• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka - Relasi dan Peran Gramatikal Bahasa Pakpak Dairi : Kajian Tipologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka - Relasi dan Peran Gramatikal Bahasa Pakpak Dairi : Kajian Tipologi"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Kajian mengenai tipologi bahasa umumnya dimaksudkan untuk mengklasifikasikan bahasa berdasarkan perilaku struktural yang ditampilkan oleh suatu bahasa. Maksud kajian tipologi bahasa terutama diarahkan untuk menjawab pertanyaan: seperti apa bahasa x itu? Kalangan tipologi bahasa pada dasarnya mengakui pandangan kalangan tata bahasa universal yang mencoba menemukan ciri-ciri (properties) yang sama pada semua bahasa manusia, di samping mereka juga mengakui adanya perbedaan di antara bahasa

Pada dasarnya kajian tipologi bahasa dapat dilakukan pada setiap aspek struktural bahasa. Akan tetapi dalam pelaksanaannya haruslah mempertimbangkan adanya ciri yang paling menonjol yang diharapkan dapat membantu peneliti memprediksi ciri yang lainnya. Berkaitan dengan pokok masalah penelitian ini, pada bagian ini dikemukakan beberapa kajian terdahulu yang masih berhubungan dengan penelitian ini karena mempunyai pola, arah dan tujuan yang sesuai.

(2)

bahasa itu sebagai bahasa yang netral (bukan akusatif, dan bukan pula ergatif). Bahasa Bali pun sesungguhnya layak dimasukkan sebagai bahasa yang netral (lihat Artawa, 1995:45-65; Jufrizal, 2004: 37; 2007). Kajian dan simpulan ini menjadi masukan yang berarti bagi penelusuran BPD dalam mengelompokkannya ke dalan salah satu tipologi tertentu.

Artawa (1994 dan 1998), dalam disertasinya, dengan pendekatan dan teori tipologi bahasa dan teori sintaksis formal berupa Teori Gramatika Relasional ( dari Perlmutter dan Postal) dan Teori Penguasaan dan Pengikatan (Chomsky), membahas empat pokok masalah , yakni relasi gramatikal, mekanisme perubahan valensi, tipologi pragmatik dan tipologi sintaksis bahasa Bali. Dikatakannya bahwa analisis ergatif merupakan cara analisis lain yang cukup beralasan dalam mempelajari morfo-sintaksis bahasa-bahasa Melayu- Polinesia Barat. Sejumlah paparan dan penjelasan tentang relasi gramatikal, mekanisme perubahan valensi, analisis tipologis bahasa Bali, serta telaah tata kalimat bahasa ini berdasarkan teori sintaksis formal, telah memperlihatkan deskripsi dan penjelasan aspek sintaksis bahasa Bali. Analisis dan temuan disertasi Artawa ini, khususnya kajian tipologis sintaksis bahasa Bali ini bermanfaat dalam kajian BPD terutama dalam penelusuran relasi dan peran gramatikal BPD , analisis ketransitifan BPD secara tipologis

(3)

penting karena memperlihatkan bahwa bahasa-bahasa di Nusantara (kawasan Timur) secara tipologis mempunyai perilaku yang beragam dengan berbagai kekhasannya. Simpulan ini dapat juga dirujuk dan dijadikan bandingan karena pembahasan tipologisnya bermanfaat untuk menetapkan tipologi gramatikal BPD.

Kosmas (2000) dalam penelitiannya membahas argumen aktor bahasa Manggarai dengan pendekatan tipologis dan teori yang didasarkan pada Tatabahasa Relasional dan Tatabahasa Leksikal Fungsional. Menurutnya, pasif bahasa Manggarai adalah pasif secara sintaksis; tidak dimarkahi secara morfologis. Temuan lain adalah bahwa secara sintaksis bahasa Manggarai adalah bahasa akusatif dengan tata urutan kata VSO, dengan variasi SVO dan VOS. Analisis BPD terutama dalam membahas struktur argumen, aspek sintaksis BPD, memanfaatkan simpulan kajian tipologis dari aspek sintaksis bahasa Manggarai ini.

Suciati (2000), yang meneliti tipologi bahasa Tetun dialek Fehan membahas masalah relasi gramatikal yang mencakup subjek, argumen dan keintian, ketransitifan, penyandian gramatikal, aliansi gramatikal dan diatesis. Penelitian Suciati ini menyimpulkan bahwa bahasa Tetun dialek Fehan termasuk bahasa isolasi , dengan tata urutan dasar SVO, sangat sedikit afiks dan secara gramatikal bahasa ini cenderung bertipe akusatif. Bahasa ini memiliki diatesis agentif dan diatesis objektif.. Temuan Suciati ini menjadi masukan yang berharga karena masih mempunyai relevansi dengan penelitian BPD ini, terutama dalam penelusuran relasi, dan peran gramatikal, serta penganalisisan diatesis BPD.

(4)

aktif, diatesis objektif dan diatesis pasif. Temuan tentang diatesis bahasa Dawan ini dapat dimanfaatkan karena menjadi pembanding dan rujuk silang dalam penelaahan diatesis BPD.

Partami (2001), yang meneliti bahasa Buna (di kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur), menyimpulkan bahwa bahasa ini termasuk kelompok bahasa isolatif; sangat jarang ditemukan adanya proses morfologis dalam bahasa ini. Bahasa Buna dapat merelatifkan fungsi-fungsi gramatikal, seperti subjek, objek primer, objek sekunder dan pasif yang menempati fungsi gramatikal subjek. Bahasa Buna bertipologi akusatif dan memiliki diatesis agentif, serta tata urutan dasar klausa bahasa ini adalah SOV. Walaupun bahasa Buna dan BPD merupakan dua bahasa yang sangat berbeda dari segi struktur morfologisnya, namun penelitian Partami ini dapat dijadikan pembanding dan rujukan silang dalam penelitian BPD.

(5)

serta mengenal diatesis aktif (sebagai diatesis dasar) dan diatesis pasif (sebagai diatesis turunan) dan diatesis medial. Kajian tentang struktur argumen dan aliansi gramatikal bahasa Minangkabau menjadi masukan yang penting dalam penelitian BPD ini.

Kajian kepustakaan yang menampilkan BPD dalam hubungannya dengan kajian tipologi sampai saat ini belum ada, namun penelitian ini sangat memanfaatkan kajian dan penelitian Basaria (2002) yang membahas morfologi verba bahasa BPD. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa ciri-ciri verba BPD dapat diamati melalui (a) perilaku semantis, (b) perilaku sintaksis dan (c) perilaku morfologisnya. Dari perilaku semantisnya, verba adalah yang menggambarkan konsep, proses, perbuatan, keadaan dan peristiwa; Dari perilaku sintaksisnya verba selain bertugas sebagai predikat, juga selalu dapat berkombinasi dengan kata-kata enggo ’sudah’, naeng ’akan’ kesah ’setelah’, oda ’tidak’, gati ’sering’. Dari perilaku morfologinya verba BPD dapat diidentifikasi melalui afiks: mer-, me-, pe-, ki-, -i-, -um-, -ken, -i, ke-en, mersi-en, mer-en, yang melekat pada kata dasar untuk membentuk verba. Berdasarkan bentuknya, verba BPD dapat dikelompokkan menjadi verba asal yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dan verba turunan yaitu verba yang diturunkan / dibentuk melalui transposisi (pengubahan kata selain verba tanpa perubahan bentuk), afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan. (lihat Alwi dkk, 2000: 87-88). Jumlah verba asal BPD tidak banyak, sedangkan verba turunan lebih banyak.

(6)

pemajemukan tidak dibahas lebih jauh, kecuali jika dikaitkan dengan afiksasi. Berkaitan dengan ini, verba turunan melalui afiksasi sangat erat kaitannya dengan afiks-afiks verbal. Dalam BPD terdapat afiks tertentu yang dapat berkombinasi dengan kata dasar untuk membentuk verba. Jadi afiks tersebut diidentifikasi sebagai afiks pembentuk verba BPD. Afiks tersebut adalah empat prefiks yaitu : / meN-,mer- , i-,/pe/, /ter-/ ; dua sufiks yaitu /-ken, -i /; dan 2 pasang konfiks yaitu

/mersi-en/, /mer-en/. (lihat Basaria, 2002 : 21).

Berikut ini adalah contoh-contoh verba turunan dengan bentuk dasar verba, nomina, ajektif, dan prakategorial.

(1) a) verba turunan dengan /mer-/ + dasar nomina :

popung ’nenek’ merpopung ’bernenek’ daroh ’darah’ merdaroh ’berdarah’ dukak ’anak’ merdukak ’beranak’ b) verba turunan dengan /mer-/ + prakategorial :

ende ’nyanyi’ merende ’bernyanyi’ dalan ’jalan’ merdalan ’berjalan’ langi ’renang’ merlangi ’berenang’

sodip ‘doa’ mersodip ‘berdoa’

c) verba turunan dengan /mer-/ + dasar ajektiva

lolo ate ’gembira’ merlolo ate ‘bergembira’ kelsoh ‘susah’ merkelsoh ‘bersusah hati’ (2) (a) verba turunan dengan /meN-/ + dasar nomina

(7)

(b) verba turunan dengan /meN-/ + dasar verba tulus ’cari’ menulus ’mencari’ garar’bayar’ menggarar ’membayar’ (c) verba turunan dengan /meN-/ + dasar ajektiva

daoh ’jauh’ mendaoh ’menjauh’ (3) verba turunan dengan /pe-/ + dasar ajektiva

gomok ’gemuk’ pegomok ’gemukkan’

ketek ’kecil’ peketek ’kecilkan’ (4) (a) verba turunan dengan /i-/ + dasar nomina

labang ’paku’ ilabang ’dipaku’ pangkur ’cangkul’ ipangkur ’dipaku’ (b) verba turunan dengan /i-/ + dasar verba

enum ’minum’ ienum ’diminum’ jalang ’kejar’ ijalang ’dikejar’ (5) (a) verba turunan dengan /ter-/ + dasar nomina

labang ’paku’ terlabang ’terpaku’

pangkur ’cangkul’ terpangkur ’tercangkul’ (b) verba turunan dengan /ter-/ + dasar verba

borih’cuci’ terborih ’tercuci’

tutung ’bakar’ tertutung ’terbakar’ (6) verba turunan dengan /ki-/ + dasar nomina

seban ’kayu’ kiseban ’mencari kayu’ lambuk ’keladi’ kilambuk ’mencari keladi’

