BAB II
PENGATURAN PENGGABUNGAN PERSEROAN TERBATAS DALAM HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIA
A.Sejarah Pengaturan Penggabungan (Merger) Perseroan Terbatas
Di Indonesia sejarah hukum tentang penggabungan juga masih terbilang
baru. Dalam tingkat undang-undang, pengaturan tentang penggabungan di
Indonesia baru dimulai sejak berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas. Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun
1995 Tentang Perseroan Terbatas tersebut tidak berarti tindakan penggabungan
perseroan terbatas tidak dilakukan di Indonesia. Tindakan penggabungan
perusahaan di Indonesia sudah dimulai dilakukan sudah sejak lama, jauh sebelum
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 berlaku. Pelaksanaan penggabungan
perusahaan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 Tentang
Perseroan Terbatas berdasarkan pada dasar hukum sebagai berikut:66
1. Dasar Hukum Kontraktual
Ada dua macam ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) khususnya buku ke-III yang berlaku terhadap suatu penggabungan,
yaitu sebagai berikut:
1. Ketentuan tentang perikatan pada umumnya
Dalam KUHPerdata tidak diatur secara khusus mengenai perjanjian
penggabungan ini. Tidak ada satu pasalpun dalam KUHPerdata yang
berbicara tentang perjanjian penggabungan. Akan tetapi dalam
66
KUHPerdata vide buku-III terdapat ketentuan umum tentang perikatan
yang diberlakukan terhadap setiap jenis perjanjian, termasuk perjanjian
penggabungan. Ketentuan umum mengenai perikatan ini diatur mulai
dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1456 KUHPerdata.
2. Ketentuan tentang perjanjian jual-beli
Dalam suatu kesepakatan penggabungan antara perseroan terbatas
seringkali (walaupun tidak selamanya) dalam teknik pelaksanaan
diperlukan juga adanya jual-beli saham. Itu sebabnya Pasal 11
Keputusan Menteri Keuangan No. 222/KMK.017/1993 tentang
Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank,
ditentukan bahwa salah satu dokumen yang harus dilampirkan dalam
mengajukan permohonan untuk memperoleh izin penggabungan (izin
tetap) di samping akta perjanjian penggabungan, adalah akta jual-beli
saham.
Dapat ketahui bahwa untuk suatu perjanjian jual-beli, termasuk untuk
jual-beli saham, disamping berlaku ketentuan umum tentang perikatan
yang terdapat di bagian awal dari buku ke-III KUHPerdata, sebagaimana
telah disebutkan di atas, maka berlaku pula ketentuan khusus mengenai
jual-beli, yang terdapat mulai dari pasal 1457 sampai dengan dan
termasuk pasal 1540 KUHPerdata. Teknis pelaksanaan penggabungan
antara dua perseroan terbatas, sering juga dipakai metode inbreng saham
Dalam hal ini kadang-kadang juga dibuat apa yang disebut “Perjanjian
Inbreng”.
2. Dasar hukum bidang usaha khusus
Perseroan terbatas bidang tertentu yang mempunyai dasar hukum
tersendiri sebelumnya berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas. Bidang yang diatur penggabungan secara langsung oleh
perundang-undangan sebelum lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 adalah
perseroan-perseroan bidang perbankan.
Sebelum adanya Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas, penggabungan bank diatur dalam perundang-undangan sebagai berikut:
Untuk penggabungan di bidang perbankan, sudah ada beberapa peraturan
perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu sebagai
berikut:
1. Keputusan Menteri Keuangan No. Kep.614/MK/II/8/1971, mengenai
Pemberian Kelonggaran Perpajakan Kepada Bank-Bank Swasta Nasional yang
Melakukan Penggabungan (Merger);
2. Keputusan Menteri Keuangan No. 278/KMK.01/1989, tanggal 25 Maret 1989,
tentang Peleburan dan Penggabungan Usaha Bank;
3. Surat Edaran Bank Indonesia No. 21/15/BPPP, tanggal 25 Maret, tentang
Peleburan Usaha dan Penggabungan Usaha bagi Bank Umum Swasta Nasional,
4. Keputusan Menteri Keuangan No. 222/KMK.017/1993, tanggal 26 Februari
1993, tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi dan Akuisisi
Bank. Keputusan No. 222 ini menggantikan Keputusan No. 278/KMK.01/198.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas merupakan
tonggak sejarah hukum tentang penggabungan. Sebab undang-undang tersebutlah
yang mulai mengatur penggabungan yang cukup komprehensif di tingkat
undang-undang. Dapat dikatakan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tersebut tercatat
dalam sejarah hukum bisnis, sebagai era kepastian hukum bagi tindakan
penggabungan. Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tersebut kemudian diubah dan
digantikan dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.67
Pada tanggal 16 Agustus 2007, dikeluarkan Undang-Undang No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas, sebagai pengganti Undang-Undang No. 1
Tahun 1995.68 Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 160 Undang-Undang
No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi: “pada saat undang
-undang ini mulai berlaku, Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas (lembaran Negara Republik Indonesia No. 13, Tambahan Lembaran
Negara Indonesia No. 3587), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Dasar dan alasan penggantian Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 dengan
Undang-Undang No.40 Tahun 2007, yang dikemukakan dalam konsideran
maupun dalam penjelasan umum, antara lain seperti yang dijelaskan di bawah ini.
67
Munir Fuady, Op. Cit., hal. 20-23. 68
a. Perekonomian nasional harus diselenggarakan berdasar asas demokrasi ekonomi sesuai dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, dan kesatuan ekonomi nasional.
b. Semua prinsip itu, perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka lebih meningkatkan perkembangan perekonomian nasional sekaligus memberi landasan yang kokoh bagi dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi pada masa mendatang;
c. Perlu diadakan undang-undang yang mengatur tentang Perseroan Terbatas yang dapat mendukung terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif; d. Perseroan Terbatas sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian
nasional, perlu diberi landasan hukum untuk lebih memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama atas dasar kekeluargaan.
Selanjutnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 dipandang sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena
itu, perlu “diganti” dengan undang-undang yang baru.69
Kesempurnaan pelaksanaan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, dalam oprasional, masih membutuhkan beberapa peraturan
pemerintah maupun peraturan menteri. Dalam tindakan penggabungan sendiri
peraturan pemerintah yang sudah seperti Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun
1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan.
