• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

2.2 Kerangka Teori

2.2.4 Relasi dan Peran Gramatikal .1 Relasi Gramatikal .1 Relasi Gramatikal

2.2.4.7 Tipologi Gramatikal

2.2.4.7 Tipologi Gramatikal

Comrie (1989:33-38), menyatakan tujuan pendekatan tipologi adalah untuk mengklasifikasikan bahasa berdasarkan ciri-ciri struktural, yaitu untuk menjawab pertanyaan berikut: seperti apakah bahasa x bila dilihat dari segi strukturnya?. Pendekatan tipologis sintaksis mempunyai dua asumsi: a) bahasa yang satu bisa dibandingkan dengan dengan yang lainnya dan b) ada perbedaan antara satu bahasa dengan bahasa yang lainnya.

Perbedaaan perlakuan yang sama secara morfologis dan sintaksis sangat penting dalam kajian tipologi bahasa. Karena ada bahasa pada tataran morfologi bertipe ergatif, tetapi pada tataran sintaksis berperilaku sebagai bahasa akusatif (Comrie,1989 :104-107). Karena S(ubjek) sebagai patokan maka penentuan tipologi bahasa dapat dilakukan dengan pengetesan morfologis dan sintaktik, yaitu apakah A(gen) atau apakah P(asien) yang diperlakukan dengan cara yang sama dengan S.

Artawa (1998: 127) memaparkan bahwa dalam bahan bacaan dan teori linguistik tipologis ditemui istilah keergatifan dan keakusatifan. Pengertian keergatifan dan keakusatifan itu dikenal pada tiga tataran yang berbeda, yaitu tataran morfologis, sintaksis, dan wacana. Suatu bahasa dikatakan mempunyai ciri-ciri ergatif morfologis jika pelengkap pasien verba transitif (P) dimarkahi dengan cara yang sama dengan subjek verba intransitif (S ), dan berbeda dari

pelengkap agen verba transitif (A), bahasa tersebut dikatakan memperlihatkan ciri-ciri sebagai bahasa akusatif secara morfologis ( lihat juga Comrie, 1989 : 124-127); Jufrizal 2007 ;196-199).

Apabila satu bahasa memperlakukan A dan S dengan cara yang sama maka bahasa tersebut digolongkan sebagai bahasa yang bertipe akusatif. Apabila P dan S diperlakukan dengan cara yang sama, maka bahasa tersebut bertipe ergatif Bahasa Inggrris adalah contoh bahasa yang bertipe akusatif. Perhatikan contoh

(a)He(S) runs.

3TG SUB LL lari-MAR kesesuaian ’dia lari’

(b)He(A) hits her(P)

3TG SUB LL memukul-MARkesesuaian 3TG OBJ PR ‘dia memukulnya’

Kedua contoh di atas menunjukan bahwa A dan S diperlakukan dengan cara yang sama:

(a) sama-sama nominatif

(b) sama-sama mengontrol persesuaian pada kata kerja (c) sama-sama berada di depan kata kerja

Bahasa Kalkatungu adalah salah satu bahasa Aborigin Australia yang tergolong sebagai bahasa ergatif (Blake,1994). Perhatikan contoh berikut:

(c)Kalpin (S) inka

laki-laki pergi ’lelaki itu pergi’

Wanita-ERG melihat lelaki ’wanita itu melihat lelaki itu’

Kalimat (c) dan (d) menunjukkan bahwa P dan S diperlakukan dengan cara yang sama (sama-sama tidak bermarkah), sedangkan A ditandai oleh sufiks –thu

Ini berarti bahwa bahasa Kalkatungu adalah bahasa ergatif secara morfologis. Menurut Blake (1988, 1994), bahasa Kalkatungu juga ergatif secara sintaksis.

