikomotoriknya, dan menyiratkan luasnya tugas sekolah dalam memikul tanggung
jawab dan melengkapi peran keluarga dalam melatih kecerdasan emosional siswa.
Ada hubungan antara pendidikan dan perilaku individu, sesuai dengan fungsi sekolah
sebagai pusat pendidikan, yaitu pembentukan pribadi anak atau individu. Dengan
ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan tersebut, mampu mempengaruhi
perilaku individu dalam bertingkah laku, karena menurut pakar pendidikan Jhon
Locke (Inggris, 1632-1704) menyatakan bahwa “Tujuan pendidikan adalah
pembentukan watak, perkembangan manusia sebagai kebulatan moral, jasmani dan
mental. Perilaku individu dapat diperoleh pula melalui proses belajar yang kontinu”.
Siswa SMP yang rata-rata berusia 13 sampai 16 tahun berada dalam fase
perkembangan remaja awal yang merupakan masa sangat dinamis dan peka bagi
individu, dan sering kali menimbulkan berbagai masalah, baik yang bersifat
emosional, sosial maupun kognitif (Santrock, 2002: 32). Terdapat keragaman dalam
menetapkan batasan dan ukuran tentang kapan mulainya dan kapan berakhirnya masa
remaja itu. Para ahli juga cenderung mengadakan pembagian lagi kedalam masa
remaja awal (early adolescent, puberty) dan remaja akhir (late adolescent) yang
mempunyai rentang waktu antara 11-13 sampai 14-15 tahun dan 14-16 sampai 18-20
tahun. Buhler (Nurihsan, 2011: 55) malah menambahkan suatu transisi ke periode ini
ialah masa pre-puberteit (praremaja) yang berkisar sekitar 10-12 tahun dari kalender
Hal tersebut disebabkan pada masa remaja terjadi dua transisi perkembangan
yang penting yaitu masa kanak-kanak menuju remaja dan masa remaja menuju masa
dewasa. Dalam masa transisi antara masa kanak-kanak menuju masa remaja terjadi
perubahan pubertas yang menonjol, di samping perubahan kognitif dan perubahan
sosio emosional, sedangkan dalam masa transisi menuju masa dewasa ditandai
dengan beberapa kriteria yang digunakan untuk menentukan kedewasaan yaitu antara
lain; tanggungjawab pribadi, kemandirian, psikologis dan sosial. Kriteria yang
dimiliki pada masa-masa dewasa di atas belum berkembang secara maksimal pada
masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa remaja.
Disebutkan pula pergolakan emosi yang terjadi pada masa remaja tidak terlepas
dari berbagai macam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah,
dan teman-teman sebaya serta aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan
sehari-hari. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi,
membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif. Bila aktivitas
di sekolah tidak memadai untuk memenuhi tuntutan gejolak energinya, maka remaja
sering kali meluapkan energinya ke arah yang tidak positif.
Berdasarkan hasil observasi terhadap dinamika dan problematika siswa SMP
Negeri 1 Minas, pada umumnya mereka kurang dapat mengontrol emosi dengan baik,
lebih menonjolkan sikap agresif daripada logika rasional. Data yang diperoleh dari
Wakasek kesiswaan dan guru bimbingan konseling di sekolah tersebut, menunjukkan
bahwa peristiwa perkelahian antar peserta didik di kelas sering kali terjadi, hal ini
menunjukkan bahwa peserta didik belum dapat mengontrol emosinya dengan baik.
Ketika dilakukan pengamatan dan wawancara lebih lanjut, banyak di antara peserta
didik yang menunjukkan perilaku kurang sabar, kurang ulet, mudah mengeluh,
mudah putus asa dalam menyelesaikan tugas-tugas sekolah maupun dalam
menyelesaikan masalah pribadi yang mengganggu kelancaran studi. Rendahnya
labil, kondisi seperti ini dikhawatirkan dapat mempengaruhi perkembangan
psikologis, karena makin tinggi kecerdasan emosional seseorang diharapkan akan
makin mampu seseorang dalam mengarungi kehidupan secara umum.
Berkaitan dengan permasalahan di atas, pendidikan jasmani sebagai salah satu
mata pelajaran yang terdapat di sekolah tentunya mempunyai peranan yang sangat
strategis dalam upaya mengembangkan kemampuan sosial dan moral peserta didik.
Pembinaan proses sosial peserta didik pada hakikatnya adalah menumbuh
kembangkan peserta didik menjadi makhluk sosial yang bermanfaat bagi lingkungan
di manapun ia berada. Sehubungan dengan hal ini Hoedaya (2009: 3) mengemukakan
bahwa:
“Melalui sosialisasi, khususnya keterlibatan anak pada aktivitas olahraga, maka sifat, perilaku, serta aspek kepribadian diharapkan akan tumbuh dan berkembang dengan baik, akan tumbuh sifat bersaing yang dilandasi sportivitas tinggi, menghargai lawan bermain, menghargai usaha sendiri, percaya diri, dan kemampuan mengendalikan emosi”.
Pendidikan jasmani memiliki peran dan fungsi yang kongkrit dalam
mengaktualisasikan nilai-nilai sosial dan moral dalam diri kepribadian anak didik.
Kepribadian yang ulet, pantang menyerah, pekerja keras, dan menempatkan individu
lain sebagai lawan dan kawan merupakan nilai-nilai yang dibutuhkan dalam
pergaulan sehari-hari. Aktivitas fisik dalam pendidikan jasmani secara langsung
bersentuhan dengan nilai-nilai tersebut. Dengan demikian pendidikan jasmani dapat
dimanfaatkan untuk mengembangkan kecerdasan emosional yang cakupannya
meliputi kumpulan dari kecakapan-kecakapan kerjasama, kesadaran diri, penghargaan
diri, pengendalian diri, empati, aktualisasi diri, kemandirian, tanggung jawab sosial,
optimisme dan kegembiraan. Hal ini sejalan dengan pendapat Hellison dan Martinek
(Hoedaya, 2009: 47) mengatakan bahwa tanggung jawab dan sosial bisa dimiliki
siswa dalam pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah-sekolah, melalui aktivitas
menegaskan bahwa nilai-nilai tersebut secara langsung dapat teraktualisasikan
melalui pendidikan jasmani.
Pencapaian tujuan pendidikan jasmani khususnya pada aspek sosial di lapangan
cenderung sangat sulit tercapai ini disebabkan karena adanya beberapa hambatan.
Pada lanjutan pengamatan yang dilakukan di lingkungan SMP di Kabupaten Siak
umumnya dan di SMP Negeri 1 Minas khususnya, terdeteksi beberapa hal seperti:
(1) inkonsistensi guru pendidikan jasmani dalam melaksanakan atau menerapkan
model pembelajaran di lapangan, hal ini disebabkan karena minimnya pengetahuan
para guru pendidikan jasmani terhadap teori-teori pembelajaran, dengan faktor
minimnya pengetahuan inilah yang menjadikan para guru pendidikan jasmani dalam
prakteknya dilapangan setengah-setengah dalam menerapkan model pembelajaran
dilapangan, sehingga target atau dampak yang diharapkan terkadang akan menjadi
tidak maksimal; (2) guru-guru pendidikan jasmani lebih menekankan kepada
pencapaian tujuan perkembangan fisik dan gerak. Proses pembelajaran peserta didik
kurang diarahkan untuk mengembangkan aspek sosial seperti kemampuan
kerjasama, saling menghargai antar sesama, saling membantu, empati,
mengendalikan emosi, dan aspek sosial lainnya. Proses belajar mengajar cenderung
hanya menekankan aspek fisik, yaitu menguasai keterampilan gerak tertentu. Dengan
penyampaian informasi, instruksi dan kegiatan belajar berpusat pada guru, peserta
didik hanya dituntut untuk menguasai gerak keterampilan tertentu sehingga aspek
lainnya yang seharusnya dikembangkan jadi terabaikan.
