commit to user i
MODAL SOSIAL DAN REFLEKSIVITAS DALAM MASYRAKAT RISIKO
( Suatu Kajian terhadap Anggota Klub Motor
Wonogiri King Club (WKC) )
SKRIPSI
Disusun guna Melengkapi Tugas Akhir
dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Sosial Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
MAYA ATRI KOMALASARI
D0308043
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user iv MOTTO
“Hidup bukanlah sekedar berusaha mempertahankan kehidupan, tetapi berusaha
menghidupi kehidupan”
( Anonimus )
“Tiga jalan untuk mencapai kesuksesan : percaya pada diri sendiri , selalu jujur,
bekerja keras dan tekun “
(A. Aziz Salim Basyariahil )
commit to user v
PERSEMBAHAN
Karya ini penulis persembahkan kepada :
1. Bapakku Purnomo dan Ibuku
Sri Suyati tercinta
2. Kakakku Beny Ery Cahyono
tercinta
3. Alm. Nenek tercinta
4. Teman-teman Sosiologi
commit to user vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Tiada lagi kata yang pantas terucap selain rasa syukur yang selalu saya panjatkan kehadirat
Allah SWT atas segala limpahan rahmat, anugerah serta karunia-Nya sehingga penulis berhasil
menyelesaikan skripsi dengan judul “Modal Sosial dan Refleksivitas dalam Masyarakat Risiko
(Suatu Kajian terhadap Anggota Klub Motor Wonogiri King Club (WKC))”. Pada kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
melaksanakan penelitian dan penyusunan skripsi ini :
1. Bapak Prof. Drs. Pawito, Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Dr. Bagus Haryono, M.Si, selaku Ketua Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Ibu Dra. Rahesli Humsona, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang bersedia
memberikan bimbingan dan pengarahan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh dosen dan segenap karyawan/wati Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta, atas segala ilmu dan pengalaman belajar yang baik.
5. Ketua Klub Motor Wonogiri King Club (WKC) Bapak Anang Mardiyanto yang telah
memberikan izin penelitian pada penulis dan membantu memberikan data sekunder terkait
commit to user vii
6. Seluruh anggota Klub Motor Wonogiri King Club (WKC), khususnya Erwin, Faisal, Mas
Beny, Mas dondon, Mas Susilo, Mas Anthon, Mas Prasetyo, Mas Agus, Mas Deva dan
Mas Anang, yang telah bersedia menjadi informan dalam penelitian ini.
7. Bapak dan Ibu yang telah memberikan dukungan materiil dan spiritual
8. Kakakku yang telah memberi dukungan, dan bantuan mengantarkan ke berbagai tempat
dalam rangka mencari data penelitian ini.
9. Mas Arif, Mas Tarjo dan Alif atas kesediaan menjadi informan dalam penelitian ini.
10. Fitta, Dian Asri, Mas Khelmy yang telah membantu dalam pencarian berbagai referensi
yang sangat berguna bagi skripsi ini.
11. Teman-temanku tercinta Ifah, Susi, Prima, Hasih, Renvi dan Lia yang telah memberikan
dukungan dan semangat bagi penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
12. Teman-teman Sosiologi, terutama angkatan 2008, yang tidak dapat disebutkan satu
persatu, atas berbagai masukan dan kebersamaanya selama ini.
13. Pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun atas segala bentuk
bantuan baik moril atau materiil telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih kurang sempurna, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca untuk hasil yang lebih
baik. Besar harapan dengan adanya skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya Sosiologi.
Surakarta, Januari 2012
commit to user
KATA PENGANTAR ...
DAFTAR ISI ...
BAB I PENDAHULUAN...
A. Latar Belakang...
B. Rumusan Masalah...
C. Tujuan Penelitian...
D. Manfaat Penelitian...
1
A. Tinjauan Pustaka... …………...
B. Definisi Konseptual...
C. Landasan Teori...
D. Penelitian Terdahulu...
E. Kerangka Pemikiran...
13
23
24
31
commit to user ix
BAB III METODE PENELITIAN...
A. Lokasi Penelitian...…………...
B. Jenis Penelitian...…...
C. Jenis dan Sumber Data...……...
D. Teknik Pengambilan Sampel...
E. Teknik Pengumpulan Data...
F. Validitas Data...
G. Teknik Analisis Data...
38
A. Gambaran Umum Kabupaten Wonogiri...
1. Kondisi Geografi ...
2. Kondisi Demografi...
3. Kondisi Sarana Prasarana Perhubungan dan Transportasi...
4. Kondisi Kehidupan Sosial...
B. Gambaran Umum Wonogiri King Club (WKC)...
1. Sejarah WonogiriKing Club (WKC)...
2.Tujuan Pendirian WonogiriKing Club (WKC)...
3.Struktur Organisasi WonogiriKing Club (WKC)...
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN...
A. Profil Informan...
B. Motivasi menjadi Anggota Klub Motor WKC...
C. Modal Sosial Anggota Klub Motor WKC...
1. Kepercayaan (Trust)...
2. Norma (Norms )...
3. Jaringan (Network)...
D. Refleksivitas Anggota Klub Motor WKC...
commit to user x
2. Sikap...
3. Tindakan...
E. Keterkaitan Modal Sosial dan Refleksivitas Anggota Klub Motor
WKC...
BAB VI PENUTUP...
A. Kesimpulan...
B. Implikasi...
C. Saran...
144
146
162
169
169
173
181
DAFTAR PUSTAKA... 183
commit to user xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Penduduk menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Usia ...49
Tabel 2 Penduduk menurut Tingkat Pendidikan ...51
Tabel 3 Persentase Penduduk Menurut Mata Pencaharian ...52
Tabel 4 Persentase Penduduk Menurut Agama...54
Tabel 5 Sarana Prasarana Perhubungan dan Transportasi ...55
Tabel 6 Panjang Jalan di Kabupaten Wonogiri menurut Jenis Permukaan Dan Status Jalan (km)...56
Tabel 7 Kondisi Kehidupan Organisasi Masyarakat (Banyaknya lembaga berbasis kehidupan sosial masyarakat)...58
Tabel 8 Informan Anggota Klub Motor WKC...69
Tabel 9 Motivasi menjadi Anggota Klub Motor WKC...78
Tabel 10 Matrik Modal Sosial Anggota Klub Motor WKC...133
Tabel 11 Piranti Safety Riding yang dikenakan Anggota Klub Motor WKC...150
Tabel 12 Piranti Safety Riding yang digunakan pada Motor Anggota Klub Motor WKC...152
Tabel 13 Matrik Refleksivitas Anggota Klub Motor WKC... 160
Tabel 14 Matrik Keterkaitan Modal Sosial dan Refleksivitas Anggota Klub Motor WKC...166
commit to user xii
DAFTAR BAGAN
Halaman
Bagan 1 Kerangka Pemikiran ...37
Bagan 2 Skema Model Analisis Interaktif...46
commit to user xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Touring WKC ke Ponorogo dalam rangka HUT PRKC ...81
Gambar 2 Bakti Sosial WKC ke Pondok Pesantren Mamba’ul Hikmah Selogiri...83
Gambar 3 Bakti Sosial Donor Darah WKC di PMI Cabang Wonogiri...84
Gambar 4 Acara HUT WKC Kedua di Obyek Wisata Waduk Gajah
Mungkur Wonogiri ...85
Gambar 5 Acara Senam Pagi Massal dalam rangka HUT
Kedua WKC...86
Gambar 6 Pertemuan Rutin Tiap Minggu Anggota WKC di depan
Dealer AHAS Wonogiri ...87
Gambar 7 Acara Syawalan Halal bi halal Kingers seJawa Tengah
Di Waduk Gajah Mungkur Wonogiri...115
Gambar 8 Stiker Bima Fitness Center Melekat pada Salah Satu Motor
Anggota WKC ...125
Gambar 9 Pengamanan Acara Syawalan Halal bi halal Kingers
se Jawa Tengah oleh Polres Wonogiri ...129
Gambar 10 Perlengkapan Safety Riding Anggota WKC saat Touring ke
commit to user xiv ABSTRAK
Maya Atri Komalasari, D0308043, MODAL SOSIAL DAN REFLEKSIVITAS DALAM MASYARAKAT RISIKO ( Suatu Kajian terhadap Anggota Klub Motor Wonogiri King Club (WKC) ), skripsi (S-1) Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2012.
Penelitian ini bertujuan menggambarkan modal sosial dan refleksivitas anggota Klub Motor WKC, motivasi menjadi anggota dan keterkaitan antara modal sosial dan reflektivitas tersebut. Beberapa teori digunakan dalam penelitian ini, teori modal sosial dari Robert Putnam, teori masyarakat risiko dari Ulrich Beck dan teori motivasi ERG dari Clayton Adelfer serta teori tindakan sosial Tallcott Parsons.