Pengaturan penggabungan juga diatur pada perusahan bidang tertentu
seperti perbankan diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1998
tentang merger, konsolidasi dan akuisisi bank yang juga tetap melihat peraturan
perundang-undangan di bidang perbankan yaitu Undang-Undang No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan. Pengaturan penggabungan juga diatur dalam hal
perseroan berbentuk Badan Usaha Milik Negara yaitu Undang-Undang No. 19
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
69
B.Pengertian Penggabungan (Merger) Perseroan Terbatas dalam Hukum yang Berlaku di Indonesia
Suatu pemahaman tentang pengertian penggabungan yang bersumber baik
dari literatur, maupun dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, sangat diperlukan sebelum memahami substansi, makna, dan
kompleksitas dari transaksi penggabungan yang bersangkutan. Pemahaman yang
akurat tentang substansi dan makna penggabungan tersebut menjadi sangat
relevan dan absah mengingat terminologi penggabungan (merger) disatu pihak
dan pengambilalihan (akuisisi) di pihak lain sangat erat terkait dan bahkan tidak
jarang dipergunakan secara tukar-menukar. Namun pada dasarnya hasil sturktur
perseroan (antara penggabungan dan akuisi) sangat berbeda. Secara tepat
kerancuan pemakian istilah “penggabungan” dan “akuisisi‟ tersebut dipaparkan
oleh Gary D. Smith, yaitu “althought the terms acquisition and merger are closely
related and sometimes used interchangeably, the resulting company structure
should be distinguished.70
Berbeda dengan pendapat umum para sarjana termasuk ahli keuangan
bisnis, dan hukum yang melihat hasil akhir penggabungan dan akuisisi berbeda,
Ricky W. Griffin dan Ronald J. Ebert yang melihat sisi realitas hasil akhir
penggabungan dan akuisisi mengatakan, bahwa sekalipun banyak peristiwa secara
umum disebut sebagai penggabungan, dalam realitasnya peristiwa-peristiwa
tersebut adalah “akuisisi”. Alasannya, satu dari perusahaan-perusahaan yang akan
selalu merupakan pihak pengendali, lebih dari setengah kepemilikan dari
70
perushaan kombinasi (penggabungan). Contohnya ketika Daimler-Benz dan
Chrysler bergabung membuat Daimler Chrysler, secara umum disebut sebagai
penggabungan, padahal sebenarnya Daimler yang mengakuisisi Chrysler.71
Terlepas dari kekacauan istilah yang digambarkan diatas, BAB VIII
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, telah mengatur bentuk-bentuk tindakan
restrukturisasi perseroan yang dibenarkan oleh hukum. Terdiri atas
penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan perseroan. Untuk
tindakan penggabungan diartikan:
1. Berdasarkan Pasal 1 ayat (9), Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan
oleh sautu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan
lain yang telah ada, yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari perseroan yang
menggabungkan diri, beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima
penggabungan, dan selanjutnya status badan hukum perseroan yang
menggabungkan diri berakhir karena hukum.
2. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 57
Tahun 2010 Tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan
Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, penggabungan adalah
perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu badan usaha atau lebih, untuk
menggabungkan diri dengan badan usaha lain yang telah ada, yang
mengakibatkan aktiva dan pasiva dari badan usaha yang menggabungan diri,
71
beralih karena hukum kepada badan usaha yang menerima penggabungan, dan
selanjutnya status badan usaha yang menggabungkan diri berkahir karena
hukum.
C.Aspek Hukum Suatu Perjanjian Penggabungan (Merger) Sebagai Alat Bukti
Suatu perjanjian penggabungan dalam penggabungan perusahaan
berbentuk perseroan terbatas (PT) sangat esensial dan besar konstribusi
(sumbangan) hukumnya sebagai alat bukti. Seperti halnya dengan keberadaan
(eksistensi) suatu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam proses
penggabungan yang mutlak harus ada, penggabungan tidak akan direalisasikan
tanpa adanya suatu perjanjian penggabungan. Berdasarkan kedudukan dan fungsi
perjanjian penggabungan tersebut sebagai alat bukti. Undang-Undang No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, tidak menyebut keberadaan perjanjian
penggabungan tersebut.
Keberadaan perjanjian penggabungan dapat dilihat pada peraturan
pelaksana berupa Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998 tentang
Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan khususnya Pasal 13, Pasal 14,
ayat (3), Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 ayat (1), Pasal 17, Pasal 18 ayat (2) dan ayat
(3), serta Pasal 19 ayat (1) dan juga Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1999
tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank sangat jelas mengatur keberadaan
penting dari suatu akta penggabungan. Pentingnya akta penggabungan tersebut
antara lain dinyatakan dalam Pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 27
yang telah mendapat persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta penggabungan yang dibuat
dihadapan notaris dalam bahasa Indonesia.72
Sekalipun peraturan pelaksana tersebut memakai istilah akta
penggabungan atau akta merger, maka hal tersebut lebih tepat dinamakan
perjanjian penggabungan atau perjanjian merger, karena pada dasarnya akta
penggabungan merupakan perjanjian.73
Keharusan adanya suatu perjanjian penggabungan tersebut berlaku
terhadap penggabungan perseroan, baik yang mengakibatkan terjadinya
perubahan anggaran dasar perseroan hasil penggabungan, dimana akta
penggabungan merupakan dokumen bersama-sama akta perubahan anggaran dasar
dimaksudkan dan diajukan kepada Menterti Hukum dan Hak Asasi Manusia,
maupun yang sama sekali tidak mengakibatkan pengubahan anggaran dasar
perseroan hasil penggabungan. Dan karenanya akta penggabungan tersebut tidak
dimasukan/ diajukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam hal
yang terakhir ini, akta penggabungan merupakan dokumen tunggal yang akan
menentukan berlaku efektifnya penggabungan perseroan, satu dan lain
sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 14 ayat (3) Peraturan Pemerintah
No. 27 Tahun 1998, menyatakan bahwa penggabungan yang dilakukan tanpa
72
Cornelius Simanjuntak, Hukum Merger Perseroan Terbatas, Teori dan Praktek, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 264.
73
pengubahan anggaran dasar mulai berlaku sejak tanggal penandatanganan akta
penggabungan (merger).74
Akta penggabungan sendiri dalam peraturan pernundang-undangan
Indonesia tunduk pada hukum perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku ke-III
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Mengacu kepada
elemen-elemen pokok defenisi penggabungan, yaitu:
1. Adanya perjanjian;
2. Adanya dua perseroan atau lebih;
3. Adanya tujuan yang sama, yaitu salah satu perseroan akan menggabungkan diri
kepada (kedalam) perseroan yang menerima penggabungan; dan
4. Adanya keputusan yang sama, yaitu perseroan yang menggabungkan diri akan
bubar.75
dapat difokuskan pada dua elemen pokok yang menciptakan
penggabungan yaitu elemen perjanjian dan elemen jenis perusahaan yang
melakukan penggabungan, yakni perseroan terbatas.
1. Penggabungan Sebagai Salah Satu Bentuk Perjanjian.
Perjanjian merupakan dokumen yang telah menjadi fondasi dan sekaligus
pilar yang menyangga antara satu orang (pihak) dan pihak lainnya. Soedjono
Dirjosiswo mengatakan bahwa: kontrak merupakan dasar, dari banyak kegiatan
sehari-hari, dimana kontrak tersebut menyediakan cara-cara, baik bagi para
74
Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia, Merger Perusahaan Publik, Suatu Kajian Hukum Korporasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006) hal. 22.
75
individu maupun badan hukum dalam dunia bisnis untuk menjual atau sebaliknya
mentransfer harta benda, jasa-jasa, dan hak-hak lainnya.76
Istilah perjanjian dan kontrak sering dipergunakan secara tukar-menukar
dengan pemahaman bahwa pengertian perjanjian tersebut pada hakikatnya sama
dengan pengertian dan maksud serta tujuan dari suatu kontrak . Sir William
Anson yang dikutip Djedjem Widjaja, menyatakan bahwa: A contract is a legaly
binding agreement made between two more parties, by which rights are acquired
by one or more to act or forbearances on the part of the other, or others.77
Pemahaman eksistensi suatu perjanjian menjadi lengkap apabila dipahami
juga tentang pengertian suatu perjanjian itu sendiri berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang ada dan juga pemahaman atas asas-asas dari suatu
perjanjian di samping syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan keadaan cidera
janji (wanprestasi). Dengan demikian, pihak-pihak yang akan membuat suatu
dokumen yang bernama perjanjian akan lebih fokus dan tidak akan bias dengan
dokumen-dokumen hukum lainya.78
a. Pengertian Perjanjian
Pengertian tentang perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata, suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih. Terhadap pengertian
perjanjian tersebut, para sarjana dan ahli hukum pada umumnya memiliki
76
Soedjono Dirjosisworo, Kontrak Bisnis, Menurut Civil Law, Common Law dan Praktek Dagang Internasional, (Bandung: Mandar Maju, 2003) hal. 27.