Jika kondisi di atas berlangsung lama maka akan memberikan dampak negatif
pada perkembangan sosial anak, dan akan menjadikan peserta didik cenderung akan
lebih egois kurang menghargai kawan bermain serta berpengaruh terhadap
kecerdasan emosional siswa terutama dalam hal menghargai dan mengendalikan
emosi. Hal semacam ini bertentangan dengan dasar falsafah pendidikan jasmani yang
disampaikan oleh Husdarta (2011: 26-27) bahwa “Pendidikan jasmani menyediakan
pada orang lain, menahan sabar, memberikan respek dan penghargaan pada orang
lain, mempunyai motivasi yang tinggi serta banyak lagi. Seorang ahli menyebut
bahwa kesemua keterampilan di atas adalah keterampilan hidup. Sedangkan ahli yang
lain memilih istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence)”. Sedangkan
untuk dampak tidak langsung maka hasil pendidikan jasmani hanya akan fokus pada
perkembangan fisik dan gerak saja, sedangkan dari segi afektif tidak sama sekali
tersentuh padahal tujuan pengembangan mental dan sosial yang merupakan
nilai-nilai yang tidak boleh terabaikan, pada akhirnya dapat terjadi penyimpangan dari
tujuan pembelajaran pendidikan jasmani seperti yang diharapkan. Kondisi seperti ini
sangatlah berpengaruh terhadap aplikasi kehidupan psikis peserta didik terutama
tentang kecerdasan emosional baik yang terjadi di lingkungan sekolah maupun
masyarakat sekitar.
Pendidikan jasmani merupakan pendidikan yang menggunakan aktivitas jasmani
sebagai media untuk mencapai tujuan. Pendidikan jasmani makin penting dan
strategis dalam kehidupan era teknologi yang sarat akan perubahan atau persaingan
dan kompleksitas. Pendidikan jasmani merupakan sarana yang efektif dan efisien
untuk meningkatkan disiplin dan rasa tanggung jawab, kreativitas dan daya inovasi
serta mengembangkan kecerdasan emosional.
Pendidikan jasmani merupakan program dari bagian pendidikan umum yang
memberi kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak secara
menyeluruh. Dengan begitu pendidikan jasmani dapat diartikan sebagai pendidikan
gerak, dan pendidikan melalui gerak yang harus dilakukan dengan cara-cara yang
sesuai dengan konsepnya. Pada prakteknya pendidikan jasmani yang dilaksanakan
memiliki beberapa tujuan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Suherman (2009: 7)
tentang klasifikasi tujuan umum pendidikan jasmani, yaitu :
1. Perkembangan fisik. Tujuan ini berhubungan dengan kemampuan melakukan
aktivitas-aktivitas yang melibatkan kekuatan-kekuatan fisik dari berbagai organ
2. Perkembangan gerak. Tujuan ini berhubungan dengan kemampuan melakukan
gerak secara efektif, efisien, halus, indah, dan sempurna (skill full).
3. Perkembangan mental. Tujuan ini berhubungan dengan kemampuan berpikir dan
menginterpretasikan keseluruhan pengetahuan tentang pendidikan jasmani ke
dalam lingkungannya sehingga menumbuh kembangkan pengetahuan, sikap, dan
tanggung jawab siswa.
4. Perkembangan sosial. Tujuan ini berhubungan dengan kemampuan siswa dalam
menyesuaikan diri pada suatu kelompok atau masyarakat.
Dalam bagian lain, Wiranto (1997: 4) juga menyatakan bahwa “pendidikan
jasmani merupakan sarana yang efektif dan efisien untuk meningkatkan disiplin, rasa
tanggung jawab, kreatif, daya inovasi, dan mengembangkan kecerdasan emosional”.
Hal ini diperkuat oleh berbagai penelitian, di antaranya dilakukan oleh Cowell
(Martens, 1975: 103) yang menunjukkan bahwa ada hubungan sedang antara
beberapa variabel sosial dengan partisipasi dalam aktivitas jasmani. Demikian juga
yang disampaikan oleh Layman yang dikutip Martens (Nopembri, 2006: 28)
menemukan dalil-dalil berikut ini; (1) partisipasi dalam olahraga meningkatkan
kebugaran jasmani, kebugaran jasmani berhubungan dengan kesehatan emosi yang
baik dan kurangnya kebugaran dengan kesehatan emosi yang minim, (2) memperoleh
keterampilan motorik melalui olahraga menyumbang terhadap pertemuan kebutuhan
dasar keselamatan dan penghargaan pada anak, (3) pengawasan yang dimainkan
orang tua berpotensi untuk meningkatkan kesehatan emosi dan mencegah kegagalan,
(4)...ketika bermain, rekreasi, dan aktivitas olahraga dirancang dengan kebutuhan
individu dalam pikiran, hal itu mungkin maknanya lebih bernilai dari
mengembangkan kesehatan di antara para pasien yang sakit secara emosi, (5) bermain
dan olahraga memberikan jalan keluar untuk mengekspresikan emosi dan
mengekspresikan emosi di bagian luar pada aktivitas yang disetujui berguna untuk
pantas digunakan, mungkin meningkatkan kesehatan emosi dan memperoleh sifat
kepribadian yang didambakan.
Sehubungan dengan uraian di atas, implementasi nilai-nilai pendidikan jasmani
sebagai pembinaan watak dan pembinaan moral dalam menumbuhkan suasana
kerjasama, disiplin, tanggung jawab, bersahabat atau kekeluargaan, dan saling tolong
menolong akan mengurangi potensi munculnya perselisihan. Oleh karena itu
pendidikan sebagai wahana pembinaan kepribadian dan perkembangan sosial anak
akan memberikan kontribusi yang lebih besar dan berpengaruh terhadap perubahan
sikap dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan demikian program
pendidikan jasmani dapat dimanfaatkan sebagai alternatif untuk menumbuhkan
perkembangan sikap sosial, sebagai upaya pendidikan menyeluruh yang mencakup
perkembangan jasmani, mental, sosial, dan emosional.
Pandangan keliru, tetapi dianut oleh begitu banyak orang, bahwa kualitas
inteligensi kecerdasan dalam ukuran intelektual atau tataran kognitif yang tinggi
dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam belajar
atau meraih kesuksesan dalam hidupnya. Namun baru-baru ini telah berkembang
pandangan lain yang mengatakan bahwa faktor yang paling dominan mempengaruhi
keberhasilan (kesuksesan) hidup seseorang, bukan semata-mata ditentukan oleh
tingginya kecerdasan intelektual, tetapi oleh faktor kemantapan emosional
(kecerdasan emosional).
Menurut Goleman (2000: 44), “kecerdasan intelektual hanya menyumbang 20%
bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan yang
lain, di antaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni
kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengatur suasana hati
(mood), berempati dan kemampuan bekerjasama”. Selanjutnya Goleman (2000: 45),
menyebutkan bahwa “kecerdasan emosional adalah kemampuan seperti kemampuan
untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan
menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan
berdoa”. Seseorang yang memiliki IQ tinggi namun taraf kecerdasan emosionalnya
rendah maka cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul,
mudah frustrasi, tidak mudah percaya pada orang lain, tidak peka terhadap kondisi
orang lain dan cenderung putus asa bila mengalami stres. Kondisi sebaliknya dialami
oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki kecerdasan
emosional tinggi. Tidak heran bila saat ini banyak siswa yang pandai secara
intelektual, tetapi gagal secara emosional.
