BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Negara Republik Indonesia yang lahir sejak Proklamasi Kemerdekaan
pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan Negara yang merdeka dan berdaulat.
Wilayah Indonesia terbentang mulai dari Sabang hingga Merauke dan terdiri atas
pulau-pulau besar sampai pulau-pulau kecil. Dengan demikian, Negara Republik
Indonesia merupakan Negara Kepulauan1
Laut merupakan sumber makanan bagi kehidupan manusia, sebagai jalan
raya perdagangan, sebagai sarana penaklukan, sebagai tempat pertempuran,
sebagai tempat untuk rekreasi dan alat pemersatu bangsa. Di abad ke-20 ini fungsi
laut telah meningkat dengan ditemukannya bahan-bahan tambang dan galian yang
berharga di dasar laut dan dimungkinkannya usaha-usaha mengambil kekayaan . Kondisi Geografis Indonesia sebagai
Negara kepulauan sejalan dengan terdapatnya laut yang merupakan dua pertiga
dari bagian wilayah Indonesia. Hal ini menyebabkan bukan hanya wilayah daratan
Negara Republik Indonesia saja yang luas, akan tetapi wilayah laut Indonesia juga
demikian luasnya. Indonesia memiliki luas wilayah perairan seluas 5,8 juta km2
yang terdiri dari laut territorial seluas 0,3 juta km2 , perairan nusantara seluas 2,8
juta km2, dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) seluas 2,7 juta
km2.
1
Gatot Suparmono, Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana di Bidang Perikanan,
alam tersebut, baik di airnya maupun di dasar laut dan tanah bawahnya.2
Indonesia yang memilki laut yang luas ini tentu menyimpan banyak kekayaan laut
di dalamnya yang dapat meliputi sumberdaya alam hayati laut yakni perikanan,
terumbu karang, bahan tambang dan lainnya. Potensi perikanan yang termasuk
dalam kekayaan laut di Indonesia dapat dilihat dari bidang penangkapan ikan
sebesar 6,4 juta ton/tahun, perikanan umum sebesar 305.650 ton/tahun serta
potensi kelautan kurang lebih 4 miliar USD/tahun. Produk perikanan tangkap di
Indonesia pada tahun 2007 sendiri mencapai 4.924.430 ton.3
Walaupun Indonesia belum maksimal dalam pengelolaan ikan tangkapnya,
pengembangan usaha perikanan terus dilakukan demi tercapainya tujuan
pemanfaatan sumber daya hayati laut sebaik mungkin. Pengembangan usaha
kelautan dan perikanan ini juga dapat digunakan untuk mendorong pemulihan
ekonomi diperkirakan sebesar US$82 miliar per tahun.Indonesia memiliki . Secara umum,
besaran potensi hasil laut dan perikanan Indonesia harusnya mencapai 3000 triliun
per tahun, akan tetapi yang sudah dimanfaatkan hanya sekitar 225 triliun atau
sekitar 7,5% saja. Dan jika dibandingkan dengan Negara lain yang wilayahnya
tidaklah lebih besar daripada Indonesia akan tetapi memiliki produksi ikan
tangkap yang sama bahkan lebih dari Indonesia, maka kondisi produksi ikan
tangkap di Indonesia berada dalam kondisi tidak baik.
2
Frans E. Lidkadja dan Daniel F. Bassic, Hukum Laut dan Undang-Udnang Perikanan,
Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985, hal. 21.
3
kesempatan untuk menjadi penghasil produk perikanan terbesar dunia, karena
kontribusi perikanan pada 2004-2009 terus mengalami kenaikan.
