• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggabungan (Merger) Perseroan Terbatas Di Indonesia Dan Dampaknya Terhadap Pekerja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggabungan (Merger) Perseroan Terbatas Di Indonesia Dan Dampaknya Terhadap Pekerja"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN PENGGABUNGAN PERSEROAN TERBATAS DALAM HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIA

A.Sejarah Pengaturan Penggabungan (Merger) Perseroan Terbatas

Di Indonesia sejarah hukum tentang penggabungan juga masih terbilang

baru. Dalam tingkat undang-undang, pengaturan tentang penggabungan di

Indonesia baru dimulai sejak berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1995

tentang Perseroan Terbatas. Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun

1995 Tentang Perseroan Terbatas tersebut tidak berarti tindakan penggabungan

perseroan terbatas tidak dilakukan di Indonesia. Tindakan penggabungan

perusahaan di Indonesia sudah dimulai dilakukan sudah sejak lama, jauh sebelum

Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 berlaku. Pelaksanaan penggabungan

perusahaan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 Tentang

Perseroan Terbatas berdasarkan pada dasar hukum sebagai berikut:66

1. Dasar Hukum Kontraktual

Ada dua macam ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUHPerdata) khususnya buku ke-III yang berlaku terhadap suatu penggabungan,

yaitu sebagai berikut:

1. Ketentuan tentang perikatan pada umumnya

Dalam KUHPerdata tidak diatur secara khusus mengenai perjanjian

penggabungan ini. Tidak ada satu pasalpun dalam KUHPerdata yang

berbicara tentang perjanjian penggabungan. Akan tetapi dalam

66

(2)

KUHPerdata vide buku-III terdapat ketentuan umum tentang perikatan

yang diberlakukan terhadap setiap jenis perjanjian, termasuk perjanjian

penggabungan. Ketentuan umum mengenai perikatan ini diatur mulai

dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1456 KUHPerdata.

2. Ketentuan tentang perjanjian jual-beli

Dalam suatu kesepakatan penggabungan antara perseroan terbatas

seringkali (walaupun tidak selamanya) dalam teknik pelaksanaan

diperlukan juga adanya jual-beli saham. Itu sebabnya Pasal 11

Keputusan Menteri Keuangan No. 222/KMK.017/1993 tentang

Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank,

ditentukan bahwa salah satu dokumen yang harus dilampirkan dalam

mengajukan permohonan untuk memperoleh izin penggabungan (izin

tetap) di samping akta perjanjian penggabungan, adalah akta jual-beli

saham.

Dapat ketahui bahwa untuk suatu perjanjian jual-beli, termasuk untuk

jual-beli saham, disamping berlaku ketentuan umum tentang perikatan

yang terdapat di bagian awal dari buku ke-III KUHPerdata, sebagaimana

telah disebutkan di atas, maka berlaku pula ketentuan khusus mengenai

jual-beli, yang terdapat mulai dari pasal 1457 sampai dengan dan

termasuk pasal 1540 KUHPerdata. Teknis pelaksanaan penggabungan

antara dua perseroan terbatas, sering juga dipakai metode inbreng saham

(3)

Dalam hal ini kadang-kadang juga dibuat apa yang disebut “Perjanjian

Inbreng”.

2. Dasar hukum bidang usaha khusus

Perseroan terbatas bidang tertentu yang mempunyai dasar hukum

tersendiri sebelumnya berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang

Perseroan Terbatas. Bidang yang diatur penggabungan secara langsung oleh

perundang-undangan sebelum lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 adalah

perseroan-perseroan bidang perbankan.

Sebelum adanya Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan

Terbatas, penggabungan bank diatur dalam perundang-undangan sebagai berikut:

Untuk penggabungan di bidang perbankan, sudah ada beberapa peraturan

perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu sebagai

berikut:

1. Keputusan Menteri Keuangan No. Kep.614/MK/II/8/1971, mengenai

Pemberian Kelonggaran Perpajakan Kepada Bank-Bank Swasta Nasional yang

Melakukan Penggabungan (Merger);

2. Keputusan Menteri Keuangan No. 278/KMK.01/1989, tanggal 25 Maret 1989,

tentang Peleburan dan Penggabungan Usaha Bank;

3. Surat Edaran Bank Indonesia No. 21/15/BPPP, tanggal 25 Maret, tentang

Peleburan Usaha dan Penggabungan Usaha bagi Bank Umum Swasta Nasional,

(4)

4. Keputusan Menteri Keuangan No. 222/KMK.017/1993, tanggal 26 Februari

1993, tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi

Bank. Keputusan No. 222 ini menggantikan Keputusan No. 278/KMK.01/198.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas merupakan

tonggak sejarah hukum tentang penggabungan. Sebab undang-undang tersebutlah

yang mulai mengatur penggabungan yang cukup komprehensif di tingkat

undang-undang. Dapat dikatakan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tersebut tercatat

dalam sejarah hukum bisnis, sebagai era kepastian hukum bagi tindakan

penggabungan. Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tersebut kemudian diubah dan

digantikan dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas.67

Pada tanggal 16 Agustus 2007, dikeluarkan Undang-Undang No. 40 Tahun

2007 tentang Perseroan Terbatas, sebagai pengganti Undang-Undang No. 1

Tahun 1995.68 Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 160 Undang-Undang

No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi: “pada saat undang

-undang ini mulai berlaku, Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan

Terbatas (lembaran Negara Republik Indonesia No. 13, Tambahan Lembaran

Negara Indonesia No. 3587), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Dasar dan alasan penggantian Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 dengan

Undang-Undang No.40 Tahun 2007, yang dikemukakan dalam konsideran

maupun dalam penjelasan umum, antara lain seperti yang dijelaskan di bawah ini.

67

Munir Fuady, Op. Cit., hal. 20-23. 68

(5)

a. Perekonomian nasional harus diselenggarakan berdasar asas demokrasi ekonomi sesuai dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, dan kesatuan ekonomi nasional.

b. Semua prinsip itu, perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka lebih meningkatkan perkembangan perekonomian nasional sekaligus memberi landasan yang kokoh bagi dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi pada masa mendatang;

c. Perlu diadakan undang-undang yang mengatur tentang Perseroan Terbatas yang dapat mendukung terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif; d. Perseroan Terbatas sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian

nasional, perlu diberi landasan hukum untuk lebih memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama atas dasar kekeluargaan.

Selanjutnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 dipandang sudah tidak

sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena

itu, perlu “diganti” dengan undang-undang yang baru.69

Kesempurnaan pelaksanaan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas, dalam oprasional, masih membutuhkan beberapa peraturan

pemerintah maupun peraturan menteri. Dalam tindakan penggabungan sendiri

peraturan pemerintah yang sudah seperti Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun

1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan.