77
Djedjem Widjaja, Legal Concepts, Legal Terminology and Legal Language in Contracts, (Bandung: Mandar Maju, 2003) hal. 27.
78
pendapat yang seragam, yaitu bahwa defenisi perjanjian tersebut tidak lengkap
dan terlalu luas.
Abdulkadir Muhammad berdendapat bahwa defenisi perjanjian pada pasal
1313 KUHPerdata tidak lengkap karena defenisi perjanjian tersebut dirumuskan
hanya perjanjian satu pihak saja yang terlihat dari rangkaian kalimat, suatu
perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikakan dirinya terhadap 1
(satu) orang lain. Seharusnya ada kalimat saling mengikatkan diri yang
mengindikasikan adanya aktivitas pengikatan diri dua belah pihak.79
Mariam Darus Badrulzaman dan koleganya mengatakan bahwa perjanjian
tersebut terlalu luas, karena defenisi tersebut mencakup juga perjanjian dalam
lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang notabene berbeda sifatnya
dengan perjanjian yang diatur dalam Buku ke-III KUHPerdata.80
b. Asas-Asas Perjanjian
Pada umumnya para sarjana memfokuskan diri pada tiga asas penting
dalam perjanjian, yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas konsensual, dan asas
obligatoir. Namun beberapa sarjana mengembangkan asas-asas perjanjian tersebut
sebagaimana diuaraikan dibawah ini81:
1. Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak atau asas sistem terbuka mempunyai arti
bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja walaupun belum
79
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 78.
80
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 65.
81
atau tidak diatur dalam undang-undang, kesusilaan atau ketertiban
umum.82
Subkti menyatakan bahwa Buku III KUHPerdata yang terdiri atas bagian
umum yang memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan pada
umumnya dan bagian khusus yang memuat peraturan-peraturan mengenai
perjanjian menganut asas kebebasan dalam hal membuat perjanjian.83
Sutan Remy Sjahdeini menjabarkan ruang lingkup kebebasan berkontrak
yaitu:
a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat
perjanjian;
c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kuasa dari perjanjian yang
akan dibuatnya;
d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;
e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;
f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan
undang-undang yang bersifat oprasional.84
2. Asas Konsensualisme
Asas konsensual merupakan dasar dari hukum kontrak dalam hukum
perdata. Demikian dikatakan Charles Himawan dan Mohtar
Kusumaatmadja yang mengatakan, Contract in itself implies a meeting of
82
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hal. 84. 83
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1984), hal. 127. 84
minds, and from the moment that this meeting occurs a contract is formed.
This is the so-called consensual principle which form the of contract law
under the civil code.85
Asas konsensual ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338
KUHPerdata. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata penyebutannya tegas,
sedangkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata ditemukan dalam istilah semua.
Kata semua menunjukan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk
menyatakan keinginannya, yang dirasakanya baik untuk menciptakan
perjanjian. Asas ini sangat erat hubunganya dengan asas kebebasan
mengadakan perjanjian.86
3. Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan berperan penting dalam suatu perjanjian inheren dengan
itu, Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa janji dan kepercayaan
adalah sendi-sendi yang sangat penting dalam hukum perdata. Tanpa
adanya kepercayaan, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan
oleh para pihak.87
Mariam Darus Badrulzaman, mengatakan bahwa, seseorang yang
mengadakan perjanjian dengan pihak lain menumbuhkan kepercayaan
diatara kedua belah pihak tersebut bahwa satu sama lain akan memegang
janjinya. Dengan kata lain, akan memenuhi prestasinya di belakang hari.88
85
Charles Himawan dan Mohtar Kusumaatmadja, Business Law, Contracts and Business Associations, (Bandung: Padjajaran University Faculty of Law, 1984), hal. 7.
86
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 87. 87
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perdata, (Bandung: Sumur Bandung, 1992), hal. 38.
88
Dengan kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya dan bagi
keduanya (yang membuat perjanjian), perjanjian mempunyai kekuatan
mengikat sebagai undang-undang (Pasal 1138 KUHPerdata).
Substansi yang sama juga diutarakan oleh Nieuwnhuis yang berpendapat
bahwa perlu adanya perlindungan terhadap kepercayaan yang ditimbulkan
dalam perjanjian (asas yang melindungi pihak yang beritikad baik).89
4. Asas kekuatan Mengikat
Asas kekuatan mengikat berarti bahwa terikatnya para pihak pada
perjanjian tersebut tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan,
tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki kebiasaan
dan kepatutan serta moral.90
5. Asas Persamaan Hukum
Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada
perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan
jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya
persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu
sama lain.91
6. Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan merupakan kelanjutan dari asas persamaan hukum.
Asas ini menghendaki kedua belah pihak untuk memenuhi dan
melaksanakan perjanjian tersebut. Contoh: kreditor mempunyai kekuatan
89
Henry P. Panggabean, Op. Cit., hal. 8. 90
Charles Himawan dan Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit., hal. 9. 91
untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan
prestasi melalui kekayaan debitor. Namun kreditor memikul pula beban
untuk melaksanakan perjanjian tersbut dengan itikad baik. Dapat dilihat
disini bahwa kedudukan kreditor yang kuat diimbangi dengan
kewajibannya untuk memperlihatkan itikad baik sehingga kedudukan
kreditor dan debitor seimbang.92
7. Asas kepastian hukum
Asas kepastian hukum terdapat dalam setiap perjanjian. Dasarnya adalah
kekuatan mengikat perjanjian tersebut, yaitu sebagai undang-undang bagi
para pihak.93
8. Asas Moral
Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela
dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra
prestasi dari pihak debitor. Hal ini terlihat di dalam Zaakwaarneming,
dimana seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan sukarela
(moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk
meneruskan dan meyelesaikan perbuatannya, juga asas tersebut terdapat
dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi
pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasar atas
kesusilaan (moral).94
92
Ibid, hal. 20 93
Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan dalam KUHPerdata, Buku ke-III, Yurispudensi, Doktrin, Serta Penjelasan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2015), hal. 123.
94
9. Asas Kepatutan
Asas kepatutan ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas ini
berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Asas kepatutan sangat
terkait dengan rasa keadilan dalam masyarakat.95
10.Asas Kebiasaan
Asas ini diatur dalam pasal 1338 jo. 1347 KUHPerdata, yang dipandang
sebagai bagian dari perjanjian, suatu perjanjian tidak hanya mengikat
untuk apa yang secara tegas dinyatakan.