Hasil produksi ikan tangkap Indonesia yang mulai membaik ini membuat
Negara-negara yang memiliki hasil produksi perikanan dan kelautan yang berada
dibawah Indonesia atatupun yang setara dengan Indonesia ingin menikmati hasil
peroduksi perikanan dan kelautan Indonesia pula. Akan tetapi, keinginan
Negara-negara ataupun warga Negara-negaranya tidak didukung dengan itikad atau tindakan
mereka yang sesuai dengan aturan yang berlaku. Banyak terdapat kapal-kapal
berbendera asing yang melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan hukum
yang berlaku. Pelanggaran hukum yang dilakukan salah satunya ialah pencurian
ikan (illegal fishing). Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat, setahun
rata-rata ada 100 kapal ikan asing yang ditangkap, baik karena mencuri ikan
maupun izinnya tidak lengkap. Bahkan pada tahun 2001 sampai 2012 ada skitar
2469 kasus pencurian ikan yang terjadi di wilayah laut Negara Republik
Indonesia. Ini mempengaruhi kondisi produksi perikanan Indonesia dan dapat
menyebabkan kerugian tersendiri bagi Negara Indonesia.
Oleh karena itu, perlu adanya suatu aturan hukum yang berkenaan dengan
perlindungan sumberdaya perikanan Indonesia dan yang memberikan sanksi tegas
kepada kapal asing yang melakukan pencurian ikan di wilayah laut Indonesia.
Negara Republik Indonesia memiliki undang undang perikanan yakni
Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Unadng Nomor 31
tahun 2004 tentang Perikanan. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa kebijakan
dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Kebijakan penanggulangan
kejahatan dengan hukum pidana ini merupakan bagian dari kebijakan penegakan
hukum. Barda Nawawi juga menyatakan bahwa kebijakan penanggulangan
kejahatan lewat pembuatan peraturan-perundang-undangan pidana merupakan
bagian integral dari potik social yang dapat diartikan sebagai segala usaha yang
rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup
perlindungan masyarakat. 4 Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang
Perikanan masih memiliki kekurangan untuk mencapai tujuan penanggulangan
kejahatan dan penegakan hukum tersebut, oleh karena itu dibuatlah
Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan terhadap Undang-Undang-Undang-Undang
Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Dalam Undang-undang Nomor 45 tahun
2009 ini ada beberapa perubahan dari Undang-Undang perikanan yang lama,
yakni mengenai tentang pengawasan dan penegakan hukum yang menyangkut
masalah mekanisme koordinasi antara instansi penyidik dalam penanganan
penyidik tindak pidana di bidang perikanan, masalah pengelolaan perikanan
antara lain ke pelabuhan perikanan dan konservasi, perizinan, dan
kesyahbandaraan, perluasan yurisdikasi pengadilan perikanan Negara RI,
penerapa sanksi pidana (Pidana penjara atau pidana denda), hukum acara, fasilitas
dalam penegakan hukum di bidang perikanan, termasuk penerapan tindakan
hukum berupa penenggelaman dan/atau pembakaran kapal asing yang beroprasi di
wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.5
4
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 29-30.
5
Gatot Suparmono, op.cit., hal 9.
Fungsi pengawasan
pidana pencurian ikan (illegal fishing), dan bukan hanya fungsi pengawasan yang
dilakukan oleh pihak-pihak terkait saja, akan tetapi sanksi-sanksi pidana berupa
denda dan penjara dalam Undang-Undang ini juga mendukung terciptanya tujuan
penanggulangan tersebut. Terdapat aturan sanksi untuk pencurian ikan,
hukumannya tak hanya berlaku bagi operator di atas kapal, tetapi juga dapat
menjerat pemilik kapal dan pemilik perusahaan sesuai Pasal 8. Kapal asing
pencuri ikan juga boleh dibakar dan ditenggelamkan diatur dalam Pasal 69,6
6
Harian Nasional Kompas Online.
