BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Sebelum era reformasi1, penyelenggaraan negara dan pemerintahan
diwarnai dengan praktek maladministrasi, antara lain terjadnyai korupsi, kolusi,
dan nepotisme, sehingga diperlukan reformasi birokrasi penyelenggaraan negara
dan pemerintahan demi terwujudnya penyelenggaraan negara dan pemerintahan
yang efektif, jujur, bersih, terbuka, bebas dan adil terkendali. Praktik Korupsi
Kolusi Nepotisme sangat sulit untuk dihilangkan, sehingga hal ini menyebabkan
masyarakat semakin sukar untuk memperoleh pelayanan sesuai dengan haknya
sebagai seorang warganegara. Bentuk dari kekecewaan tersebut mendorong
masyarakat, khususnya mahasiswa dan kaum terpelajar, untuk melakukan gerakan
reformasi pada tahun 1998 yang terjadi hampir diseluruh plosok daerah di
Indonesia2.
Salah satu alasan dari diadakannya reformasi adalah diharapkan adanya
perubahan mental dan kultur birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Keinginan ini kemudian menjadi dorongan berbagai kalangan
masyarakat untuk mendirikan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
mengawasi kinerja pemerintahan, seperti Indonesian Corruption Watch. Sistem
Pengawasan eksternal yang dilakukan oleh berbagai LSM, mahasiswa dan
1
Era reformasi di Indonesia dimulai pada 21 Mei 1998 ketika jabatan Kepresidenan Soeharto lengser atas tuntutan mahasiswa,dan hampir seluruh anggota masyarakat di Indonesia.Lihat Abdul Ghoffar,perbandingan kekuasaan Presiden Indonesia setelah perubahan UUD 1945 dengan delapan Negara maju,Kencana Prenada,Jakarta,2009,Hal.9
2
komponen demokrasi lainnya memiliki fungsi terbatas sebagai lembaga yang
tidak secara langsung berpengaruh terhadap struktur birokrasi dan kekuasaan.
Pada saat yang sama, lembaga pemerintahan yang bertugas untuk melakukan
pengawasan internal juga tidak bekerja secara maksimal, bahkan bertindak tidak
lebih sebagai alat justifikasi dan pelindung pejabat publik yang malah melakukan
penyimpangan3.
Dalam kondisi seperti ini,rasa keadilan masyarakat menjadi berkurang, Di
saat yang sama masyarakat dihadapkan pada suatu kondisi kehidupan
perekonomian yang sangat sulit,Keadaan tersebut merupakan awal mula
terbentuknya pandangan negatif terhadap pemerintah dan institusi kenegaraan
lainnya sehingga menimbulkan dampak yang menuju pada keadaan anti sosial
yang tidak percaya kepada pemerintahan.
Dengan dimulainya era reformasi, penyelenggaraan pemerintahan yang
bersih dan efektif menjadi harapan setiap warga negara.Hal inilah yang menjadi
tuntutan masyarakat yang selama ini hak-hak mereka kurang mendapat perhatian
dan pengakuan secara layak, padahal pelayanan kepada masyarakat dan
penegakan hukum yang adil merupakan dua aspek yang tidak terpisahkan dari
upaya menciptakan pemerintahan demokratis yang bertujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat,keadilan,kepastian hukum dan kedamain4.
Sebagaimana kita ketahui bahwa tujuan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4 yang
3
Antonius Sujata,Peranan Ombudsman dalam Pemberantasan dan Pencagahan Korupsi serta Pelakasanaan Pemerintahan yang Baik,Komisi Ombudsman Indonesia,2006
4
berbunyi Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam rangka mewujudkan keadilan itulah,maka badan-badan kenegaraan
yang ada diharapkan dapat melaksanakan fungsi pengawasan secara optimal
dengan harapan pemerinthan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Tetapi
badan-badan pengawasan tersebut masih diragukan keterbukaannyadalam melakukan
tugas-tugasnya. Kurang optimalnya fungsi pengawasan yang selama ini dilakukan
oleh badan pengawasan eksternal yang independen dan bebas dari campur tangan
kepentingan pihak manapun dan mempunyai akses pengawasan yang berpengaruh
terhadap struktur birokrasi pemerintahan maupun lembaga kenegaraan
lainnya.Lembaga tersebut diharapkan memiliki satu kepentingan
yaitumuwujudkan pemerintahan yang baik (good governance).
Melihat begitu kompleksnya masalah yang sedang dihadapi oleh bangsa
gagasan untuk membentuk Ombudsman sebagai sebuah institusi resmi untuk
mengawasi jalannya pemerintahan,ide awal mula Ombudsman dilahirkan, dengan
harapan dapat memberikan keadilan yang diperlukan sebagai hak dari masyarakat
yang merupakan bagian dari Bangsa Indonesia yang berdaulat. Lembaga
Ombudsman tersebut diharapkan dapat menjalankan tugasnya dengan baik
sebagaimana yang diamanatkan oleh banyak pihak, terutama masyarakat biasa,
yang sangat menginginkan keadilan menjadi milik mereka juga.