Asas-asas hukum bersifat abstrak, yang terdiri dari nilai yang merupakan
akar dari hukum positif lembaga legislatif dan pengadilan wajib berupaya
menentukan bahwa hukum positif berupa perundang-undangan dan
putusan pengadilan wajib mampu mewujudkan asas-asas tersebut.96
Harlien Budiono, mengemukakan adanya hubungan timbal-balik antara
asas-asas hukum dan aturan-aturan hukum. Dapat di katakan bahwa asas
hukum diakui keberadaan dan pengaruhnya oleh pembuat
undang-undang.97
c. Syarat Sahnya Perjanjian
Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian
diperlukan empat syarat, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
95
Ibid. 96
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 107. 97
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Persyaratan kesepakatan dan kecakapan tersebut dalam butir (1) dan butir
(2) dinamakan syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek
perjanjian. Sedangkan persyaratan dalam butir (3) dan butir (4) dianamakan syarat
objktif, karena mengenai objek perjanjian.98
Syarat subjektif, yaitu kesepakatan dan kecakapan tersebut wajib di penuhi
dengan ancaman perjanjian dapat dibatalkan apabila salah satu dari kedua syarat
tersebut tidak dipenuhi.99 Syarat objektif yaitu hal tertentu artinya apa saja yang
diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu
perselisihan. R. Setiawan berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hal tertentu
adalah prestasi persetujuan yang harus tertentu atau dapat ditentukan, paling tidak
harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya asal dapat ditentukan.100 Syarat
objektif tentang sebab kuasa yang halal atau tujuan perjanjian adalah apa yang
dikehendaki oleh kedua belah pihak dengan mengadakan perjanjian.101 Menurut
Yurispudensi yang ditafsirkan dengan kuasa adalah isi atau maksud dari
perjanjian. Melalui syarat kuasa, didalam praktik maka ia merupakan upaya untuk
menempatkan perjanjian dibawah pengawasan hakim.102
98
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 107. 99
Sudargo Gautama, Indonesian Business Law, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 78), hal. 78.
100
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Jakarta: Binacipta, 1994), hal. 61. 101
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Op. Cit., hal. 137. 102
d. Wanprestasi
M. Yahya Harahap mendefenisikan wanprestasi sebagai pelaksanaan
kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut
selayaknya. Ditambahkan olehnya bahwa seorang debitor disebutkan dan berada
dalam keadaan wanprestasi apabila dia dalam melakukan pelaksanaan prestasi
perjanjian telah lalai sehingga terlambat dari jadwal waktu yang ditentukan atau
melakukan prestasi tidak menurut hal yang sepatutunya.103
Abdulkadir Muhammad menambahkan bahwa untuk menentukan
apakakah debitor melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan
bagaimana seorang debitor dikatakan sengaja atau lalai tidak mematuhi prestasi,
yaitu:
1. Debitor tidak memenuhi prestasi sama sekali;
2. Debitor memenuhi prestasi , tetapi tidak baik atau keliru; atau
3. Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya; atau
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.104
Akibat yang timbul dari wanprestasi adalah keharusan bagi debitor untuk
membayar ganti rugi atau pembatalan perjanjian.105
103
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1996), hal. 60-61.
104
Abdulkadir Muhammad. Op. Cit., hal. 20-21. 105
D.Jenis Perusahaan yang Melakukan Penggabungan (Merger)
Jenis Perusahaan yang akan melakukan penggabungan, merujuk pada
ketentuan Pasal 1 ayat (9) menyatakan yang melakukan penggabungan adalah
perseroan. Hal tersebut juga dapat dilhat dalam Pasal 1 angka 1 menyatakan
bahwa, perseroan terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan
hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam
saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini
serta peraturan pelaksanaannya.
Dapat dianalisis bahwa jenis perusahaan yang melakukan penggabungan
adalah perseroan terbatas, sehingga perusahaan seperti bank, perusahaan
berbentuk badan usaha miliki negara (BUMN), dan juga badan usaha milik daerah
harus berbentuk perseroan terbatas agar dapat melakukan tindakan penggabungan.
Jenis perusahaan lain diluar perseroan terbatas tidak tunduk pada pengaturan
penggabungan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
Perseroan terbatas-pun tidak selalu dapat melakukan penggabungan,
kecuali perseroan terbatas tersebut telah mendapat status badan hukumnya yaitu
setelah diperolehnya pengesahan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atas
akta pendirian Perseroan Terbatas. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 7 ayat
(4) yang menyatakan bahwa, Perseroan memperoleh status badan hukum pada
tanggal diterbitkannya keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum
Eksistensi badan hukum dalam penggabungan perseroan tersebut adalah
relevan karena untuk terealisasinya penggabungan dibutuhkan:
1. Suatu persetujuan organ perseroan, yaitu Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS), dimana keberadaan (eksistensi) RUPS tersebut baru muncul apabila
perseroan terbatas telah mendapatkan status badan hukumnya.
2. Perseroan terbatas itu sendiri sebagai subjek hukum yang secara sah dapat
mengikat perseroan terbatas dalam membuat dan menandatangani dokumen
penggabungan.106
Badan hukum dimaksudkan sebagai badan-badan atau perkumpulan yang
merupakan orang yang diciptakan oleh hukum. Kalimat orang tersebut berarti
pembawa hak yaitu segala sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban. Perseroan
terbatas sebagai badan hukum berarti perseroan tersebut dapat memiliki harta
kekayaan sendiri yang terpisah dari pemegang sahamnya dan dapat bertindak
secara mandiri (indevenden).107 Chatamarasjid Ais menyatakan bahwa, ciri utama
perseroan terbatas adalah bahwa perseroan terbatas merupakan subjek hukum
yang bersatus badan hukum, yang pada gilirannya membuat tanggung jawab
terbatas bagi para pemegang saham, direksi, dan komisaris.108
Dapat dianalisi bahwa melihat tentang perjanjian dan jenis perusahaan
tersebut diatas, adalah jelas bahwa akta penggabungan pada hakikatnya
merupakan perjanjian yang oleh undang-undang diharuskan dibuat dalam bentuk
akta notaris. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan
106
Cornelius Simanjuntak, dan Natalie Mulia, Op. Cit., hal. 33. 107
C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia, Aspek Hukum dalam Bisnis, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1994), hal. 16-17.
108
peraturan pelaksanya tidak menjelaskan tentang latar belakang keberadaan sautu
perjanjian penggabungan yang harus dibuat dalam bentuk akta notaris, dan
karenanya meniadakan kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian penggabungan
dalam bentuk akta di bawah tangan.
a. Akta otentik
Pasal 1868 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu akta otentik ialah
suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,
dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu
ditempat dimana akta dibuatnya.
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris menyatakan bahwa akta notaris adalah akta otentik yang dibuat
oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang
ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris menyatakan notaris adalah pejabat umum yang berwenang
untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Pasal 128 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, menyatakan Rancangan Penggabungan, Peleburan,
Pengambilalihan, atau Pemisahan yang telah disetujui RUPS
atau Pemisahan yang dibuat di hadapan notaris dalam bahasa
Indonesia.
G. H. S. Lumban Tobing menyatakan apabila suatu akta hendak
memperoleh stempel otentisitas, hal mana terdapat pada akta notaris,
maka menurut ketentuan dalam Pasal 1868 KUHPerdata, akta yang
bersangkutan harus memenuhi persyaratan berikut:
1) akta itu harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (ten overstaan)
seorangan pejabat umum;
2) Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang;
3) Pejabat umum oleh-atau di hadapan siapa akta itu dibuat harus
mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.109
G. H. S. Lumban Tobing selanjutnya menegaskan bahwa, apabila
syarat ke-2 diatas tidak dipenuhi akta tersebut tidak menjadi batal
tetapi hanya kehilangan ontensitasnya dan selanjutnya akta tersebut
hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan apabila akta
tersebut ditandatangani oleh para penghadap (comparanten).