Pengaturan penggabungan juga diatur pada perusahan bidang tertentu

seperti perbankan diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1998

tentang merger, konsolidasi dan akuisisi bank yang juga tetap melihat peraturan

perundang-undangan di bidang perbankan yaitu Undang-Undang No. 7 Tahun

1992 tentang Perbankan. Pengaturan penggabungan juga diatur dalam hal

perseroan berbentuk Badan Usaha Milik Negara yaitu Undang-Undang No. 19

Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

69

(6)

B.Pengertian Penggabungan (Merger) Perseroan Terbatas dalam Hukum yang Berlaku di Indonesia

Suatu pemahaman tentang pengertian penggabungan yang bersumber baik

dari literatur, maupun dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di

Indonesia, sangat diperlukan sebelum memahami substansi, makna, dan

kompleksitas dari transaksi penggabungan yang bersangkutan. Pemahaman yang

akurat tentang substansi dan makna penggabungan tersebut menjadi sangat

relevan dan absah mengingat terminologi penggabungan (merger) disatu pihak

dan pengambilalihan (akuisisi) di pihak lain sangat erat terkait dan bahkan tidak

jarang dipergunakan secara tukar-menukar. Namun pada dasarnya hasil sturktur

perseroan (antara penggabungan dan akuisi) sangat berbeda. Secara tepat

kerancuan pemakian istilah “penggabungan” dan “akuisisi‟ tersebut dipaparkan

oleh Gary D. Smith, yaitu “althought the terms acquisition and merger are closely

related and sometimes used interchangeably, the resulting company structure

should be distinguished.70

Berbeda dengan pendapat umum para sarjana termasuk ahli keuangan

bisnis, dan hukum yang melihat hasil akhir penggabungan dan akuisisi berbeda,

Ricky W. Griffin dan Ronald J. Ebert yang melihat sisi realitas hasil akhir

penggabungan dan akuisisi mengatakan, bahwa sekalipun banyak peristiwa secara

umum disebut sebagai penggabungan, dalam realitasnya peristiwa-peristiwa

tersebut adalah “akuisisi”. Alasannya, satu dari perusahaan-perusahaan yang akan

selalu merupakan pihak pengendali, lebih dari setengah kepemilikan dari

70

(7)

perushaan kombinasi (penggabungan). Contohnya ketika Daimler-Benz dan

Chrysler bergabung membuat Daimler Chrysler, secara umum disebut sebagai

penggabungan, padahal sebenarnya Daimler yang mengakuisisi Chrysler.71

Terlepas dari kekacauan istilah yang digambarkan diatas, BAB VIII

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, telah mengatur bentuk-bentuk tindakan

restrukturisasi perseroan yang dibenarkan oleh hukum. Terdiri atas

penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan perseroan. Untuk

tindakan penggabungan diartikan:

1. Berdasarkan Pasal 1 ayat (9), Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas, penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan

oleh sautu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan

lain yang telah ada, yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari perseroan yang

menggabungkan diri, beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima

penggabungan, dan selanjutnya status badan hukum perseroan yang

menggabungkan diri berakhir karena hukum.

2. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 57

Tahun 2010 Tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan

Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya

Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, penggabungan adalah

perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu badan usaha atau lebih, untuk

menggabungkan diri dengan badan usaha lain yang telah ada, yang

mengakibatkan aktiva dan pasiva dari badan usaha yang menggabungan diri,

71

(8)

beralih karena hukum kepada badan usaha yang menerima penggabungan, dan

selanjutnya status badan usaha yang menggabungkan diri berkahir karena

hukum.

C.Aspek Hukum Suatu Perjanjian Penggabungan (Merger) Sebagai Alat Bukti

Suatu perjanjian penggabungan dalam penggabungan perusahaan

berbentuk perseroan terbatas (PT) sangat esensial dan besar konstribusi

(sumbangan) hukumnya sebagai alat bukti. Seperti halnya dengan keberadaan

(eksistensi) suatu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam proses

penggabungan yang mutlak harus ada, penggabungan tidak akan direalisasikan

tanpa adanya suatu perjanjian penggabungan. Berdasarkan kedudukan dan fungsi

perjanjian penggabungan tersebut sebagai alat bukti. Undang-Undang No. 40

Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, tidak menyebut keberadaan perjanjian

penggabungan tersebut.

Keberadaan perjanjian penggabungan dapat dilihat pada peraturan

pelaksana berupa Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998 tentang

Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan khususnya Pasal 13, Pasal 14,

ayat (3), Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 ayat (1), Pasal 17, Pasal 18 ayat (2) dan ayat

(3), serta Pasal 19 ayat (1) dan juga Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1999

tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank sangat jelas mengatur keberadaan

penting dari suatu akta penggabungan. Pentingnya akta penggabungan tersebut

antara lain dinyatakan dalam Pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 27

(9)

yang telah mendapat persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta penggabungan yang dibuat

dihadapan notaris dalam bahasa Indonesia.72

Sekalipun peraturan pelaksana tersebut memakai istilah akta

penggabungan atau akta merger, maka hal tersebut lebih tepat dinamakan

perjanjian penggabungan atau perjanjian merger, karena pada dasarnya akta

penggabungan merupakan perjanjian.73

Keharusan adanya suatu perjanjian penggabungan tersebut berlaku

terhadap penggabungan perseroan, baik yang mengakibatkan terjadinya

perubahan anggaran dasar perseroan hasil penggabungan, dimana akta

penggabungan merupakan dokumen bersama-sama akta perubahan anggaran dasar

dimaksudkan dan diajukan kepada Menterti Hukum dan Hak Asasi Manusia,

maupun yang sama sekali tidak mengakibatkan pengubahan anggaran dasar

perseroan hasil penggabungan. Dan karenanya akta penggabungan tersebut tidak

dimasukan/ diajukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam hal

yang terakhir ini, akta penggabungan merupakan dokumen tunggal yang akan

menentukan berlaku efektifnya penggabungan perseroan, satu dan lain

sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 14 ayat (3) Peraturan Pemerintah

No. 27 Tahun 1998, menyatakan bahwa penggabungan yang dilakukan tanpa

72

Cornelius Simanjuntak, Hukum Merger Perseroan Terbatas, Teori dan Praktek, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 264.

73

(10)

pengubahan anggaran dasar mulai berlaku sejak tanggal penandatanganan akta

penggabungan (merger).74

Akta penggabungan sendiri dalam peraturan pernundang-undangan

Indonesia tunduk pada hukum perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku ke-III

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Mengacu kepada

elemen-elemen pokok defenisi penggabungan, yaitu:

1. Adanya perjanjian;

2. Adanya dua perseroan atau lebih;

3. Adanya tujuan yang sama, yaitu salah satu perseroan akan menggabungkan diri

kepada (kedalam) perseroan yang menerima penggabungan; dan

4. Adanya keputusan yang sama, yaitu perseroan yang menggabungkan diri akan

bubar.75

dapat difokuskan pada dua elemen pokok yang menciptakan

penggabungan yaitu elemen perjanjian dan elemen jenis perusahaan yang

melakukan penggabungan, yakni perseroan terbatas.

1. Penggabungan Sebagai Salah Satu Bentuk Perjanjian.

Perjanjian merupakan dokumen yang telah menjadi fondasi dan sekaligus

pilar yang menyangga antara satu orang (pihak) dan pihak lainnya. Soedjono

Dirjosiswo mengatakan bahwa: kontrak merupakan dasar, dari banyak kegiatan

sehari-hari, dimana kontrak tersebut menyediakan cara-cara, baik bagi para

74

Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia, Merger Perusahaan Publik, Suatu Kajian Hukum Korporasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006) hal. 22.

75

(11)

individu maupun badan hukum dalam dunia bisnis untuk menjual atau sebaliknya

mentransfer harta benda, jasa-jasa, dan hak-hak lainnya.76

Istilah perjanjian dan kontrak sering dipergunakan secara tukar-menukar

dengan pemahaman bahwa pengertian perjanjian tersebut pada hakikatnya sama

dengan pengertian dan maksud serta tujuan dari suatu kontrak . Sir William

Anson yang dikutip Djedjem Widjaja, menyatakan bahwa: A contract is a legaly

binding agreement made between two more parties, by which rights are acquired

by one or more to act or forbearances on the part of the other, or others.77

Pemahaman eksistensi suatu perjanjian menjadi lengkap apabila dipahami

juga tentang pengertian suatu perjanjian itu sendiri berdasarkan ketentuan

perundang-undangan yang ada dan juga pemahaman atas asas-asas dari suatu

perjanjian di samping syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan keadaan cidera

janji (wanprestasi). Dengan demikian, pihak-pihak yang akan membuat suatu

dokumen yang bernama perjanjian akan lebih fokus dan tidak akan bias dengan

dokumen-dokumen hukum lainya.78

a. Pengertian Perjanjian

Pengertian tentang perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata, suatu

perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih. Terhadap pengertian

perjanjian tersebut, para sarjana dan ahli hukum pada umumnya memiliki

76

Soedjono Dirjosisworo, Kontrak Bisnis, Menurut Civil Law, Common Law dan Praktek Dagang Internasional, (Bandung: Mandar Maju, 2003) hal. 27.