Penelitian ini merupakan jenis deskriptif kualitatif, dengan menggunakan studi kasus sebagai strateginya. Data primer diperoleh dari informan yang merupakan anggota Klub Motor WKC dan warga masyarakat Wonogiri, sedangkan data sekunder merupakan data Wonogiri dalam Angka, dan data-data yang diperoleh dari blog dan sekretariat Klub Motor WKC dan pihak lain seperti Satuan Lalu Lintas Unit Lalu Lintas Kecelakaan Polres Wonogiri. Teknik pengambilan sampel
menggunakan purposive sampling dengan maximum variety sampling. Teknik pengumpulan data
dengan observasi, wawancara dan dokumentasi. Validitas data menggunakan triangulasi sumber dan metodologis. Analisis data menggunakan model interaktif.
Motivasi seseorang menjadi anggota WKC cukup beragam. Motivasi tersebut, diantaranya, menjalin dan memperluas hubungan pertemanan maupun persaudaraan, menyalurkan hobi otomotif, menambah atau memperluas wawasan dan pengalaman mengenai kehidupan berorganisasi dan seluk beluk motor RX King, dan memperbaiki citra atau image motor RX King dan pengendaranya.
Modal sosial anggota Klub Motor WKC terlihat dengan adanya kepercayaan, norma dan jaringan. Kepercayaan antar anggota dapat ditemukan baik dalam kegiatan atau acara dalam klub maupun di luar klub. Diberlakukannya norma-norma, baik yang tertulis maupun tidak tertulis dan mengandung nilai-nilai mengenai kebersamaan atau solidaritas, resiprositas, harmoni dan kerukunan, saling menghormati dan agama. Adanya berbagai jenis jaringan yang terjalin , jaringan antar individu (anggota WKC), jaringan antara individu (luar WKC) dengan institusi (WKC), dan jaringan antar institusi (WKC dengan institusi lain).
Refleksivitas anggota Klub Motor WKC diwujudkan dalam bentuk pemikiran, sikap dan tindakan. Pemikiran ditunjukkan dari kemampuan mengidentifikasi risiko yang mengancam, yaitu risiko fisik dan risiko sosial. Sikap ditunjukkan dengan adanya sikap untuk dapat mengatasi risiko fisik dan risiko sosial. Tindakan mencakup berbagai tindakan yang dilakukan untuk mengatasi risiko fisik dan sosial tersebut.
commit to user xv ABSTRACT
Maya Atri Komalasari, D0308043, SOCIAL CAPITAL AND REFLEXIVITY IN RISKY SOCIETY (A Study on the Member of Wonogiri King Club (WKC) Motorcycle Club ), thesis (S-1) Sociology Department, Social and Political Sciences Faculty, Surakarta Sebelas Maret University, 2012.
This research aims to describe the social capital and reflexivity of WKC motorcycle club’s members, motivation to be the member and interrelationship between social capital and reflexivity. Several theories were used in this study including Robert Putnam’s social capital theory, Ulrich Beck’s risky society theory and Clayton Aldelfer’s ERG motivation theory, and also action theory from Talcott Parsons.
This study belongs to a descriptive qualitative research using case study as its strategy. The primary data was obtained from the informant constituting the member of WKC motorcycle club and Wonogiri people, while the secondary data was Wonogiri data in statistical form, and the data obtained from blog and secretariat of WKC motorcycle club and from other parties such as Accident Unit of Traffic Division of Polres Wonogiri (Wonogiri Resort Police). The sampling technique used was purposive sampling with maximum variety sampling. Techniques of collecting data used were observation, interview, and documentation. Data validation was done using source and methodological triangulation. Technique of analyzing data used was an interactive model.
The motivations of individuals to be the member of WKC were varied enough. These included to establish and to expand the friendship and fraternity relationship, to channel the automotive hobby, to increase or to expand insight and experience about organizational life and RX King motor details, and to improve the image of RX King motorcycle and its riders.
The social capital of WKC motorcycle club’s members could be seen from the presence of trust (belief), norm, and network. The inter-member trust could be found in activity and program both inside and outside club. The norms were enacted, both written and spoken and containing the commonality or solidarity, reciprocity, harmony and concordance, respect and religious values. There are a variety of network established: inter-individual network (member of WKC), relationship between individual (out of WKC) and the institution (WKC), and inter-institutional network (WKC and other institutions).
Reflexivity of WKC motorcycle club members is manifested in the form of thought, attitude, and action. The thought was indicated by the capability of identify the threatening risks, both physical and social. The attitude was indicated by the attitude to cope with physical and social risks. The action included a variety of actions taken to cope with physical and social risks.
commit to user xvi BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perubahan memang akan selalu menghiasi kehidupan setiap
masyarakat, yang menjadikannya berbeda hanyalah pada proses perubahan
tersebut, intensitas dan pengaruhnya. Apakah suatu perubahan tersebut
berlangsung secara cepat atau memerlukan waktu sehingga tergolong lambat
dan bertahap, dan ataukah perubahan tersebut sifatnya berpengaruh besar pada
segi-segi kehidupan masyarakat ataupun hanya memiliki pengaruh yang kecil
saja pada kehidupan masyarakat.
Salah satu perubahan yang terjadi dan perlu mendapat perhatian
karena cukup berpengaruh yaitu perubahan yang terjadi pada masyarakat
kontenporer, yang juga masih menjadi suatu perdebatan. Serangkaian
perdebatan dalam sosiologi masih terjadi antara pakar yang masih melihat
masyarakat kontenporer sebagai kehidupan modern dan yang menyatakan
bahwa akhir-akhir ini telah terjadi perubahan dan telah memasuki kehidupan
baru, kehidupan masyarakat postmodern (Ritzer dan Goodman, 2005 : 558).
Oleh karena itu muncul beberapa istilah seperti modernitas akhir dari Anthony
Giddens (Jones, 2009 : 239) atau modernitas baru dari Ulrich Beck, serta istilah
commit to user xvii
(postmodernitas), produk kultural baru (postmodernisme) dan tipe teoritisasi
baru mengenai dunia sosial (teori sosial postmodern) (Ritzer, 2003 : 14).
Terlepas dari polemik perdebatan tersebut, diakui bahwa telah terjadi
suatu perubahan dalam kehidupan masyarakat kontenporer di masa kini , baik
yang menganggap perubahan dari modernitas lama ke modernitas baru atau
lanjut, maupun perubahan dari modern menuju postmodern. Sementara itu,
karakteristik penting yang sekaligus menandai perubahan tersebut dengan mulai
menyinggung isu-isu yang sebelumnya belum tersentuh yaitu risiko-risiko
dan ketidakmenentuan yang berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Perubahan yang dialami oleh masyarakat kontenporer ini ditandai
dengan semakin akrabnya kehidupan mereka dengan risiko. Risiko yang secara
sederhana seringkali diartikan sebagai dampak atau efek yang menimpa
manusia akibat terjadinya aktivitas tertentu yang membawa marabahaya (Hanif,
2008 : 76). Sementara itu, Giddens (dalam Jones, 2009: 243) bahkan telah
membedakan dua jenis risiko yaitu risiko eksternal dan risiko yang dibuat.
Risiko eksternal adalah risiko yang dialami dan datang dari luar karena mantap
atau kuatnya tradisi atau alam, sedangkan risiko yang dibuat adalah risiko yang
diciptakan oleh dampak besar berkembangnya pengetahuan. Contoh yang
sekaligus membedakan kedua jenis risiko tersebut misalnya risiko banjir dan
kelaparan merupakan risiko eksternal sedangkan contoh risiko yang dibuat
commit to user xviii
risiko yang dibuat karena hasil-hasil pengetahuan manusia melalui alat-alat dan
mesin penghasil polusi seperti kendaraan berbahan bakar minyak turut memiliki
andil yang cukup besar terciptanya risiko tersebut. Bagi Giddens jenis risiko
yang dibuat tersebut yang menjadi ciri pokok kehidupan manusia saat ini, dan
bahkan risiko tersebut tidak saja mengancam kehidupan manusia secara sosial
namun kehidupan pribadinya.
Terkait mengenai risiko, Sosiolog kenamaan Jerman, Ulrich Beck
bahkan telah menggunakan istilah masyarakat berisiko (risk society) dalam
salah satu karyanya yang berjudul Risk Society : Toward a New Modernity.
