• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Kajian mengenai tipologi bahasa umumnya dimaksudkan untuk mengklasifikasikan bahasa berdasarkan perilaku struktural yang ditampilkan oleh suatu bahasa. Maksud kajian tipologi bahasa terutama diarahkan untuk menjawab pertanyaan: seperti apa bahasa x itu? Kalangan tipologi bahasa pada dasarnya mengakui pandangan kalangan tata bahasa universal yang mencoba menemukan ciri-ciri (properties) yang sama pada semua bahasa manusia, di samping mereka juga mengakui adanya perbedaan di antara bahasa

Pada dasarnya kajian tipologi bahasa dapat dilakukan pada setiap aspek struktural bahasa. Akan tetapi dalam pelaksanaannya haruslah mempertimbangkan adanya ciri yang paling menonjol yang diharapkan dapat membantu peneliti memprediksi ciri yang lainnya. Berkaitan dengan pokok masalah penelitian ini, pada bagian ini dikemukakan beberapa kajian terdahulu yang masih berhubungan dengan penelitian ini karena mempunyai pola, arah dan tujuan yang sesuai.

Verhaar (1988) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ergatif secara sintaksis, dan juga menyebutkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang secara sintaksis termasuk bahasa bersistem ergatif- terbelah. Di sisi lain bahasa Indonesia dianggap pula sebagai bahasa akusatif. Sebagaimana halnya bahasa Tagalog, bahasa Indonesia sama-sama bermasalah jika dilihat dari analisis akusatif dan ergatif. Dengan demikian ada ahli yang mengatakan bahwa kedua

bahasa itu sebagai bahasa yang netral (bukan akusatif, dan bukan pula ergatif). Bahasa Bali pun sesungguhnya layak dimasukkan sebagai bahasa yang netral (lihat Artawa, 1995:45-65; Jufrizal, 2004: 37; 2007). Kajian dan simpulan ini menjadi masukan yang berarti bagi penelusuran BPD dalam mengelompokkannya ke dalan salah satu tipologi tertentu.

Artawa (1994 dan 1998), dalam disertasinya, dengan pendekatan dan teori tipologi bahasa dan teori sintaksis formal berupa Teori Gramatika Relasional ( dari Perlmutter dan Postal) dan Teori Penguasaan dan Pengikatan (Chomsky), membahas empat pokok masalah , yakni relasi gramatikal, mekanisme perubahan valensi, tipologi pragmatik dan tipologi sintaksis bahasa Bali. Dikatakannya bahwa analisis ergatif merupakan cara analisis lain yang cukup beralasan dalam mempelajari morfo-sintaksis bahasa-bahasa Melayu- Polinesia Barat. Sejumlah paparan dan penjelasan tentang relasi gramatikal, mekanisme perubahan valensi, analisis tipologis bahasa Bali, serta telaah tata kalimat bahasa ini berdasarkan teori sintaksis formal, telah memperlihatkan deskripsi dan penjelasan aspek sintaksis bahasa Bali. Analisis dan temuan disertasi Artawa ini, khususnya kajian tipologis sintaksis bahasa Bali ini bermanfaat dalam kajian BPD terutama dalam penelusuran relasi dan peran gramatikal BPD , analisis ketransitifan BPD secara tipologis

Sedeng (2000), mengemukakan bahwa secara tipologis dan dengan teori sintaksis formal, yaitu Tatabahasa Leksikal Fungsional, bahasa Sikka tergolong bahasa isolasi dan dari segi tata urutan kata, bahasa ini tergolong bahasa berpola SVO yang ketat. Secara sintaksis, bahasa ini berada di antara bahasa akusatif dan S-terpilah. Bahasa ini tergolong bahasa akusatif. Informasi dan temuan ini cukup

penting karena memperlihatkan bahwa bahasa-bahasa di Nusantara (kawasan Timur) secara tipologis mempunyai perilaku yang beragam dengan berbagai kekhasannya. Simpulan ini dapat juga dirujuk dan dijadikan bandingan karena pembahasan tipologisnya bermanfaat untuk menetapkan tipologi gramatikal BPD.

