BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan 2.1.1 Sistematika tumbuhan
Sistematika tumbuhan sambung rambat adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Asterales
Famili : Compositae
Genus : Mikania
Spesies : Mikania cordata (Burm.f.) B.L.Rob.
2.1.2 Nama daerah
Nama daerah dari tumbuhan sambung rambat adalah Areuy caputuheur
(Sunda), Braja wengi, Sambung rambat (Jawa) (Heyne, 1987).
2.1.3 Habitat
Tumbuhan sambung rambat merupakan tumbuhan asli Amerika. Di
Indonesia dapat ditemukan mulai dataran rendah sampai ± 1600 m di atas
permukaan laut, terutama di daerah yang memiliki musim kemarau, di
tempat-tempat yang mendapat cukup matahari, pada jurang yang curam dan pinggir
sungai (Heyne, 1987).
2.1.4 Morfologi
Tumbuhan sambung rambat dapat membelit/menjalar, bercabang banyak,
hati atau bulat telur segitiga, pangkalnya bersegi tumpul dan memiliki ujung daun
yang runcing. Tepi daun bergerigi, ukuran panjang daun 5-11 cm dan lebarnya 3-7
cm serta berwarna hijau. Bunga berbentuk bulat panjang dengan ujung agak
runcing, berbunga empat dan berwarna putih dengan sedikit ungu (Neuwinger,
1996).
2.1.5Kandungan kimia
Daun sambung rambat mengandung flavonoid, glikosida, terpenoid/
steroid, saponin, tanin dan vitamin C (Chowdhury, dkk., 2010; Rahim, dkk., 2012;
Barua, dkk., 2014). Kandungan terpenoid dari daun sambung rambat adalah
golongan sesquiterpen lakton yang terdiri dari mikanolide, dihydromikanolide,
deoxymikanolide, scandenolide sedangkan senyawa flavonoid dari daun sambung
rambat adalah mikanin-3-O-sulfate dan nepetin (Aguinaldo, dkk., 2003; Ahmed,
dkk., 2001). Selain itu, daun sambung rambat juga mengandung minyak atsiri
seperti α-pinene, germacrene D, β-pinene, β-caryophyllene dan α-thujene (Bedi,
dkk., 2003; Siddiqui, dkk., 2003).
2.1.6 Khasiat tumbuhan
Daun sambung rambat dapat menyembuhkan luka secara tradisional
dengan cara meremas-remas daunya kemudian diletakkan pada luka (Heyne,
1987). Selain itu, dapat juga untuk mengatasi bengkak (Wiart, 2006), disentri,
gatal-gatal, tukak lambung (Chowdhury, dkk., 2011), batuk, sakit mata, sakit
kepala (Alam, dkk., 2013).
2.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga
Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke
dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Diketahui
senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut
dan cara ekstraksi yang tepat (Depkes RI., 2000).
2.2.1 Metode-metode ekstraksi
Menurut Depkes RI., (2000) bahwa metode ekstraksi dengan
menggunakan pelarut dapat dibagi ke dalam dua cara yaitu:
a. Cara dingin
Maserasi, adalah proses pengektraksian simplisia menggunakan pelarut
dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan
(kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode
pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Remaserasi berarti dilakukan
pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat
pertama dan seterusnya.
Perkolasi, adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna
(exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.
Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap
perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus-menerus sampai
diperoleh ekstrak (perkolat).
b. Cara panas
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan
adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu
Soxhlet, adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu
dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
Digesti, adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara
umum dilakukan pada temperatur 40-50°C.
Infundasi, adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur
96-98°C) selama waktu tertentu (15-20 menit).
Dekoktasi, adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan
temperatur sampai titik didih air.
2.3 Gel
Gel merupakan sistem semipadat terdiri dari suspensi yang dibuat dari
partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh
suatu cairan. Gel dapat digunakan untuk obat yang diberikan secara topikal atau
dimasukkan ke dalam lubang tubuh (Depkes RI., 1995).