Menurut Beck, kehidupan masyarakat di era ini, ia asosiasikan sebagai
masyarakat risiko yang mendorong lahirnya perubahan dari isu sentral
masyarakat sebelumnya atau masyarakat industri yang berfokus pada
kesejahteraan dan bagaimana mendistribusikannya dengan adil, dan beralih
pada risiko yang dihadapi dan bagaimana risiko tersebut dapat dipantau,
diatur,dikontrol atau diminimalkan (Ritzer dan Goodman, 2005:562). Meskipun
begitu, tidak dapat dilupakan bahwa kehidupan masyarakat yang akrab dengan
risiko-risiko juga akan menghasilkan, refleksivitas yang memungkinkan untuk
mempertanyakan pada diri sendiri dan risiko yang dihasilkan. Hal tersebut
mungkin terjadi karena refleksivitas sendiri merupakan pemantauan rutin pada
diri seseorang (anda sendiri) dan perilakunya agar dapat memutuskan siapa
commit to user xix
Masyarakat pada masa kini tidak akan dapat mengelak dari ancaman
berbagai risiko baik dalam kehidupannya. Tidak berlebihan jika risiko
menjelma menjadi bagian keseharian manusia yang tidak dapat dihindari
bahkan dalam berbagai proses-proses sosial ia menjadi bagian yang tidak dapat
dipisahkan. Setidaknya menurut Beck terdapat tiga ekologi risiko (risk
ecologies) yaitu : risiko fisik-ekologis (physical-ecological risk), risiko mental
(psyche risk), dan risiko sosial (social risk) (Piliang, 2009,
http://rumahwacana.wordpress.com/category/humanity). Risiko fisik-ekologis
(physical-ecological risk), yaitu aneka risiko kerusakan fisik pada manusia dan
lingkungannya. Risiko fisik yang tergolong mudah terlihat, dengan rusaknya
ekologi atau lingkungan seperti rusak dan menyusutnya kawasan hutan,
tercemarnya sungai atau laut, dan sebagainya. Risiko mental (psyche risk), yaitu
aneka risiko kerusakan mental akibat perlakuan buruk pada tatanan psikis.
Sementara itu, risiko sosial (social risk) yaitu aneka risiko yang menggiring
pada rusaknya bangunan dan lingkungan sosial yang akan dihadapi, seperti
kerusakan atau lunturnya ikatan-ikatan sosial yang dulu erat dan di pegang
teguh oleh masyarakat. Bahasan mengenai risiko ini menjadi penting, karena
harapan umat manusia terhadap kemajuan dan perkembangan yang telah
dicapai tidak selalu berujung pada akibat yang baik, dan justru menghadirkan
konsekuensi seperti timbulnya berbagai risiko.
Risiko sosial menjadi salah satu risiko yang nyata dihadapi
commit to user xx
dijunjung tinggi masyarakat. Faktanya, kebiasaan gotong- royong yang dahulu
dilakukan masyarakat makin hilang, seperti kebiasaan gotong- royong dalam
membangun rumah seperti tradisi sambatan yang begitu umum di desa-desa di
Jawa kini mulai luntur, dalam menjaga keamanan lingkungan. Kebiasaan
gotong royong (sambatan) saat ini masih ada meskipun dalam intensitas yang
sangat kecil karena mulai ditinggalkan oleh sebagain besar warga desa di Jawa.
Sementara itu, kebiasaan masyarakat dalam menjaga lingkungan melalui
kegiatan ronda bersama warga, mulai luntur khususnya di perkotaan yaitu
perumahan orang-orang elite dan apartemen yang beralih menggunakan jasa
satpam (satuan pengamanan) dan dilengkapi dengan teknologi canggih seperti
kamera pengintai atau CCTV. Sayangnya, realitas di masyarakat menunjukan
bahwa hal tersebut justru akan makin menyuburkan individualisme yang
sebelumnya telah berkembang dengan cukup pesat di era masyarakat industri.
Individualisme menjelma menjadi suatu bentuk risiko sosial yang
dihadapi oleh masyarakat. Meskipun sering dianggap sebagai hal yang wajar
atau normal namun dibalik itu semua individualisme juga memiliki potensi
melahirkan ancaman bagi keberlangsungan kehidupan sosial. Individualisme
dapat menjadi semacam pupuk yang dapat menyuburkan penyakit sosial seperti
ketidakpedulian. Hal tersebut bukanlah sekedar isapan jempol, terutama umum
terjadi di kehidupan perkotaan. Disana kepedulian seseorang terhadap orang
lain telah makin berkurang dan bahkan perlahan mulai hilang. Kehidupan
commit to user xxi
lingkungan tempat tinggal seperti apartemen. Apartemen yang dirancang agar
dapat memberikan privasi yang lebih pada penghuninya tanpa sadar justru turut
menumbuhkan egoisme dan ketidakpedulian diantara mereka. Bukan hal aneh
jika seorang penghuni apartemen bahkan tidak tahu atau kenal dengan tetangga
sebelahnya, karena kesempatan untuk berinteraksi sangat terbatas. Tidak
mengherankan jika akhirnya dampak burukpun tercipta, yang salah satunya
menjadi tempat yang nyaman bagi orang-orang tertentu melakukan tindakan
kriminal seperti pembunuhan.
Berbagai kasus pembunuhan yang marak saat ini dilakukan
di lingkungan apartemen. Salah satu contoh kasus pembunuhan yang
menimpa seorang mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Jakarta,
Novita Purnamasari di Apartemen Mediterania Jakarta Barat di tahun
2009 (Wsn, 2009,
http://megapolitan.kompas.com/read/2009/10/08/08580642%20/artis.bunuh.ma
hasiswi). Keprihatinan makin dirasakan mengingat jenazah Novita baru
ditemukan empat hari setelah terjadinya peristiwa pembunuhan terjadi.
Keterlambatan diketahuinya kasus tersebut tidak akan terjadi jika kepedulian
antar sesama penghuni terbina dengan baik. Fakta ini sekaligus menunjukan
bahwa individualisme jelas menjadi ancaman dengan hadir sebagai risiko
sosial yang dapat membahayakan.
Kekhawatiran terhadap risiko yang dihadapi masyarakat, seperti risiko
commit to user xxii
dalam berbagai aspek kehidupan seperti politik, sosial dan budaya, turut
dirasakan oleh Francis Fukuyama melalui dua karyanya, yang pertama Trust :
The Social Virtues and The Creation of Prosperity tahun 1993 dan tahun 1999
dengan judul The Great Depression: Human Nature and The Reconstitution of
Social Order. Dalam kedua karya tersebut Fukuyama membahas konsep modal
sosial. Menurutnya, modal sosial murujuk pada kapabilitas yang muncul dari
kepercayaaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu
dalam masyarakat (Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity ,
terjemahan :37) dan serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki
bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjadinya
kerjasama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan
terjadinya kerja sama diantara mereka (The Great Depression: Human Nature
and The Reconstitution of Social Order , terjemahan : 22 , dalam Lawang, 2003
: 213). Modal sosial ini dapat kita temui keberadaanya di berbagai tempat , baik
dalam suatu kelompok formal seperti organisasi maupun kelompok yang tidak
formal sekalipun seperti komunitas, atau klub-klub tertentu.
Modal sosial menjadi begitu penting terkait risiko-risiko sosial yang
makin mengarahkan kehidupan pada individualisme. Hal tersebut disebabkan
modal sosial merupakan konsep yang sering digunakan ilmu sosial untuk
menggambarkan kapasitas sosial untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
memelihara integrasi sosial (Pratikno dan Tim, 2001 : 5) yang notabene dekat
commit to user xxiii
karena itu, modal sosialpun menjelma menjadi suatu kajian yang menarik, tidak
lain karena mampu merepresentasikan reaksi terhadap individualisme yang
makin menjadi-jadi di masa kini. Hal tersebut sekaligus menunjukan
keterkaitan antara modal sosial dan kehidupan masyarakat risiko. Tidak
mengherankan jika kondisi yang dialami masyarakat risiko dapat turut
menjelaskan ketertarikan akademisi terhadap modal sosial (Field, 2010 : 150).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Thilo Boeck, Jennie Fleming dan
Kemshall Hazel mengenai “Anak Muda, Modal Sosial dan Negoisasi Risiko”
(Young People, Social Capital and Negoitation of Risk) dalam hal “jalur atau
saluran-saluran bagi anak muda untuk dapat masuk (terjerumus) dan keluar
(terhindar) dari kejahatan” (Pathways into and out of Crime for Young People)
(Boeck, (dkk), 2006), menunjukan keterkaitan modal sosial dengan risiko
karena modal sosial berperan dalam menjadi navigasi risiko serta membantu
mengatasinya. Hasil penelitian tersebut sekaligus menunjukan bahwa modal
sosial ternyata turut berperan dalam mendorong lahirnya refleksivitas anak
muda yang terwujud dengan kemampuannya melakukan navigasi atas risiko
yang mengancam dalam kehidupannya. Dilatarbelakangi oleh hasil penelitian
tersebut maka penelitian ini akan mencoba meneliti modal sosial dalam
masyarakat risiko, yang difokuskan pada modal sosial dan refleksivitas dalam
suatu klub motor.
Klub motor menjadi penting diangkat dalam penelitian ini karena
commit to user xxiv
risiko dalam kehidupanya, seperti risiko sosial dengan munculnya
individulisme, ketidakpedulian dan egoisme. Hal itu sangat terlihat dalam
pemandangan saat mereka berkendara di jalan, dimana mereka berkendara
dengan kecepatan tinggi atau “ngebut” sesuka hati bahkan hingga melanggar
rambu-rambu lalulintas, atau mencoba mendahului kendaraan di depannya
dengan menggunakan jalan yang bukan jalurnya hingga dapat membuat
pengguna jalan lainnya celaka. Perilaku pengendara motor yang seperti itulah
yang menunjukan bahwa mereka tidak lagi peduli dengan kebutuhan dan
keselamatan orang lain dan hanya mementingkan diri sendiri. Padahal perilaku
tersebut juga akan menjadi faktor pendorong munculnya risiko lain seperti
risiko fisik yaitu kecelakaan.
