PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) OLEH NELAYAN ASING DI WILAYAH LAUT INDONESIA DI TINJAU DARI HUKUM LAUT
INTERNASIONAL
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh: 110200524 NURUL EFRIDHA
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM
PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) OLEH NELAYAN ASING DI WILAYAH LAUT INDONESIA DI TINJAU DARI HUKUM LAUT
INTERNASIONAL SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH: NIM: 110200524 NURUL EFIRDHA
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL Disetujui/Diketehui Oleh:
KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
NIP. 195612101986012001 Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.
NIP : 196207131988031003 NIP : 196403301993031002 Arif, S.H., M.Hum
FAKULTAS HUKUM
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya yang bertandatangan dibawah ini:
Nama : NURUL EFRIDHA
NIM : 110200524
Judul : PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) OLEH NELAYAN ASING DI WILAYAH LAUT INDONESIA DITINJAU DARI
HUKUM LAUT INTERNASIONAL
menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah benar hasil karya saya sendiri
dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain.
Apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana
tersebut di atas, maka saya bersedia mempertanggunjawabkannya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku termasuk menerima sanksi pencabutan gelar kesarjanaan
yang telah saya peroleh.
Medan, 30 Maret 2015
NIM: 110200524
Nurul Efridha
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat dan hidayahnya Penulis mampu menyelesaikan skripsi ini serta teriring
Shalawat dan Salam Penulis haturkan kepada Rasulullah SAW yang telah
membawa umat manusia keluar dari zaman kebodohan ke zaman yang penuh
dengan ilmu dan islam. Penulisan skripsi ini berjudul “PENCURIAN IKAN
(ILLEGAL FISHING) OLEH NELAYAN ASING DI WILAYAH LAUT INDONESIA DITINJAU DARI HUKUM LAUT INTERNASIONAL”. Skripsi
ini disusun untuk memenuhi tugas dan memenuhi persyaratan mencapai gelar
Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Secara khusus saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada kedua orangtua saya, Wahyuddin S.sos dan Dewi safitri. Yang telah
mendoakan serta memberikan cinta, kesabaran, perhatian, bantuan dan
pengorbanan yang tak ternilai sehingga saya dapat melanjutkan dan
menyelesaikan pendidikan formal hingga Strata Satu (S1).
Dalam proses penyusunan skripsi ini saya juga mendapat banyak
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sebagai penghargaan
dan ucapan terima kasih terhadap semua dukungan dan bantuan yang telah
diberikan, saya menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung S.H,M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting S.H.,M.Hum. selaku Wakil Dekan I
3. Bapak Syafruddin Hasibuan S.H.,M.H., DFM selaku Wakil Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
4. Bapak OK Saidin S.H.,M.Hum. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara;
5. Bapak Ramli Siregar S.H, M.Hum.selaku Dosen Pembimbing Akademik;
6. Ibu Dr. Chairul Bariah S.H.,M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum
Internasional;
7. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H.,M.Hum selaku Sekretaris Departemen
Hukum Internasional;
8. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I.
Terimakasih atas waktu, saran dan bimbingan yang Bapak berikan selama
ini hingga saya menyelesaikan skripsi ini;
9. Bapak Arif S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II. Terimakasih atas
waktu, saran dan bimbingan yang Bapak berikan selama ini hingga saya
menyelesaikan skripsi ini;
10.Seluruh dosen dan pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
11.Adik-adik saya Tiara Anzani, Ahmad Pahlevi dan Bunga Atiiqah yang
selalu memberikan semangat agar skripsi ini selesai;
12.Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Hukum
USU;
13. Teman-teman 105 , Aisyah, Anggi , Ayu, Karin, Eni, Ape, Ical , opan
14.Rekan-rekan “Dewa-Dewi” Clara Apulina , Sebrina Syahputri , Meirani
Purba, Noviliana Hasanah , Tengku Shanny , Nindya Caesy , M,.Wahyu
Ravicky yang selalu mengisi hari-hari saya dengan penuh canda tawa
selama masa perkuliahan dan saling menyemangati satu sama lain
15.Teman-teman saya Lia Rizky Harahap , Tengku Devy malinda, Noviza
Amalia, Dyan Indriani , Intan Harahap, Wahyu , Nanda Yustiansyah ,
Denny Dendi , Daniel Ronald , Fadel , Inal lubis , Haris, Adi, Rianda
Tarigan , Agung Nugraha , Hafizam , Boteng, Febry Andri yang selalu
membuat suasana penuh keceriaan sewaktu masa perkuliahan
16.Teman-teman “Grop F” yang sudah mengisi hari-hari selama masa
perkuliahan dari awal semester sampai sekarang;
17.Rekan-rekan International Law Student Association (ILSA) Fakultas Hukum USU. Terkhusus Nida Syafwani yang banyak membantu sampai
penulisan skripsi ini selesai
18.Untuk seluruh teman-teman terbaik selama di Fakultas Hukum USU yang
tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Terima kasih telah memberikan
dukungan dan semangat serta membuat hari-hari selama di perkuliahan
menjadi lebih berarti;
Penulis sadar bahwa hasil penulisan skripsi ini tidaklah sempurna. Penulis
berharap pada semua pihak agar dapat memberikan kritik dan saran yang
membangun untuk kedepannya. Akhirnya, semoga Allah SWT membalas segala
kebaikan dan jasa semua pihak yang telah membantu penulis secara tulus dan
Medan, 30 Maret 2015
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... i
LEMBAR PERNYATAAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR SINGKATAN ... xi
ABSTRAKSI ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8
D. Keaslian Penulisan ... 9
E. Tinjauan Pustaka ... 10
F. Metode Penelitian ... 15
BAB II YURISDIKSI NEGARA PANTAI DI WILAYAH LAUT BERDASARKAN KETENTUAN HUKUM LAUT
INTERNASIONAL
A. Sejarah Laut ... 18
B. Pengertian Yurisdiksi Negara Pantai ... 24
C. Yurisdiksi Negara Pantai di Wilayah Laut Berdasarkan
Ketentuan Hukum Laut Internasional ... 26
BAB III YURISDIKSI NEGARA INDONESIA ATAS PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) OLEH NELAYAN ASING DI WILAYAH LAUT INDONESIA
A. Pengertian Pencurian Ikan (Illegal Fishing) ... 35 B. Rezim Laut Menurut UNCLOS 1982 ... 36
C. Wilayah Laut Indonesia ... 52
D. Yurisdiksi Negara Indonesia Atas Pencurian Ikan (Illegal Fishing) Oleh Nelayan Asing di Wilayah Laut Indonesia ... 57
BAB IV UPAYA INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) DI WILAYAH LAUT INDONESIA
A. Kasus Penangkapan Kapal Berbendera Asing Yang Melakukan
Pencurian Ikan (illegal fishing) di Wilayah Laut Indonesia ... 62 B. Dampak Kegiatan Pencurian Ikan Melanggar hukum , Tidak
C. Prosedur Penangkapan Kapal Asing Yang Mencuri Ikan di
Wilayah Laut Indonesia Menurut Hukum Nasional Dan
Internasional ... 78
D. Upaya Negara Indonesia Dalam Menangani Masalah
Pencurian Ikan (Illegal Fishing) di Wilayah Laut Indonesia……... ... 86
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 96
B. Saran ... 98
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Rekapitulasi Kapal ditangkap melalui Operasi Kapal Pengawas
DAFTAR SINGKATAN
ABK : Anak Buah Kapal
ACFC : ASEAN Fisheries Consultative Forum
ASEAN : Association of the South East Asia Nations
CCRF : The Code of Conduct for Responsible Fisheries
FAO : Food and Agriculture Organization
HPK : Hasil Pemeriksaan Kapal
IUU : Illegal, Unregulated, and Unreported Fishing
KIA : Kapal Perikanan Asing
KKP : Kementrian Kelautan Perikanan
MoU : Memorandum of Understanding
NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia
PBB : Persatuan Bangsa Bangsa
POLAIR : Polisi Perairan
PROTAP : Prosedur Tetap
PSDKP : Pengawasan Sumber Daya Kelautan Perikanan
RFMO : Regional Fisheries Management Organization
SIPI : Surat Izin Penangkapan Ikan
SISWASMAS : Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat
TNI AL : Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut
TZMKO : Territoriate Zee en Marietieme Kringen Ordonantie
UNCLOS : United Nations Convention on the Law Of the Sea
UPI : Unit Pengelolahan Ikan
UPT : Unit Pelaksanaan Teknis
VMS : Vessel Monitoring System
ABSTRAKSI Nurul Efridha*
Prof. Dr. Suhaidi S.H., M.H.** Arif, S.H.,M.Hum.***
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia memiliki kekayaan laut yang sangat besar dan beraneka ragam salah satunya adalah memiliki potensi perikanan. Luasnya wilayah laut dan banyak nya potensi perikanan yang dimiliki Indonesia membuat banyak kapal-kapal nelayan asing yang mencuri kekayaan laut terutama perikanan di wilayah perairan Indonesia dengan cara menyamar sebagai kapal nelayan Indonesia yang menyebabkan kerugian negara mencapai 4 sampai 5 milyar USD per tahun. Maraknya pencurian ikan (illegal fishing) oleh kapal asing merupakan fenomena yang kontras dan menyakitkan hati masyarakat karena kekayaan laut kita seenaknya dirampas oleh mereka , sementara nelayan kita tidak bisa menikmati hasil laut sendiri.
