• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modul I Peningkatan Wawasan Kependidikan Pengurus Komite Sekolah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Modul I Peningkatan Wawasan Kependidikan Pengurus Komite Sekolah"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

Peningk atan Wawasan

Kependidik an Pengurus

Komite Sekolah

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN DASAR

KEGIATAN PEMBINAAN DEWAN PENDIDIKAN/KOMITE SEKOLAH YANG TERBINA

(2)
(3)

JENDERAL PENDIDIKAN DASAR

Peran serta masyarakat dalam bidang pendidikan merupakan amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Peran serta masyarakat tersebut diwujudkan dalam wadah Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah untuk meningkatkan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan. Agar Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dapat melaksanakan fungsi tersebut secara optimal, maka Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah perlu ditingkatkan kinerjanya, melalui upaya pemberdayaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.

Secara kuantitatif, Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota telah dibentuk di hampir di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Demikian pula, Komite Sekolah telah dibentuk di seluruh satuan pendidikan di Indonesia, baik negeri maupun swasta. Namun secara kualitatif, keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah memang belum sepenuhnya dapat mendorong peningkatan mutu layanan pendidikan. Salah satu faktor penyebabnya antara lain karena masih rendahnya pemahaman masyarakat dan pemangku kepentingan pendidikan (stakeholder) tentang kedudukan, fungsi dan tugas Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Untuk meningkatkan kinerja Komite Sekolah/Madrasah, maka diluncurkan program pemberdayaan Komite Sekolah, yang akan dilakukan secara bottom-up oleh Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota. Untuk itu, kegiatan TOT Fasilitator Pemberdayaan Komite Sekolah dimaksudkan untuk menyiapkan SDM-nya. Sedang untuk menyiapkan materinya, telah disiapkan Modul Pemberdayaan Komite Sekolah ini berserta paparan power point-nya.

(4)

Kami menaruh harapan besar agar modul ini dapat menjadi bahan yang bermanfaat untuk meningkatkan kinerja Komite Sekolah. Kepada tim penulis dan pemandu kegiatan TOT Pemberdayaan Komite Sekolah, kami menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih.

Jakarta, Maret 2012

a.n. Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Sekretaris Direktorat Jenderal,

(5)

Dalam paradigma lama, hubungan keluarga, sekolah, dan masyarakat dipandang sebagai institusi yang terpisah-pisah. Pihak keluarga dan masyarakat dipandang tabu untuk ikut campur tangan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Apalagi sampai masuk ke wilayah kewenangan profesional para guru. Dewasa ini, paradigma lama ini dalam batas-batas tertentu telah ditinggalkan. Keluarga memiliki hak untuk mengetahui tentang apa saja yang diajarkan oleh guru di sekolah. Orangtua siswa memiliki hak untuk mengetahui dengan metode apa anak-anaknya diajar oleh guru-guru mereka. Dalam paradigma transisional, hubungan keluarga dan sekolah sudah mulai terjalin, tetapi masyarakat belum melakukan kontak dengan sekolah. Dalam paradigma baru (new paradigm) hubungan keluarga, sekolah, dan masyarakat harus terjalin secara sinergis untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan, termasuk untuk meningkatkan mutu hasil belajar siswa di sekolah.

Sekolah adalah sebuah pranata sosial yang bersistem, terdiri atas komponen-komponen yang saling terkait dan pengaruh mempengaruhi. Komponen utama sekolah adalah siswa, pendidik dan tenaga kependidikan lainnya, kurikulum, serta fasiltias pendidikan. Selain itu, pemangku kepentingan (stakeholder) juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap proses penyelenggaraan dan peningkatan mutu pendidikan. Dalam hal ini orangtua dan masyarakat merupakan pemangku kepentingan yang harus dapat bekerja sama secara sinergis dengan sekolah.

Proses penyelenggaraan pendidikan kini menggunakan pola manajemen yang dikenal dengan manajemen berbasis sekolah (MBS), yang dalam aspek teknis edukatif dikenal dengan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS). Untuk itu, maka orangtua siswa, khususnya yang tergabung dalam Komite Sekolah juga harus memahami pola manajemen sekolah tersebut.

(6)

dengan konsep PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan). Ini merupakan satu bentuk keterlibatan keluarga dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena itu, Komite Sekolah perlu memahami wawasan kependidikan tersebut.

Modul pertama ini meliputi lima bagian yang saling terkait, yaitu: (1) Esensi Pendidikan, (2) Sekolah Sebagai Suatu Sistem, (3) Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan Dasar di Satuan Pendidikan, (4) Manajemen Berbasis Sekolah, dan (5) Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan.

(7)

SAMBUTAN SEKRETARIS DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN DASAR --- iii

KATA PENGANTAR --- v

DAFTAR ISI --- vii

MODUL 1.1: ESENSI PENDIDIKAN --- 1

A. PENDAHULUAN --- 1

B. PENGERTIAN DAN MAKNA PENDIDIKAN --- 3

C. FUNGSI DAN TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL --- 4

D. PERGESERAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN NASIONAL --- 6

E. PERGESERAN PARADIGMA SISTEM PEMERINTAHAN --- 11

F. PARADIGMA BARU PENGELOLAAN PENDIDIKAN --- 13

G. MENUJU OTONOMI PADA TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN --- 14

H. PENUTUP --- 18

MODUL 1.2: SEKOLAH SEBAGAI SUATU SISTEM --- 19

A. PENDAHULAN --- 19

B. PENGERTIAN SISTEM --- 20

C. PENDEKATAN SISTEM --- 27

D. SEKOLAH SEBAGAI SUATU SISTEM --- 27

E. KINERJA SEKOLAH SEBAGAI SUATU SISTEM --- 30

F. PENUTUP --- 32

MODUL 1.3: STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PENDIDIKAN DASAR DI SATUAN PENDIDIKAN --- 35

A. PENDAHULUAN --- 35

B. TUJUAN --- 36

(8)

D. PRINSIP-PRINSIP --- 38

E. TANGGUNG JAWAB PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL --- 40

F. PENJABARAN SPM SATUAN PENDIDIKAN --- 42

G. PERAN KOMITE SEKOLAH DALAM PELAKSANAAN SPM DI SATUAN PENDIDIKAN --- 44

H. PENUTUP --- 48

MODUL 1.4: MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) --- 49

A. PENDAHULUAN --- 49

B. MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH --- 50

C. PRAKTIK MENAJEMEN BERBASIS SEKOLAH --- 53

D. PENUTUP --- 55

MODUL 1.5: PEMBELAJARAN AKTIF, KREATIF, EFEKTIF, DAN MENYENANGKAN (PAKEM) --- 57

A. PENDAHULUAN --- 57

B. APA ITU PAKEM? --- 60

C. APA YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM MELAKSANAKAN PAKEM? --- 61

D. BAGAIMANA PELAKSANAAN PAKEM? --- 62

E. PENUTUP --- 64

PAPARAN 1.1: ESENSI PENDIDIKAN --- 67

PAPARAN 1.2: SEKOLAH SEBAGAI SUATU SISTEM --- 67

PAPARAN 1.3: STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PENDIDIKAN DASAR DI SATUAN PENDIDIKAN --- 67

PAPARAN 1.4: MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) --- 68

(9)

ESENSI PENDIDIKAN

A. PENDAHULUAN

“Didiklah dan persiapkanlah anak-anakmu untuk suatu zaman yang bukan zamanmu, mereka akan hidup pada suatu zaman yang bukan zamanmu” (Ali Bin Abi Thalib). Pesan Khalifah Ali Bin Abi Thalib itu menyadarkan kita bahwa pendidikan pada hakikatnya menyangkut masa depan hidup dan kehidupan umat manusia. Agar bangsa ini dapat tetap eksis dan survive di arena kehidupan global yang semakin kompetitif, tidak ada cara lain untuk menghadapinya kecuali dengan menyiapkan sumber daya manusia Indonesia dalam jumlah besar yang memiliki keunggulkan kompettitif. Untuk bertarung dalam kompetisi masa depan setiap individu dalam masyarakat suatu negara harus memiliki kemampuan prima dalam menggunakan intangible assets, yaitu knowledge,

learning competence, dan net working (Kotter, 1997). Dalam konteks demikian pendidikan

menempati posisi yang amat strategis.

Secara historis, perjalanan sistem pendidikan di Indonesia boleh dikatakan sudah cukup panjang. Sejak memasuki periode sejarah, masyarakat Nusantara telah mengenal sistem pendidikan keagamaaan, yakni agama Hindu, Budha, dan Islam. Agama Hindu yang mengenal sistem kasta melahirkan sistem pendidikan yang feodalistik sehingga hanya keluarga kaum Brahmana yang memperoleh peluang untuk mendapatkan pendidikan. Mungkin latar belakang inilah yang menyebabkan sistem pendidikan agama Hindu kurang memasyarakat di Bumi Nusantara.

(10)

Pada zaman kesultanan Islam, dikenal ada dua sistem pendidikan, yakni sistem surau (Aceh: dayah) dan sistem pondok pesantren (Djumhur dan Danasuparta, 1976:112). Sistem pertama dikelola oleh tokoh agama secara individual atas dukungan masyarakat setempat, sedangkan sistem pondok pesantren berada dalam kewenangan kesultanan, sehingga urusan pengelolaan dan pembiayaan serta penunjukkan dan penempatan tenaga pengajar dilakukan atas persetujuan penguasa politik itu. Setelah menyurutnya kekuasaan politik Kesultanan Islam, pondok pesantren dikelola oleh kyai atau ulama sebagai tokoh agama.