Alasan kedua, karena dalam hubungan-hubungan yang terjalin oleh
anggotanya mengindikasikan tumbuh dan berkembangnya modal sosial.
Interaksi yang dilakukan oleh anggota klub motor melalui berbagai
kegiatan-kegiatan cenderung menjadi potensi yang menghasilkan lahirnya modal sosial.
Bukan lagi menjadi rahasia umum jika seorang anggota klub motor
memperoleh berbagai keuntungan yang sifatnya materiil maupun nonmateriil.
Sebagai contoh, berkat modal sosial, misalnya anggota yang memiliki suatu
usaha maka usahanya dapat berkembang lebih maju dan terjaga
keberlangsungannya berkat bertambahnya konsumen baik dari anggota klub
commit to user xxv
Anggota Klub Motor Wonogiri King Club ( WKC ) dipilih
menjadi subyek penelitian ini. Pemilihan anggota Klub Motor WKC bukan
tanpa alasan. Pertama, karena klub ini tergolong sebagai klub motor RX-King
yang notabene tergolong berusia muda (3 tahun) namun telah memiliki jaringan
yang cukup luas, terbukti dengan terbaginya klub ini dalam beberapa
koordinator wilayah. Kedua, para anggota Klub Motor motor Wonogiri King
Club (WKC) tergolong rentan terhadap ancaman berbagai risiko, seperti yang
bersifat sosial, fisik-ekologis, dan bahkan psikis. Risiko sosial yang dihadapi
adalah ancaman penyakit sosial seperti individualisme,egoisme dan lainnya.
Sementara itu risiko fisik-ekologis yang mengancam mereka, layaknya
pengendara sepeda motor yang lain akan menghadapi risiko kecelakaan.
Pengendara motor RX-King pada umumnya, termasuk para anggota
Klub Motor Wonogiri King Club (WKC) pun harus menghadapi risiko sosial
lainnya yang mungkin dapat berkembang menjadi risiko yang bersifat psikis,
dengan munculnya kesan negatif yang berkembang di masyarakat bahwa
mereka sering dianggap “ugal-ugalan” atau bahkan “brandalan”. Terbukti
dengan motivasi pendirian salah satu pionir komunitas motor Rx King di
Indonesia yaitu King’s Club Djakarta (KCDj) . Motivasi pendirian KCDj
King’s Club Djakarta yaitu untuk mencoba menghapuskan stigma yang sangat
kental dalam masyarakat bahwa komunitas pengguna motor RX-King
merupakan kawanan brandalan yang hanya membuat onar dan kriminalitas,
commit to user xxvi
KCDj yakni “ Kelompok Copet dan Jambret” (Ridho, 2009 : 28 dari
www.yamaha-motor.co.id/download/motodream/?tx..1&chtashi).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas, rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah :
Bagaimana modal sosial (kepercayaan, norma dan jaringan) dan refleksivitas
(pemikiran, sikap, dan tindakan) anggota Klub Motor Wonogiri King Club
(WKC) ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui modal sosial (kepercayaan, norma dan jaringan) anggota
Klub Motor Wonogiri King Club (WKC).
2. Untuk mengetahui refleksivitas (pemikiran, sikap, dan tindakan) anggota
Klub Motor Wonogiri King Club (WKC).
3. Untuk mengetahui motivasi seseorang menjadi anggota Klub Motor
Wonogiri King Club (WKC).
4. Untuk mengetahui keterkaitan modal sosial dan refleksivitas anggota Klub
commit to user xxvii D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa manfaat manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembuat kebijakan
agar lebih memperhatikan pembangunan modal sosial dalam lingkungan
kehidupan masyarakat kini.
2. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan referensi atau
kajian bagi penelitian-penelitian berikutnya sehingga mampu memperbaiki
commit to user xxviii BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
1. Modal Sosial
Pengertian modal sosial yang berkembang saat ini cenderung
didasarkan pada pandangan tiga tokoh ilmuwan sosial,yakni Pierre Bourdieu,
James Coleman dan Robert Putnam. Bourdieu mendefinisikan modal sosial
sebagai “sejumlah sumber daya, aktual atau maya, yang berkumpul pada
seseorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan tahan lama berupa
hubungan timbal balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit banyak
terinstitusionalisasikan” (Bourdieu dan Wacquant,dalam Field, 2010 :23).
Dalam hal ini, Bourdieu menambahkan bahwa untuk dapat mempertahankan
nilai modal sosial maka individu harus mengupayakannya.
James Coleman memberikan pengertian konsep modal sosial sebagai
“seperangkat sumber daya yang melekat pada hubungan keluarga dan dalam
organisasi sosial komunitas dan yang berguna bagi perkembangan kognitif atau
sosial anak atau orang yang masih muda. Sumber-sumber daya tersebut
berbeda bagi orang-orang yang berlainan dan dapat memberikan manfaat
penting bagi anak-anak dan remaja dalam perkembangan modal manusia
mereka” (Coleman, 1994 : 300, dalam Field ,2010 : 38). Coleman juga melihat
commit to user xxix
diciptakan dan mungkin saja memberikan manfaat tidak saja bagi mereka yang
berupaya mewujudkannya , namun juga yang menjadi bagian dari struktur”
(Coleman, 1988-9 : 300 ,dalam Field ,2010 : 38). Menurutnya bentuk-bentuk
modal sosial berupa kewajiban dan harapan, potensi informasi, norma dan
sanksi yang efektif, hubungan otoritas, organisasi sosial yang bisa digunakan
secara tepat.
Definisi lain modal sosial berasal dari Robert Putnam (1955) yang
mengartikan modal sosial sebagai features of social organization that can
improve the efficiency of society (bagian-bagian dalam organisasi sosial yang
dapat meningkatkan efisiensi masyarakat). Menurutnya terdapat tiga bentuk
atau unsur modal sosial yaitu : trust (kepercayaan), norms (norma) dan
networks atau jaringan-jaringan horizontal civic engagement (Wijaya, 2007:
76-77). Menurut Putnam, “asosiasi dalam masyarakat terutama yang
melibatkan hubungan face to face, serta hubungan diantara individu akan
menghasilkan trust, norma pertukaran, dan kapasitas untuk civic engagement
yang merupakan esensi penting dalam sebuah masyarakat demokratis”
(Pratikno dan Tim, 2001: 7) .
Selain tiga tokoh tersebut, Francis Fukuyama (1999 :16 ,dalam
Leksono, 2009 : 40) pun memberikan pengertian pada modal sosial, yaitu
“sekumpulan nilai informal atau norma yang menyebar diantara anggota
kelompok yang memungkinkan kerja sama terjadi diantara mereka”.
commit to user xxx
memenuhi apa yang diharapkan antar mereka bahwa lainnya akan bertingkah
laku dengan dapat diandalkan dan memiliki kejujuran, kemudian mereka akan
saling mempercayai satu sama lain, kepercayaan seperti minyak pelumas yang
membuat jalannya organisasi lebih efisien. Terdapat kerangka umum yang
berasal dari definisi Bank Dunia untuk memahami modal sosial yang intinya
“modal atau kapital sosial menunjuk pada norma, institusi dan hubungan sosial
yang memungkinkan orang dapat bekerja sama” (Lawang, 2004 : 213).
Dari sekian definisi mengenai modal sosial dari berbagai ahli tersebut,
dapat disimpulkan bahwa sebenarnya modal sosial merupakan suatu
hubungan-hubungan yang tercipta karena adanya norma-norma tertentu dan keadaan
tertentu. Dalam prosesnya modal sosial tersebut juga akan menghasilkan
kepercayaan, jaringan, dan nilai-nilai (norma) tertentu yang mempermudah
terjalinya kerjasama antara orang yang terlibat dalam suatu hubungan, baik
dalam kelompok kecil, asosiasi atau masyarakat sekalipun.
2. Refleksivitas
Refleksivitas adalah istilah yang digunakan dalam berbagai macam
pengertian. Dua kecenderungan utama pengertian tersebut sebagai berikut.
Pertama, refleksivitas digunakan secara lebih spesifik untuk menandai ciri-ciri
umum kehidupan sosial ( modern ). Kedua, refleksivitas digunakan secara
lebih spesifik untuk menunjukkan ciri-ciri tertentu dari berbagai upaya para
ilmuwan sosial untuk menjelaskan kehidupan sosial, atau mengkonotasikan
commit to user xxxi
ilmu sosial dalam beberapa pengertian merujuk kembali kepada ilmu
pengetahuan itu sendiri (Kuper dan Kuper, 2008 : 905). Pembahasan dari Ulrich
Beck (1992) mengenai modernitas refleksif merupakan contoh penggunaan
pengertian yang pertama.