77

Djedjem Widjaja, Legal Concepts, Legal Terminology and Legal Language in Contracts, (Bandung: Mandar Maju, 2003) hal. 27.

78

(12)

pendapat yang seragam, yaitu bahwa defenisi perjanjian tersebut tidak lengkap

dan terlalu luas.

Abdulkadir Muhammad berdendapat bahwa defenisi perjanjian pada pasal

1313 KUHPerdata tidak lengkap karena defenisi perjanjian tersebut dirumuskan

hanya perjanjian satu pihak saja yang terlihat dari rangkaian kalimat, suatu

perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikakan dirinya terhadap 1

(satu) orang lain. Seharusnya ada kalimat saling mengikatkan diri yang

mengindikasikan adanya aktivitas pengikatan diri dua belah pihak.79

Mariam Darus Badrulzaman dan koleganya mengatakan bahwa perjanjian

tersebut terlalu luas, karena defenisi tersebut mencakup juga perjanjian dalam

lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang notabene berbeda sifatnya

dengan perjanjian yang diatur dalam Buku ke-III KUHPerdata.80

b. Asas-Asas Perjanjian

Pada umumnya para sarjana memfokuskan diri pada tiga asas penting

dalam perjanjian, yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas konsensual, dan asas

obligatoir. Namun beberapa sarjana mengembangkan asas-asas perjanjian tersebut

sebagaimana diuaraikan dibawah ini81:

1. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak atau asas sistem terbuka mempunyai arti

bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja walaupun belum

79

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 78.

80

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 65.

81

(13)

atau tidak diatur dalam undang-undang, kesusilaan atau ketertiban

umum.82

Subkti menyatakan bahwa Buku III KUHPerdata yang terdiri atas bagian

umum yang memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan pada

umumnya dan bagian khusus yang memuat peraturan-peraturan mengenai

perjanjian menganut asas kebebasan dalam hal membuat perjanjian.83

Sutan Remy Sjahdeini menjabarkan ruang lingkup kebebasan berkontrak

yaitu:

a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;

b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat

perjanjian;

c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kuasa dari perjanjian yang

akan dibuatnya;

d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;

e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;

f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan

undang-undang yang bersifat oprasional.84

2. Asas Konsensualisme

Asas konsensual merupakan dasar dari hukum kontrak dalam hukum

perdata. Demikian dikatakan Charles Himawan dan Mohtar

Kusumaatmadja yang mengatakan, Contract in itself implies a meeting of

82

Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hal. 84. 83

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1984), hal. 127. 84

(14)

minds, and from the moment that this meeting occurs a contract is formed.

This is the so-called consensual principle which form the of contract law

under the civil code.85

Asas konsensual ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338

KUHPerdata. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata penyebutannya tegas,

sedangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata ditemukan dalam istilah semua.

Kata semua menunjukan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk

menyatakan keinginannya, yang dirasakanya baik untuk menciptakan

perjanjian. Asas ini sangat erat hubunganya dengan asas kebebasan

mengadakan perjanjian.86

3. Asas Kepercayaan

Asas kepercayaan berperan penting dalam suatu perjanjian inheren dengan

itu, Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa janji dan kepercayaan

adalah sendi-sendi yang sangat penting dalam hukum perdata. Tanpa

adanya kepercayaan, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan

oleh para pihak.87

Mariam Darus Badrulzaman, mengatakan bahwa, seseorang yang

mengadakan perjanjian dengan pihak lain menumbuhkan kepercayaan

diatara kedua belah pihak tersebut bahwa satu sama lain akan memegang

janjinya. Dengan kata lain, akan memenuhi prestasinya di belakang hari.88

85

Charles Himawan dan Mohtar Kusumaatmadja, Business Law, Contracts and Business Associations, (Bandung: Padjajaran University Faculty of Law, 1984), hal. 7.

86

Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 87. 87

Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perdata, (Bandung: Sumur Bandung, 1992), hal. 38.

88

(15)

Dengan kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya dan bagi

keduanya (yang membuat perjanjian), perjanjian mempunyai kekuatan

mengikat sebagai undang-undang (Pasal 1138 KUHPerdata).

Substansi yang sama juga diutarakan oleh Nieuwnhuis yang berpendapat

bahwa perlu adanya perlindungan terhadap kepercayaan yang ditimbulkan

dalam perjanjian (asas yang melindungi pihak yang beritikad baik).89

4. Asas kekuatan Mengikat

Asas kekuatan mengikat berarti bahwa terikatnya para pihak pada

perjanjian tersebut tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan,

tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki kebiasaan

dan kepatutan serta moral.90

5. Asas Persamaan Hukum

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada

perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan

jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya

persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu

sama lain.91

6. Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan merupakan kelanjutan dari asas persamaan hukum.

Asas ini menghendaki kedua belah pihak untuk memenuhi dan

melaksanakan perjanjian tersebut. Contoh: kreditor mempunyai kekuatan

89

Henry P. Panggabean, Op. Cit., hal. 8. 90

Charles Himawan dan Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit., hal. 9. 91

(16)

untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan

prestasi melalui kekayaan debitor. Namun kreditor memikul pula beban

untuk melaksanakan perjanjian tersbut dengan itikad baik. Dapat dilihat

disini bahwa kedudukan kreditor yang kuat diimbangi dengan

kewajibannya untuk memperlihatkan itikad baik sehingga kedudukan

kreditor dan debitor seimbang.92

7. Asas kepastian hukum

Asas kepastian hukum terdapat dalam setiap perjanjian. Dasarnya adalah

kekuatan mengikat perjanjian tersebut, yaitu sebagai undang-undang bagi

para pihak.93

8. Asas Moral

Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela

dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra

prestasi dari pihak debitor. Hal ini terlihat di dalam Zaakwaarneming,

dimana seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan sukarela

(moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk

meneruskan dan meyelesaikan perbuatannya, juga asas tersebut terdapat

dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi

pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasar atas

kesusilaan (moral).94

92

Ibid, hal. 20 93

Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan dalam KUHPerdata, Buku ke-III, Yurispudensi, Doktrin, Serta Penjelasan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2015), hal. 123.

94

(17)

9. Asas Kepatutan

Asas kepatutan ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas ini

berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Asas kepatutan sangat

terkait dengan rasa keadilan dalam masyarakat.95

10.Asas Kebiasaan

Asas ini diatur dalam pasal 1338 jo. 1347 KUHPerdata, yang dipandang

sebagai bagian dari perjanjian, suatu perjanjian tidak hanya mengikat

untuk apa yang secara tegas dinyatakan.