Pada masa kolonial Belanda pesantren banyak terlibat dalam kancah politik. Dalam pandangan pemerintah kolonial Belanda, pondok pesantren merupakan “sarang pemberontak” (Sirozi, 2005:vi). Atas penilaian itu pula maka, sekitar tahun 1926, pondok pesantren tidak lagi termuat dalam statistik Pemerintah Hindia Belanda. Upaya untuk menutup peluang pengembangan institusi pendidikan Islam di Nusantara, tampaknya terkait dengan kebijakan politik kolonial yang memberlakukan Undang-undang Sekolah Liar (Wilden Scholen Ordonantie) tahun 1925 dan 1930. Hanya institusi pendidikan yang memenuhi ketentuan undang-undang tersebutlah yang dianggap legal dan oleh karena itu memperoleh subsidi dari pemerintah.

Untuk mengantisipasi kebijakan politik pendidikan Pemerintah Hindia Belanda ini, maka sejumlah organisasi sosial keagamaan mulai “mengadopsi” sistem pendidikan Barat. Jamiatul Khairiyyah, satu organisasi sosial keagamaan yang didirikan oleh kaum pedagang keturunan Arab, memelopori berdirinya sistem pendidikan Islam modern, yakni madrasah. Kemudian langkah ini diikuti oleh organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah, Persis, Persyarikatan Ulama, Al-Washliyah, dan Nahdatul Ulama. Sementara itu, di luar pengawasan pemerintah, sistem pendidikan pondok pesantren terus berlanjut. Keberadaan pondok pesantren terus dipertahankan sebagai pendidikan masyarakat, terutama di pedesaan.

Setelah Indonesia merdeka, pendidikan dikelola oleh pemerintah. Pendidikan umum yang merupakan kelanjutan dari sistem pendidikan kolonial Belanda diserahkan kewenangannya kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK). Adapun pendidikan agama (Islam) berada dalam naungan Departemen Agama. Kondisi tersebut berlangsung hingga saat ini (Assegaf: 2005:7). Dewasa ini penyelenggaraan pendidikan diatur oleh Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Untuk melaksanakan undang-undang tersebut pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam peraturan pemerintah tersebut diatur berbagai hal untuk mengelola dan menyelenggarakan pendidikan nasional termasuk di dalamnya mengatur ihwal komite sekolah.

(11)

pendidikan. Karena fungsinya yang amat penting itu maka komite sekolah perlu menata dirinya maupun para anggotanya agar menjadi organisasi yang efektif, yakni dapat melaksanakan fungsinya dalam memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. Agar dapat melaksanakan empat fungsi tersebut pengurus dan anggota komite sekolah hendaknya memiliki pemahaman yang komprehensif tentang esensi pendidikan.

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dengan demikian pendidikan bukanlah pelatihan, dan pelatihan tidak boleh mereduksi makna pendidikan. Batasan ini perlu benar-benar ditangkap dan dipahami agar jika terjadi penyimpangan di sekolah, misalnya pendidikan dipraktikan laksana pelatihan, maka komite sekolah dapat memberikaan pertimbangan dan arahan agar memosisikan proses pendidikan pada esensi yang sebenarnya.

Modul 1.1 ini akan menguraikan esensi pendidikan yang meliputi uraian tentang (1) pengertian dan makna pendidikan; (2) fungsi dan tujuan pendidikan nasional; (3) pergeseran kebijakan pendidikan nasional; (4) pergeseran paradigma sistem pemerintahan; (5) paradigma baru pengelolaan pendidikan; dan (6) menuju otonomi pada tingkat satuan pendidikan.

B. PENGERTIAN DAN MAKNA PENDIDIKAN

(12)

sambil lalu, dan hasilnya pun apa adanya; melainkan suatu upaya sepenuh hati dan sekuat tenaga untuk mengembangkan potensi anak agar menjadi manusia dewasa yang cerdas otaknya, lembut hatinya, dan terampil tangannya dalam balutan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Merujuk pada uraian di atas tampak bahwa pendidikan merupakan upaya sistematis agar manusia memahami hubungan antarmanusia dan juga dengan makhluk hidup lainnya, termasuk dengan alam lingkungannya. Maka dari itu, pendidikan bisa dikatakan dasar dari proses pembangunan sebuah negara. Walaupun di dalamnya ada unsur-unsur teknis yang biasa ditangani melalui pelatihan, pendidikan bukanlah sekedar pelatihan, dan pelatihan tidak dapat mereduksi makna pendidikan. Bila terjadi proses reduksi pendidikan demi efisiensi dan efektivitas yang akan terjadi justru kemadegan kemanusiaan itu sendiri, termasuk di dalamnya modernisasi. Modernisasi adalah hasil dari pemahaman secara total akan kehidupan yang terus-menerus berkembang. Tetapi, hal itu tidak dapat dicapai melalui proses percepatan dengan mereduksi pendidikan menjadi pelatihan, seperti yang saat ini terjadi di Indonesia dan bisa saja di negara-negara lainnya (Saefuddin, 2011:197). Hal ini tampak dalam praktik pendidikan yang lebih mementingkan perolehan hasil ujian dari pada tumbuhnya kejujuran dan kemandirian, sebab sering kali terjadi peristiwa yang mencampakan kejujuran dan kemandirian demi lulus ujian. Praktik pendidikan more testing than educating ini pada hakikatnya tidak sesuai dengan makna pendidikan yang sebenarnya. Makna pendidikan yang sebenarnya adalah memberikan ruang yang luas untuk kebebasan berpikir dan kejernihan hati nurani (rasa) sebagai cikal bakal munculnya karya dan keindahan. Rantai teknologi – ilmu pengetahuan – kebebasan berpikir – dan rasa – karya dan keindahan (baca: rantai modernisasi) tidak akan berkembang bilamana suasana tidak kondusif ke arah itu. Suasana kondusif itulah pendidikan. Jadi, pendidikan harus mampu memberikan ruang yang luas supaya rantai modernisasi itu berkembang dengan baik (Saefuddin, 2011:198). Bukan sebaliknya menjadi ajang pembantaian potensi, pemenjaraan kreativitas, pengerdilan nurani, dan berujung pada proses indoktrinasi. Di sinilah pentingnya komite sekolah untuk mengawal agar proses pendidikan di sekolah sesuai dengan makna pendidikan yang mengembangkan rantai modernisasi: mengembangkan kebebasan berpikir – mengasah rasa – memupuk karya – merajut keindahan dalam balutan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

C. FUNGSI DAN TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL

(13)

kepada nusa dan bangsa. Dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 secara tegas dinyatakan sebagai berikut:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Dari kutipan Pasal 3 tersebut tampak bahwa pendidikan nasional memiliki fungsi yang amat tinggi maknanya, yakni hendak mengembangkan kemampuan yang ada dan bersemayam sebagai potensi peserta didik baik potensi rohaniah maupun badaniah. Pengembangan potensi tersebut dimaksudkan agar mendukung pengembangan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang memiliki watak dan peradaban yang bermartabat. Logikanya adalah praktik-praktik pendidikaan hendaknya menghasilkan insan-insan Indonesia yang bukan saja cerdas otaknya, namun juga lembut hatinya, dan terampil tangannya. Artinya, insan-insan hasil didikan itu menjadi insan paripurna yang pada gilirannya akan berkontribusi melahirkan bangsa Indonesia yang memiliki watak dan peradaban yang bertabat, bukan bangsa “tempe” atau bangsa “kuli”. Konsisten dengan fungsi tersebut maka pendidikan nasional menurunkan sembilan tujuan yang berisi capaian belajar (learning outcomes) yang unggul, yakni:

1. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2. Berakhlak mulia.

3. Sehat.

4. Berilmu.

5. Cakap.

6. Kreatif.

7. Mandiri.

8. Menjadi warga negara yang demokratis.

9. Bertanggung jawab.

(14)

D. PERGESERAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN NASIONAL

Mencermati perkembangan kebijakan pendidikan nasional sekurang-kurangnya mempunyai tiga makna. Pertama, untuk mengetahui kondisi pendidikan beserta

social-setting yang mempengaruhinya; kedua, untuk mengetahui pergeseran kebijakan

pendidikan dari masa prakemerdekaan hingga kini, sehingga diketahui apa yang telah berubah dan respons masyarakat atas kebijakan yang diambil; ketiga, untuk dapat memprediksikan arah pendidikan nasional masa depan yang berbasis akar budaya dan berwawasan kebangsaan.

Interval waktu untuk memahami pergeseran kebijakan pendidikan nasional disistematisasikan dalam beberapa periodisasi sebagai berikut (Kuntoro, 1997:1-2; Djojonegoro, dkk., 1995:vii-viii). Periode pertama, masa perjuangan, yakni masa pergerakan nasional, bermula pada masa imperialisme hingga kemerdekaan. Dalam hal ini difokuskan sejak masa pendudukan Jepang sampai kemerdekaan: 1942-1945. Periode kedua, masa awal kemerdekaan atau masa Orde Lama, tahun 1945 sampai terbentuknya secara yuridis-formal Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah hingga berakhirnya Orde Lama, tahun 1965. Periode ketiga, masa pembangunan atau masa Orde Baru, diawali dengan berakhirnya periode kedua sampai tahun 1994, yang ditandai diberlakukannya Kurikulum Tahun 1994, hingg era Reformasi sejak 1998 sampai dikembangkannya Kurikulum Berbasis Kompetensi pada 2004 dan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006.

Masa perjuangan. Merupakan masa transisi kebijakan dari Kolonial Belanda ke Jepang. Perubahan mendasar akibat transisi kebijakan tersebut sedikitnya tampak dalam lima hal. Pertama, perubahan misi, dari upaya Kristenisasi oleh Belanda ke Nipponisasi oleh Jepang. Kedua, perubahan tipe kepemimpinan, dari sosok pemerintahan sipil Belanda ke militeristik Jepang. Ketiga, perubahan strategi politik dari devide et impera Belanda ke taktik integrasi ala Jepang. Keempat, perubahan sistem pendidikan yang semula bersifat diskriminatif dengan diferensiasi sekolah menuju ke arah penyeragaman pendidikan.