Makromolekul pada sediaan gel disebarkan keseluruh cairan sampai
tidak terlihat ada batas diantaranya, disebut dengan gel satu fase. Jika masa gel
terdiri dari kelompok-kelompok partikel kecil yang berbeda, maka gel ini
dikelompokkan dalam sistem dua fase (Ansel, 2005). Gel dapat diklasifikasikan
sebagai gel anorganik dan gel organik. Sebagian besar gel anorganik dapat
dicirikan sebagai sistem dua fase sedangkan gel organik termasuk dalam kelas
satu fase. Gel dapat mengandung air disebut hidrogel, atau mengandung cairan
adalah bentonit sedangkan tragakan, hidroksipropilmetilselulosa, metilselulosa
adalah bahan organik (Voigt, 1995). Gel mempunyai kekakuan yang disebabkan
oleh jaringan yang saling menganyam dari fase terdispersi yang mengurung dan
memegang medium pendispersi (Ansel, 2005).
Keuntungan sediaan gel :
Beberapa keuntungan sediaan gel (Voigt, 1995) adalah sebagai berikut:
1 kemampuan penyebarannya baik pada kulit
2 efek dingin, yang dijelaskan melalui penguapan lambat dari kulit
3 tidak ada penghambatan fungsi rambut secara fisiologis
4 kemudahan pencuciannya dengan air yang baik
Tingginya kandungan air dalam sediaan gel dapat menyebabkan
terjadinya kontaminasi mikroba, yang secara efektif dapat dihindari dengan
penambahan bahan pengawet seperti metil dan propil paraben (Voigt, 1995).
2.3.1 Hidroksi propil metil selulosa (HPMC)
Hidroksi propil metil selulosa dengan nama lain hypromellosum,
memiliki berat molekul 10.000-1.500.000 (Rowe, dkk., 2009).
HPMC memiliki ciri-ciri serbuk atau granul putih, tidak berbau dan tidak
berasa. Larut dalam air dingin, membentuk larutan koloid kental, praktis tidak
larut dalam air panas, kloroform, etanol (95%) dan eter, tetapi larut dalam
campuran etanol dan diklorometana, campuran metanol dan diklorometana, serta
campuran air dan alkohol (Rowe, dkk., 2009).
HPMC dalam formulasi farmasi digunakan sebagai bahan bioadhesif,
zat penyalut, zat pendispersi, zat pengemulsi, penstabil emulsi, zat pembentuk
peningkat viskositas dan digunakan untuk mengatur kecepatan pelepasan obat.
HPMC juga digunakan secara luas dalam kosmetik dan produk makanan.
HPMC bersifat nontoksik dan tidak menyebabkan iritasi serta memiliki
viskositas yang stabil pada penyimpanan jangka panjang (Rowe, dkk., 2009).
HPMC tidak bercampur dengan zat pengoksidasi kuat. HPMC
merupakan polimer nonionik, sehingga tidak membentuk kompleks dengan
garam logam atau ion organik. Larutan HPMC stabil pada pH 3-11 dan
memiliki pH 5,5-8,0 dalam 1% b/b air (Rowe, dkk., 2009).
Gambar 2.1 Rumus bangun HPMC
2.3.2 Propilen glikol
Propilen glikol (C3H8O2) merupakan cairan bening, tidak berwarna,
kental, praktis tidak berbau, manis, dan memiliki rasa yang sedikit tajam
menyerupai gliserin. Propilen glikol larut dalam aseton, kloroform, etanol (95%),
gliserin, dan air; mudah larut dalam eter, tidak larut dengan minyak mineral,
tetapi dapat melarutkan beberapa minyak esensial (Rowe, dkk., 2009).
Propilen glikol telah banyak digunakan sebagai pelarut dan
pengawet dalam berbagai formulasi farmasi parenteral dan nonparenteral.
