• Tidak ada hasil yang ditemukan

Valensi dan Ketransitifan Verba

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

2.2 Kerangka Teori

2.2.4 Relasi dan Peran Gramatikal .1 Relasi Gramatikal .1 Relasi Gramatikal

2.2.4.4 Valensi dan Ketransitifan Verba

Kajian tentang valensi dan ketransitifan terkait erat dengan pokok bahasan tentang predikasi dan struktur argumen. Yang tentu saja secara langsung bersangkut paut dengan peran dan relasi gramatikal ( yang menjadi judul penelitian ini ). Karena itu, dalam penelitian ini, kajian tentang valensi dan

ketransitifan didasari oleh pengertian valensi dan ketransitifan secara sintaksis, tanpa mengabaikan kajian ketransitifan secara semantis. Istilah valensi dalam linguistik dirujukkan sebagai kemampuan dan / atau keperluan verba, yang menempati unsur predikat sebuah kalimat, dalam mengikat argumen. Katamba ( 1993 : 266 ) menyebutkan bahwa valensi adalah jumlah argumen dalam kerangka sintaksis dikaitkan dengan verba yang disebabkan oleh fungsi-fungsi gramatikal.

Van Valin dan LaPolla ( 1999 : 147-150 ) juga mengatakan bahwa valensi adalah banyaknya argumen yang diikat / diambil oleh verba. Mereka membedakan antara velensi sintaksis verba dan valensi semantis verba. Valensi sintaksis verba adalah jumlah argumen yang disiratkan secara morfosintaksis-nyata yang dibutuhkan oleh verba tersebut. Sementara itu, valensi semantis verba adalah jumlah argumen semantik yang diambil oleh verba tertentu. Kedua jenis valensi sedikit berbeda. Kata rain dalam bahasa Inggris, misalnya, secara semantis tidak memerlukan argumen, namun secara sintaksis kata itu memerlukan satu argumen karena setiap klausa bahasa Inggris memerlukan subjek. Misalnya, it rained atau it is raining. Karena rained atau is raining saja tidak berterima dalam bahasa Inggris Pengertian valensi biasanya dikaitkan dengan ketransitifan. Katamba ( 1993 : 256-258 ) menyebutkan bahwa valensi ditentukan oleh perilaku verba. Oleh karena itulah verba dapat disebut sebagai verba transitif ( ekatransitif dan dwitransitif ). Ketransitifan dapat pula dipahami sebagai jumlah komponen yang berhubungan dengan aspek-aspek yang berbeda dari keefektifan atau intensitas yang dengannya tindakan dilakukan ( lihat Hopper dan Thompson, 1982 : 360 ). Kajian tentang valensi sintaksis yang pengertiannya sama dengan ketransitifan juga dikemukakan oleh Van Valin, Jr dan LaPolla, ( 1999 : 148-150 ). Verba yang mengambil satu

argumen inti dalam sintaksis disebut verba intransitif ; verba yang mengambil dua argumen disebut ekatransitif; dan verba yang mengambil tiga argumen disebut dwitransitif

Mekanisme perubahan valensi verba BPD dapat dikaji melalui dua jenis konstruksi verbal, yaitu konstruksi kausatif dan konstruksi aplikatf (lokatif, instrumental, benefaktif, sumber, resipien/penerima). Pembahasan kedua konstruksi ini diharapkan dapat memperlihatkan mekanisme perubahan valensi verba BPD, baik secara sintaksis maupun secara semantis. Tinjauan teoretis serta data bahasa secara lintas bahasa akan ditampilkan untuk memperkuat kajian tipologisnya.

Tidak dapat disangkal bahwa secara tipologi-morfologis BPD termasuk bahasa aglutinasi (aglutinative language) dimana afiks dan proses morfologis memegang peranan penting dalam tataran morfosintaksis dan semantis (lihat Badudu,1982:67-68). Oleh karena itu, kajian tentang konstruksi kausatif dan aplikatif BPD sehubungan dengan mekanisme perubahan valensi verba ini akan berkaitan dengan afiks dan proses morfologis verba. Karena secara tipologis, kausatif morfologis cukup berperan dalam pengkausatifan BPD.