Kosmas (2000) dalam penelitiannya membahas argumen aktor bahasa Manggarai dengan pendekatan tipologis dan teori yang didasarkan pada Tatabahasa Relasional dan Tatabahasa Leksikal Fungsional. Menurutnya, pasif bahasa Manggarai adalah pasif secara sintaksis; tidak dimarkahi secara morfologis. Temuan lain adalah bahwa secara sintaksis bahasa Manggarai adalah bahasa akusatif dengan tata urutan kata VSO, dengan variasi SVO dan VOS. Analisis BPD terutama dalam membahas struktur argumen, aspek sintaksis BPD, memanfaatkan simpulan kajian tipologis dari aspek sintaksis bahasa Manggarai ini.

Suciati (2000), yang meneliti tipologi bahasa Tetun dialek Fehan membahas masalah relasi gramatikal yang mencakup subjek, argumen dan keintian, ketransitifan, penyandian gramatikal, aliansi gramatikal dan diatesis. Penelitian Suciati ini menyimpulkan bahwa bahasa Tetun dialek Fehan termasuk bahasa isolasi , dengan tata urutan dasar SVO, sangat sedikit afiks dan secara gramatikal bahasa ini cenderung bertipe akusatif. Bahasa ini memiliki diatesis agentif dan diatesis objektif.. Temuan Suciati ini menjadi masukan yang berharga karena masih mempunyai relevansi dengan penelitian BPD ini, terutama dalam penelusuran relasi, dan peran gramatikal, serta penganalisisan diatesis BPD.

Masalah dan topik diatesis dalam bahasa Dawan dikaji oleh Mekarini (2000). Menurutnya ada tiga jenis diatesis dalam bahasa Dawan, yaitu diatesis

aktif, diatesis objektif dan diatesis pasif. Temuan tentang diatesis bahasa Dawan ini dapat dimanfaatkan karena menjadi pembanding dan rujuk silang dalam penelaahan diatesis BPD.

Partami (2001), yang meneliti bahasa Buna (di kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur), menyimpulkan bahwa bahasa ini termasuk kelompok bahasa isolatif; sangat jarang ditemukan adanya proses morfologis dalam bahasa ini. Bahasa Buna dapat merelatifkan fungsi-fungsi gramatikal, seperti subjek, objek primer, objek sekunder dan pasif yang menempati fungsi gramatikal subjek. Bahasa Buna bertipologi akusatif dan memiliki diatesis agentif, serta tata urutan dasar klausa bahasa ini adalah SOV. Walaupun bahasa Buna dan BPD merupakan dua bahasa yang sangat berbeda dari segi struktur morfologisnya, namun penelitian Partami ini dapat dijadikan pembanding dan rujukan silang dalam penelitian BPD.

. Jufrizal (2004) yang meneliti bahasa Minangkabau, dengan judul Struktur Argumen dan Aliansi Gramatikal Bahasa Minangkabau menyimpulkan bahwa tata urutan kata lazim klausa/ kalimat dasar bahasa Minangkabau adalah S-V-O (atau A-V-P ). Di samping sebagai bahasa akusatif (sebagaimana pandangan para ahli sebelumnya), namun berdasarkan penelaahan lanjut tentang perilaku S klausa intrasitif menunjukkan bahwa bahasa Minangkabau termasuk bahasa dengan S-terpilah dan S-alir. Sistem aliansi gramatikal bahasa Minangkabau menunjukkan adanya kecenderungan mengarah ke tipologi campuran antara bahasa akusatif dan bahasa ergatif. Selanjutnya berdasarkan fungsi-fungsi pragmatis, bahasa Minangkabau termasuk bahasa yang mengutamakan subjek sehingga struktur dasarnya berkonstruksi subjek-predikat. Bahasa ini bekerja dengan pivot S/A;

serta mengenal diatesis aktif (sebagai diatesis dasar) dan diatesis pasif (sebagai diatesis turunan) dan diatesis medial. Kajian tentang struktur argumen dan aliansi gramatikal bahasa Minangkabau menjadi masukan yang penting dalam penelitian BPD ini.