Pelarut ini umumnya lebih baik dari gliserin dan melarutkan berbagai macam
bahan, seperti kortikosteroid, obat sulfa, barbiturat, vitamin (A dan D),
alkaloid, dan banyak anestesi lokal. Propilenglikol juga digunakan sebagai
humektan pada sediaan topikal dengan konsentrasi 15% (Rowe, dkk., 2009).
2.3.3 Metil paraben
Metil paraben banyak digunakan sebagai pengawet antimikroba dalam
kosmetik, produk makanan, dan formulasi sediaan farmasi. Konsentrasi metil
paraben untuk penggunaan topikal adalah 0,02-0,3% dan 0,18% jika
dikombinasikan dengan propil paraben (Rowe, dkk., 2009).
Gambar 2.3 Rumus bangun metil paraben
Metil paraben (C8H8O3) berbentuk kristal tak berwarna atau bubuk
kristal putih dan tidak berbau. Metil paraben lebih efektif terhadap jamur
daripada bakteri. Aktivitas antimikroba pa r a b e n meningkat dengan
meningkatnya panjang rantai alkil dan dikombinasi dengan paraben yang
memiliki efek sinergis, seperti etil-, propil-, dan butil paraben. Aktivitas metil
paraben juga dapat ditingkatkan dengan penambahan eksipien lain seperti:
aktivitasnya pada pH 4-8 dan efeknya berkurang dengan kenaikan pH (Rowe,
dkk., 2009).
2.3.4 Propil paraben
Propil paraben (C10H12O3) berbentuk bubuk putih, kristal, tidak
berbau, dan tidak berasa. Propil paraben banyak digunakan sebagai pengawet
antimikroba dalam kosmetik, produk makanan, dan formulasi sediaan
farmasi. Konsentrasi propil paraben untuk penggunaan topikal adalah 0,01-0,6%
dan 0,02% jika dikombinasikan dengan metil paraben (Rowe, dkk., 2009).
Propil paraben menunjukkan aktivitas antimikroba pada pH 4-8.
Efikasi pengawet menurun dengan meningkatnya pH karena pembentukan
anion fenolat. Paraben lebih aktif terhadap ragi dan jamur daripada
terhadap bakteri serta lebih aktif terhadap gram-positif dibandingkan bakteri
gram-negatif. Aktivitas antimikrobanya meningkat jika dikombinasikan dengan
paraben lainnya (Rowe, dkk., 2009).
Gambar 2.4 Rumus bangun propil paraben
2.4 Kulit
Kulit merupakan organ terbesar dari tubuh manusia, 15% dari berat
badan dewasa adalah kulit. Tebalnya kulit bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm
tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin. Fungsi utama kulit adalah sebagai
60.000 melanosit, dan ribuan ujung saraf tepi. Kulit memiliki bagian
pelengkap seperti rambut, kuku dan kelenjar keringat/sebasea (Arisanty, 2013).
Gambar 2.5Struktur kulit 2.4.1 Epidermis
Epidermis adalah lapisan paling luar dan paling tipis dari kulit. Epidermis
tidak memiliki pembuluh darah dan sistem persarafan. Fungsi epidermis adalah
sebagai sistem imun yang pertama dari tubuh manusia atau dikenal dengan istilah
First Skin Immune System. Epidermis memiliki variasi ketebalan antara 0,4-0,6
mm dan memiliki 5 stratum/jenjang (Arisanty, 2013).
Menurut Arisanty (2013), epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan
yang paling atas sampai yang terdalam):
a. Stratum korneum adalah lapisan paling atas dari epidermis, terdiri dari sel
keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti.
b. Stratum lusidum: hanya terdapat pada telapak kaki dan telapak tangan.
Tidak tampak pada kulit tipis, terdapat sel mati yang tidak memiliki inti.
c. Stratum granulosum: mengandung sel granular (granula lamelar) dan
d. Stratum spinosum: memiliki inti sel keratinosit besar. Lapisan ini
merupakan hasil pembelahan sel yang berikatan dan melakukan migrasi
sel ke arah atas.
e. Stratum basale (stratum germinativum) adalah lapisan paling dalam dari
epidermis yang berlokasi dekat dermis. Sel ini merupakan sel hidup berinti
karena mendapatkan difusi oksigen dan nutrisi dari dermis. Stratum
germinativum merupakan sel yang mulai melakukan pembelahan sel
(mitosis) pada proses regenerasi sel keratinosit epidermis.