(a) Sistem Pengkausatifan.

Menurut Goddard (1998:266), kausatif adalah ungkapan yang di dalamnya sebuah peristiwa (peristiwa yang disebabkan) digambarkan sebagai yang terjadi karena (disebabkan) seseorang melakukan sesuatu atau karena sesuatu terjadi. Secara lintas bahasa ditemukan bahwa kesetaraan kekausatifan dapat diungkapkan secara sintaksis dan analitis (lihat Ackerman dan Webelhuth (1998:311) ; dan

Jufrizal 2007: 94). Walaupun tiap bahasa mempunyai konstruksi gramatikal yang berbeda dalam mengungkapkan kekausatifan, Ackerman dan Webelhuth (1998: 288-289) membedakan jenis kausatif (secara lintas bahasa) menurut keklausalitasan dan kesintesitasan, seperti berikut ini :

Tabel 3: Jenis Kausatif

Analitik Sintaktik Monoklausal Biklausal Campur Bahasa Jerman I Bahasa Jerman II Bahasa Italia Malayalan Chi-Mwi-Ni Bahasa Turki

Berdasarkan uraian Goddard (1998: 260-290), pembagian kausatif beserta sifat-sifatnya dan konstruksinya secara umum dapat dirangkum dengan bagan berikut:

Bagan 1: Pembagian Kausatif. (Goddard,1998)

Pembagian Bentuk Kausatif

Kausatif analitik/ Kusatif morfologis Kausatif leksikal/

Perifrastik Kausatif Langsung

- I made him work - Membunuh

- I got him to do it - Memecah

- I had him to do it Sufiksasi

Comrie (1989:165-171) juga mengemukakan tiga cara pengkausatifan yaitu: kausatif analitis, kausatif morfologis, dan kausatif leksikal. Kausatif analitis adalah konstruksi kausatif, yang dalam hal ini terdapat predikat terpisah yang mengungkapkan sebab-akibat; penyebab diwujudkan oleh kata terpisah dari kata yang menunjukkan, yang disebabkan (akibat). Kausatif morfologis yaitu hubungan antara predikat non-kausatif dan yang kausatif dimarkahi oleh perangkat morfologis, misalnya, oleh adanya afiksasi

Kausatif leksikal adalah verba yang saling berhubungan dalam predikat non-kausatif tetapi tidak berkaitan secara morfologis dengan predikat kausatif; hubungan predikat yang mengungkapkan akibat dan yang mengungkapkan sebab tidak sistematis (hanya diungkapkan dengan leksikon yang bermakna sebab-akibat, seperti kata die ‘mati’ dan kill ‘membunuh’ dalam bahasa Inggris). Dalam disertasi ini, pembagian konstruksi kausatif menjadi tiga dijadikan landasan teoritis dalam pembahasan selanjutnya. (lihat Goddard (1988); Comrie (1989); Artawa (1989))

Berikut ini adalah contoh konstruksi kausatif leksikal bahasa Inggris (dikutip dari Goddard, 1988:277-280).

(a) Juanita broke the vase.

Juanita memecahkan ART-jambangan. ‘juanita memecahkan jambangan itu’

(b) Sasha moved the chair.

Sasha memindahkan ART-kursi. ‘Sasha memindahkan kursi itu’

(c) The explosion killed the cat.

ART-ledakan membunuh ART-kucing ‘ledakan itu membunuh kucing itu’.

Pada contoh (a) Juanita (subjek) adalah penyebab (causer) dan the vase

(objek) merupakan penerima sebab (causee). Penjelasan yang sama dapat diberikan untuk contoh (b) dan (c).

Artawa (1998:31) mengungkapkan bahwa pada bahasa Bali dipergunakan konjungsi kausatif kerana ‘karena’ untuk mengungkapkan dua klausa yang menunjukkan hubungan sebab-akibat sebagai strategi pengkausatifan. Berikut ini adalah contoh yang dikutip dari Artawa,1998).

(d) Dana tusing teka mai kerana motor ne usak.

Dana tidak datang ke sini karena motor –POS3TG rusak ‘Dana tidak datang ke sini karena motornya rusak’

Contoh berikut ini merupakan konstruksi kausatif analitis dalam bahasa Inggris (lihat Goddard,1998).

