• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Penggunaan Obat Pada Pasien Rawat Jalan Jaminan Kesehatan Nasional (Jkn) Di Rsup H. Adam Malik Periode Oktober-Desember 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil Penggunaan Obat Pada Pasien Rawat Jalan Jaminan Kesehatan Nasional (Jkn) Di Rsup H. Adam Malik Periode Oktober-Desember 2014"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Obat

Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia (Menkes RI., 2014).

Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan. Berbagai pilihan obat saat ini telah tersedia, sehingga diperlukan pertimbangan-pertimbangan yang cermat dalam memilih obat untuk suatu penyakit. penggunaan obat harus tepat agar memberikan manfaat klinik yang optimal (Anief, 2004).

Dalam penggunaannya, obat akan bersifat sebagai obat apabila tepat digunakan dalam pengobatan suatu penyakit dengan dosis dan waktu yang tepat dan obat akan bersifat racun apabila digunakan salah dalam pengobatan atau dengan dosis yang berlebih, namun bila dosisnya kurang juga tidak memperoleh penyembuhan (Anief, 2004).

2.1.1 Antibiotika

(2)

2.1.1.1 Klasifikasi antibiotika

a. Berdasarkan mekanisme kerja antibiotika

i. Menghambat biosintesis dinding sel (contohnya: penicillin, sefalosporin, sikloserin, basitrasin).

ii. Meninggikan permeabilitas membran sitoplasma (contohnya: sefalosporin, sikloserin, basitrasin)

iii. Mengganggu sintesis protein bakteri (contohnya: tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, novobiosin, dan antibiotika golongan aminoglikosida) (Mutschler, 2007).

b. Berdasarkan daya kerja antibiotika

i. Zat-zat bakterisida, yang pada dosis biasa berkhasiat mematikan kuman. Obat-obat ini dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu :

1. Zat-zat yang bekerja terhadap fase tumbuh, misalnya: penisilin, sefalosporin, polipeptida, rifampisin dan golongan kuinolon.

2. Zat-zat yang bekerja terhadap fase istirahat, misalnya: aminoglikosida, nitrofurantoin, INH, kotrimoksazol, dan polipeptida.

ii. Zat-zat bakteriostatik, yang pada dosis biasa terutama berkhasiat menghentikan pertumbuhan dan perbanyakan kuman. Contohnya adalah kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida dan linkomisin (Tan, 2007).

c. Berdasarkan luas aktivitas antibakteri

(3)

positif sedangkan streptomisin, gentamisin, polimiksin-B, dan asam nalidiskat yang aktif khusus hanya pada kuman gram-negatif.

ii. Antibiotika broad-spectrum (spektrum luas) bekerja terhadap lebih banyak kuman baik gram-positif maupun gram-negatif antara lain sulfonamida, ampisilin, sefalosporin, kloramfenikol, tetrasiklin dan rifampisin (Tan, 2007).

2.1.1.2 Penggunaan Antibiotik

Antibiotika digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi akibat kuman atau juga untuk prevensi infeksi, misalnya pada pembedahan yang besar. Secara profilaktis juga diberikan pada pasien dengan sendi dan klep jantung buatan, juga sebelum cabut gigi (Tan, 2007).

Menurut (Nastiti, 2011), Frekuensi penggunaan antibiotik yang tinggi tetapi tidak diimbangi dengan ketentuan yang sesuai atau tidak rasional dapat menimbulkan efek yang negatif, salah satunya adalah resistensi. Resistensi antibiotik dapat memperpanjang masa infeksi, memperburuk kondisi klinis dan beresiko perlunya penggunaan antibiotik tingkat lanjut yang lebih mahal dan efektivitas serta toksisitasnya lebih besar (Nastiti, 2011).

2.1.2 Obat Generik

Defenisi obat generik menurut Permenkes No.02/02/Menkes/068/I/2010 adalah obat dengan nama resmi International Non Proprietary Names (INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya (Menkes RI., 2010).