2.2.4.8 Diatesis

Diatesis adalah kategori gramatikal yang menunjukkan hubungan antara partisipan atau subjek dengan perbuatan yang dinyatakan oleh verba dalam klausa (lihat Kridalaksana,1993:43). Istilah diatesis berasal dari bahasa Yunani, yang berarti ‘keadaan’, ‘pengaturan’ atau ‘fungsi’dan istilah voice (dari bahasa Latin,

vox, yang berarti ‘bunyi, ‘nada’, suara’) dipakai secara bergantian (= sama) dalam linguistik untuk merujuk ke perihal dikotomi ‘aktif-pasif’. Menurut Shibatani (1988:3), voice dipahami sebagai satu mekanisme yang unsur-unsur sintaksis utama –subjek- secara gramatikal dari fungsi-fungsi semantis dasar (lihat Lyons, 1987:371-373). Pada umumnya bahasa-bahasa di dunia mempunyai strategi diatesis dasar aktif-pasif. Pertentangan aktif-pasif merujuk ke pertentangan semantis; pada diatesis aktif, subjek bertindak atas yang lain atau mempengaruhi yang lain, sementara dalam diatesis pasif, subjek dipengaruhi atau tempat jatuhnya perbuatan (lihat Shibatani,1988:3)

Pada bahasa bertipologi akusatif (misalnya bahasa Inggris) dikenal adanya diatesis aktif-pasif. Sebaliknya pada bahasa bertipologi ergatif dikenal adanya diatesis ergatif dan antipasif. Diatesis pasif dan antipasif adalah konstruksi

turunan (derived form) dari konstruksi dasar (underlying form), yaitu aktif dan ergatif. Jadi konstruksi berdiatesis pasif adalah konstruksi turunan pada bahasa akusatif, sementara antipasif merupakan konstruksi turunan pada bahasa ergatif. Meskipun demikian, penetapan bahwa suatu bahasa mempunyai diatesis pasif atau antipasif memerlukan telaah lebih khusus (lihat Comrie dalam Shibatani, 1988:9; Artawa,1995:63; Artawa,2002:19-20; Jufrizal :2007:229)

(a) Pasif dan Ergatif

Dalam tipologi linguistik, pengertian pasif dan ergatif mempunyai kemiripan dan sekaligus perbedaan sehingga hal ini sering menimbulkan sedikit perdebatan di kalangan pakar linguistik. Perdebatan itu disebabkan kekurangjelasan kriteria untuk menentukan apakah sebuah konstruksi itu pasif atau ergatif. Comrie (1983) mengemukakan kriteria dasar yang dapat digunakan untuk membedakan antara konstruksi pasif dan ergatif. Kriteria tersebut adalah :

(1) pasif dan ergatif serupa dalam hal bahwa keduanya menetapkan sekurang-kurangnya , beberapa sifat perilaku subjek sebagai pasien daripada sebagai agen, walaupun tingkat penetapan tersebut lebih besar pada pasif.

(2) Pasif dan ergatif berbeda dalam hal bahwa secara khusus ergatif memerlukan penyatuan frasa agen yang lebih besar ke dalam sintaksis dari sebuah klausa.

(3) Pasif dan ergatif berbeda dalam hal pemarkahan- pasif merupakan konstruksi bermarkah, sementara ergatif khususnya konstruksi tak

Berdasarkan kriteria sebagaimana yang dikemukakan Comrie di atas, untuk mempertimbangkan konstruksi ergatif sama dengan konstruksi pasif adalah bahwa dalam kedua konstruksi tersebut pasienlah yang berperilaku sebagai subjek. Penetapan ini didasarkan atas perbandingan (morfosintaksis ) dengan argumen satu-satunya dari predikat intransitif. Karena secara umum argumen tunggal predikat intransitif adalah subjek dari predikat tersebut

Di samping kriteria yang telah dikemukakan di atas, terdapat pemarkahan yang membedakan antara konstruksi pasif dengan ergatif. Verba pada konstruksi ergatif adalah konstruksi tak bermarkah, sedangkan verba pada konstruksi pasif bermarkah secara morfologis. Siewierska (1984) dalam Jufrizal (2007) mengemukakan bahwa konstruksi pasif bentuk asli ( pasif purwa – rupa ) mempunyai ciri-ciri berikut ini :

(1) subjek klausa pasif adalah objek langsung dari klausa aktif yang bersesuaian.

(2) Subjek klausa aktif diungkapkan dalam konstruksi pasif dalam bentuk frasa adjung ( keterangan ) atau tidak diungkapkan.

(3) Verbanya bermarkah pasif.