Kelima, perubahan yang berkaitan dengaan materi dan tujuan pendidikan dan pengajaran.

(15)

akibat keikutsertaan guru dalam perang kemerdekaan, demikian pula halnya dengan para pelajar yang merangkap fungsi sebagai tentara, menimbulkan terpecahnya konsentrasi pendidikan ke arah perjuangan nasional; (c) fasilitas sekolah banyak yang hancur akibat perang atau karena dipakai sebagai barak militer, mengakibatkan terhentinya proses pembelajaran di kelas; (d) belum terbentuknya undang-undang tentang pendidikan nasional.

Fase kedua, dari akhir fase pertama sampai dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli

1959. Fase ini dalam konteks politik saat itu dikenal sebagai masa Demokrasi Liberal atau

Demokrasi Parlementer (1951-1959). Pada fase ini beberapa faktor sosial politik yang

memengaruhi situasi pendidikan nasional telah berubah dari fase sebelumnya. Faktor dimaksud antara lain: (a) terjadi perubahan bentuk negara dari RIS ke Negara Kesauan; (b) berlakunya sistem Demokasi Liberal atau Demokrasi Parlementer; (c) adanya Dekrit Presiden yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945; dan (d) melalui perjuangan bangsa Indonesia di bidang pendidikan maka dibentuklah Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang lebih dikenal dengan nama Undang-undang Pendidikan dan Pengajaran (UUPP).

Fase ketiga, dari akhir fase kedua sampai berakhirnya masa Demokrasi Terpimpin

(1959-1965). Makna dari Demokrasi Terpimpin itu nyatanya bergeser dari dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, sebagaimana makna sila keempat Pancasila, menjadi dipimpin oleh Presiden/Panglima Besar Revolusi. Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Sukarno menyampaikan pidato yang diberi judul Manifesto

Politik. Manifeto Politik inilah yang dijadikan doktrin dalam era Demokrasi Terpimpin dan

sekaligus sebagai penjelasan resmi Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Era kehidupan ini dikenal sebagai era Manifesto Politik (disingkat Manipol).

Lalu, apa pengaruh Manipol bagi pendidikan nasional saat itu ? Pertama, dari sisi ideologi, Manipol diindoktrinasikan pada seluruh lapisan masyarakat Indonesia termasuk di semua jenjang dan jenis pendidikan. Kedua, dari sisi kebjakan pendidikan, asas pendidikan nasional adalah Pancasila dan Manipol USDEK (UUD 1945, Sosialisme Demokrasi, Ekonomi, dan Kepribadian). Ketiga, dari sisi materi pembelajaran. Pancasila dan Manipol USDEK dijadikan mata pelajaran di perguruan rendah sampai perguruan tinggi.

(16)

1945. Ketiga, menghapuskan dualisme dalam kepemimpinan nasional. Untuk itu diadakan Sidang Istimewa MPRS tahun 1967 dengan hasil diangkatnya Jederal Soeharto sebagai Presiden. Keempat, mengembalikan kestabilan politik dan merencanakan pembangunan. Strategi ini dilakukan dengan jalan mengisi kemerdekaan melalui pembangunan ekonomi serta mengembalikan wibawa pemerintah dari pusat sampai ke desa (Soemitro, 1994:185). Itu sebabnya maka Orde Baru ini diidentikan dengan masa pembangunan.

Pada pertengahan 1997 negara kita dilanda krisis ekonomi dan moneter yang sangat hebat. Akibat dari krisis tersebut, harga-harga melambung tinggi, sedangkan daya beli masyarakat terus menurun. Sementara itu nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, terutama dolar Amerika, semakin merosot. Menyikapi kondisi seperti itu Pemerintah berusaha menanggulanginya dengan berbagai kebijakan. Namun kondisi ekonomi tidak kunjung membaik. Bahkan kian hari semakin bertambah parah.

Krisis yang terjadi meluas pada aspek politik. Masyarakat mulai tidak lagi mempercayai Pemerintah. Maka timbullah krisis kepercayaan pada Pemerintah. Gelombang unjuk rasa secara besar-besaran terjadi di Jakarta dan di daerah-daerah. Unjuk rasa tersebut dimotori oleh mahasiswa, pemuda, dan berbagai komponen bangsa lainnya. Pemerintah sudah tidak mampu lagi mengendalikan keadaan. Maka pada 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden. Berhentinya Presiden Soeharto menjadi awal era reformasi di tanah air.

Era reformasi memberikan harapan besar bagi bangsa Indonesia untuk melakukan perubahan. Perubahan apa yang kita harapkan itu? Tiada lain adalah perubahan menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan, memiliki akuntabilitas tinggi, terwujudnya good governance, adanya kebebasan berpendapat. Perubahan-perubahan tersebut diharapkan makin mendekatkan bangsa kita untuk mewujudkan tujuan nasional. Maka dari itu gerakan reformasi harus mampu mendorong perubahan mental para pemimpin dan rakyat, yakni menganut dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, tanggung jawab, persamaan, dan persaudaraan.

(17)

Tabel 1: Pergeseran Tujuan Pendidikan Nasional dan Analisis Faktor Perubahan

KURUN WAKTU TUJUAN PENDIDIKAN ANALISIS FAKTOR

PERUBAHAN

Masa Belanda: Sebelum 1900 Sesudah 1900

Membentuk kelas elite Untuk memenuhi

kebutuhan tenaga buruh,

Memenuhi tenaga buruh dan militer. Kepentingan Perang Asia Timur Raya.

Tahun 1946 Membentuk warganegara yang sejati dan dapat menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara.

Semangat nasionalisme dan patriotisme bangsa.

UUPP Nomor 4 Tahun 1950

Membentuk manusia susila yang cakap dan warganegara yang

demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.

Pengaruh bentuk negara RIS dan Sistem Demokrasi Parlementer.

Kepres RI Nomor 145 Tahun 1965

Melahirkan warganegara sosialis Indonesia yang susila yang bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun materiil yang berjiwa Pancasila, yaitu: a. KeTuhanan Yang Maha Esa; b. Perikemanusiaan yang adil dan beradab; c..

Kebangsaan; d. Kerakyatan; e. Keadilan sosial, seperti dijelaskan dalam Manipol USDEK.

Ide manipol USDEK dan pengaruh PKI. ketentuan seperti yang dikehendaki oleh Pembukaan UUD 1945.

(18)

KURUN WAKTU TUJUAN PENDIDIKAN ANALISIS FAKTOR PERUBAHAN

GBHN 1973 Membentuk manusia-manusia pembangunan yang ber-Pancasila untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan, dapat mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab, dan

menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tanggung jawab, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama mansuia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945.

Kebijakan politik pembangunan dalam Repelita I

GBHN 1978 Pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya serta serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.

Kebijakan politik pembangunan dalam Repelita II

GBHN 1983 Meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun

dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.

(19)

KURUN WAKTU TUJUAN PENDIDIKAN ANALISIS FAKTOR PERUBAHAN

GBHN 1988 Meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas, trampil, serta sehat jasmani dan rohani.

Kebijakan politik pembangunan dalam Repelita IV dan menguatnya pengaruh Islam.

UUSPN Nomor 2 Tahun 1989

Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Kebijakan politik pembangunan dalam Repelita V dan menguatnya pengaruh Islam.

UUSPN Nomor 20 Tahun 2003

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk waak serta

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Kebijakan reformasi pendidikan nasional.

Sumber: Assegaf (2005:98).

E. PERGESERAN PARADIGMA SISTEM PEMERINTAHAN

(20)

dan restrukturisasi secara menyeluruh sehingga dapat menjawab tantangan desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan seperti yang diatur dalam UU tentang Pemerintahan Daerah tersebut di atas.

Selain sebagai salah satu sektor dalam sistem pemerintahan, pendidikan juga merupakan sistem tersendiri yang dapat diselenggarakan di luar sistem pemerintahan baik di pusat, propinsi maupun kabupaten/kota. Di luar mekanisme pemerintahan, pengelolaan pendidikan juga dilakukan oleh masyarakat, yaitu: (1) Pengelolaan pendidikan dasar dan menengah, misalnya oleh Yayasan Pendidikan Swasta sebagai wujud pelayanan sosial (public service) yang dilakukan secara langsung oleh masyarakat, (2) Pengelolaan pendidikan dasar dan menengah yang dilaksanakan secara profesional sebagai wujud dari industri pendidikan, yaitu yang dilakukan oleh lembaga-lembaga profesional yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari pelayanan pendidikan yang bermutu, dan (3) Pengelolaan pendidikan oleh masyarakat, yaitu pengelolaan pendidikan dasar dan menengah yang secara langsung dilakukan oleh masyarakat di setiap daerah, sebagai salah satu bentuk kepedulian dan partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan.

Sebagai sistem yang diselenggarakan di luar mekanisme pemerintahan, desentralisasi pendidikan tidak dilakukan melalui penyerahan wewenang pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi penyerahan wewenang kepada setiap satuan pendidikan itu sendiri. Dengan demikian, selain konsep desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan, terdapat pula konsep desentralisasi dan otonomi pendidikan yang menekankan pada wewenang dan otoritas yang dimiliki oleh setiap satuan pendidikan. Konsep ini berkembang di lingkungan Depdiknas, sebagai salah satu sektor teknis, yang dalam pelaksanaannya memerlukan Undang-Undang sektor tersendiri. Di bidang pendidikan, sekarang kita telah memiliki undang-undang yang baru (UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang lebih berorientasi desentralisasi pendidikan sebagai pengganti UU Nomor 2 Tahun 1989 yang masih berasas sentralistik.