(4)

Amoksisilin, Ampisilin, Asam mefenamat, dan lain-lain. Nama obat generik biasanya kurang kompleks dibandingkan nama kimianya, misal: asetaminofen menjadi parasetamol sebagai nama generiknya, hal ini dimaksudkan mempermudah dalam berkomunikasi baik dalam mengingat nama obat maupun penulisannya dalam resep dokter. Penulisan nama obat generik biasanya dijumpai pada pembungkus atau labelisasi dari obat (Sitepu, 2007).

Penulisan resep dengan menggunakan nama generik memberikan keleluasaan bagi ahli farmasi dalam memilih produk obat tertentu untuk memenuhi permintaan dalam resep serta memberikan penghematan biaya bagi pasien apabila terdapat persaingan harga (Katzung, 2004).

Sedangkan obat bermerek/bernama dagang didefenisikan sebagai obat dengan nama dagang yang menggunakan nama milik produsen obat yang bersangkutan (Menkes RI., 2010).

Nama obat generik biasanya lebih kompleks dibandingkan obat dengan nama dagang. Biasanya nama dagang obat yang diproduksi memiliki nama yang mudah diingat, terkadang berkaitan dengan perusahaannya atau nama pemiliknya. Contoh obat dengan nama dagang antara lain: Panadol, Tempra, Tylenol dan sebagainya (Sitepu, 2007).

2.1.3 Bentuk Sediaan Obat

(5)

2.1.3.1 Sediaan Cair

Sediaan cair dapat diberikan untuk obat luar, obat suntik, obat minum dan obat tetes seperti larutan, suspensi, emulsi, sirup dan injeksi (Joenoes, 2001). 2.1.3.2 Sediaan Setengah Padat

Sediaan setengah padat pada umumnya hanya digunakan sebagai obat luar, dioleskan pada kulit untuk keperluan terapi atau berfungsi sebagai pelindung kulit seperti salep, krim dan pasta (Joenoes, 2001).

2.1.3.3 Sediaan Padat

Sediaan padat merupakan sediaan dengan sistem unit/dose mengandung dosis tertentu dari satu atau beberapa komponen obat seperti tablet, kapsul, pulvis, pulveres atau puyer dan pil (Joenoes, 2001).

2.2 Penggunaan Obat (Drug Utilization)

Pemanfaatan obat didefinisikan oleh World Health Organization (WHO) sebagai pemasaran, distribusi, resep dan penggunaan obat-obatan dalam masyarakat, dengan penekanan khusus pada hasil medis, sosial dan konsekuensi ekonomi (WHO, 2003).

Penelitian tentang penggunaan obat digunakan untuk menilai aspek penggunaan obat dan peresepan obat, antara lain:

a. Pola pengunaan obat

Hal ini mencakup penggunaan obat secara luas, kecenderungan penggunaan obat dan biayanya dari waktu ke waktu.

b. Kualitas penggunaan obat

(6)

kualitas penggunan obat meliputi: pemilihan obat, biaya obat, dosis obat, kemungkinan interaksi obat dan efek samping obat yang merugikan, dan pengetahuan pasien tentang rasio manfaat-biaya yang diperoleh dari terapi yang dilakukan.

c. Penentuan penggunaan obat

Hal ini meliputi karakteristik pengguna obat (sosiodemografi pasien dan kepatuhan menggunakan obat), karakteristik peresepan (khususnya pengetahuan dan faktor yang mendasari penentuan terapi), dan karaktristik obat (efek terapi dan keterjangkauannya).

d. Outcome penggunaan obat

Outcome panggunaan obat meliputi manfaat dan efek samping pengobatan, dan konsekunsi ekonomi (WHO, 2003).