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas masalah yang diteliti adalah; Bagaimana yurisdiksi negara pantai di atas wilayah laut berdasarkan ketentuan hukum laut internasional? Bagaimana yurisdiksi negara Indonesia atas pencurian ikan oleh nelayan asing di wilayah laut Indonesia? Bagaimana upaya Indonesia dalam menangani masalah pencurian ikan di wilayah laut Indonesia?
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, baik norma hukum yang berasal dari hukum nasional maupun yang berasal dari hukum internasional
Berdasarkan penelitian ini maka dapat disimpulkan, bahwa yurisdiksi negara pantai menurut hukum internasional diatur di dalam UNCLOS. UNCLOS mengatur kewenangan negara pantai terhadap wilayah lautnya . Sedangkan yurisdiksi negara Indonesia terhadap kapal asing yang melakukan pencurian ikan di wilayah laut Indonesia adalah Indonesia dapat menegakan hukum nasionalnya dengan melakukan pengehentian kapal , memeriksa, membawa , menahan kapal yang di duga melakukan pencurian dan akan diproses sesuai undang-undang yang berlaku. Adapun upaya yang dilakukan pemerintah dalam menangani masalah pncurian ikan adalah dengan penetapan keputusan menteri perikanan dan kelautan tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Penanggulangan IUU Fishing , mempersiapkan undang-undang yang baru terkait masalah perikanan dan juga melakukan kerja sama dengan beberapa negara dimana kerja sama tersebut terkait partisipasi dalam masalah pencegahan Illegal fising.
Kata kunci: Nelayan Asing , Illegal Fishing, Kekayaan Laut
* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I
ABSTRAKSI Nurul Efridha*
Prof. Dr. Suhaidi S.H., M.H.** Arif, S.H.,M.Hum.***
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia memiliki kekayaan laut yang sangat besar dan beraneka ragam salah satunya adalah memiliki potensi perikanan. Luasnya wilayah laut dan banyak nya potensi perikanan yang dimiliki Indonesia membuat banyak kapal-kapal nelayan asing yang mencuri kekayaan laut terutama perikanan di wilayah perairan Indonesia dengan cara menyamar sebagai kapal nelayan Indonesia yang menyebabkan kerugian negara mencapai 4 sampai 5 milyar USD per tahun. Maraknya pencurian ikan (illegal fishing) oleh kapal asing merupakan fenomena yang kontras dan menyakitkan hati masyarakat karena kekayaan laut kita seenaknya dirampas oleh mereka , sementara nelayan kita tidak bisa menikmati hasil laut sendiri.
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas masalah yang diteliti adalah; Bagaimana yurisdiksi negara pantai di atas wilayah laut berdasarkan ketentuan hukum laut internasional? Bagaimana yurisdiksi negara Indonesia atas pencurian ikan oleh nelayan asing di wilayah laut Indonesia? Bagaimana upaya Indonesia dalam menangani masalah pencurian ikan di wilayah laut Indonesia?
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, baik norma hukum yang berasal dari hukum nasional maupun yang berasal dari hukum internasional
Berdasarkan penelitian ini maka dapat disimpulkan, bahwa yurisdiksi negara pantai menurut hukum internasional diatur di dalam UNCLOS. UNCLOS mengatur kewenangan negara pantai terhadap wilayah lautnya . Sedangkan yurisdiksi negara Indonesia terhadap kapal asing yang melakukan pencurian ikan di wilayah laut Indonesia adalah Indonesia dapat menegakan hukum nasionalnya dengan melakukan pengehentian kapal , memeriksa, membawa , menahan kapal yang di duga melakukan pencurian dan akan diproses sesuai undang-undang yang berlaku. Adapun upaya yang dilakukan pemerintah dalam menangani masalah pncurian ikan adalah dengan penetapan keputusan menteri perikanan dan kelautan tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Penanggulangan IUU Fishing , mempersiapkan undang-undang yang baru terkait masalah perikanan dan juga melakukan kerja sama dengan beberapa negara dimana kerja sama tersebut terkait partisipasi dalam masalah pencegahan Illegal fising.
Kata kunci: Nelayan Asing , Illegal Fishing, Kekayaan Laut
* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Wilayah suatu negara selain dikenal dalam bentuk wilayah udara dan
daratan juga dikenal dalam bentuk lautan. Wilayah kelautan adalah wilayah yang
tidak semua negara bisa memilikinya, melainkan hanya dimiliki oleh
negara-negara yang wilayah daratanya berbatasan dengat laut1. Laut merupakan sumber
makanan bagi manusia, sebagai jalan raya perdagangan, sebagai sarana
penaklukan, sebagai tempat petempuran , sebagai tempat untuk bersenang-senang
dan rekreasi dan sebagai alat pemisah atau pemersatu bangsa. Di abad ke-20 ini
fungsi laut telah meningkat dengan ditemukanya bahan-bahan tambang dan
galian berharga di dasar laut dan dimungkinkanya usaha-usaha mengambil
kekayaan alam tersebut, baik di airnya maupun di dasar laut dan tanah di
bawahanya2 . Konteks pemahaman tentang laut sedikit demi sedikit mulai berubah
dikarenakan wilayah laut menjadi wilayah negara yang paling rawan terintervensi
negara-negara lain. Sehingga, sekarang laut sering diartikan sebagai suatu batas
negara dengan negara lain dengan titik batas yang ditentukan melalui ekstradisi
bilateral dan multilateral yang berarti pula merupakan batas kekuasaan dan
kedaulatan suatu negara sejauh garis terluar batasnya3
Indonesia adalah negara Kepulauan terbesar di dunia , memiliki luas laut
sebesar 5,8 juta km dengan jumlah pulau sebanyak 17.480 pulau dan garis .
1
Mirza Satria Buana,S.H., Hukum Internasinal Teori dan Praktek , Bandung : Nusamedia , 2007 hlm.103
2
Frans E. Lidkadja & Daniel F. Bassie, Hukum Laut Dan Undang-Undang Perikanan, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1985, hal 21
3
pantai sepanjang 95.181 km 4. Fakta fisik inilah yang membuat Indonesia
dikenal sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia. Indonesia
memiliki kekayaan laut yang sangat besar dan beraneka ragam salah satunya
adalah memiliki potensi perikanan yang sangat besar dan beragam , sumber daya
ikan diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di wilayah perairan
Indonesia dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI) 5. Sumber
daya perikanan pada umumnya kepemilikanya bersifat umum serta akses
terhadapnya bersifat terbuka , oleh sebab itu sumber data perikanan perlu dikelola
dengan baik guna mencegah penangkapan ikan yang melewati ambang
kemampuan regenerasinya juga mencegah pengangkapan ikan oleh nelayan
asing.6
bijak dan konsisten untuk menjaga kelestariannya. Kegiatan penangkapan ikan di
wilayah perairan Indonesia sudah mendekati kondisi yang kritis. Tekanan
penangkapan yang meningkat dari hari ke hari semakin mempercepat penurunan Kondisi perikanan dunia saat ini tidak dapat lagi dikatakan masih
berlimpah. Tanpa adanya konsep pengelolaan yang berbasis lingkungan,
dikhawatirkan sumber daya yang sangat potensial ini sebagai sumber protein yang
sehat dan murah bisa terancam kelestariannya. Kondisi ini tidak terlepas dari
semakin terancamnya kehidupan biota-biota dan lingkungan perairannya. Dengan
demikian, sangat diperlukan upaya untuk mengelola sumberdaya perairan secara
4
Penerapan UNCLOS di Indonesia , sebagaimana dimuat dalam
http;//scribd.com/doc/132365841/ Diakses : 15 april 2015
5
Potensi kelautan Indonesia, sebagaimana dimuat http://www.academia.edu/7305992/ Potensi Kelautan Indonesia / Diakses : 2 februari 2015
6
Indonesia adalah negara kepulauan yang terbesar di dunia, sebagaimana dimuat
stok sumberdaya ikan. Tingginya tekanan penangkapan khususnya di pesisir
pantai telah menyebabkan menurunnya stok sumber daya ikan dan meningkatnya
kompetisi antar alat penangkapan ikan yang tidak jarang menimbulkan konflik
diantara nelayan. Sebagai akibat dari menurunnya pendapatan, nelayan melakukan
berbagai macam inovasi dan modifikasi alat penangkapan ikan untuk menutupi
biaya operasi penangkapannya. Pelanggaran penggunaan alat tangkap dan metoda
penangkapan ikan bukan berita baru lagi dalam kegiatan penangkapan ikan. Salah
satunya adalah pelanggaran penggunaan trawl (pukat harimau) secara illegal di beberapa wilayah peraiaran. Pemerintah sebenarnya tidak menutup mata atas
semua kejadian pelanggaran itu. Penegakan hukum terhadap pelanggar memang
sudah dilakukan. Namun, kesulitan mengontrol seluruh aktivitas nelayan
khususnya di daerah terpencil dan perbatasan telah mendorong meningkatnya
pelanggaran penangkapan ikan (illegal fishing).7
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut Tahun 1982
telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang
Pengesahan United Nations Convention on the Law of the sea 1982, menempatkan Indonesia memiliki hak berdaulat (sovereign rights) untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengolahan sumber daya ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) Indonesia, dan Laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan
persyaratan atau standart internasional yang berlaku. Oleh karena itu dibutuhkan
dasar hukum pengelolahan sumber daya ikan yang mampu menampung semua
aspek pengelolahan sumber daya ikan dan mengantisipasi perkembangan .