Modernitas refleksif (reflexive modernity) merupakan proses
individualisasi yang kini terjadi di Barat. Di dalamnya agen-agen semakin
bebas dari paksaan struktural dan karenanya semakin mampu menciptakan
secara refleksif diri mereka sendiri dan masyarakat dimana mereka hidup
(Ritzer dan Goodman, 2005 : 562). Dalam hal ini, terkait dengan pengertian
pertama ,refleksivitas merujuk pada fakta bahwa masyarakat modern di masa
kini tengah menuai hasil-hasil negatif dari kesalahan-kesalahan dalam dalam
mengelola lingkungan mereka, dan merujuk pada semakin meningkatnya
kesadaran manusia terhadap konsekuensi-konsekuensi negatif ini. Beck juga
menyatakan bahwa hal ini menjurus kepada semacam refleksivitas personal
dimana para anggota masyarakat modern yang sudah matang mempertanyakan
pola-pola kehidupan dan nilai-nilai (moral) sosial (Kuper dan Kuper, 2008 :
905).
Refleksivitas memungkinkan seseorang untuk mempertanyakan pada
dirinya sendiri dan risiko yang dihasilkannya. Terkait dengan hal tersebut
adalah pendapat Giddens mengenai proses refleksivitas yang ia artikan sebagai
arah tindakan yang secara konstan memantau kondisi-kondisi kita dan
commit to user xxxii
secara rutin beradaptasi dengan kesadaran kita tentang apa yang sedang terjadi,
membentuk self, suatu identitas, agar sesuai dengan kondisi kini, dan tak harus
begitu besok (Jones, 2009 : 251). Oleh karena itu , secara sederhana
refleksivitas dapat diartikan sebagai pemantauan rutin Anda sendiri dan
perilaku Anda agar dapat memutuskan siapa Anda dan bagaimana Anda hidup
(Jones, 2009 : 281) .
Salah satu perwujudan dari refleksivitas adalah sikap refleksif. Sikap
refleksif adalah sikap yang berupaya mengatasi aneka efek risiko pada tingkat
risiko itu sendiri melalui berbagai solusi teknis , bukan mencari akar-akar
penyebab yang lebih fundamental, esensial atau subtansial (Piliang, 2009,
http://rumahwacana.wordpress.com/category/humanity ). Perlu diketahui bahwa
sikap refleksif inilah yang umumnya menjadi sikap dalam modernitas refleksif
(reflexive modernity).
Dari berbagai pengertian terhadap refleksivitas, dapat disimpulkan
bahwa sebenarnya refleksivitas merupakan suatu bagian yang menyertai dan
tidak terpisahkan dari masyarakat risiko. Refleksivitas berarti menunjukkan
usaha atau upaya yang dilakukan manusia berkaitan dengan risiko yang
mengancamnya, khususnya pada upaya dalam hal mengatasi risiko, baik
commit to user xxxiii 3. Masyarakat Risiko
Istilah masyarakat risiko (risk society) merupakan istilah yang melekat
pada sosiolog kenamaan Jerman Ulrich Beck. Istilah tersebut sebenarnya dapat
dilihat sebagai sejenis masyarakat industri karena kebanyakan risikonya
berasal dari industri. Hal tersebut dapat terjadi sebab menurut Beck kita masih
berada dalam era modern, walaupun dalam bentuk modernitas yang baru.
Perbedaan tersebut terletak pada tahap ”klasik” modernitas yang sebelumnya
berkaitan dengan masyarakat industri, sedangkan modernitas “baru” berkaitan
dengan masyarakat risiko (Clark, 1997, dalam Ritzer dan Goodman, 2003 :
561).
Berbagai perubahan turut mengiringi pergantian dari modernitas tahap
“klasik” menuju modernitas “baru” yang ditandai kemunculan masyarakat
risiko. Salah satu perubahan yang dimaksud dalam hal masalah sentral. Jika
dalam modernitas “klasik” masalah sentralnya berkisar pada kekayaan dan
bagaimana cara mendistribusikannya dengan merata. Sementara itu dalam
modernitas “baru” masalah sentralnya adalah risiko dan bagaimana cara
mencegah, meminimalkannya, atau menyalurkannya.
Dalam masyarakat risiko, keadaan menjadi tidak pasti, karena
berbagai kemungkinan buruk dapat terjadi. Hal yang dimaksud seperti
kemungkinan peristiwa dimana kecelakaan teknologi tidak bisa diasuransikan
karena implikasi-implikasi yang tak terbayangkan (misalnya ledakan reaktor
commit to user xxxiv
landasan dari “prinsip asuransi” yang tidak hanya dalam hal ekonomi, medis ,
psikologi , kebudayaan dan religi. Menurutnya, “masyarakat berisiko residual
telah menjadi masyarakat yang tidak dijamin asuransi” atau the residual risk
society has become an uninsured society (Beck 1992b : 101, dalam Kuper dan
Kuper, 2000 : 933). Jadi masyarakat risiko merupakan suatu masyarakat yang
tidak mempercayai kemajuan di masa depan , namun yang berpengalaman
dalam kalkulasi jangka pendek atas bahaya. Dengan kata lain, “matematika
kalkulus atas risiko menunjukkan model etika tanpa moralitas, etika matematis
dalam era teknologi” ( Beck 1992b :99, dalam Kuper dan Kuper,2000 : 933 ).
Tokoh lain yang juga membahas mengenai risiko adalah Anthony
Giddens. Hal tersebut diperkuat pernyataanya mengenai modernitas,
“modernitas adalah kultur risiko. Ini bukan berarti bahwa kehidupan sosial kini
lebih berbahaya daripada dahulu ; bagi kebanyakan orang itu bukan masalah.
Konsep risiko menjadi masalah mendasar baik dalam cara menempatkan aktor
biasa maupun aktor yang berkemampuan spesialis-teknis dalam organisasi
kehidupan sosial. Modernitas mengurangi risiko menyeluruh bidang dan gaya
hidup tertentu, tetapi pada waktu bersamaan memperkenalkan parameter risiko
baru yang sebagaian besar atau seluruhnya tidak dikenal di era sebelumnya”
(Giddens, 1991 : 3-4, dalam Ritzer dan Goodman, 2003 : 561 ).
Giddens membedakan risiko lingkungan pra modern (tradisional) dan
modern. Menurutnya risiko kebudayaan tradisonal didominasi oleh bahaya
commit to user xxxv
risiko yang ditimbulkan manusia (Giddens, 1990 : 106 ; 101, dalam Kuper dan
Kuper,2000 : 933). Selain itu, Giddens juga berpendapat bahwa “risiko bukan
semata-mata tindakan individu. Ada risiko lingkungan yang secara kolektif
mempengaruhi massa individu yang besar” ( Giddens, 1990 : 35, dalam Kuper
dan Kuper,2000 : 933 ).
Masyarakat risiko merupakan suatu istilah yang menunjukkan bahwa
terjadi perubahan ke kondisi-kondisi baru dalam kehidupan manusia saat ini.
Terdapat perbedaan pendapat pada hal tersebut, di satu pihak perubahan
dimaksud mengarah dari era modernitas menuju modernitas lanjut , sedangkan
ada yang menyebut pula perubahan tersebut terjadi dari era modernitas menuju
postmodernitas. Walaupun begitu, keduanya sepakat bahwa perubahan tersebut
melahirkan konsekuensi penting. Konsekuensi yang dimaksud ialah tuntutan
akan kesadaran bahwa dalam kehidupan manusia kini lebih diwarnai
ketidakmenentuan dan risiko yang sewaktu-waktu dapat mengancamnya. Jadi,
karakteristik penting dari masyarakat risiko adalah risiko dan cara untuk
mengatasi atau usaha meminimalkan menjadi masalah sentral kehidupan
manusia.
4. Klub Motor
Klub dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Tim, 2002 : 576) ,
commit to user xxxvi
a) perkumpulan yang kegiatannya mengadakan persekutuan untuk
maksud tertentu.
b) gedung tempat pertemuan suatu anggota perkumpulan
Club (klub) juga diartikan sebagai suatu kelompok yang terorganisasikan
untuk mencapai tujuan-tujuan atau kepentingan-kepentingan tertentu (Soekanto,
1993 : 183). Dalam The Contenporary English-Indonesian Dictionary with
British and American Pronounciation and Spelling, Club (klub), berarti
perkumpulan , contoh ia adalah anggota perkumpulan tennis kami ( Salim, 2006
: 398).
Sementara itu, klub motor diartikan sebagai wadah yang dapat
menampung aspirasi serta keinginan para anggotanya berdasarkan mufakat dan
kesepakatan pada awal pembentukan oleh para pendirinya. Atau bisa juga
perkumpulan yang melakukan untuk maksud dan tujuan tertentu. Pada dasarnya
suatu klub hadir dari habitat atau ketertarikan yang sama. Misalnya, satu merk
motor dari satu pabrikan (Wibowo, 2011, http://hcstindonesia.blogspot.com).