Disamping ciri-ciri struktural di atas, dikemukakan pula bahwa kontruksi pasif cenderung tidak memperkenankan agen orang pertama atau orang kedua atau agen pronominal ( Kaswanti Purwo, 1989 )

Konstruksi ergatif serupa dengan konstruksi pasif dalam hal pasien merupakan subjek gramatikal. Namun ada sejumlah perbedaan yang berarti antara konstruksi pasif dan ergatif. Kedua konstruksi itu berbeda dalam hal perilaku sintaksis agen (A). Jika pasien dan agen konstruksi pasif diperbandingkan dalam

hal perilaku sintaksisnya, sejumlah kaidah sintaksis akan merujuk ke pasien, hanya sedikit yang merujuk ke agen ( jika ada ). Dalam konstruksi ergatif, lazim bagi kaidah sintaksis merujuk ke agen. Dengan demikian, perbedaan antara konstruksi pasif dengan ergatif yaitu perihal integrasi. Integrasi agen lebih besar dalam konstruksi ergatf daripada yang ada dalam konstruksi pasif. Salah satu perwujudan dari integrasi yang lebih besar diperlihatkan oleh kesesuaian verba, yang lazim terjadi dengan agen dalam konstruksi ergatif. Juga ada kemungkinan bagi agen pada konstruksi ergatif untuk ’mengontrol’ perefleksifan. Bahwa integrasi agen ( yang merupakan pelengkap agen ) dari konstruksi ergatif lebih tinggi dari pada agen ( yang merupakan ajung ) dari konstruksi pasif dapat dilihat dari kenyataan bahwa agen konstruksi ergatif bentuk asal tidaklah selalu dapat dilesapkan. Akan tetapi agen pada konstruksi pasif bentuk asal lazim dilesapkan ( lihat Kaswanti Purwo (ed),1989).

Pemarkahan merupakan kriteria ketiga yang membedakan antara konstruksi ergatif dengan pasif. Pasif dipandang sebagai diatesis ( turunan ) bermarkah yang dipertentangkan dengan diatesis aktif. Di sisi lain, konstruksi ergatif dipahami sebagai perwujudan diatesis takbermarkah, sementara diatesis bermarkahnya adalah antipasif. Antipasif merupakan konstruksi turunan, yang umumnya mempunyai morfem tambahan pada verba. Pilihan takbermarkah dari kontruksi ergatif nampaknya ’alami’. Pengertian pemarkahan dipahami sebagai ’keseringan’, ’kompleksitas formal’, dan ’tingkat keproduktifan’. Konstruksi ergatif pada bahasa ergatif lebih sering digunakan dari pada konstruksi antipasif. Dalam pengertian kompleksitas formal, bentuk verba konstruksi ergatif kurang kompleks secara morfologis dari pada bentuk verba pada konstruksi antipasif.

Mengenai tingkat keproduktifan, bentuk ergatif (mungkin ) lebih produktif dari pada bentuk antipasif dalam pengertian bahwa tidak semua verba ergatif dapat dijadikan bentuk antipasif. Pada banyak bahasa ergatif , misalnya dalam bahasa-bahasa Australia, konstruksi antipasif umumnya terbatas secara leksikal.

(b) Pasif dan Antipasif

Jufrizal (2007 : 201-203) menyatakan bahwa istilah antipasif termasuk istilah yang digunakan dalam teori tipologi linguistik. Konstruksi aktif dianggap sebagai konstruksi dasar dalam bahasa akusatif, sementara antipasif merupakan konstruksi turunan dalam bahasa ergatif. Istilah ’antipasif ’ diperkenalkan oleh Silverstein (1986) untuk menyebut konstruksi intransitif turunan dalam bahasa ergatif. Istilah antipasif sebagai analogi dari konstruksi pasif. Pada konstruksi pasif, agen verba transitif diungkapkan sebagai ajung yang dapat dilesapkan. Pada konstruksi antipasif, pasien konstruksi transitif dapat dilesapkan dari klausa.( lihat juga Kaswanti Purwo (ed.) :1989.). Jelaslah pada bahasa akusatif terdapat dikotomi aktif pasif, sedangkan bahasa ergatif memiliki dikotomi ergatif-antipasif Dixon (1994 : 146 ) , mencanangkan kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan apakah sebuah turunan sintaksis itu pasif atau antipasif. Mekanisme sintaksis itu perlu diketahui karena baik bentuk pasif dan antipasif sama-sama merupakan konstruksi turunan. Kriteria tersebut adalah :