bahkan membayar denda hingga Rp 20 miliar. Aturan dan sanksi yang ada dalam
undang-undang ini dapat dikatakan memadai. Akan tetapi perlu penindakan secara
tegas terhadap para pencuri ikan ini perlu dilakukan, bukan hanya aturan tertulis
semata yang ada dalam Undang-undang Perikanan, tetapi tindakan nyata yang
dilakukan oleh aparatur penegak hukum juga diperlukan. Setelah 5 tahun
Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009, tidak terjadi impelementasi yang baik terhadap
tindakan khusus yakni penenggelaman dan/atau pembakaran ataupun sanski untuk
kapal asing yan melakukan pencurian ikan. Pada pembekalan Peserta Program
Pendidikan Reguler Angkatan ke-51 dan ke-52 Lembaga Ketahanan Nasional
(Lemhanas) 2014 di Istana Negara, Jakarta, Selasa 18 November 2014, Presiden
Republik Indonsia Joko Widodo memerintahkan agar Tentara Nasional Indonesia
dan Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti langsung menenggelamkan kapal yang
tertangkap melakukan pencurian ikan di laut Indonesia. Langkah ini harus
dilakukan untuk membuat jera warga negara asing yang mencuri ikan di perairan
Indonesia.7
B.Perumusan Masalah
Persoalan penenggelaman atau pembakaran kapal asing ini bukanlah
hal yang baru dalam aturan hukum perikanan Indonesia , karena pada Pasal 69
ayat 4 telah dikatakan demikian.
Hal inilah yang melatarbelakangi penulisan skripsi ini dan
menuangkannya dalam sebuah skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis terhadap
Pembakaran dan/atau Penenggelaman Kapal Perikanan Berbendera Asing sebagai
Upaya Mengurangi Tindak Pidana Pencurian Ikan”
Berdasarkan latar belakang di yang telah dijelaskan , menunjukkan bahwa
masih banyaknya jumlah kapal berbendera asing yang melakukan pencurian ikan
di wilayah laut Indonesia dan sangat merugikan sektor perikanan Indonesia.
Selain sanksi pidana penjara dan denda, sesuai dengan Pasal 69 ayat 4 tentang
tindakan khusus yaitu melakukan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal
perikanan berbendera asing yang melakukan tindak pidana pencurian ikan di
wilayah laut Indonesia juga memegang peranan penting dalam upaya
menanaggulangi terjadinya tindak pidana pencurian ikan.
Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini,
yaitu :
1. Bagaimanakah tugas dan fungsi pengawas perikanan di wilayah laut
Indonesia serta hak dan kewajiban kapal perikanan yang melakukan
penangkapan ikan di wilayah laut Indonesia?
7
2. Bagaimanakah pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan
berbendera asing yang melakukan pencurian ikan di wilayah laut?
C.Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dijelaskan
terlebih dahulu, makan penulisan skripsi ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui bagaimana pengawasan perikanan termasuk tugas dan
fungsi pengawas perikanan serta hak dan kewajiban kapal perikanan yang
melakukan penangkapan ikan di wilayah laut Indonesia.
2. Untuk mengetahui hal-hal apa yang berhubungan dengan pembakaran
dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing yang melakukan
tindak pidana pencurian ikan serta apa yang dimaksud dengan pembakaran
dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing yang melakukan
tindak pidana pencurian ikan di wilayah laut Indonesia itu sendiri.
Adapun manfaat penulisan ini adalah :
1. Secara teoritis :
Dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah wawasan atau
ilmu pengetahuan penulis di bidang perikanan khususnya mengenai
pengawasan terhadap perikanan, tugas dan fungsi pengawas perikanan serta
hak dan kewajiban kapal perikanan dalam melakukan penangkapan ikan.
2. Secara praktis :
Dapat menambah pengetahuan baik kepada penulis ataupun pihak-pihak
serta apa yang dimaksud dengan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal
perikanan berbendera asing yang melakukan tindak pidana pencurian ikan.
D.Keaslian Penulisan
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari Perpusatakaan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, adapun skripsi yang berjudul
“Tinjauan Yuridis terhadap Pembakaran dan/atau Penenggelaman Kapal
Perikanan Berbendera Asing sebagai Upaya Mengurangi Tindak Pidana Pencurian
Ikan” belum pernah dikemukakan. Permasalahan yang diajukan belum pernah
dibahas oleh permasalahan skripsi lainnya. Adapun judul skripsi tersebut diatas
merupakan tulisan yang masih baru, belum pernah ada tulisan lain dalam bentuk
skripsi mengenai masalah ini dan belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Maka penulisan skripsi ini masih
orisinil, dengan demikian penulis dapat mempertanggungjawakan secara ilmiah.