Asas-asas hukum bersifat abstrak, yang terdiri dari nilai yang merupakan

akar dari hukum positif lembaga legislatif dan pengadilan wajib berupaya

menentukan bahwa hukum positif berupa perundang-undangan dan

putusan pengadilan wajib mampu mewujudkan asas-asas tersebut.96

Harlien Budiono, mengemukakan adanya hubungan timbal-balik antara

asas-asas hukum dan aturan-aturan hukum. Dapat di katakan bahwa asas

hukum diakui keberadaan dan pengaruhnya oleh pembuat

undang-undang.97

c. Syarat Sahnya Perjanjian

Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian

diperlukan empat syarat, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

95

Ibid. 96

Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 107. 97

(18)

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Persyaratan kesepakatan dan kecakapan tersebut dalam butir (1) dan butir

(2) dinamakan syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek

perjanjian. Sedangkan persyaratan dalam butir (3) dan butir (4) dianamakan syarat

objktif, karena mengenai objek perjanjian.98

Syarat subjektif, yaitu kesepakatan dan kecakapan tersebut wajib di penuhi

dengan ancaman perjanjian dapat dibatalkan apabila salah satu dari kedua syarat

tersebut tidak dipenuhi.99 Syarat objektif yaitu hal tertentu artinya apa saja yang

diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu

perselisihan. R. Setiawan berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hal tertentu

adalah prestasi persetujuan yang harus tertentu atau dapat ditentukan, paling tidak

harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya asal dapat ditentukan.100 Syarat

objektif tentang sebab kuasa yang halal atau tujuan perjanjian adalah apa yang

dikehendaki oleh kedua belah pihak dengan mengadakan perjanjian.101 Menurut

Yurispudensi yang ditafsirkan dengan kuasa adalah isi atau maksud dari

perjanjian. Melalui syarat kuasa, didalam praktik maka ia merupakan upaya untuk

menempatkan perjanjian dibawah pengawasan hakim.102

98

Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 107. 99

Sudargo Gautama, Indonesian Business Law, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 78), hal. 78.

100

R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Jakarta: Binacipta, 1994), hal. 61. 101

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Op. Cit., hal. 137. 102

(19)

d. Wanprestasi

M. Yahya Harahap mendefenisikan wanprestasi sebagai pelaksanaan

kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut

selayaknya. Ditambahkan olehnya bahwa seorang debitor disebutkan dan berada

dalam keadaan wanprestasi apabila dia dalam melakukan pelaksanaan prestasi

perjanjian telah lalai sehingga terlambat dari jadwal waktu yang ditentukan atau

melakukan prestasi tidak menurut hal yang sepatutunya.103

Abdulkadir Muhammad menambahkan bahwa untuk menentukan

apakakah debitor melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan

bagaimana seorang debitor dikatakan sengaja atau lalai tidak mematuhi prestasi,

yaitu:

1. Debitor tidak memenuhi prestasi sama sekali;

2. Debitor memenuhi prestasi , tetapi tidak baik atau keliru; atau

3. Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya; atau

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.104

Akibat yang timbul dari wanprestasi adalah keharusan bagi debitor untuk

membayar ganti rugi atau pembatalan perjanjian.105

103

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1996), hal. 60-61.

104

Abdulkadir Muhammad. Op. Cit., hal. 20-21. 105

(20)

D.Jenis Perusahaan yang Melakukan Penggabungan (Merger)

Jenis Perusahaan yang akan melakukan penggabungan, merujuk pada

ketentuan Pasal 1 ayat (9) menyatakan yang melakukan penggabungan adalah

perseroan. Hal tersebut juga dapat dilhat dalam Pasal 1 angka 1 menyatakan

bahwa, perseroan terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan

hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian,

melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam

saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini

serta peraturan pelaksanaannya.

Dapat dianalisis bahwa jenis perusahaan yang melakukan penggabungan

adalah perseroan terbatas, sehingga perusahaan seperti bank, perusahaan

berbentuk badan usaha miliki negara (BUMN), dan juga badan usaha milik daerah

harus berbentuk perseroan terbatas agar dapat melakukan tindakan penggabungan.

Jenis perusahaan lain diluar perseroan terbatas tidak tunduk pada pengaturan

penggabungan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas.

Perseroan terbatas-pun tidak selalu dapat melakukan penggabungan,

kecuali perseroan terbatas tersebut telah mendapat status badan hukumnya yaitu

setelah diperolehnya pengesahan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atas

akta pendirian Perseroan Terbatas. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 7 ayat

(4) yang menyatakan bahwa, Perseroan memperoleh status badan hukum pada

tanggal diterbitkannya keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum

(21)

Eksistensi badan hukum dalam penggabungan perseroan tersebut adalah

relevan karena untuk terealisasinya penggabungan dibutuhkan:

1. Suatu persetujuan organ perseroan, yaitu Rapat Umum Pemegang Saham

(RUPS), dimana keberadaan (eksistensi) RUPS tersebut baru muncul apabila

perseroan terbatas telah mendapatkan status badan hukumnya.

2. Perseroan terbatas itu sendiri sebagai subjek hukum yang secara sah dapat

mengikat perseroan terbatas dalam membuat dan menandatangani dokumen

penggabungan.106

Badan hukum dimaksudkan sebagai badan-badan atau perkumpulan yang

merupakan orang yang diciptakan oleh hukum. Kalimat orang tersebut berarti

pembawa hak yaitu segala sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban. Perseroan

terbatas sebagai badan hukum berarti perseroan tersebut dapat memiliki harta

kekayaan sendiri yang terpisah dari pemegang sahamnya dan dapat bertindak

secara mandiri (indevenden).107 Chatamarasjid Ais menyatakan bahwa, ciri utama

perseroan terbatas adalah bahwa perseroan terbatas merupakan subjek hukum

yang bersatus badan hukum, yang pada gilirannya membuat tanggung jawab

terbatas bagi para pemegang saham, direksi, dan komisaris.108

Dapat dianalisi bahwa melihat tentang perjanjian dan jenis perusahaan

tersebut diatas, adalah jelas bahwa akta penggabungan pada hakikatnya

merupakan perjanjian yang oleh undang-undang diharuskan dibuat dalam bentuk

akta notaris. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan

106

Cornelius Simanjuntak, dan Natalie Mulia, Op. Cit., hal. 33. 107

C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia, Aspek Hukum dalam Bisnis, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1994), hal. 16-17.

108

(22)

peraturan pelaksanya tidak menjelaskan tentang latar belakang keberadaan sautu

perjanjian penggabungan yang harus dibuat dalam bentuk akta notaris, dan

karenanya meniadakan kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian penggabungan

dalam bentuk akta di bawah tangan.

a. Akta otentik

Pasal 1868 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu akta otentik ialah

suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,

dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu

ditempat dimana akta dibuatnya.

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris menyatakan bahwa akta notaris adalah akta otentik yang dibuat

oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang

ditetapkan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris menyatakan notaris adalah pejabat umum yang berwenang

untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang ini.

Pasal 128 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas, menyatakan Rancangan Penggabungan, Peleburan,

Pengambilalihan, atau Pemisahan yang telah disetujui RUPS

(23)

atau Pemisahan yang dibuat di hadapan notaris dalam bahasa

Indonesia.

G. H. S. Lumban Tobing menyatakan apabila suatu akta hendak

memperoleh stempel otentisitas, hal mana terdapat pada akta notaris,

maka menurut ketentuan dalam Pasal 1868 KUHPerdata, akta yang

bersangkutan harus memenuhi persyaratan berikut:

1) akta itu harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (ten overstaan)

seorangan pejabat umum;

2) Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh

undang-undang;

3) Pejabat umum oleh-atau di hadapan siapa akta itu dibuat harus

mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.109

G. H. S. Lumban Tobing selanjutnya menegaskan bahwa, apabila

syarat ke-2 diatas tidak dipenuhi akta tersebut tidak menjadi batal

tetapi hanya kehilangan ontensitasnya dan selanjutnya akta tersebut

hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan apabila akta

tersebut ditandatangani oleh para penghadap (comparanten).