Lahirnya Ombudsman di Indonesia berawal pada masa Pemerintahan
Presiden Abdul Rahman Wahid akibat adanya tekanan masyarakat yang
menghendaki terjadinya perubahan menuju pemerintahan yang transparan, bersih
dan bebas korupsi kolusi dan nepotisme.Ombudsman adalah lembaga negara yang
mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, baik
yang diselenggarakan penyelenggara negara maupun pemerintah,Termasuk
memiliki kewenangan dalam mengawasi pelayanan publik yang diselenggarakan
badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan hukum milik negara,
serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan
pelayanan publik tertentu, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah. Ombudsman bersifat independen dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya yang mengandung azas kebenaran, keadilan, non diskriminasi,
tidak memihak, transparansi, keseimbangan dan kerahasiaan.5
5
Ombudsman sebagai lembaga independen yang bersifat mengawasi
diharapkan tetap pada komitmen awal pembentukannya yaitu memberi dorongan
agar pekerja publik mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Bagaimanapun
Ombudsman sebagai institusi pengawasan tetap berjalan di tempatnya agar
penyelenggara negara yang memperoleh dorongan Ombudsman segera berjalan
cepat menuju ke arah pemerintahan yang lebih baik (good government).6
Namun seiring dengan berjalannya waktu yang sudah hampir sebelas
tahun sejak Ombudsman didirikan sejak pertama kali, masyarakat tidak begitu
memahami Ombudsman itu sendiri.sehinga Komisi Ombudsman terkesan berjalan
di tempat.
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis merasa tertarik
dengan Komisi Ombudsman yang telah ada namun tidak banyak yang
mengetahuinya dan akan mengangkatnya dalam sebuah karya ilmiah dengan judul
”Kedudukan dan Peranan Ombudsman RI dalam Penegakan Hukum di
Indonesia”. Penulis sangat mengingginkan agar penulisan skripsi ini dapat
diterima oleh masyarakat dan dapat memberikan saran demi kemajuan penulis
sendiri khususnya.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan skripsi dengan judul “Kedudukan dan
Peranan Ombudsman RI dalam Penegakan Hukum di Indonesia” antara lain :
6
1. Bagaimanakah kedudukan dan Peranan Ombudsman dalam
pembagian kekuasaan menurut Hukum Tata Negara?
2. Bagaimanakah kedudukan dan peranan Ombudsmaan Republik
Indonesia dalam penegakan hukum di Indonesia ?
C.Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan memahami kedudukan dan peranan
Ombudsman dalam pembagian kekuasaan menurut Hukum Tata
Negara
2. Untuk mengetahui kedudukan dan peranan Ombudsman Republik
Indonesia dalam penegakan hukum di Indonesia.
Selain untuk mencapai tujuan, penulisan ini juga diharapkan dapat
bermanfaat secara umum yaitu bagi perkembangan kemajuan hukum di Indonesia
khususnya Hukum Tata Negara.
Penulisan ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut :
1. Secara teoritis
Hasil penelitian yang akan dituangkan dalam skripsi ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum di Indonesia khususnya ilmu hukum
Tata Negara.
2. Secara praktis
Penelitian yang tertuang dalam penulisan skripsi ini diharapkan bermanfaat
bagi praktisi hukum di Indonesia terutama bagi para pelaksana Ombudsman di
birokrasi dan administrasi, sehingga dapat memperbaiki kinerja kerja para
aparatur pemerintahan tersebut demi mewujudkan Indonesia yang bersih dari
berbagai praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
D. Keaslian Penulisan
Untuk mengetahui orisinalitas penulisan,sebelum melakukan penulisan
skripsi berjudul “Kedudukan dan Peranan Ombudsman RI dalam Penegakan
Hukum di Indonesia”,penulis terlebih dahulu melakukan penelusuran terhadap
berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat
tertanggal 18 Februari 2012 (terlampir) menyatakan tidak ada judul yang memiliki
kesamaan.
Surat dari Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
tersebut kemudian dijadikan dasar oleh Bapak Armansyah,S.H,M.Hum (Ketua
Departemen Hukum Tata Negara)untuk menerima judul yang diajukan oleh
penulis,karena belum pernah ada judul skripsi yang bersamaan dengan judul yang
saya ajukan.
Penulis juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui media
internet,dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan,belum ada penulis yang
mengangkat topik tersebut Sekalipun ada,hal itu diluar sepengetahuan penulis dan
tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam skripsi ini.Permasalahan
didasarkan pada pegertian-pengertian,teori-teori,dan aturan hukum yang diperoleh
melalui referensi media cetak maupun media elektronik.Oleh karena itu,Penulis
menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E.Tinjauan Kepustakan
Penulisan skripsi ini berkaitan dengan Kedudukan dan Peranan
Ombudsman RI Dalam Penegakan Hukum di Indonesia.Adapun Tinjauan
Kepustakaan tentang skripsi ini,adalah sebagai berikut :
1. Lembaga Negara
Kelembagaan Negara berkaitan dengan “teori perjanjian masyarakat” yang
dikemukakan oleh sarjana-sarjana terkenal yaitu :
A.Montesque
Menurut pendapat Montesque,kekuasaan Negara dibagi atau dilaksanakan
oleh suatu badan yang berdiri sendiri,yaitu:
a.1.Kekuasaan Perundang-Undangan (Legislatif)
a.2.Kekuasaan melaksanakan pemerintahan (eksekutif)
a.3.Kekuasaan kehakiman (judikatif)
Ajaran ini kemudian terkenal dengan ajaran Trias Politika,dengan adanya
ajaran ini Montesque berpendapat bahwa,apabila kekuasaan Negara itu dipisahkan
secara tegas menjadi,yaitu:kekuasaan perundang-undangan,kekuasaan
melaksanakan pemerintahan,dan kekuasaan kehakiman,dan masing-masing
menghilangkan kemungkinan timbulnya tindakan yang sewenang-wenang dari
seorang penguasa,atau tegasnya tidak memberikan kemungkinan dilaksanakannya
sistem pemerintahan absolutisme7.