(21)

luar biaya yang diperoleh dari sumber-sumber anggaran pemerintah. Dengan demikian, masyarakat adalah stake-holder dari sistem pendidikan dasar dan menengah, atau pihak yang paling menentukan terhadap sistem dan proses pendidikan.

Namun, masyarakat itu kenyataannya sangat kompleks dan tidak miliki batas yang jelas, sehingga sulit menentukan masyarakat yang mana sebagai stake-holder di bidang pendidikan. Salah satu cara memfungsikan masyarakat sebagai stake-holder tersebut adalah dengan menggunakan prinsip perwakilan, yaitu memilih sejumlah kecil dari seluruh anggota masyarakat untuk melaksanakan fungsi-fungsi kontrol, pemberi masukan, pemberi dukungan, serta fungsi mediator antara masyarakat dengan lembaga-lembaga pendidikan. Fungsi-fungsi tersebut dilakukan Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/ kota dan propinsi, serta Komite Sekolah pada tingkat satuan pendidikan.

F. PARADIGMA BARU PENGELOLAAN PENDIDIKAN

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan suatu pergeseran paradigma dalam pengelolaan pendidikan, namun, tidak berarti paradigma ini “baru” sama sekali, karena pernah kita miliki sebelum Inpres Nomor 10 Tahun 1973. Sekolah-sekolah dikelola secara mikro dengan sepenuhnya diperankan oleh kepala sekolah dan guru-guru sebagai pengelola dan pelaksana pendidikan pada setiap sekolah yang juga tidak terpisahkan dari lingkungan masyarakatnya. MBS bermaksud “mengembalikan” sekolah kepada pemiliknya yaitu masyarakat, yang diharapkan akan merasa bertanggung jawab kembali sepenuhnya terhadap pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah.

Sisi moralnya adalah bahwa hanya sekolah dan masyarakatlah yang paling mengetahui berbagai persoalan pendidikan yang dapat menghambat peningkatan mutu pendidikan. Dengan demikian merekalah yang seharusnya menjadi pelaku utama dalam membangun pendidikan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakatnya. Hanya kepala sekolah yang paling mengetahui apakah guru bekerja baik, apakah buku-buku kurang, apakah perpustakaan digunakan, apakah sarana pendidikan masih layak pakai, dan sebagainya. Kepala sekolah dapat “berunding” dengan masyarakat untuk memecahkan berbagai persoalan pendidikan bersama-sama termasuk mengatasi kekurangan sarana-prasarana pendidikan.

(22)

Dengan MBS, pemecahan masalah internal sekolah, baik yang menyangkut proses pembelajaran maupun sumber daya pendukungnya cukup dibicarakan di dalam sekolah dengan masyarakatnya, sehingga tidak perlu diangkat ke tingkat pemerintah daerah apalagi ke tingkat pusat yang “jauh panggang dari api” itu. Tugas pemerintah (pusat dan daerah) adalah memberikan fasilitasi dan bantuan pada saat sekolah dan masyarakat menemui jalan buntu dalam suatu pemecahan masalah. Fasilitasi ini mungkin berbentuk

capacity building, bantuan teknis pembelajaran atau manajemen sekolah, subsidi bantuan

sumber daya pendidikan, serta kurikulum nasional dan pengendalian mutu pendidikan baik tingkatan daerah maupun nasional. Agar dapat memberikan fasilitasi secara objektif, pemerintah perlu didukung oleh sistem pendataan dan pemetaan mutu pendidikan yang handal dan terbakukan secara nasional.

G. MENUJU OTONOMI PADA TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN

Paradigma MBS beranggapan bahwa, satu-satunya jalan masuk yang terdekat menuju peningkatan mutu dan relevansi adalah demokratisasi, partisipasi, dan akuntabilitas pendidikan. Kepala sekolah, guru, dan masyarakat adalah pelaku utama dan terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga segala keputusan mengenai penanganan persoalan pendidikan pada tingkatan mikro harus dihasilkan dari interaksi dari ketiga pihak tersebut. Masyarakat adalah stake-holder pendidikan yang memiliki kepentingan akan berhasilan pendidikan di sekolah, karena mereka adalah pembayar pendidikan, baik melalui uang sekolah maupun pajak, sehingga sekolah-sekolah seharusnya bertanggung jawab terhadap masyarakat.

Namun demikian, entitas yang disebut “masyarakat” itu sangat, sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, sangat kompleks dan tak berbatas (borderless) sehingga sangat sulit bagi sekolah untuk berinteraksi dengan masyarakat sebagai stake-holder

pendidikan. Untuk penyelenggaraan pendidikan di sekolah, konsep masyarakat itu perlu disederhanakan (simplified) agar menjadi mudah bagi sekolah melakukan hubungan dengan masyarakat itu.

Penyederhanaan konsep masyarakat itu dilakukan melalui “perwakilan” fungsi

stake-holder, dengan jalan membentuk Komite Sekolah pada setiap sekolah dan Dewan

(23)

dengan masyarakat yang diwakilinya (Suryadi dan Budimansyah, 2009).

Kemandirian setiap satuan pendidikan adalah salah satu sasaran dari kebijakan desentralisasi pendidikan sehingga sekolah-sekolah menjadi lembaga yang otonom dengan sendirinya. Namun tentu saja, pergeseran menuju sekolah-sekolah yang otonom adalah jalan panjang sehingga memerlukan berbagai kajian serta perencanaan yang hati-hati dan mendalam. Jalan panjang ini tidak selalu mulus, tetapi akan menempuh jalan terjal yang penuh dengan onak dan duri. Orang bisa saja mengatakan bahwa paradigma baru untuk mewujudkan pengelolaan pendidikan yang demokratis dan partisipatif, tidak dapat dilaksanakan di dalam suatu lingkungan birokrasi yang tidak demokratis. Namun, pengembangan demokratisasi pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi demokratis dulu, tetapi harus dilakukan secara simultan dengan konsep yang jelas dan transparan.

Pelaksanaan desentralisasi pendidikan sebaiknya tidak dilakukan melalui suatu mekanisme penyerahan “kekuasaan birokrasi” dari pusat ke daerah, karena kekuasaan telah terbukti gagal dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu. Melalui strategi “desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan”, Depdiknas tidak hanya berkepentingan dalam mengembangkan kabupaten/kota dalam mengelola pendidikan, tetapi juga berkepentingan dalam mewujudkan otonomi satuan pendidikan. Depdiknas memiliki keleluasaan untuk membangun kapasitas setiap penyelenggara pendidikan, yaitu sekolah-sekolah. MBS mengembangkan satuan-satuan pendidikan secara otonom karena mereka adalah pihak yang paling mengetahui operasional pendidikan. Sesuai dengan strategi ini sekolah bukan bawahan dari birokrasi pemerintah daerah, tetapi sebagai lembaga profesional yang bertanggung jawab terhadap klien atau stakeholder

yang diwakili oleh Komite Sekolah. Keberhasilan pendidikan di sekolah tidak diukur dari pendapat para birokrat, tetapi dari kepuasan masyarakat atau stake-holder. Fungsi pemerintah adalah fasilitator untuk mendorong sekolah-sekolah agar berkembang menjadi lembaga profesional dan otonom sehingga mutu pelayanan mereka memberi kepuasan terhadap komunitas basisnya, yaitu masyarakat.

(24)

MBS, masyarakat akan merasa memiliki dan mereka akan merasa tanggungjawab untuk keberhasilan pendidikan di dalamnya. Jika ini dapat diwujudkan, jangankan “iuran” bahkan apapun yang mereka miliki (uang, barang, tenaga, fikiran bahkan kesempatan) akan mereka abdikan untuk kepentingan pendidikan anak-anak bangsa yang berlangsung di sekolah-sekolah.

Namun untuk sampai pada kemampuan untuk mengurus dan mengatur penyelenggaraan pendidikan di setiap satuan pendidikan, diperlukan program yang sistematis dengan melakukan “capacity building”. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan setiap satuan pendidikan secara berkelanjutan baik untuk melaksanakan peran-peran manajemen pendidikan maupun peran-peran pembelajaran, sesuai dengan butir-butir yang disebut di atas. Namun, kegiatan ‘capacity building’ tersebut perlu dilakukan secara sistematis melalui pentahapan, sehingga menjadi proses yang dilakukan secara berkesinambungan sehingga arahnya menjadi jelas (straight

foreward) dan terukur (measurable).

Terdapat empat tahapan pokok yang perlu dilalui dalam pelaksanakan capacity

building bagi setiap satuan pendidikan. Masing-masing tahap pengembangan dilakukan

terhadap setiap kelompok satuan pendidikan yang memiliki karakteristik atau tahap perkembangan yang setara. Capacity building dilakukan untuk meningkatkan (

up-grade) suatu kelompok satuan pendidikan pada tahap perkembangan tertentu ke tahap

berikutnya. Keempat tahap perkembangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Suryadi dan Budimansyah, 2009).

Tahap Pra-formal (Sekolah Rintisan); satuan-satuan pendidikan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah yang belum memenuhi standar teknis yaitu belum dapat memiliki sumber-sumber pendidikan (misalnya guru, prasarana, sarana pendidikan, dan sebagainya) yang memadai untuk menyelenggarakan pelayanan pendidikan secara minimal. Akibat dari kurangnya sumber-sumber pendidikan satuan pendidikan ini belum memenuhi standar teknis sebagai persyaratan minimal satuan pendidikan yang siap untuk dikembangkan kemampuannya. Untuk dapat mulai dikembangkan kemampuannya, satuan-satuan pendidkan ini perlu dilengkapi fasilitas minimal pendidikannya terlebih dahulu agar dapat dinaikkan tahap berikutnya, yaitu Tahap Formal.