2.4.2 Dermis
Dermis adalah lapisan kedua dari kulit yang merupakan jaringan ikat,
memiliki banyak pembuluh darah, memiliki sistem persarafan. Dermis terdiri atas
jaringan ikat, protein kolagen dan elastin, fibroblas, sistem imun ( makrofag, sel
mast, limfosit) dan sistem saraf (korpuskel meissner, korpuskel pacini, ujung saraf
tepi).
Dermis memiliki dua lapisan utama, yaitu papilare berfungsi sebagai
penguat dari epidermis dalam satu ikatan membran dan lapisan retikuler yang
memiliki pembuluh darah perifer yang banyak dan berikatan serta terdiri dari
jaringan ikat padat (Arisanty, 2013).
Dermis memiliki beberapa reseptor sensori. Bagian pelengkap kulit
terdapat di dermis seperti akar rambut, kelenjar ekrin, apokrin dan sebasea
(Arisanty,2013).
2.4.3 Subkutis
Merupakan lapisan paling tebal dari kulit, terdiri atas jaringan lemak
sebagai penyimpan lemak, kontrol temperatur dan penyangga organ di sekitarnya
(Arisanty, 2013).
2.5 Luka
Luka adalah kerusakan kontinuitas kulit atau membran mukosa yang dapat
menyebabkan terganggunya fungsi tubuh (Zederfeldt, dkk., 1986). Berdasarkan
kedalaman dan luasnya luka dapat dibagi menjadi 4 jenis:
a. Stadium I, luka superfisial (Non-Blanching Erithema): yaitu luka yang
terjadi pada lapisan epidermis kulit.
b. Stadium II, luka partial thickness: yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan
epidermis dan bagian atas dari dermis.
c. Stadium III, luka full thickness: yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi
kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah
tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada
lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul
secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak
jaringan sekitarnya.
d. Stadium IV, luka full thickness: yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan
tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas (Baroroh, 2011).
Salah satu jenis luka adalah luka sayat yang dapat dibagi menjadi dua
yaitu luka insisi luka eksisi (Arisanty, 2013). Luka insisi adalah luka yang terjadi
tanpa kehilangan banyak jaringan kulit disebabkan karena teriris benda tajam
dimana terdapat robekan linier pada kulit dan jaringan dibawahnya serta
memerlukan penyembuhan luka secara primer sedangkan luka eksisi adalah
jaringan yang hilang dan memerlukan penyembuhan luka secara sekunder
(Arisanty, 2013; Baxter, 2013).
Keterangan:
Gambar A: tepi luka ditahan oleh gumpalan darah dan juga bisa dengan jahitan
Gambar B: pada stadium ini berlangsung regenerasi epidermis
Gambar C: regenerasi epidermis sempurna dan jaringan parut yang padat
(Robbins dan kumar, 1992)
Penyembuhan luka secara primer yaitu penyembuhan dengan
menyatukan kedua tepi luka berdekatan dan saling berhadapan serta akan
menghasilkan jaringan granulasi yang sangat sedikit. Proses yang berlangsung
adalah epitelisasi dan deposisi jaringan ikat yang terjadi selama 10-14 hari. Pada
hari pertama setelah luka, garis insisi segera terisi bekuan darah dan terjadi reaksi
radang. Pada hari kedua, terjadi reepitelisasi permukaan dan pembentukan
jembatan yang terdiri dari jaringan fibrosa yang menghubungkan kedua tepi celah
subepitel. Selanjutnya terjadi sintesis kolagen yang dirangsang oleh makrofag.
Kolagen yang terbentuk akan merapatkan kedua tepi luka (Robbins dan kumar,
1992; Morison, 2003; Arisanty, 2013).