E.Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Tindak Pidana
Perbuatan pidana atau yang sering disebut sebagai tindak pidana
merupakan pengertian yang dasar yang terdapat dalam ilmu hukum pidana,
perbuatan pidana atau tindak pidana ini tentu memiliki hal yang memberikan ciri
tersendiri pada peristiwa hukum pidana. Karena perbuatan/tindak pidana memiliki
maka harus dijelaskan secara ilmiah sehingga pemahamannya tidak sama dengan
istilah biasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari.8
a. Handeling : perbuatan manusia
Istilah “peristiwa pidana” atau “tindak pidana” merupakan terjemahan
dari istilah bahasa Belanda yakni “Strafbar feit” atau “delict”. Dalam
merumuskan undang-undang, pembuat undang-undang juga menggunakan istilah
peristiwa pidana , perbuatan pidana, atau tindak pidana. Sebelum membahas lebih
lanjut tentang tindak pidana, terlebih dahulu kita bahas pengertian tindak pidana
atau istilah tindak pidana yang digunakan oleh para ahli hukum pidana. Para ahli
hukum pidana pun memiliki beberapa penggunaan istilah “peristiwa pidana” atau
“tindak pidana ini berikut juga pengertiannya. Menurut D. Simsons, peristiwa
pidana itu adalah “Een Strafbaargestelde, onrechtmatige, met schuld in verband
staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon” atau Perbuatan salah
dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seorang yang
mampu bertanggungjawab. Perumusan Simons tersebut menunjukkan unsur-unsur
peristiwa pidana adalah sebagai berikut :
Dengan handeling dimaksudkan tidak saja “een doen” (perbuatan) tetapi
juga “een nalaten” atau “niet doen” (melalaikan atau tidak berbuat)
b. Perbuatan manusia itu harus melawan hukum
c. Perbuatan itu diancam dengan pidana (strafbaar gesteld) oleh
undang-undang
8
d. Harus dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab
(toerekeningsvatbaar)
e. Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan (schuld) si pembuat
Jika Simons membagi unsur-unsur yang menunjukkan suatu peritiwa
pidana maka berbeda dengan Vos. Menurut Vos, terlebih dahulu mengemukaan
arti delict sebagai “tatbestandmassigheit” dan delik sebagai “wesenschau”.
Makna tatbestandmassingheit merupakan kelakuan yang mencocoki lukisan
ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan, maka
disitu ada delik. Sedangkan makna “wesenschau” merupakan kelakukan yang
mencocoki ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan
maka baru merupakankan delik apabila kelakuan itu “dem wesen nach” yaitu
menurut sifatnya cocok dengan makna dari ketentuan yang dirumuskan dalam
undang-undang yang bersangkutan.9 Dengan kata lain menurut Vos, peristiwa
pidana adalah suatu peristiwa yang dinyatakan dapat dipidana oleh
undang-undang. 10
a. Defenisi menurut teori memberikan pengetian “strafbaar feit” adalah
suatu pelanggara terhadap norma , yang dilakukan karena kesalahan si
pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum
dan penyelamatan kesejahteraan umum
Menurut Pompe pengertian strafbaar feit dibedakan :
9
Bambang Poernomo. Asas asas hukum Pidana. Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1994. hal 90-91.
10
b. Defenisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbaarfeit”
adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan perundang-undangan
dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.
Selain defenisi menurut teori dan menurut hukum positif yang
dikemukakan oleh Pompe, terdapat pula definisi tindak pidana menurut J.E
Jonkers. J.E Jonkers membagi definisi strafbaar feit menjadi dua bagian
pengertian, yakni:11
a. Defenisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu
kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang.
b. Defenisi panjang atau lebih mendalam memberikan pengertian strafbaar
feit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan
dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
2. Pengertian Tindak Pidana Pencurian Ikan (Illegal Fishing)
Di dalam Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, pada Pasal 1 angka 1
pengertian perikanan adalah :
“Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan, sampai dengan pemasaran yang dilaksakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.”