(8)

(7) (a) verba turunan dengan /-ken/ + dasar nomina

edur ’ludah’ edurken ’ludahkan’

utah ’muntah’ utahken ’muntahkan’

(b) verba turunan dengan /-ken/ + dasar verba

sipak ’sepak’ sipakken ’sepakkan’

suan ’tanam’ suanken ’tanamkan’

(c) verba turunan dengan /-ken/ + dasar ajektiva

nggara ’panas’ nggaraken ’panaskan’ ceda ’rusak’ cedaken ’cedaken’ (8) (a) verba turunan dengan /-i/ + dasar nomina

tambar ’obat’ tambari ’obati’

napu ’pupuk’ napui ’pupuki’ (b) verba turunan dengan /-i/ + dasar verba

pekpek ’pukul’ pekpeki ’pukuli’

ndilat ’jilat’ ndilati ’jilati’ (c) verba turunan dengan /-i/ + dasar ajektiva

nggara ’panas’ nggarai ’panasi’

ntajem ’tajam’ ntajami ’tajami’ (9) verba turunan dengan /mer-en/ + dasar verba

lojang ’lari’ merlojangen ’berlarian’

(9)

(b) verba turunan dengan /mersi-en/ + dasar verba

pekpek ’pukul’ mersipekpeken ’saling pukul’ jalang ’salam’ mersijalangen ’saling salam’

(11) (a) verba turunan dengan /mer-en/ + dasar verba

lojang ’lari’ merlojangan ’berlarian’

nangkih ’naik’ mernangkihan ’bernaikan’ (b) verba turunan dengan /mer-en/ + dasar keadaan

macik ’busuk’ mermacikan ’berbusukan’

penggel ’patah’ merpenggelan ’berpatahan’

Dari paparan di atas, verba turunan /mer-, mer-en, mersi-en/ berpeluang untuk menjadi predikat klausa aktif intransitif, sehingga menjadi pemarkah morfologis verba intransitif BPD, verba turunan /meN-/ berpeluang pembentuk predikat klausa aktif transitif,sehingga menjadi pemarkah morfologis verba transitif , sedangkan verba turunan lainnya menjadi pemarkah morfologis verba klausa pasif .

Pemarkah morfologis verba transitif /meN-/ secara morfofonemis dapat terwujud dengan bentuk alomorfnya (/me-, mem-, men-, menge-/). Alomorf /meN-/ yang memarkahi verba dalam struktur klausa transitif BPD menunjukkan penasalsasian, kecuali apabila /me-/ diikuti bentuk dasar yang dimulai bunyi vokal. Pada bagian ini belum dibahas peran dan fungsi /me-/ secara tipologis

(10)

bukan verbal), sehingga kajian morfologi dalam hal ini morfofonemik verba sangat penting artinya bagi kajian klausa dan sintaksis BPD.

2.2 Kerangka Teori

Penelitian ini didasarkan pada teori tipologi linguistik, khususnya tipologi gramatikal. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang berhasil baik maka penelitian ini mengarahkan kerangka kerjanya pada sejumlah pokok-pokok pikiran dari kerangka teori tersebut.

2.2.1 Tipologi Linguistik

Secara etimologis, kata tipologis berarti pengelompokan ranah (

classification of domain). Pengertian tipologi bersinonim dengan istilah taksonomi. Istilah teknis tipologi yang masuk ke dalam linguistik mempunyai pengertian pengelompokan bahasa-bahasa berdasarkan ciri khas strukturnya. Di antara bentuk kajian tipologi linguistik pada periode awal yang terkenal adalah

word order typology atau tipologi tata urut dasar yang dilakukan oleh Greenberg ( dalam Comrie1995:35). Kajian ini berusaha mencermati fitur-fitur dan ciri-ciri khas gramatikal bahasa-bahasa di dunia, dan membuat pengelompokan yang bersesuaian dengan parameter tertentu, yang dikenal dalam dunia linguistik sebagai kajian tipologi linguistik ( linguistic typology ). Hasil kajian seperti itu melahirkan tipologi bahasa; pengelompokan bahasa-bahasa dengan sebutan tertentu. ( Artawa, 1995 ; Jufrizal, 2004 )

(11)

yang saling berhubungan. Greenberg dalam Mallinson dan Blake (1981), menunjukkan bahwa bahasa-bahasa dapat dikelompokkan menurut tata urutan dasar (basic order) subjek, objek, dan verba (S,O,V). Greenberg mengusulkan suatu tipologi yang disebutnya sebagai Tipologi Urutan Dasar ( Basic Order ) yang menyimpulkan ada enam pola kalimat yaitu SVO, SOV, VSO, VOS, OSV, OVS. Bahasa Latin dan bahasa Rusia misalnya dapat mempergunakan keenam pola tersebut. Bahasa- bahasa lain ada yang hanya memiliki satu pola dominan misalnya bahasa Indonesia yaitu SVO, bahasa Inggris memiliki dua pola dominan yaitu SVO, dan VSO Tipologi urutan dasar ini merupakan kajian yang sangat penting karena sejumlah fitur dan parameter lainnya dapat ditafsirkan dari urutan ketiga unsur dasar ini.

Meskipun kajian tipologi bahasa pada dasarnya berhubungan dengan pengelompokan bahasa-bahasa menurut strukturnya, bukan berarti pengelompokan berdasarkan struktur bahasa ini saja yang mungkin dapat dilakukan. Pengelompokan bahasa berdasarkan bunyi (fonetik ), misalnya, juga masih mungkin dapat dilakukan. Sehingga akan menghasilkan kajian tipologi fonologis. Sekurang-kurangnya dapat dibedakan tiga dasar pengelompokan bahasa : yaitu pengelompokan berdasarkan genetis, pengelompokan berdasarkan tipologis, dan pengelompokan berdasarkan areal ( geografis ).

2.2.2 Tipologi Bahasa dan Kesemestaan Bahasa

(12)

dan pendekatan kajian lintas bahasa ini merupakan reaksi terhadap teori Tatabahasa Transformasi- Generatif yang cenderung didasarkan pada perilaku kebahasaan bahasa Inggris. Teori linguistik ( tatabahasa ) lain yang ada pada tahun 1970-an antara lain adalah Tatabahasa Relasional dan Tatabahasa Fungsional ( Dick,1978)

Mallison dan Blake (1981: 4-5) menyebutkan bahwa penelitian generalisasi lintas bahasa atau kesemestaan bahasa ( language universals ) dikenal luas sebagai pokok pikiran utama di belakang penelitian tipologi skala besar. Seperti halnya dengan tipologi bahasa, semestaan bahasa meliputi juga ciri fonologis, morfologis, sintaksis. Ciri-ciri kebahasaan yang tidak meliputi semua atau hampir semua bahasa di dunia tidak akan diperhitungkan sebagai kesemestaan bahasa, tetapi akan berguna bagi tipologi bahasa. Sebab itu antara semestaan bahasa dan tipologi bahasa terdapat hubungan timbal balik, tetapi di pihak lain terdapat juga perbedaan yang jelas. Penelitian kesemestaan bahasa menghendaki kajian tipologis yang dilakukan secara silang seluas mungkin. Pada pertengahan abad ke 20, kajian tipologi dan kesemestaan bahasa dilakukan berdampingan .

(13)

(2) mengkaji perbedaan antara bahasa-bahasa; dan (3) mempelajari variasi-variasi bahasa manusia. Untuk menetapkan tipologi bahasa, perlu ditetapkan parameter tertentu untuk mengelompokkan bahasa di dunia. Menetapkan tipologi bahasa diperlukan asumsi tentang kesemestaan bahasa. Istilah kesemestaan bahasa bukan berarti seluruh bahasa mempunyai fitur atau kasus yang sama, melainkan hanya bersifat hampir keseluruhan ( kecenderungan umum ). Jadi istilah lain dari kesemestaan bahasa dipakai / disebut juga generalisasi lintas bahasa.

(14)

2.2.3 Tata bahasa dan Kajian Tipologi Bahasa

Dalam teori linguistik tradisional ada dua unit gramatikal yang dianggap deskripsi gramatikal dasar yaitu kata dan kalimat. Dari dua unit gramatikal dasar inilah berkembang empat bidang kajian yaitu : fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik, yang secara menyeluruh disebut tatabahasa atau gramatika ( grammar ). Namun dalam perkembangan ilmu bahasa yang sering dirujuk sebagai gramatika adalah morfologi dan sintaksis. Bahkan ada pula sebagian ahli yang menggunakan istilah gramatika untuk merujuk ke sintaksis saja. Walaupun sebagian besar ahli berpendapat bahwa gramatika suatu bahasa meliputi sistem/ tata bunyi, sistem tata kata, sistem tata kalimat, sistem tata makna dan lainnya yang lebih luas lagi.

Istilah sintaksis secara langsung terambil dari bahasa Belanda syntaxis. Dalam bahasa Inggris digunakan istilah syntax. Sintaksis adalah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk wacana, kalimat , klausa, dan frase. Sintaksis sebagai bagian dari ilmu bahasa berusaha menjelaskan unsur-unsur satuan bahasa serta hubungan antara unsut-unsur itu dalam satu satuan, baik hubungan fungsional maupun hubungan maknawi. Lyons (1987: 170-171 ), menyatakan bahwa di antara tataran kata dan kalimat terdapat dua unit gramatikal lain yaitu frasa dan klausa. Dalam pandangan tradisional, setiap kelompok kata yang secara gramatikal setara dengan kata dan tidak menunjukkan adanya unsur subjek, predikat disebut frasa. Sementara itu, klausa adalah kelompok kata yang mempunyai unsur subjek predikat dan menempel pada kalimat induk.