Sudikno Mertokusmo juga mengatakan hal yang sama bahwa suatu
akta yang dibuat oleh pejabat yang tidak memiliki wewenang dan
tanpa ada kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi syarat
tidak dapat diangaap sebagai akta otentik, tetapi merupakan akta di
109
bawah tangan apabila ditandatangani oleh para pihak yang
bersangkutan.110
Manfaat dari suatu akta otentik dijelaskan dalam Pasal 1870
KUHPerdata, yaitu bahwa suatu akta otentik merupakan bukti yang
sempurna bagi para pihak dalam akta beserta ahli waris mereka dan
pihak-pihak yang mendapatkan hak dari mereka tentang apa yang
dimuat dalam akta tersebut.
M. Yahya Harahap menyatakan apabila alat bukti akta otentik yang
diajukan memenuhi syarat formil dan materil dan bukti lawan yang
dikemukakan tergugat tidak mengurangi keberadaanya, pada dirinya
sekaligus melekat kekutan pembuktian yang sempurna dan mengikat.
b. Akta Notaris Sebagai Alat Bukti yang Lengkap
Akta Notaris sebagai akta otentik merupakan bukti yang cukup atau
bukti yang sempurna. Kekuatan pembuktian yang sempurna ini berarti
bahwa isi akta tersebut oleh hakim dianggap benar, kecuali apabila
diajukan bukti perlawanan dengan nilai bukti yang mengikat. Disini
hakim harus mempercayai apa yang ditulis dalam akta tersebut.
Dengan perkataan lain, yang termuat dalam akta harus dianggap benar
selama ketidakbenaranya tidak dibuktikan.111
Setiawan menyatakan bahwa dalam doktrin dikenal tiga jenis kekuatan
pembuktian, yaitu:
110
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal 120.
111
1. Kekuatan pembuktian suatu akta yang dilihat dari segi wujudnya;
2. Kekuatan pembuktian formal;
3. Kekuatan pembuktian materiil.
Kekuatan pembuktian formal membuktikan bahwa para pihak telah
menerangkan apa yang ditulis dalam akta, sedangkan kekuatan
pembuktian material membuktikan di antara para pihak bahwa telah
terjadi peristiwa-peristiwa yang disebut dalam akta. Setiawan
berpendapat bahwa suatu akta notaris memiliki ketiga jenis kekuatan
pebuktian tersebut.112
berdasarkan uraian tentang akta otentik dan akta notaris sebagai bukti yang
lengkap tersebut diatas adalah jelas bahwa perjanjian penggabungan yang dibuat
dalam bentuk akta notaris merupakan dan tergolong ke dalam akta otentik,
sepanjang memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 1868 KUHPerdata
dan karenanya merupakan alat bukti yang lengkap dan sempurna dengan kekuatan
pembuktian formal, material dan mengikat.
Melihat adanya bentuk tertentu dari suatu perjanjian yang disyaratkan oleh
undang-undang, seperti akta penggabungan tersebut, Mariam Darus Badrulzaman
mengatakan bahwa bentuk tertulis tersebut tidak semata-mata merupakan alat
pembuktian, tetapi juga merupakan syarat adanya perjanjian, dan apabila bentuk
tertentu tidak dipenuhi, perjanjian menjadi tidak sah.113
Adanya kewajiban pembuatan suatu perjanjian penggabungan dalam
bentuk akta notaris dan ditambah lagi dengan adanya kewajiban terhadap
112
Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia, Op. Cit., hal. 39. 113
perjanjian penggabungan harus memuat pokok-pokok yang diatur dalam suatu
rancangan penggabungan, sebagaimana dengan tegas disyaratkan oleh penjelasan
Pasal 13 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998, telah mendegradasi
prinsip pokok kebebasan berkontrak yang dianut KUHPerdata khusunya dalam
Psal 1338 KUHPerdata yang menyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.114
Soedjono Dirdjosisworo mengatakan bahwa prinsip kebebasan berkontrak
tersebut pada umumnya berarti bahwa setiap orang dapat mengadakan persetujuan
sesuai dengan pilihan bahasanya. Artinya, setiap orang bebas untuk mengadakan
atau tidak mengadakan persetujuan, mengadakan persetujuan dengan siapa pun
yang dikehendaki, menentukan isi, daya kerja, dan persyaratan-persyaratan
persetujuan sesuai dengan pandangan sendiri, menuangkannya kedalam bentuk
tertentu, atau tidak tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan tertentu
yang dipilih.115
Berdasarkan pandangan para sarjana tersebut diatas, adanya keharusan
undang-undang bahwa perjanjian penggabungan harus dibuat dalam bentuk akta
notaris dan isinya harus memuat pokok-pokok isi dari suatu rancangan
penggabungan telah mengeleminasi prinsip kebebasan untuk menentukan
menentukan bentuk suatu perjanjian dan kebebasan untuk menentukan isi atau
persyaratan-persyaratan atau objek perjanjian. Mengikuti pandangan Mariam
Darus Badrulzaman bahwa bentuk-bentuk tertentu dari perjanjian harus dipenuhi,
maka bentuk perjanjian penggabungan dalam bentuk akta notaris juga karenanya
114
Ibid.
115
harus dipenuhi dan apabila tidak dipenuhi, perjanjian penggabungan tersebut
menjadi tidak sah.
E.Bentuk klasifikasi Perseroan Terbatas di Indoneisa.
Dalam hal melakukan penggabungan harus memperhatikan bentuk
klasifikasi Perseroan Terbatas yang diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun
2007, tersurat dan tersirat pada Pasal 1 angka 6 dan Pasal 1 angka 7
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Berdasar ketentuan pasal
dimaksud, klasifikasi Perseroan, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Perseroan Tertutup
Perseroan pada dasarnya adalah badan hukum yang memenuhi syarat
ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007. Perseroan
merupakan persekutuan modal yang terbagi dalam saham. Didirikan berdasarkan
perjanjian di antara pendiri atau pemegang saham, serta melakukan kegiatan
usaha, dan kelahirannya juga melalui proses hukum yang dikukuhkan berdasar
keputusan Pengesahan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Akan tetapi meskipun demikian, terdapat beberapa ciri yang menjadi
karakternya jika dibandingkan dengan klasifikasi perseroan lain. Pada perseroan
tertutup terdapa ciri khusus, antara lain:
1. Biasanya pemegang sahamnya “terbatas” dan “tertutup”. Hanya terbatas pada orang-orang yang masih kenal-mengenal atau pemegang sahamnya hanya terbatas di antara mereka yang masih ada ikatan keluarga, dan tertutup bagi orang luar;
3. Sahamnya juga hanya atas nama, yaitu atas nama orang-orang tertentu secara terbatas.116
Berdasar karakter demikian, perseroan yang semacam ini disebut dan
diklasifikasi Perseroan Terbatas yang bersifat “tertutup” atau disebut juga
Perseroan Terbatas keluarga.117
2. Perseroan Publik
Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, Perseroan Publik
adalah Perseroan yang telah memenuhi kriteria jumlah pemegang saham dan
modal disetor dengan ketentuan peraturan. Rujukan peraturan
perundang-undangan yang dimaksud Pasal 1 angka 8 UUPT 2007 adalah Undang-Undang
No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dalam hal ini Pasal 1 angka 22, menurut
pasal ini, agar Perseroan menjadi perseroan publik, harus memenuhi kriteria
sebagai berikut:
1. Saham pereseroan yang bersangkutan, telah dimiliki sekurang-kurangnya 300
(tiga ratus) pemegang saham;
2. Memiliki modal disetor sekurang-kurangnya Rp. 3.000.000.000., (tiga miliar
rupiah);
3. Atau suatu jumlah pemegang saham dengan jumlah modal disetor yang
ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah.