Dari berbagai definisi tersebut, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa klub
motor merupakan suatu kelompok atau perkumpulan tertentu (berkaitan dengan
sepeda motor), yang memiliki tujuan dan maksud tertentu berkaitan dengan
commit to user xxxvii 5. Motivasi
Motivasi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Tim, 2002 : 756),
diartikan sebagai berikut :
a) Dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak
sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu.
b) Usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang
tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan
yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya.
Motivation (motivasi) merupakan faktor yang menyebabkan suatu aktivitas
tertentu menjadi dominan, apabila dibandingkan dengan aktivitas-aktivitas
lainnya (Soekanto, 1993 : 183).
Sementara itu, yang perlu menjadi perhatian bahwa konsep mengenai
motivasi adalah konsep yang menunjukkan suatu proses psikologi. Para
psikolog sering menjelaskan konsep tersebut sebagai suatu perasaan dari dalam
(internal feeling) manusia, sehingga motivasi merupakan kebutuhan internal
yang harus dipuaskan oleh ekspresi internal (Liliweri, 1997 :322).
Selain itu, perilaku seseorang yang pada hakikat ditentukan oleh
keinginan-keinginan untuk mencapai beberapa tujuan, membuat motivasi juga
diartikan sebagai pendorong agar seseorang itu melakukan suatu kegiatan untuk
mencapai tujuannya (Thoha, 2004 :253). Senada dengan hal tersebut, motivasi
commit to user xxxviii
atau mencapai suatu tujuan (Supiani, 2008, http://pyans.wordpress.com). Dari
berbagai pengertian mengenai konsep tersebut, dapat disimpulkan bahwa
motivasi merupakan suatu dorongan atau penggerak yang menjadi penyebab
dan alasan bagi seseorang untuk melakukan hal-hal tertentu yang merupakan
suatu keinginan atau tujuan yang ingin dicapainya.
B. Definisi Konseptual
Modal sosial menurut Putnam, menunjuk pada bagian-bagian dari
organisasi sosial seperti kepercayaan (trust), norma (norms) dan jaringan
(network), yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan
tindakan-tindakan yang terkoordinasi (Putnam, 1993 : 167, dalam Lawang, 2005 : 212 ).
Bagi Putnam, asosiasi dalam masyarakat terutama yang melibatkan hubungan
face to face, serta hubungan diantara individu akan menghasilkan kepercayaan,
norma pertukaran, dan kapasitas untuk civic engagement yang merupakan
esensi penting dalam sebuah masyarakat demokratis (Pratikno dan Tim,
2001: 7) .
Refleksivitas merupakan istilah yang digunakan secara lebih spesifik
untuk menandai ciri-ciri umum kehidupan sosial (modern). Refleksivitas
merujuk pada fakta bahwa masyarakat modern di masa kini tengah menuai
hasil-hasil negatif dari kesalahan-kesalahan dalam dalam mengelola
lingkungan mereka, dan merujuk pada semakin meningkatnya kesadaran
commit to user xxxix
menyatakan bahwa hal ini menjurus kepada semacam refleksivitas personal
dimana para anggota masyarakat modern yang sudah matang mempertanyakan
pola-pola kehidupan dan nilai-nilai (moral) sosial (Kuper dan Kuper, 2008 :
905). Oleh karena itu , secara sederhana refleksivitas dapat diartikan sebagai
pemantauan rutin Anda sendiri dan perilaku Anda agar dapat memutuskan
siapa Anda dan bagaimana Anda hidup (Jones, 2009 : 281) .
Motivasi merupakan suatu pendorong agar seseorang itu melakukan
suatu kegiatan untuk mencapai tujuannya (Thoha, 2004 :253). Hal ini
disebabkan karena, perilaku manusia yang pada hakikatnya ditunjukkan demi
mencapai tujuan, kepentingan atau keinginannya.
C. Landasan Teori
1. Modal Sosial
Teori modal sosial yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
dari Robert Putnam. Menurut Putnam, modal sosial menunjuk pada
bagian-bagian organisasi sosial seperti kepercayaan, norma, dan jaringan , yang dapat
meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan
terkoordinasi (Putnam, 1993 : 167, dalam Lawang, 2004 : 212 ). Penjelasan
lebih rinci dari definisi tersebut menunjukkan acuan bahwa seperti
modal-modal lainnya, “modal-modal sosial bersifat produktif, dan memungkinkan
pencapaian tujuan tertentu yang tanpa kontribusinya tujuan tidak akan
commit to user xl
rasa percaya dan percaya sekali akan satu sama lain akan mampu
menyelesaikan (masalah) jauh lebih banyak dibandingkan dengan kelompok
yang tidak memiliki rasa percaya dan kepercayaan…Dalam suatu komunitas
petani…dimana seorang petani sudah memperoleh rumput yang telah diikat
oleh orang lain dan dimana alat-alat pertanian dipinjamkan dan disewakan
secara meluas, modal sosial memungkinkan setiap petani menyelesaikan
pekerjaanya dengan hanya sedikit modal fisik dalam penyediaan alat dan
perlengkapan” (Putnam, 1993 : 167, dalam Lawang, 2004 : 212 ). Dari
penjelasan mengenai modal sosial oleh Putnam tersebut, dengan memberikan
analogi dalam komunitas petani membuat pemahaman pada konsep modal
sosial terlihat lebih mudah.
Dalam perkembangan lebih lanjut, definisi modal sosial dari Putnam
turut mengalami perubahan. Terbukti dalam buku terkenalnya, Putnam
berargumen bahwa, “gagasan inti teori modal sosial adalah bahwa jaringan
sosial memiliki nilai…kontak sosial memengaruhi produktivitas individu dan
kelompok” (Putnam, 2000 : 18-19, dalam Field,2010 : 51). Istilah itu sendiri ia
definisikan dengan merujuk pada “ hubungan antar individu-- jaringan sosial
dan norma resiprositas dan keterpercayaan yang tumbuh dari
hubungan-hubungan tersebut “ ( Putnam, 2000 : 19, dalam Field, 2010 : 51 ). Dari
rumusan baru tersebut terlihat bahwa kepercayaan (resiprositas) menjadi suatu
commit to user xli
Putnam juga memperkenalkan serta memberikan perbedaan dua
bentuk dasar modal sosial, yaitu menjembatani (atau inklusif) dan mengikat
(atau eksklusif). Perbedaan tersebut bahwa, modal sosial yang mengikat
cenderung mendorong identitas eksklusif dan mempertahankan homogenitas. Di
lain sisi, modal sosial yang menjembatani cenderung menyatukan orang dari
beragam ranah sosial. Sementara itu, kesamaan dari kedua bentuk dasar modal
sosial tersebut adalah membantu menyatukan kebutuhan yang berbeda (Field,
2010 : 52). Keduanya juga memiliki keunggulan masing-masing, seperti modal
sosial yang mengikat merupakan sesuatu yang baik untuk “menopang
resiprositas spesifik dan memobilisasi solidaritas, sekaligus menjadi “semacam
perekat terkuat dalam sosiologi”. Kemudian, hubungan-hubungan yang
menjembatani “akan lebih baik dalam menghubungkan aset eksternal dan bagi
persebaran informasi” (Putnam, 2000: 22-23, dalam Field, 2010 : 52).
2. Masyarakat Risiko
Masyarakat Risiko atau risk society merupakan salah satu konsep
penting yang diperkenalkan oleh Ulrich Beck. Istilah tersebut ia kemukakan
pada tesis karyanya , Risk Society : Toward a New Modernity , tidak heran jika
Beck dikenal sebagai pencipta atas gambaran mengenai “dunia masyarakat
risiko”. Dalam tesis karyanya, Beck menjelaskan beberapa konsep penting
seperti risiko, refleksivitas dan efek boomerang. Beck menjelaskan ”risiko”
(risk) sebagai, “kemungkinan-kemungkinan kerusakan fisik (termasuk mental
commit to user xlii
seperti proses sosial, politik, komunikasi, seksual” (Piliang, 2009,
http://rumahwacana.wordpress.com/category/humanity). Dengan demikian,
risiko mempunyai hubungan sangat erat dengan sistem, model, dan proses
perubahan di dalam sebuah masyarakat (industrialisasi, modernisasi,
pembangunan), yang akan menentukan tingkat risiko yang akan mereka hadapi.
Setidaknya terdapat tiga ekologi atau macam risiko yang di sebutkan oleh Beck,
antara lain : risiko fisik- ekologis (physical-ecological risk), risiko sosial
(social risk), dan risiko mental (psyche risk) (Piliang, 2009,
http://rumahwacana.wordpress.com/category/humanity) .
Risiko fisik- ekologis yaitu aneka risiko kerusakan fisik pada manusia
dan lingkungannya, contohnya : . gempa, tsunami, letusan gunung) atau risiko
yang diproduksi oleh manusia (man made risks). Aneka risiko biologis yang
“diproduksi” melalui aneka makanan, sayuran, hewan ternak, buah-buahan yang
menciptakan aneka penyakit kanker, tumor ganas, syaraf, kulit disebabkan oleh
intervensi proses artifisial-kimiawi terhadap proses alam yang melampaui batas.