(15)

Jufrizal: 2007). Di samping itu, penelitian ini juga akan merujuk pendapat Alwi, dkk. (.2000,313-319 ) yang menyimpulkan bahwa klausa dasar adalah konstruksi klausa, yang paling tidak mempunyai ciri-ciri : 1) terdiri atas satu klausa; 2) unsur-unsur intinya lengkap; 3) susunan unsur-unsurnya menurut urutan yang paling umum; 4) tidak mengandung pertanyaan atau pengingkaran. Jadi, klausa dasar/ kalimat dasar adalah kalimat tunggal dekleratif afirmatif yang unsur-unsurnya paling lazim

Menurut Comrie (1995) tujuan tipologi linguistik adalah untuk mengelompokkan bahasa-bahasa berdasarkan sifat perilaku struktural bahasa yang bersangkutan. Ada dua asumsi pokok tipologi linguistik, yakni : (a) semua bahasa dapat dibandingkan berdasarkan strukturnya; dan (b) ada perbedaan di antara bahasa-bahasa yang ada. Dengan upaya seperti itu dikenal adanya istilah bahasa bertipologi akusatif, bahasa ergatif atau bahasa aktif yang merujuk ke sebutan tipologi bahasa-bahasa yang kurang lebih ( secara gramatikal ) mempunyai persamaan. Sebutan tipologis (kelompok) bahasa seperti bahasa akusatif , ergatif, atau bahasa aktif tersebut pada dasarnya dikaitkan dengan tataran morfosintaksis, sebutan untuk jenis relasi gramatikal yang dimiliki oleh bahasa-bahasa

Berdasarkan tipologi morfologis,(Comrie,1995:43) menyebutkan bahasa-bahasa di dunia dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu

(16)

berikut dalam bahasa Vietnam memperlihatkan bahwa tiap kata hanya terdiri dari kata dasar yang monosilabis

Khi toi den nha ban toi chung toi

When I come house friend I plural I

Ketika saya datang rumah teman saya, JAMAK saya ‘Ketika saya tiba di rumah teman saya , kami

Bat dau lam bai

Begin do pelajaran

‘ mulai mengerjakan pelajaran’

Tiap kata dalam kalimat di atas tidak mengalami perubahan. Bentuk jamak orang I dinyatakan dengan merangkaikan kata toi ’saya’ dengan chung’jamak’ sehingga menjadi ’kami’. Tiap kata terdiri dari satu morfem, kecuali kata bat dau

’mulai’. Kata ini secara etimologis sebenarnya terdiri dari dua morfem, yaitu bat

’menangkap’ dan dau ’kepala’

(2) bahasa aglutinasi: bahasa yang mempunyai proses morfologis; kata dapat terdiri atas lebih dari satu morfem, dan batas antara morfem-morfem (kata) dapat dengan mudah dipisahkan / ditentukan, misalnya bahasa Hongaria, bahasa Indonesia, bahasa Finno Ugris, bahasa Tush ( suatu bahasa Kaukasus ), bahasa Tibet, dan lain-lain. Pada bahasa Indonesia bentuk aglutinatif ini dapat dilihat dalam kata pe + tani, pe + malas, per + gerak + an, me +letak + an, per + sembah + kan, dan sebagainya

(17)

tersebut. Misalnya bahasa Arab, bahasa Ibrani, bahasa Latin, bahasa Yunani, bahasa Sansekerta, dan bahasa Indo-Eropah. Istilah fusional ataupun infleksi diartikan dengan perubahan internal dalam akar kata seperti : sing-sang-sung, do-did-done, write-wrote-written, go-went-gone dan sebagainya.

(4) Bahasa polisintetik atau inkorporasi yaitu bahasa yang mempunyai kemungkinan mengambil sejumlah morfem leksikal dan menggabungnya bersama ke dalam kata tunggal. Misalnya bahasa Yana ( bahasa Indian Amerika, bahasa Chukchi, bahasa Greenlandic Eskimo, Inggris dan sebagainya.( Comrie (1989 : 41-42 ). Contoh dalam bahasa Yana, kalimat bahasa Indonesia saya menginap tiga malam akan diterjemahkan dalam sebuah kata saja : bulsidibalm? Gu? Asinz

(‘tiga malam- menginap-sedikit-PAST/PRESENT-saya’)

Dasar-dasar teori dan kerangka berfikir tipologi yang dirujuk dalam penelitian ini, khususnya dalam menganalisis relasi dan peran gramatikal BBD memanfaatkan teori teori yang disebut di atas. Teori dan rujukan dimaksud akan digunakan secermat mungkin untuk dapat menganalisis fenomena tipologi gramatikal BPD yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini

2.2.4 Relasi dan Peran Gramatikal 2.2.4.1 Relasi Gramatikal

(18)

gramatikal tersebut adalah relasi yang bersifat sintaksis. Di samping relasi gramatikal yang bersifat sintaksis, ada relasi yang bersifat semantik, yaitu : lokatif, benefaktif, dan instrumental yang secara kolektif disebut relasi oblik. (Blake ,1991 dalam Artawa, 2000:490)

Blake mengemukakan bahwa relasi sintaktik dianggap membentuk hirarki dengan penomoran 1, 2, 3 yang umumnya digunakan untuk menandai relasi yang bersangkutan :

S OL OTL OBL

1 2 3

( Blake, 1991 : 3 dalam Artawa 2000: 490 )

(19)

Relasi gramatikal yang bersifat sintaksis ( S, OL, OTL ) dan relasi yang bersifat semantis ( OBL ) akan dianalisis dengan pendekatan teori tipologi linguistik dengan tujuan utama merinci penelaahan tentang struktur dasar BPD. Topik-topik telaahan yang bersangkutpaut dengan relasi gramatikal yang menjadi kajian penelitian ini adalah kesubjekan dan subjek, objek dan relasi oblik. Comrie (1995 : 104 )menyebutkan prototipe ( hakekat asal ) subjek itu adalah memperlihatkan adanya saling terkait antara agen dan topik. Artinya maksud yang paling jelas dari subjek itu, secara lintas bahasa adalah bahwa subjek itu agen dan juga topik. Namun dalam penelitian ini, pengujian sifat perilaku subjek BPD akan didasarkan pada sifat perilaku gramatikal.

Pengertian dan penetapan subjek dalam suatu bahasa masih memunculkan fenomena yang hingga kini merupakan masalah yang terus dipertanyakan. Hal ini disebabkan oleh perilaku gramatikal bahasa yang beragam dan tipologi bahasa yang berbeda pula. Selain itu, perbedaan filsafat pengkajian dan dasar pijakan teoretis juga menjadi penyebab sulitnya mengidentifikasi subjek bahasa tertentu. Namun penelitian ini mendasarkan teorinya pada pendapat Comrie (1983 : 101) yang menyebutkan bahwa prototipe (hakekat asal ) subjek adalah adanya keterkaitan antara agen dan topik. Dengan kata lain, secara lintas bahasa, subjek itu adalah agen dan juga topik. Agen sebenarnya istilah yang terkait dengan fungsi semantis, sementara topik berkaitan dengan fungsi-fungsi pragmatis

Li (ed.), (1976) dalam Jufrizal (2007 : 33) menyebutkan basic subject

(20)

immediate dominance ). Sifat perilaku otonomi subjek meliputi : (a) keberadaannya bebas (independent existence); (b) ketidaktergusuran /sangat diperlukan (indispensability); (c) rujukan sendiri (autonomous reference). Sifat-perilaku pemarkah kasus meliputi : (1) subjek kalimat intransitif umumnya tidak dimarkahi jika setiap frasa nomina (FN) dalam bahasa tersebut tidak bermarkah; (2) FN yang mengubah penanda kasusnya pada pengkausatifan termasuk subjek; (3) FN yang mengubah penanda kasus nominalisasi tindakan termasuk subjek. Peran semantis (agen, pemengalam, dsb) dari subjek dapat diramalkan dari bentuk verba utama. Berdasarkan peran semantis ini, kesubjekan dapat diungkapkan : (1) subjek biasanya mengungkapkan agen (dari tindakan), jika hanya satu; (2) subjek biasanya mengungkapkan frasa tujuan (addressee phrase) bentuk imperatif; (3) subjek biasanya memperlihatkan posisi, pemarkah kasus, dan persesuaian verba yang sama dengan FN penyebab dalam jenis kalimat kausatif yang paling dasar. Sementara itu, dominasi langsung berarti bahwa subjek itu secara langsung didominasi langsung oleh simpul dasar S (sentence)

(21)

(1) Objek dan Oblik

Menurut Culicover (1997 : 16-17; lihat juga Jufrizal 2007:49-63), menyebutkan bahwa secara umum ada dua jenis argumen yaitu : (i) argumen subjek yang kehadirannya dalam kalimat sebagai bagian yang paling independen dari suatu verba; (ii) argumen yang dikaitkan dengan verba tertentu. Argumen terakhir inilah yang menurut teori Tatabahasa Relasional (dan juga tatabahasa Tradisional ) disebut objek. Jadi, objek dalam sebuah klausa transitif merupakan argumen inti (di samping subjek).

Objek adalah argumen yang mengalami tindakan yang dinyatakan oleh verba transitif. Argumen yang mengalami tindakan yang dinyatakan oleh verba tersebut menduduki posisi kedua pada hirarki fungsi gramatikal setelah subjek (Verhaar,1999; Alsina,1996; Jufrizal,2007). Objek langsung (OL) dan objek tidak langsung (OTL) harus muncul bersamaan pada klausa dengan verba dwitransitif. Secara lintas bahasa tidak banyak verba yang menuntut tiga argumen secara serentak. Verba give dalam bahasa Inggris, beri dalam BI, dan beberapa verba lain yang setara dengan itu adalah contoh verba dwitransitif. (Jufrizal,2007: 51)

(22)

mengikuti OL. Berbeda dengan OL,maka OTL tidak berkorespondensi dengan S. Alsina (1996) menunjukkan delapan bukti bahwa OTL termasuk ke kelompok fungsi-fungsi langsung (seperti S dan OL) yang berbeda secara sistematis dengan OBL yakni: (i) penggandaan pronomina personal bebas dalam morfologi verbal; (ii) ungkapan persona dan perbedaan jumlah dalam pronomina yang tergabung secara morfologis; (iii) kemampuan diikat pada struktur argumen;(iv) kemampuan untuk mengajukan pengambangan penjangka; (v) tidak menggabungkan referensi pronomina; (vi) kemampuan mengikat penjangka; (vii) kemampuan berfungsi sebagai pronomina resumtif (pembuka) dan variabel terikat; (viii) kemampuan menjadi sasaran predikasi kedua (sekunder)

Selanjutnya penentuan sifat perilaku O secara lintas bahasa cukup rumit. Cole (ed.) dalam Jufrizal (2007: 51) mengemukakan bahwa ’O’ verba dalam bahasa-bahasa Bantu kebanyakan ditentukan dengan tiga perilaku dasar: (i) O adalah FN yang mengontrol prefiks O yang dapat muncul pada verba; (ii) O adalah FN ( sekurang-kurangnya dalam konteks netral) yang secara langsung mengikuti verba; (iii) O adalah FN yang dapat dinaikkan ke posisi S melalui proses pemasifan. BPD tidak mengenal prefiks O (object) prefix) atau prefiks S

(subject prefix) pada tataran sintaksis. Sehingga , hanya sifat perilaku (ii) dan (iii) yang ada dalam bahasa-bahasa Bantu dapat dipakai untuk menetapkan O BPD.