Mengingat pentingnya peran kecerdasan emosional yang lebih dominan dalam
mempengaruhi keberhasilan siswa di masa yang akan datang, maka hendaknya
sekolah sebagai lembaga pendidikan dan miniatur masyarakat dapat
menyelenggarakan pendidikannya yang tidak hanya berorientasi pada pengembangan
aspek akademik semata, tetapi juga pada pengembangan kemampuan kecerdasan
emosional. Adapun sebagai upaya yang dapat dilakukan antara lain melalui proses
pembelajaran, dengan memilih suatu model pembelajaran yang tepat.
Dalam pengembangan kecerdasan emosional siswa, guru pendidikan jasmani di
SMP Negeri 1 Minas dalam melakukan proses belajar mengajar dapat menggunakan
suatu model pembelajaran yang dianggap mampu meningkatkan kecerdasan
emosional siswa. Dalam pembelajaran, model sosial sebagai implikasi yang
menekankan pada keadaan sosial alami kita, bagaimana kita belajar tingkah laku
sosial, dan bagaimana interaksi sosial dapat meningkatkan pembelajaran secara
akademis (Joyce, Weil & Clahoun, 2000: 29). Model pembelajaran yang dianggap
mampu meningkatkan kecerdasan emosional di antaranya adalah model Cooperative
Learning tipe TGT dan Peer Teaching. Seperti yang diungkapkan oleh Matzler
(2000: 220 & 286), bahwa “Pembelajaran pendidikan jasmani yang terus berkembang
sampai pada penerapan model sosial tersebut dalam model pembelajaran seperti :
bermain peran, Cooperative Learning dan Peer Teaching model”. Dengan model
pembelajaran semacam ini belum pernah digunakan di dalam kelas sehingga dapat
meningkatkan motivasi dalam memahami konsep-konsep dan meminimalisasi tingkat
kesulitan belajar.
Model Cooperative Learning tipe TGT yaitu suatu model pembelajaran yang
dalam pelaksanaannya meliputi beberapa komponen, seperti dikemukakan Slavin (2005: 170) sebagai berikut: “Presentasi kelas, belajar tim, turnamen, dan rekognisi tim”. TGT (Teams Games Turnament) merupakan jenis pembelajaran yang berkaitan dengan STAD (Student-Teamss-Achivement-Division) dimana dalam pembelajaran
ini siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan 4-5 orang
yang mempunyai kemampuan dan latar belakang yang berbeda untuk mencapai
ketuntasan belajar. Dalam Teams Games Turnament (TGT) siswa memainkan
permainan dengan anggota tim lain untuk memperoleh tambahan poin pada skor tim
mereka.
Secara umum model Cooperative Learning tipe TGT sama saja dengan STAD
kecuali satu hal yakni TGT menggunakan turnamen akademik, dan menggunakan
kuis-kuis dan sistem skor kemajuan individu, di mana siswa berlomba sebagai wakil
tim mereka dengan anggota lain yang kinerja akademik sebelumnya setara seperti
mereka. Adapun untuk deskripsi singkatnya dari komponen-komponen TGT adalah
sebagai berikut; Presentasi kelas, Belajar tim, Games, Turnamen, dan Rekognisi tim.
Presentasi kelas yaitu penyampaian materi berupa pengajaran langsung seperti
yang sering dilakukan oleh guru, tetapi bisa juga memasukkan presentasi audiovisual.
Bedanya presentasi kelas dengan pengajarn biasa hanyalah bahwa presentasi tersebut
haruslah benar-benar berfokus pada unit TGT. Dengan cara ini, para siswa akan
menyadari bahwa mereka harus benar-benar memberi perhatian penuh selama
presentasi kelas, karena dengan demikian akan sangat membantu mereka
mengerjakan kuis-kuis, dan skor kuis mereka menentukan skor tim mereka.
Belajar tim, terdiri dari empat atau lima siswa yang mewakili seluruh bagian dari
tim ini adalah memastikan bahwa semua anggota tim benar-benar belajar, dan lebih
khususnya lagi adalah untuk mempersiapkan anggotanya untuk bisa mengerjakan
kuis dengan baik. Setelah guru menyampaikan materinya, tim berkumpul untuk
mempelajari lembar kegiatan atau materi lainnya. Yang paling terjadi, pembelajaran
itu melibatkan pembahasan permasalahan bersama, membandingkan jawaban, dan
mengoreksi tiap kesalahan pemahaman apabila anggota tim ada yang membuat
kesalahan. Tim ini memberikan dukungan kelompok bagi kinerja akademik penting
dalam pembelajaran, dan itu adalah untuk memberikan perhatian dan respek yang
penting untuk akibat yang dihasilkan seperti hubungan antar kelompok, rasa harga
diri, dan penerimaan terhadap mainstream siswa-siswa.
Games, gamenya terdiri atas pertanyaan-pertanyaan yang kontennya relevan,
yang dirancang untuk menguji pengetahuan siswa yang diperolehnya dari presentasi
di kelas dan pelaksanaan kerja tim. Games tersebut dimainkan di atas meja dengan
lima orang siswa, yang masing- masing mewakili tim yang berbeda.
Turnamen adalah sebuah struktur di mana games tersebut berlangsung, turnamen
biasanya berlangsung pada akhir Minggu atau akhir unit pembelajaran. Setelah guru
memberikan presentasi di kelas dan tim telah melaksanakan kerja kelompok terhadap
lembar kegiatan. Pada turnamen pertama, guru menunjuk siswa untuk berada pada
meja turnamen, lima siswa berprestasi tinggi sebelumnya pada meja 1, lima
berikutnya pada meja 2, dan seterusnya. Kompetisi yang seimbang ini, seperti halnya
sistem skor kemajuan individual dalam STAD, memungkinkan para siswa dari semua
tingkat kinerja sebelumnya berkontribusi secara maksimal terhadap skor tim mereka
jika mereka melakukan yang terbaik.
Rekognisi tim, yaitu memberikan penghargaan pada tim yang menjadi pemenang
yang didasarkan perolehan skor turnamen. Tim akan mendapatkan sertifikat atau
bentuk penghargaan yang lain apabila skor rata-rata mereka mencapai kriteria
Melalui langkah-langkah pembelajaran tersebut, akan memungkinkan terciptanya
suasana pembelajaran yang menjadikan siswa saling berinteraksi antara siswa yang
satu dengan siswa yang lainnya. Di dalam interaksi yang terjadi itulah diharapkan
akan terbinanya kemampuan moral siswa terutama dalam hal kecerdasan emosional
siswa, sehingga siswa yang kemampuannya tinggi dapat memahami dan mau
bekerjasama untuk membantu siswa yang kemampuannya sedang atau rendah. Dan
sebaliknya siswa yang kemampuannya sedang dan rendah akan merasa bahwa dirinya
diperhatikan sehingga mau belajar dari mereka yang memiliki kelebihan, tanpa ada
rasa minder. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Djamarah dan Zain (2002: 64)
bahwa “Anak didik dibiasakan hidup bersama, bekerjasama dalam kelompok, akan
menyadari bahwa dirinya ada kekurangan dan kelebihan, yang mempunyai kelebihan
dengan ikhlas mau membantu mereka yang memiliki kekurangan. Sebaliknya mereka
yang memiliki kekurangan dengan rela hati mau belajar dari mereka yang memiliki kelebihan, tanpa rasa minder”.
Selain itu, pengajaran pendidikan jasmani yang kental dengan pengajaran melalui
turnamen mini game, menuntut siswa untuk dapat bekerjasama dalam
mempersiapkan timnya sebaik mungkin, ini bukti bahwa pendidikan jasmani sarat
dengan pengajaran yang membutuhkan kerjasama dalam kelompok, mengingat
keberhasilan dalam belajarnya tidak hanya diukur dan ditentukan dengan kemampuan
individu saja, tetapi kelompok juga turut mempunyai peran dalam keberhasilan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Djamarah dan Zain (2002: 64), bahwa “Hidup ini saling ketergantungan, seperti ekosistem dalam mata rantai kehidupan semua
makhluk hidup di dunia. Tidak ada makhluk hidup yang terus menerus berdiri sendiri
tanpa keterlibatan makhluk lain, langsung atau tidak langsung, disadari atau tidak,
makhluk lain itu ikut ambil bagian dalam kehidupan makhluk tertentu”.
