1 BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bangunan atau rumah sebagai hasil karya budaya material masyarakat menempati
sebagian dari ruang budaya sebagai pencapaian jati diri masyarakat. Rumah juga
mengandung pesan-pesan (message) sebagai bentuk formatif dari adanya korelasi imanen masyarakat dengan lingkungan. Rumah merupakan bentuk aktual dari budaya dan
benar-benar berdasar pada dan di dalam sejarah (Nanuru, 2011: 33). Hibua Lamo (dalam bahasa
Tobelo) diartikan sebagai “rumah besar” atau “rumah bersama” merupakan institusi adat lokal serta kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Halmahera Utara.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Nanuru (2011), bahwa Hibua Lamo merupakan
rumah adat sekaligus menjadi “payung budaya” masyarakat yang ada di Halmahera Utara. Rumah Adat ini menjadi pemersatu keperbedaan suku dan agama yang ada di Halmahera
Utara. Bahkan pada tataran tertentu, Hibua Lamo diidentikan dengan masyarakat Halmahera Utara itu sendiri. Dalam perkembangannya, Hibua Lamo kini menjadi falsafah hidup masyarakat adat di Halmahera Utara.
Sebagai falsafah hidup, Hibua Lamo memuat nilai dan makna kehidupan sebagai wujud dari pada kearifan lokal (local wisdom) masyarakat di Halmahera Utara, yang mengajarkan tentang; O Dora (pentingnya “mengasihi” antara sesama); O Hayangi (pentingnya rasa saling “menyayangi” antar sesama dan tidak saling menyakiti); O Baliara (menerapkan sikap saling “memelihara” atau “peduli” antara sesama); O Adili (penerapan prinsip keadilan dalam kehidupan bermasyarakat); dan O Diai (pentingnya menjunjung nilai kebenaran). Nilai dan makna tersebut adalah jati diri sekaligus unsur perekat masyarakat di
Halmahera Utara yang khas, karena memiliki justifikasi dalam adat dan tata kehidupan
tradisional sebagai suatu kearifan lokal (Kuat, 2009).
Naleng (2013) mengungkapkan bahwa masyarakat di Halmahera Utara hidup dan
tetap mengutamakan kebersamaan dalam keperbedaan komunitasnya. Karena itu dalam hidup
dan kesehariannya dikenal adanya istilah O’ Higaro (ajakan/saling mengajak) untuk bersama-sama menopang dalam membangun hidup, serta O’ Ngale (wujud) untuk bersama-sama
saling melengkapi dalam tanggung jawab kekerabatan. Adapula istilah “ngone o ria dodoto” (dalam bahasa Tobelo) atau “ngone o ria de o nongoru” (dalam bahasa Galela) yang berarti
2
relasi kehidupan masyarakat di Halmahera Utara. Sebagaimana muatan nilai dan makna dari
pada Hibua Lamo tersebut, maka pola jalinan kehidupan masyarakat Halmahera Utara dipandang berjalan secara harmonis.
Pola kehidupan yang harmonis tersebut tidaklah bertahan lama, dimana warga
masyarakat yang tergabung dalam Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) diperhadapkan
oleh perpecahan internal Sinode. Samloy (2014:1), mengungkapkan bahwa sinode GMIH
diperhadapkan dengan “prahara” kepemimpinan Sinodal, dimana sebagian jemaat yang
mengusung transformasi atau pembaharuan dalam gereja (sinode) melalakukan Sidang
Sinode Istimewa (SSI) pada tanggal 6-8 September 2013 di Tobelo. Hal ini terkesan
menganulir hasil Sidang Sinode GMIH di Dorume – Loloda Utara yang telah berlangsung
pada tahun 2012. Sehingga, memunculkan semacam konflik kepentingan dalam tubuh sinode
GMIH, yang berakibat pada munculnya dualisme kepemimpinan, yaitu BPHS Sinode „Lama‟ dan BPHS sinode „Pembaharuan‟ yang dibentuk lewat keputusan SSI tersebut.
Adanya dualisme kepemimpinan serta perpecahan pada BPHS GMIH turut
mempengaruhi kehidupan warga jemaat dibawahnya. Jika ada warga jemaat yang bepihak
pada sinode GMIH „Pembaharuan‟ maka ada kemungkinan untuk mempersalahkan sinode
GMIH „Lama‟, begitu juga sebaliknya1. Hal ini mengakibatkan hubungan antar warga jemaat
tidak lagi terjalin dengan baik. Terjadi pro-kontra antara warga jemaat, saling memprovokasi
di antara sesama terus meningkat, memanas dan mengganas sehingga terjadilah kisruh serta
kekerasan fisik yang berkepanjangan (Puasa: 2014).