Tindak pidana dibidang perikanan yang diatur dalam Undang-Undang
Perikanan hanya mencakup 2 (dua) macam delik yaitu delik kejahatan
(misdrijven) dan delik pelanggaran (overtredingen). Disebut kejahatan karena
perbuatan pelaku bertentangan dengan kepentingan hukum, sedangkan delik
11
pelanggaran merupakan perbuatan yang tidak menaati larangan atau keharusan
yang ditentukan penguasa Negara.12
Berdasarkan pada penjelasan diatas dan sesuai dengan aturan hukum yang
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan
Undan-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan maka tindak pidana
penangkapan ikan secara tidak sah atau illegal fishing adalah kegiatan
penangkapan ikan yang memakai Surat Penangkapan Ikan (SPI) palsu, tidak
Tindak Pidana Pencurian Ikan / illegal
fishing termasuk dalam delik kejahatan karena bertentangan dengan kepentingan
hukum atau aturan hukum yang ada. Pengertian atau defenisi tindak pidana
pencurian ikan atau illegal fishing dalam peraturan perundang-undangan
termasuk Undang-undang perikanan memang tidak dijelaskan secara terperinci
dan tegas. Menurut Contemporary English Indonesian Dictionary , “illegal”
berarti tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum, sedangkan “fishing”
artinya penangkapan ikan sebagai mata pencaharian atau tempat menangkap ikan.
Berdasarkan penjelasan defenisi kata “illegal fishing” diatas maka secara singkat
dapat dikatakan bahwa “illegal fishing” adalah penangkapan ikan secara tidak sah
atau melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Dalam dunia internasional dikenal
istilah Illegal, Unreporterd and Unregulated (IUU) Fishing Practices. Dalam
istilah diatas termasuk juga wacana mengenai illegal fishing. Dalam IUU Fishing
, secara singkat illegal fishing adalah penangkapan ikan secara tidak sah di
perairan wilayah atau ZEE suatu negara atau tidak memiliki izin dari negara
tersebut.
12
dilengkapi dengan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), isi dokumen tidak sesuai
dengan kapal dan jenis alat tangkapnya, menangkap jenis atau ukuran ikan yang
dilarang, serta kegiatan penangkapan ikan secara illegal di wilayah perairan atau
ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) suatu negara dengan tidak memiliki izin dari
negara pantai.13
3. Kapal Perikanan
Kapal, adalah kendaraan pengangkut penumpang dan barang di laut
(sungai dan sebagainya) seperti halny
Kapal biasanya cukup besar untuk membawa
Sedangkan dalam istil
yang lebih kecil. Secara kebiasaannya kapal dapat membawa perahu tetapi perahu
tidak dapat membawa kapal. Ukuran sebenarnya dimana sebuah perahu disebut
kapal selalu ditetapkan oleh undang-undang dan peraturan atau kebiasaan
setempat. Berabad-abad kapal digunakan oleh manusia untuk mengarungi sungai
atau lautan yang diawali oleh penemuan perahu. Biasanya manusia pada masa
lampau menggunaka
daya muat maka dibuatlah perahu atau rakit yang berukuran lebih besar yang
dinamakan kapal. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan kapal pada
masa lampau menggunakan kayu, bambu ataupun batang-batang papirus seperti
yang digunakan bangsa mesir kuno kemudian digunakan bahan bahan logam
seperti besi/baja karena kebutuhan manusia akan kapal yang kuat. Untuk
penggeraknya manusia pada awalnya menggunaka
13
Ed : Anjarotni, dkk, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pengadilan Perikanan ,
dengan bantuan layar
diesel serta Nuklir.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), tentang
pengertian kapal dirumuskan dalam Pasal 309 ayat (1) sebagai berikut :
“semua alat pelayaran dengan nama atau sifat apapun juga”
Berdasarkan rumusan tersebut diatas, maka masih belum dapat diberikan
pengertian yang jelas tentang kapal karena tidak dimuat dari arti kata alat
pelayaran dalam KUHD tersebut maupun dalam penjelasannya. Mengenai “alat
pelayaran”, Wirjono Pradjodikoro, SH menyatakan :
“kebanyakan ahli hukum di Negeri Belanda dan juga Jurisprudensi disana mengambil pengertian ini dalam arti yang sangat luas, yaitu meliputi semua alat yang dibikin oleh manusia untuk berada dan bergerak di air dengan alat itu. Jadi tidak diperdulikan, apakah alat tersebut dapat
digerakkan sendiri atau ditarik oleh alat lain”14
Selanjutnya dalam Pasal 209 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
merumuskan bahwa Kapal meliputi juga semua alat-alat perkapalan, yang
selanjutnya pada Pasal 309 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
dijelaskan lebih lanjut tentang “alat-alat perkapalan” yakni semua barang yang