Selain model Cooperative Learning tipe TGT ada model pembelajaran Peer
Teaching yang merupakan model pembelajaran yang melibatkan siswa sebagai
memiliki prestasi yang lebih tinggi dibanding dengan teman sekelompoknya,
sehingga ia dapat membantu teman-temannya yang mengalami kesulitan belajar. Peer
teaching adalah metode mengajar yang kerap digunakan di sekolah-sekolah dengan
siswa lain yang menjadi tutor atau pengajarnya, teman sepermainan merupakan orang
yang lebih dahulu mengajarkan tentang kegiatan-kegiatan pembelajaran sehari-hari,
seperti dikatakan Metzler (2000: 287)”... most likely they were your friends,
playmates, and siblings who first taught you many of the basic social,
communication, cognitive, and psychomotor skills that you took into and through
your early years in school”.
Model Peer Teaching merupakan model mengajar sesama teman, model ini
memupuk rasa sosial dan tanggung jawab antar sesama siswa. Model ini menjelaskan
kembali pelajaran (cara-cara, konsep) kepada teman yang belum mengerti, dalam hal
ini siswa yang lebih terampil akan membantu siswa lainnya dalam mengajarkan
keterampilan. Dengan demikian diharapkan secara keseluruhan siswa dalam
kelompok mampu menguasai keterampilan dengan tetap memperhatikan unsur saling
menghargai, kerjasama, motivasi, dan empati.
Sedangkan menurut pendapat Silberman (2006: 157) yang diterjemahkan oleh Arifin “Beberapa ahli percaya bahwa satu mata pelajaran benar-benar dikuasai hanya apabila seorang peserta didik mampu mengajarkan pada peserta lain”. Pada model Peer Teaching penjelasan siswa yang menjadi tutor lebih memungkinkan berhasil.
Peserta didik melihat masalah dengan cara yang berbeda dibandingkan orang dewasa
dan mereka menggunakan bahasa yang lebih akrab.
Baik model Cooperative Learning tipe TGT maupun model pembelajaran Peer
Teaching hendaknya selalu dipakai dalam pengajaran pendidikan jasmani, permainan
bola besar misalnya yang merupakan permainan beregu yang kompetitif dan
menyenangkan bagi siswa, dan termasuk dalam materi pokok yang sebaiknya
diajarkan lewat banyak model pembelajaran. Penelitian ini sengaja memilih
dalam permainan sepak bola, basket dan voli lebih banyak melibatkan kemampuan
kecerdasan emosi siswa, dalam permainan beregu seperti ini lebih banyak melibatkan
unsur-unsur kecerdasan emosional seperti; mengelola emosi, kerjasama, motivasi,
saling menghargai lawan, bersikap jujur, sportivitas, patuh pada peraturan, dan
komitmen dalam satu tim akan lebih dapat dikembangkan.
Alasan penulis tertarik untuk menggunakan model Cooperative Learning tipe
TGT dan Peer Teaching dalam penelitian kali ini dikarenakan; 1) kedua model ini
termasuk dalam kategori model sosial seperti yang terungkap dalam buku Matzler
(2000:220 & 286), bahwa “Pembelajaran pendidikan jasmani yang terus berkembang
sampai pada penerapan model sosial tersebut dalam model pembelajaran seperti :
bermain peran, Cooperative Learning dan Peer Teaching model”; 2) karena kedua
model ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling kerjasama, saling
menghargai, saling memotivasi, saling membutuhkan, saling bertanggung jawab akan
tugasnya masing-masing; 3) karena keduanya merupakan model pembelajaran yang
melibatkan siswa dari awal sampai akhir kegiatan; 4) karena kedua model ini
merupakan model yang siswanya belajar secara kelompok dan dilakukan oleh teman
sebaya. Dari dasar inilah penulis ingin mengetahui secara lebih dalam mana dari
kedua model ini yang lebih berpengaruh terhadap pengembangan kecerdasan
emosional. Kalau kita amati lebih jauh kedua model ini sama-sama merupakan model
yang siswanya belajar secara kelompok dan dilakukan oleh teman sebaya, dengan
demikian menjadikan alasan buat penulis untuk melakukan penelitian dari kedua
model kaitannya dengan ada tidaknya pengaruh terhadap pengembangan kecerdasan
emosional.
Dari paparan latar belakang masalah, demikian pentingnya peran kecerdasan
emosional yang harus dimiliki siswa agar dapat menjawab tantangan dan mencapai
keberhasilan dalam kehidupannya nanti, menjadikan dasar bagi penulis untuk
memfokuskan penelitian yang akan dilakukan.
Fenomena hampir semua sekolah di Indonesia yaitu banyak siswa yang tidak
dapat mengontrol emosinya atau bersikap agresif, seperti kasar terhadap orang lain,
sering bertengkar, bergaul dengan anak-anak bermasalah, memberontak, rendahnya
motivasi belajar, membandel di rumah dan di sekolah, keras kepala dan suasana
hatinya sering berubah-ubah, terlalu banyak bicara, sering mengolok-olok dan
bertemperamen tinggi. Selain itu para siswa yang memasuki masa remaja di sekolah
dalam pergaulan sosialnya banyak siswa yang menarik diri dari pergaulan, seperti
lebih suka menyendiri, bersikap sembunyi-sembunyi, bermuka muram dan kurang
semangat, merasa tidak bahagia dan selalu bergantung kepada sesuatu,
(Nurnaningsih, 2011: 269).
Melihat pergaulan para siswa yang kurang sehat serta kurangnya pembinaan
moral terutama pembinaan emosi di setiap sekolah untuk membentuk sikap dan
perilaku positif, dibutuhkan pendidikan yang mampu membina para siswa untuk
dapat mengelola emosinya dengan baik. Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan
yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud
mengembangkan perilaku yang diinginkan. Sekolah sebagai lembaga formal
merupakan sarana dalam rangka mencapai tujuan pendidikan, melalui sekolah siswa
belajar tentang berbagai pengetahuan yang ada di dunia.
Trend di setiap sekolah sebagian besar selalu mengedepankan prestasi belajar
sehingga yang menjadi patokan utama yaitu perkembangan intelektual tanpa
memperhatikan perkembangan emosional para siswanya, sehingga tidak jarang para
siswa yang unggul dalam prestasi namun gagal secara emosional. Berdasarkan
pengamatan penulis, banyak orang yang gagal dalam hidupnya bukan karena
kecerdasan intelektualnya rendah, namun karena mereka kurang memiliki kecerdasan
emosional. Tidak sedikit orang yang sukses dalam hidupnya karena mereka memiliki
kecerdasan emosional, meskipun inteligensi intelektualnya (IQ) hanya pada tingkat
Di sisi lain, problematika di lapangan yang sering kita jumpai adalah pada saat
melakukan pembelajaran pendidikan jasmani adanya guru pendidikan jasmani yang
sering hanya menekankan pembelajaran pada aspek kognitif dan psikomotor saja,
untuk aspek afektif sangat minim sekali diperhatikan. Hal ini sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Suherman & Mahendra (Budiman, 2009: 9), bahwa “Guru kurang
mengembangkan domain afektif karena kurang melibatkan aktivitas yang dapat
mengembangkan keterampilan sosial, kerjasama dan kesenangan siswa terhadap pendidikan jasmani.”