Tahap Formal (Sekolah Potensi); satuan-satuan pendidikan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah mereka yang sudah memiliki sumber-sumber pendidikan yang memadai secara minimal. Satuan-satuan pendidikan ini sudah mencapai standar teknis secara minimal, seperti dalam jumlah dan kualifikasi guru, jumlah dan kualitas ruang kelas, jumlah dan kualitas buku pelajaran serta jumlah dan kualitas fasilitas pendidikan lainnya. Terhadap satuan-satuan pendidikan yang sudah mencapai standar minimal teknis ini,

capacity building dilakukan melalui peningkatan kemampuan administratur (seperti

(25)

sebagainya) agar dapat melaksanakan pengelolaan pendidikan secara efisien serta dapat menyelenggarakan proses pembelajaran yang kreatif dan inovatif. Jika pengembangan kemampuan ini sudah berhasil dilakukan, maka satuan-satuan pendidikan ini dapat ditingkatkan tahap perkembangan berikutnya, yaitu Tahap Transisional. Keberhasilan satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap ini diukur dengan menggunakan standar pelayanan minimum tingkat sekolah, terutama yang menyangkut ukuran-ukuran out put pendidikan seperti tingkat penurunan putus sekolah, penurunan mengulang kelas, tingkat kemampuan para siswa, tingkat kelulusan, serta tingkat melanjutkan sekolah.

Tahap Transisional (Sekolah Standar Nasional); satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap perkembangan ini adalah yang sudah mampu memberikan pelayanan minimal pendidikan yang bermutu, seperti kemampuan mendayagunakan sumber-sumber pendidikan secara optimal, meningkatnya kreativitas guru, pendayagunaan perpustakaan sekolah secara optimal, kemampuan untuk menambah anggaran dan dukungan fasilitas pendidikan dari sumber masyarakat, dan kemampuan lainnya yang mendukung best practices pelayanan pendidikan pada setiap satuan pendidikan. Jika satuan-satuan pendidikan sudah mencapai Tahap Transisional selanjutnya dapat dinaikan kelasnya ke tahap perkembangan berikutnya, yaitu Tahap Otonom.

Tahap Otonom (Sekolah Standar Internasional); satuan-satuan pendidikan yang sudah mencapai tahap perkembangan ini dapat dikategorikan sebagai tahap penyelesaian

capacity building menuju profesionalisasi satuan pendidikan menuju pelayanan pendidikan

yang bermutu. Jika sudah mencapai Tahap Otonom, setiap satuan pendidikan sudah mampu memberikan pelayanan di atas SPM sekolah (yaitu Standar Kompetensi Minimal) dan akan bertanggung jawab terhadap klien serta stake-holder pendidikan lainnya.

Dari tahap-tahap perkembangan tersebut, capacity building dilakukan dengan strategi yang berbeda-beda antara kelompok satuan pendidikan satu dengan satuan pendidikan lainnya. Strategi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Terhadap kelompok satuan pendidikan pada Tahap Pra-formal, strategi capacity

building dilakukan umumnya melalui upaya melengkapi satuan-satuan pendidikan

dengan sarana-prasarana pendidikan sesuai dengan kebutuhan mereka secara minimal tetapi memadai untuk dapat mencapai Tahap perkembangan berikutnya.

(26)

dapat ditingkatkan ke tahap perkembangan berikutnya, yaitu Tahap Transisional.

3. Terhadap satuan-satuan pendidikan yang sudah mencapai Tahap Transisional, perlu dikembangkan sistem manajemen berbasis sekolah yang didukung oleh partisipasi masyarakat dalam pendidikan serta mekanisme akuntabilitas pendidikan melalui fungsi Komite Sekolah. Jika manajemen berbasis sekolah, partisipasi masyarakat dan akuntabilitas pendidikan dapat dikembangkan, maka satuan-satuan pendidikan sudah dapat dinaikan kelasnya ke Tahap Otonom.

4. Strategi yang sangat mendasar dalam capacity building adalah pengembangan sistem indikator yang dapat mengukur ketercapaian standar teknis dan standar pelayanan minimal di setiap satuan pendidikan. Sistem indikator ini perlu didukung oleh sistem pendataan pendidikan yang akurat, relevan, lengkap dan tepat waktu agar setiap saat dapat diukur dilakukan monitoring terhadap tahap perkembangan yang sudah dicapai oleh masing-masing satuan pendidikan. Sistem pendataan ini harus dilakukan sejak tingkat satuan pendidikan, kecamatan, kabupaten/ kota, propinsi sampai dengan tingkat nasional.

H. PENUTUP

(27)

SEKOLAH SEBAGAI SUATU

SISTEM

A. PENDAHULUAN

Sekolah adalah salah suatu lembaga yang didirikan dengan tujuan untuk mencerdaskan bangsa. Di dalam sekolah itulah warga masyarakat yang disebut peserta didik belajar berbagai hal yang bekaitan dengan persoalan kehidupan, mulai dari belajar membaca, berhitung, kecakapan hidup, moral, agama dan lain sebagainya. Di dalam lembaga ini, mereka bukan saja belajar tetapi juga dididik dengan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, dan bermanfaat bagi keluarga serta masyarakat di lingkungannya yang lebih luas lagi. Peserta didik belajar sesuai dengan usia dan tahap perkembangan dirinya, sehingga sekolah perlu merancang pembelajaran yang sistematis, kurikulum yang sesuai. Pelaksanaan pembelajaran di sekolah memerlukan pengaturan antara lain seperti membuat jenjang-jenjang pendidikan. Dengan begitu, peserta didik diharapkan dapat menjadi warga masyarakat yang baik, menjadi generasi penerus yang amanah, cerdas secara intelektual, cerdas secara emosional dan cerdas pula secara spiritual. Pada gilirannya, mereka diharapkan akan menjadi pencipta peradaban. Dan dengan peradaban itu suatu kelompok masyarakat atau yang lebih luas lagi yaitu bangsa mengekspresikan jati dirinya di tengah pergaulan dunia.

(28)

jika kita menyadari bahwa di negeri kita masih banyak daerah/masyarakat tertinggal, terpencil dan terabaikan. Padahal, mereka mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pelayanan pendidikan. Pada milinium ketiga, sekolah berada dalam suatu kompleksitas yang sangat menetukan maju mundurnya bangsa. Kita berada di simpang jalan yang berujung kepada kejayaan atau kenestapaan. Menyadari kompleksitas ini sekolah tidak lagi bisa dibedah dari faktor tunggal, tetapi sekolah harus dikaji dari berbagai keterkaitan yang ikut berperan di dalamnya, baik yang terlihat fisiknya seperti gedung, guru, kepala sekolah tetapi juga dari unsur-unsur yang tidak dapat dilihat secara fisik seperti kurikulum, kepemimpinan dan partisipasi masyarakat. Hal-hal yang kelihatan ujudnya dan yang tidak kelihatan ujudnya itu saling bergumul dalam sekolah, saling terkait, saling mempengaruhi baik secara sendiri-sendiri ataupun secara bersama-sama. Mengikuti jalan pikiran seperti ini berarti kita harus melakukan pendekatan sistem pada apa yang disebut sekolah tersebut.

Menyadari kompleksitas pendidikan sebagaimana dipaparkan di atas, komite sekolah perlu memahami keberadaan suatu sekolah sebagai suatu sistem. Sistim tidak sama dengan sistem. Sistim adalah cara mengerjakan sesuatu dan sistem adalah suatu kesatuan yang utuh. Kita sering mendengar kata-kata “mengetik sistim sepuluh jari”. Artinya cara mengetik di mana si pengetik menggunakan semua jari tangan yang jumlahnya sepuluh untuk mengetik. Contoh lain adalah pembelian kendaraan dengan sistim kredit. Artinya, membeli kendaraan yang pembayarannya dilakukan dengan cara ansuran. Lain halnya dengan sistem. Misalnya sistem pemerintahan. Artinya satu kesatuan unsur-unsur pemerintahan (ada presiden, wakil presiden, menteri, gubernur dan lain-lain) yang secara utuh bekerja menjalankan roda pemerintahan. Dalam suatu sistem tertentu (sebagai suatu kesatuan yang utuh) ada sistim (cara) mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu dalam memahami sistem orang tidak dapat melepaskan diri dari sistim (cara bekerja) itu sendiri. Di bawah ini akan didiskusikan pengertian sistem, jenis-jenis sistem, sekolah sebagai suatu sistem, dan kinerja sistem.

B. PENGERTIAN SISTEM

1. Sistem dan Subsistem

“System is an assemblage of elements comprising a whole with each element

related to other elements”(http://en.wikipedia.org/wiki/system). Dengan kata lain,

“Sistem adalah kumpulan bagian-bagian yang membentuk suatu kesatuan yang utuh, di mana setiap bagian berkaitan dengan bagian-bagian lain”. Dijelaskan lebih lanjut bahwa “any element which has no relationship with any other element of the

system cannot be a part of that system”. Bahwa setiap bagian yang tidak memiliki

(29)

unik (khas tidak sama dengan pekerjaan yang dikerjakan oleh bagian-bagian lain) namun secara harmonis bekerja sama dengan bagian-bagian lain dalam rangka mencapai tujuan bersama. Setiap bagian dari sistem dengan seluruh perangkatnya bekerja dengan otonomi penuh namun memiliki saling ketergantungan dengan bagian-bagian lain dalam rangka mencapai kepentingan (tujuan) yang lebih besar.