tidak merupakan bagian dari tubuh kapal, tetapi ditujukan untuk tetap dipakai
bersama-sama tubuh kapal dalam pelayaran. Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dan Undang-Undang yang berlaku sendiri tidak ditemukan
pengertian dari kapal itu sendiri. Dengan demikian , maka dapat dikatakan bahwa
kapal perikanan termasuk dalam bagian pengertian kapal itu sendiri. Pengertian
kapal perikanan terdapat dalam beberapa Undang. Menurut
14
Undang Nomor 31 tahun 200 tentang Perikanan padal 1 ayat 9 dikatakan
pengertian kapal perikanan ialah:
“kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/ eksplorasi perikanan”
Pengertian kapal perikanan tersebut diatas sama dengan pengertian kapal
perikanan yang terdapat dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia Nomor PER. 05/MEN/2007 tentang Penyelenggaraan Sistem
Pemantauan Kapal Perikanan.
4. Kebijakan Penanggulangan kejahatan
Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan
kejahatan termasuk bidang “kebijakan kriminal” (criminal policy). Prof.Sudarto
mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan penanggulangan kejahatan atau
kebijakan kriminal, yaitu:15
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar
dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,
termasuk di dalamnya cara kerja dari aparat kepolisian, kejaksaaan, dan
pengadilan;
c. Dalam arti paling luas , ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan
melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi , yang bertujuan
untuk menegakkan norma-norma sentral dalam kehidupan masyarakat.
15
Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya
merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence)
dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social walfare). Oleh karena itu
dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan kriminal
ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.16
a. Kebijakan diluar Hukum Pidana (Non-Penal policy)
Hal
ini berarti bahwa masalah kejahatan tidak hanya dapat mengandalkan penerapan
hukum pidana saja, tetapi juga melihat akar lahirnya persoalan kejahatan ini dari
persoalan sosial, sehingga kebijakan sosial juga sangat penting dilakukan.
Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua
pendekatan, yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan
non penal (pendekatan di luar hukum pidana). Integrasi dua pendekatan ini
disyaratkan dan diusulkan dalam United Nations Congress on the Prevention of
Crime and the Treatment of Offenders.
Upaya non-penal ini bersifat tindakan preventif atau pencegahan sebelum
terjadinya suatu tindak pidana atau kejahatan17
16
Barda Nawawi Arief, op. cit., hal 2.
17
Teguh prasetro, Abdul Halim, Politik Hukum Pidana, Yogyakarta : Pustaka Pelajar , 2005, hal. 17.
, maka sasaran utama dari
upaya ini adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya
kejahatan. Faktor-faktor kondusif tersebut ialah faktor-faktor yang
berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara
langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau
menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan dimikian dilihat dari sudut
non-penal menduduki posisi kunci atau strategis dari keseluruhan upaya politik
atau kebijakan kriminal (criminal policy).18
1. Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian
kualitas kehidupan yang layak bagi semua orang (the crime impedes
progress towards the attainment of an acceptable quality of life for
all people);
Pernyataan diatas juga didukung oleh hasil dari Kongres PBB tentang the
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. Kongres PBB ke-6
tahun 1980 yang berlangsung di Caracas, Venzuela menyatakan dalam
pertimbangan resolusinya mengenai Crjime Trend and Crime Prevention
Strategis, antara lain :
2. Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada
penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan
kejahatan (Crime prevention strategis should be based upon the
elemination of causes and condition giving rise to crime);
3. Bahwa penyebab utama banyaknya terjadi kejahatan di berbagai
negara adalah disebabkan oleh ketimpangan sosial, diskriminasi
rasial dan dikriminasi nasional, standart hidup yang rendah ,
pengangguran dan kebodohan diantara sebagian besar penduduk
(the main course of crime in many countries are social inequality,
ratial and national dicrimination, low standart of living,
18
unemployment and illiteracy among broad section of the
population).