Sudikno Mertokusmo juga mengatakan hal yang sama bahwa suatu

akta yang dibuat oleh pejabat yang tidak memiliki wewenang dan

tanpa ada kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi syarat

tidak dapat diangaap sebagai akta otentik, tetapi merupakan akta di

109

(24)

bawah tangan apabila ditandatangani oleh para pihak yang

bersangkutan.110

Manfaat dari suatu akta otentik dijelaskan dalam Pasal 1870

KUHPerdata, yaitu bahwa suatu akta otentik merupakan bukti yang

sempurna bagi para pihak dalam akta beserta ahli waris mereka dan

pihak-pihak yang mendapatkan hak dari mereka tentang apa yang

dimuat dalam akta tersebut.

M. Yahya Harahap menyatakan apabila alat bukti akta otentik yang

diajukan memenuhi syarat formil dan materil dan bukti lawan yang

dikemukakan tergugat tidak mengurangi keberadaanya, pada dirinya

sekaligus melekat kekutan pembuktian yang sempurna dan mengikat.

b. Akta Notaris Sebagai Alat Bukti yang Lengkap

Akta Notaris sebagai akta otentik merupakan bukti yang cukup atau

bukti yang sempurna. Kekuatan pembuktian yang sempurna ini berarti

bahwa isi akta tersebut oleh hakim dianggap benar, kecuali apabila

diajukan bukti perlawanan dengan nilai bukti yang mengikat. Disini

hakim harus mempercayai apa yang ditulis dalam akta tersebut.

Dengan perkataan lain, yang termuat dalam akta harus dianggap benar

selama ketidakbenaranya tidak dibuktikan.111

Setiawan menyatakan bahwa dalam doktrin dikenal tiga jenis kekuatan

pembuktian, yaitu:

110

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal 120.

111

(25)

1. Kekuatan pembuktian suatu akta yang dilihat dari segi wujudnya;

2. Kekuatan pembuktian formal;

3. Kekuatan pembuktian materiil.

Kekuatan pembuktian formal membuktikan bahwa para pihak telah

menerangkan apa yang ditulis dalam akta, sedangkan kekuatan

pembuktian material membuktikan di antara para pihak bahwa telah

terjadi peristiwa-peristiwa yang disebut dalam akta. Setiawan

berpendapat bahwa suatu akta notaris memiliki ketiga jenis kekuatan

pebuktian tersebut.112

berdasarkan uraian tentang akta otentik dan akta notaris sebagai bukti yang

lengkap tersebut diatas adalah jelas bahwa perjanjian penggabungan yang dibuat

dalam bentuk akta notaris merupakan dan tergolong ke dalam akta otentik,

sepanjang memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 1868 KUHPerdata

dan karenanya merupakan alat bukti yang lengkap dan sempurna dengan kekuatan

pembuktian formal, material dan mengikat.

Melihat adanya bentuk tertentu dari suatu perjanjian yang disyaratkan oleh

undang-undang, seperti akta penggabungan tersebut, Mariam Darus Badrulzaman

mengatakan bahwa bentuk tertulis tersebut tidak semata-mata merupakan alat

pembuktian, tetapi juga merupakan syarat adanya perjanjian, dan apabila bentuk

tertentu tidak dipenuhi, perjanjian menjadi tidak sah.113

Adanya kewajiban pembuatan suatu perjanjian penggabungan dalam

bentuk akta notaris dan ditambah lagi dengan adanya kewajiban terhadap

112

Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia, Op. Cit., hal. 39. 113

(26)

perjanjian penggabungan harus memuat pokok-pokok yang diatur dalam suatu

rancangan penggabungan, sebagaimana dengan tegas disyaratkan oleh penjelasan

Pasal 13 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998, telah mendegradasi

prinsip pokok kebebasan berkontrak yang dianut KUHPerdata khusunya dalam

Psal 1338 KUHPerdata yang menyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.114

Soedjono Dirdjosisworo mengatakan bahwa prinsip kebebasan berkontrak

tersebut pada umumnya berarti bahwa setiap orang dapat mengadakan persetujuan

sesuai dengan pilihan bahasanya. Artinya, setiap orang bebas untuk mengadakan

atau tidak mengadakan persetujuan, mengadakan persetujuan dengan siapa pun

yang dikehendaki, menentukan isi, daya kerja, dan persyaratan-persyaratan

persetujuan sesuai dengan pandangan sendiri, menuangkannya kedalam bentuk

tertentu, atau tidak tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan tertentu

yang dipilih.115

Berdasarkan pandangan para sarjana tersebut diatas, adanya keharusan

undang-undang bahwa perjanjian penggabungan harus dibuat dalam bentuk akta

notaris dan isinya harus memuat pokok-pokok isi dari suatu rancangan

penggabungan telah mengeleminasi prinsip kebebasan untuk menentukan

menentukan bentuk suatu perjanjian dan kebebasan untuk menentukan isi atau

persyaratan-persyaratan atau objek perjanjian. Mengikuti pandangan Mariam

Darus Badrulzaman bahwa bentuk-bentuk tertentu dari perjanjian harus dipenuhi,

maka bentuk perjanjian penggabungan dalam bentuk akta notaris juga karenanya

114

Ibid.

115

(27)

harus dipenuhi dan apabila tidak dipenuhi, perjanjian penggabungan tersebut

menjadi tidak sah.

E.Bentuk klasifikasi Perseroan Terbatas di Indoneisa.

Dalam hal melakukan penggabungan harus memperhatikan bentuk

klasifikasi Perseroan Terbatas yang diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun

2007, tersurat dan tersirat pada Pasal 1 angka 6 dan Pasal 1 angka 7

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Berdasar ketentuan pasal

dimaksud, klasifikasi Perseroan, dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Perseroan Tertutup

Perseroan pada dasarnya adalah badan hukum yang memenuhi syarat

ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007. Perseroan

merupakan persekutuan modal yang terbagi dalam saham. Didirikan berdasarkan

perjanjian di antara pendiri atau pemegang saham, serta melakukan kegiatan

usaha, dan kelahirannya juga melalui proses hukum yang dikukuhkan berdasar

keputusan Pengesahan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Akan tetapi meskipun demikian, terdapat beberapa ciri yang menjadi

karakternya jika dibandingkan dengan klasifikasi perseroan lain. Pada perseroan

tertutup terdapa ciri khusus, antara lain:

1. Biasanya pemegang sahamnya “terbatas” dan “tertutup”. Hanya terbatas pada orang-orang yang masih kenal-mengenal atau pemegang sahamnya hanya terbatas di antara mereka yang masih ada ikatan keluarga, dan tertutup bagi orang luar;

(28)

3. Sahamnya juga hanya atas nama, yaitu atas nama orang-orang tertentu secara terbatas.116

Berdasar karakter demikian, perseroan yang semacam ini disebut dan

diklasifikasi Perseroan Terbatas yang bersifat “tertutup” atau disebut juga

Perseroan Terbatas keluarga.117

2. Perseroan Publik

Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, Perseroan Publik

adalah Perseroan yang telah memenuhi kriteria jumlah pemegang saham dan

modal disetor dengan ketentuan peraturan. Rujukan peraturan

perundang-undangan yang dimaksud Pasal 1 angka 8 UUPT 2007 adalah Undang-Undang

No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dalam hal ini Pasal 1 angka 22, menurut

pasal ini, agar Perseroan menjadi perseroan publik, harus memenuhi kriteria

sebagai berikut:

1. Saham pereseroan yang bersangkutan, telah dimiliki sekurang-kurangnya 300

(tiga ratus) pemegang saham;

2. Memiliki modal disetor sekurang-kurangnya Rp. 3.000.000.000., (tiga miliar

rupiah);

3. Atau suatu jumlah pemegang saham dengan jumlah modal disetor yang

ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah.