Pasif :

a) diperlakukan pada klausa intransitif asal dan membentuk klausa intransitif turunan.

c) FN agen (A) memasuki fungsi periferal, dimarkahi oleh kasus inti, preposisi, dan sebagainya; FN tersebut dapat dilesapkan, walaupun selalu ada pilihan untuk menyertakannya :

d) Ada beberapa pemarkah formal nyata konstruksi pasif ( umumnya afiks verbal atau yang lainnya dengan elemen periferastik dalam frasa verba- misalnya dalam bahasa Inggris be-...-en- walaupun konstruksi itu dapat dimarkahi di mana saja di dalam klausa }

Antipasif :

a) diperlakukan pada klausa transitif asal dan membentuk klausa intransitif turunan :

b) FN agen (A) asal menjadi S pada konstruksi antipasif

c) FN objek (O) asal memasuki fungsi periferal, dimarkahi oleh kasus bukan inti, preposisi, dsb ; FN tersebut dapat dilesapkan , walaupun selalu ada pilihan untuk menyertakannya ;

d) Ada beberapa pemarkah formal nyata konstruksi antipasif ( pilihan dan kemungkinan sama dengan yang ada pada pasif ).

Contoh berikut memperlihatkan konstruksi antipasif dalam bahasa Yalarnnga (data dikutip dari Mallinson dan Blake, 1981 ). Konstruksi ( ergatif ) pada kalimat (5) A(gen) matyumpa diberi markah erg, -yu dan P(asien) bermarkah Abs (unmarked). Pada kalimat (6) A(gen) muncul tanpa markah, sedangkan P(asien) dapat diberi markah datif –u dengan disertai pemarkah formal antipasif –li ;

5) Matyumpa -yu kukapi taca -mu

‘Kangguru itu makan rumput’

6) Matyumpa kukapi -u taca -li -ma

Kangoroo grass -dat eat -AP -press ‘kangguru itu makan rumput’

Dixon (1994:149) lebih lanjut menegaskan bahwa kriteria tentang pasif dan antipasif di atas dilihat dari titik pandang sintaksis. Dalam hal ini, pasif dan antipasif setara, dengan A dan O dipertukarkan. Akan tetapi, bahasa mempunyai sesuatu yang lebih dari hanya sebatas sintaksis. Konstruksi pasif dan antipasif mempunyai implikasi semantis yang agak berbeda. Pasif khususnya terfokus pada keadaan rujukan FN O berada di dalam, sebagai hasil beberapa tindakan. Misalnya, dalam bahasa Inggris, John was wounded ‘John dibalut’ atau John was promoted ‘John dipromosikan’. Di sisi lain, antipasif terfokus pada kenyataan bahwa rujukan A asal/dasar mengambil bagian dalam beberapa kegiatan yang melibatkan objek, sementara latar belakang identitas objek, misalnya antipasif bahasa Dyirbal, Jani (S) gunyjalnanyu biya-gu (DAT) ‘Jon meminum (bir)’, berbeda dengan transitif aktif Biya (O) Jani-nggu (A) gunyan ‘Jon meminum bir’.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam konstruksi ergatif, pasienlah, bukan agen, yang memiliki sifat-perilaku subjek bersama dengan subjek klausa intransitif. Hal ini juga benar adanya bagi konstruksi pasif. Dalam konstruksi aktif (bukan ergatif), agenlah, bukan pasien, yang memiliki sifat-perilaku subjek bersama dengan subjek klausa intransitif. Dalam konstruksi antipasif, agenlah yang mempunyai sifat-perilaku subjek. Jadi, aktif dan antipasif serupa dalam hal agen mempunyai sifat-perilaku subjek

Diatesis sering disebut voice dalam bahasa Inggris ( Lyons, 1969 : 372) . Yang terkenal adalah active voice dan passive voice atau diatesis aktif dan diatesis pasif. Diatesis adalah kategori gramatikal yang menunjukan hubungan antara partisipan subjek dengan perbuatan yang dinyatakan oleh verba dalam klausa (lihat Kridalaksana ,1993 : 43 ). Jadi diatesis adalah masalah sintaksis yang juga menyangkut semantik. Dikatakan menyangkut semantik karena konsep partisipan atau argumen yang membentuk struktur makna sintaksis. Diatesis aktif berhubungan dengan klausa yang predikat verbanya adalah aktif, dengan subjek pelaku atau agen atau agentif. Apabila verba yang bersangkutan transitif, objek berupa penderita atau pasien atau objektif. Demikian pula diatesis pasif berhubungan dengan klausa yang predikat verbanya pasif dan subjek penderita.