2.2.1 Tujuan Penelitian Penggunaan Obat

Tujuan utama dari penelitian penggunaan obat adalah untuk memfasilitasi penggunaan obat rasional dalam populasi. Penggunaan obat yang rasional menggambarkan peresepan yang baik yakni dosis yang optimal, pelayanan informasi obat dan harga yang terjangkau. Tanpa mengetahui bagaimana obat diresepkan dan digunakan akan sulit menentukan penggunaan obat yang rasional dan menyarankan langkah-langkah peresepan yang baik.

a. Deskripsi Penggunaan Obat

(7)

dengan bagaimana penggunaan obat untuk mengatasi penyakit tersebut, dan menjadi indikator kulitas dari pola penggunaan obat. Penggunaan obat dapat menilai peresepan yang baik dan mendeteksi masalah penggunaan obat pada distribusi usia dan dosis tertentu, sehingga informasi indikasi, kontraindikasi dan dosis yang optimal dapat meningkatkan penggunaan obat yang lebih baik. b. Tanda Awal Penggunaan Obat Irrasional

Perbedaan geografis dan perubahan penggunaan obat dari waktu ke waktu memiliki implikasi baik kesehatan, sosial dan ekonomi bagi pasien dan masyarakat. Selain itu, dengan membandingkan penggunaan obat berdasarkan obat yang direkomdasikan dan pedoman pengobatan penyakit tertentu dapat menentukan apakah praktek dan pengetahuan tersebut kurang optimal. Pedoman yang dapat menyebabkan obat yang subterapi dan penggunaan obat yang berlebihan juga perlu ditinjau ulang.

c. Intervensi Untuk Meningkatkan Penggunaan Obat (Follow Up)

Penelitian tentang penggunaan obat dapat digunakan untuk menilai apakah intevensi peningkatan penggunaan obat memberikan dampak yang diinginkan. Hal-hal yang dapat dilakukan untuk memperbaiki efek penggunaan obat yang tidak diinginkan antara lain:

1. menetapkan formularium nasional, memberikan informasi obat dan penentuan kebijakan penggunaan obat yang terus menerus dievaluasi. 2. melakukan survei lebih lanjut terhadap penggantian kebijakan sistem

(8)

3. Menilai sejauh mana kegiatan promosi industri farmasi dan pengetahuan masyarakat tentang penggunaan obat.

d. Kontrol Kualitas Penggunaan Obat

Penggunaan obat harus dikontrol untuk meningkatkan kualitas penggunaanobat itu sendiri. Kontrol kualitas dapat diterapkan pada berbagai tingkatan kelompok yang terdiri dari dokter, farmasis/apoteker dan tenaga kesehatan lainnya. Perbedaan substansial dapat mengidentifikasi dan menentuan promosi penggunaan obat yang terbaik (WHO, 2003).

2.2.2 Jenis Informasi Penggunaan Obat

Penelitian penggunaan obat berkaitan dengan jenis informasi yang mendasari penggunaan obat. Berbagai jenis informasi penggunaan obat sangat diperlukan, meliputi: keseluruhan penggunaan obat, kelompok obat, produk generik, kondisi pasien dan prescriber. Selain itu, biaya obat juga penting untuk memastikan bahwa obat yang digunakan sudah efisien dan ekonomis (WHO, 2003).

2.2.2.1 Dasar Penggunaan Obat

(9)

Ca-Channel Blocker; dosis dan peresepan dosis perhari dapat membandingkan respon peggunaan obat pada pasien, etnis tertentu, daerah atau fasilitas kesehatan di suatu negara yang sama, juga pada indikasi yang berbeda pada obat yang sama sehingga dapat menginterpretasikan pengunaan secara keseluruhan (WHO, 2003).

2.2.2.2 Masalah Informasi Dasar

Adapun beberapa masalah yang mungkin timbul pada penggunaan obat antara lain: masalah terapi obat dan non-obat, masalah keamanan obat yang mungkin saja muncul, lamanya konsultasi, bagaimana obat untuk terapi diresepkan, bagaimana obat disuplai dan peresepan obat lainnya (WHO, 2003). 2.2.2.3 Informasi Pasien

Informasi tentang faktor demografi dan rincian lainnya tentang pasien meliputi jenis kelamin, usia juga merupakan hal yang penting untuk mengetahui menentukan jenis terapi yang terbaik dan mengurangi efek samping yang merugikan dari obat. Misalnya pada penggunaan obat antiinflamasi non-steroid dan managemen terapi yang baik pada diagnosa penyakit seperti hipertensi, asma dan gagal jantung (WHO, 2003).