Kondisi sosial yang ditengarai diatas sebagai faktor penyebab timbulnya
kejahatan, seperti yang dikemukakan diatas adalah masalah-masalah yang
sulit dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh
karena itulah pemecahan masalah diatas didukung oleh pendekatan
non-penal berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan
masyarakat. 19 Menurut Hoefnagels adalah pendekatan pencegahan
kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan (prevention without
punishment) yaitu antara lain perancangan kesehatan masarakat
(communtiy planning mental health), social network, social worker and
child welfare (kesejahteraan anak dan pekerja sosial), serta penggunaan
hukum civil dan hukum administrasi (administrative and civil law.)20
b. Kebijakan Hukum Pidana (Penal policy)
Jadi
upaya non-penal yakni pencegahan sebelum terjadinya kejahatan
merupakan upaya yang dilakukan dengan memperbaiki kualitas kondisi
sosial yang ada yaitu masyarakat itu sendiri, sehingga dengan
diperbaikinya kualitas tersebut dapat diharapkan mengurangi perilaku
kejahatan dalam masyarakat.
Istilah “kebijakan berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa belanda
“politiek”. Istilah di dalam bahsa Indonesia sering diterjemahkan dengan
19
Mahmud Mulyadi. Criminal Policy- Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan masalah Kejahatan kekerasan.
20
kata “politik” , oleh karena itu kebijakan hukum pidana sering disebut juga
politik hukum pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan dari politik
hukum secara keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian
dari ilmu hukum, oleh karena itu sangat penting dibicarakan mengenai
kebijakan hukum atau politik hukum. Menurut Prof. Soedarto, politik
hukum atau kebijakan hukum adalah usaha untuk mewujudkan
peraturan-peraturan yang baik dengan situasi dan kondisi tertentu. Secara mendalam
juga dikemukakan bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara
melalui alat-alat kelengkapannya yang berwenang menetapkan
peraturan-peraturan yang dikehendaki dan diperkirakan dapat digunakan untuk
mengekspresikan apa yan terkandung dalam masyarakat dalam mencapai
apa yang dicita-citakan.21 Lebih lanjut Soedarto mengungkapkan bahwa
melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan dalam
rangka mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik
dengan memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Marc Ancel pernah
menyatakan bahwa “modern criminal science” terdiri dari tiga komponen
“Criminology”, “Criminal Law” dan “Penal Policy”.22
21
Sudarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat (Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana), Bandung: Sinar Baru, 1983, hal 18.
22
Marc Ancel. Social Defence, A modern Approach to Criminal Problems. London : Routledge & Kegan Paul , 1965, hal 4-5.
Dikemukakan
oleh Marc Ancel bahwa “Penal Policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni
yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan
peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi
pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada
penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.
Berdasarkan pengertian tentang politik hukum sebagaimana dikemukakan
diatas, maka secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum pidana
merupakan upaya menentukan kearah mana pemberlakuan hukum pidana
Indonesia masa yang akan datang dengan melihat penegakan hukum saat ini. Hal
ini juga berkaitan dengan konseptualisasi hukum pidana yang paling baik untuk
diterapkan. Dengan demikian , penal policy atau politik (kebijakan) hukum pidana
pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan
memberi pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif),
kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif) dan pelaksana hukum pidana (kebijakan
eksekutif).23
Hukum pidana harus menjadi salah satu instrumen pencegah kemungkinan
terjadinya kejahatan. Ini juga berarti bahwa penerapan hukum pidana harus
mempunyai pengaruh yang efektif untuk mencegah sebelum terjadinya suatu
kejahatan. Dengan demikian, jika politik kriminil menggunakan politik hukum
pidana, maka ia harus merupakan langkah-langkah yang dibuat secara sengaja dan
sadar. Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana menanggulangi
kejahatan harus benar-benar memperhitungkan segala faktor yang dapat
mendukung berfungsinya atau berkerjanya hukum pidana dalam kenyataan.