John Locke menyatakan keadaan alamiah adalah suatu keadaan di mana
manusia hidup bebas dan sederajat,keadaan disini sudah bersifat sosial,karenaa
manusia hidup rukun dan tentram sesuai dengan hukum akal (law of reason) yang
mengajarkan bahwa manusia tidak boleh mengganggu hidup, kesehatan,
kebebasan, dan milik dari sesamanya8.
Dalam bukunya yang berjudul “ two Treatises on Civil Government “
(1690) John Locke memisahkan kekuasaan dari tiap-tiap Negara dalam9 :
b.1.Kekuasaan legislatif,yaitu kekuasaan untuk membuat Undang-Undang;
b.2.Kekuasaan eksekutif,yaitu kekuasaan untuk melaksanakan Undang-Undang
b.3.Kekuasaan federatif,yaitu kekuasaan mengadakan perserikatan dan alliansi
serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan diluar negeri.
Van Vollenhoven menganjurkan teori Catur Praja (Quarto Politica) yang
terdiri atas penyelenggara pemerintahan (bestuur), kepolisian, peradilan, dan
legislatif. Menyelenggarakan pemerintahan mangandung makna proaktif, dan van
Vollenhoven memperkenalkan prinsip vrijbestuur dalam penyelenggaraan
Kewajibannya menganut stelsel residual theory, yaitu melaksanakan tugas
apa saja meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, selain tugas-tugas kepolisian,
peradilan, dan legislatif. Untuk melaksanakan kewajiban ini pemerintah memiliki
diskresi atau kebebasan bertindak dengan prinsip freies ermessen demi menjaga
kepentingan rakyat.
Berdasarkan teori residu dari Van Vollenhoven dalam bukunya “Omtrek
Van Het Administratief Recht”, membagi kekuasaan/fungsi pemerintah menjadi
empat yang dikenal dengan teori catur praja yaitu:
1) Fungsi memerintah (bestuur)
Dalam negara yang modern fungsi bestuur yaitu mempunyai tugas yang
sangat luas, tidak hanya terbatas pada pelaksaan undang-undang saja. Pemerintah
banyak mencampuri urusan kehidupan masyarakat, baik dalam bidang ekonomi,
sosial budaya maupun politik.
2) Fungsi polisi (politie)
Merupakan fungsi untuk melaksanakan pengawasan secara preventif
yaikni memaksa penduduk suatu wilayah untuk mentaati ketertiban hukum serta
mengadakan penjagaan sebelumnya (preventif), agar tata tertib dalam masyarakat
tersebut tetap terpelihara.
3) Fungsi mengadili (justitie)
Adalah fungsi pengawasan yang represif sifatnya yang berarti fungsi ini
melaksanakan yang konkret, supaya perselisihan tersebut dapat diselesaikan
4) Fungsi mengatur (regelaar)
Yaitu suatu tugas perundangan untuk mendapatkan atau memperoleh
seluruh hasil legislatif dalam arti material. Adapun hasil dari fungsi pengaturan ini
tidaklah undang-undang dalam arti formil (yang dibuat oleh presiden dan DPR),
melainkan undang-undang dalam arti material yaitu setiap peraturan dan ketetapan
yang dibuat oleh pemerintah mempunyai daya ikat terhadap semua atau sebagian
penduduk wilayah dari suatu negara.
2.Sejarah Ombudsman di dunia
Institusi Ombudsman pertama kali lahir di Swedia, meskipun demikian
pada dasarnya Swedia bukanlah negara pertama yang membangun sistem
pengawasan (seperti) Ombudsman. Bryan Gilling dalam tulisannya berjudul The
Ombudsman In New Zealand mengungkapkan bahwa pada zaman Kekaisaran
Romawi terdapat institusi Tribuni Plebis yang tugasnya hampir sama dengan
Ombudsman yaitu melindungi hak-hak masyarakat lemah dari penyalahgunaan
kekuasaan oleh para bangsawan. Model pengawasan seperti Ombudsman juga
telah banyak ditemui pada masa kekaisaran Cina dan yang paling menonjol
adalah ketika pada tahun 221 SM Dinasti Tsin mendirikan lembaga pengawas
bernama Control Yuan atau Censorate yang bertugas melakukan pengawasan
terhadap pejabat-pejabat kekaisaran (pemerintah) dan sebagai “perantara” bagi
masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi, laporan atau keluhan kepada
Kaisar.
Menurut Dean M Gottehrer[1] pada dasarnya Ombudsman berakar dari
sistem ketatanegaraan Islam. Hal tersebut dapat dilihat pada masa Khalifah Umar
(634-644 SM) yang saat itu memposisikan diri sebagai Muhtasib, yaitu orang
yang menerima keluhan dan termasuk dapat menyelesaikan perselisihan (antara
masyarakat dengan pejabat pemerintah). Tugas sebagai Muhtasib dijalankan
Khalifah Umar dengan cara melakukan “penyamaran”, mengunjungi berbagai
wilayah secara diam-diam guna mendengar sendiri keluhan langsung dari rakyat
terhadap pemerintah . Khalifah Umar kemudian membentuk lembaga Qadi Al
Quadat (Ketua Hakim Agung) dengan tugas khusus melindungi warga masyarakat
dari tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat
pemerintah .