2.2.2.4 Informasi Prescriber

(10)

2.2.3 Data Peresepan

Data dari fasilitas kesehatan dapat digunakan untuk mengevaluasi aspek-aspek tertentu dari penyedia pelayanan kesehatan, penggunaan obat dan penetapan indikator yang yang memberikan informasi kegiatan peresepan dan aspek pemeliharaan kesehatan pasien. Indikator ini dapat digunakan untuk menentukan penyebab masalah kesehatan muncul, menyediakan informasi untuk monitoring, mengawasi dan memotivasi penyedia pelayanan kesehatan untuk mematuhi standart kesehatan yang telah ditetapkan (WHO, 2003).

Data resep dapat diperoleh dari pasien rawat jalan dan pasien rawat inap. Informasi juga dapat diperoleh dari peresepan meliputi: demografi pasien, nama obat, bentuk sediaan, kekuatan dan dosis obat, frekuensi pemberian dan lama pengobatan. Pada resep, biasanya juga tertera diagnosa penyakit yang akan memudahkan untuk menentukan indikasi yang sesuai dan pemberian antibiotika empiris sebelum hasil laboratorium diketahui (WHO, 2003).

Salah satu dasar metode untuk menilai kerasionalan penggunaan obat adalah dengan indikator peresepan yang direkomedasikan oleh WHO (1993), meliputi:

a. Rerata jumlah item obat per lembar resep

(11)

b. Persentase peresepan obat generik

Persentase peresepan obat generik bertujuan untuk mengukur kecenderungan peresepan obat generik. Penghitungan harus berdasarkan peresepan bukan hanya melihat pada label obat yang diberikan. Sebagai contoh peresepan obat denagan nama generik di Nepal adalah sebesar 44%.

c. Persentase peresepan antibiotik

Persentase peresepan antibiotik bertujuan untuk mengukur penggunaan antibiotik, karena obat tersebut sering digunakan secara berlebihan sehingga dapat menyebabkan resistensi dan pemborosan biaya terapi.

d. Persentase persepan sediaan injeksi

Persentase persepan sediaan injeksi ditujukan untuk mengukur secara keseluruhan dua hal yang penting yakni penggunaan obat yang berlebihan dan pemborosan biaya.

e. Persentase peresepan obat berdasarkan formularium

Persentase peresepan obat berdasarkan formularium bertujuan untuk mengukur derajat kesesuaian peresepan berdasarkan ketentuan obat nasional, sebagai indikasi peresepan obat berdasarkan daftar obat nasional atau daftra obat yang tersedia di fasilitas tersebut (WHO, 1993).

2.3 Interaksi Obat

(12)

tersebut diberikan tunggal. Hasil klinis interaksi obat-obat dapat dikategorikan sebagai antagonisme (yaitu, 1 + 1 < 2), sinergis (yaitu, 1 + 1 > 2) (Tatro, 2009).

Kesadaran yang tinggi dari profesional kesehatan tentang obat-obat yang sering diberikan untuk terapi, serta pengetahuan dokter tentang mekanisme interaksi obat akan sangat membantu untuk mengurangi/menghindari kemungkinan terjadinya interaksi, ketika obat-obat tertentu diberikan secara bersamaan atau diminum oleh penderita pada waktu yang bersamaan, karena hal ini dapat mengakibatkan kerugian bagi penderita.

Faktor-faktor penderita yang berpengaruh terhadap Interaksi Obat: 1.Umur Penderita

a.Bayi dan balita

Proses metabolik belum sempurna, maka efek obat dapat lain. b.Orang Lanjut usia

Orang lanjut usia relatif lebih sering berobat, lebih sering menderita penyakit kronis seperti hipertensi, kardiovaskuler, diabetes, arthritis. Kebanyakan pada orang lanjut usia fungsi ginjal menurun, sehingga ekskresi obat terganggu, kemungkinan fungsi hati juga terganggu. Selain itu, diet pada lanjut usia juga sering tidak memadai.