7
kebutuhan hukum dan teknologi8
Lebih jauh lagi kegiatan illegal fishing di wilayah laut Indonesia menyebabkan kerugian negara rata-rata mencapai 4 sampai dengan 5 milyar
USD/tahun . setiap tahunya sekitar 3.180 kapal nelayan asing beroperasi secara
illegal di wilayah laut Indonesia. Illegal fishing tidak hanya terjadi di Indonesia , beberapa negara kawasan Asia Pasifik mengaku bahwa IUU (illegal unregulated unreported) fishing menjadi musuh yang harus diberantas demi usaha perikanan berkelanjutan . Dari data-data kapal yang ditangkap oleh kapal perang , kesalahan . Salah satu reformasi dibidang hukum dan
perundangan yang dilakukan Negara Republik Indonesia adalah dengan
diundangkanya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 yang kemudian diubang
dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perikanan. Untuk
Indonesia undang-undang ini sangat lah penting mengingat luas perairan kita yang
hampir mendekati 6 juta kilometer persegi yang mencakup perairan kedaulatan
dan yurisdiksi nasional yang memerlukan perhatian dan kepedulian kita semua ,
terutama yang menyangkut upaya penegakan hukum terhadap para nelayan asing
yang mencuri ikan di perairan Indonesia karena itu sangat merugikan kita selain
itu dan pengamanan laut dari gangguan dan upaya pihak asing. Keberadaan
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 ini merupakan langkah positif dan
merupakan landasan atau aturan bagi penegak hukum dan hakim perikanan dalam
memutuskan persoalan hukum yang terkait dengan illegal fishing, yang dampaknya sangat merugikan negara bahkan telah disinyalir dapat merusak
perekonomian bangsa.
8
mereka sangat bermacam-macam antara lain: transfer tanpa ijin, dokumen palsu,
menangkap ikan dengan jarring terlarang, menggunakan bahan peledak serta
tenaga asing yang tidsk memiliki izin kerja. Selain itu beberapa masalah mendasar
dalam illegal fishing antara lain : ketidakpastian dan ketidakjelasan hukum, birokrasi perizinan yang tidak menentu, ketidakpastian hukum bisa dicirikan oleh
beberapa hal seperti pemahaman yang berbeda atas aturan yang ada , inkonsistensi
dalam penerapan , diskiriminasi dalam pelaksanaan hukuman bagi kapal-kapal
asing yang melanggar batas wilayah perairan, persekongkolan antara pengusaha
local , pengusaha asing dan pihak peradilan.
Dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 atas perubahan dari
Undang-Undang 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sangat jelas bahwa illegal fishing diganjar pidana penjara dan denda sepadan dengan pelanggaran yang dilakukan namun sanksi pidana dan denda tidak diterapkan sebagaimana
mestinya, oleh karena itu para penegak hukum seperti Pegawai, Polisi perairan
dan TNI AL diharapkan secara maksimal dapat menjaga laut Indonesia dari
pencurian ikan dan kejahatan lainya. Dibentuknya pengadilan ad hoc perikanan
diharapkan juga mampu untuk menjawab persoalan kejahatan pencurian ikan yang
tercermin dalam putusan-putusan yang dihasilkan.9
Sudah bukan rahasia umum lagi, kalau fenomena pencurian ikan (ilegal fishing) di wilayah laut Indonesia menjadi sangat marak. Kegiatan penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal berbendera asing di wilayah laut Indonesia, bukan
terjadi beberapa tahun terakhir ini saja. Akan tetapi kegiatan ini sudah
9
berlangsung sejak puluhan tahun. Kapal berbendera asing tersebut menyamar
sebagai kapal nelayan Indonesia,. Harus kita akui juga, bahwa kebijakan kelautan
kita yang masih longgar, sehingga memungkinkan kapal-kapal asing untuk masuk
menjarah hasil laut kita. Banyak faktor yang teridentifikasi sebagai penyebab
terjadinya illegal fishing di perairan Indonesia yaitu: (1) Luasnya potensi laut yang belum terolah, (2) Peluang bisnis ikan yang menggiurkan, (3) Kelemahan
penegakan hukum, (4) Mentalitas aparat, dan (5) Hambatan dari faktor
perundang-undangan.
Maraknya pencurian ikan secara ilegal (illegal fishing) oleh kapal asing merupakan fenomena yang kontras dan menyakitkan hati masyarakat kita. Betapa
tidak kekayaan laut kita dengan seenaknya dirampas oleh nelayan asing,
sementara nelayan kita tidak bisa menikmati hasil laut sendiri. Data Kompas
menyebutkan bahwa Thailand merupakan salah satu negara yang memiliki kapal
penangkap ikan terbanyak yang beroperasi secara ilegal sebanyak 500 unit.
Sedangkan yang legal sebanyak 306 unit. Dari hasil penagkapan itu, Thailand
mampu memproduksi hasil tangkapan dengan total penangkapan sebesar 72.540
ton/tahun, meliputi 27.540 ton ditangkap secara legal, sisanya 45.000 ton
merupakan hasil tangkapan secara ilegal. Hasil tangkapan tersebut dibawa
langsung ke Thailand. Ironisnya lagi selama ini, Indonesia sebagai pengambil
kebijakan sekaligus sebagai penghasil ikan justru tidak mampu berbuat banyak.
Bukan rahasia umum lagi, kalau model kerja sama seperti ini cenderung
menguntungkan pihak asing. Hal ini mengingatkan kita pada model kerja sama
dengan model pengelolaan Trans National Corporate/TNC) dimana kita hanya
mengandalkan atau berharap pada pajak perijinan pengoperasian saja. Demikian
juga dengan sektor perikanan kita, hanya berharap pada pajak perijinan
pengoperasian kapal sesuai dengan penggunaan alat tangkap saja. Dalam setahun,
untuk alat tangkap jenis pukat dikenakan biaya 167 dollar AS/Gross Ton (GT),
alat tangkap jenis pursen 254 dollar AS/GT dan alat tangkap gilnet sebesar 54
dollar AS/GT. Jika dilihat dari hasil transaksi perdagangan produk perikanan
dunia senilai 70 miliar dollar AS/tahun, Indonesia hanya mampu meraup 2,2
miliar dollar AS atau sekitar 2,8 persen. Sebaliknya Thailand mampu meraup 4
miliar dollar AS dan Cina mendapatkan porsi 25 miliar dollar. Oleh karenanya,
sungguh sesuatu yang ironis jika sekiranya kita masih mengangap sebagai negara
bahari, sementara hasil-hasil perikanan di bawa kabur oleh kapal asing (negara
lain).10
10
Makalah pelanggaran dan peraturan perikanan , sebagaimana dimuat dalam
http://aliahsan27.blogspot.com/2014/04/makalah-pelanggaran-dalam-hukum-dan.html,
Diakses pada tanggal 2 Februari 2015
Berdasarkan pemikiran diatas, peneliti ingin lebih mengetahui dan
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan hal yang menjadi
permasalahan dalam penulisan skripsi ini, adapun permasalahan yang akan
dibahas antara lain :
1. Bagaimana yurisdiksi negara pantai diatas wilayah laut berdasarkan ketentuan
hukum laut internasional?