Demikianlah pengertian yang sudah sering kita pahami selama ini. Roda sepeda adalah sebuah unsur dari satu kesatuan sepeda sebagai satu sistem. Sadel sepeda itu juga merupakan unsur lainnya. Demikian juga dengan stang sepeda itu. Unsur-unsur yang membentuk sepeda itu saling terkait dan saling pengaruh mempengaruhi. Tidak berfungsinya salah satu unsur dalam sistem tersebut, akan mempengaruhi keseluruh fungsi suatu sistem.

Tuhan Yang Maha Kuasa menciptakan mahluk ciptaannya secara sistemik. Jagad raya yang diciptakan-Nya adalah suatu sistem yang maha kompleks. Salah satu sistem di dalam jagad raya itu adalah sistem tata surya (solar system). Bumi adalah satu subsistem dalam sistem tata surya itu. Bumi pun juga merupakan suatu sistem. Manusia, yang menempati bumi itu adalah sebuah subsistem. Manusia pun juga sebagai sistem. Manusia menciptakan pendidikan untuk kelangsungan hidupnya. Pendidikan juga merupakan suatu sistem yang tidak kalah kompleksnya. Sekolah merupakan suatu subsistem pendidikan. Sekolah juga merupakan suatu sistem. Sampai dengan sel yang hanya dapat kita lihat dengan mikroskop adalah juga suatu sistem tersendiri.

Walhasil, apa yang ada di dalam jagad raya ini merupakan suatu sistem. Yang akan dibahas dalam modul ini adalah sekolah sebagai suatu sistem.

Sekolah sebagai suatu sistem terdiri atas beberapa unsur, yang masing-masing unsur mempunyai hubungan yang saling kait mengait, tidak dapat dipisahkan, serta saling pengaruh mempengaruhi, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Definisi tersebut sejalan dengan pengertian yang tercantum dalam pasal 1 butir 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah menyatakan bahwa:

”Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional”

(30)

sistem pendidikan nasional. Dalam pada itu sekolah terdiri dari subsistem. Supra sistem pendidikan nasional terdiri dari bukan saja sekolah tetapi di sana ada Dinas Pendidikan, ada Direktorat-direktorat, ada madrasah dan lain-lain. Di samping itu, sekolah sendiri terdiri dari unsur-unsur yang berbentuk sistem yang lebih kecil, seperti subsistem administrasi sekolah, perpustakaan sekolah, laboratorium, dan lain-lain. Unsur-unsur seperti disebutkan di atas merupakan sistem tersendiri yang juga mempunyai komponen-komponen yang saling kait mengait satu sama lain.

2. Sistem Terbuka dan Sistem Tertutup

Dengan paparan seperti di atas, sistem dapat dipahami sebagai sistem terbuka atau sistem tertutup.

Sistem terbuka adalah sistem yang secara aktif saling berinteraksi dengan lingkungannya. Sistem ini secara aktif memperoleh masukan dari lingkungan dan secara aktif pula menghasilkan dan menyampaikan kinerja sistem kepada lingkungannya. Kata kunci dalam sistem terbuka adalah adanya saling berinteraksi antara sistem tersebut dengan lingkungan di sekitarnya. Sebagai contoh adalah sekolah itu sendiri. Sekolah mendapat masukan dari lingkungan antara lain berupa guru dan siswa. Guru dan siswa berasal dari lingkungan sekolah yang disebut dengan masyarakat. Kemudian hasil belajar berupa siswa yang sudah terdidik akan dikembalikan kemasyarakat. Demikian juga masukan-masukan lainnya seperti dana (dari pemerintah dan orang tua) ini berasal dari lingkungan. Masyarakat atau lingkungan lain seperti dunia industri pemerintahan akan menerima hasil pendidikan dari sekolah. Sehingga ada interaksi yang kuat antara sekolah dengan lingkungannya. Interaksi seperti ini merupakan cerminan dari suatu sistem terbuka, yaitu sekolah secara erat menerima masukan dan menyampaikan keluaran dari dan kepada lingkungannya. Oleh karena itu mutu sekolah, keberlangsungan sekolah sangat tergantung pada kekuatan interaksi antara sekolah dengan lingkungannya. Dengan demikian Komite Sekolah sebagai salah satu unsur sistem tersebut harus dapat menjalankan fungsi dan perannya dalam menjaga kualitas interaksi antara sekolah dan lingkungannya. Sistem terbuka ini secara relatif bekerja secara berkelanjutan sampai dia digantikan oleh sistem lain yang lebih baik. Misalnya ada sekolah yang kemudian karena tidak dapat bersaing dengan sekolah lain kemudian sekolah itu tutup.

(31)

karena itu sistem seperti ini tidak dikembangkan dalam sistem sosial, karena rendah sekali manfaatnya dan pada umumnya berusia sangat pendek dan tidak berkelanjutan. Sistem ini mengabaikan pengaruh lingkungan terhadap dirinya. Penjelmaan sistem ini dalam masyarakat adalah sistem yang otoriter yang tidak mau mempertimbangkan masukan-masukan dari lingkungan yang dilayaninya dan lingkungan yang melayaninya.

3. Ciri-ciri Sistem Terbuka

Sistem terbuka memiliki delapan ciri yang merupakan kekhasan sebuah sistem. Pada umumnya pada sebuah sistem kedelapan ciri ini tidak sama kuatnya, namun sebagai sistem yang baik dia harus dapat mempertahankan ciri-ciri seperti di bawah ini.

a. Memiliki Tujuan

Sekolah sebagi suatu sistem pasti punya tujuan, tujuan kenapa sekolah itu didirikan. Tujuan adalah semua yang ingin dicapai oleh sekolah dalam jangka waktu tertentu. Kalau sekolah tersebut milik yayasan, tentu tujuan itu sesuai dengan keinginan semula yang dicetuskan oleh para pendiri yayasan. Agar supaya sekolah dapat bekerja dengan baik maka tujuan ini harus jelas bagi semua unsur yang ada dalam sekolah. Misalnya kepala sekolah, guru, siswa, orangtua memahami dan sepakat dengan apa yang menjadi tujuan sekolah. Tujuan yang tidak jelas dan tidak dipahami oleh unsur sekolah akan menimbulkan konflik dalam sekolah karena sekolah akan menjadi tempat yang subur bagi interes pribadi. Dari mana tujuan ini diturunkan? Tentu dari visi dan misi sekolah. Di ruang kepala sekolah atau ruang guru atau bahkan di ruang kelas biasanya terpampang dengan jelas apa yang menajdi visi dan misi sekolah. Visi, Misi dan Tujuan ini harus disepakati dan dipahami oleh semua unsur sekolah, termasuk oleh ketua Komite Sekolah.

b. Peka terhadap lingkungan

(32)

harapan bahwa para lulusan harus segera dapat bekerja. Sekolah yang tadinya memiliki lingkungan yang tenang, aman sekarang di sekitarnya sudah berubah menjadi jalan tol atau menjadi mall yang bisa mengganggu proses belajar siswa. Banyak lagi faktor-faktor lingkungan yang perlu mendapat perhatian sekolah.

c. Otonomi dan interdependensi

Sistem yang terdiri bagian-bagian itu secara fungsional bekerja sendiri-sendiri melaksanakan tugasnya sesuai dengan perangkat-perangkat yang ada di dalam bagaian tersebut. Bagian-bagian itu dapat saja merupakan rajutan yang sederhana dan juga bisa kompleks. Sebagai bagian dari sistem (disebut juga subsistem) dia melaksanakan tugasnya secara ajeg dan unik selayaknya suatu lembaga yang memiliki otonomi yang penuh. Di sisi lain, setiap subsitem dalam suatu sistem memiliki saling ketergantungan/keterkaitan dengan sistem lain dalam arti input dan output. Subsistem tertentu menerima input dari subsistem lain dan sekaligus menyampaikan output kepada subsistem lain lagi. Keterkaitan ini dapat berbentuk keterkaitan sekuensial, reciprocal, atau mediasi

d. Memiliki daya tahan

Keberlangsungan hidup sekolah sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya daya tahan sekolah sebagai suatu sistem dalam mepertahankan kehidupannya. Dalam perjalanannya, sekolah itu akan menemui bebagai persoalan. Banyak masalah-masalah yang dihadapi sekolah, apalagi dalam era pembangunan yang menuntut pelayanan yang lebih baik, lebih cepat dan lebih sempurna. Misalnya masalah guru baik jumlah maupun mutu guru, dan bahkan kesejahteraan mereka. Belum lagi ketersediaan sarana dan prasarana belajar siswa. Jika sekolah tidak dapat mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya sekolah akan terpuruk. Orangtua siswa akan meninggalkan sekolah tersebut dan berpindah menyekolahkan anaknya di sekolah lain yang lebih baik. Oleh karena itu, pengelolan sekolah menjadi agenda penting dalam meningkatkan daya tahan sekolah. Dalam hal ini tentu peran dan fungsi komite sekolah menjadi sangat penting. Dalam melaksanakan fungsi

advisorynya, Komite sekolah dapat memberikan saran-saran yang konkrit

(33)

e. Mapan

Ciri lain dari sistem terbuka adalah kemapanan. Sistem yang mapan adalah sistem yang tidak mudah rapuh. Sistem ini amat kokoh dalam menghadapi segala rintangan dalam rangka mencapai tujuannya. Dia ajeg dalam melaksanakan misinya tidak mudah guncang dalam melaksanakan fungsi dan perannya. Dalam sistem sosial, keajegan ini dibangun oleh kejelasan tujuan, kejelasan pembagian kerja, kejelasan tugas dan tanggung jawab komponen-komponen yang membentuk sistem tersebut. Di samping koordinasi dan integrasi, sistem yang mapan tertata sedemikian rupa sehingga tidak ada pekerjaan yang duplikasi atau tugas-tugas yang tidak dilaksanakan karena mengira sudah dikerjakan oleh bagian/komponen lain. Sistem yang mapan adalah sistem yang sehat sebagai mana sekolah yang sehat dalam arti yang luas. Komite sekolah sebagai bagian dari sistem sekolah seyogyanya dapat ikut serta menciptakan kemapanan sekolah sebagai suatu sistem dalam rangka meningkatkan pelayanan sekolah kepada masyarakat.