2.Penyakit yang sedang diderita

Pemberian obat dapat menjadi kontraindikasi untuk penyakit tertentu. 3.Fungsi Hati Penderita

(13)

4.Fungsi ginjal penderita

Fungsi ginjal terganggu akan mengakibatkan ekskresi obat terganggu. Ini akan mempengaruhi kadar obat dalam darah, juga dapat memperpanjang waktu paruh biologik (t½) obat. Dalam hal ini ada 3 hal yang dapat dilakukan, yaitu:

a.Dosis obat dikurangi

b.Interval waktu antara pemberian obat diperpanjang, atau c.Kombinasi dari kedua hal diatas.

5.Kadar protein dalam darah/serum penderita

Bila kadar protein dalam darah penderita dibawah normal, maka akan berbahaya terhadap pemberian obat yang ikatan proteinnya tinggi.

6.pH urin penderita

pHurine dapat mempengaruhi ekskresi obat di dalam tubuh. 7.Diet penderita

Diet dapat mempengaruhi absorpsi dan efek obat (Joenoes, 2001). 2.3.1 Interaksi Farmakokinetika

Interaksi farmakokinetikadalah ketika obat yang diberi bersamaan, satu obatdapat mengubahtingkat absorbsi, distribusi, metabolisme atauekskresiobatlain. Hal ini paling seringdiukur denganperubahan dalamsatu atau lebih parameterkinetik, seperti konsentrasiserum puncak, area di bawah kurva,konsentrasiwaktu paruh, jumlah total obatdiekskresikandalam urin (Tatro, 2009).

(14)

2.3.1.1 Interaksi pada Proses Absorbsi

Interaksi pada proses absorbsi dapat terjadi akibat perubahan harga pH obat pertama. Misalnya, apabila antasida diberikan bersamaan dengan obat yang bersifat asam atau basa, maka jumlah absorbsinya akan berubah akibat meningkatnya pH dalam saluran lambung bagian atas. Selain itu, pengaruh absorbsi pada obat kedua mungkin terjadi akibat perpanjangan atau pengurangan waktu paruh obat di dalam saluran cerna atau akibat pembentukan kompleks (Mutschler, 2007).

2.3.1.2 Interaksi pada Proses Distribusi

Jika dalam darah pada saat yang bersamaan terdapat obat yang berbeda, maka terdapat kemungkinan persaingan terhadap tempat ikatan protein. Persaingan tempat ikatan protein merupakan proses yang biasa terjadi pada obat dengan rentang terapi sempit dan volume distribusi yang relatif kecil (Mutschler, 2007).

2.3.1.3 Interaksi pada Proses Metabolisme

(15)

dihentikan dan dosis obat kedua tidak dikurangi, maka kadang-kadang terdapat bahaya kelebihan dosis karena efek induksi ditiadakan (Mutschler, 2007).

2.3.1.4 Interaksi pada Proses Eksresi

Interaksi pada proses eksresi melalui ginjal dapat terjadi akibat perubahan pH dalam urin atau karena persaingan tempat ikatan pada sistem transport yang berfungsi untuk sekresi atau reabsorbsi aktif. Senyawa-senyawa yang dapat menurunkan pHakan memperbesar eksresi basa lemah karena senyawa-senyawa ini dalam keadaan terionisasi dan dengan cara yang sama senyawa-senyawa yang menaikkan pH urin dapat meningkatkan eksresi asam-asam lemah (Mutschler, 2007).

2.3.2 Interaksi Farmakodinamika

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang satu obat menginduksi perubahan respon pasien terhadap obat tanpa mengubah farmakokinetik obat objek. Artinya, perubahan kerja obat dapat terjadi tanpa diikuti perubahan konsentrasi plasma. Interaksi farmakologis, yaitu penggunaan bersamaan dari dua atau lebih obat dengan tindakan farmakologis yang sama atau berlawanan (Tatro, 2009).