2. Bagaimana yurisdiksi negara Indonesia atas pencurian ikan oleh nelayan asing
di wilayah laut Indonesia?
3. Bagaimana upaya Indonesia dalam menangani masalah pencurian ikan di
wilayah laut Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah diatas , maka tujuan dari penulisan skripsi
Ini antara lain :
1. Mengetahui yurisdiksi negara pantai diatas wilayah laut berdasarkan Ketentuan
hukum laut internasional
2. Mengetahui yurisdiksi negara Indonesia atas pencurian ikan oleh nelayan asing
di wilayah laut Indonesia
3. Mengetahui upaya Indonesia dalam menangani masalah pencurian ikan di
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini , antara lain :
a. Secara Teoritis
Diharapkan kehadiran skripsi ini dapat memberikan masukan bagi ilmu
pengetahuan khususnya dalam hal penyelesaian masalah pencurian ikan (illegal fishing) di Indonesia dan melahirkan pemahaman tentang upaya peyelesaian masalah pencurian ikan (illegal fishing) di Indonesia sekaligus memperkaya serta menambah wawasan ilmiah baik dalam tulisan maupun dalam bidang lainya.
b. Secara Praktis
Untuk mengembangkan pemahaman dan kemampuan penulis dalam
menerapkan ilmu yang diperoleh dan memberikan masukan bagi pembaca untuk
memahami peranan Hukum Laut Internasional sebagai model penyelesaian
masalah pencurian ikan (illegal fishing) di Indonesia serta memberikan manfaat bagi setiap pihak yang berkepentingan dalam kaitanya dengan permasalahan
pencurian ikan (illegal fishing) di Indonesia.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan di Perpustakaan
Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang “pencurian ikan
(illegal fishing) oleh nelayan asing di wilayah laut Indonesia ditinjau dari hukum laut internasional” belum pernah ada dilakukan bentuk penelitian dalam
pendekatan dan perumusan masalah yang sama , meskipun ada beberapa topik
obyektif dan terbuka . Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan
kebenaranya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang
membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Illegal Fishing
Illegal fishing atau penangkapan ikan secara illegal menurut Internasional Plan Of Action Illegal , Unreported and Unregulated Fishing (IPPOA-IUU Fishing) adalah kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh suatu negara tertentu atau kapal asing di perairan yang bukan merupakan yurisdiksinya tanpa
izin dari negara yang memiliki yurisdiksi atau kegiatan penangkapan ikan tersebut
bertentangan dengan hukum dan peraturan negara itu.11
Kegiatan Illegal Fishing yang umum terjadi di perairan Indonesia adalah :12
a) Penangkapan ikan tanpa izin;
b) Penangkapan ikan dengan mengunakan izin palsu;
c) Penangkapan Ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang
d) Penangkapan Ikan dengan jenis (spesies) yang tidak sesuai dengan Izin.
Penyebab Illegal Fishing :
a) Meningkat dan tingginya permintaan ikan
b) Berkurang/Habisnya sumber daya ikan (SDI) di negara lain
c) Lemahnya armada perikanan nasional
11
http://mukhtar-api.blogspot.com/2011/05/illegal-fishing-di-indonesia.html/ Diakses pada tanggal 4 Februari 2015
12
d) Izin/dokumen pendukung dikeluarkan lebih dari satu instansi
e) Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di laut
f) Lemahnya delik tuntutan dan putusan pengadilan
g) Belum ada visi yang sama aparat penegak hukum
h) Lemahnya peraturan perundangan dan ketentuan pidana
2 . Wilayah Laut Indonesia
Wilayah laut Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia secara keseluruhan. Menurut
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara menyebutkan
bahwa wilayah Negara Republik Indonesia meliputi: wilayah darat, wilayah
perairan,dasar laut,dan tanah dibawahnya serta ruang udara diatasnya , termasuk
seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya13. Adapun wilayah
perairan Indonesia yaitu meliputi: perairan pedalaman, perairan kepulauan dan
laut territorial14. Selain itu Indonesia juga mempunyai wilayah yurisdiksi di
wilayah perairan laut di luar laut teritorial yang meliputi : Zona Ekonomi
Eksklusif , Landas Kontinen, dan Zona Tambahan dimana atas wilayah yurisdiksi
ini Indonesia memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainya
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional .
13
. Pasal 4 UU No.43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara
14
3. Laut Teritorial
Laut territorial atau yang dalam bahasa inggris disebut “ maritime belt”
adalah sebuah kawasan kelautan yang dimiliki oleh suatu negara pantai , yang
mana dalam kawasan kelautan tersebut berlaku jurisdiksi negara pantai tersebut.
Dalam bahasa yang lebih sederhana dalam laut teritorial , negara pantai memiliki
kedaulatan absolute atas apa yang terjadi di dalamnya. Sebelum diadakan
Konvensi Hukum Laut Tahun 1930, sejarah dunia telah mencatat bahwa banyak
negara pantai yang dengan sendirinya dan tanpa pemberitahuan dengan negara
tetangga, melakukan klaim atas lebar laut teritorialnya15
“The sovereignity extends to the air space over the territorial sea as well as to its bed and subsoil.
. Dalam UNCLOS 1982
sudah ditegaskan tentang lebar laut teritorial seluas 12 mil laut diukur dari titik
surut pantai , serta disebutkan bahwa
16
Kedaulatan negara-negara pantai menyambung ke ruang udara diatas laut
teritorial, demikian pula ke dasar lautan dan tanah dibawahnya , serta
negara-negara akan melaksanakan kedaulatanya atas laut teritorial dengan memerhatikan
ketentuan-ketentuan konvensi ini dan aturan-aturan lain dari hukum
4. Zona Ekonomi Ekslusif
Zona Ekonomi Eksklusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan
dengan laut teritorial , yang tunduk pada rezim khusus yang ditetapkan
berdasarkan hak-hak dan yurisdiksi negara pantai dan hak-hak serta
kebebasan-kebebasan negara lain, diatur ketentuan-ketentuan yang relevan dengan Konvensi
ini18. Zona Ekonomi Eksklusif tidak melebihi 200 mil laut dari garis pangkal
dari mana lebar laut teritorial diukur.19
Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983
tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia , dimana tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia ini merupakan realisasi juridis perluasan wilayah laut ,
terutama yang menyangkut keadaan ekonomi dalam pengeloloahan , pengawasan
dan pelestarianya. Sehingga upaya untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa
dengan cara memanfaatkan sumber daya alam laut dapat dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya20
18
. Pasal 55 , UNCLOS 1982
19
. Pasal 57 , UNCLOS 1982
20
.P. Joko Subagyo , Hukum Laut Indonesia, Rineka Cipta , Jakarta, 2005, hal 63.
. Menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia, bahwa Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut teritorial Indonesia yang meliputi
dasar laut , tanah dibawahnya dan air diatasnya dengan batas terluar 200 mil laut
di ukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia. Dimana apabila Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif
maka batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan negara tersebut ditetapkan
dengan persetujuan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan. 21
5. Landas Kontinen
Landas kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah
dibawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak diluar laut
teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratanya hingga pinggiran
luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal
darimana lebar laut teritorial diukur , dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak
mencapai jarak tersebut22
Di Indonesia landas kontinen merupakan suatu aset ekonomi kelautan yang
sangat diperlukan untuk pertumbuhan perekonomian Indonesia yang didasarkan
kepada suatu fakta geologis bahwa di sepanjang sebagian besar pantai Indonesia ,
tanahnya menurun ke dalam laut, sampai pada akhirnya di suatu tempat, tanah
tersebut jatuh curam di kedalaman laut. Air di atas landas kontinen dapat
dimanfaatkan dengan pemakaian peralatan teknik yang ada untuk eksplorasi dan
eksploitasi minyak dan gas bumi di landas kontinen Indonesia. .
23
21
.Pasal 2 dan 3 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
22
.Pasal 76 ayat (1) , UNCLOS 1982
23
F. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang akan ditempuh dalam memproleh data-data
atau bahan dalam penelitian meliputi :
1. Jenis dan sifat Penelitian
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis melakukan penelitian hukum
normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu pada
norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan
pengadilan24
2. Data dan Sumber Data
. Pada penelitian hukum normatif yang dipergunakan adalah merujuk
pada sumber bahan hukum, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma
hukum yang terdapat dalam berbagai perangkat hukum.