Kemudian, dalam setiap kebijakan yang dilakukan dan diambil oleh pemerintah
dalam suatu sistem pembagunan harus dilihat dalam tiga kerangka , yaitu struktur,
23
substansi dan kultur. Hal ini penting agar pihak berwenang sebagai pengambil
keputusan jangan sampai tejebak kebijakan yang bersifat pragmatis, yaitu suatu
kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan sesaat (jangka pendek) sehingga tidak
dapat dipertahankan dalam jangka panjang. Akhirnya justtru merugikan
masyarakat sendiri dan tidak dapat mencegah dan menangulangi kejahatan.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Dalam
penelitian hukum normatif dilakukan dengan meneliti peraturan
perundang-undangan, putusan pengadilan, berbagai literatur dan bahan-bahan kepustakaan
hukum yang berkaitan dengan skripsi ini. Perolehan data dalam penelitian hukum
normatif juga berasal dari data sekunder. Metode penelitian ini dipilih unjtuk
mengetahui pembakaran dan penenggelaman kapal perikanan berbendera asing
yang melakukan tindak pidana pencurian ikan sebagai upaya penanggulangan
tindak pidana pencurian ikan.
2. Data dan sumber data
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder
adalah data yang diperoleh dari :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat
dan diterapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yakni merupakan
b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan
informasi atau hasil kajian tentang tindak pidana dibidang perikanan,
buku-buku karya ilmiah dan beberapa sumber ilmiah serta sumber
internet yang berkaiatan dengan permasalahan dalam skripsi ini.
c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep
dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder seperti kamus, ensikloperdia dan sebagainya.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah
ini adalah sudi kepustakaan (library research), yaitu dengan melakukan penelitian
terhadap berbagai sumber bacaan seperi buku-buku pendapat sarjana , bahan
kuliah, artikel dan berita yang diperoleh dari internet yang bertujuan mencari atau
memperoleh konsepsi-konsepsi, teori-teori atau bahan-bahan yang berkeaan
dengan tindak pidana di bidang perikanan.
4. Analisis data
Ada dua analisis data yang diketahui yakni metode analsisi data kualitatif
dan metode kuantitatif. Dalam penulisan skripsi ini metode analisis yang
digunakan adalah analisis kualitatif dimana data yang berupa asas, konsepsi,
doktrin hukum serta kaedah hukum dianalisis secara kualitatif.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini telah dibuat secara terperinci dan sistematis, hal ini
makna dari penulisan skripsi ini. Keseluruhan daripada sistematika tersebut adalah
satu kesatuan yang saling berkesinambungan dan berhubungan antara satu sama
lain yang dapat dilihat sebagai berikut :
BAB I : Bab pertama ini merupakan bab pendahuluan, pada bab ini dimuat
apa yang menjadi latar belakang penulis dalam menulis skripsi
ini, kemudian apa masalah yang dapat dirumuskan dalam
rumusan masalah, tujuan dan menfaat penulisan skripsi ini,
keaslian penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan
BAB II : Bab kedua merupakan bab pembahasan, pada bab pembahasan ini
akan membahas mengenai pengawasan sektor perikanan di
Negara Republik Indonesia khususnya pada wilayah laut
Indonesia, tugas dan fungsi pengawas perikanan serta hak dan
kewajiban kapal perikanan yang melakukan penangkapan ikan di
wilayah laut Indonesia.
BAB III : Bab ketiga ini juga merupakan bab pembahasan, pada bab ini akan
membahas mengenai penyebab terjadinya tindak pidana
pencurian ikan, kemudian tindak pidana pencurian ikan yang
dilakukan oleh kapal berbendera asing, dan bagaimana penerapan
pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera
asing yang melakukan tindak pidana pencurian ikan.
BAB IV : Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran yang berfungsi untuk
memberikan masukan bagi perkembangan hukum pidana di masa