(16)

2.4 Resep

2.4.1 Pengertian Resep

Secara definisi dan teknis, resep artinya pemberian obat secara tidak langsung, ditulis jelas dengan tinta, tulisan tangan pada kop resmi kepada pasien, format dan kaidah penulisan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mana permintaan tersebut disampaikan kepada farmasi atau apoteker di apotek agar diberikan obat dalam bentuk sediaan dan jumlah tertentu sesuai permintaan kepada pasien yang berhak (Jas, 2009).

Menurut Permenkes (2014), resep adalah permintaan tertulis dokter atau dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk paper atau electronic untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai dengan peraturan yang berlaku (Menkes RI., 2014).

Resep dituliskan pada suatu kertas resep yang umumnya berbentuk empat persegi panjang, dengan ukuran yang ideal adalah lebar 10-12 cm dan panjang

15-18 cm. Resep merupakan perwujudan akhir dari kompetensi, pengetahuan, dan keahlian dokter dalam menerapkan pengetahuannya dalam bidang farmakologi dan terapi. Selain menerapkan sifat-sifat obat yang diberikan dan dikaitkan dengan variabel dari penderita, maka dokter yang menulis resep idealnya perlu pula mengetahui nasib obat didalam tubuh: penyerapan, distribusi, metabolisme dan eksresi obat; toksikologi serta penentuan regimen yang rasional bagi setiap penderita secara individual (Joenoes, 2001).

(17)

tidak bisa diserahkan langsung pada pasien atau masyarakat tetapi harus melalui resep dokter. Dalam sistem distribusi obat nasional, peran dokter sebagai medical care dan alat kesehatan ikut mengawasi penggunaan obat oleh masyarakat, apotek sebagai organ distributor terdepan yang berhadapan langsung dengan masyarakat atau pasien, dan apoteker berperan sebagai pharmaceutical care dan informan obat, serta melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek. Di dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat, kedua profesi ini harus berada dalam satu tim yang solid dengan tujuan yang sama yaitu melayani kesehatan dan menyembuhkan pasien (Jas, 2009).

2.4.2 Tujuan Penulisan Resep

(18)

2.4.3 Penulisan Resep yang Tidak Tepat

Penulisan resep adalah tindakan terakhir dari dokter untuk penderitanya, yaitu setelah menentukan anamnesis, diagnosis, dan prognosis serta terapi yang akan diberikan berupa profilaktik, simtomatik atau kausal. Terapi ini diwujudkan dalam bentuk resep. Penulisan resep yang tepat dan rasional merupakan penerapan berbagai ilmu, karena itu banyak variabel-variabel yang harus diperhatikan, maupun variabel unsur obat dan kemungkinan kombinasi obat, ataupun variabel penderitanya secara individual (Joenoes, 2001).

Meresepkan obat yang tidak tepat untuk pasien tertentu merupakan akibat dari kegagalan mengenali kontraindikasi yang disebabkan oleh terdapatnya penyakit lain yang diderita pasien; kegagalan mendapat informasi mengenai obat lain yang digunakan pasien, atau kegagalan dalam memperhitungkan kemungkinan terjadinya ketidakcocokan secara fisikokimia antar obat yang dapat bereaksi terhadap satu sama lain dan kontraindikasi obat dalam kondisi terdapatnya penyakit lain atau sifat khas farmakokinetikanya (Katzung, 2004).

Kurangnya pengetahuan dari ilmu mengenai obat dapat mengakibatkan: a. Bertambahnya kemungkinan toksisitas obat yang diberikan,

b. Terjadi interaksi antara obat satu dengan obat yang lain,

c. Terjadi interaksi antara obat dengan makanan/minuman tertentu, d. Tidak tercapai efektivitas obat yang dikehendaki,

(19)

2.5Jaminan Kesehatan Nasional

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan melalui mekanisme Asuransi Kesehatan Nasional yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang No. 40 tahun 2004. Tujuannya adalah agar seluruh penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak (Menkes RI., 2014).