(23)

(1) They saw the box

S PRED O

Menurut Butt dkk, (1999) dalam bahasa Inggris misalnya, posisi unsur kalimat merupakan penentu yang baik untuk menguji keobjekan karena O mesti mengikuti verba dan mesti lekat dengan lingkungan verba tersebut. Contoh (3a) berikut ini hanya bisa berterima dengan adanya pola intonasi khusus yang ‘memeras’ O ke luar dari klausa. Sedangkan contoh (3b) tidak berterima karena adanya sisipan adverbia di antara verba dan O-nya

(2) The box they saw

ART kotak mereka lihat ‘kotak itu mereka lihat’

(3a) They saw the box yesterday

‘Mereka melihat kitak itu kemarin’ (3b) *They saw yesterday the box ‘Mereka melihat kemarin kotak itu’

Akan tetapi posisi bukanlah penentu O yang baik dalam bahasa Jerman karena posisi unsur kalimat dapat saja diacak, seperti pada contoh (4a,b). Sebagai gantinya, pemarkah kasus merupakan penentu yang baik untuk menguji keobjekan; FN yang dimarkahi dengan akusatif adalah O.

(4a) Der fahrer strartet den traktor

ART-NOM supir menghidupkan ART-ACC traktor ’Supir sedang menghidupkan traktor’ (Jerman ) (4b) Den traktor strartet der fahrer

(24)

’Sopir sedang menghidupkan traktor’ ( Jerman )

Dalam bahasa Inggris dan bahasa Perancis, pemarkah kasus merupakan penguji yang baik hanya untuk menentukan pronomina, apakah sebagai S atau O. Misalnya he (S ) vs him (O) dalam bahasa Inggris dan il (S) vs le (O) bahasa Perancis.

Butt dkk. (1999 : 48) menyebutkan bahwa secara lintas bahasa, pemasifan merupakan pengujian yang paling baik untuk menentukan keobjekan. Melalui pemasifan, FN O dalam kalimat aktif menjadi S kalimat pasif. S aktif diwujudkan sebagai NULL (dihilangkan dalam kalimat pasif). Dalam bahasa Inggris dicontohkan sebagai berikut:

(5a) They saw the box.(AKT) ’mereka melihat kotak itu’ (5b) The box was seen

‘kotak itu dilihat’

Klausa yang mempunyai verba dwitransitif mempunyai tiga argumen, yaitu : (S)ubjek, ( O)bjek (L)angsung, dan (O)bjek (T)ak (L)angsung. Bahasa Jerman, misalnya, menggunakan pemarkah kasus untuk menetapkan OL dan OTL. Dalam bahasa Inggris, pemasifan dan posisi merupakan cara pengujian/penentuan O. Namun baik OL maupun OTL masing-masingnya dapat menjadi subjek kalimat pasif. Dalam hal ini, posisi merupakan pembeda antara OL dengan OTL. OTL mesti berada langsung setelah verba, kemudian diikuti OL. Berikut adalah contoh kalimat bahasa Inggris seperti diberikan Butt dkk. (1999 :49)

(25)

’dia (pr) memberinya(II) buku itu’ (6b) He was given the book (PAS) ‘dia (II) diberi buku itu’ (6c) The book was given him (PAS) ‘buku itu diberikan kepadanya (II)

Pengujian secara lintas bahasa juga dapat dilakukan dengan melihat sifat perilaku frasa refleksif (kalimat refleksif) dan pelesapan salah satu FN pada kalimat koordinatif. Objek merupakan FN yang wajib hadir secara sintaksis pada kalimat transitif. Kalimat refleksif mempunyai dua FN yang salah satunya adalah pronomina refleksif. Pronomina refleksif mengacu ke FN lain pada kalimat tersebut. Berikut adalah contoh kalimat refleksif dalam bahasa Inggris.

(7a) The girl loves herself

‘gadis itu mencintai dirinya sendiri’

Pronomina refleksif herself mengacu ke FN the girl. Kalimat di atas berarti ‘the girl loves the girl’. Apabila pronomina refleksif herself dijadikan subjek kalimat, kalimat tersebut tidak lagi merupakan kalimat refleksif yang berterima (7b)

(7b) *Herself loves the girl

‘dirinya sendiri mencintai gadis itu’

Penjelasan ini menunjukkan bahwa dalam bahasa Inggris objek adalah fungsi gramatikal yang diduduki FN yang dapat diganti dengan pronomina refleksif.

(26)

berfungsi sebagai O, maka FN itu tidak bisa dilesapkan. Perhatikan contoh klausa kalimat kordinatif bahasa Inggris berikut ini.

(8a) The man kissed the girl and he married her

‘lelaki itu mencium gadis itu dan dia menikahinya’ (8b) The man kissed the girl and --- married her.

‘ lelaki itu mencium gadis itu dan --- menikahinya’

Kalimat (8a) walaupun berterima tetapi kehadiran he yang mengacu ke the man dan berkedudukan sebagai subjek pada klausa kedua dianggap mubazir. Pelesapan he yang menduduki posisi subjek pada klausa kedua merupakan bentuk yang lebih berterima. Kalimat (9b) di bawah ini tidak berterima karena yang dilesapkan adalah FN yang berkedudukan sebagai O pada klausa kedua.

(9a) The man kissed the girl and the dog bit her

‘lelaki itu mencium gadis itu dan anjing itu menggigitnya (anjing itu)’ (9b) *The man kissed the grli and the dog bit ---

‘lelaki itu mencium gadis itu dan anjing itu menggigit ---‘ (Gee,1993 dalam Jufrizal, 2007 : 53-54)

2.2.4.2 Peran Gramatikal

Peran gramatikal (Dixon, 1994; Jufrizal, 2007) adalah peran-peran kasus atau fungsi-fungsi sintaksis yang didasarkan atas perilaku semantis. Dalam hal ini

(27)

argumen khusus. Dalam teori peran makro semantis, peran agen diistilahkan aktor dan peran pasien disebut undergoer (penderita/ tempat jatuh perbuatan ). Argumen tunggal klausa intransitif dapat berperan sebagai aktor dan juga undergoer. Sedangkan sistem gramatikal atau aliansi gramatikal adalah sistem atau kecenderungan persekutuan gramatikal yang ada dalam suatu bahasa secara tipologis; dapat berupa S=A, S=P, Sp= P, atau yang lainnya. Sistem gramatikal atau persekutuan gramatikal yang diidentifikasi secara tipologis melahirkan simpulan tentang sistem bahasa secara tipologis,seperti bahasa akusatif, bahasa ergatif, bahasa agentif, bahasa aktif, dan sebagainya ( lihat Jufrizal, 2007 ). Dalam disertasi ini dipakai istilah sistem gramatikal untuk menyebut aliansi gramatikal tersebut.

2.2.4.3 Predikasi dan Struktur Argumen

Kajian tentang predikasi dan struktur argumen suatu bahasa berhubungan dengan peran gramatikal bahasa tersebut. Pandangan linguistik tradisional menyebutkan bahwa klausa terdiri atas subjek ’apa yang dibicarakan’ dan

(28)

diidentifikasi sebagai agen ( pelaku ) dan yang lainnya adalah pasien ( penderita ). Agen dan pasien yang dimarkahi oleh fitur-fitur gramatikal dalam suatu bahasa disebut peran gramatikal. Konsep relasi gramatikal meliputi subjek, objek, dan sebagainya. Agen dan pasien merupakan dua peran gramatikal yang paling penting dalam kajian tipologi. Tiga peran gramatikal lain yang mengikuti agen dan pasien adalah benefisiari, instrumental dan lokatif ( Palmer, 1994 : Comrie, 1989).

Dalam dasar-dasar teori ilmu kebahasaan istilah predikasi setara dengan proposisi, dinyatakan bahwa : (a) di antara unsur-unsur yang membangun/ membentuk kalimat ada bagian yang disebut predikat ( predicate ); dan (b) ada unsur lain dalam kalimat itu yang berperan sebagai argumen dari predikat tersebut. Dalam penelitian ini predikasi dipakai untuk menyebut konstruksi dalam bentuk klausa ( kalimat sederhana ) yang terdiri atas predikat dan argumennya.. ( Lyons, 1987: 270-337); Jufrizal 2007: 76).. Secara lintas bahasa wujud optimal sebuah klausa terdiri atas unsur-unsur yang mempredikati (predicating elements) dan unsur-unsur yang bukan mempredikati (non-predicating elements) di satu sisi, serta FN dan frasa adposisional (frasa berpreposisi atau berposposisi) yang merupakan argumen predikat dan yang bukan, di sisi lain.