Adapun sifat penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis , yaitu
penelitian ini hanya untuk menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang
terjadi terhadap suatu permasalahan yang telah dikemukakan dengan membatasi
kerangka studi kepada suatu analisis terhadap Pengaturan tentang illegal fishing
di wilayah perairan yurisdiksi Indonesia.
Data yang digunakan dalam penelitian skripsi adalah diproleh dari :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, terdiri dari:
peraturan perundang-undangan yang terkait , seperti : undang-undang
perikanan , undang-undang tentang wilayah negara .
24
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer , seperti : hasil penelitian hukum , karya dari pakar hukum dan
lain sebagainya.
c. Bahan hukum tertier , yaitu bahan-bahan primer dan sekunder seperti Kamus
Bahasa Indonesia dan Ensiklopedia.25
3. Alat Pengumpulan Data
Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan , yaitu pengumpulan data dengan cara penelusuran kepustakaan ,
Penelitian kepustakaan ( library research) yang dilakukan dengan cara meneliti sumber bacaan yang berhubungan dengan topik dalam skripsi ini, seperti
artikel-artikel , buku-buku hukum , peraturan perundang-undangan, pendapat para sarjana
dan bahan lainya.
4. Analisis Data
Untuk mengelola data yang di dapat dari suatu dokumen dan penelitian lapangan ,
maka hasil penelitian menggunakan analisis yuridis . Analisis yuridis ini pada
dasarnya merupakan penerapan tentang teori-teori tersebut dapat ditarik kepada
suatu hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan dalam skripsi ini.
Data yang dianalisis memakai metode deduktif dan induktif.
25
G. Sistematika Penulisan
Sistematika Penulisan ini terdiri dari 5 Bab masing-masing bab terdiri dari :
Bab I membahas tentang latar belakang , rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, keaslian penulisan , tinjauan kepustakaan , metode penelitian
dan sistematika penulisan.
Bab II membahas tentang yurisdiksi negara pantai di atas wilayah laut
berdasarkan ketentuan hukum laut internasional , terdiri dari : sejarah hukum laut,
pengertian yurisdiksi negara pantai .
Bab III membahas tentang yurisdiksi negara Indonesia atas pencurian ikan
(illegal fishing) oleh nelayan asing di wilayah laut Indonesia , terdiri dari pengertian pencurian ikan (illegal fishing), rezim laut menurut UNCLOS 1982 .
Bab IV membahas tentang upaya Indonesia dalam menangani masalah
pencurian ikan (illegal fishing) di wilayah laut Indonesia yang terdiri dari dampak kegiatan IUU fishing bagi Indonesia serta prosedur penangkapan kapal asing yang mencuri ikan di wilayah laut Indonesia menurut hukum nasional dan
internasional.
Bab V membahas tentang penutup dari penelitian ini yang terdiri dari
BAB II
YURISDIKSI NEGARA PANTAI DI ATAS WILAYAH LAUT BERDASARKAN KETENTUAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL
A. Sejarah Hukum Laut Internasional
Sejak laut dipakai untuk kepentingan pelayaran, perdagangan, dan sebagai
sumber kehidupan seperti penangkapan ikan, dan kekayaan alam, sejak itu pulalah
ahli-ahli hukum mulai mencurahkan perhatianya pada hukum laut. Pada abad
ke-12 telah dikenal beberapa kompilasi dari peraturan- peraturan yang dipakai di
Eropa, seperti kompilasi dari hakim-hakim, kapten-kapten kapal dan
pedagang-pedagang ternama yang diterbitkan pada tahun 1494 dan dinamakan “consolato del mare” (Konsulat dari Lautan).26
Kemudian pada abad ke-16 dan ke 17 keinginan untuk menguasai lautan
merupakan hal yang diperebutkan oleh negara-negara maritim di Eropa yaitu:
Spanyol dan Portugis tahun 1949. Perjanjian ini dalam perkembanganya
memproleh tantangan dari Inggris dibawah kepemimpinan Ratu Elizabeth yang
mengkehendaki kebebasan di lautan. Dalam konteks ini Ratu Elizabeth I pernah
berkata: “Penggunaan laut dan udara adalah bebas bagi semua orang dan oleh
karena jenisnya yang khusus, laut tidak akan dapat dimiliki oleh siapa pun dan
oleh negara manapun juga”27
26
Albert W. Koers.Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, Gadjah Mada University Press,1994. hal 76
27
Dari doktrin di atas bisa disimpulkan bahwa Inggris di bawah
kepemimpinan Ratu Elizabeth I mengakui kebebasan mutlak atas laut. Selain
Inggris, Belanda juga dengan tegas menentang praktik-praktik monopoli Spanyol
dan Portugis atas laut, yang tercermin dalam karangan Ahli Hukum Belanda yang
bernama Grotius pada tahun 1609 yang berjudul Mare Liberumm ( Laut yang bebas). Adapun alasan-alasan yang dipakai Grotius untuk menentang monopoli
Spanyol dan Portugis, adalah:
1. Grotius berpendapat bahwa, Laut adalah unsur yang bergerak dengan cair,
orang-orang tidak bisa secara permanen tinggal dilautan, laut hanya digunakan
sebagai tempat singgah dan jalur transportasi dalam rangka
keperluan-keperluan tertentu dan kemudian kembali lagi ke daratan. Sedangkan di darat
manusia bisa hidup dan berkembang secara permanen, melakukan kekuasaan
secara efektif dan berkelanjutan. Oleh karena itu laut tidak bisa dimiliki oleh
siapa pun (res extra commercium). Laut tidak dapat berada dibawah kedaulatan negara mana pun di dunia ini dan laut menjadi bebas.
2. Sebagai seorang Ahli Hukum yang beraliran Hukum Alam, Grotius
mendasarkan prinsipnya dengan memakai falsafah hukum alam, yang
berbunyi:
“ Tuhan menciptakan bumi ini sekalian dengan laut-lautnya,dan ini berarti agar bangsa-bangsa di dunia dapat berhubungan satu sama lain untuk kepentingan berhembus bersama, angin berhembus dari segala jurusan dan membawa kapal-kapal ke seluruh pantai benua. Hal ini menandakan bahwa laut itu bebas dan dapat digunakan oleh siapa pun.”28
28
Boer Hauna, Pengertian,Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global,
Prinsip Grotius pada awalnya mendapat dukungan dari Inggris untuk
menjegal langkah Spanyol dan Portugis yang terobsesi untuk menguasai lautan.
Tetapi, beberapa waktu kemudian pada zaman kepemimpinan Raja James I (1960)
sikap inggris mulai berubah terhadap Belanda, Inggris menjadi lebih ketat dalam
menjaga Laut Utara, nelayan dan pedagang Belanda dan Perancis dilarang untuk
berlayar dan beraktivitas di Laut Utara. Kondisi dan perkembangan terbaru seperti
ini akhirnya menimbulkan perdebatan yuridis yang sangat sengit antara yurist
Belanda Grotius yang mempertahankan Mare Liberum dengan pembelaan selden dari Inggris yang bergejolak dalam bukunya Mare Clausum. Dalam prinsip selden disebutkan bahwa ada 3 (tiga) macam laut, yaitu: (1) Laut yang berbatasan dengan
pantai, (2) Laut lepas, (3) Laut milik Inggris. Yang dimaksud selden dengan laut
Inggris adalah Laut yang membentang dari pantai Inggris sampai ke dekat pantai
Spanyol Selatan. Hal ini tentu saja menuai protes dari negara-negara lain.
Tetapi pada Abad ke-18, Inggris di bawah komando Ratu Anne mulai
melunak. Dikarenakan pada saat itu inggris menjadi negara yang kuat di lautan
(negara maritim), sadar dengan kemampuan negaranya yang tidak bisa ditandingi
di Eropa, Ratu Anne pun tidak lagi menuntut hak-hak khusus di lautan dan mulai
memberikan kebebasan di lautan.
Sejak berakhirnya Perang Dunia I dan Perang Dunia II negara-negara di
seluruh belahan dunia menjadi sadar akan potensi positif dan negatif dari laut, dan
menyadari pula bahwa laut harus diatur sedemikian rupa supaya berbagai
kepentingan negara-negara atas laut dapat terjaga29
29
Mirza Satria Buana,S.H,, Op.Cit . hal 68
negara-negara menganggap hal ini penting dan sepakat untuk membentuk suatu
aturan (hukum) yang kemudian dikenal dengan sebutan hukum laut internasional.