Berdasarkan data yang dihimpun oleh gmih.or.id2 (situs web milik GMIH
Pembaharuan), ditemukan bahwa kasus tindak kekerasan atas nama gereja terjadi diberbagai
tempat yang dilakukan oleh warga jemaat pro GMIH Lama terhadap warga jemaat pro GMIH
Pembaharuan. Kasus tindak kekerasan yang dilakukan oleh warga jemaat pro GMIH Lama
tersebut terjadi pada (1) Jemaat di Tosoa - Halmahera Barat; (2) Jemaat Wari Ino, Halmahera
Utara; dan (3) Jemaat Imanuel Gamsungi – Halmahera Utara.
Pada tempat lainnya, kasus kekerasan terjadi dan diduga dilakukan oleh warga jemaat
pro GMIH Pembaharuan terhadap warga jemaat pro GMIH Lama. Kasus tersebut terjadi pada
masyarakat di Gereja Masehi Advent Apulea – Kabupaten Halmahera Utara. Sebagaimana
1
Pemakaian nama „GMIH Lama dan GMIH Pembaharuan‟ oleh peneliti dimaksudkan sebagai penanda adanya dualisme kepemimpinan serta perpecahan ditubuh BPHS GMIH.
2
3
yang dihimpun oleh portal.malutpost; “Selasa, 20 November 2015 sekitar Pukul 04.00 WIT,
Gereje Masehi Advent Apulea mengalami kebakaran. Kebakaran tersebut diduga ada
kaitannya dengan konflik antara warga jemaat pro GMIH Pembaharuan dengan warga Gereja
Masehi Advent yang sudah berlangsung kurang lebih seminggu. Konflik ini juga
menyebabkan 10 rumah rusak. Beberapa korban dari warga Gereja Masehi Advent Apulea
kini mengungsi ke desa tetangga. Wakapolres Halut Kompol Robert D. Wosia saat
dikonfirmasi, membenarkan adanya insiden kebakaran gereja tersebut. Dia mengaku aparat
sudah dikirim ke Apulea, untuk mengecek kondisinya dan melakukan pengamanan”.
Sebagaimana lokasi (lokus) dari pada penelitian ini, yakni jemaat di Desa Duma dan Desa Mamuya juga diperhadapkan dengan perpecahan jemaat (gereja). Yang pertama, jemaat di Desa Duma. Sejarah mencatat bahwa Desa Duma merupakan tempat awal masuknya
kekristenan (Injil) di Halmahera pada tahun 1866 oleh seorang Misionaris Kristen
berkebangsaan Belanda bernama Hendrik Vandjiken. Sehingga jemaat Nita Duma disebut
sebagai jemaat Kristen “mula-mula” di Halmahera. Awalnya, perpecahan jemaat di Desa Duma, melahirkan dua jemaat, yakni Jemaat Hendrik Vandjiken (pro GMIH Lama) dan
Jemaat Nita Duma (pro GMIH Pembaharuan). Pada Mei 2017, saat peneliti melakukan
penelitian, terbentuk lagi satu jemaat (jemaat ketiga) dengan nama jemaat Nita Duma (Pro
GMIH Lama)3. Adanya perpecahan menjadi tiga jemaat di Desa Duma terus memanas
sehingga menimbulkan tindakan-tindakan kekerasan antara sesama warga gereja yang ada di
Desa Duma.
Tindakan-tindakan kekerasan antara warga jemaat di Desa Duma terjadi pada tanggal
9 Februari 20144, dimana dua warga jemaat pro GMIH lama yang masing-masing bernama
Feniks Ewy dan Wiro Gusman Saribula melakukan pelemparan dan pengrusakan pintu rumah
Pastori Jemaat Nita Duma (GMIH Pembaharuan). Akibat perbuatan itu, kedua orang itu
akhirnya di tahan di Polsek Galela, selama kurang lebih dua minggu. Adapun potret
tindakan-tindakan kekerasan secara non-fisik berupa saling memfitnah, gosip-gosip negatif, saling
menghujat dengan kata-kata kotor (makian) terus terjadi diantara warga jemaat di Desa Duma. Perpecahan jemaat serta tindakan kekerasan antara sesama warga GMIH di Desa
Duma tersebut telah mempengaruhi dan menciptakan hubungan sosial masyarakat tidak lagi
harmonis seperti sebelumnya.