Kajian kepustakaan yang menampilkan BPD dalam hubungannya dengan kajian tipologi sampai saat ini belum ada, namun penelitian ini sangat memanfaatkan kajian dan penelitian Basaria (2002) yang membahas morfologi verba bahasa BPD. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa ciri-ciri verba BPD dapat diamati melalui (a) perilaku semantis, (b) perilaku sintaksis dan (c) perilaku morfologisnya. Dari perilaku semantisnya, verba adalah yang menggambarkan konsep, proses, perbuatan, keadaan dan peristiwa; Dari perilaku sintaksisnya verba selain bertugas sebagai predikat, juga selalu dapat berkombinasi dengan kata-kata enggo ’sudah’, naeng ’akan’ kesah ’setelah’, oda ’tidak’, gati ’sering’. Dari perilaku morfologinya verba BPD dapat diidentifikasi melalui afiks: mer-, me-, pe-, ki-, -i-, -um-, -ken, -i, ke-en, mersi-en, mer-en, yang melekat pada kata dasar untuk membentuk verba. Berdasarkan bentuknya, verba BPD dapat dikelompokkan menjadi verba asal yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dan verba turunan yaitu verba yang diturunkan / dibentuk melalui transposisi (pengubahan kata selain verba tanpa perubahan bentuk), afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan. (lihat Alwi dkk, 2000: 87-88). Jumlah verba asal BPD tidak banyak, sedangkan verba turunan lebih banyak.

Perubahan morfologi verba BPD berdasarkan bentuknya yang terkait erat dengan penelitian ini adalah verba asal dan verba turunan yang dibentuk melalui afiksasi. Penurunan verba BPD melalui transposisi, reduplikasi, atau

pemajemukan tidak dibahas lebih jauh, kecuali jika dikaitkan dengan afiksasi. Berkaitan dengan ini, verba turunan melalui afiksasi sangat erat kaitannya dengan afiks-afiks verbal. Dalam BPD terdapat afiks tertentu yang dapat berkombinasi dengan kata dasar untuk membentuk verba. Jadi afiks tersebut diidentifikasi sebagai afiks pembentuk verba BPD. Afiks tersebut adalah empat prefiks yaitu : / meN-,mer- , i-,/pe/, /ter-/ ; dua sufiks yaitu /-ken, -i /; dan 2 pasang konfiks yaitu

/mersi-en/, /mer-en/. (lihat Basaria, 2002 : 21).

Berikut ini adalah contoh-contoh verba turunan dengan bentuk dasar verba, nomina, ajektif, dan prakategorial.

(1) a) verba turunan dengan /mer-/ + dasar nomina :

popung ’nenek’ merpopung ’bernenek’ daroh ’darah’ merdaroh ’berdarah’ dukak ’anak’ merdukak ’beranak’ b) verba turunan dengan /mer-/ + prakategorial :

ende ’nyanyi’ merende ’bernyanyi’ dalan ’jalan’ merdalan ’berjalan’ langi ’renang’ merlangi ’berenang’

sodip ‘doa’ mersodip ‘berdoa’

c) verba turunan dengan /mer-/ + dasar ajektiva

lolo ate ’gembira’ merlolo ate ‘bergembira’ kelsoh ‘susah’ merkelsoh ‘bersusah hati’ (2) (a) verba turunan dengan /meN-/ + dasar nomina

sori ’sisir’ menori menyisir’ pangkur ’cangkul’ memangkur mencangkul’