Dalam literatur-literatur tentang Ombudsman umumnya disebutkan bahwa
ide pembentukan Institusi Ombudsman pertama kali datang dari Raja Charles XII
(1697-1718) di Swedia setelah pada tahun 1709 melarikan diri ke Turki karena
kalah perang dengan Rusia dalam The Great Northern War (1700-1721). Sepulang
dari pengasingan tersebut, pada tahun 1718 Raja Charles XII memutuskan untuk
membentuk Office of The King’s Highest Ombudsman. Keputusan Raja Charles
XII membentuk Office of The King’s Highest Ombudsman terpengaruh dengan
konsep pengawasan dalam sistem Turkish Office of Chief Justice.
Pada sistem ketatanegaraan Turki saat itu, Office of Chief Justice sangat
berperan melakukan pengawasan terhadap penyelenggara negara guna menjamin
bahwa hukum Islam harus diikuti dan diterapkan oleh seluruh penyelenggara
negara, termasuk Sultan sebagai pimpinan . Bila dilihat dari mandat yang
masa Khalifah Umar (634-644 SM) yang bertugas melidungi hak-hak rakyat dari
perlakuan tidak adil serta tindakan penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara
negara.
Saat itu keberadaan Chief Justice sangat berpengaruh dalam penegakkan
hukum terhadap penyelenggara negara di Turki. Masyarakat yang merasa
diperlakukan tidak adil atau semena-mena oleh penyelenggara negara dapat
menyampaikan keluhan kepada Chief Justice guna memperoleh tindak lanjut.
Mekanisme check and balance seperti ini kemudian mengilhami Raja Charles XII
membentuk Office of The King’s Highest Ombudsman. Sebagai seorang raja,
mungkin Charles XII menyadari apabila tidak ada pengawasan terhadap
pelaksanaan kekuasaan yang dijalankan Raja dan Pejabat Kerajaan saat itu
berpotensi memunculkan kesewenang-wenangan (tirani) yang justru akan sangat
merugikan posisinya sebagai seorang raja yang sempat terlupakan akibat lama di
pengasingan.
Demikian selanjutnya sistem pengawasan Ombudsman di Swedia terus
mengalami perkembangan hingga secara resmi The King’s Highest Ombudsman
yang pada awalnya merupakan executive Ombudsman berkembang menjadi
parlianmentary Ombudsman dengan dimasukkannya Ombudsman dalam
Konstitusi Swedia Tahun 1809. Sebelum resmi diatur dalam konstitusi, Parlemen
Swedia juga sempat membentuk lembaga yang fungsinya hampir sama dengan
The King’s Highest Ombudsman bernama Chancellor of Justice. Sebagai institusi
pengawasan yang dibentuk Parlemen, Ombudsman Swedia secara independen
penyelenggara negara. Selama satu setengah abad berlalu, institusi Ombudsman
hanya dikenal di Swedia, dan baru setengah abad belakangan ini sistem
Ombudsman menyebar ke berbagai penjuru dunia 11 .
Walaupun dapat dikatakan lambat tetapi pada akhirnya sistem pengawasan
Ombudsman terus berkembang dan saat ini telah ada lebih dari seratus negara
yang memiliki Ombudsman. Kurang lebih lima puluh negara bahkan telah
mencantumkan pengaturan Ombudsman dalam Konstitusi, seperti antara lain
Denmark, Finlandia, Filipina, Thailand, Afrika Selatan, Argentina, dan Meksiko.
Thailand yang usia Ombudman-nya notabene lebih muda dari Komisi
Ombudsman Nasional, telah terlebih dahulu mencantumkan ketentuan tentang
Ombudsman dalam Konstitusi12.
Di Indonesia sendiri wacana pembentukan Ombudsman telah berkembang
lebih kurang dua puluh tahun yang lalu, dan baru menjadi kenyataan pada tahun
2000. Belum banyak buku yang menceritakan sejarah terbentuknya Ombudsman
di Indonesia. Satu-satunya rekaman yang dapat kita kutip adalah dari buku yang
ditulis Antonius Sujata dkk pada tahun 2002 berjudul “Ombudsman Indonesia,
Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang.” Dalam buku tersebut diceritakan
bahwa pada awal November 1999 Presiden Republik Indonesia KH Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) berinisiatif memanggil Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk
mendiskusikan konsep pengawasan terhadap penyelenggara negara yang sama
sekali baru. Diskusi tersebut juga melibatkan Antonius Sujata seorang mantan
Jampidsus pada saat Kejaksaan Agung dipimpin oleh Andi Ghalib. Setelah
11
melakukan serangkaian pembicaraan Gus Dur menyepakati sebuah konsep
pengawasan untuk mendukung proses pemberantasan KKN yaitu Ombudsman.