Kalau perseroan telah memenuhi kriteria yang disebut diatas perseroan itu

harus memenuhi ketentuan Pasal 24 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, yaitu:

116

M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 38-39. 117

(29)

1. Perseroan yang telah memenuhi kriteria sebagai Perseroan Publik, wajib

mengubah AD menjadi perseroan terbuka (PT Tbk);

2. Perubahan AD dimaksud, harus dilakukan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)

hari terhitung sejak terpenuhi kriteria tersebut;

3. Selanjutnya, direksi perseroan “wajib” mengajukan pernyataan pendaftaran

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

3. Perseroan Terbatas Terbuka

Klasifikasi atau tipe yang ketiga adalah perseroan terbuka, sebagaimana

yang dinyatakan pada Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, yang

berbunyi: Perseroan Terbuka adalah perseroan publik atau perseroan yang

melakukan penawaran umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan di bidang pasar modal. Jadi yang dimaksud dengan

perseroan terbatas terbuka, menurut Pasal 1 angka 7 UUPT 2007, adalah:

1. Perseroan publik yang telah memenuhi persyaratan Pasal 1 angka 22 UU No. 8

Tahun 1995 yakni memiliki pemegang saham sekurang-kurangnya 300 (tiga

ratur) orang, dan modal disetor sekurang-kurangnya Rp. 3.000.000.000,- (tiga

miliar rupiah);

2. Perseroan yang melakukan penawaran umum saham di bursa efek. Maksudnya

perseroan tersebut, mewarkan atau menjual saham atau efeknya kepada

masyarakat luas.118

118

(30)

Emiten adalah pihak yang boleh melakukan penawaran umum. Menurut

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, emiten

adalah pihak yang melakukan penawaran umum, dan penawaran umum baru dapat

dilakukan emiten, setelah lebih dahulu mendaftar ke Badan Pengawas Pasar

Modal (Bapepam), yang semenjak tahun 2012 diganti perananya dengan otoritas

Jasa Keuangan (OJK) melalui, ketentuan peralihan Pasal 55 ayat (1)

Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menyatakan: “Sejak

tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan

pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana

Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari

Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke

OJK.”

Bapepam yang tadinya merupakan lembaga pemerintah di bawah

kementerian keuangan, kini bergabung dan menjadi bagian dari OJK. Sehingga

nama Bapepam tidak digunakan lagi, dan diganti dengan kepala eksekutif

pengawas pasar modal. Meski demikian, peran dan tugasnya tidak berubah, yakni

melaksanakan tugas-tugas seperti ketika masih bernama Bapepam dibawah

Kementerian Keuangan.119

119

(31)

F.Proses Penggabungan (Merger) Perseroan Terbatas di Indonesia.

Penggabungan menurut ketentuan Pasal 123 Undang-Undang No. 40

Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dapat dilaksanakan dengan cara terlebih

dahulu menyusun rancangan penggabungan oleh direksi perseroan yang akan

menggabungkan diri dan yang akan menerima penggabungan. Rancangan

penggabungan tersebut sekurang-kurangnya harus memuat:

a. Nama dan tempat kedudukan dari setiap perseroan yang akan melakukan penggabungan;

b. Alasan serta penjelasan direksi perseroan yang akan melakukan penggabungan dan persyaratan penggabungan;

c. Tata cara penilaian dan konversi saham perseroan yang menggabungkan diri terhadap saham perseroan yang menerima penggabungan;

d. Rancangan perubahan anggaran dasar perseroan yang menerima penggabungan apabila ada;

e. Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf a yang meliputi 3 (tiga) tahun buku terakhir dari setiap perseroan yang akan melakukan penggabungan;

f. Rencana kelanjutan atau pengakhiran kegiatan usaha dari perseroan yang akan melakukan penggabungan;

g. Neraca performa perseroan yang menerima penggabungan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia;

h. Cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota direksi, dewan komisaris, dan karyawan perseroan yang akan melakukan penggabungan diri;

i. Cara penyelesaian hak dan kewajiban perseroan yang akan menggabungkan diri terhadap pihak ketiga;

j. Cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap penggabungan perseroan;

k. Nama anggota direksi dan dewan komisaris serta gaji, honorarium dan tunjangan bagi anggota direksi dan dewan komisaris perseroan yang menerima penggabungan;

l. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan penggabungan;

m.Laporan mengenai keadaan, perkembangan, dan hasil yang dicapai dari setiap perseroan yang akan melakukan penggabungan;

n. Kegiatan utama setiap perseroan yang melakukan penggabungan dan perubahan yang terjadi selama tahun buku yang sedang berjalan; dan

o. Rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan yang mempengaruhi kegiatan perseroan yang akan melakukan penggabungan.120

120

(32)

Setelah rancangan penggabungan selesai disusun maka:

1. harus mendapat persetujuan dewan komisaris masing-masing perseroan yang

akan bergabung;

2. setelah dewan komisatis memberikan persertujuan, baru diajukan kepada

RUPS masing-masing perseroan untuk mendapat persetujuan.121

Bagi perseroan tertentu selain rancangan penggabungan mendapat

persetujuan dewan komisaris dan RUPS masing-masing, perlu mendapat

persetujuan terlebih dahulu dari instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Menurut penjelasan Pasal 123 ayat (4) Undang-Undang No.

40 Tahun 2007, perseroan tertentu dalam konteks ini adalah perseroan yang

mempunyai bidang usaha khusus, antara lain lembaga keuangan bank dan

lembaga keuangan non bank. Instansi terkait yang dimaksud disini antara lain

Bank Indonesia (BI) untuk penggabungan perseroan perbankan. Sesuai dengan

Pasal 123 ayat (5) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, semua ketentuan yang

dikemukakan diatas, berlaku juga bagi perseroan terbuka sepanjang tidak diatur

lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.122

Pasal 127 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 mengatur kuorum

kehadiran dan pengambilan keputusan RUPS dalam rangka penggabungan. Pada

prinsipnya kuorum dan pengambilan keputusan, merujuk kepada ketentuan pasal

87 ayat (1) dan pasal 89 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007. Hal ini ditegaskan

oleh Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, yang mengatakan

121

Ibid, hal. 489. 122

(33)

keputusan RUPS dalam rangka penggabungan sah apabila diambil sesuai dengan

ketentuan Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 89.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 89 ayat (1), RUPS untuk menyetujui

penggabungan hanya dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 3/4 (tiga

perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, hadir atau diwakili

dalam RUPS. Kurang dari jumlah tersebut, RUPS tidak dapat dilangsungkan.

Anggaran dasar perseroan, tidak dibenarkan atau dilarang mengatur kourum

kehadiran lebih kecil dari 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham

dengan hak suara, akan tetapi sebaliknya Pasal 89 ayat (1) membolehkan

anggaran dasar mengatur kourum kehadiran lebih besar daripada 3/4 (tiga

perempat) bagian.

Pada prinsipnya keputusan RUPS dalam rangka memberi persetujuan

penggabungan sah menurut Pasal 89 ayat (1), apabila disetujui paling sedikit 3/4

(tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan dalam RUPS tersebut.

Tanpa mengurangi prinsip pengambilan keputusan RUPS yang dijelaskan diatas,

perlu diperhatikan ketentuan Pasal 127 ayat (1) yang mengatakan RUPS harus

berpedoman kepada ketentuan Pasal 87 ayat (1), yang mengatakan bahwa

keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat.