Penyembuhan luka secara sekunder adalah penyembuhan yang
memerluka proses terbentuknya jaringan granulasi yang banyak dimana jaringan
grnulasi tumbuh di bawah keropeng dan terjadi regenerasi epitel di bawah
keropeng kemudian keropeng akan lepas setelah terjadi epitelisasi sempurna.
Proses yang berlangsung dalam penyembuhan ini adalah proses granulasi
(pertumbuhan sel), kontraksi (proses dimana daerah permukaan luka mengecil),
epitelisasi (penutupan epidermis) (Morison, 2003; Arisanty, 2013).
Keterangan:
Gambar A: menunjukkan keadaan segera setelah terjadi luka Gambar B: penyembuhan di bawah keropeng
Gambar C: luka terbuka dengan jaringan granulasi
Gambar D: sebuah jaringan parut yang besar atau daerah epidermis baru yang tipis
(Robbins dan kumar, 1992)
2.6 Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka adalah proses penggantian dan perbaikan fungsi
jaringan yang rusak (Boyle, 2009). Proses penyembuhan luka dibagi menjadi tiga
fase penyembuhan luka, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase remodeling
(Arisanty, 2013).
Pada fase inflamasi terjadi pada awal kejadian atau saat luka terjadi hingga
hari ke-3 atau ke-5. Pada fase ini terjadi dua respons yaitu respons vaskular dan
respons inflamasi. Respons vaskular diawali dengan respons hemostatik tubuh
selama 5 detik pasca luka yaitu pembuluh darah akan berkonstriksi di sekitar luka
sehingga vasokonstriksi akan mengurangi pendarahan, kemudian pengaktifan
trombosit dan pembentukan lapisan fibrin. Lapisan fibrin ini membentuk scab
(keropeng) di atas permukaan luka. Respon inflamasi ditandai dengan pelepasan
substansi vasoaktif seperti prostaglandin dan histamin yang mengakibatkan
peningkatan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah.
Vasodilatasi menyebabkan semakin banyaknya aliran darah ke sekitar luka yang
menyebabkan bengkak, kemerahan, hangat/demam, ketidaknyamanan/nyeri.
Kemudian sel darah putih yaitu neutrofil sebagai pertahanan seluler pertama akan
memfagositosis jaringan yang mati, benda-benda asing dan bakteri, yang tidak
dapat terfagositosis neutrofil akan diteruskan oleh makrofag sebagai sel
pertahanan seluler kedua. Selanjutnya makrofag akan memfagositosis neutrofil.
Proses ini disebut dengan proses debris (pembersihan) (Boyle, 2009; Febram,
dkk., 2010; Arisanty, 2013).
Fase berikutnya adalah fase proliferasi atau granulasi (pelepasan sel-sel
makrofag akan mengeluarkan fibroblast growth factor (FGF) dan faktor
angiogenesis (AGF). FGF akan menstimulasi fibroblas untuk menghasilkan
kolagen dan elastin. AGF akan merangsang pembentukan pembuluh darah yang
baru. Kolagen dan elastin yang dihasilkan menutupi luka dengan membentuk
matriks/ikatan jaringan baru yang dikenal dengan proses granulasi yang
menghasilkan jaringan granulasi. Jaringan granulasi berproliferasi sehingga luka
yang tadinya memiliki kedalaman, permukaannya menjadi rata dengan tepi luka.
Kemudian terjadi proses epitelisasi yang dimulai dari tepi luka yang mengalami
proses migrasi membentuk lapisan tipis (warna merah muda) menutupi luka. Sel
pada lapisan ini sangat rentan dan mudah rusak. Sel mengalami kontraksi
(pergeseran), tepi luka menyatu hingga ukuran luka mengecil (Febram, dkk.,
2010; Arisanty, 2013).