Individu yang memiliki kemampuan kecerdasan emosional yang lebih baik,
dapat menjadi terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat, lebih terampil
dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam berhubungan dengan orang lain, lebih
cakap dalam memahami orang lain dan untuk kerja akademis di sekolah lebih baik
(Gottman,2001: 78). Oleh karenanya untuk dapat mengembangkan dan meningkatkan
kecerdasan emosional siswa perlu adanya program, salah satunya melalui
pembelajaran pendidikan jasmani yang dikemas oleh guru dalam menyajikan
berbagai pendekatan atau model pembelajaran yang disesuaikan dengan
perkembangan dan pertumbuhan siswa. Hal ini sesuai dengan yang diyakini oleh
Husdarta (2011: 27), “Pendidikan jasmani menyediakan pengalaman nyata untuk
melatih keterampilan mengendalikan diri, membina ketekunan, dan motivasi diri. Hal
ini diperkuat lagi jika proses pembelajaran direncanakan sebaik-baiknya”.
Perkembangan kecerdasan emosi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
berikut; Temperamen (Kagan dalam Shapiro, 2003), keluarga (Gottman & DeClaire,
1998), teman sebaya (Asher dalam Salovey & Sluyter, 1997), sekolah (Salovey &
Sluyter, 1997), seni (Mandler dalam Strongman, 2003), media cetak dan elektronik
(Gottman & DeClaire, 1998), jenis kelamin (Petrides & Sangareau 2006) ) juga
pendidikan kusus (Ulutas & Omeroglu 2007).
Salah satunya di lingkungan sekolah, kecerdasan emosional siswa dapat
pembelajaran yang disajikan, di antaranya adalah model Cooperative Learning tipe
TGT dan Peer Teaching. Model pembelajaran pendidikan jasmani ini diharapkan
akan memberikan dampak positif pada pengembangan kecerdasan emosional siswa.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa dari uraian diatas penulis dalam penelitian ini
bermaksud membandingkan dua model pembelajaran yang berbeda dengan tujuan
yang sama yakni melihat pengaruhnya terhadap kecerdasan emosional siswa yang
dirasa memang perlu mendapat perhatian khusus, karena nantinya akan sangat
mempengaruhi keberhasilan siswa di masa yang akan datang. Selain itu maksud dari
penelitian ini penulis juga mencoba memberikan perlakuan terhadap siswa di SMP
Negeri 1 Minas yang dirasa perlu karena sudah ada indikasi yang menjurus kepada
rendahnya tingkat kecerdasan emosional siswa sebagaima yang sudah diungkapkan di
bagian latar belakang.
Dalam pembelajaran pendidikan jasmani dengan menggunakan model
Cooperative Learning tipe TGT peserta didik akan dibiasakan untuk dapat
bekerjasama dalam kelompok, berbuat yang terbaik untuk kepentingan kelompok,
dan bisa lebih berani untuk tampil dalam kompetisi yang nantinya akan bermanfaat
sebagai modal untuk hidup bermasyarakat yang kehidupan di dalamnya penuh
dengan tantangan dan hambatan. Kemudian dalam proses pembelajaran dengan
model Cooperative Learning tipe TGT, peserta didik juga mempunyai kesempatan
yang sama dalam hal memberikan andil bagi kemenangan kelompoknya dengan
menjadikan tahapan akhir dalam proses pembelajaran mendapatkan hadiah atau
reward bagi kelompok yang terbaik, dari sinilah peserta didik diharapkan akan
terbiasa juga untuk saling memberikan motivasi pada teman dalam kelompoknya
maupun motivasi diri sendiri.
Sedangkan dalam pembelajaran pendidikan jasmani dengan menggunakan model
Peer Teaching, peserta didik diharapkan akan mampu untuk memberikan informasi
yang berupa materi dari guru dengan bahasa yang mudah dimengerti dan jelas. Dari
diharapkan dapat saling menghargai teman yang sedang berdiri di depan sebagai
tutor, begitu juga siswa yang sebagai tutee diharapkan mau untuk menyampaikan
gagasan atau pertanyaannya tanpa rasa cemas atau malu. Begitu juga dalam proses
pembelajaran ini peserta didik akan dibiasakan untuk bisa melakukan kerjasama dan
komunikasi yang baik dalam setiap kegiatan pembelajaran.
C. Rumusan Masalah Penelitian
Bertolak dari latar belakang penelitian dan identifikasi masalah di atas maka
dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu "Seberapa besar pengaruh model
Cooperative Learning tipe TGT dan Peer Teaching dalam permainan bola besar terhadap pengembangan kecerdasan emosional siswa?” Sedangkan rumusan masalah secara khusus adalah sebagai berikut :
1. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan model Cooperative Learning tipe
TGT dalam permainan bola besar terhadap pengembangan kecerdasan emosional
siswa?
2. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan model Peer Teaching dalam
permainan bola besar terhadap pengembangan kecerdasan emosional siswa?
3. Manakah yang paling berpengaruh secara signifikan antara model Cooperative
Learning tipe TGT dan Peer Teaching dalam permainan bola besar terhadap
pengembangan kecerdasan emosional siswa?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh model
pembelajaran Cooperative Learning tipe TGT dan Peer Teaching pada
pengembangan kecerdasan emosional siswa SMP kelas VII. Berikut merupakan
1. Mengetahui pengaruh yang signifikan model Cooperative Learning tipe TGT
dalam permainan bola besar terhadap pengembangan kecerdasan emosional
siswa
2. Mengetahui pengaruh yang signifikan model Peer Teaching dalam permainan
bola besar terhadap pengembangan kecerdasan emosional siswa
3. Mengetahui manakah yang paling berpengaruh secara signifikan antara model
Cooperative Learning tipe TGT dan Peer Teaching dalam permainan bola besar
terhadap pengembangan kecerdasan emosional siswa
E. Urgensi Penelitian
Pentingnya penelitian ini dilakukan karena kecerdasan emosional memegang
peranan yang cukup dominan dalam mendukung siswa berhasil di masa yang akan
datang. Salah satu komponen penting untuk bisa hidup di tengah-tengah masyarakat
adalah kemampuan untuk mengarahkan emosi secara baik. Dalam kenyataannya
sekarang ini dapat dilihat bahwa orang yang ber- IQ tinggi belum tentu sukses dan
belum tentu hidup bahagia. Kecerdasan emosional memegang peranan penting
dalam menyukseskan dan membentuk anak, dan menghantarkan pada keberhasilan.
Lebih lanjut Goleman (2000: 48) menyatakan bahwa keberhasilan seseorang
dalam menyelesaikan permasalahan banyak ditentukan oleh kualitas kecerdasannya,
sebagian dari kecerdasan yang dapat membantu dalam menyelesaikan permasalahan
adalah kecerdasan yang berkaitan dengan aspek emosional. Seseorang yang cerdas
dalam mengelola emosinya akan meningkatkan kualitas kepribadiannya.
Oleh karena itu faktor kecerdasan emosi anak harus diperhatikan sejak anak
masih dalam ruang lingkup sekolah. Segala lingkungan yang ada di sekitar anak
harus dikondisikan sedemikian rupa agar kondusif dalam membentuk kecerdasan
emosi anak. Biasanya sikap para guru di sekolah adalah seolah tidak peduli dengan
perkembangan kecerdasan emosi siswa. Maksudnya tidak peduli adalah bahwa para
terhadap siswa. Anggapan seperti ini adalah salah satu sikap salah besar. Karena
sebenarnya siswa memiliki kemampuan untuk menangkap dan mengingat segala
kejadian yang dialami. Memang saat itu siswa tidak akan langsung mengungkapkan
apa yang dilihatnya, namun suatu saat bisa jadi siswa akan mengungkapkan dan
mengekspresikan memori yang pernah disimpannya. Tentunya ini akan menjadi
masalah manakala yang diingat siswa adalah hal-hal yang berbau negatif.