Kalau perseroan telah memenuhi kriteria yang disebut diatas perseroan itu
harus memenuhi ketentuan Pasal 24 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, yaitu:
116
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 38-39. 117
1. Perseroan yang telah memenuhi kriteria sebagai Perseroan Publik, wajib
mengubah AD menjadi perseroan terbuka (PT Tbk);
2. Perubahan AD dimaksud, harus dilakukan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak terpenuhi kriteria tersebut;
3. Selanjutnya, direksi perseroan “wajib” mengajukan pernyataan pendaftaran
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
3. Perseroan Terbatas Terbuka
Klasifikasi atau tipe yang ketiga adalah perseroan terbuka, sebagaimana
yang dinyatakan pada Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, yang
berbunyi: Perseroan Terbuka adalah perseroan publik atau perseroan yang
melakukan penawaran umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal. Jadi yang dimaksud dengan
perseroan terbatas terbuka, menurut Pasal 1 angka 7 UUPT 2007, adalah:
1. Perseroan publik yang telah memenuhi persyaratan Pasal 1 angka 22 UU No. 8
Tahun 1995 yakni memiliki pemegang saham sekurang-kurangnya 300 (tiga
ratur) orang, dan modal disetor sekurang-kurangnya Rp. 3.000.000.000,- (tiga
miliar rupiah);
2. Perseroan yang melakukan penawaran umum saham di bursa efek. Maksudnya
perseroan tersebut, mewarkan atau menjual saham atau efeknya kepada
masyarakat luas.118
118
Emiten adalah pihak yang boleh melakukan penawaran umum. Menurut
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, emiten
adalah pihak yang melakukan penawaran umum, dan penawaran umum baru dapat
dilakukan emiten, setelah lebih dahulu mendaftar ke Badan Pengawas Pasar
Modal (Bapepam), yang semenjak tahun 2012 diganti perananya dengan otoritas
Jasa Keuangan (OJK) melalui, ketentuan peralihan Pasal 55 ayat (1)
Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menyatakan: “Sejak
tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan
pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari
Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke
OJK.”
Bapepam yang tadinya merupakan lembaga pemerintah di bawah
kementerian keuangan, kini bergabung dan menjadi bagian dari OJK. Sehingga
nama Bapepam tidak digunakan lagi, dan diganti dengan kepala eksekutif
pengawas pasar modal. Meski demikian, peran dan tugasnya tidak berubah, yakni
melaksanakan tugas-tugas seperti ketika masih bernama Bapepam dibawah
Kementerian Keuangan.119
119
F.Proses Penggabungan (Merger) Perseroan Terbatas di Indonesia.
Penggabungan menurut ketentuan Pasal 123 Undang-Undang No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dapat dilaksanakan dengan cara terlebih
dahulu menyusun rancangan penggabungan oleh direksi perseroan yang akan
menggabungkan diri dan yang akan menerima penggabungan. Rancangan
penggabungan tersebut sekurang-kurangnya harus memuat:
a. Nama dan tempat kedudukan dari setiap perseroan yang akan melakukan penggabungan;
b. Alasan serta penjelasan direksi perseroan yang akan melakukan penggabungan dan persyaratan penggabungan;
c. Tata cara penilaian dan konversi saham perseroan yang menggabungkan diri terhadap saham perseroan yang menerima penggabungan;
d. Rancangan perubahan anggaran dasar perseroan yang menerima penggabungan apabila ada;
e. Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf a yang meliputi 3 (tiga) tahun buku terakhir dari setiap perseroan yang akan melakukan penggabungan;
f. Rencana kelanjutan atau pengakhiran kegiatan usaha dari perseroan yang akan melakukan penggabungan;
g. Neraca performa perseroan yang menerima penggabungan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia;
h. Cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota direksi, dewan komisaris, dan karyawan perseroan yang akan melakukan penggabungan diri;
i. Cara penyelesaian hak dan kewajiban perseroan yang akan menggabungkan diri terhadap pihak ketiga;
j. Cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap penggabungan perseroan;
k. Nama anggota direksi dan dewan komisaris serta gaji, honorarium dan tunjangan bagi anggota direksi dan dewan komisaris perseroan yang menerima penggabungan;
l. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan penggabungan;
m.Laporan mengenai keadaan, perkembangan, dan hasil yang dicapai dari setiap perseroan yang akan melakukan penggabungan;
n. Kegiatan utama setiap perseroan yang melakukan penggabungan dan perubahan yang terjadi selama tahun buku yang sedang berjalan; dan
o. Rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan yang mempengaruhi kegiatan perseroan yang akan melakukan penggabungan.120
120
Setelah rancangan penggabungan selesai disusun maka:
1. harus mendapat persetujuan dewan komisaris masing-masing perseroan yang
akan bergabung;
2. setelah dewan komisatis memberikan persertujuan, baru diajukan kepada
RUPS masing-masing perseroan untuk mendapat persetujuan.121
Bagi perseroan tertentu selain rancangan penggabungan mendapat
persetujuan dewan komisaris dan RUPS masing-masing, perlu mendapat
persetujuan terlebih dahulu dari instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Menurut penjelasan Pasal 123 ayat (4) Undang-Undang No.
40 Tahun 2007, perseroan tertentu dalam konteks ini adalah perseroan yang
mempunyai bidang usaha khusus, antara lain lembaga keuangan bank dan
lembaga keuangan non bank. Instansi terkait yang dimaksud disini antara lain
Bank Indonesia (BI) untuk penggabungan perseroan perbankan. Sesuai dengan
Pasal 123 ayat (5) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, semua ketentuan yang
dikemukakan diatas, berlaku juga bagi perseroan terbuka sepanjang tidak diatur
lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.122
Pasal 127 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 mengatur kuorum
kehadiran dan pengambilan keputusan RUPS dalam rangka penggabungan. Pada
prinsipnya kuorum dan pengambilan keputusan, merujuk kepada ketentuan pasal
87 ayat (1) dan pasal 89 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007. Hal ini ditegaskan
oleh Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, yang mengatakan
121
Ibid, hal. 489. 122
keputusan RUPS dalam rangka penggabungan sah apabila diambil sesuai dengan
ketentuan Pasal 87 ayat (1) dan Pasal 89.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 89 ayat (1), RUPS untuk menyetujui
penggabungan hanya dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 3/4 (tiga
perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, hadir atau diwakili
dalam RUPS. Kurang dari jumlah tersebut, RUPS tidak dapat dilangsungkan.
Anggaran dasar perseroan, tidak dibenarkan atau dilarang mengatur kourum
kehadiran lebih kecil dari 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham
dengan hak suara, akan tetapi sebaliknya Pasal 89 ayat (1) membolehkan
anggaran dasar mengatur kourum kehadiran lebih besar daripada 3/4 (tiga
perempat) bagian.