Sementara risiko sosial yaitu aneka risiko yang menggiring pada rusaknya
bangunan dan lingkungan sosial sebagai akibat dari faktor-faktor eksternal
kondisi alam, teknologi, industri. risiko fisik “kecelakaan” (lalu lintas jalan,
pesawat terbang, kecelakaan laut), “bencana” (banjir, longsor, kebakaran hutan,
kekeringan), yang sekaligus menciptakan pula secara bersamaan risiko sosial,
berupa tumbuhnya aneka “penyakit sosial”: ketakpedulian, ketakacuhan,
commit to user xliii
bangunan psikis, berupa perkembangan aneka bentuk abnormalitas,
penyimpangan (deviance) atau kerusakan psikis lainnya, baik yang disebabkan
faktor eksternal maupun internal.
Dari pemikiran-pemikiraan Beck dapat mengenai risiko juga berimbas
pada beberapa kelas sosial yang menjadi korban. Hal tersebut terjadi akibat
sejarah distribusi risiko itu sendiri, sebagaimana kekayaan risiko melekat pada
pola kelas, hanya saja yang terjadi adalah kebalikannya. Kekayaan terakumulasi
di puncak sementara risiko akan terakumulasi di dasar atau bawah”
(Beck,1992 : 35, dalam Ritzer dan Goodman, 2003 : 563 ). Oleh karena itu,
tidak mengherankankan jika risiko nantinya akan terpusat pada bangsa yang
miskin karena bangsa memiliki kemampuan dan sarana untuk menjauhkannya.
Meskipun begitu, kenyataan tidak akan selalu berjalan sama, karena Beck juga
memberikan gambaran bahwa dunia masyarakat risiko” yang tidak dibatasi
oleh tempat atau waktu. Dengan kata lain bahkan risiko dapat menimpa negara
kaya sekalipun. Terkait dengan hal tersebut adalah konsepnya mengenai “efek
bumerang”, yang merupakan pengaruh sampingan dari risiko yang dapat
menyerang kembali ke pusat pembuatnya (Ritzer dan Goodman, 2003 : 563).
Sehingga, sering kali masyarakat penikmat hasil modernisasi terjebak pada apa
yang mereka nikmati.
Walaupun modernisasi lebih dahulu menghasilkan risiko, namun ia
akan juga menghasilkan refleksivitas yang memungkinkannya untuk
commit to user xliv
Goodman, 2003 : 563 ). Dalam realita, sering kali rakyat atau korban dari risiko
itu sendiri mulai merefleksikan risiko modernisasi tersebut. Selanjutnya mereka
mulai mengamati dan mengumpulkan data tentang risiko dan akibatnya. Oleh
karena itu, refleksivitas baik berbentuk pikiran, renungan, sikap maupun
tindakan akan berperan dalam mengantisipasi , mengurangi atau mengatasi
dampak-dampak atau akibat-akibat dari risiko.
3. Motivasi
Teori dari Talcott Parsons mengenai tindakan sosial (orientasi
subyektif ) digunakan untuk menjelaskan motivasi dalam penelitian ini. Selain
itu, sebagai tambahan, juga digunakan teori motivasi kontenporer, teori ERG
dari Clayton Alderfer.
Teori Parsons mengenai tindakan sosial yang sifatnya umum
menekankan orientasi subyektif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu.
Pilihan tersebut secara normatif diatur nilai dan standar normatif bersama, dan
berlaku untuk tujuan yang ditentukan individu termasuk alat yang digunakan
untuk mencapainya, dan juga dalam memenuhi kebutuhan fisik yang mendasar
(Johnson, 1990 : 113). Menurut Parsons, orientasi orang yang bertindak terdiri
dari dua elemen dasar, yaitu orientasi motivasional (keinginan individu
bertindak untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan), dan
orientasi nilai (standar normatif yang mengendalikan pilihan individu (alat dan
tujuan) dan prioritas terkait kebutuhan dan tujuan yang berbeda). Orientasi
commit to user xlv
evaluatif. Sementara itu, orientasi nilai juga terdiri dari tiga dimensi, yaitu
kognitif, apresiatif dan moral (Johnson, 1990 : 113).
Penelitian ini lebih menekankan penggunaan orientasi motivasional
daripada orientasi nilai dalam melakukan analisis terhadap motivasi. Hal
tersebut karena komponen dalam orientasi nilai yang yang menunjuk pada
standar normatif umum, bukan keputusan dengan orientasi tertentu. Orientasi
motivasional, terdiri dari tiga dimensi berbeda. Dimensi kognitif yaitu,
pengetahuan orang yang bertindak terkait situasinya, terutama yang
berhubungan kebutuhan dan tujuan pribadi yang berbeda. Dimensi katektik
menunjuk pada reaksi afektif / emosional orang yang bertindak terhadap situasi
atau berbagai aspek didalamnya. Dimensi evaluatif menunjuk dasar pilihan
seseorang antara orientasi kognitif dan katektif secara alternatif.
Teori ERG merupakan hasil revisi Alderfer setelah mengerjakan
ulang teori klasik motivasi, yaitu hirarki kebutuhan Abraham Maslow
(Robbins, 2003 : 214). Menurut Alderfer terdapat tiga kelompok kebutuhan inti,
yaitu eksistensi (exsistence), hubungan (relatedness), dan pertumbuhan
(growth), sehingga disebut teori ERG (Robbins, 2003 : 214). Kelompok
eksistensi mempedulikan pemberian persyaratan eksistensi materiil dasar kita,
mencakuphal-hal yang dianggap Maslow sebagai kebutuhan fisiologis dan
keamanan. Kelompok kebutuhan kedua adalah kelompok kebutuhan hubungan,
yaitu hasrat yang untuk memiliki dan memelihara hubungan sosial dan
commit to user xlvi
sama dengan kebutuhan sosial dan komponen eksternal dari klasifikasi
penghargaan Maslow. Akhirnya, kebutuhan pertumbuhan adalah hasrat
intrinsik untuk perkembangan pribadi, mencakup komponen intrinsik kategori
penghargaan dan karakteristik yang tercakup dalam kebutuhan aktualisasi
Maslow.
Perbedaan antara teori hirarki kebutuhan Maslow dan teori ERG
Alderfer selain menggantikan lima kebutuhan menjadi tiga, yaitu dapat
beroperasi sekaligus lebih dari satu kebutuhan, dan jika kepuasan dari suatu
kebutuhan tingkat yang lebih tinggi tertahan, maka hasrat untuk memenuhi
kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah meningkat. Kelebihan teori ERG,
karena lebih konsisten dengan pengetahuan kita mengenai perbedaan individual
antara orang-orang dan dengan adanya bukti beberapa studi empiris, sehingga
secara keseluruhan teori ERG menyatakan suatu versi yang valid dari hirarki
kebutuhan Maslow (Robbins, 2003 : 216).
D. Penelitian Terdahulu
Penelitian dengan judul “The Context of Risk Decisions : Does Social
Capital Make Difference (Young People, Social Capital, and the Negoiations of
Risk, carried out under the Pathways into and out of Crime the Young
People ?)”, oleh Thilo Boeck, Jannie Flaming dan Kemshal Hazel tahun 2006.
Penelitian ini diambil dari Jurnal Forum Qualitative Sozial Forschung , Forum:
commit to user xlvii
January 2006. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa terdapat dua
kelompok anak muda yang berada pada kondisi yang berbeda, yaitu anak muda
yang berada pada “situasi berisiko” dan dalam “situasi navigasi risiko”. Anak
muda yang berada dalam situasi yang lebih berisiko (bersinggungan dengan
risiko) menunjukkan pendekatan yang fatalistik (apatis, putus asa dan frustasi)
terhadap kehidupan mereka dan risiko, dan berada dalam keadaan yang disebut
stagnansi risiko (risk stagnation), dimana mereka tidak mampu atau tidak ingin
mengambil/menghadapi risiko untuk meninggalkan situasi mereka saat ini.
Sementara itu, anak muda yang berada dalam situasi navigasi risiko adalah
mereka yang ditandai oleh beragam dan luasnya jaringan yang mereka
punya, serta pandangan yang aktif dan fokus dalam kehidupan. Jadi
merekalah, yang mampu melakukan navigasi atas risiko, mengelola transisi
kehidupan dan mengambil atau menghadapi risiko untuk melakukan gerakan
perubahan dengan meninggalkan situasi yang bermasalah.
Sumbangan penelitian tersebut adalah dalam hal hasil penelitiannya.
Hasil penelitian tersebut secara tidak langsung menjawab bahwa modal sosial
turut berperan dalam keputusan anak muda pada risiko kriminalitas. Senada
dengan hal tersebut, penelitian ini yang dilakukan ini juga akan mengangkat
modal sosial dan risiko, serta refleksivitas anggota Klub Motor Wonogiri King
Club (WKC), sehingga dapat menjadi gambaran bagi pelaksanaan penelitian
commit to user xlviii
Penelitian berjudul “Social Capital and Children’s Wellbeing : a
Chritical Shyntesis of The Social Capital Literature”, oleh Kristin M. Ferguson
pada tahun 2006, dari International Journal of Social Wellfare ISSN
1369-6866. Hasil dari penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa modal
sosial berkorelasi atau terkait dengan kesejahteraan anak atau remaja. Hasil
penelitian tersebut sekaligus menjadi sumbangan pada penelitian mengenai
Modal Sosial dan Refleksivitas Anggota Klub Motor Wonogiri King Club
(WKC). Hal tersebut menjadi teoritisi dasar yang dapat membantu
mengeksplorasi berbagai penelitian mendatang yang berkaitan dengan modal
sosial, termasuk penelitian ini.