Hukum laut internasional adalah asas-asas atau kaedah-kaedah yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara yang berkenaan
dengan laut, baik laut yang berada di dalam wilayah maupun laut di luar wilayah
atau laut lepas, baik dalam aktivitas dalam pemanfaatanya maupun akibat negatif
dari pemanfaatnya.30
Kepentingan-kepentingan dunia atas hukum laut yang telah terlihat dalam
perjalanan sejarah dunia mencapai puncaknya pada abad ke-20. Modernisasi dan
Globalisasi dalam segala bidang kehidupan, bertambah pesatnya perdagangan
dunia, tambah canggihnya komunikasi internasional, dan pertambahan penduduk
dunia, kesemuanya itu telah membuat dunia membutuhkan suatu pengaturan dan
tatanan hukum laut yang lebih sempurna.31
1. The Hague Codification Conference in 1930 ( Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa)
Di dalam dekade-dekade dari Abad ke-20 telah empat kali diadakan
usaha-usaha untuk memproleh suatu himpunan hukum laut yang menyeluruh, yaitu:
Konvensi ini adalah Konvensi pertama yang membahas tentang hak-hak
dan kewajiban-kewajiban negara pantai atas laut. Tetapi Konvensi ini gagal
menghasilkan ketetapan-ketetapan internasional dikarenakan tidak terdapatnya
30
Pengertian, sejarah dan perkembangan hukum laut internasional, sebagaimana dimuat dalam
http://qiechester.blogspot.com/2013/06/pengertian-sejarah-dan-perkembangan.html?m=1/ Diakses pada tanggal 17 februari 2015 pukul 16:00 WIB.
31
persesuaian paham tentang lebar laut teritorial dan pengertian mengenai zona
tambahan.32
2. The UN Conference on the law of the sea in 1958 (Konferensi PBB tentang Hukum Laut)
Konvensi kedua atau Konvensi pertama yang diselengarakan dibawah
naungan PBB adalah Konvensi Hukum Laut 1958 di Jenewa, yang mana
Konvensi ini merupakan tahap yang penting dan bersejarah bagi perkembangan
Hukum Laut Kontemporer, karena berhasil menghasilkan 4 (empat) kesepakatan
internasional, seperti:
a. Convention on the Territorial Sea and Contigious Zone (Konvensi tentang laut teritorial dan zona tambahan)
b. Convention on the High Sea (Konvensi tentang laut lepas).
c. Convention on Fishing amd Conservation of the Living Resources of the High Sea (Konvensi tentang perikanan dan kekayaan alam hayati di laut lepas)
d. Convention on Continental Shelf (Konvensi tentang Landas dan Kontinen).33 Walaupun konvensi ini dinilai sukses , namun hal tersebut tidak lepas dari
kegagalan menentukan lebar laut teritorial negara-negara pantai sehingga belum
ada keseragaman pendapat tentang itu.
3. The UN Conference on the Law of the Sea in 1960 (Konferensi PBB tentang Hukum Laut 1960)
32
P. Joko Subagyo, Op.Cit. hal 3
33
Konvensi PBB tahun 1960 secara singkat dilakukan untuk membahas
permaslahan yang belum selesai dalam Konvensi yang terdahulu (Konvensi 1958)
tentang lebar laut teritorial. Namun karena kurang 1 suara dalam proses
pemungutan suara yang mengakibatkan konvensi ini gagal mengahasilkan
konvensi tentang laut teritorial.
4. The UN Conference on The Law of the Sea in 1982 (Konferensi Hukum Laut 1982)
Konvensi Hukum Laut 1982 adalah puncak karya dari PBB tentang Hukum
Laut , yang disetujui di Montego Bay, Jamaika, pada 10 Desember 1982, pada
sidangnya yang ke-11. Konvensi Hukum Laut dengan hasil gemilang ini
ditandatangani oleh 119 negara. Konvensi Hukum Laut 1982 terdiri dari 17
bagian dan 9 Annex. Konvensi ini dianggap sebagai karya hukum masyarakat
internasional yang terbesar di abad ke-20. Selain yang terbesar, konvensi ini
dianggap sebagai konvensi yang terpanjang, dan juga yang terpenting dalam
sejarah hukum internasional.
Dianggap sebagai yang terbesar karena konvensi ini diikuti oleh lebih dari
160 negara, dengan sekitar 4.500 anggota delegasi dengan beragam disiplin dan
kompetensi keilmuan seperti diplomat, ahli hukum , ahli pertambangan, ahli
perikanan, perkapalan, aktivis lingkungan hidup dan berbagai profesi lain.
Terpanjang, karena Konvensi ini berlangsung selama lebih dari 9 (Sembilan)
tahun, dari Desember 1973 sampai dengan penandatanganan persetujusn konvensi
September 1982, yang secara keseluruhan melaksanakan 12 kali sidang.
di dunia untuk berhasil meskipun banyak dan rumitnya masalah-masalah yang
dihadapin.34
B. Pengertian Yurisdiksi Negara Pantai
Yurisdiksi negara dalam hukum internasional merupakan hak dari suatu
negara untuk mengatur dan mempengaruhi dengan langkah-langkah yang bersifat
legislatif, yudikatif, eksekutif atas hak-hak individu, milik atau harta kekayaanya,
prilaku-prilaku atau pristiwa-pristiwa yang tidak semata-mata merupakan masalah
dalam negeri35. Yurisdiksi juga merupakan perwujudan dari kedaulatan,
kedaulatan negara tidak boleh dilaksanakan di negara berdaulat yang lain, kecuali
atas izin dari negara yang bersangkutan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
yurisdiksi memiliki dua pengertian yaitu: a) Kekuasaan mengadili; lingkup
kekuasaan kehakiman; peradilan, b) Lingkungan hak dan kewajiban, serta
tanggung jawab di suatu wilayah atau lingkungan kerja tertentu; kekuasaan
hukum36
34
Ibid , hal 89.
35
Yurisdiksi Negara, sebagaimana dimuat dalam
http://am8ara.wordpress.com/2012/05/01/yurisdiksi-negara/ Diakses pada tanggal 18 februari 2015
36
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa indonesia, edisi ketiga, Jakarta : Balai pustaka , 2005 , hal 1278.