Kemudian pada tanggal 8 Desember 1999 Gus Dur menerbitkan
Keputusan Presiden Nomor 155 Tahun 1999 Tentang Tim Pengkajian
Pembentukan Lembaga Ombudsman. Keppres tersebut ternyata keluar dari hasil
pembicaraan yang telah disepakati sebelumnya antara Gus Dur, Marzuki
Darusman dan Antonius Sujata. Kepres Nomor 155 Tahun 1999 hanya
membentuk Tim Pengkajian Ombudsman, sedangkan lembaga Ombudsman
secara kongkrit tidak jadi dibentuk. Hal ini dirasakan Antonius Sujata sebagai
sangat lamban sementara desakan masyarakat terhadap perbaikan pelayanan
umum dan pemberantasan KKN sudah sedemikian kuat. Oleh karena itu pada
tanggal 18 Desember 1999 Antonius Sujata bersama Jaksa Agung Marzuki
Darusman kembali menghadap Gus Dur dan meminta klarifikasi tentang
keberadaan Keppres Nomor 155 Tahun 1999, keduanya tetap pada rekomendasi
hasil pembicaraan yang telah disepakati sebelumnya. Sehingga akhirnya pada
tanggal 20 Maret 2000 Gus Dur mengeluarkan Keppres (pengganti) nomor 44
Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional yang sekaligus
menetapkan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Ombudsman 13 .
Pembentukan Office of The King’s Highest Ombudsman oleh Raja
Charles XII di Swedia dapat dilihat sebagai bentuk kerendahan hati seorang
penguasa. Tentu membutuhkan kebesaran jiwa dan kerendahan hati yang luar
biasa bagi Raja Charles XII karena dengan segala kekuasaan yang dimilikinya
13
sebagai seorang raja ia beserta jajaran orang-orang sekitar kerajaan dengan
segudang previlegi yang selama ini diberikan kerajaan dengan rela hati membuka
diri terhadap pengawasan yang dilakukan masyarakat melalui Office of The
King’s Highest Ombudsman. Pada awalnya The King’s Highest Ombudsman
adalah Ombudsman Kerajaan (executive Ombudsman) sehingga sah-sah saja
apabila saat itu mungkin ada sebagian orang yang meragukan independensinya.
Namun, setidaknya dalam praktek-praktek kakuasaan yang ada selama ini,
umumnya jarang sekali kita menemukan seorang penguasa dengan rela hati
membentuk suatu lembaga yang berwenang penuh mengawasi ia sendiri beserta
jajaran di sekitarnya.
Bukankah semestinya berlaku “hukum” bahwa kekuasaan memiliki
kecendrungan untuk melakukan apa saja (baca: menghalalkan segala cara) dalam
rangka mempertahankan diri dari segala hal yang dapat merongrongnya, termasuk
upaya-upaya pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat. Biasanya seorang
penguasa akan segera melakukan pemberangusan terhadap upaya-upaya
pengawasan dan kritik yang dilakukan masyarakat, karena hal tersebut berpotensi
mengganggu kelanggengan kekuasaan.
Berbeda dengan di Swedia, pembentukan Komisi Ombudsman
Nasional (Ombudsman) di Indonesia dilatarbelakangi suasana transisi menuju
demokrasi. Dengan segala kekurangannya, bagaimanapun kita patut memuji
keputusan Gus Dur karena telah berani membentuk Ombudsman sebagai lembaga
yang diberi wewenang mengawasi kinerja pemerintahan (termasuk dirinya
mensejajarkan sejarah pembentukan Ombudsman Swedia dengan Ombudsman di
Indonesia. Masing-masing memiliki nilai kesejarahannya sendiri-sendiri. Tetapi
setidaknya kita bisa melihat adanya kesamaan dalam hal kerendahan hati seorang
pemimpin yang sedang berkuasa karena bersedia membentuk Ombudsman yang
akan mengawasi dirinya sendiri. Kita percaya saat itu Gus Dur sadar betul bahwa
Ombudsman yang ia bentuk tersebut nantinya dapat saja bersebrangan dengannya
ketika ia membuat kebijakan ataupun keputusan baik yang bersifat administratif
maupun politis.
Namun hal itu tidak menjadikan Gus Dur membatalkan niatnya
membentuk Ombudsman. Memang pada awalnya ada perubahan dari rencana
semula, karena Kepres Nomor 155 Tahun 1999 yang semestinya dimaksudkan
menjadi landasan hukum pembentukan Ombudsman justru “berbelok” menjadi
pembentukan Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsman. Perubahan
tersebut menunjukkan bahwa pada awalnya tampak seperti ada keraguan dari
orang-orang sekitar Gus Dur apakah dalam kondisi politik saat itu, tanpa
dipersiapkan sedemikian rupa, Ombudsman dapat efektif menjalankan fungsi
pengawasannya. Namun secara substansi pada dasarnya Gus Dur tidak pernah
menolak pembentukan Ombudsman yang telah ia persiapkan bersama Marzuki
Darusman dan Antonius Sujata, hingga akhirnya dikeluarkanlah Keppres
(pengganti) Nomor 44 Tahun 2000 tentang pembentukan Komisi Ombudsman
Nasional.
Dalam perkembangannya, meskipun diangkat melalui Keputusan Presiden,
Presiden kala itu. Sikap tersebut ditunjukkan para Anggota Ombudsman pada saat
terjadi polemik berkepanjangan dalam pengangkatan Ketua Mahkamah Agung.