Fase remodeling atau maturasi terjadi mulai hari ke-21 sampai lebih dari 2
bulan bahkan beberapa tahun setelah luka. Aktivitas utama yang terjadi adalah
penguatan jaringan bekas luka dengan aktivitas remodeling kolagen dan elastin
pada kulit. Kontraksi sel kolagen dan elastin terjadi sehingga menyebabkan
penekanan ke atas permukaan kulit. Kolagen akan menguatkan ikatan sel kulit
baru karena kulit masih rentan terhadap gesekan dan tekanan. Serabut-serabut
kolagen akan menyebar dengan saling terikat dan menyatu sehingga
berangsur-angsur menyokong pemulihan jaringan (Arisanty, 2013).
Kondisi lembab akan menyebabkan luka lebih cepat sembuh karena
meningkatkan produksi faktor pertumbuhan seperti Fibroblas Growth Factor
yang akan merangsang pembentukan fibroblas. Selain itu proses angiogenesis
2.7 Pengaruh Senyawa Kimia Tumbuhan Terhadap Penyembuhan Luka
2.7.1 Flavonoid
Flavonoid bertindak sebagai penampung radikal hidroksi dan
superhidroksi atau memperlambat timbulnya sel nekrosis sehingga melindungi
lipid membran terhadap reaksi yang merusak (Robinson, 1995). Flavonoid dapat
juga untuk mempercepat proses penyembuhan luka karena memiliki aktivitas
antimikroba dan astringen, yang memiliki peran dalam penyusutan luka dan
peningkatan laju epitelisasi (Barku, dkk., 2013). Flavonoid yang terdapat dalam
daun sambung rambat adalah mikanin 3-O-sulfat yang memiliki aktivitas antivirus
dan nepetin sebagai antioksidan (Nixon, 1995; Rufatto, dkk., 2012; Aguinaldo,
dkk., 2003).
2.7.2Tanin
Tanin merupakan komponen yang banyak terdapat dalam ekstrak
tanaman, bersifat antioksidan. Antioksidan berperan dalam perbaikan jaringan
karena mencegah kerusakan jaringan yang merangsang proses penyembuhan luka
(Barku, dkk., 2013). Tanin juga berkhasiat sebagai astringen yang mampu
menciutkan luka, menghentikan pendarahan dan mengurangi peradangan (Wijaya,
dkk., 2014). Selain itu juga dapat meningkatkan pembentukan fibroblas dan
pembuluh darah baru yang berfungsi sebagai transportasi untuk pasokan makanan
dan oksigen yang dibutuhkan oleh sel-sel yang sedang dalam perbaikan sehingga
dapat mempercepat penyembuhan luka (Choudhary, 2011).
2.7.3 Saponin
Saponin yang terdapat dalam tumbuhan dapat memacu pembentukan
sedangkan menurut Yenti, dkk., (2011), saponin juga memiliki kemampuan
sebagai antimikroba yang berfungsi membunuh atau mencegah pertumbuhan
mikroorganisme yang biasa timbul pada luka sehingga luka tidak mengalami
infeksi yang berat. Saponin juga dapat meningkatkan laju epitelisasi sehingga
dapat mempercepat penutupan luka (Arun, dkk., 2013).
2.7.4Terpenoid/steroid
Terpenoid/steroid dikenal untuk mempercepat proses penyembuhan luka
terutama karena memiliki aktivitas antimikroba dan astringen, yang memiliki
peran dalam penyusutan luka dan peningkatan laju epitelisasi (Barku, dkk., 2013).
Terpenoid yang terdapat pada daun sambung rambat adalah sesquiterpen lakton
seperti mikanolide, dihydromikanolide, deoxymikanolide dan scandenolide
(Aguinaldo, dkk., 1995).
Mikanolide, dihydromikanolide dan deoxymikanolide memiliki aktivitas
antibakteri (Bakir, dkk., 2004; Facey, dkk., 2010). Menurut Ahmed, dkk. (2001)
bahwa deoxymikanolide memiliki aktivitas analgetik terhadap mencit yang
diinduksi oleh asam asetat sedangkan scandenolide memiliki aktivitas
antiinflamasi.