, sehingga bisa dikatakan bahwa yurisdiksi negara pantai adalah hak dari
suatu negara yang memiki pantai untuk melakukan suatu kegiatan di wilayah
kekuasaanya serta mempunyai wewenang atas wilayah tersebut jika terjadi suatu
pelanggaran hukum yg dilakukan oleh suatu negara di wilayah perairan dan
wilayah yurisdiksinya sesuai dengan ketutentuan hukum internasional. Yurisdiksi
dapat digolongkan kedalam prinsip-prinsip jurisdiksi, yaitu : yurisdiksi teritorial ,
yurisdiksi teritorial, negara mempunyai yurisdiksi terhadap semua persoalan dan
kejadian di dalam wilayahnya. Prinsip ini adalah prinsip yang paling penting
dalam hukum internasional.37
Pada dasarnya negara pantai berhak untuk melaksanakan yurisdiksinya di
laut teritorial38 , prinsip yurisdiksi teritorial yang dimiliki oleh suatu negara pantai
tampak dalam hasil Konfrensi Kodifikasi Hukum Laut Den Hag 1930 . Negara
pantai dapat menikmati yurisdiksi eksklusif atas tanah dan lapisan tanah
dibawahnya sejauh 12 mil laut diukur dari garis dasar sepanjang pantai yang
mengelilingi negara tersebut , yang dimaksud dengan garis dasar disini adalah
garis yang ditarik dari pantai pada saat air laut surut. Negara pantai mempunyai
kedaulatan atas laut teritorial, ruang udara diatasnya, dasar laut dan tanah
dibawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya39
37
Tinjauan Umum Tentang Yurisdiksi Negara , sebagaimana dimuat dalam
http://scribd.com/doc/97763144 Diakses pada tanggal 18 februari 2015
38
http://mylittlefairy.blogspot.com/2010/11/yurisdiksi.html?m=1 / Diakses pada tanggal 18 februari
39
Makalah hukum laut , sebagiamana dimuat
https://ibelboyz.wordpress.com/2011/06/04 / Diakses pada tanggal 18 februari 2015
, namun tidak
semua negara memilliki pantai hanya negara yang memiliki pantai yang berhak
melaksanakan yurisdiksinya di wilayah lautnya sesuai dengan apa yang sudah
C. YURISDIKSI NEGARA PANTAI DI WILAYAH LAUT MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL
Kedaulatan suatu negara pantai selain di wilayah daratan dan perairan
pedalaman dan dalam suatu hal negara kepulauan dengan perairan kepulaunnya,
meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan denganya yang dinamakan laut
teritorial40
1. Perairan pedalaman
. Di wilayah tersebut baik negara pantai maupun negara yang
menyatakan dirinya adalah negara kepulauan dapat melaksanakan yurisdiksinya
sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur di dalam UNCLOS 1982. Adapun
yurisdiksi negara pantai dan negara kepulauan di wilayah laut yang meliputi:
perairan pedalaman , laut teritorial, perairan kepulauan, Zona Ekonomi Eksklusif
, zona tambahan dan landas kontinen menurut hukum laut Internasional adalah
sebagai berikut
Perairan pedalaman adalah perairan yang berada pada sisi darat (dalam)
garis pangkal, seperti perairan laut pada mulut sungai, teluk dan pelabuhan. Pada
perairan pedalaman ini, negara pantai memiliki kedaulatan penuh atasnya. Pada
prinsipnya negara-negara lain tidak dapat mengadakan atau menikmati hak lintas
damai di perairan ini. Namun, jika perairan pedalaman ini terbentuk karena
adanya penarikan garis pangkal lurus, maka hak lintas damai di perairan tersebut
dapat dinikmati negara lain.41
40
Pasal 2 ayat 1 UNCLOS 1982
41
2. Laut Teritorial
Laut teritorial adalah laut yang terletak di sisi luar garis pangkal yang tidak
lebih lebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Negara pantai memiliki
kedaulatan penuh di laut teritorialnya, kedaulatan ini meliputi ruang udara
diatasnya serta dasar laut dan tanah dibawahnya (pasal 2 konvensi hukum laut
1982). Selain itu di dalam konvensi hukum laut tahun 1982 ada juga diatur
mengenai hak lintas damai di laut teritorial dimana peraturan tersebut berlaku
untuk semua kapal. Dengan tunduk pada Konvensi Hukum Laut 1982, kapal
semua negara, baik berpantai maupun tak berpantai, dapat menikmati hak lintas
damai melalui laut teritorial42. Istilah perairan teritorial ini mengandung arti
bahwa perairan itu sepenuhnya merupakan bagian wilayah suatu negara,
sebagaimana halnya dengan wilayah daratanya43. Adapun hukum dan peraturan
dari negara pantai yang berkaitan dengan lintas damai adalah:44
1. Negara pantai dapat membuat peraturan perundang-undangan sesuai dengan
ketentuan konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainya yang bertalian
dengan lintas damai melalaui laut teritorial, mengenai semua atau setiap hal
berikut:
a) Keselamatan navigasi dan pengaturan lalu lintas maritim;
b) Perlindungan alat-alat pembantu dan fasilitas navigasi serta fasilitas atau
instalasi lainya;
c) Perlindungan kabel dan pipa laut;
42
Pasal 17 UNCLOS 1982
43
J.L.Brierly, Hukum Bangsa-Bangsa, Jakarta:Bhratara,1996. Hal 140
44
d) Konservasi kekayaan hayati laut;
e) Pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan negara pantai;
f) Pelestarian lingkungan negara pantai dan pencegahan, pengurangan, dan
pengendalian pencemaranya;
g) Penelitian ilmiah kelautan dan survey hidrografi;
h) Pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiscal,
imigrasi, atau saniter negara pantai.
2. Peraturan perundang-undangan demikian tidak berlaku bagi desain, konstruksi,
pengawakan, atau peralatan kapal asing, kecuali apabila peraturan
perundang-undangan tersebut melaksanakan peraturan atau standar internasional yang
diterima secara umum.
3. Negara pantai harus mengumumkan semua peraturan perundang-undangan
tersebut sebagai mana mestinya.
4. Kapal asing yang melaksanakan hak lintas damai melalui laut teritorial harus
mematuhi semua peraturan perundang-undangan demikian dan semua
peraturan internasional bertalian dengan pencegahan tubrukan di laut secara
umum
2. Selat
Selat yang dimaksud disini adalah selat yang dipergunakan untuk pelayaran
internasional (straits used for international navigation). Hal ini diatur dalam Pasal 34 sampai Pasal 35 Konvensi Hukum Laut 1982. Negara-negara yang berada di
tepi selat memiliki kedaulatan (yurisdiksi) penuh di dalamnya. Ada dua kategori
menghubungkan laut lepas atau ZEE lainya (pasal 37 KHL 1982), dalam kategori
berikut ini berlaku hak lintas transit kapal-kapal asing. Selanjutnya selat-selat
yang menghubungkan laut lepas atau ZEE dengan perairan teritorial suatu negara
asing.45
3. Zona Tambahan
Starke berpendapat bahwa zona tambahan adalah suatu jalur perairan yang
berdekatan dengan batas jalur maritim, tidak termasuk kedaulatan negara pantai
tetapi dalam zona itu negara pantai dapat melaksankan hak-hak pengawasan
tertentu untuk tujuan kesehatan atau peraturan-peraturan lainya.46
1. Dalam suatu zona yang berbatasan dengan laut teritorialnya, negara pantai
dapat melaksanakan pengawasan untuk keperluan:
Zona tambahan diatur pada Pasal 33 KHl 1982 yang menentukan sebagai
berikut:
a. Pencegahan pelanggaran terhadap peraturan bea cukai, fiskal, keimigrasian
atau sanitasi di dalam wilayah atau laut teritorialnya;
b. Menjatuhkan hukuman/sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut di
atas yang dilakukan di dalam wilayah laut teritorialnya
2. Zona tambahan tidak boleh melebihi 24 mil laut dari garis pangkal yang
digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial
45
Huala Adolf, Op.Cit hal 149
46
4. Zona Ekonomi Eksklusif
Mengenai jurisdiksi negara pantai di dalam zona ekonomi eksklusif diatur
dalam pasal 56 ayat 1 sub (b) Konvensi Hukum Laut 1982 yang meliputi:
a) Jurisdiksi atas pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan
bangunan-bangunan,
b) Jurisdiksi dibidang riset ilmiah kelautan
c) Jurisidksi dibidang perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
Jurisdiksi memiliki dua arti yaitu dalam arti sempit dan dalam arti sempit
dan dalam arti luas. Dalam arti sempit “jurisdiksi” berarti terbatas pada kekuasaan
pengadilan untuk menegakan hukum, sedangkan dalam arti luas, jurisdiksi berarti
kekuasaan menegakkan hukum yang tidak hanya dimiliki oleh pengadilan tetapi
juga oleh aparat administratif.47
Konvensi Hukum Laut PBB 1982 ternyata menganut pengertian “jurisdiksi”
dalam arti luas. Hal ini bisa dilihat dalam pasal 60 ayat 2 yang dengan tegas
menyatakan bahwa jurisdiksi negara pantai meliputi penegakan hukum (oleh
pengadilan) atas pelanggaran hukum terhadap pulau buatan, instalasi dan
bangunan. Selain itu jurisdiksi negara pantai juga meliputi penegakan peraturan
perundang-undangan negara pantai yang bertalian dengan bea cukai, fisikal,
kesehatan, keselamatan, dan imigrasi (tentunya oleh aparat administratif) di pulau
buatan, instalasi dan bangunan yang ada di ZEE. Hal ini sesuai dengan pasal 56
sub b (ii). Jurisdiksi administratif semacam itu dapat dilihat dalam pasal 64 ayat 4
terutama yang berkenaan dengan kewenangan negara pantai mengeluarkan izin
47
penangkapan ikan bagi warga negara asing terutama keharusan membayar bea
tertentu dan pungutan lainya. Hal ini tentunya sesuai dengan ketentuan Pasal 56
ayat 1 sub b (iii) UNCLOS yang mengatur jurisdiksi negara pantai dibidang
perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.48
a) Negara pantai berhak untuk membuat aturan termasuk mengeluarkan ijin
tentang riset ilmiah kelautan di ZEE dan landas kontinen. Dan khusus
mengenai penyelenggaraan riset demikian di ZEE, adanya izin negara pantai
merupakan suatu keharusan.
Lebih jauh, jurisdiksi administratif di bidang riset ilmiah kelautan seperti
apa yang disebut dalam Pasal 56 sub b (iii) UNCLOS, dapat dilihat dalam Pasal
246 UNCLOS yang isinya sebagai berikut:
b) Bila tujuan riset ilmiah kelautan itu demi kepentingan keilmuan, kepentingan
umat manusia, kepentingan perdamaian, adalah merupakan keharusan bagi
negara pantai untuk mengeluarkan ijinya, kecuali:
1) Riset itu mempunyai arti langsung bagi eksplorasi dan eksploitasi kekayaan
alam, baik hayati maupun non hayati.