Undang-Undang No. 24 tahun 2011 juga menetapkan, Jaminan Kesehatan Nasional akan diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), BPJS adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial, yang terdiri dari BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan. Khusus untuk JKN akan diselenggarakan oleh BPJS kesehatan yang implementasinya mulai 1 Januari 2014 (Menkes RI., 2014).

2.5.1 Prinsip Jaminan Kesehatan Nasional

JKN mengacu pada prinsip-prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), sebagai berikut:

a. Prinsip Gotong Royong

Dalam SJSN, prinsip gotong royong berarti peserta yang mampu membantu peserta yang kurang mampu, peserta yang sehat membantu peserta yang sakit atau beresiko tinggi terhadap suatu penyakit.

b. Prinsip Nirlaba

(20)

efektivitas juga mendasari seluruh pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya.

c. Prinsip Portabilitas

Prinsip portabilitas dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

d. Prinsip Kepesertaan Bersifat Wajib

Kepesertaan wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program.

e. Prinsip Dana Amanat

Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana titipan kepada badan-badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta.

f. Prinsip Hasil Pengelolaan Dana Jaminan Sosial

Dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta (Menkes RI., 2014).

2.5.2 Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional

Manfaat JKN mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis (Menkes RI., 2014).

(21)

a. Penyuluhan kesehatan perseorangan, meliputi paling sedikit penyuluhan mengenai pengelolaan faktor resiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat.

b. Imunisasi dasar, meliputi Bacille Calmett Guerin (BCG), Difteri Pertusis Tetanus dan Hepatitis B (DPTHB), polio dan campak.

c. Keluarga Berencana, meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi, dan tubektomi, bekerjasama dengan lembaga yang membidangi Keluarga Berencana. Vaksin untuk imunisasi dasar dan alat kontrasepsi dasar disediakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah Daerah.

d. Skrining kesehatan, diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi resiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari resiko penyakit tertentu (Menkes RI., 2014).

2.6International Statistical Classification of Diseases and Health Related Problem (ICD-10)

Klasifikasi penyakit dapat didefenisikan sebagai sistem kategori penyakit yang dikelompokkan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Ada banyak kemungkinan acuan klasifikasi dan yang dipilih harus berdasarkan penggunaan statistik yang tersusun secara teratur. Klasifikasi penyakit harus mencakup seluruh kondisi penyakit yang disusun dalam suatu kategori (WHO, 2005).

(22)

dalam suatu kategori, maka penyakit diletakkan pada kelompok-kelompok kondisi berbeda namun masih berhubungan (Erkadius, 2012).

negara-negara anggota WHO sejak tahun 1994 (Krisna, 2014).

ICD-10 telah berkembang sebagai klasifikasi praktis, bukan klasifikasi yang murni teori. Di dalamnya terdapat susunan klasifikasi berdasarkan etiologi, situs anatomi, hal-hal yang terjadi di awal timbulnya penyakit, dan sebagainya. Juga terdapat beberapa penyesuaian yang merupakan sebab dibentuknya ICD-10, misalnya kematian, sakit, keamanan sosial, dan survei kesehatan (Erkadius, 2012). ICD-10 bertujuan untuk memudahkan pencatatan data mortalitas dan morbiditas, serta analisis, interpretasi dan pembandingan sistematis data tersebut antara berbagai wilayah dan jangka waktu. ICD-10 dipakai untuk mengubah diagnosis penyakit dan masalah kesehatan lain menjadi kode alfa-numerik, sehingga penyimpanan, pengambilan dan analisis data dapat dilakukan dengan mudah(Erkadius, 2012).