(e) I made him work

1TG membuatnya bekerja ‘saya membuatnya bekerja’

(f) I had him to do it

1TG KAU PRO3TG untuk melakukan PRO3TG. ‘saya menyuruhnya melakukan itu’

Untuk menjelaskan kesalingterkaitan antara konstruksi kausatif dengan konstruksi bukan-kausatif, Comrie (1985:65-70) mengusulkan hirarkhi relasi gramatikal sebagai berikut: subjek > objek langsung > objek tak langsung > objek

oblik. Menurutnya, penyimpulan gramatikal dari terakibat (causee) bergerak sebagai berikut: terakibat (causee) menempati posisi tertinggi (paling kiri) pada hirarkhi yang belum terisi. Perubahan valensi antara verba dasar dan verba kausatif (turunan) dapat diperlihatkan sebagai berikut:

Dasar Kausatif

Intransitf SUBJ SUBJ

OL

Ekstransitif SUBJ SUBJ

OL OL OTL

Dwitransitif SUBJ SUBJ

OL OL

OTL OTL

OBL

Karena pada dasarnya pembentukan kausatif meliputi penambahan agen terhadap valensi, maka jika klausa dasar adalah klausa intransitif, subjek akan diungkapkan sebagai OL. Subjek pada klausa dengan verba ekatransitf akan diungkapkan sebagai OTL dan OL tetap sebagai OL. Jika klausa dasar adalah klausa dengan verba dwitransitif, subjek akan ditandai sebagai oblik, OL dan OTL akan tetap sebagai relasi gramatikal yang sama. Hirarkhi gramatikal ini penting

adanya karena dapat menjelaskan sejumlah fenomena gramatikal lintas bahasa, selain dari pengkausatifan. Comrie (1989) mengatakan bahwa hirarkhi itu terpakai pada sejumlah besar bahasa dari berbagai genetis, geografis, dan kelompok tipologis dengan hanya sedikit pengecualian. Karena itu, sebaiknya hirarkhi tersebut dianggap sebagai hirarkhi kecenderungan secara lintas bahasa. Untuk pengkausatifan dalam bahasa Turki, hirarkhi ini sesuai. Contoh-contoh berikut ini diambil dan diadaptasi dari Comrie (1989:174-176) dalam uraiannya tentang perubahan valensi dalam kausatif morfologis.

Dasar intransitif:

(g) 1.Hasan ől-dü

Hasan mati kala lampau ‘Hasan telah mati’

2. Ali Hasan-i - ől-dür -dü

Ali Hasan AKU mati-KAU-kala lampau

‘Ali menyebabkan Hasan mati, membunuh Hasan’

Dasar transitif

(h)1.Müdur mektüb-u imzala -di

Direktur surat-AKU menandatangani-KAU-kala lampau ‘Ali telah meminta direktur menandatangani surat’

2dicci mektub-u müdür -e- imzala-t- ti

Dokter gigisurat-AKU direktur-DAT menandatangani-KAU-kala lampau ‘dokter gigi telah meminta direktur menadatangani surat’

(i)1 Müdur Hasan mektub-u goster-di

direktur Hasan-DAT surat-AKU memperlihatkan-kala lampau ‘direktur telah memperlihatkan surat kepada Hasan’

2.dicci Hasan-a mektub-u Müdur tarafindan goster-t-ti

dokter Hasan–DAT surat-AKU direktur oleh memperlihatkan-KAU kala lampau

‘Dokter telah meminta direktur memperlihatkan surat itu kepada Hasan’

Kausatif morfologis yang terdapat dalam bahasa Turki di atas dapat diterangkan sebagai berikut. Apabila klausa dasar bukan-kausatif adalah klausa intransitif (g1),subjek muncul sebagai OL pada konstruksi kausatifnya (g2). Apabila klausa dasar merupakan klausa ekatransitif, maka pada bentuk kausatifnya, tersebab (akibat) tidak bisa muncul sebagai OL karena relasi ini telah diisi oleh OL klausa dasar, dan bahasa Turki tidak mengizinkan dua objek langsung dalam satu klausa. Terakibat (causee) muncul sebagai OTL yang dimarkahi oleh kasus datif (contoh h1,2). Apabila klausa dasar adalah klausa dengan verba dwitransitif (contoh i1), maka terakibat tidak bisa muncul sebagai OTL klausa dasar. Dalam kasus ini, terakibat muncul sebagai relasi OBL yang ditandai oleh posposisi (contoh i2) (lihat Artawa,1998:34).