(29)

subjek, objek dan lainnya, sebagiannya ditentukan oleh semantis predikat. Setiap verba harus bersesuaian dengan argumennya. Keterikatan dan kaitan informasi yang menjadi argumen predikat dan predikat itu sendiri membentuk struktur, yang disebut struktur argumen. Struktur argumen juga merupakan informasi minimal predikat yang perlu untuk menurunkan kerangka sintaksisnya

Menurut Manning (1996:35-36), pengertian struktur argumen yang diberikan Alsina (1996) lebih dilihat sebagai perwujudan semantis daripada sintaksis. Manning sendiri menempatkan persoalan struktur argumen sebagai perwujudan sintaksis. Menurutnya, struktur gramatikal dan struktur argumen adalah hasil langsung dari gramatikalisasi dua rangkaian hubungan yang berbeda

Baik Alsina (1996) dan ahli lain yang melihat struktur argumen sebagai hal-ihwal semantik, maupun Manning (1996) yang melihat struktur argumen sebagai perwujudan tataran sintaksis, sama-sama mempunyai dasar pijakan teoritis yang beralasan. Kedua cara pandang ini sebenarnya mempunyai titik temu, keduanya tidak bisa berjalan sendiri tanpa keterkaitan satu dengan yang lain. Keterkaitan antara hal-ihwal semantis dengan hal-ihwal sintaksis dalam struktur argumen juga dikemukakan. oleh Van Valin Jr dan La Polla (1999 :28) yang menyebutkan bahwa istilah argumen sebenarnya merujuk ke argumen semantis (argumen yang didasarkan atas sebab dan faktor semantis ), sementara argumen inti (core argument ) merupakan pengertian yang merujuk ke tataran sintaksis. Dalam penelitian ini, struktur argumen diihat secara sintaksis (gramatikal) dengan memperhatikan keterkaitannya sebagai wujud perihal semantis.

(30)

kompleks (complex predicate). Predikat kompleks adalah predikat dengan banyak induk (multi-headed); predikat yang tersusun lebih dari satu unsur gramatikal (morfem atau kata ), yang masing-masingnya menyumbangkan bagian informasi yang biasanya dikaitkan dengan induk (head). Sebaliknya, predikat yang hanya terbentuk dari satu unsur gramatikal (morfem atau kata) yang menjadi induk (head) disebut sebagai predikat sederhana (Ackerman dan Webelhuth (1998) dalam Jufrizal,2007:78)

Ciri dan sifat-perilaku predikat sederhana ataupun predikat kompleks pada bahasa-bahasa di dunia sangat ditentukan oleh gramatika dan tipologi bahasa yang bersangkutan. Sebagai gambaran, akan dikemukakan contoh predikat sederhana dan predikat kompleks bahasa Jerman ( Ackerman dan Webelhuth, 1998: 174-175) dalam Jufrizal,2007: 79). Bahasa Jerman mempunyai bentuk predikat seperti

an-rufen ‘call up’(Inggris); ‘menelepon’ (Indonesia) dan kussen kiss’(Inggris); ‘mencium’(Indonesia). Contoh (a) dan (b) berikut memakai dua predikat dalam klausa subordinatif. Karena kedua kalimat dalam kala kini (present tense), kedua predikat diungkapkan dengan kata tunggal secara morfologis. Predikat (b) terbentuk dari partikel an dan kata ruft

(a) Weil die Ministerin ihren Mann kusst

karena ART menteri POS3TG suami mencium ’karena menteri itu mencium suaminya’

(b) Weil die ministerin ihren mann an-ruft

(31)

Dalam bangun klausa induk (utama), kedua klausa di atas dapat diungkapkan menjadi (c) dan (d).

(c) Die Ministerin kusst ihren mann

ART menteri POS3TG suami mencium ’menteri itu mencium suaminya’

(d) Die ministerin ruft ihren mann an

’ART’ ’menteri’’panggil’ ’POS3TG’ ’suami’ ’PAR’ ’Menteri itu menelepon suaminya’

Dalam bahasa Inggris contoh (e) dan (f) dikatakan mempunyai predikat sederhana, sedangkan (g) dan (h) mempunyai predikat kompleks (lihat Williams dalam Alsina dkk. (ed.),1997: 13-15)

(e) We go

’kami pergi’

(f) I believe

’saya percaya’

(g) I kicked over the vase

’saya menyepak jambangan’

(h) John put the planes together

’John menyusun pesawat-pesawat terbang itu’

(32)

Selanjutnya mari perhatikan contoh kalimat bahasa Inggris berikut (dikutip dari Alsina,1996: 4-5) ini :

(i) the director placed the document in the drawer.

(j) She defended the proposal.

(k) The committee laughed.

Pada contoh (i,j,k) berturut-turut predikatnya adalah placed, defended, dan

laughed. Argumen verba placed adalah the director, the document dan in the drawer; verba defended mempunyai argumen she dan the proposal; verba laughed

mempunyai argumen the committee. Jumlah dan wujud argumen-argumen itu ditentukan oleh semantik verba dan struktur sintaksis secara keseluruhannya. Hipotesis bahwa struktur argumen merupakan pertautan aspek semantis dan sintaksis berterima dalam banyak bahasa.

Secara lintas bahasa wujud optimal dari sebuah klausa terdiri atas unsur-unsur yang mempredikati ( predicating elements) dan unsur-unsur yang bukan mempredikati ( non predicating elements ) di satu sisi serta FN dan frasa adposisional ( frasa berpreposisi dan frasa berposposisi ) yang merupakan argumen predikat dan yang bukan, di sisi lain.Bangun klausa optimal tersebut dapat digambarkan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1 Bangun optimal klausa (Van ValinJr dan La Polla, 2002 :25 )

+ argumen Bukan argumen

(33)

Unsur yang mempredikati, biasanya verba dan bisa pula bukan verba; misalnya ajektiva, nomina. Pada bahasa Inggris, predikat bukan verbal menghendaki kopula be atau sejenis verba kopular. Dalam bahasa Rusia, kehadiran kopula tidak diperlukan pada klausa berpredikat bukan verbal. Dalam bahasa Indonesia, kopula pada klausa berpredikat bukan verbal bukan suatu keharusan. ( Van Valin Jr dan La Polla , 2002; 25-27 ; Jufrizal,2007 : 76 )

a) John is a doctor ( bahasa Inggris ) John adalah seorang dokter

‘john dokter’

b) Ivan vrac ( bahasa Rusia ) ‘Ivan dokter’

c) Yahya (adalah ) dokter ( bahasa Indonesia )

(34)

Tabel 2 : Unsur-Unsur Semantis dan Unit Sintaksis (Van Valin Jr dan LaPolla (2002 : 27 )

Unsur-unsur semantis unit sintaksis

Predikat inti (nucleus)

argumen dalam wujud semantis predikat argumen inti (core argument)

Bukan argumen periferi (periphery)

Predikat + argumen inti (core)

Predikat + argumen + bukan-argumen klausa (= core + periphery)

Argumen inti adalah unsur sintaksis yang kehadirannya dalam suatu klausa diperlukan oleh verba klausa tersebut dan tidak dimarkahi oleh preposisi/posposisi ataupun konjungsi. Dia membeli baju di toko adalah klausa yang memiliki dua argumen inti. Argumen dia dan baju disebut argumen inti karena kehadirannya sangat diperlukan oleh verba klausa tersebut dan tidak dimarkahi oleh preposisi, postposisi maupun konjungsi. Namun di toko bukan argumen, karena kehadirannya bersifat mana suka (optional) dan memiliki pemarkah preposisi di

2.2.4.4 Valensi dan Ketransitifan Verba

(35)

ketransitifan didasari oleh pengertian valensi dan ketransitifan secara sintaksis, tanpa mengabaikan kajian ketransitifan secara semantis. Istilah valensi dalam linguistik dirujukkan sebagai kemampuan dan / atau keperluan verba, yang menempati unsur predikat sebuah kalimat, dalam mengikat argumen. Katamba ( 1993 : 266 ) menyebutkan bahwa valensi adalah jumlah argumen dalam kerangka sintaksis dikaitkan dengan verba yang disebabkan oleh fungsi-fungsi gramatikal.

(36)

argumen inti dalam sintaksis disebut verba intransitif ; verba yang mengambil dua argumen disebut ekatransitif; dan verba yang mengambil tiga argumen disebut dwitransitif

Mekanisme perubahan valensi verba BPD dapat dikaji melalui dua jenis konstruksi verbal, yaitu konstruksi kausatif dan konstruksi aplikatf (lokatif, instrumental, benefaktif, sumber, resipien/penerima). Pembahasan kedua konstruksi ini diharapkan dapat memperlihatkan mekanisme perubahan valensi verba BPD, baik secara sintaksis maupun secara semantis. Tinjauan teoretis serta data bahasa secara lintas bahasa akan ditampilkan untuk memperkuat kajian tipologisnya.

Tidak dapat disangkal bahwa secara tipologi-morfologis BPD termasuk bahasa aglutinasi (aglutinative language) dimana afiks dan proses morfologis memegang peranan penting dalam tataran morfosintaksis dan semantis (lihat Badudu,1982:67-68). Oleh karena itu, kajian tentang konstruksi kausatif dan aplikatif BPD sehubungan dengan mekanisme perubahan valensi verba ini akan berkaitan dengan afiks dan proses morfologis verba. Karena secara tipologis, kausatif morfologis cukup berperan dalam pengkausatifan BPD.

(a) Sistem Pengkausatifan.