(23)

Keberadaan ICD-10 penting karena menyediakan bahasa umum untuk pelaporan dan pemantauan penyakit. Hal ini memungkinkan dunia untuk membandingkan dan berbagi data dengan cara yang konsisten dan standar antar rumah sakit, daerah dan negara dan selama periode waktu. Hal ini juga memfasilitasi pengumpulan dan penyimpanan data untuk analisis dan berbasis bukti pengambilan keputusan (Krisna, 2014).

2.7 Formularium Nasional

Formularium Nasional adalah daftar obat yang disusun oleh komite nasional yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, didasarkan pada bukti ilmiah mutakhir berkhasiat, aman, dan dengan harga yang terjangkau yang disediakan serta digunakan sebagai acuan penggunaan obat dalam jaminan kesehatan nasional (Menkes RI., 2013).

Fornas adalah bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Oleh karena itu, perlu disusun suatu daftar obat yang digunakan sebagai acuan nasional penggunaan obat dalam pelayanan kesehatan SJSN untuk menjamin aksesibilitas keterjangkauan dan penggunaan obat secara nasional dalam Formularium Nasional (Menkes RI., 2013).

(24)

derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu obat yang tercantum dalam Fornas harus dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya (Menkes RI., 2014).

Penerapan Formularium Nasional dimaksudkan untuk dapat memberikan manfaat bagi pemerintah maupun fasilitas kesehatan dalam:

1. Menetapkan penggunaan obat yang aman, berkhasiat, bermutu, terjangkau, dan berbasis bukti ilmiah pada peserta Jaminan Kesehatan Nasional.

2. Meningkatkan penggunaan obat rasional. 3. Mengendalikan biaya dan mutu pengobatan.

4. Mengoptimalkan pelayanan kesehatan kepada pasien.

5. Menjamin ketersediaan obat yang dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan. 6. Meningkatkan efisiensi anggaran pelayanan kesehatan (Menkes RI., 2014). 2.8 Rumah Sakit

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harustetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Tujuan penyelenggaraan Rumah Sakit:

a.mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan,

b. memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit,

(25)

d. memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit dan rumah sakit.

Pada hakikatnya Rumah Sakit berfungsi sebagai tempat penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dan fungsi dimaksud memiliki makna tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat.

Menurut Undang-Undang No. 44 tahun 2009, rumah sakit diklasifikasikan menjadi:

a. Rumah Sakit kelas A

Rumah sakit kelas A yaitu rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesalistik luas dan sub spesialistik yang luas. b. Rumah Sakit kelas B

Rumah sakit kelas B yaitu rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan pelayanan medis sekurang-kurangnya 11 spesialistik luas dan sub spesialistik yang terbatas.

c. Rumah Sakit kelas C

Rumah sakit kelas C yaitu rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesialstik dasar.

d. Rumah Sakit kelas D

Rumah sakit kelas D yaitu rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan kemampuan medis dasar (Presiden RI., 2009).

Referensi

Dokumen terkait

It is of interest to note that, although acute restraint stress increases CRH gene expression within the amygdala, repeated exposure to the restraint fails to affect basal CRH

The offspring of the low-licking/grooming arched-back nursing mothers show increased CRF receptor levels in the locus coeruleus and decreased central benzodiazepine receptor levels

[r]

Subjek penelitian ini adalah 17 orang family caregiver kanker, yaitu individu yang merawat anggota keluarga inti yang sedang atau pernah mengidap kanker.. Anggota keluarga yang

Peningkatan nilai rata- rata dari siklus I ke siklus II sebesar 1,00; (3) Terdapat peningkatan ketuntasan hasil belajar siswa dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan

Ekspresi emosi takut dan heran temyata berpotensi untuk mengalami kemenduaan jika itu dilihat oleh individu dari etnik yang bertleda. Penelitian ini mencoba mencari

Data yang diperoleh dalam penelitian tindakan kelas ini adalah data berupa skor kemampuan guru merancang pembelajaran, data kemampuan guru melaksanakkan

berprestasi terhadap kinerja guru tersebut sebesar 57%, sedangkan sisanya sebesar 43% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dibahas dalam penelitian ini. Hasil penelitian