(b) Sistem Pengaplikatifan

Istilah aplikatif dan benefaktif biasanya digunakan untuk merujuk ke unsur gramatikal khusus - afiks-afiks verbal yang menaikkan valensi pada kasus sebelumnya dan bentuk-bentuk nominal yang mengungkapkan pengguna

(benefisieri) pada kasus berikutnya. Untuk lebih jelasnya, istilah ‘aplikatif’ dan ‘benefaktif’ tersebut digunakan untuk merujuk ke konstruksi gramatikal seperti butir (a) berikut ini. (dikutip dari Shibatani dalam Shibatani dan Thomson (ed),1996:159-160).

Aplikatif :

Bahasa Indonesia

(1a) saya menduduki kursi (1b) saya duduk di kursi Bahasa Ainu:

(2a) poro cise e-horari

Besar rumah APL-tinggal ‘dia meninggali rumah besar’ (2b) Poro cise ta horari

Besar rumah ditinggal ‘dia tinggal di rumah besar’

Bahasa Cichewa (Alsina dan Mchombo,1990) (3a) anyani a-na-yend-er-a ndodo

2-babon 2s-PAS-jalan-APL-FV 9-tongkat ‘Baboon-baboon berjalan dengan tongkat’ (3b) Anyani a-na-yend-a ndi ndondo.

2-baboon 2s PAS-jalan-FV dengan tongkat ‘Baboon-baboon berjalan dengan tongkat’

Benefaktif Bahasa Inggris

(4a) John bought mary a book John beli Mary ART-buku ‘John membelikan Mary buku’ (4b) John bought a book for Mary

John beli ART-buku untuk Mary ‘John membelikan buku untuk Mary’ Bahasa Indonesia

(5a) Dia membuat-kan saya kursi

(5b) Dia membuat kursi itu untuk saya

Bahasa Jepang

(6a) boku wa Hanako ni kon o kat-te yat-ta.

1TG TOP-Hanako DAT-buku AKU-beli-KON beri-PAST ‘saya membelikan Hanako sebuah buku’

(6b) boku wa Hanako no tame ni kon o kat- te-yat- ta

1TG TOP-Hanako GEN demi DAT-buku AKU-beli-KON beri- PAST

‘saya membeli buku untuk Hanako’

Menurut Shibatani (1996:158-159), lihat Jufrizal,2007:119) konstruksi benefaktif adalah konstruksi yang didalamnya pengguna (benefisieri) ditandai sebagai argumen, seperti diperlihatkan pada (4a) dari pada sebagai adjung seperti (4b). Dengan demikian, contoh-contoh (1a), (2a),dan (3a) adalah konstruksi yang

dikenal sebagai aplikatif, sedangkan contoh-contoh pada (4a),(5a), dan (6a) merupakan konstruksi benefaktif.

Shibatani (1996) menyatakan bahwa walaupun beberapa bahasa, seperti Chichewa, menggunakan afiks verbal yang sama untuk aplikatif dan benefaktif, namun ada perbedaan penting di antara kedua konstruksi itu. Aplikatif umumnya menerima/menggunakan dasar intransitif, sedangkan benefaktif jarang menerima dasar intransitif. Berdasarkan pengamatan secara lintas bahasa, benefaktif dengan dasar intransitif jarang berterima dalam satu bahasa. Contoh data berikut ini (dikutip Shibatani,1996:160-161) menunjukkan hal tersebut :

Aplikatif dengan dasar intransitif :

(7a) otto be-wohut ein altes Haus. (Jerman) Otto APL-tinggal ART tua rumah

‘otto meninggali rumah tua’