(37)

Jufrizal 2007: 94). Walaupun tiap bahasa mempunyai konstruksi gramatikal yang berbeda dalam mengungkapkan kekausatifan, Ackerman dan Webelhuth (1998: 288-289) membedakan jenis kausatif (secara lintas bahasa) menurut keklausalitasan dan kesintesitasan, seperti berikut ini :

Tabel 3: Jenis Kausatif

Analitik Sintaktik

Monoklausal Biklausal Campur

Bahasa Jerman I Bahasa Jerman II Bahasa Italia

Malayalan Chi-Mwi-Ni Bahasa Turki

Berdasarkan uraian Goddard (1998: 260-290), pembagian kausatif beserta sifat-sifatnya dan konstruksinya secara umum dapat dirangkum dengan bagan berikut:

Bagan 1: Pembagian Kausatif. (Goddard,1998)

Pembagian Bentuk Kausatif

Kausatif analitik/ Kusatif morfologis Kausatif leksikal/

Perifrastik Kausatif Langsung

- I made him work - Membunuh - I got him to do it - Memecah - I had him to do it Sufiksasi

(38)

Comrie (1989:165-171) juga mengemukakan tiga cara pengkausatifan yaitu: kausatif analitis, kausatif morfologis, dan kausatif leksikal. Kausatif analitis adalah konstruksi kausatif, yang dalam hal ini terdapat predikat terpisah yang mengungkapkan sebab-akibat; penyebab diwujudkan oleh kata terpisah dari kata yang menunjukkan, yang disebabkan (akibat). Kausatif morfologis yaitu hubungan antara predikat non-kausatif dan yang kausatif dimarkahi oleh perangkat morfologis, misalnya, oleh adanya afiksasi

Kausatif leksikal adalah verba yang saling berhubungan dalam predikat non-kausatif tetapi tidak berkaitan secara morfologis dengan predikat kausatif; hubungan predikat yang mengungkapkan akibat dan yang mengungkapkan sebab tidak sistematis (hanya diungkapkan dengan leksikon yang bermakna sebab-akibat, seperti kata die ‘mati’ dan kill ‘membunuh’ dalam bahasa Inggris). Dalam disertasi ini, pembagian konstruksi kausatif menjadi tiga dijadikan landasan teoritis dalam pembahasan selanjutnya. (lihat Goddard (1988); Comrie (1989); Artawa (1989))

Berikut ini adalah contoh konstruksi kausatif leksikal bahasa Inggris (dikutip dari Goddard, 1988:277-280).

(a) Juanita broke the vase.

Juanita memecahkan ART-jambangan. ‘juanita memecahkan jambangan itu’

(b) Sasha moved the chair.

(39)

(c) The explosion killed the cat.

ART-ledakan membunuh ART-kucing ‘ledakan itu membunuh kucing itu’.

Pada contoh (a) Juanita (subjek) adalah penyebab (causer) dan the vase

(objek) merupakan penerima sebab (causee). Penjelasan yang sama dapat diberikan untuk contoh (b) dan (c).

Artawa (1998:31) mengungkapkan bahwa pada bahasa Bali dipergunakan konjungsi kausatif kerana ‘karena’ untuk mengungkapkan dua klausa yang menunjukkan hubungan sebab-akibat sebagai strategi pengkausatifan. Berikut ini adalah contoh yang dikutip dari Artawa,1998).

(d) Dana tusing teka mai kerana motor ne usak.

Dana tidak datang ke sini karena motor –POS3TG rusak ‘Dana tidak datang ke sini karena motornya rusak’

Contoh berikut ini merupakan konstruksi kausatif analitis dalam bahasa Inggris (lihat Goddard,1998).

(e) I made him work

1TG membuatnya bekerja ‘saya membuatnya bekerja’

(f) I had him to do it

1TG KAU PRO3TG untuk melakukan PRO3TG. ‘saya menyuruhnya melakukan itu’

(40)

oblik. Menurutnya, penyimpulan gramatikal dari terakibat (causee) bergerak sebagai berikut: terakibat (causee) menempati posisi tertinggi (paling kiri) pada hirarkhi yang belum terisi. Perubahan valensi antara verba dasar dan verba kausatif (turunan) dapat diperlihatkan sebagai berikut:

Dasar Kausatif

Intransitf SUBJ SUBJ

OL

Ekstransitif SUBJ SUBJ

OL OL OTL

Dwitransitif SUBJ SUBJ

OL OL

OTL OTL

OBL

(41)

adanya karena dapat menjelaskan sejumlah fenomena gramatikal lintas bahasa, selain dari pengkausatifan. Comrie (1989) mengatakan bahwa hirarkhi itu terpakai pada sejumlah besar bahasa dari berbagai genetis, geografis, dan kelompok tipologis dengan hanya sedikit pengecualian. Karena itu, sebaiknya hirarkhi tersebut dianggap sebagai hirarkhi kecenderungan secara lintas bahasa. Untuk pengkausatifan dalam bahasa Turki, hirarkhi ini sesuai. Contoh-contoh berikut ini diambil dan diadaptasi dari Comrie (1989:174-176) dalam uraiannya tentang perubahan valensi dalam kausatif morfologis.

Dasar intransitif:

(g) 1.Hasan ől-dü

Hasan mati kala lampau ‘Hasan telah mati’

2. Ali Hasan-i - ől-dür -dü

Ali Hasan AKU mati-KAU-kala lampau

‘Ali menyebabkan Hasan mati, membunuh Hasan’

Dasar transitif

(h)1.Müdur mektüb-u imzala -di

Direktur surat-AKU menandatangani-KAU-kala lampau ‘Ali telah meminta direktur menandatangani surat’

2dicci mektub-u müdür -e- imzala-t- ti

Dokter gigisurat-AKU direktur-DAT menandatangani-KAU-kala lampau ‘dokter gigi telah meminta direktur menadatangani surat’

(42)

(i)1 Müdur Hasan mektub-u goster-di

direktur Hasan-DAT surat-AKU memperlihatkan-kala lampau ‘direktur telah memperlihatkan surat kepada Hasan’

2.dicci Hasan-a mektub-u Müdur tarafindan goster-t-ti

dokter Hasan–DAT surat-AKU direktur oleh memperlihatkan-KAU kala lampau

‘Dokter telah meminta direktur memperlihatkan surat itu kepada Hasan’

Kausatif morfologis yang terdapat dalam bahasa Turki di atas dapat diterangkan sebagai berikut. Apabila klausa dasar bukan-kausatif adalah klausa intransitif (g1),subjek muncul sebagai OL pada konstruksi kausatifnya (g2). Apabila klausa dasar merupakan klausa ekatransitif, maka pada bentuk kausatifnya, tersebab (akibat) tidak bisa muncul sebagai OL karena relasi ini telah diisi oleh OL klausa dasar, dan bahasa Turki tidak mengizinkan dua objek langsung dalam satu klausa. Terakibat (causee) muncul sebagai OTL yang dimarkahi oleh kasus datif (contoh h1,2). Apabila klausa dasar adalah klausa dengan verba dwitransitif (contoh i1), maka terakibat tidak bisa muncul sebagai OTL klausa dasar. Dalam kasus ini, terakibat muncul sebagai relasi OBL yang ditandai oleh posposisi (contoh i2) (lihat Artawa,1998:34).

(b) Sistem Pengaplikatifan

(43)

(benefisieri) pada kasus berikutnya. Untuk lebih jelasnya, istilah ‘aplikatif’ dan ‘benefaktif’ tersebut digunakan untuk merujuk ke konstruksi gramatikal seperti butir (a) berikut ini. (dikutip dari Shibatani dalam Shibatani dan Thomson (ed),1996:159-160).

Aplikatif :

Bahasa Indonesia

(1a) saya menduduki kursi (1b) saya duduk di kursi Bahasa Ainu:

(2a) poro cise e-horari

Besar rumah APL-tinggal ‘dia meninggali rumah besar’ (2b) Poro cise ta horari

Besar rumah ditinggal ‘dia tinggal di rumah besar’

Bahasa Cichewa (Alsina dan Mchombo,1990) (3a) anyani a-na-yend-er-a ndodo

2-babon 2s-PAS-jalan-APL-FV 9-tongkat ‘Baboon-baboon berjalan dengan tongkat’ (3b) Anyani a-na-yend-a ndi ndondo.

(44)

Benefaktif Bahasa Inggris

(4a) John bought mary a book John beli Mary ART-buku ‘John membelikan Mary buku’ (4b) John bought a book for Mary

John beli ART-buku untuk Mary ‘John membelikan buku untuk Mary’ Bahasa Indonesia

(5a) Dia membuat-kan saya kursi

(5b) Dia membuat kursi itu untuk saya

Bahasa Jepang

(6a) boku wa Hanako ni kon o kat-te yat-ta.

1TG TOP-Hanako DAT-buku AKU-beli-KON beri-PAST ‘saya membelikan Hanako sebuah buku’

(6b) boku wa Hanako no tame ni kon o kat- te-yat- ta

1TG TOP-Hanako GEN demi DAT-buku AKU-beli-KON beri- PAST

‘saya membeli buku untuk Hanako’

(45)

dikenal sebagai aplikatif, sedangkan contoh-contoh pada (4a),(5a), dan (6a) merupakan konstruksi benefaktif.

Shibatani (1996) menyatakan bahwa walaupun beberapa bahasa, seperti Chichewa, menggunakan afiks verbal yang sama untuk aplikatif dan benefaktif, namun ada perbedaan penting di antara kedua konstruksi itu. Aplikatif umumnya menerima/menggunakan dasar intransitif, sedangkan benefaktif jarang menerima dasar intransitif. Berdasarkan pengamatan secara lintas bahasa, benefaktif dengan dasar intransitif jarang berterima dalam satu bahasa. Contoh data berikut ini (dikutip Shibatani,1996:160-161) menunjukkan hal tersebut :

Aplikatif dengan dasar intransitif :

(7a) otto be-wohut ein altes Haus. (Jerman) Otto APL-tinggal ART tua rumah

‘otto meninggali rumah tua’

(7b) saya menjatuh-i kucing (Indonesia) (7c) paropet kotan e-arpa (ainu) Kampung APL –pergi ‘dia pergi ke kampung’

(7d) msodzi a-ku—phik-ir-a mthiko (chichewa) 1-nelayan 1s-Pres-masak-APL-FV 3sendok ‘nelayan itu memasak dengan sendok’

Benefaktif dengan dasar intransitif (Alsina dan Mchombo,1990) (8a) *otto ging Karin auf den Marktplatz (Jerman)

(46)

(8b)*saya datang-kan Ana ke pasar. (Indonesia) (8c) *I went Mary to the market

1TG pergi Mary ke ART- pasar ‘saya pergi ke pasar untuk Mary’

(8d) *Msodzi a-ku-phik ir-a ana (Chichewa) 1-nelayan is-PRES-masak-BEN-FV 2-anak

‘nelayan memasak untuk anak itu’

Contoh kalimat (8a-d) adalah konstruksi kalimat yang tidak gramatikal (bertanda *). Walaupun sifat-perilaku morfosintaksis aplikatif/benafaktif beragam secara lintas bahasa, benefaktif dengan dasar intransitif tidak gramatikal dalam berbagai bahsasa. Bahasa Inggris dan Bahasa Jerman tidak mempunyai afiks benefaktif untuk memarkahi verba, sementara bahasa Indonesia dan Chichewa mempunyai pemarkah verbal benefaktif. Pengguna (benefisieri) diwujudkan sebagai objek utama dari konstruksi objek ganda (bahasa Inggris, bahasa Indonesia, bahasa Chichewa) atau sebagai OTL (bahasa Jerman). Di samping pertimbangan formal, kenyataan lain secara kognitif menunjukkan bahwa selain kemiripan dalam bentuk-bentuk verba, aplikatif atau benefaktif juga ditentukan oleh informasi leksikal lainnya. Pasangan contoh bahasa Indonesia berikut ini memperlihatkan konstruksi aplikatif yang berterima dan yang tidak (atau diragukan kegramatikalannya).