2) Riset itu meliputi penyebaran dalam landas kontinen, penggunaan bahan
peledak atau pemasukan bahan-bahan berbahaya kedalam lingkungan laut
3) Riset itu meliputi kondtruksi, operasi atau penggunaan pulau-pulau buatan,
instalasi-instalasi atau bangunan-bangunan sebagaimana tersebut dalam
pasal 60 dan 80 UNCLOS 1982.
48
4) Riset itu mengandung informasi yang disampaikan menurut Pasal 248
UNCLOS mengenai sifat dan tujuan proyek yang tidak tepat, atau apabila
negara yang menyelengarakan riset atau organisasi internasional yang
kompeten mempunyai kewajiban yang belum dilaksanakan terhadap negara
pantai berdasarkan suatu proyek riset terdahulu.
5. Landas Kontinen
Hak-hak negara pantai atas landas kontinen
a) Negara pantai memiliki hak eksploitasi dan eksploitasi sumber kekayaan
alamnya49
b) Negara pantai memiliki hak eksklusif membangun pulau buatan intalasi, dan
bangunan diatas landas kontinen ;
50
c) Negara pantai memiliki hak eksklusif untuk mengizinkan dan mengatur
pemboran pada landas kontinen untuk segala keperluan ;
51
d) Hak negara pantai untuk eksploitasi tanah dibawah landas kontinen dengan
melakukan penggalian terowongan, tanpa memandang kedalaman perairan
diatas tanah dan dibawah landas kontinen tersebut
;
52
e) Hak negara pantai atas landas kontinen tidak tergantung pada
6. Perairan Kepulauan
Sebagai konsekuensi dari penarikan garis pangkal kepulauan , timbul
persoalan mengenai perairan laut yang terletak pada sisi dalamnya. Pasal 49
UNCLOS ayat 1 dan 2 menyatakan kedaulatan suatu negara kepulauan meliputi
perairan yang ditutup oleh garis pangkal kepulauan yang ditarik sesuai dengan
ketentuan Pasal 47 UNCLOS 1982, disebut sebagai perairan kepulauan, tanpa
memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai, Kedaulatan ini meliputi
ruang udara diatas perairan kepulauan , juga dasar laut dan tanah dibawahnya, dan
sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Dengan kata lain, perairan
kepulauan merupakan perairan yang berada atau terletak pada sisi dalam dari garis
pangkal kepulauan. Pasal 50 UNCLOS mengatur tentang penetapan batas
perairan pedalaman. Ditegaskan bahwa di dalam perairan kepulaunnya , negara
kepulauan dapat menarik garis-garis penutup (closing lines) untuk tujuan penetapan batas-batas perairan pedalaman54
Pada perairan kepulauan ini negara kepulauan mempunyai hak dan
kewajiban yang sudah diatur di dalam UNCLOS . Dalam pasal 51 ayat 1 dan 2
UNCLOS diatur tentang perjanjian yang berlaku antara negara kepulauan dan
negara lain mengenai suatu objek ataupun pelaksanaanya yang terkait dengan
perairan kepulauanya , sebagai contoh dari perjanjian yang dimaksud adalah
berupa perjanjian kerja sama tentang penelitian ilmiah kelautan, perjanjian tentang
penangkapan ikan dan sumber daya hati laut lainya . Mengenai hak lintas damai,
ditegaskan dalam pasal 52 ayat 1 UNCLOS bahwa kapal dari semua negara dapat
54
menikmati hak lintas damai melalui perairan kepulauan. Namun, jika kondisi
mengharuskan, misalnya untuk melindungi keamananya , negara kepulauan dapat
menangguhkan sementara waktu hak lintas damai tersebut di daerah atau area
tertentu di perairan kepulauanya. Penangguhan berlaku bagi semua kapal , jadi
tidak boleh diterapkan secar diskriminatif. Disamping itu pada perairan kepulauan
juga diakui adanya hak alur laut kepulauan yang secara khusus diatur tersendiri
pada pasal 53 ayat 1-12 UNCLOS dengan suatu pengaturan yang cukup banyak.55
55
BAB III
YURISDIKSI NEGARA INDONESIA ATAS PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) OLEH NELAYAN ASING DI WILAYAH
LAUT INDONESIA
A. Pengertian Pencurian Ikan (illegal fishing)
Pengertian illegal fishing adalah suatu kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang berlaku, aktifitasnya
tidak dilaporkan kepada suatu institusi atau lembaga perikanan yang tersedia atau
berwenang. Hal ini dapat terjadi di semua kegiatan perikanan tangkap tanpa
tergantung pada lokasi, target species, alat tangkap yang digunakan dan
eksploitasi serta dapat muncul disemua tipe perikanan baik sekala kecil dan
industry perikanan di zona yurisdiksi nasional maupun internasional.
Illegal fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan :
1. Yang dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu perairan yang menjadi
yurisdiksi suatu negara tanpa izin dari negara tersebut atau bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Yang bertentangan dengan peraturan nasional yang berlaku atau kewajiban
internasional.
3. Yang dilakukan oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang
tidak sesuai dengan ketentuan pelestarian dan pengelolahan yang diterapkan
oleh organisasi tersebut atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.56
B. Rezim Laut Menurut UNCLOS 1982
Konfrensi Perserikatan Bangsa-Bangsa telah berhasil mewujudkan hukum
laut internasional melalui United Nation Convention on the Law of Sea (UNCLOS 1982) yang telah ditandatangani oleh 177 negara peserta termasuk Indonesia di
Montego bay, Jamaica pada tanggal 10 desember 1982 dan telah diratifikasi oleh
Republik Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang
Pengesahan United Nation Convention on the Law of Sea 1982. Dibandingkan dengan Konvensi Jenewa 1958, UNCLOS mengatur rezim-rezim hukum laut
lengkap satu sama lain tidak dapat dipisah-pisahkan antara lain: Laut teritorial
(territorial sea), zona tambahan (contiguous zone), zona ekonomi eksklusif
(exclusive economic zone), laut lepas (high sea) dan landas kontinen (continental shelf).57
1. Laut Teritorial
a. Status Hukum Laut Teritorial
Pasal 2 ayat 1, 2, dan 3 Konvensi Hukum Laut 1982 menegaskan tentang
status hukum laut teritorial, ruang udara di atas laut teritorial dan dasar laut serta
tanah dibawahnya. Singkatnya, semuanya itu merupakan bagian dari wilayah
negara pantai, dan oleh karena itu, tunduk pada kedaulatan negara pantai tersebut.
56
Illegal fishing, sebagaimana dimuat dalam
http://astekita.wordpress.com/2011/04/06/illegal-fishing/ Diakses pada tanggal 2 Maret 2015
57
Dalam hal suatu negara pantai merupakan negara kepulauan (archipelagic state), wilayahnya dan juga kedaulatanya meliputi juga perairan kepulaunya
(archipelagic waters). Namun pelaksanaan kedaulatanya itu harus tunduk pada ketentuan konvensi dan peraturan hukum internasional lainya. Pasal 2 ayat 1, 2 ,
dan 3 Konvensi Hukum Laut 1982 ini sebenarnya sejiwa dan senapas dengan
pasal 1 ayat 1 dan 2 serta pasal 2 konvensi tentang laut teritorial dan zona
tambahan dari Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958, hanya saja formulasinya lebih
tegas dan rinci.
b. Lebar Laut Teritorial
Berbeda dengan konfrensi Hukum Laut Jenewa 1958 dan 1960 yang tidak
berhasil mencapai kata sepakat tentang lebar laut teritorial, konfrensi hukum laut
PBB (1973-1982) ternyata berhasil mencapai kata sepakat sehingga sudah
terdapat keseragaman mengenai lebar laut teritorial tersebut, yaitu selebar
maximum 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Hal ini ditegaskan dalam pasal 3
konvensi bahwa setiap negara berhak menetapkan lebar laut teritorialnya hingga
suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal yang
ditentukan sesuai konvensi. Dengan demikian semenjak mulai berlakunya
konvensi hukum laut PBB 1982, terwujudlah adanya kepastian hukum tentang
lebar laut teritorial yang ada pada beberapa dasawarsa sebelumnya tetap tidak ada
kepastian hukum.58
c. Garis Pangkal Normal , Garis Pangkal Lurus dan Garis Pangkal Kepulauan
58