(b) verba turunan dengan /meN-/ + dasar verba tulus ’cari’ menulus ’mencari’ garar’bayar’ menggarar ’membayar’ (c) verba turunan dengan /meN-/ + dasar ajektiva

daoh ’jauh’ mendaoh ’menjauh’ (3) verba turunan dengan /pe-/ + dasar ajektiva

gomok ’gemuk’ pegomok ’gemukkan’ ketek ’kecil’ peketek ’kecilkan’ (4) (a) verba turunan dengan /i-/ + dasar nomina

labang ’paku’ ilabang ’dipaku’ pangkur ’cangkul’ ipangkur ’dipaku’ (b) verba turunan dengan /i-/ + dasar verba

enum ’minum’ ienum ’diminum’ jalang ’kejar’ ijalang ’dikejar’ (5) (a) verba turunan dengan /ter-/ + dasar nomina

labang ’paku’ terlabang ’terpaku’

pangkur ’cangkul’ terpangkur ’tercangkul’ (b) verba turunan dengan /ter-/ + dasar verba

borih’cuci’ terborih ’tercuci’

tutung ’bakar’ tertutung ’terbakar’ (6) verba turunan dengan /ki-/ + dasar nomina

seban ’kayu’ kiseban ’mencari kayu’ lambuk ’keladi’ kilambuk ’mencari keladi’

(7) (a) verba turunan dengan /-ken/ + dasar nomina

edur ’ludah’ edurken ’ludahkan’ utah ’muntah’ utahken ’muntahkan’

(b) verba turunan dengan /-ken/ + dasar verba

sipak ’sepak’ sipakken ’sepakkan’

suan ’tanam’ suanken ’tanamkan’ (c) verba turunan dengan /-ken/ + dasar ajektiva

nggara ’panas’ nggaraken ’panaskan’ ceda ’rusak’ cedaken ’cedaken’ (8) (a) verba turunan dengan /-i/ + dasar nomina

tambar ’obat’ tambari ’obati’

napu ’pupuk’ napui ’pupuki’ (b) verba turunan dengan /-i/ + dasar verba

pekpek ’pukul’ pekpeki ’pukuli’

ndilat ’jilat’ ndilati ’jilati’ (c) verba turunan dengan /-i/ + dasar ajektiva

nggara ’panas’ nggarai ’panasi’

ntajem ’tajam’ ntajami ’tajami’ (9) verba turunan dengan /mer-en/ + dasar verba

lojang ’lari’ merlojangen ’berlarian’

nangkih ’naik’ mernangkihan ’bernaikan’ (10) (a)verba turunan dengan /mersi-en/ + dasar nomina sori ’sisir’ mersisorien ’saling sisir’

(b) verba turunan dengan /mersi-en/ + dasar verba

pekpek ’pukul’ mersipekpeken ’saling pukul’ jalang ’salam’ mersijalangen ’saling salam’

(11) (a) verba turunan dengan /mer-en/ + dasar verba

lojang ’lari’ merlojangan ’berlarian’

nangkih ’naik’ mernangkihan ’bernaikan’ (b) verba turunan dengan /mer-en/ + dasar keadaan

macik ’busuk’ mermacikan ’berbusukan’

penggel ’patah’ merpenggelan ’berpatahan’

Dari paparan di atas, verba turunan /mer-, mer-en, mersi-en/ berpeluang untuk menjadi predikat klausa aktif intransitif, sehingga menjadi pemarkah morfologis verba intransitif BPD, verba turunan /meN-/ berpeluang pembentuk predikat klausa aktif transitif,sehingga menjadi pemarkah morfologis verba transitif , sedangkan verba turunan lainnya menjadi pemarkah morfologis verba klausa pasif .

Pemarkah morfologis verba transitif /meN-/ secara morfofonemis dapat terwujud dengan bentuk alomorfnya (/me-, mem-, men-, menge-/). Alomorf /meN-/ yang memarkahi verba dalam struktur klausa transitif BPD menunjukkan penasalsasian, kecuali apabila /me-/ diikuti bentuk dasar yang dimulai bunyi vokal. Pada bagian ini belum dibahas peran dan fungsi /me-/ secara tipologis

Verba-verba tersebut di atas sangat penting dalam kajian relasi dan peran gramatikal BPD terutama pada kajian dan pembahasan tentang sistem predikasi dan struktur argumen, dan mekanisme perubahan valensi verba. Hal tersebut disebabkan karena klausa BPD secara umum dibentuk oleh predikat verbal (dan

bukan verbal), sehingga kajian morfologi dalam hal ini morfofonemik verba sangat penting artinya bagi kajian klausa dan sintaksis BPD.