3
Jemaat ini adalah hasil pemisahan dari jemaat sebelumnya, yaitu jemaat Nita Duma pro GMIH Pembaharuan.
4
4
Yang kedua, jemaat di Desa Mamuya. Dalam gmih.or.id (situs web GMIH
Pembaharuan), dijelaskan bahwa kasus tindak kekerasan yang paling berat antar sesama
warga GMIH terjadi di Desa Mamuya. Pada hari Senin 24 Februari 2014 sekitar jam 06.00
WIT, terjadi pengrusakan tempat ibadah darurat milik warga jemaat GMIH Pembaharuan
yang dilakukan oleh warga jemaat GMIH Lama. Bahan-bahan bangunan untuk gereja seperti
200 lembar seng, 2 kubik tiang, 2 kubik papan, dan 6 kubik balok semuanya dibakar. Tidak
puas dengan itu, warga jemaat GMIH lama juga melakukan tindakan pengrusakan rumah
milik warga jemaat GMIH Pembaharuan (10 rumah yang dirusak). Adanya perpecahan dan
kekerasan antara warga jemaat di Desa Mamuya tersebut mengakibatkan sebagian warga
jemaat yang tergabung dalam jemaat Imanuel Baru Mamuya eksodus (keluar) dan menetap
di wilayah Desa Wari – Tobelo.
Sugi (2016) mengungkapkan bahwa konflik dan kekerasan antar sesama warga GMIH
di Desa Mamuya tersebut muncul karena ada beberapa orang warga jemaat yang menjadi
provokator. Sugi juga menggambarkan situasi konflik yang terjadi, bahwa tindakan-tindakan
kekerasan antar warga jemaat dengan cara saling memukul bahkan ingin saling membunuh
satu sama lain. Hal ini mengakibatkan relasi warga jemaat dari kedua pihak tidak lagi
harmonis. Sugi (2016) juga mengungkapkan bahwa Pemerintah Desa Mamuya sudah sekali
mengadakan pendekatan bahkan pertemuan yang dihadiri oleh seluruh Perangkat Desa dan
Tokoh Agama untuk menyampaikan dan menyelesaikan masalah yang sementara dialami,
namun dalam berlangsungnya sampai berakhirnya pertemuan tersebut tidak mendapatkan
hasil positif. Hal tersebut dikarenakan masing-masing kubu (jemaat) tersebut
mempertahankan apa yang mereka anggap itu benar, bahkan masing-masing saling
mempersalahkan awal terjadinya masalah.
Hingga sekarang konflik antar sesama warga GMIH belumlah mendapat solusi yang
pasti. Walaupun akhir-akhir ini situasi sosial masih terlihat baik dan tenang-tenang saja,
namun potensi kemunculan konflik sesama warga GMIH masih menjadi perhatian buat
seluruh elemen masyarakat di Maluku Utara. Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Hendy
Geniardi selaku Kepala Badan Intelijen Negara di Daerah (Binda) Maluku Utara dalam
malutpost.co.id pada 12 Agustus 2016, bahwa “Maluku Utara menyimpan 14 potensi konflik
yang berbahaya. Kata Hendy “kisruh GMIH adalah salah satu potensi munculnya konflik sosial dari 14 titik potensi kerawanan yang ada di Maluku Utara. Masalah ini perlu
mendapatkan prioritas untuk dicari solusi penanganannya”.
Berbagai upaya resolusi konflik internal GMIH telah dilakukan melalui pertemuan
5
Manado, tepatnya di Hotel Quality adalah salah satu upaya rekonsiliasi. Upaya ini di inisiasi
oleh pemerintah daerah (FORKOMPIMDA dan DPRD Halut) dengan menghadirkan enam
orang perwakilan dari sinode GMIH Lama, enam orang perwakilan dari sinode GMIH
Pembaharuan dan enam orang perwakilan dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)
yang bertugas sebagai mediator. Namun hasil kesepakatan yang disepakati dalam pertemuan
tersebut tidak direalisasikan sehingga dinilai gagal dalam merekonsiliasi warga GMIH yang
sedang mengalami perpecahan dan konflik. Diduga forum pertemuan yang dilakukan tersebut
hanya dihadiri oleh oknum-oknum tertentu atau kaum elit (pemimpin gereja atau orang
penting dalam sinode) dan jarang untuk melibatkan jemaat secara langsung (Sinta: 2015).