(7b) saya menjatuh-i kucing (Indonesia) (7c) paropet kotan e-arpa (ainu) Kampung APL –pergi ‘dia pergi ke kampung’

(7d) msodzi a-ku—phik-ir-a mthiko (chichewa) 1-nelayan 1s-Pres-masak-APL-FV 3sendok ‘nelayan itu memasak dengan sendok’

Benefaktif dengan dasar intransitif (Alsina dan Mchombo,1990) (8a) *otto ging Karin auf den Marktplatz (Jerman)

otto pergi Karin ke ART-pasar otto pergi ke pasar untuk karin’

(8b)*saya datang-kan Ana ke pasar. (Indonesia) (8c) *I went Mary to the market

1TG pergi Mary ke ART- pasar ‘saya pergi ke pasar untuk Mary’

(8d) *Msodzi a-ku-phik ir-a ana (Chichewa) 1-nelayan is-PRES-masak-BEN-FV 2-anak

‘nelayan memasak untuk anak itu’

Contoh kalimat (8a-d) adalah konstruksi kalimat yang tidak gramatikal (bertanda *). Walaupun sifat-perilaku morfosintaksis aplikatif/benafaktif beragam secara lintas bahasa, benefaktif dengan dasar intransitif tidak gramatikal dalam berbagai bahsasa. Bahasa Inggris dan Bahasa Jerman tidak mempunyai afiks benefaktif untuk memarkahi verba, sementara bahasa Indonesia dan Chichewa mempunyai pemarkah verbal benefaktif. Pengguna (benefisieri) diwujudkan sebagai objek utama dari konstruksi objek ganda (bahasa Inggris, bahasa Indonesia, bahasa Chichewa) atau sebagai OTL (bahasa Jerman). Di samping pertimbangan formal, kenyataan lain secara kognitif menunjukkan bahwa selain kemiripan dalam bentuk-bentuk verba, aplikatif atau benefaktif juga ditentukan oleh informasi leksikal lainnya. Pasangan contoh bahasa Indonesia berikut ini memperlihatkan konstruksi aplikatif yang berterima dan yang tidak (atau diragukan kegramatikalannya).

(8a) saya meninggal-i rumahnya. (8b) *saya meninggal-i Jakarta. (dikutip dari Shibatani,1996:163).

Istilah aplikatif sering digunakan untuk merujuk ke proses derivasional yang meliputi penaikan valensi dalam bahasa-bahasa Bantu. (lihat Artawa,1998; Bahasa Chichewa mempunyai jenis proses sintaksis tersebut. Konstruksi aplikatif dalam bahasa itu mempunyai dua fitur penting, yaitu: (a) peran tematis yang baru dimasukkan ke dalam struktur argumen; (b) verba mengalami modifikasi morfologis, yaitu sufiksasi dengan morfem aplikatif. Trask (1993) dalam Jufrizal (2002, 2007) menyebutkan konstruksi aplikatif sebagai konstruksi penciptaan objek, OTL dasar atau objek oblik dimunculkan sebagai objek nyata (objek lahir). Contoh berikut adalah konstruksi aplikatif instrumental yang diadaptasi dari Trask (1993).

(9a) Nu:ru 0 –tilanzile: nama ka: chisu

nuru SUB-potong daging dengan pisau ‘nuru memotong daging dengan pisau’ (9b) Nu:ru 0 –tilangile: nama chisu.

nuru SUB-potong-APL daging pisau ‘nuru memotong daging dengan pisau’

Pada (9a) oblik instrumental (ka: chisu) dimunculkan sebagai OL dan ini ditandai pada verba dengan infiks /-il-/ dan morfem yang menandai instrumental dihilangkan. Objek ini bisa digunakan sebagai subjek kalimat pasif bahasa ini. Pendapat bahwa konstruksi aplikatif adalah proses penciptaan objek dapat dipertahankan dalam bahasa akusatif, tetapi tidak demikian halnya dalam bahasa-bahasa yang secara sintaksis adalah bahasa-bahasa ergatif. Pada Bahasa Bali yang secara sintaksis ergatif analisis sehingga istilah konstruksi aplikatif dirujukkan ke konstruksi penciptaan subjek (Artawa,1998:44).