Saat itu Gus Dur sebagai Presiden tidak berkenan menetapkan dan mengangkat
satu dari dua orang calon Ketua Mahkamah Agung yang diusulkan DPR. Dalam
hal ini, Ombudsman menegaskan berbeda pendapat dengan Gus Dur dan
menyatakan bahwa berdasarkan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, khususnya pasal 8 ayat (1), yang pada dasarnya bersifat imperatif, maka
semestinya Gus Dur selaku Presiden waktu itu dalam kapasitasnya sebagai Kepala
Negara wajib menentukan salah satu dari dua calon yang telah diusulkan oleh
DPR, karena pasal tersebut tidak memberikan alternatif tindakan lain yang dapat
dilakukan Gus Dur sebagai seorang Presiden . Oleh karena itu kemudian
Ombudsman memberikan rekomendasi yang isinya menyarankan agar Gus Dur
selaku Preseden memilih dan menetapkan satu dari dua calon yang sudah
diusulkan oleh DPR. Dan ternyata Gus Dur mengikuti saran Ombudsman dengan
memilih Prof. DR. Bagir Manan, S.H, MCL sebagai Ketua Mahkamah Agung
yang baru. Dengan demikian selesailah polemik yang berkepanjangan di
masyarakat.
Sejak awal Ombudsman memang memilih untuk bersikap low profile.
Sikap ini didasari atas pertimbangan bahwa Ombudsman masih dalam proses
membangun kapasitas kerja dan secara politis kedudukan Keputusan Presiden
juga sangat rentan terhadap “fluktuasi” politik yang berkembang saat itu.
Tindakan high profile tanpa didasari perhitungan matang justru akan menjadi
Bagaimanapun, bila dibandingkan dengan Undang-Undang, Keputusan Presiden
lebih lemah kedudukannya karena dapat dan lebih mudah dicabut sewaktu-waktu.
Strategi low profile tersebut membuahkan hasil bagi semakin kuatnya dukungan
terhadap eksistensi Ombudsman, dari mulai pencantuman ombudsman dalam
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Propenas[2] sampai dengan
diterbitkannya TAP MPR Nomor VIII/MPR/2001 yang memberi mandat kepada
eksekutif dan legislatif agar menyusun Undang-Undang Ombudsman.
Bahkan yang terakhir, Komisi Konstitusi memasukkan usulan pasal
tentang Ombudsman dalam naskah amandemen UUD 1945 yang mereka susun
dan telah diserahkan kepada MPR RI. Usul pengaturan Ombudsman dalam
Amandemen UUD 1945 oleh Komisi Konstitusi dimasukan dalam pasal Pasal 24
G ayat (1), berbunyi: Ombudsman Republik Indonesia adalah ombudsman yang
mandiri guna mengawasi penyelenggaraan pelayanan umum kepada masyarakat.
Dan Ayat (2) berbunyi: Susunan, kedudukan dan kewenangan Ombudsman
Republik Indonesia diatur dengan Undang-Undang.
Sampai saat ini telah terbentuk dua lembaga Lembaga Ombudsman
Daerah di Indonesia. Dalam catatan Ombudsman, setidaknya ada lebih dari dua
puluh daerah yang berniat membentuk Ombudsman Daerah. Daerah Istimewa
Yogyakarta adalah propinsi pertama yang membentuk lembaga Ombudsman
Daerah, dan Asahan (Sumatera Utara) adalah Kabupaten pertama yang
membentuk Ombudsman Daerah. Dalam waktu yang tidak terlalu lama
diperkirakan Pangkalpinang (Bangka Belitung) juga akan membentuk
Pembentukan Ombudsman Daerah di Yogyakarta seakan mengulang
cerita sejarah tentang kerendahan hati seorang Raja Charles XII di Swedia,
karena berangkat dari keinginan kuat Raja Yogyakarta Sri Sultan
Hamengkubuwono X membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk
berpartisipasi mengawasi jalannya pemerintahan yang dipimpinnya. Sebagai
seorang Raja dan sekaligus seorang Gubernur, Sri Sultan Hamengkubuwono X
tentu memegang kekuasaan yang sangat besar, baik secara struktural maupun
kultural. Oleh karena itu, prakarsa pembentukan Ombudsman Daerah di DI
Yogyakarta merupakan cerminan dari sikap rendah hati seorang penguasa yang
merelakan diri dan jajarannya diawasi oleh masyarakat melalui Ombudsman.
Di Swedia Ombudsman lebih dahulu terbentuk sebelum negara tersebut
melakukan proses demokratisasi. Swedia baru melakukan proses demokratisasi
antara tahun 1890 sampai dengan tahun 1920 (Mas’oed:2003:23), sementara
Parlianmentary Ombudsman sudah terbentuk pada tahun 1809. Bahkan Office of
The King’s Highest Ombudsman telah dibentuk Raja Charles XII sejak tahun
1718. Dengan demikian Ombudsman di Swedia ketika itu tentunya juga menjadi
bagian yang sangat penting dalam mendorong berjalannya proses demokratisasi.
Selama lebih dari tiga dasawarsa di bawah rezim Orde Baru, peran
kekuasaan pemerintah (eksekutif) sungguh amat dominan sehingga masyarakat
lebih banyak menjadi objek yang diawasi daripada sebagai subjek yang
mengawasi (Sujata dan Surachman: 2002:4). Setelah kekuasaan rejim Orde Baru
runtuh, proses demokratisasi mengalami masa transisi yang panjang dan berliku.
dalam sejarah transisi menuju demokrasi. Kondisi transisional seperti itu
sebenarnya memberikan peluang bagi Ombudsman di Indonesia menjadi aktor
penting yang ikut mendorong jalannya proses demokratisasi dan memperjuangkan
jaminan adanya transparansi publik dari pemerintah dalam setiap proses
pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik 14 .