Alasan kenapa kecerdasan emosional menjadi penting dikarenakan kebanyakan
orang pasti akan menggunakan sisi emosionalnya dulu bila dibandingkan dengan sisi
logisnya. Pendidikan yang salah kepada siswa akan bisa mengganggu perkembangan
kecerdasan emosional anak. Dan saat ini kalau kita perhatikan dengan seksama,
justru pendidikan yang kita berikan kepada siswa cenderung hanya menitikberatkan
pada kecerdasan intelektual semata. Sangat sedikit sekali pendidikan yang kita
berikan dalam lingkup untuk meningkatkan kecerdasan emosional siswa. Hal seperti
ini bertolak belakang dengan yang dijelaskan Lutan (2001: 64) yaitu: “Perkembangan kecerdasan emosi, sosial dan moral tidak dipandang sebagai dampak pengiring belaka, melainkan dapat dibina secara sengaja dan terarah sehingga
menjadi bagian dari skenario dalam proses belajar-mengajar.
Pendidikan jasmani merupakan laboratorium bagi pengalaman manusia, karena
dalam pendidikan jasmani menyediakan kesempatan untuk memperlihatkan
pengembangan karakter. Pengajaran etika dalam pendidikan jasmani biasanya dengan
contoh atau perilaku. Selain dari pada itu pendidikan jasmani begitu kaya akan
pengalaman emosional dan aneka macam emosi yang terlibat di dalamnya. Kegiatan
pendidikan jasmani yang berakar pada permainan, keterampilan dan ketangkasan
memerlukan pengerahan energi untuk menghasilkan yang terbaik. Pantas rasanya jika
kita setuju untuk mengemukakan bahwa pendidikan jasmani merupakan dasar atau
alat pendidikan dalam membentuk manusia seutuhnya, dalam pengembangan
kemampuan manusia yang cerdas dalam emosional. Secara spesifik urgensi penelitian
ini dijabarkan sebagai berikut :
1. Secara Teoritis
a. Memberikan pemahaman lebih mendalam kepada guru pendidikan jasmani
mengenai pentingnya model Cooperative Learning tipe TGT terhadap
pengembangan kecerdasan emosional siswa.
b. Memberikan pemahaman lebih mendalam kepada guru pendidikan jasmani
mengenai pentingnya model Peer Teaching terhadap pengembangan kecerdasan
emosional siswa.
c. Sumbangan bagi dunia pendidikan khususnya pendidikan jasmani pada tingkat
Sekolah Menengah Pertama bahwa masalah kecerdasan emosional penting
dikembangkan untuk menciptakan generasi penerus yang berkualitas sehingga
secara kompetitif bisa bersaing dalam tataran global.
2. Secara Praktis
a. Memberikan gambaran guna menentukan praktik-praktik pengembangan
kecerdasan emosional siswa di lapangan.
b. Digunakan oleh guru pendidikan jasmani untuk mengetahui bagaimana
cara-cara penerapan model Cooperative Learning tipe TGT dan Peer Teaching
dengan tepat.
c. Informasi dan masukan bagi lembaga-lembaga formal (sekolah) untuk lebih
memperhatikan tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki siswa.
d. Sebagai bahan informasi bagi siswa SMP Negeri 1 Minas mengenai aspek yang
dinilai dalam hasil belajar pendidikan jasmani tidak hanya kecerdasan intelektual
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode dan Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan desain
Randomized The Static Group Pretest-Postest Design yang merupakan bagian dari
Pre Experimental atau Weak Experimental Designs. Sebagai gambaran, penulis
sajikan bentuk desain penelitian yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1
The static Group Pretest-Postest Design Sumber : Fraenkel & Wallen (1993: 248)
Keterangan:
O1 :Tes awal kecerdasan emosional pada kelompok pendekatan belajar
Cooperative Learning tipe TGT dan Peer Teaching sebelum perlakuan
O2 :Tes akhir kecerdasan emosional pada kelompok pendekatan belajar
Cooperative Learning tipe TGT dan Peer Teaching setelah perlakuan
X1 :Perlakuan (Treatment) pendekatan belajar Cooperative Learning tipe
TGT
X2 :Perlakuan (Treatment) pendekatan belajar Peer Teaching
--- :Subjek dipilih secara acak
Sehubungan dengan masalah yang penulis ungkapkan dalam penelitian ini, yaitu
perbedaan pengaruh model Cooperative Learning tipe TGT dan Peer Teaching dalam
permainan bola besar terhadap pengembangan kecerdasan emosional siswa, maka
R O1 X1 O2
---
metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian eksperimen. Pendapat Sugiyono (2012: 107) “Metode eksperimen dapat
diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh
perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan”. Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh
pendekatan mengajar pendidikan jasmani yaitu pendekatan belajar Cooperative
Learning tipe TGT dan Peer Teaching dalam permainan bola besar terhadap
pengembangan kecerdasan emosional siswa SMP.
Dalam konteks penelitian ini variabel yang menjadi penyebab atau
mempengaruhi (independent variabel) adalah model dalam mengajar pendidikan
jasmani (model Cooperative Learning tipe TGT dan Peer Teaching). Sedangkan
variabel yang dipengaruhi (dependent variabel) atau yang mendapat akibat dari
perlakuan variabel penyebab yaitu kecerdasan emosional.
B. Populasi dan Sampel Penelitian.
1 Populasi
Suharsimi Arikunto (2002: 108), populasi adalah keseluruhan subyek penelitian.
Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII dengan jumlah
5 kelas yang ada di SMP Negeri 1 Minas tahun ajaran 2013/2014. Adapun yang
menjadi populasi dalam penelitian ini berjumlah 140 siswa. Alasan pemilihan
populasi penelitian di SMP Negeri 1 Minas adalah sebagai berikut:
a. Kemampuan kecerdasan emosional siswa Sekolah Menengah Pertama di
kabupaten Siak , selama ini belum pernah mendapatkan perhatian khusus dari
pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Siak.
b. Sekolah ini juga memungkinkan untuk dilakukan pengujian model pembelajaran
yang baru, karena memang dalam praktek di lapangan masih banyak guru yang
menggunakan model pembelajaran langsung sehingga siswa mudah bosan dalam
c. Sekolah ini berada pada wilayah di sekitar tempat tinggal sehingga
memungkinkan peneliti untuk dapat berkomunikasi lebih baik dengan responden
penelitian.
d. Saya merupakan salah seorang guru di sekolah tersebut sehingga sangat
memahami keadaan sekolah
2 Sampel
Pengertian sampel menurut Sugiyono (2012: 73), “sampel adalah bagian dari
jumlah karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut”. Responden pada penelitian
ini terdiri dari 2 rombel kelas VII yang diundi dari 5 rombel kelas VII. Penulis
mengambil jumlah 2 rombel kelas sebagai responden, disesuaikan tujuan dengan
penelitian yakni 1 kelas diberi perlakuan model pembelajaran yakni Cooperative
Learning tipe TGT, 1 kelas diberi perlakuan Peer Teaching. Adapun untuk teknik
sampling yang digunakan adalah Cluster Random Sampling.
Cluster Random Sampling adalah tekhnik memilih sebuah sampel dari
kelompok-kelompok unit yang kecil. “Dalam Cluster Random Sampling, yang dipilih
bukan individu, melainkan kelompok atau area yang kemudian disebut Cluster.
Misalnya; propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan sebagainya. Bisa juga dalam
bentuk kelas dan sekolah.”, Maksun (2012: 57).