Jika kourum kehadiran tidak tercapai dapat diadakan RUPS kedua dengan

kourum kehadiran paling sedikit:

 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, hadir

(34)

 Keputusan sah jika disetujui paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari

jumlah suara yang dikeluarkan.123

Sekiranya RUPS kedua ini gagal karena tidak mencapai kourum, dapat

lagi diadakan RUPS ketiga dengan jalan perseroan mengajukan permohonan

kepada Ketua Pengadilan Negeri agar ditetapkan kuorum RUPS ketiga sesuai

dengan ketentuan pasal 86 ayat (5) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007.

Jika dewan komisaris masing-masing menyetujui rancangan

penggabungan, Pasal 127 ayat (2) memerintahkan dan mewajibkan direksi

perseroan yang akan melakukan penggabungan mengumumkan ringkasan

rancangan penggabungan dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Diumumkan paling sedikit dalam 1 (satu) surat kabar sesuai ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No.40 Tahun 2007, surat kabar adalah surat kabar harian berbahasa Indonesia yang beredar secara nasional;

2. Mengumumkan secara tertulis ringkasan rancangan penggabungan kepada pekerja perseroan yang akan melakukan penggabungan;

3. Pengumuman paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS diselenggarakan;

4. Pengumuman harus memuat juga pemberitahuan bahwa pihak yang bekepentingan dapat memeperoleh rancangan penggabungan di kantor perseroan, terhitung sejak tanggal pengumuman sampai tanggal RUPS diselenggarakan.

Bertitik tolak dari penjelasan yang dikemukakan, pengumuman dalam

surat kabar maupun pengumuman tertulis kepada pekerja perseroan, wajib

dilakukan direksi sebelum pemanggilan RUPS, yakni paling lambat 30 (tiga

puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS yang akan membicarakan mata acara

atau agenda penggabungan tujuan pengumuman itu menurut penjelasan Pasal 127

123

(35)

ayat (2) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, untuk memberi kesempatan kepada

pihak-pihak yang bersangkutan agar mengetahui rencana penggabungan tersebut.

Pasal 127 ayat (4) memberi hak kepada kreditor untuk mengajukan

keberatan terhadap rencana penggabungan, jika penggabungan itu berdasar

rancangan penggabungan yang diumumkan merugikan kepentingannya, sesuai

proses berikut:

1. Keberatan diajukan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman: a. Apabila dalam jangka waktu tersebut kreditor tidak mengajukan keberatan

terhadap rancangan penggabungan;

b. Maka kreditor dianggap menyetujui penggabungan yang akan dilakukan sesuai dengan rancangan dimaksud.

2. Dalam hal direksi tidak dapat menyelesaikan keberatan kreditor sampai dengan tanggal RUPS diselenggarakan, maka:

a. Keberatan kreditor disampaikan direksi dalam RUPS, dan b. RUPS yang akan mengambil penyelesaian.

3. Penggabungan digantungkan pada penyelesaian keberatan kreditor. Pasal 127 ayat (7) menggantungkan realisasi penggabungan pada penyelesaian keberatan kreditor, sesuai dengan prinsip berikut:

a. Selama penyelesaian keberatan kreditor belum tercapai baik oleh direksi maupun oleh RUPS, maka;

b. Selama itu pula penggabungan perseroan tidak dapat dilaksanakan.124

Jika RUPS masing masing perseroan yang akan melakukan penggabungan

menyetujui rancangan penggabungan, maka menurut Pasal 128 ayat (1),

rancangan penggabungan itu dituangkan ke dalam akta penggabungan. Akta

penggabungan sah secara formil, harus dibuat di hadapan Notaris dan dibuat

dalam bahasa Indonesia. Selama rancangan penggabungan belum dituangkan ke

dalam akta penggabungan yang dibuat dihadapan notaris, penggabungan belum

dapat dilaksanakan. Dengan kata lain, sekiranya penggabungan dilakukan tidak

berdasar akta penggabungan yang berbentuk akta notaris, penggabungan tersebut

124

(36)

cacat hukum, bahkan batal karena melanggar ketentuan Pasal 128 ayat (1)

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007.

Sesuai dengan Pasal 129 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, salinan akta

penggabungan dilampirkan pada:

1. Pengajuan permohonan untuk mendapat persetujuan menteri apabila ternyata

penggabungan tersebut mengalami perubahan anggaran dasar yang disebut

dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007. Jadi sekiranya

penggabungan disertai perubahan anggaran dasar yang disebut Pasal 21 ayat

(2):

a. Nama perseroan dan/ atau tempat kedudukan perseroan;

b. Maksud dan tujuan serta kegiatan perseroan;

c. Jangka waktu berdirinya perseroan;

d. Besarnya modal dasar;

e. Pengurangan modal ditempatkan dan disetor; atau

f. Status perseroan tertutup menjadi perseroan terbuka dan sebaliknya.

Maka dalam hal demikian penggabungan harus mendapat perserujuan menteri.

Untuk itu harus diajukan permohonan untuk mendapat perserujuan Menteri

dengan cara melampirkan akta penggabungan dalam permohonan.125

2. Penyampaian pemberitahuan kepada menteri tentang perubahan anggaran dasar

sebagaimana dimaksud Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007.

Apabila penggabungan disertai perubahan anggaran dasar yang termasuk

kategori yang disebut pasal 21 ayat (3), berarti perubahan anggaran dasar

125

(37)

tersebut tidak termasuk kriteria perubahan anggaran dasar tertentu yang disebut

pada Pasal 21 ayat (2). Dalam hal yang demikian, penggabungan itu cukup

diberitahukan, dengan cara menyampaikan permberitahuan kepada menteri,

yang dilampiri dengan akta penggabungan. Jika penggabungan tidak disertai

perubahan anggaran dasar, menurut Pasal 129 ayat (2):

a. Salinan akta penggabungan harus disampaikan kepada menteri;

b. Menteri mencatat penggabungan tersebut dalam daftar perseroan.

Berdasar Pasal 133 ayat (1), direksi perseroan yang menerima

penggabungan wajib mengumumkan hasil penggabungan dengan tata cara:

1. Diumumkan dalam 1 (satu) surat kabar atau lebih;

2. Pengumuman harus dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga

puluh) hari terhitung sejak tanggal berlakunya penggabungan.

Maksud pengumuman itu menurut penjelasan Pasal 133 Undang-Undang

No. 40 Tahun 2007, agar pihak ketiga yang berkepentingan mengetahui telah

dilakukan penggabungan. Dalam hal ini pengumuman wajib dilakukan dalam

jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal:

a. Persetujuan menteri atas perubahan anggaran dasar dalam hal terjadi

penggabungan;

b. Pemberitahuan diterima menteri baik dalam hal terjadi perubahan anggaran

dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) maupun tidak disertai

perubahan anggaran dasar.

Berdasar Pasal 126 ayat (2), pemegang saham yang tidak setuju terhadap

(38)

sebagaimana dimaksud Pasal 62 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, yaitu hanya

sebatas itu hak yang dibolehkan undang-undang dipergunakan pemegang saham,

yakni:

1. Meminta kepada perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar;

2. Pada prinsipnya perseroan diwajibkan membelinya;

3. Apabila saham yang diminta untuk dibeli perseroan melebihi batas ketentuan

pembelian kembali saham oleh perseroan sebagaimana yang digariskan Pasal

37 ayat (1) huruf b, perseroan wajib mengusahakan agar sisa saham tersebut

dibeli oleh pihak ketiga.

Menurut penjelasan Pasal 126 ayat (2), yang dimaksud harga wajar saham

dari perseroan adalah sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 128 ayat (2)

huruf c (harga wajar saham dari perseroan yang menggabungkan diri, serta harga

wajar saham dari perseroan yang menerima penggabungan untuk menentukan

perbandingan penukaran saham dalam rangkan konvensi saham). Penggunaan hak

pemegang saham yang meminta agar sahamnya dibeli dengan harga wajar oleh

perseroan, tidak dapat menghentikan proses penggabungan. Hal tersebut

ditegaskan dalam Pasal 126 ayat (3) yang mengatakan pelaksanaan hak

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghentikan proses pelaksanaan

penggabungan.