(47)

Istilah aplikatif sering digunakan untuk merujuk ke proses derivasional yang meliputi penaikan valensi dalam bahasa-bahasa Bantu. (lihat Artawa,1998; Bahasa Chichewa mempunyai jenis proses sintaksis tersebut. Konstruksi aplikatif dalam bahasa itu mempunyai dua fitur penting, yaitu: (a) peran tematis yang baru dimasukkan ke dalam struktur argumen; (b) verba mengalami modifikasi morfologis, yaitu sufiksasi dengan morfem aplikatif. Trask (1993) dalam Jufrizal (2002, 2007) menyebutkan konstruksi aplikatif sebagai konstruksi penciptaan objek, OTL dasar atau objek oblik dimunculkan sebagai objek nyata (objek lahir). Contoh berikut adalah konstruksi aplikatif instrumental yang diadaptasi dari Trask (1993).

(9a) Nu:ru 0 –tilanzile: nama ka: chisu

nuru SUB-potong daging dengan pisau ‘nuru memotong daging dengan pisau’ (9b) Nu:ru 0 –tilangile: nama chisu.

nuru SUB-potong-APL daging pisau ‘nuru memotong daging dengan pisau’

(48)

2.2.4.5 Struktur Pentopikalan

Hakekat ( asal muasal ) subjek adalah pertautan antara agen dan topik. Agen merupakan peran gramatikal yang didasarkan pada peran semantis, sedangkan topik adalah istilah pada fungsi pragmatis. Dalam penelitian ini, topik kalimat dibatasi berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Comrie (1989 :64). Menurutnya, topik kalimat adalah tentang apa kalimat itu, atau apa yang menjadi pembicaraan kalimat itu.

Li dan Thomson ( Li (ed), 1976 dalam Jufrizal, 2004,2007 ) memperkenalkan tipologi bahasa-bahasa yang didasarkan pada ‘derajat penonjolan; subjek atau topik’. Menurutnya, sebuah bahasa dikatakan sebagai ’bahasa yang menonjolkan subjek’ jika kalimat dasarnya paling baik diungkapkan sebagai mempunyai struktur ’subjek-predikat’. Sementara itu, bahasa yang menonjolkan topik akan mempunyai struktur kalimat dasar sebagai mempunyai struktur topik-komen. Pernyataan ini tidak menolak sama sekali bahwa bahasa yang menonjolkan subjek juga mempunyai topik dan bahasa yang menonjolkan topik juga mempunyai subjek. Li dan Thompson dalam Jufrizal (2007:151), mengusulkan pengelompokan bahasa-bahasa menjadi empat kelompok:

(a) bahasa yang menonjolkan subjek ( misalnya bahasa Inggris dan Jerman)

(b) bahasa yang menonjolkan topik ( misalnya bahasa Cina dan Lahu) (c) bahasa yang sama-sama menonjolkan subjek dan topik ( misalnya

(49)

(d) bahasa yang tidak menonjolkan subjek maupun topik ( misalnya bahasa Tagalog dan Illocano

Pengelompokan ini didasarkan pada tuntutan tipologis bahwa ada sejumlah bahasa yang dapat diperikan dengan baik berdasarkan topik dan ada pula sekelompok bahasa yang diperikan berdasarkan pengertian subjek. Bukan berarti bahwa subjek dan topik tidak berhubungan sama sekali karena subjek sesungguhnya adalah topik yang digramatikalkan. Kebanyakan sifat perilaku topik bersamaan dengan sifat perilaku subjek dalam sejumlah bahasa ( Li (ed), 1976 dalam Jufrizal, 2007: 150-151)

Sementara itu, sejumlah fitur dari bahasa yang menonjolkan topik, antara lain : (1) topiknya ditandai dalam struktur lahir; (2) topik tersebut cenderung mengontrol kereferensialitas; (3) kaidah penciptaan subjek seperti pemasifan jarang ditemukan; (4) konstruksi ’subjek ganda’ yang berorientasi topik merupakan struktur kalimat dasar .( Gundel (1988) dalam Artawa ,1988: 98)

(50)

Ada kecenderungan yang disebut konstruksi subjek ganda mempunyai kedudukan khusus dalam bahasa-bahasa yang menonjolkan topik. Konstruksi kalimat keseluruhan dari bahasa-bahasa kelompok ini lazimnya adalah satu kalimat mempunyai dua FN yang berdekatan di sebelah kiri predikat; salah satu FN itu membawa fungsi ‘topik’ dan yang lain membawa fungsi ‘subjek’, sehingga memunculkan konstruksi subjek ganda. Mari dicermati contoh berikut ini yang diambil dari Li dan Thompson (1976:468)

(1a) Sekana wa tai ga oisili (Jepang) Ikan TOP penggigit merah SUB enak ‘ikan (topik) penggigit merah enak’ (1b) Neiki shu yezi da (china)

Itu pohon daun-daun besar ‘Pohon itu(topik), daun-daun besar’

Pada contoh-contoh di atas, topik dan subjek keduanya ada. Li dan Thompson menjelaskan bahwa pada (1a) topik dimarkahi oleh partikel wa dan subjek dimarkahi oleh ga. Pada (1b) Neiki shu adalah topik dan FN yezi

merupakan subjek kalimat. Dalam kalimat ini topik dapat dibuang dari kalimat dengan jeda. Topik pada contoh-contoh di atas berada pada posisi awal kalimat. Berkenaan dengan ini, konstruksi topik-komen dalam bahasa-bahasa yang menonjolkan topik merupakan konstruksi yang tak tertanda (unmarked construction), sedangkan pada bahasa-bahasa yang menonjolkan subjek konstruksi topik-komen merupakan konstruksi tertanda (marked construction).

(51)

dikatakan bahwa kalimat pasif seharusnya dipahami sebagai hal-ihwal tentang ‘pasien’ bukan ‘agen’, karena pemasifan merupakan proses sintaksis yang memindahkan pasien menjadi subjek dan agen menjadi keterangan (adjunct). Dalam bahasa seperti bahasa Inggris, subjek lazimnya merupakan argumen awal (depan). Namun demikian, bukanlah berarti bahwa semua argumen awal adalah subjek. Ada konstruksi lain yang argumen awal tidak merupakan subjek kalimat. Konstruksi seperti ini dikenal sebagai pelepasan ke kiri (left-dislocation). Mari dicermati contoh-contoh berikut ini (dikutip dari Artawa, 1998:68)

(2a) Mary, she came yesterday

‘mary, dia datang kemarin’ (2b) Mary I know

‘ mary saya tahu’

Konstruksi (2a) adalah contoh dari apa yang disebut pelepasan ke kiri dan (2b) adalah contoh pentopikalan. Perbedaannya adalah pada konstruksi pelepasan ke kiri ada pronomina dalam klausa sebenarnya yang merujuk ke frasa nomina awal klausa tersebut, sedangkan pada konstruksi pentopikalan tidak demikian halnya. Pada (2a) pronomina she adalah anaforis, yang merujuk ke FN Mary.

Menurut Artawa (1998:68-70), bahasa Bali sebagai salah satu bahasa Austronesia mempunyai beberapa pola konstruksi pelepasan ke kiri sebagai berikut:

(52)

harimau orang telah galak

‘mengenai harimau, mereka biasanya galak’ (5) Murid-e ento, guru-ne ramah

murid-DEF itu guru-POS3TG ramah ‘mengenai murid itu, gurunya ramah’ (6) Sari, panak-ne ngeling

Sari, anak-POS3TG tangis

‘mengenai Sari, anaknya menangis’ (7) Anak-e ento, bapan-ne ngae umah

orang –DEF itu bapak-POS3TG AKT-buat rumah ‘mengenai orang itu, bapaknya membuat rumah’

Pola konstruksi pelepasan ke kiri pada (3) di atas adalah FN yang dilepaskan ke kiri bersifat definit (terbatas) dan diikuti oleh kalimat penuh yang subjeknya merujuk ke FN yang dilepaskan ke kiri tersebut dengan menggunakan bentuk pronomina. Pola yang sama juga dapat digunakan untuk nomina umum (biasa), seperti contoh (4). Pelepasan ke kiri dalam BB juga dapat terjadi dalam hubungan pemilik-termilik antara FN yang dilepaskan ke kiri dengan subjek klausa yang mengikutinya. Ini dapat terjadi pada klausa bukan verbal (5) dan klausa verbal (6) dan (7)

(53)

tetapi hanya dinamakan sebagai proses pengedepanan (fronting). Mari dicermati contoh sederhana tentang pengedepanan yang dikutip dari Artawa,( 1998: 70) berikut ini :

(8a) John bought some fruit in the market.

(8b) In the market, John bought some fruit

Lokatif in the market pada contoh (8a) bahasa Inggris di atas dikedepankan pada (8b). Artawa (1998:71) menyebutkan bahwa contoh (9b) berikut ini adalah sebuah proses pentopikalan dalam BB, yaitu pelengkap pasien ditopikkan. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa argumen inti buku-ne ento

dikedepankan; unsur awal dari klausa itu adalah argumen inti.

(9a) Tiang ngaba buku- ne ento

1TG AKT-bawa buku-DEF itu ‘saya membawa buku itu’

(9b) Buku-ne ento tiang ngaba

buku-DEF itu 1TG bawa ‘buku itu saya ba

Kerangka teoritis ini menjadi arah dan dasar analisis terhadap BPD, untuk penelusuran apakah BPD sebagai bahasa yang menonjolkan subjek atau menonjolkan komen atau sebagai bahasa yang tidak menonjolkan subjek maupun komen.