Alasan mengapa responden yang diambil adalah kelas VII SMP karena pada usia
masa remaja yang memasuki jenjang pendidikan sekolah menengah pertama (12-15
tahun) membutuhkan bimbingan dalam hal kemandirian. Seperti yang dikatakan oleh
Otto Rank (Sarwono, 2003: 33), pada masa remaja terjadi perubahan drastis dari will,
yaitu keadaan tergantung pada orang lain (dependence) dan masa kanak-kanak
menuju keadaan mandiri (independent) pada masa dewasa. Hurlock (2002: 206)
mendefinisikan masa remaja adalah:
lebih berhubungan dengan masa puber, termasuk juga perbedaan intelektual yang mencolok.
Dari uraian di atas penulis tertarik untuk mengambil responden kelas VII siswa
SMP karena diyakini pada masa inilah kecerdasan emosional sudah mulai diperlukan
kaitannya dengan siswa yang sudah mulai mengalami pubertas, dalam hal belajar
mandiri, pergaulan, dan aspek sosial lainnya.
Langkah-langkah penemuan responden adalah sebagai berikut. Pada tahap
pertama, diambil dua kelas secara random dari lima kelas VII pada siswa SMP Negeri
1 Minas. Pada tahap kedua, dua kelas yang sudah diundi akan di random lagi dengan
maksud untuk penentuan eksperimental, dengan cara di random untuk menentukan
kelompok yang akan mendapatkan perlakuan (treatment) dengan model Cooperative
Learning tipe TGT dan kelompok yang akan mendapatkan perlakuan (treatment)
model Peer Teaching.
C. Definisi Operasional
Sebagai upaya untuk memfokuskan penelitian dan menghindarkan munculnya
kesimpangsiuran dalam memahami judul tesis ini, diperlukan adanya rumusan
definisi operasional yang jelas. Nazir (2005: 126) menyatakan:
Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan kepada suatu variabel atau konstrak dengan cara memberikan arti, atau menspesifikasikan kegiatan ataupun memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur konstrak atau variabel tersebut.
Berdasarkan pendapat di atas, definisi operasional merupakan definisi yang
dibuat oleh peneliti terhadap variabel yang akan diteliti guna memberikan batasan
yang tegas dan menjadi panduan atau kriteria untuk mengukur variabel tersebut.
Adapun definisi operasional dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Model Cooperative Learning tipe TGT
Pembelajaran tipe Teams Games Tournament (TGT) adalah pembelajaran
akademik”. Dalam turnamen ini setiap siswa bersaing mewakili timnya masing -masing. Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran
kooperatif model Teams Games Tournament (TGT) memungkinkan siswa dapat
belajar lebih rileks di samping menumbuhkan tanggung jawab, kejujuran, kerja
sama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar.
2. Model Peer Teaching
Model Peer Teaching adalah model pembelajaran yang melibatkan siswa
secara aktif. Jadi di sini satu siswa akan mengajari siswa lain yang mengalami
kesulitan dalam memahami materi yang diberikan.
3. Kecerdasan Emosional
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah
kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam kesadaran diri, pengendalian
diri, memotivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
4. Permainan Bola Besar
Permainan bola besar adalah permainan secara beregu dengan menggunakan
bola besar yang dimainkan secara kompetitif.
D. Instrumen Penelitian
1. Penyusunan Instrumen
Instrumen yang digunakan untuk mengungkap kecerdasan emosional adalah
instrumen kecerdasan emosional yang dikembangkan oleh Goleman (Yusuf dan
Nurihsan, 2000: 240-241). Instrumen merupakan alat ukur yang digunakan untuk
memperoleh data dalam penelitian. Instrumen atau alat ukur tentunya harus relevan
dengan apa yang hendak diukur. Oleh karena itu, peneliti terlebih dahulu harus
mengetahui secara pasti apa yang hendak diukur atau diperoleh dalam penelitiannya,
sehingga alat yang digunakan untuk memperoleh data juga harus sesuai
Sesuai dengan permasalahan yang hendak diungkap dalam penelitian, penulis
menggunakan dua jenis instrumen penelitian yaitu angket kecerdasan emosional dan
lembar observasi.
a. Angket Kecerdasan Emosional
Riduwan (2008: 99) mengemukakan bahwa “Angket adalah daftar pertanyaan
yang diberikan kepada orang lain yang bersedia memberikan respons (responden)
sesuai dengan permintaan pengguna”. Selanjutnya Arikunto (2002: 125)
mengemukakan bahwa “Angket berupa sejumlah pertanyaan yang digunakan untuk
memperoleh informasi dari responden berkenaan dengan pribadinya atau hal-hal yang
diketahui.”
Dari pernyataan tersebut maka angket merupakan instrumen yang sesuai untuk
memperoleh informasi yang lengkap dan mendalam mengenai suatu masalah atau
keadaan pribadi responden. Angket yang dikembangkan penulis dalam penelitian ini
mengacu dengan instrumen kecerdasan emosional yang dikembangkan oleh
Goleman, (2000: 403-405). Langkah yang ditempuh dalam penyusunan instrumen
kecerdasan emosional terlebih dahulu menentukan konsep teoritis tentang kecerdasan
emosional, membuat kisi-kisi, kisi-kisi tersebut dikembangkan menjadi pertanyaan
atau pernyataan untuk mengungkap kecerdasan emosional. Mengenai penyusunan
instrumen, Surakhmad (1989: 184) menjabarkan:
a. Rumuskan setiap pernyataan sejelas-jelasnya dan seringkas-ringkasnya. b. Mengajukan pernyataan-pernyataan yang memang dapat dijawab oleh
responden, pernyataan mana yang menimbulkan kesan agresif. c. Sifat pernyataan harus bersifat netral dan objektif
d. Mengajukan hanya pernyataan yang jawabannya tidak dapat diperoleh dari sumber lain.
Skala pengukuran yang digunakan dalam penyekoran angket penelitian, penulis
mengacu pada skala Likert. Mengenai skala Likert ini, Sudjana dan Ibrahim
(2001:107) mengemukakan:
positif dan pernyataan negatif. Salah satu skala sikap yang sering digunakan dalam penelitian pendidikan adalah skala Likert.
Berdasarkan alternatif jawaban yang disediakan untuk setiap pernyataan terdiri
dari empat alternatif jawaban, dari mulai yang positif sampai yang negatif. Gradasi
jawaban instrumen ini, Sugiyono (2012: 93) mengemukakan bahwa, “ Jawaban setiap
item instrumen yang menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari sangat
positif sampai sangat negatif….” Adapun alternatif jawaban yang penulis sediakan
untuk setiap item pernyataan dimulai dari Selalu (SS), Sering (SR), Jarang (JR),
Tidak Pernah (TP).
Penulis dalam hal alternatif jawaban tidak menyediakan jawaban “kadang
-kadang (KD)” dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Alternatif jawaban kadang-kadang (KD) akan menimbulkan bias dalam
pengelolaan data. Kemungkinan bias karena siswa tidak memahami arti
pernyataan sehingga mereka mengambil jalan tengah, yang dapat diartikan
sebagai kadang-kadang (KD).
2. Alternatif jawaban dengan empat kategori tidak mengurangi validitas pengujian
data dalam penelitian ini, dan dapat dipakai untuk melihat kecenderungan
emosional siswa secara lebih jelas.
Tabel 3.1
Skor Alternatif Jawaban
Alternatif Jawaban Skor pernyataan Positif Negatif
Selalu (SS) 4 1
Sering (SR) 3 2
Jarang (JR) 2 3
Tidak Pernah (TP) 1 4
Kisi-kisi angket kecerdasan emosional yang digunakan dalam penelitian dapat
Tabel 3.2
Kisi-kisi Instrumen Kecerdasan Emosional
Sumber: Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, (2008: 240-241)
Variabel Aspek Indikator 1.3 Siswa mampu mengenal pengaruh perasaan terhadap tindakan
2. Pengendalian diri Definisi operasional:
Kemampuan menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat
2.1 Siswa mampu bersikap toleran terhadap frustrasi 2.2 Siswa mampu mengendalikan marah secara lebih baik
2.3 Siswa mampu mengendalikan perilaku agresif yang merusak diri sendiri dan orang lain
2.4 Siswa mampu memiliki perasaan yang positif tentang diri sendiri dan orang lain
3.2 Siswa mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan
3.3 Siswa mampu tidak bersikap impulsive (lebih menguasai diri)
4. Empati
Definisi operasional:
4.1 Siswa mampu menerima sudut pandang orang lain
Variabel Aspek Indikator
Kemampuan menangkap isyarat-isyarat sosial yang tersembunyi yang menunjukkan apa yang dibutuhkan atau yang diinginkan orang lain.