Untuk perseroan terbuka, selain harus merujuk kepada ketentuan

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, khusus bagi perseroan

terbatas yang bergerak sebagai perseroaan publik atau dikenal juga dengan

(39)

bidang pasar modal yaitu peraturan No. IX.G.1 tentang Penggabungan Usaha

atau Peleburan Usaha Perusahaan Publik atau Emiten sesuai Keputusan ketua

Bapepam No: Kep-52/PM/1997.126

Penggabungan usaha bagi perseroan publik wajib memenuhi persyaratan

sebagai berikut:

a. Direksi dan komisaris perseroan publik atau emiten yang akan melakukan

penggabungan usaha wajib membuat pernyataan kepada OJK dan RUPS

bahwa penggabungan usaha dilakukan dengan memperhatikan kepentingan

perseroan, masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha, serta ada

jaminan tetap terpenuhinya hak-hak pemegang saham publik dan karyawan/

pekerja;

b. Surat pernyataan dimaksud harus didukung oleh pendapat yang diberikan pihak

independen;

c. Memperoleh persetujuan RUPS perseroan publik atau emiten;

d. Perseroan publik atau emiten yang akan melakukan penggabungan usaha wajib

menyampaikan peryataan penggabungan usaha kepada OJK yang berisi

rancangan penggabungan usaha.

Penggabungan usaha bagi perseroan publik wajib dilaksanakan dengan

memenuhi tata cara sebagai berikut:

a. Direksi masing-masing perseroan, setelah memperoleh persetujuan komisaris, wajib menjajaki kelayakan penggabungan usaha, yang antara lain meliputi kegiatan penelaahan atas:

126

(40)

1. Keadaan usaha perseroan serta perkembangan hasil usaha perseroan, dengan memperhatikan pula laporan keuangan perseroan yang telah diaudit oleh akuntan yang terdaftar di OJK selama 3 (tiga) tahun terakhir;

2. Hasil analisis pihak independen mengenai kewajaran nilai saham dan aktiva tetap perseroan serta aspek hukum penggabungan usaha.

3. Metode dan tata cara konversi saham yang akan digunakan, yang didukung oleh keterangan dari pihak indevenden mengenai hal tersebut;

4. Cara penyelesaian kewajiban perseroan terhadap pihak ketiga

5. Cara penyelesaian hak-hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap penggabungan usaha;

6. Sturktur organisasi dan sumber daya manusia setelah penggabungan usaha; 7. Analisis manajemen terhadap kondisi perseroan setelah penggabungan

usaha.

b. Direksi masing-masing perseroan secara bersama-sama wajib menyusun

rancangan penggabungan usaha yang telah disetujui komisaris.

c. Dalam hal penggabungan usaha akan mengakibatkan perubahan yang material

terhadap sifat perseroan, kondisi keuangan atau hal-hal lain yang

mempengaruhi perseroan maka keseluruhan dampak dari perubahan tersebut

haris dicakup dalam dokumen rancangan penggabungan usaha.

d. Pernyataan penggabungan usaha yang berisi rancangan penggabungan usaha

beserta dokumen pendukung secara lengkap wajib disampaikan kepada OJK

paling lambat akhir hari kerja Ke-2 (dua) setelah diperolehnya persetujuan

komisaris.

e. Rancangan penggabungan usaha wajib diumumkan ringkasannya kepada

masyarakat dalam 2 (dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia, satu

diantaranya berperedaran nasional, paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua)

setelah diperolehnya persetujuan komisaris. Pengumuman dimaksud memuat

informasi bahwa rancangan penggabungan usaha tersebut belum medapatkan

(41)

f. Dalam hal OJK tidak meminta perseroan publik atau emiten untuk mengajukan

perubahan dan tambahan informasi dalam janka waktu 20 (dua puluh) hari

setelah pengajuan pernyataan penggabungan usaha, maka pernyataan

penggabungan usaha dianggap telah diajukan secara lengkap dan memenuhi

persyaratan serta tata cara yang ditetapkan pada pengajuan.

g. Dalam hal informasi mengenai rencana penggabungan usaha telah diketahui

pihak luar, maka perseroan yang akan melakukan penggabungan usaha harus

memberikan tanggapan kepada OJK dan mengumumkan hal tersebut kepada

masyarakat paling lambat akhir hari kerja berikutnya setelah rencana tersebut

diketahui pihak luar;

h. Dalam hal perseroan yang akan melakukan penggabungan usaha merupakan

perseroan yang saham tercatat di bursa efek, maka perseroan tersebut wajib

mengikuti perturan bursa efek dimana saham perseroan tersebut dicatatkan.127

Terkait dengan penyelenggaraan RUPS perseroan publik atau emiten yang

akan melakukan penggabungan usaha wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. Selambat-lambatnya 28 (dua puluh delapan) hari sebelum penyelenggaraan

RUPS, perseroan wajib mengumumkan rancangan penggabungan usaha

melalui 2 (dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia, satu diantaranya

berperedaran nasional yang sekurang-kurangnya memuat ringkasan dari

informasi mengenai rancangan penggabungan usaha.

127

(42)

b. Selambat-lambatnya 28 (dua puluh delapan) hari sebelum pelaksanaan RUPS,

surat edaran yang sekurang-kurangnya memuat informasi rancangan

penggabungan usaha wajib disediakan perseroan untuk para pemegang saham;

c. Rencana dan pelaksanaan RUPS perseroan publik wajib memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam peraturan Nomor IX.I.1 tentang Rencana dan

Pelaksanaan RUPS;

d. Jika terdapat benturan kepentingan dalam suatu penggabungan usaha, maka

rencana dan pelaksanaan RUPS wajib memenuhi ketentuan sebagaimana

dimasksud dalam peraturan No. IX.E.1 tentang Benturan Kepentingan

Transaksi Tertentu;

e. Dalam hal RUPS tidak menyetujui rancangan penggabungan usaha, maka

rancangan tersebut baru dapat dilakukan kembali kepada OJK 12 (dua belas)

bulan setelah pelaksanaan RUPS tersebut.128

128

Referensi

Dokumen terkait

Panjang Bentang dalam mm Salinan tabel No.. Kartono Hd 3 Pelat

Tujuan pembuatan laporan hasil praktikum ini adalah untuk mengetahui bagaimana teknis respon fisiologis pada domba, serta mengetahui bagaimana cara mengambil spesimen atau sampel

Hasil uji efektivitas menunjukkan materi mudah dipahami (98.33%); cara penggunaan produk cepat dipahami (96.67%); produk dapat menampilkan menu-menu dengan cepat (95%);

Berdasarkan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.05/2007 serta Peraturan Menteri

mengandung unsur pengetahuan, baik lisan maupun tertulis. Dalam pembelajaran bahasa yang berbasiskan teks, bahasa Indonesia diajarkan bukan hanya sekedar pengetahuan,

Menurut anda bagaimana pengaruh media pada remaja sekitar terhadap

Nawawi dalam Taniredja dan Mustafidah (2011) mengemukakan bahwa populasi adalah keseluruhan subyek yang terdiri dari manusia, benda – benda, hewan, tumbuhan, dan gejala –

Bagaimanakah pengaruh air buangan industri pada logam tembaga (Cu) dalam air dan tanah di Saluran Air Pungkuk, terutama pengaruhnya pada jarak dari sumber polutan,