f. Tumbuh

Sistem yang sehat seperti diuraikan di atas adalah sistem yang dapat tumbuh dan berkembang. Seperti tubuh manusia, sekolah yang sehat adalah sekolah yang dapat tumbuh menjadi lebih sempurna. Di dalam sistem itu terjadi proses pertumbuhan. Administrasi sekolah menjadi lebih tertib. Ruang kelas semakin mencukupi kebutuhan jumlah siswa yang tertampung. Buku-buku semakin lengkap, mutu pelayanan sekolah semakin baik. Dan tidak kurang pentingnya adalah iklim sekolah semakin kondusif bagi efektifnya proses pembelajaran. Ciri adanya pertumbuhan ditandai dengan semakin meningkatnya kapasitas sekolah dalam menanggulangi persoalan-persoalan yang dihadapi sekolah baik masalah internal maupun masalah-masalah eksternal. Hal ini juga dicirikan oleh adanya perangkat-perangkat yang ada dalam sekolah menjadi semakin lengkap yang diikuti dengan penataan sistem pegelolaan baik aset maupun sumberdaya lainnya.

g. Seimbang

(34)

kekurangan guru. Bayangkan dalam tubuh kita sendiri apabila mata kiri tumbuh lebih besar dan lebih cepat dari pertumbuhan mata kanan, kita akan menjadi monster yang mengerikan. Atau istilah kedokteran yang sering kita dengar adalah adanya kanker, yaitu sel-sel yang tumbuh lebih cepat sehingga memakan sel-sel yang lain. Dengan demikian keseimbangan harus dijaga sebaik mungkin. Hal ini dapat antara lain dilakukan dengan perencanaan dan kontrol. Bertambah besar itu belum tentu menjadi lebih baik. Tetapi keseimbangan itu adalah indah. Oleh karena itu kita harus menghindari sesuatu yang berlebihan, karena yang berlebihan itu akan mengakibatkan ketidakseimbangan.

h. Umpan Balik

Ciri penting lainnya dari suatu sistem adalah ”Umpan Balik”. Umpan balik adalah suatu informasi yang disediakan oleh suatu sistem agar sistem tersebut berjalan sesuai dengan tujuan. Umpan balik ini bukan saja memberitahukan dikala sistem berjalan dengan baik (positive feedbacks), tetapi juga manakala sistem tidak atau kurang berjalan dengan dengan baik (negative feedbacks). Pada keadaaan normal umpan balik ini dirancang agar dapat berjalan secara otomatis memberikan koreksi terhadap penyimpangan kinerja sistem. Contoh yang sederhana adalah tubuh manusia. Apabila tubuh manusia diserang virus, maka langsung tubuh diberitahu dengan adanya rasa demam misalnya. Demam merupakan informasi bahwa tubuh dalam keadaan tidak berfungsi dengan normal (umpan balik). Kemudian sistem pertahanan tubuh akan secara langsung merespon kehadiran virus itu dengan mengerahkan daya tahan tubuh melawan virus tersebut sampai virus itu mati dan fungsi tubuh kembali pada keadaan normal.

4. Daur Hidup (Siklus) Sistem

(35)

karena misalnya sekolah itu sudah dimerger dengan sekolah lain. Sekolah sebagai suatu sistem akan selalu diuji kemampuan beradaptasinya dengan perubahan lingkungan. Sistem yang mampu beradaptasi dengan baik maka dia akan survive

dan mereka yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan akan mati. Sehingga untuk mempertinggi kemampuan sekolah beradaptasi dengan lingkungan maka sekolah harus dapat mengenali lingkungan disekitar sekolah.

C. PENDEKATAN SISTEM

Pendekatan sistem adalah salah satu cara penanganan masalah dari sekian banyak cara untuk menangani masalah atau mencapai seperangkat tujuan yang telah ditetapkan. Orang yang menggunakan pendekatan ini biasa disebut system analyst. Pendekatan sistem meyakini bahwa suatu masalah itu tidak eksklusif atau berdiri sendiri khususnya pada masalah-masalah sosial. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa masalah selalu berkaitan dengan komponen-komponen lain dalam sebuah sistem. Sebagai sistem analis atau orang yang menganalisa masalah dengan menggunakan sistem, akan selalu mengkaji setiap persoalan dari berbagai sisi yang mungkin terkait dengan permasalahan yang sedang dihadapi. Sehingga penanganan suatu masalah menurut pendekatan ini harus diselesaikan secara komprehensif, agar dapat secara tuntas diselesaikan. Dalam hal ini, suatu masalah tidak diselesaikan secara parsial, tetapi masalah harus diselesaikan secara tuntas dan menyeluruh. Misalnya, rendahnya motivasi guru dalam satu sekolah mungkin disebabkan oleh beberapa faktor misalnya karena gaya kepemimpinan kepala sekolah yang otoriter, mungkin juga karena kepuasan kerja yang rendah dan lain sebaginya atau mungkin gabungan dari berbagai unsur. Unsur-unsur tersebut mungkin internal atau eksternal sekolah. Sehingga siapapun yang ingin menanggulangi masalah perlu mengidentifikasi unsur-unsur yang terkait dengan permasalahan tersebut. Dalam pendekatan ini, sangat ditekankan agar setiap orang mengetahui perbedaan antara masalah dengan fenomena masalah. Fenomena masalah adalah apa saja yang muncul akibat adanya masalah sedangkan masalah itu sendiri adalah kesenjangan yang terdapat dalam sistem itu sendiri.

D. SEKOLAH SEBAGAI SUATU SISTEM

Sekolah sebagai suatu sistem mempunyai dua macam lingkungan yaitu, lingkungan khusus dan lingkungan umum.

1. Lingkungan Khusus

(36)

proses transformasi, maupun lingkungan sebagai pengguna output dari suatu hasil proses transformasi. Berbicara mengenai lingkungan sekolah maka konotasi yang melekat adalah faktor-faktor eksternal di luar sistem. Misalnya orang tua siswa, Dinas pendidikan, Pemerintah Daerah dan lain sebagainya.

Lingkungan khusus adalah semua faktor di luar sekolah yang dapat berpengaruh langsung terhadap sekolah. Misalnya pemerintah, sebagai lingkungan khusus pemerintah telah memberikan dana BOS. Pemberian BOS ini akan dirasakan pengaruhnya secara langsung oleh sekolah. Lihat adanya 13 hal yang bisa digunakan dengan dana BOS di sekolah. Contoh lain adalah orangtua siswa. Jika orangtua siswa menuntut adanya sekolah gratis, maka dampaknya langsung dirasakan oleh sekolah. Misalnya sekolah tidak lagi diperkenankan melakukan pungutan dari orangtua siswa. Jadi lingkungan khusus sekolah akan berpengaruh langsung terhadap sekolah.

2. Lingkungan Umum

Selain unsur yang berpengaruh langsung terhadap sekolah, ada unsur-unsur lingkungan yang tidak berpengaruh langsung kepada sekolah. Misalnya kondisi ekonomi, kondisi ekonomi berpengaruh tidak langsung kepada sekolah. Kondisi ekonomi berpengaruh langsung kepada lingkungan khusus. Jadi kondisi ekonomi berpengaruh langsung terlebih dahulu kepada kemampuan finansial orangtua siswa, baru kemampuan finansial orangtua siswa berpengaruh kepada sekolah.

Sekolah sebagai suatu sistem terdiri atas beberapa unsur, yang antara satu unsur dengan unsur lainnya saling berkaitan dan saling pengaruh mempengaruhi. Sebagai contoh, kepala sekolah adalah salah satu unsur sekolah. Kepala sekolah akan berhubungan secara timbal balik dengan unsur-unsur lain di sekolah itu. Kinerja sekolah akan dipengaruhi oleh kinerja para guru yang mengajar di sekolah itu. Demikian juga sebaliknya.

Sekolah sebagai suatu sistem terdiri atas beberapa unsur sebagai berikut:

a. Peserta didik (anak didik, siswa);

b. Kepala sekolah;

c. Pendidik atau guru;

d. Staf tata usaha;

e. Kurikulum;

f. Fasilitas pendidikan lainnya.

(37)

a. Unsur masukan kasar (raw input) adalah peserta didik yang mengikuti proses pembelajaran, dengan latar belakang sosial-ekonomis-budaya, dan kesiapan akademisnya.

b. Unsur masukan instrumental (instrumental input), meliputi:

1) kepala sekolah;

2) pendidik atau guru;

3) kurikulum, dan;

4) fasilitas pendidikan.

c. Unsur masukan lingkungan (environmental input), meliputi:

1) alam (geografis, demografis)

2) sosial, ekonomi, kebudayaan.

d. Proses pendidikan (process) merupakan interaksi edukatif, atau proses belajar mengajar, proses pembelajaran, menggunakan metode dan media pembelajaran atau alat peraga yang diperlukan.

e. Output atau keluaran, yaitu berapa siswa yang tamat dan atau lulus dari

sekolah tersebut.

f. Outcomes atau hasil, misalnya berapa siswa yang melanjutkan ke jenjang

pendidikan yang lebih tinggi, berapa yang dapat memperoleh lapangan kerja, dsb..