4.3 Siswa mampu mendengarkan orang lain
5. Membina hubungan Definisi operasional:
Kemampuan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan
cermat membaca situasi dan
jaringan sosial.
5.1 Siswa mampu memahami pentingnya membina hubungan dengan orang lain
5.2 Siswa mampu menyelesaikan konflik dengan orang lain
5.3 Siswa memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain
5.4 Siswa mampu memiliki sikap bersahabat atau mudah bergaul dengan orang lain
5.5 Siswa mampu memiliki sikap tenggang rasa
5.6 Siswa mampu memiliki perhatian terhadap kepentingan orang lain
5.7 Siswa mampu dapat hidup selaras dengan kelompok
b. Lembar Observasi
Observasi atau pengamatan/penilaian dilakukan peneliti setiap kali kegiatan
pembelajaran dilaksanakan. Observasi dilakukan dengan cara mengamati
gejala-gejala yang tampak dari aspek-aspek yang hendak diteliti. Sutrisno Hadi
(Sugiyono,2012: 203) mengemukakan bahwa, “observasi merupakan suatu proses
yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan
psikologis. Dua di antara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan
ingatan”.
Memperhatikan uraian di atas dapat dipahami bahwa teknik observasi sangat
memperhatikan aspek kejelian pengamatan dan ingatan peneliti. Observasi yang di
lakukan mengacu pada dua fungsi, yaitu:
Observasi sebagai triangulasi. Dari data yang berhasil dikumpulkan, didiskusikan
dengan guru untuk menguji kebenaran dan keabsahan data. Observasi dilakukan
dengan pedoman penilaian berupa daftar cek yang terdiri atas sejumlah pernyataan
singkat yang menggambarkan ciri-ciri kecerdasan emosional. Observasi dilakukan
oleh peneliti, kemudian menyesuaikan data temuan peneliti dengan pengamatan guru.
Observasi digunakan untuk mengamati kecerdasan emosional siswa sebagai
tahapan dalam action research. Observasi dilakukan dengan cara deskriptif,
Observasi yang dilakukan pada saat pembelajaran berlangsung, sikap, proses kegiatan
serta kemampuan dan hasil yang diperoleh dari kegiatan, Observasi partisipan juga
digunakan peneliti untuk melihat perilaku yang tampak pada siswa selama proses
pembelajaran pendidikan jasmani.
Kisi-kisi pedoman observasi kecerdasan emosional yang digunakan dalam
Tabel 3.3
Kisi-kisi Pedoman Observasi
Sumber: Euis Nani Mulyanti (2012: 115-120)
NO ASPEK INDIKATOR MASALAH YANG DIOBSERVASI KENYATAAN CAT
YA TIDAK 1. MENGENAL EMOSI
(Kesadaran Diri)
1.1 Menahan amarah 1. Menyakiti diri sendiri bila marah 2. Marah bila menginginkan sesuatu
3. Mereaksi marah bila ada hal-hal yang baru 4. Reaksi marah pada saat-saat tertentu 1.2 Menahan
keinginan
5. Sering keluar dari kelas atau ruangan
6. Makan tidak sesuai dengan waktu yang ditentukan 7. Belajar tidak sesuai dengan jadwal
8. Merusak benda bila keinginannya tertunda 1.3 Menahan rasa
sedih
9. Menyatakan rasa kasihan bila temannya kesakitan/sakit 10. Merespons dan mendekati temannya yang sedang
kesakitan/menangis
11. Mengeluh bila diganggu teman
12. Diam saja bila barang miliknya diganggu 13. Diam saja bila diganggu/disakiti temannya
16. Tidak menunggu pujian bila mengerjakan tugas-tugas pelajaran
17. Aktif bertanya pada guru 2.2 Tidak mudah
mengeluh
18. Selalu mengeluh bila diberi tugas walau ringan
19. Mengeluh bila telah melakukan sesuatu walau hanya sebentar 20. Sering mengadu kepada guru
temannya
23. Tidak melamun saat melakukan tugas 24. Tidak bermain-main saat bekerja/belajar 2.4 Tanggung Jawab 25. Menyampaikan pesan dengan tepat
26. Melaksanakan perintah dengan baik
2.5 Sikap Percaya Diri 27. Cenderung mengerjakan sesuatu dengan cepat dan mengatakan “bisa”
28. Mengatakan “tidak bisa” meskipun belum mencoba
mengerjakan sesuatu 2.6 Tidak mudah
mengeluh
29. Selalu mengeluh bila diberi tugas walau ringan
30. Mengeluh bila telah melakukan sesuatu walau hanya sebentar 31. Sering mengadu kepada guru
2.7 Tidak Mudah Putus Asa
32. Tidak lekas minta tolong bila sedang mengerjakan suatu tugas 33. Berusaha tetap bekerja meskipun mengalami kesulitan 34. Menghentikan pekerjaan meskipun belum selesai
35. Berusaha lebih baik meskipun telah mendapat pujian
36. Membandingkan hasil yang dicapai dirinya dengan hasil teman/orang lain
3.2 Semangat Belajar 37. Menyimak pelajaran dengan sungguh-sungguh 38. Banyak bertanya mengenai hal-hal yang baru
39. Mengerjakan setiap tugas yang diberikan guru dengan bersemangat
3.3 Dorongan untuk berusaha
40. Tetap belajar meskipun merasa kesulitan 41. Mau bertanya bila mengalami kesulitan 42. Banyak bertanya dan selalu ingin tahu
46. Melakukan tugas/perintah tanpa harus dibujuk 3.6 Kejujuran 47. Berkata yang sebenarnya
48. Memberi alasan yang tepat bila menginginkan sesuatu 4 EMPATI
(Membaca Emosi Orang)
4.1 Masuk ke dalam perasaan orang lain
49. Mendekati dan menghibur temannya yang sedang sakit 50. Ikut menangis bila ada temannya yang menangis 51. Membantu bila temannya kesakitan
4.2 Kepedulian 52. Melapor pada guru bila ada temannya yang sakit
53. Melapor pada guru bila temannya diganggu oleh teman yang lain
54. Mau berbagi dengan teman 4.3 Meringankan
beban orang lain
55. Mau meminjamkan benda miliknya bila teman membutuhkan 56. Membantu pekerjaan teman yang mengalami kesulitan 4.4 Keakraban 57. Tersenyum pada orang yang dikenalnya
58. Mau bermain/bergaul dengan siapa saja
5 KETERAMPILAN
SOSIAL (Membina Hubungan)
5.1 Menyesuaikan diri 59. Cepat mengikuti kegiatan bersama teman sekelasnya 60. Memberi salam ketika masuk ruangan
5.2 Menghormati guru 61. Memberi salam bila bertemu guru, melalui perkataan atau gerakan badan
62. Meminta izin guru bila ingin keluar kelas
63. Bersikap sopan ketika mendengarkan guru sedang bicara 5.3 Menghormati
aturan
64. Masuk kelas sesuai bel masuk 65. Istirahat sesuai bel istirahat
66. Memakai seragam yang tepat dan rapi 5.4 Tidak mendendam 67. Tidak melayani bila temannya mengganggu