Pada prinsipnya keputusan RUPS dalam rangka memberi persetujuan
penggabungan sah menurut Pasal 89 ayat (1), apabila disetujui paling sedikit 3/4
(tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan dalam RUPS tersebut.
Tanpa mengurangi prinsip pengambilan keputusan RUPS yang dijelaskan diatas,
perlu diperhatikan ketentuan Pasal 127 ayat (1) yang mengatakan RUPS harus
berpedoman kepada ketentuan Pasal 87 ayat (1), yang mengatakan bahwa
keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
Jika kourum kehadiran tidak tercapai dapat diadakan RUPS kedua dengan
kourum kehadiran paling sedikit:
2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, hadir
Keputusan sah jika disetujui paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari
jumlah suara yang dikeluarkan.123
Sekiranya RUPS kedua ini gagal karena tidak mencapai kourum, dapat
lagi diadakan RUPS ketiga dengan jalan perseroan mengajukan permohonan
kepada Ketua Pengadilan Negeri agar ditetapkan kuorum RUPS ketiga sesuai
dengan ketentuan pasal 86 ayat (5) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007.
Jika dewan komisaris masing-masing menyetujui rancangan
penggabungan, Pasal 127 ayat (2) memerintahkan dan mewajibkan direksi
perseroan yang akan melakukan penggabungan mengumumkan ringkasan
rancangan penggabungan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Diumumkan paling sedikit dalam 1 (satu) surat kabar sesuai ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No.40 Tahun 2007, surat kabar adalah surat kabar harian berbahasa Indonesia yang beredar secara nasional;
2. Mengumumkan secara tertulis ringkasan rancangan penggabungan kepada pekerja perseroan yang akan melakukan penggabungan;
3. Pengumuman paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS diselenggarakan;
4. Pengumuman harus memuat juga pemberitahuan bahwa pihak yang bekepentingan dapat memeperoleh rancangan penggabungan di kantor perseroan, terhitung sejak tanggal pengumuman sampai tanggal RUPS diselenggarakan.
Bertitik tolak dari penjelasan yang dikemukakan, pengumuman dalam
surat kabar maupun pengumuman tertulis kepada pekerja perseroan, wajib
dilakukan direksi sebelum pemanggilan RUPS, yakni paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS yang akan membicarakan mata acara
atau agenda penggabungan tujuan pengumuman itu menurut penjelasan Pasal 127
123
ayat (2) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, untuk memberi kesempatan kepada
pihak-pihak yang bersangkutan agar mengetahui rencana penggabungan tersebut.
Pasal 127 ayat (4) memberi hak kepada kreditor untuk mengajukan
keberatan terhadap rencana penggabungan, jika penggabungan itu berdasar
rancangan penggabungan yang diumumkan merugikan kepentingannya, sesuai
proses berikut:
1. Keberatan diajukan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman: a. Apabila dalam jangka waktu tersebut kreditor tidak mengajukan keberatan
terhadap rancangan penggabungan;
b. Maka kreditor dianggap menyetujui penggabungan yang akan dilakukan sesuai dengan rancangan dimaksud.
2. Dalam hal direksi tidak dapat menyelesaikan keberatan kreditor sampai dengan tanggal RUPS diselenggarakan, maka:
a. Keberatan kreditor disampaikan direksi dalam RUPS, dan b. RUPS yang akan mengambil penyelesaian.
3. Penggabungan digantungkan pada penyelesaian keberatan kreditor. Pasal 127 ayat (7) menggantungkan realisasi penggabungan pada penyelesaian keberatan kreditor, sesuai dengan prinsip berikut:
a. Selama penyelesaian keberatan kreditor belum tercapai baik oleh direksi maupun oleh RUPS, maka;
b. Selama itu pula penggabungan perseroan tidak dapat dilaksanakan.124
Jika RUPS masing masing perseroan yang akan melakukan penggabungan
menyetujui rancangan penggabungan, maka menurut Pasal 128 ayat (1),
rancangan penggabungan itu dituangkan ke dalam akta penggabungan. Akta
penggabungan sah secara formil, harus dibuat di hadapan Notaris dan dibuat
dalam bahasa Indonesia. Selama rancangan penggabungan belum dituangkan ke
dalam akta penggabungan yang dibuat dihadapan notaris, penggabungan belum
dapat dilaksanakan. Dengan kata lain, sekiranya penggabungan dilakukan tidak
berdasar akta penggabungan yang berbentuk akta notaris, penggabungan tersebut
124
cacat hukum, bahkan batal karena melanggar ketentuan Pasal 128 ayat (1)
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007.
Sesuai dengan Pasal 129 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, salinan akta
penggabungan dilampirkan pada:
1. Pengajuan permohonan untuk mendapat persetujuan menteri apabila ternyata
penggabungan tersebut mengalami perubahan anggaran dasar yang disebut
dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007. Jadi sekiranya
penggabungan disertai perubahan anggaran dasar yang disebut Pasal 21 ayat
(2):
a. Nama perseroan dan/ atau tempat kedudukan perseroan;
b. Maksud dan tujuan serta kegiatan perseroan;
c. Jangka waktu berdirinya perseroan;
d. Besarnya modal dasar;
e. Pengurangan modal ditempatkan dan disetor; atau
f. Status perseroan tertutup menjadi perseroan terbuka dan sebaliknya.
Maka dalam hal demikian penggabungan harus mendapat perserujuan menteri.
Untuk itu harus diajukan permohonan untuk mendapat perserujuan Menteri
dengan cara melampirkan akta penggabungan dalam permohonan.125
2. Penyampaian pemberitahuan kepada menteri tentang perubahan anggaran dasar
sebagaimana dimaksud Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007.
Apabila penggabungan disertai perubahan anggaran dasar yang termasuk
kategori yang disebut pasal 21 ayat (3), berarti perubahan anggaran dasar
125
tersebut tidak termasuk kriteria perubahan anggaran dasar tertentu yang disebut
pada Pasal 21 ayat (2). Dalam hal yang demikian, penggabungan itu cukup
diberitahukan, dengan cara menyampaikan permberitahuan kepada menteri,
yang dilampiri dengan akta penggabungan. Jika penggabungan tidak disertai
perubahan anggaran dasar, menurut Pasal 129 ayat (2):
a. Salinan akta penggabungan harus disampaikan kepada menteri;
b. Menteri mencatat penggabungan tersebut dalam daftar perseroan.
Berdasar Pasal 133 ayat (1), direksi perseroan yang menerima
penggabungan wajib mengumumkan hasil penggabungan dengan tata cara:
1. Diumumkan dalam 1 (satu) surat kabar atau lebih;
2. Pengumuman harus dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal berlakunya penggabungan.
Maksud pengumuman itu menurut penjelasan Pasal 133 Undang-Undang
No. 40 Tahun 2007, agar pihak ketiga yang berkepentingan mengetahui telah
dilakukan penggabungan. Dalam hal ini pengumuman wajib dilakukan dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal:
a. Persetujuan menteri atas perubahan anggaran dasar dalam hal terjadi
penggabungan;
b. Pemberitahuan diterima menteri baik dalam hal terjadi perubahan anggaran
dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) maupun tidak disertai
perubahan anggaran dasar.