3. Praktek Maladministrasi Publik
Maladministrasi adalah suatu praktek yang menyimpang dari etika
administrasi,atau suatu praktek administrasi yang menjauhkan dari pencapaian
tujuan administrasi.Selama ini banyak kalangan yang terjebak dalam memahami
maladministrasi ,yaitu semata-mata hanya dianggap sebagai penyimpangan
administrasi dalam arti sempit,penyimpangan yang hanya berkaitan dengan
ketatabukuan dan tulis menulis.Bentuk-bentuk penyimpangan diluar hal-hal yang
bersifat ketatabukuan tidak dianggap sebagai perbuatan maladministrasi.Padahal
terminologi maladministrasi dipahami lebih luas dari sekadar penyimpangan yang
bersifat ketatabukuan sebagaimana selama ini dipahami banyak orang.
Maladministrasi dimaknai secara luas sebagai bagian penting dari pengertian
administrasi itu sendiri.Sampai di sini,sebelum kita menelaah lebih lanjut tentang
maladministrasi, ada baiknya diuraikan tentang apa itu administrasi.
Secara leksikal,administrasi mengandung empat arti,yaitu: 1) usaha dan
kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta cara penyelenggaraan dan
pembinaan organisasi; 2) usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan kebijakan untuk mencapai tujuan; 3) kegiatan yang berkaitan
14
dengan penyelenggaraan pemerintahan; 4)kegiatan kantor dan tata usaha15.Prajudi
Atmosudirdjo membagi pengertian administrasi dalam dua kelempok,yaitu secara
sempit dan secara luas.Secara sempit administrasi memang diartikan sebagai
kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan operasional terbatas pada
surat-menyurat,ketik-mengetik,catat-mencatat,pembukuan ringan dan kegiatan kantor
yang bersifat teknis ketatausahaan.Dalam arti yang lebih luas administrasi
dimaknai sebagai suatu proses kerja sama dari kelompok manusia
(orang-orang)dengan cara-cara yang berdaya guna (efisien) untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan terlebih dahulu.Sedangkan The Liang Gie memaknai administrasi
sebagai usaha manusia yang secara teratur bejerja sama dalam kelompok untuk
mencapai satu tujuan tertentu,terdiri dari administrasi kenegaraan,administrasi
perusahaan,dan administrasi kemasyarakatan .
F. Metode Penelitian
Sebelum membahas mengenai hal-hal yang berhubungan dengan metode
penulisan yang dipakai dalam penulisan skripsi ini, terlebih dahulu penulis
paparkan pengertian dari penelitian hukum. Menurut Soerjono Soekanto,
“Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada
metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk
mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisanya. Disamping itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam
terhadap faktor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu
15
pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala
yang bersangkutan”16 .
Hal-hal yang berkaitan dalam metode penelitian pada penulisan skripsi ini
antara lain:
1. Jenis penelitian
Dalam metode penelitian hukum dikenal ada dua jenis penelitian yaitu
penelitian hukum empiris dan penelitian hukum normatif.Penelitian hukum
empiris adalah penelitian terhadap identifikasi hukum,dan efektivitas hukum
(kaidah hukum,penegak hukum,sarana atau fasilitas,kesadaran hukum
masyarakat) dan penelitian perbandingan hukum.Sedangkan penelitian hukum
normative adalah penelitian yang membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam
ilmu hukum17.
Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum
normatif dimana dilakukan penelitian terhadap studi kasus yang kemudian
membahasnya dengan menggunakan bahan bacaan yang diperoleh dari berbagai
sumber.Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif,yaitu penelitian
yang mengacu pada norma hukum yang berlaku berupa doktrin dan asas dalam
ilmu hukum.Penelitian Normatif mencakup 18 :
a. Penelitian Terhadap Asas-asas hukum;
b. Penelitian inventarisasi hukum positif;
c. Penelitian terhadap sistematika hukum;
16
Soerjono Soekanto dalam Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika,2009),hal.18.
17
Ibid.hal.24. 18
d. Penelitian taraf sinkronasi vertical dan horizontal;
e. Penelitian hukum inconcrito;
f. Penelitian hukum klinis;
g. Penelitian sejarah hukum;
h. Penelitian perbandingan hukum.
Penelitian hukum normatif dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan
membahas penelitian terhadap 19 :
a. Asas-asas hukum,yaitu suatu penelitian hukum yang bertujuan untuk
menemukan asas hukum atau doktrin hukum positif yang berlaku;
b. Penelitian terhadap sistematika hukum yang dilakukan terhadap
peraturan perundang-undangan tertentu atau hukum tertulis;
c. Penelitian terhadap sinkronasi hukum,yang menjadi objek penelitian
adalah sampai sejauh mana hukum positif tertulis yang ada sinkron
atau serasi satu sama lainnya.
Penelitian yuridis normatif terhadap ketiga aspek tersebut diatas, namun
lebih menekankan penelitian terhadap sinkronasi hukum yaitu aturan-aturan yang
berkaitan dengan peran dan efektivitas dari Ombudsman di Indonesia.