Unsur-unsur sekolah sebagai suatu sistem dapat dijelaskan dalam bagan sebagai berikut:

Peserta

Didik

PROSES

OUTPUT OUTCOMES

GURU, KURIKULUM, FASILITAS PENDIDIKAN

ALAM: Geografis

SOSEKBUD: Demografis

(38)

Dari bagan tersebut dapat dijelaskan bahwa proses pendidikan memang akan dipengaruhi oleh masukan, baik masukan kasar, masukan instrumental, maupun maupun masukan lingkungan (lingkungan umum dan khusus). Sementara proses pendidikan akan mempengaruhi keluaran (output) maupun hasil pendidikan

(outcomes) yang diharapkan.

Namun perlu dipahami bahwa hasil pembangunan pendidikan yang terlalu berorientasi kepada masukan (input) ternyata tidak sesuai dengan harapan. Banyak fasilitias pendidikan yang telah diadakan, telah banyak guru yang telah ditatar atau mengikuti pelatihan, banyak buku yang telah diterbitkan, dan kurikulum pun selalu disempurnakan. Namun apa hasilnya? Gedung sekolah masih banyak yang rusak, mutu pendidikan (secara rata-rata) masih rendah. Berdasarkan analisis tersebut, ada kemungkinan hal itu terjadi karena proses pendidikan, apa yang terjadi di dalam ruang kelas masih belum banyak memperoleh perhatian kita. Kini, proses pendidikan yang terjadi di ruang kelas itulah yang seyogyanya kini lebih memperoleh perhatian kita.

E. KINERJA SEKOLAH SEBAGAI SUATU SISTEM

Kinerja sekolah dapat dilihat dari apa yang dihasilkan sekolah baik yang bersifat akademik maupun nonakademik, baik yang mudah diukur sampai dengan yang sulit diukur. Kinerja yang mudah diukur misalnya adalah prestasi akademik siswa. Prestasi ini dapat dilihat dari nilai raport siswa, atau nilai ujian nasional. Prestasi non akdemik siswa sulit diukur, karena kita baru bisa mengetahui prestasi akademik siswa misalnya pada saat terjadi tawuran antarsiswa. Memang prestasi nonakademik seperti perilaku santun siswa itu sulit diukur dan tersembunyi dalam diri siswa masing-masing. Merancang pengukuran prestasi akademik ini tidak semudah merancang tes untuk mengukur prestasi akademik. Kinerja sekolah ditentukan oleh kinerja semua unsur sekolah. Keberhasilan sekolah tidak ditentukan oleh kinerja kepala sekolah saja, juga bukan oleh kinerja pendidiknya saja, atau juga bukan karena gedungnya yang megah, juga bukan karena fasilitasnya yang lengkap, melainkan oleh sinergi yang dibangun dari semua unsur sekolah.

Terdapat enam unsur yang menentukan kinerja suatu sekolah:

1. kepemimpinan kepala sekolah;

2. iklim sekolah;

3. kurikulum;

4. pendidik;

5. peserta didik;

6. penilaian.

(39)

tersebut, kinerja sistem dapat dicermati pada beberapa hal antara lain sebagi berikut. 1. Hasil nilai rata-rata tiga tahun terakhir permata pelajaran yang diujikan pada ujian

nasional.

No. Mata pelajaran UN 2010 2011 2012 1.

2. 3. 4.

2. Tingkat putus sekolah tahunan

Tingkat putus sekolah tahunan dihitung dengan rumus sebagai berikut.

PS = Mt0 - Mt+1 + MB – L

Keterangan:

PS = putus sekolah

Mt0 = Jumlah murid pada tahun sekarang

Mt+1 = Jumlah murid tahun berikutnya MB = Jumlah murid baru

L = Jumlah murid yang lulus

3. Persentase siswa yang lulus

Persentase siswa yang lulus dihitung dengan membagi jumlah siswa yang lulus dengan jumlah siswa pada kelas tertinggi.

4. Kohort lulusan dalam tiga tahun terakhir.

Input awal

Th.I 1000 Th. II 990 Th. III 975

Th. IV Lulus 910 91%

Peran Komite Sekolah Dalam Peningkatan Kinerja Sekolah

(40)

instrumental (instrumental input), dalam sistem tersebut juga terdapat masukan yang tidak kalah pentingnya, yakni masukan lingkungan (environmental input) yang antara lain adalah kondisi sosial-ekonomi-budaya, dan bahkan termasuk keamanan lingkungan sekolah. Dalam konteks ini, faktor orangtua dan masyarakat juga memegang peranan yang amat penting dalam peningkatan mutu pendidikan. Orangtua dan masyarakat serta unsur pemangku kepentingan (stakeholder) merupakan masukan lingkungan yang ikut berpengaruh terhadap kinerja sekolah sebagai suatu sistem (Suparlan, 2005: 61).

Kasus

Berikut ini beberapa kasus yang dapat digunakan sebagai bahan diskusi:

a. Sering kita dengar pernyataan yang menegaskan bahwa wajah sekolah tergambar pada kepala sekolahnya. Sejauh mana kebenaran pernyataan tersebut dikaitkan dengan topik yang sedang dibahas, yaitu sekolah sebagai suatu sistem.

b. Para ahli manajemen sering menggunakan perumpamaan pertandingan sepak bola untuk menunjukkan perlunya sinergi antara semua unsur yang terlibat dalam proses organisasi dan manajemen. Perumpamaan tersebut melahirkan istilah

to-tal football management. Dapatkah perumpamaan tersebut dianalogikan dengan

proses organisasi dan manajemen di sekolah?

F. PENUTUP

Sekolah dapat dipandang sebagai suatu sistem terbuka (open system), yaitu suatu entitas yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian yang mempunyai fungsi sendiri-sendiri namun saling mempunyai ketergantungan satu sama lain. Sistem tercipta untuk mencapai tujuan atau seperangkat tujuan tertentu. Tujuan sistem adalah menciptakan nilai baik nilai yang baru atau nilai tambah. Penciptaan nilai tersebut dicapai melalui suatu proses transformasi dari input menjadi output yang kedua-duanya berasal dari lingkungan dan kembali kepada lingkungan. Bagian-bagian dari sekolah antara lain adalah siswa, kepala sekolah, tenaga kependidikan, kurikulum dan lain sebagainya. Dalam mencapai tujuannya sistem sering menghadapi masalah yang pemecahannya perlu menggunakan pendekatan sistem (system approach atau system thinking). Pandangan ini mengharuskan bahwa masalah yang dihadapi sekolah harus selalu dilihat secara utuh dan menyeluruh dan tidak dipecahkan secara parsial atau sendiri-sendiri. Sekolah harus beradaptasi dengan lingkungannya, baik lingkungan khusus maupun lingkungan umum. Sekolah yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan akan tersingkir dari lingkungannya dan lama-lama menjadi punah. Pendekatan ini juga berkeyakinan bahwa apabila satu bagian dari sekolah mengalami masalah maka masalah tersebut akan mengganggu kinerja bagian yang lain. Masalah yang ada harus segera dicari jalan keluarnya dan tidak dibiarkan berlarut-larut sehingga menjadi masalah yang kompleks atau tidak membiarkan problem menjadi problematika.

(41)
(42)
(43)

STANDAR PELAYANAN

MINI-MAL (SPM) PENDIDIKAN

DASAR DI SATUAN

PENDIDI-KAN

A. PENDAHULUAN

Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 51 ayat 1 ditegaskan bahwa pengelolaan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah. Kemudian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan tegas menyatakan bahwa bidang pendidikan merupakan salah satu urusan wajib kabupaten/kota. Adapun ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian kewenangan antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota telah dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007. Dalam PP ini dinyatakan bahwa dalam menjalankan urusan wajib yang didesentralisasikan, pemerintah kabupaten/kota mengacu pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan Pemerintah.

Lebih lanjut berdasarkan PP Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM dinyatakan, Pemerintah wajib menyusun SPM untuk urusan wajib pemerintahan yang merupakan pelayanan dasar yang pelaksanaannya akan dilakukan secara bertahap. Dalam rangka memenuhi amanat peraturan perundangan tersebut Kementerian Pendidikan Nasional telah menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 15 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota dengan tujuan untuk peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan SD/MI dan SMP/ MTs.

Gambar

Tabel 1: Pergeseran Tujuan Pendidikan Nasional dan Analisis Faktor Perubahan
• Gambar• Studi kasus

Referensi

Dokumen terkait

Standar Pelayanan Minimal Sebagai Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar (Laporan Penelitian Potensi Daerah Th 2009) oleh : Prof. Anik Gufron, dkk) Standar proses terdapat beberapa

Maksud disusunnya Standar Pelayanan Minimal BPPTD Tegal adalah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib

Dalam SPM Rumkit Tk.. Standar Pelayanan Minimal adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh

Melalui paradigma Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), sekolah diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengurus dan mengatur pelaksanaan pendidikan pada masing-masing sekolah,

pemerintah daerahsebagai dasar untuk memberikan pelayanan perkotaan bagimasyarakat. SPP adalah standar pelayanan minimal kawasanperkotaan, yang sesuai dengan fungsi kawasan

pemerintah daerahsebagai dasar untuk memberikan pelayanan perkotaan bagimasyarakat. SPP adalah standar pelayanan minimal kawasanperkotaan, yang sesuai dengan fungsi kawasan

 Anggaran untuk melaksanakan standar pelayanan minimal wajib disediakan secara cukup untuk menjamin kebutuhan setiap warga negara yang membutuhkan pelayanan dasar tersebut

bahwa guna menerapkan Standar Pelayanan Minimal untuk pemenuhan Jenis Pelayanan Dasar dan Mutu Pelayanan Dasar yang berhak diperoleh setiap Warga Negara pada