2.2.4.6 Sistem Pivot Sebagai Satuan Sintaksis Semantis

(54)

mengemukakan satuan-satuan dasar (primitives) sintaksis para-teoretis seperti di bawah ini :

S : subjek intransitif A : subjek transitif O : objek transitif

S, A, O merupakan kategori inti semesta dan membatasi pengertian ‘subjek’ sebagai kategori semesta dalam pengertian satuan –satuan dasar sintaksis tersebut. Dalam sistem ini, A dan S dikelompokkan bersama sebagai ‘subjek’ (lihat Jufrizal,2007 : 204 ). Hal ini sejalan dengan pendapat Dixon yang menyebutkan bahwa setiap usaha untuk menyusun kesemestaan tipologis yang benar mesti didasarkan secara semantis. Namun Artawa (1998: 132 ) menyatakan bahwa dalam memahami relasi S, A, dan O, mesti dicatat bahwa S secara semantis tidak perlu agen. Hal ini disebabkan oleh sifat perilaku verba intransitif yang secara umum terbagi menjadi dua kategori, yaitu verba intransitif yang menghendaki S mirip-agen dan yang menghendaki S mirip-pasien

Comrie ( 1989 ) menggunakan simbol P ( bukan O ) untuk merujuk ke objek transitif ; dan berpendapat bahwa dalam bahasa ergatif, P mempunyai perilaku subjek bukan A. Sehubungan itu, penelitian ini menggunakan istilah P untuk untuk merujuk ke objek transitif, yang oleh Dixon dilambangkan dengan O. Dengan demikian, satuan-satuan dasar sintaksis para-teoretis adalah :

(55)

Ada perbedaan antara subjek menurut Dixon dan subjek menurut Comrie. Sehubungan dengan perbedaan itu, Artawa (2002: 23) menjebutkan bahwa subjek yang disebutkan oleh Comrie untuk bahasa ergatif secara sintaksis berbeda dari pengertian subjek oleh Dixon untuk bahasa yang sama. Subjek menurut Comrie adalah sebagai ‘subjek permukaan’ / ‘subjek lahir’ atau ‘subjek gramatikal’ dalam bahasa-bahasa ergatif secara sintaksis ( S/P- absolutif). Sementara menurut Dixon, subjek itu adalah ‘subjek dalam’ / ‘subjek batin’ ( S/A ), yang hanya berlaku pada struktur dasar. Istilah subjek gramatikal dapat dibandingkan dengan istilah pivot

yang dikemukakan oleh Dixon. Batasan subjek menurut Dixon mempunyai beberapa masalah jika dihubungkan dengan P-subjek dalam bahasa ergatif secara sintaksis

Istilah pivot pertama sekali diperkenalkan oleh Health (1975). Untuk mendeskripsikan penentuan saling rujuk dalam kalimat kompleks, Health memakai dua istilah ’pengontrol’ dan ’pivot’. FN pengontrol adalah FN pada klausa yang lebih tinggi, sementara pivot adalah FN pada klausa yang lebih rendah. Health menganggap bahwa FN pada kasus nominatif dalam sebuah klausa, seperti dalam bahasa Inggris, adalah pivot. Sementara itu Foley dan Van Valin mendefenisikan pivot sebagai sebagai semua jenis FN yang kepadanya proses gramatikal utama dikaitkan ( sensitive ), baik sebagai pengontrol atau sebagai target. Mereka juga menyimpulkan bahwa subjek merupakan FN pivot dalam bahasa Inggris, sementara objek adalah FN pivot dalam bahasa Dyrbal.

(56)

benar-benar sintaktis pada hakikat dan aplikasi. Namun demikian, Dixon mencatat bahwa jika sebuah bahasa mempunyai pivot sintaksis, yang benar-benar S/A, ada keinginan untuk menggunakan hanya satu istilah, yaitu apakah subjek atau pivot. Akan tetapi, apabila sebuah bahasa mempunyai S/P pivot, kedua istilah ( subjek dan pivot ) mesti dipertahankan.

Pada dasarnya ada dua variasi pivot ( beberapa bahasa hanya menunjukkan satu jenis, yang lainnya merupakan campuran dari keduanya ), yaitu :

(1) pivot S/A- FN yang berujuk-silang mesti pada fungsi S atau A turunan pada masing-masing klausa yang digabungkan;

(2) pivot S/P- FN yang berujuk-silang mesti pada fungsi S atau P turunan pada masing-masing klausa yang digabungkan.

Pivot (lihat Dixon,1994; Jufrizal,2004; 2007 ) adalah suatu kategori yang mengaitkan S dan A; S dan P; S, A dan P. Pivot merupakan FN paling sentral secara gramatikal. FN yang berfungsi sebagai pivot mempunyai kemampuan mengkoordinasikan, mengontrol anafora atau pelesapan dan dihilangkan dalam struktur kontrol. Pada bahasa-bahasa bertipologi akusatif, pivot adalah subjek gramatikal, sedangkan pada bahasa bertipologi ergatif, pivot adalah FN yang merupakan pasien

(57)

beberapa jenis konstruksi sintaksis yang berbeda-beda. (lihat Artawa,1998 : 133). Pengujian tipologi sintaksis BPD dalam penelitian ini dilakukan juga dengan uji pivot ini. Untuk kemungkinan penggabungan klausa, bahasa Inggris tercatat sebagai bahasa yang bekerja menurut pengertian pivot S/A, sementara bahasa Dyirbal bekerja dengan pivot S/P.

Untuk menentukan apakah BPD mempunyai pivot S/A atau S/P akan dilihat berdasarkan konstruksi koordinatif. Perbandingan dilakukan dengan kerangka-uji pivot seperti yang ada dalam bahasa Inggris. Berikut ini adalah kerangka kerja dasar untuk penemuan pivot yang dikemukakan oleh Dixon (1994: 157-160). Fungsi-fungsi FN biasa/umum yang mungkin dalam perbandingan dua klausa secara sintaksis

Kedua klausa intransitif (a) S1 =S2

Klausa pertama intransitif, kedua transitif (b) S1= P2

(c) S1= A2

Klausa pertama transitif, kedua intransitif (d) P1 = S2

(e) A1 = S2

Kedua klausa transitif, satu FN biasa/umum (f) P1 = P2

(58)

Kedua klausa transitif, dua FN biasa/umum (j) P1 = P2 dan A1= A2

(k) P1 = A2 dan A1 =P2

Berdasarkan sebelas kemungkinan penggabungan dua klausa secara sintaksis untuk menentukan pivot di atas, Dixon (1994 : 158-159) mengatakan bahwa bahasa Inggris disebutkan sebagai bahasa yang mempunyai pivot S/A lemah. Menurutnya kondisi pivot pada pelesapan FN dalam bahasa Inggris dapat digambarkan dengan pembuatan contoh-contoh untuk masing-masing kemungkinan (a-k) tersebut. Berikut ini adalah gambaran pivot S/A dalam bahasa Inggris (Dixon 1994:158)

(a) S1 = S2 Bill entered and sat down

(b) S1 = P2 Bill entered and was seen by Fred

(c) S1 = A2 Bill entered and saw Fred

(d) P1 = S2 Bill was seen by Fred and laughed

(e) A1 = S2 Fred saw Bill and laughed

(f) P1 = P2 Bill wass kicked by Tom and punched by Bob (atau Tom kick and Bob punched Bill)

(g) A1 = A2 Bob kicked Jim and punched Bill

(h) P1 = A2 Bob was kicked by Tom and punched Bill

(i) A1 = P2 Bob punched Bill and was kicked by Tom

(j) P1 = P2, A1 = A2 Fred punched and kicked Bill

(59)

Pelesapan adalah langsung artinya tidak ada turunan (derivasi) sintaksis diperlukan, apabila FN biasa ada dalam fungsi S atau A pada tiap klausa, sepert pada contoh (a), (c), (e), (g), dan (j). Tetapi apabila FN umum berada dalam fungsi P pada satu klausa maka klausa tersebut mesti dipasifkan agar pelesapan FN diizinkan; hal ini berlaku pada (b), (f), (h), (i), dan (k). Pada (f) kedua klausa perlu dipasifkan.

Dixon (1994:159) menyebutkan bahwa bahasa Inggris mempunyai kiat (strategi) penggabungan klausa ; jika dua klausa berbeda dalam hal vebanya, verba tersebut dapat dengan mudah dikoordinasikan. Dengan demikian, dari klausa-klausa Fred punched Bill and Fred kicked Bill dapat diperoleh Fred punched and kicked Bill pada (j) yang dalam hal ini Fred dan Bill hanya dinyatakan satu kali ( Fred punched Bill and kicked him merupakan pilihan yang mungkin). Pada (k), sebagai satu pilihan untuk Fred punched Bill and was kicked by him , sebagian penutur asli menyenangi bentuk Fred punched and was kicked by Bill. Ada juga kemungkinan penggabungan FN – A-tambah verba dari dua klausa yang mempunyai FN – P yang sama, sehingga bentuk pilihan untuk Bill was kicked by Tom and punched by Bob pada (f), juga mungkin untuk mengatakan

Tom kicked and Bob punched Bill (meskipun tidak semua penutur asli menggunakannya ).

Gambar

Tabel 3: Jenis Kausatif

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian mengenai pengaruh gelombang mikro terhadap tubuh manusia menyatakan bahwa untuk daya sampai dengan 10 mW/cm2 masih termasuk dalam nilai ambang batas aman

Sedangkan untuk mengetahui tingkat akuntabilitas tersebut, perlu adanya Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) yang merupakan bahan utama untuk monitoring dan evaluasi

54 Tabel 15 Kisi-kisi Soal Post-test Hasil Belajar Kelas 4 Pembelajaran Tema 4 Peduli Pekerjaan, Subtema 1 Jenis-jenis Pekerjaan, Pembelajaran 1 Setelah Uji Validitas

Analisa berdasarkan Putusan Pengadilan dalam Purnama Tiora Sianturi, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak Melalui Lelang. Hadi Subhan, Hukum

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

Penerapan media poster untuk meningkatkan partisipasi belajar siswa dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Sertifikasi Bidang Studi NRG

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman