• Tidak ada hasil yang ditemukan

huungan hukum internasional dan hukum na (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "huungan hukum internasional dan hukum na (1)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional

(Analisis Teori dan Penerapan Teori di Indonesia)

Tugas Mata Kuliah

Hukum Internasional

Dosen Pengampu; Dr. Suwandi, M.H

Oleh:

AHKAM RIZA KAFABIH NIM: 15781025

PROGRAM MAGISTER AL-AHWAL AL-SYAHSIYYAH PASCASARJANA

UNIVERISTAS ISLAM NEGRI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi pada zaman modern memberikan dampak terhadap kemudahan interaksi antar manusia. Kemudahan interaksi ini pun juga mempengaruhi hubungan antar negara, dimana hubungan antar negara dan pemerintahannya, serta organisasi internasional dapat diselenggarakan dengan lebih mudah, cepat dan hemat.

Kemudahan hubungan antar negara ini menuntut adanya peraturan yang jelas ketika terjadi interaksi antar negara, agar tidak terjadi ketidakadilan dan sikap merasa dirugikan bagi suatu negara atas negara lain. Maka peran hukum Internasional pada zaman modern mengalami perkembangan dibandingkan sebelumnya dikarenakan adanya tuntutan akan hal itu.

Perkembangan peran hukum internasional terhadap suatu negara, menyebabkan timbulnya dua peraturan hukum dalam suatu negara, yakni hukum nasional negara itu sendiri dan hukum internasional bagi negara tersebut. Adanya dua peraturan hukum dalam suatu negara ini memerlukan adanya penjelasan lebih lanjut mengenai kedudukan dan hubungan antara keduanya, mengingat adanya kedaulatan bagi negara tersebut baik ke luar negeri maupun dalam negerinya.

Penjelasan di atas kiranya cukup memberikan alasan perlunya mempelajari hubungan hukum internasional dengan hukum nasional, baik secara teoritis maupun secara praktis.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana teori yang merumuskan hubungan hukum internasional dan hukum nasional?

(3)

BAB II PEMBAHASAN

A. Analisis Teori-Teori Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional

Terdapat dua teori konvensional dalam membahas tentang hukum internasional, yaitu teori hukum alam (naturalisme) dan teori hukum positif (positivisme).1 Kedua teori ini merupakan grand theory yang menjadi pijakan

dalam merumusan teori-teori tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional.

1. Trasformasi teori hukum alam menuju teori monisme dan obyektivisme Teori hukum alam memiliki asumsi bahwa prinsip-prinsip hukum dalam semua sistem hukum bukan berasal dari manusia, melainkan berasal dari prinsip-prinsip yang berlaku secara universal, sepanjang masa dan dapat ditemui dengan akal sehat.2 Dari asumsi ini dapat diketahui bahwa

pada dasarnya hukum merupakan suatu kesatuan yang utuh, baik itu hukum internasional maupun hukum nasional. Berdasarkan pada teori ini, lahirlah teori monisme, yang menyatakan bahwa hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional merupakan dua bagian dari satu nasional, dan primat hukum nasional yang menempatkan hukum nasional di atas hukum internasional.4

1 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer (Bandung: PT Rafika Aditama, 2006), 12.

2 Boer Mauna, Hukum Internasional:Pengertian, Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global (Bandung: Penerbit Alumni,2003), IV:6.

3 Mochtar Kusuma Atmaja, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: Rosda Offset,1996), hlm. 56.

(4)

Karena hukum adalah suatu kesatuan yang utuh, maka tidak ada internasional dalam suatu negara, yakni bahwa ada dan berlakunya hukum Internasional dalam suatu negara itu terlepas dari kemauan Negara tersebut.5

2. Transformasi teori Positivisme menuju teori dualisme dan voluntarisme Teori positivisme dalam hukum internasional menyatakan bahwa hukum yang mengatur hubungan antar negara adalah prinsip-prinsip yang dibuat oleh negara-negara dan atas kemauan mereka sendiri. Dasar hukum hukum internasional adalah kesepakatan bersama antar negara-negara yang diwujudkan dalam perjanjian-perjanjian dan kebiasaan-kebiasaan internasional.6

Berbeda dengan teori hukum alam, teori positivisme lebih menekankan pada kedaulatan negara, sehingga negara berhak untuk menentukan kebijakan internasionalnya sendiri. Dampaknya, terdapat dualisme antara hukum internasional dan hukum nasional dalam suatu negara, hal inilah yang mendasari teori dualisme dalam hubungan hukum internasional dan hukum nasional.

Dalam teori dualisme dijelaskan bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua bidang hukum yang sama sekali berbeda dan berdiri sendiri satu dengan yang lainnya. Asumsi yang mendasarinya adalah keberlakuan hukum internasional murni kewenangan dari penguasa domestik. Oleh karena itu hukum internasional mempunyai kedudukan lebih tinggi dibanding dengan hukum internasional.7

Menurut aliran dualisme, perbedaan antara hukum nasioal dan hukum internasional terdapat pada:8

5 Kusumaatmadja, “Pengantar Hukum Internasional”, 40. 6 Mauna, “HukumInternasional.”, 6-7.

(5)

a. Perbedaan Sumber Hukum

Hukum nasional bersumberkan pada hukum kebiasaan dan hukum tertulis suatu negara sedangkan hukum internasional berdasarkan pada hukum kebiasaan dan hukum yang dilahirkan atas kehendak bersama negara-negara dalam masyarakat internasional. b. Perbedaan Mengenai Subjek

Subjek hukum nasional adalah individu-individu yang terdapat dalam suatu negara sedangkan subjek hukum internasional adalah negara-negara anggota masyarakat internasional.

c. Perbedaan Mengenai Kekuatan Hukum

Hukum nasional mempunyai kekuatan mengikat yang penuh dan sempurna kalau dibanding dengan hukum internasional yang lebih banyak bersifat mengatur hubungan negara-negara secara horisontal.

Kedaulatan negara dalam menentukan kebijakan luar negeri yang bekaitan dengan hukum internasional juga merupakan dasar bagi teori voluntarisme. Dalam teori ini disebutkan bahwa berlakunya hukum Internasional bahkan persoalan ada atau tidaknya hukum Internasional ini pada kemauan Negara.9

B. Penerapan Hukum Internasional Di Tingkat Nasional

1. Teori Transformasi

Pengikut ajaran positivisme mengakui bahwa peraturan ketentuan-ketentuan hukum Internasional untuk dapat berlaku sebagai norma hukum nasional harus melalui proses transformasi atau alih bentuk baik secara formal ataupun substansial. Secara formal artinya mengikuti bentuk peraturan yang sesuai dengan perundang-undangan nasional negara yang bersangkutan. Sedangkan secara substansial artinya materi dari peraturan hukum Internasional itu harus sesuai dengan materi peraturan hukum nasional yang bersangkutan. Sebagai contoh, dalam hal perjanjian Internasional untuk menjadi bagian dari hukum Nasional, harus memalui pengalihan bentuk yang sesuai dengan ketentuan hukum nasional terbut baik dalam substansi isi maupun materi dari perjanjian itu.

(6)

Pengikut ajaran ini menyatakan tanpa tranformasi tidak mungkin hukum perjanjian Internasional dapat diberlakukan dalam hukum Nasional. Hal ini disebkan perbedaan karakter dimana Hukum Internasional didasarkan pada persetujuan negara sedangkan hukum Nasional bukan.

Perjanjian Internasional dengan hukum Nasional terdapat perbedaan yang angat besar. Perjanjian Internasional secara natural adalah berupa janji-janji, sedangkan hukum Nasional memperlihatkan perintah-perintah melalui undang-undangnya. Karena perbedaan-perbedaan ini, maka hukum Internasional tidak dapat berlaku secara “et propriovigore”

dalam hukum nasional sehingga perlu di transformasikan melalui adopsi khusus. Transformasi ini merupakan syarat substantive bagi berlakunya hukum Internasional dalam hukum nasional.10

Mengingat bahwa seperti telah dikatakan diatas persoalan ini tidak iatur dalam Undang-undang Dasar 1945, satu-satunya petunjuk dalam usaha menjawab pertanyaan ini harus didasarkan atas praktik kita bertalian dengan pelaksanaan kewajiban kita sebagai peserta beberapa perjanjian Internasional.

Memperhatikan kenyataan tentang hal ini Prof Muchtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa kita tidak menganut teori Transformasi apalagi system Amerika Serikat. Kita lebih condong pada system negara-negara continental Eropa, yakni langsung menganggap diri kita terikat dalam kewajiban melaksanakan dan menaati semua ketentuan perjanjian dan konvensi yang telah disahkan tanpa perlu mengadakan lagi perundang-udangan pelaksanaan (implementing legislation).11

2. Teori Delegasi.

Menurut teori delegasi, kaidah-kaidah fungsional hukum Internasional mendelegasikan kepada setiap konstitusi negara, hal-hal untuk menentukan kapan ketentuan traktat atau konversi akan berlaku dan bagaimana cara memasukkannya kedalam hukum nasional. Jadi hal ini

(7)

merupakan posisi kelanjutan dari penutupan traktat atau konvensi, sehingga tidak ada pembentukan hukum nasional baru.

Selanjutnya dalam teori delegasi juga mengharuskan adanya adobsi khusus dalam berlakunya hukum Internasional dalam hukum nasional. Adopsi ini merupakan kelanjutan satu proses pembentukan hukum yang dmulai dari penetapan perjanjian Internasional sampai menjadi ketentuan hukum yang mengikat umum di suatu negara.

Menurut teori delegasi, implementasi hukum Internasional diserahkan kepada negara-negara atau hukum nasional masing-masing. Jadi implementasinya didelegasikan kepada hukum nasional. Oleh karena itu, masing-masing negara berwenang menentukan sendiri-sendiri hukum Internasional mana yang hendak diterapkan di dalam wilayahnya, mana yang tidak atau ditolak untuk diterapkan dan mana yang diterima untuk diterapkan.12

3. Teori Harmonisasi.

Penganut teori harmonisasi adalah D.P.D. Cornell yang menyatakan bahwa hukum Internasional dan hukum nasional harus diartikan sedemikian rupa bahwa antara keduanya terdapat keharmonisan. Eksistensi hukum Internasional dan hukum nasional berada dalam suatu hubungan yang harmonis. Tetapi tidak berarti bahwa antara keduanya tidak akan pernah terjadi pertautan. Jika terjadi pertautan antara keduanya, bisa saja diutamakan salah satu dari keduanya itu tetapi harus tetap diartikan dalam suasana hubungan yang harmonis.13

C. Analisis Teori Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional di Indonesia

Indonesia menerima hukum kebiasaan Internasional sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia, misalnya hukum kebiasaan yang berlaku di laut tentang hak lintas damai (right of passage innocent) bagi kapal-kapal

(8)

asing di laut teritorial Indonesia diakui dan diterapkan oleh Indonesia serta dihormati pula oleh kapal-kapal asing. Namun, bukan berarti Indonesia lemah dalam mempertahankan kedaulatannya di laut, karena jika terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh kapal-kapal asing di peraira Indonesia, maka Indonesia tidak segan-segan untuk menengelamkannya.

Akan tetapi, pernah terjadi bahwa Indonesia justru bertindak sebaliknya yaitu dengan mengesampingkan hukum kebiasaan Internasional dan mengutamakan hukum atau undang-undang nasionalnya. Hal ini terjadi dalam kasus nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing milik Belanda yang beroperasi di Indonesia. Pada tanggal 31 Desember 1958 Indonesia mengelurkan Undng-undang Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia (Undang-undang Nomor:86 tahun 1957) dan mengambil langkah menasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda yang beroperasi di Indonesia.14

Indonesia juga pernah mengesampingkan kaedah hukum kebiasaan Internasional dalam penerapan lebar laut territorial. Menurut hukum kebiaaan Internasional lama, lebar laut territorial negara-negara adalah sejauh 3(tiga) mil laut diukur dari garis pangkal normal. Hukum kebiasaan Internasional iijuga diterima sebagai bagian dari ukuran nasional Indonesia yaitu di dalam Undang-undang peninggalan jaman Belanda yang terkenal dengan sebutan Territoriale Zee en Maritmei Kringen Ordonantie (Stb. 1939 Nomor 442). Ketentuan tersebut berlaku dalam alam kemerdekaan Indonesia melalui pasal I aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945. Dalam Stb tersebut ditetapkan lebar laut territorial Hindia Belanda (Indonesia) sejauh 3(tiga) mil laut diukur dari garis pangkal normal. Sampa disini dapat dikemukakan bahwa terdapat kesesuaian antara kaidah hukum kebiasaan Internasional mengenai lebar laut territorial dengn hukum atau undang-undang Indonesia mengenai hal yag sama.

Akan tetapi kemudian pada tanggal 13 Desember 1957 Indonesia secara sepihak mengklaim laut territorial 12 mil laut berdasarkan system

(9)

penarikan garis pangkal lurus dari ujung ke ujung. Sekaligus menyatakan bahwa Stb. tahun 1939 Nomor 442 tersebut sepanjang menyangkut lebar laut territorial dan system penarikan garis pangkal normal menjadi tidak berlaku lagi.15

Tindakan ini menunjukkan bahwa Indonesia lebih mengutamakan Undang-undang atau hukum nasionalnya walaupun undang-undang nasionalnya itu lahir belakangan dibandingkan dengan hukum kebiasaan Internasional. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut teori dualisme secara mutlak.

Pada masa sekarang maupun masa-masa yang akan datang tampaknya kecenderungan masyarakat Internasional untuk menempuh langkah-langkah seperti halnya yang dilakukan Indonesia dan negara-negara lain akan semakin banyak dilakukan. Dalam masyarakat Internasional yang strukturnya koordinatif (tanpa adanya badan penguasa sentral), langkah-langkah seperti ini akan menjadi langkah yang wajar dalam tatanan hubungan Internasional. Namun demikian tindakan atau langkah-langkah tersebut haruslah dipantau terus sejauh manakah akan dapat diikuti dan diterima oleh masyarakat Internasional sebagai suatu kaidah hukum Internasional baru yang mampu menggantikan kedudukan kaedah hukum kebiaaan Internasional yang lama itu, selagi perubahan tersebut tidak menghalangi terciptanya keadilan dan kesejahteraan masyarakat Internasional pada umumnya.

(10)

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

1. Teori Hubungan HI dan HN

Terdapat dua aliran tentang hubungan hukum internasional dengan hukum nasional, yaitu aliran monisme dan dualisme. Aliran monisme berpendapat bahwa hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia, sedangkan aliran dualisme berpendapat bahwa hukum internasional dan hukum nasional itu adalah merupakan dua bidang hukum yang berbeda satu sama lain. Perbedaan yang mencolok yaitu tenang subjek hukum, sumber hukum dan ruang lingkup.

2. Praktek di Indonesia

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Atmaja, Mochtar Kusuma. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Rosda Offset,1996.

Manuputy, Alma. et.al., Hukum Internasional. Makassar: Rechta, 2008.

Mauna, Boer. Hukum Internasional:penertian, peranan dan fungsi dalam era dinamika global. Bandung: Penerbit Alumni, 2003.

Thontowi, Jawahir dan Pranoto Iskandar. Hukum Internasional Kontemporer.

Bandung: PT Rafika Aditama, 2006.

Sefriani. Hukum Internasional. Jakarta: Raja Grafindo, 2011.

Referensi

Dokumen terkait

Penyusunan laporan keuangan berdasarkan SAK ETAP merupakan salah satu langkah yang dapat dilakukan oleh UMKM untuk memberikan informasi usahanya sebagai salah satu pertimbangan

Peningkatan tersebut dapat dilihat dari kondisi awal kreativitas anak kelompok B2 berada pada kriteria belum berkembang pada siklus I meningkat menjadi berkembang

jika koneksi berjalan dengan baik kembali keproject android lalu buat main layout dengan nama main_screen.xml dengan tampilan seperti pada gambar berikut;. Gambar 6.2

Identifikasi Tingkat Depresi Lansia Identifikasi tingkat depresi lansia di desa Padasuka kecamatan lunyuk dengan 40 responden di ukur dengan GDS di dapatkan hasil bahwa

Meskipun upaya mem-branding UMKM di Kecamatan Sumpiuh sudah dilaksanakan dengan seringnya pemberitaan lewat media massa, beroperasinya stasiun radio Komunitas Peduli Sumpiuh

 Testing Tool: Testing tool adalah perangkat lunak yang berguna untuk membuat soal-soal ujian, baik itu soal pilihan ganda, essay, matching, dll.. Untuk membuat soal-soal

DI AJUKAN UNTUK MEMENUHI SEBAGI AN PERSYARATAN DALAM MEMPEROLEH GELAR SARJANA EKONOMI.. JURUSAN

Dari hasil pengamatan rata-rata suhu terendah dan angka kejadian hipotermi kami dapatkan bahwa suhu tubuh pasien akan. semakin turun seiring dengan per.ialanan