Melihat kondisi masyarakat pasca perpecahan jemaat GMIH yang berujung pada
tindakan kekerasan fisik tersebut maka rekonsiliasi diperlukan. Dalam konteks masyarakat
Halmahera Utara, ketika agama baik Kristen maupun Islam, langsung maupun tidak dianggap
terlibat dalam kerusuhan, maka nilai-nilai budaya kembali digali dan dicari sebagai wadah
untuk melakukan proses rekonsiliasi. Nilai-nilai budaya yang masih dipegang sebagai
falsafah hidup bersama orang Halmahera pada umumnya dan secara khususnya masyarakat di
Halmahera Utara adalah Hibua Lamo (Puasa: 2013).
Sebelumnya, konflik horizontal (Islam-Kristen) tahun 1999-2000 telah memberikan
kenangan tersendiri bagi masyarakat. Konflik yang sering terjadi di Maluku Utara dan
sekitarnya telah mempengaruhi kehidupan masyarakat setempat, khususnya dalam hal emosi
dan tanggapan akan adanya konflik-konflik yang akan terjadi. Namun telah dilaksanakan
rekonsiliasi yang bertempat dilapangan Hibua Lamo, Tobelo tepatnya pada tanggal 19 April
2001 dengan menggunakan prosesi acara adat “Hibua Lamo”. Jika diamati ternyata rekonsiliasi ini telah memberikan dampak yang positif bagi masyarakat Halmahera Utara
(Kristen dan Islam) yang berkonflik pada waktu itu (Sinta, 2015).
Bertolak dari perpecahan dan kekerasan yang terjadi pada warga GMIH di Desa
Duma dan Desa Mamuya tersebut, maka yang menjadi pertanyaan adalah mengapa
tindakan-tindakan kekerasan antara sesama warga GMIH bisa terjadi? Padahal ada “Hibua Lamo”, sebagai “rumah bersama” yang merupakan identitas dan simbol pemersatu masyarakat di
Halmahera Utara? Apakah nilai-nilai adat Hibua Lamo mampu dijadikan sebagai basis dalam upaya merekonsiliasi masyarakat di Desa Duma dan Desa Mamuya pasca perpecahan
jemaat? Dengan berdasar pada latar belakang masalah ini, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan memfokuskan pada peran nilai adat Hibua Lamo dalam upaya merekonsiliasi masyarakat di Desa Duma dan Desa Mamuya, Kabupaten Halmahera Utara
6 1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemahaman dan praktek nilai Hibua Lamo oleh masyarakat Desa Duma dan Desa Mamuya dalam kehidupan sehari-hari?
2. Bagaimana pola interaksi masyarakat di Desa Duma dan Desa Mamuya dalam
mempraktekan nilai-nilai Hibua Lamo pasca perpecahan Jemaat?
3. Apakah nilai-nilai Hibua Lamo bisa digunakan sebagai basis rekonsiliasi masyarakat di Desa Duma dan Desa Mamuya pasca perpecahan Jemaat ?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan pemahaman dan praktek nilai Hibua Lamo oleh masyarakat Desa Duma dan Desa Mamuya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Mendeskripsikan pola relasi (interaksi) masyarakat di Desa Duma dan Desa Mamuya
dalam mempraktekan nilai-nilai Hibua Lamo pasca perpecahan Jemaat.
3. Menjelaskan nilai-nilai Hibua Lamo yang diandaikan mampu dijadikan sebagai basis rekonsiliasi masyarakat di Desa Duma dan Desa Mamuya pasca perpecahan Jemaat.
1.4. Manfaat Penelitian
Sebagai sebuah tulisan ilmiah, maka penelitian ini diharapkan memberikan manfaat
baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian dan kajian ini dapat berguna
sebagai tambahan referensi dan memperkaya khazanah penelitian dalam kajian di bidang
sosiologi dan antropologi. Kajian hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas segi-segi
teoritis sehingga dapat menunjang penelitian yang berhubungan dengan kasus serupa di masa
mendatang.
Sedangkan secara praktis, penelitian dan kajian ini diharapkan dapat memberikan
masukan berbagai pihak, terkhususnya kepada Pemerintah Desa serta Lembaga Adat
setempat untuk bagaimana bertindak secara tepat dalam upayanya merekonsiliasi masyarakat