Diatesis lain yang dikenal oleh para ahli ialah diatesis medial,diatesis refleksif , yaitu subjek berbuat atas diri sendiri, sedangkan bentuk diatesis resiprokal adalah diatesis yang menunjukkan subjek pluralis bertindak berbalasan atau subjek singularis bertindak berbalasan dengan komplemen ( Kridalaksana, 1993 : 45).

Para ahli telah mengemukakan ciri-ciri umum dan proses pembentukan konstruksi pasif berdasarkan kajian pasif secara lintas bahasa. Ciri-ciri dan proses pembentukan konstruksi pasif tersebut adalah ( lihat Palmer, 1994: 16; Dixon,1994 ; Jufrizal,2007 ) :

1). Diperlakukan terhadap klausa transitif dan ( untuk ) membentuk klausa intransitif.

3). Subjek konstruksi aktif diturunkan ke argumen oblik atau mungkin dihilangkan;

4). Perubahan terjadi pada tataran morfologi ( bentuk ) verba untuk menandai pemasifan

5). Secara sintaksis, pemasifan merupakan proses penciptaan/pengadaan subjek; 6). Pasif merupakan proses daur ulang ( cyclic ) dalam satu klausa ;

7). Pasif itu terikat ( dalam satu ) klausa; 8). Pasif merupakan transformasi bukan akar; 9). Pasif itu diatur kaidah tatabahasa.

Bahasa Inggris adalah salah satu bahasa bertipologi akusatif yang mengenal adanya diatesis aktif-pasif. Pada bahasa bertipologi ergatif, dikenal adanya diatesis ergatif dan antipasif. Diatesis pasif dan antipasif adalah konstruksi turunan ( derived form ) dari konstruksi dasar ( underlying form ), yaitu aktif dan ergatif. Konstruksi berdiatesis pasif adalah konstruksi turunan pada bahasa akusatif; sementaa antipasif merupakan kostruksi turunan pada bahasa ergatif. Meskipun demikian penetapan bahwa suatu bahasa ( termasuk BBD ) apakah berdiatesis pasif atau antipasif memerlukan telaah lebih khusus ( lihat Artawa ,1995: 63; Jufrizal, 2007: 229)

Rekonstruksi kerangka teori yang dipakai dalam penelitian ini dapat dilihat pada bagan dibawah ini.

Bagan 2 : Rekonstruksi Kerangka Teori

Struktur Argumen

Keterkaitan dan kaitan informasi antara argumen dan predikatnya.

(Alsina, 1996:7)

Verba Ekatransitif : verba yang mengikat 2 argumen

Verba Dwitransitif : verba yang mengikat 3 argumen

(Van Valin dan La-Polla, 1999:148-150)

Valensi

Banyaknya argumen yang diikat verba. (Van Valin dan La-Polla,1999:147)

Sistem Pivot Suatu Kategori gramatikal yang mengaitkan S dan A; S dan P; S, A dan P. (Dixon,1979:157) Topik

Tentang apa kalimat itu, apa yang menjadi pembicaraan kalimat itu. (Comrie, 1995:107)

TIPOLOGI GRAMATIKAL BPD

Predikasi

Konstruksi klausa yang terdiri atas Predikat dan Argumennya. (Alsina, 1996:4)

Relasi Gramatikal

Bagian-bagian fungsi sintaksis dari kalimat yang dikategorikan sebagai S, OL, OTL, dan OBL. (Comrie, 1989:65)

Peran Gramatikal

Fungsi sintaksis yang didasarkan perilaku semantis; terdiri dari Agen dan Pasien. (Comrie, 1985:65) Diatesis Kategori gramatikal yang menunjukkan hubungan S dengan perbuatan/verba klausa tersebut. (Lyons, 1969:372) Fungsi Semantik (Agen /Pasien)