Berdasar Pasal 126 ayat (2), pemegang saham yang tidak setuju terhadap
sebagaimana dimaksud Pasal 62 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, yaitu hanya
sebatas itu hak yang dibolehkan undang-undang dipergunakan pemegang saham,
yakni:
1. Meminta kepada perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar;
2. Pada prinsipnya perseroan diwajibkan membelinya;
3. Apabila saham yang diminta untuk dibeli perseroan melebihi batas ketentuan
pembelian kembali saham oleh perseroan sebagaimana yang digariskan Pasal
37 ayat (1) huruf b, perseroan wajib mengusahakan agar sisa saham tersebut
dibeli oleh pihak ketiga.
Menurut penjelasan Pasal 126 ayat (2), yang dimaksud harga wajar saham
dari perseroan adalah sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 128 ayat (2)
huruf c (harga wajar saham dari perseroan yang menggabungkan diri, serta harga
wajar saham dari perseroan yang menerima penggabungan untuk menentukan
perbandingan penukaran saham dalam rangkan konvensi saham). Penggunaan hak
pemegang saham yang meminta agar sahamnya dibeli dengan harga wajar oleh
perseroan, tidak dapat menghentikan proses penggabungan. Hal tersebut
ditegaskan dalam Pasal 126 ayat (3) yang mengatakan pelaksanaan hak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghentikan proses pelaksanaan
penggabungan.
Untuk perseroan terbuka, selain harus merujuk kepada ketentuan
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, khusus bagi perseroan
terbatas yang bergerak sebagai perseroaan publik atau dikenal juga dengan
bidang pasar modal yaitu peraturan No. IX.G.1 tentang Penggabungan Usaha
atau Peleburan Usaha Perusahaan Publik atau Emiten sesuai Keputusan ketua
Bapepam No: Kep-52/PM/1997.126
Penggabungan usaha bagi perseroan publik wajib memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. Direksi dan komisaris perseroan publik atau emiten yang akan melakukan
penggabungan usaha wajib membuat pernyataan kepada OJK dan RUPS
bahwa penggabungan usaha dilakukan dengan memperhatikan kepentingan
perseroan, masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha, serta ada
jaminan tetap terpenuhinya hak-hak pemegang saham publik dan karyawan/
pekerja;
b. Surat pernyataan dimaksud harus didukung oleh pendapat yang diberikan pihak
independen;
c. Memperoleh persetujuan RUPS perseroan publik atau emiten;
d. Perseroan publik atau emiten yang akan melakukan penggabungan usaha wajib
menyampaikan peryataan penggabungan usaha kepada OJK yang berisi
rancangan penggabungan usaha.
Penggabungan usaha bagi perseroan publik wajib dilaksanakan dengan
memenuhi tata cara sebagai berikut:
a. Direksi masing-masing perseroan, setelah memperoleh persetujuan komisaris, wajib menjajaki kelayakan penggabungan usaha, yang antara lain meliputi kegiatan penelaahan atas:
126
1. Keadaan usaha perseroan serta perkembangan hasil usaha perseroan, dengan memperhatikan pula laporan keuangan perseroan yang telah diaudit oleh akuntan yang terdaftar di OJK selama 3 (tiga) tahun terakhir;
2. Hasil analisis pihak independen mengenai kewajaran nilai saham dan aktiva tetap perseroan serta aspek hukum penggabungan usaha.
3. Metode dan tata cara konversi saham yang akan digunakan, yang didukung oleh keterangan dari pihak indevenden mengenai hal tersebut;
4. Cara penyelesaian kewajiban perseroan terhadap pihak ketiga
5. Cara penyelesaian hak-hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap penggabungan usaha;
6. Sturktur organisasi dan sumber daya manusia setelah penggabungan usaha; 7. Analisis manajemen terhadap kondisi perseroan setelah penggabungan
usaha.
b. Direksi masing-masing perseroan secara bersama-sama wajib menyusun
rancangan penggabungan usaha yang telah disetujui komisaris.
c. Dalam hal penggabungan usaha akan mengakibatkan perubahan yang material
terhadap sifat perseroan, kondisi keuangan atau hal-hal lain yang
mempengaruhi perseroan maka keseluruhan dampak dari perubahan tersebut
haris dicakup dalam dokumen rancangan penggabungan usaha.
d. Pernyataan penggabungan usaha yang berisi rancangan penggabungan usaha
beserta dokumen pendukung secara lengkap wajib disampaikan kepada OJK
paling lambat akhir hari kerja Ke-2 (dua) setelah diperolehnya persetujuan
komisaris.
e. Rancangan penggabungan usaha wajib diumumkan ringkasannya kepada
masyarakat dalam 2 (dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia, satu
diantaranya berperedaran nasional, paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua)
setelah diperolehnya persetujuan komisaris. Pengumuman dimaksud memuat
informasi bahwa rancangan penggabungan usaha tersebut belum medapatkan
f. Dalam hal OJK tidak meminta perseroan publik atau emiten untuk mengajukan
perubahan dan tambahan informasi dalam janka waktu 20 (dua puluh) hari
setelah pengajuan pernyataan penggabungan usaha, maka pernyataan
penggabungan usaha dianggap telah diajukan secara lengkap dan memenuhi
persyaratan serta tata cara yang ditetapkan pada pengajuan.
g. Dalam hal informasi mengenai rencana penggabungan usaha telah diketahui
pihak luar, maka perseroan yang akan melakukan penggabungan usaha harus
memberikan tanggapan kepada OJK dan mengumumkan hal tersebut kepada
masyarakat paling lambat akhir hari kerja berikutnya setelah rencana tersebut
diketahui pihak luar;
h. Dalam hal perseroan yang akan melakukan penggabungan usaha merupakan
perseroan yang saham tercatat di bursa efek, maka perseroan tersebut wajib
mengikuti perturan bursa efek dimana saham perseroan tersebut dicatatkan.127
Terkait dengan penyelenggaraan RUPS perseroan publik atau emiten yang
akan melakukan penggabungan usaha wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Selambat-lambatnya 28 (dua puluh delapan) hari sebelum penyelenggaraan
RUPS, perseroan wajib mengumumkan rancangan penggabungan usaha
melalui 2 (dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia, satu diantaranya
berperedaran nasional yang sekurang-kurangnya memuat ringkasan dari
informasi mengenai rancangan penggabungan usaha.
127
b. Selambat-lambatnya 28 (dua puluh delapan) hari sebelum pelaksanaan RUPS,
surat edaran yang sekurang-kurangnya memuat informasi rancangan
penggabungan usaha wajib disediakan perseroan untuk para pemegang saham;
c. Rencana dan pelaksanaan RUPS perseroan publik wajib memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam peraturan Nomor IX.I.1 tentang Rencana dan
Pelaksanaan RUPS;
d. Jika terdapat benturan kepentingan dalam suatu penggabungan usaha, maka
rencana dan pelaksanaan RUPS wajib memenuhi ketentuan sebagaimana
dimasksud dalam peraturan No. IX.E.1 tentang Benturan Kepentingan
Transaksi Tertentu;
e. Dalam hal RUPS tidak menyetujui rancangan penggabungan usaha, maka
rancangan tersebut baru dapat dilakukan kembali kepada OJK 12 (dua belas)
bulan setelah pelaksanaan RUPS tersebut.128
128