2.sifat penelitian
Penelitian ini bersifat Deskriptif Analitis,yaitu metode penelitian yang
dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang terjadi
atau berlangsung yang tujuannya agar dapat memberikan data seteliti mungkin
mengenai objek penelitian sehingga mampu menggali berdasarkan teori-teori
hukum yang ada. Dalam penulisan ini hal tersebut dilakukan dengan
memperhatikan
3.Sumber Data Penelitian
Data adalah bahan yang dipakai dalam suatu penelitian.Data sangat berperan
penting dalam suatu penelitian demi penemuan terbaru.Sumber data dalam
penelitian terbagi menjadi dua yaitu data primer dan data skunder.Data primer
adalah data yang diperoleh peneliti langsung dari sumber pertama,yakni perilaku
individu dan masyarakat. Sedangkan data sekunder adalah data yang tidak
diperoleh dari sumber pertama.data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen
resmi,buku-buku,hasil penelitian, laporan, makalah, surat kabar dan lain-lain.
Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini terdiri dari data Sekunder,
yaitu data yang tidak diperoleh dari sumber pertama secara langsung,yang
meliputi bahan hukum Primer,bahkan hukum sekunder dan bahan hukum Tertier.
3.1. Bahan Hukum Primer adalah semua Undang-Undang yang terkait dengan
Ombudsman.
3.2. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang menjelaskan tentang
bahan hukum Primer,yaitu semua dokumen yang merupakan sumber
informasi dan bahan referensi yang berhasil dari media cetak dan media
masa. Contohnya buku,artikel-artikel yang termuat dalam internet,koran
dan majalah.
3.3. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang dapat memberikan
sekunder,bahan hukum tertier seperti kamus,ensiklopedia dan lain
sebagainya.
4. Tehnik pengumpulan data
Tehnik pengumpulan data dilakukan untuk mengumpulkan data dalam
menyelesaikan penelitian ini,maka dilakukanlah study pustaka (library research)
atau penelitian keperpustakaan.Penelitian pustaka ini dilakukan dengan menelaah
buku-buku,artikel-artikel ilmiah dan peraturan perundang-perundangan yang
berkaitan dengan dengan permasalahan yang ada pada skripsi ini.
5. Analisis data
Penelitian sosial umumnya mengenal dua macam analisa data yaitu analisis
kualitatif dan analisis kuantitatif.Analisi kualitatif sering disebut dengan analis
penelitian yang mencari informasi sedalam-dalamnya dan sebanyak-banyaknya
tentang aspek yang diteliti,dan mengkaji objek secara utuh.Sedangkan analisis
kuantitatif pada dasarnya penyorotan terhadap usaha pemecahan yang dilakukan
dengan upaya-upaya yang banyak didasarkan pada aspek pengukuran yang ketat
yang dilakukan dengan memecahkan objek penelitian kedalam unsur-unsur
tertentu untuk kemudian ditarik suatu generalisasi yang seluas mungkin ruang
lingkupnya.
Penelitian yang kemudian dituangkan dalam skripsi ini tidak hanya
mengumpulkan data,dalam penulisan skripsi ini data yang telah diperoleh
kemudian di analisis.Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode
penelitian bersifat deskriptif analisis maka analisis yang digunakan pada
terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta
norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
G. Sistem Penulisan
Sistematika penulisan memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai
hal yang akan penulis bahas dalam penulisan skripsi ini, yaitu menguraikan isi
penulisan dalam lima bab, dengan sistematika sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan, bab ini berisi uraian mengenai latar belakang yang
merupakan alasan mengapa penulis mengangkat masalah ini
sebagai bahan penelitian untuk kemudian dituangkan dalam
penulisan skripsi. Selain latar belakang, pada bab ini juga berisikan
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian
penulisan, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika
penulisan.
BAB II Memaparkan pembagian kekuasaan di Indonesia dimulai dari teori
Negara hukum, teori pembagian kekuasaan menurut pendapat ahli
dan pembagian kekuasaan menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945
BAB III Menguraikan pengertian, fungsi, tujuan, kewenangan, dan
kedudukan Ombudsman Republik Indonesia menurut pembagian
kekuasaan Hukum Ketatanegaraan.
BAB IV Memaparkan kedudukan dan peranan Ombudsman dalam
Penegakan Hukum di Indonesia,meliputi koordinasi dengan
investigasi Ombudsman terhadap kinerja mutu pelayanan
publik,serta mengenai kedudukan dan efektivitasnya dalam rangka
peningkatan pelayanan administrasi
BAB V Berisi kesimpulan dan saran, bab ini merupakan bab terakhir dalam
skripsi ini. Kesimpulan yang dimuat adalah kesimpulan ats hal
yang dibahas dan diuraikan pada bab-bab sebelumnya. Kesimpulan
ini merupakan hasil akhir atau jawaban atas rumusan masalah yang
telah dipaparkan. Setelah meneliti dan menuangkan dalam tulisan
maka penulis mengajukan saran-saran yang merupakan usulan
terhadap kekurangan dikesimpulan dan pembahasan, saran ini
diharapkan menjadi masukan bagi perkembangan kemajuan
Hukum Tata Negara di Indonesia. Saran tersebut juga diharapkan
dapat bermanfaat sebagai masukan bagi akademisi maupun
masyarakat bahkan aparatur negara, penegak hukum dan
pemerintahan.