Penelitian berjudul “Kehidupan Berorganisasi sebagai Modal Sosial
Komunitas Jakarta “, oleh Linda Darmajanti Ibrahim pada tahun 2002, yang
diambil dari Jurnal Masyarakat terbitan Lab. Sosio FISIP UI Edisi no 11 tahun
2002. Hasilnya kehidupan berorganisasi di tingkat komunitas ketetanggaan
dapat dikembangkan dengan keberadaan aktor individual-sosial agar mampu
mengakses sumberdaya lokal. Bahkan organisasi dapat menjadi wadah dan alat
untuk mengembangkan nilai-nilai demokrasi warga agar lebih mandiri
berswasembada sebagai penduduk Jakarta. Kehidupan berorganisasi antar dan
di rumah tangga komunitas menjadi suatu cerminan proses saling mengisi
modal sosial dan modal manusia. Sumbangan dari penelitian tersebut adalah
commit to user xlix
sosial dalam masyarakat khususnya dalam suatu komunitas komunitas .
Mengingat penelitian Modal Sosial dan Refleksivitas Anggota Klub Motor
Wonogiri King Club (WKC) juga terkait langsung dengan suatu kelompok
masyarakat.
Penelitian dengan judul “Urgensi Keberadaan Social Capital dalam
Kelompok-Kelompok Sosial : Kajian mengenai Social Capital Pada Kelompok
Tani Mardi Utomo dan kelompok PKK Di Desa Bakalan, Kecamatan
Jumapolo, Kabupaten Karanganyar , Jawa Tengah “ oleh Ali Wafa, dan diambil
dari Jurnal Masyarakat terbitan Lab. Sosio FISIP UI Edisi no 12 tahun 2003.
Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa aspek-aspek struktur sosial di Desa
Bakalan dapat dimanfaatkan dengan baik oleh Kelompok Tani Mardi Utomo
untuk mencapai tujuan kelompoknya yaitu memenuhi kebutuhan rumah dan
sawah bagi anggotanya. Social capital dalam kelonpok tersebut dapat berjalan
berkat dukungan trust atau kepercayaan yang cukup kuat , mekanisme kontrol
sosial , pekerjaan yang sama sebagai petani dan tujuan yang sama dimiliki oleh
kelompok sosial , yang semuanya berada dalam struktur sosial yang ada.
Hasil penelitian tersebut yang menjadi sumbangan pada penelitian
terkait Modal Sosial dan Refleksivitas Anggota Klub Motor Wonogiri King
Club (WKC). Paparan hasil penelitian tersebut dapat menjadi suatu temuan
yang penting sekaligus menjadi pandangan bagi peneliti khususnya terhadap
commit to user l
peneliti juga merupakan kelompok yang tergabung dalam Klub Motor
Wonogiri King Club (WKC).
E. Kerangka Pemikiran
Motivasi merupakan suatu pendorong agar seseorang itu melakukan
suatu kegiatan untuk mencapai tujuannya (Thoha, 2004 :253). Dengan kata lain,
tiap tindakan atau perilaku manusia didasarkan atas suatu tujuan, kepentingan
atau keinginan tertentu. Bagi orang-orang yang menjadi telah menjadi anggota
Klub Motor WKC juga terdorong oleh berbagai tujuan, kepentingan atau
keinginan tertentu hingga sampai pada suatu keputusan untuk bergabung
sebagai anggota dalam klub motor tersebut.
Menurut Putnam, modal sosial menunjuk pada bagian-bagian
organisasi sosial seperti kepercayaan, norma, dan jaringan , yang dapat
meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan
terkoordinasi (dalam Putnam, 1993 : 167 yang dikutip Field, 2010 : 49). Jadi
setidaknya terdapat tiga bentuk sekaligus unsur modal sosial yang disebutkan
oleh Putnam , yaitu kepercayaan, norma, dan jaringan. Selanjutnya Putnam
juga menyebutkan dua bentuk dasar dari modal sosial yaitu : menjembatani
(atau inklusif) dan mengikat (atau eksklusif). Kedua bentuk dasar tersebut
memiliki karakteristik masing-masing, namun begitu tetap terdapat
kesamaannya, yakni membantu menyatukan kebutuhan yang berbeda (Field,
commit to user li
Memasuki era masyarakat risiko berarti bahwa isu mengenai
risiko-risiko yang mungkin dihadapi masyarakat menjadi lebih fundamental.
Akibatnya seluruh masyarakat, dalam kondisi siap atau tidak siap harus tetap
mengahadapi berbagai risiko yang ada, baik risiko fisik- ekologis
(physical-ecological risk), risiko sosial (social risk), dan risiko mental (psyche risk).
Kenyataan itu pula yang dialami para anggota klub motor Wonogiri King Club
(WKC) yang juga mengalami risiko fisik dengan adanya ancaman kecelakaan,
risiko sosial dengan makin memupuk individualisme, dan risiko sosial yang
berpotensi menjadi risiko mental dengan munculnya kesan negatif terhadap
pengendara RX King yang identik sebagai brandalan. Meskipun begitu, selain
menghadapi berbagai risiko para anggota Klub Motor Wonogiri King Club
(WKC) juga menghasilkan refleksivitas untuk mengetahui, menyadari
kemudian memahami cara mengatasi risiko tersebut.
Modal sosial menjadi begitu penting terkait kehidupan masyarakat
risiko. Keterkaitan tersebut terlihat dengan meningkatnya individualisme dalam
kehidupan masyarakat. Individualisasi kehidupan masyarakat yang makin kuat
dan berlebihan inilah yang turut mendorong pentingnya peran dan posisi modal
sosial untuk menyeimbangkan. Karena modal sosial merupakan konsep yang
sering digunakan dalam ilmu sosial untuk menggambarkan kapasitas sosial
untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memelihara integrasi sosial (Pratikno
dan Tim, 2001 : 5) , yang notabene dekat dengan konsep solidaritas sosial dan
commit to user lii
masyarakat risiko, khususnya refleksivitas disebabkan oleh peran sentral modal
sosial dalam menjadi navigator risiko, seperti disebutkan dalam hasil penelitian
“Anak Muda, Modal Sosial dan Negoisasi Risiko” (Young People, Social
Capital and Negoitation of Risk) ,khususnya tentang “jalur atau saluran-saluran
bagi anak muda untuk dapat masuk (terjerumus) dan keluar (terhindar) dari
kejahatan” (Pathways into and out of Crime for Young People). Jadi secara
sederhana dapat dikatakan bahwa terlepas berperan sentral atau tidak, berperan
besar atau kecil , modal sosial memiliki peran dalam mendorong lahirnya
refleksivitas dalam masyarakat risiko, yang sekaligus menunjukkan keterkaitan
antara keduanya.
Bagan 1
Kerangka Pemikiran
Modal Sosial :
• Kepercayaan (trust)
• Norma (norms)
• Jaringan (network)
(Field, 2010 : 46) (Lawang,2004 : 212) (Pratikno dan Tim, 2001 : 5)
Refleksivitas
(Jones, 2009 : 251 dan 281)
Motivasi menjadi anggota Klub Motor WKC
(Thoha, 2004 : 253)
commit to user liii BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Wonogiri, yang
merupakan wilayah cakupan dari Klub Motor Wonogiri King Club (WKC).
Pemilihan lokasi tersebut dilatarbelakangi oleh Klub Motor RX King yang
notabene masih berusia muda (3 tahun), namun memiliki koordinator wilayah
(korwil) yang cukup banyak. Korwil tersebut meliputi : Wonogiri, Sidoharjo,
Jatisrono, Slogohimo, Purwantoro, Nguntoronadi, Batu dan Pracimantoro.
Selain itu, kemudahan dalam hal akses data menjadi alasan lain pemilihan
lokasi tersebut.
B. Jenis Penelitian
Penelitian deskriptif kualitatif menjadi jenis penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini. Terkait hal tersebut, Mayer dan Greenwood
membedakan dua jenis deskriptif, yaitu deskriptif kualitatif dan deskriptif
kuantitatif (Silalahi, 2009: 27). Deskriptif kualitatif semata-mata mengacu pada
identifikasi karakteristik (sifat yang membedakan) sekelompok manusia, benda
atau peristiwa, dan melibatkan proses konseptualisasi, serta menghasilkan
pembentukan skema-skema klasifikasi. Sedangkan deskriptif kuantitatif, justru
menyajikan tahap lebih lanjut dari observasi, atau setelah memiliki skema